BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/492/4/BAB II.pdf · berwarna hitam...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/492/4/BAB II.pdf · berwarna hitam...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Berdarah Dengue (DBD)
1. Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang
ditandai dengan demam mendadak 2 sampai 7 hari tanpa penyebab yang jelas,
lemah atau lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai dengan tanda-tanda perdarahan
di kulit berupa bintik perdarahan (petechia), ruam (purpura). Kadang-kadang
mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun. Hal yang dianggap
serius pada demam berdarah dengue adalah jika muncul perdarahan dan tanda-
tanda syok/renjatan (Mubin, 2009: 19).
2. Etiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam dengue disebabkan oleh virus dengue yang ter-masuk dalam
group B Antrhopod borne virus (arboviruse) dan sekarang dikenal sebagai
genus flavivirus, famili Flaviridae serta memiliki 4 jenis serotipe yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 (SriRejeki, 2004). Infeksi dengan salah satu
stereotipe akan menimbulkan anti bodi seumur hidup terhadap serotipe yang
bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain.
Seseorang yang tinggal di daerah endemik dengue dapat terinfeksi dengan 3
atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe
yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat.
6
7
3. Tanda dan gejala Demam Berdarah Dengue (DBD)
Diagnosa penyakit DBD dapat dilihat berdasarkan kriteria diagnosa
klinis danlaboratoris. Berikut ini tanda dan gejala penyakit DBD yang
dapat dilihat dari penderita kasus DBD dengan diagnosa klinis dan
laboratoris :
a. Diagnosa Klinis
a) Demam tinggi mendadak 2 sampai 7 hari (38 –40º C).
b) Adanya manifestasi perdarahan spontan seperti bintik-bintik
merah di kulit yang tidak hilang jika ditekan (utamanya didaerah
siku atau pergelangan tangan dan kaki), mimisan, pendarahan
gusi, dan pendarahan yang sulit dihentikan jika disuntik atau
terluka.
c) Pembesaran organ hati dan limpa.
d) Renjatan (syok), tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau
kurang, tekanan sistolik sampai 80 mmHg atau lebih rendah.
e) Gejala klinik lainnya yang sering menyertai yaitu anoreksia
(hilangnya selera makan), lemah, mual, muntah, sakit perut,
diare dan sakit kepala.
b. Diagnosa Laboratoris
a) Trombositopeni pada hari ke-3 sampai ke-7 ditemukan
penurunan trombosit hingga 100.000/mmHg.
b) Hemokonsentrasi, meningkatnya hematrokit sebanyak 20% atau
lebih (Depkes RI, 2005).
8
Jika terdapat minimal 2 tanda klinis dan laboratoris, maka orang yang
mengalaminya didiagnosis menderita DBD.
Berdasarkan hal tersebut, DBD dibagi atas beberapa derajat sesuai dengan
reaksi tubuh si penderita (Mumpuni, dan Widayati, 2015) :
1. DBD derajat I: ditandai dengan manifestasi pendarahan yang tampak
dan uji tourniquet positif.
2. DBD derajat II: tubuh menunjukkan reaksi seperti mimisan dan bintik-
bintik merah.
3. DBD derajat III: disebut juga fase reaksi pre-syok. Terdapat reaksi
tubuh seperti yang ditunjukan pada DBD derajat II, namun penderita
mulai mengalami syok, kesadaran menurun, tangan dan kaki dingin,
nadi teraba cepat dan lemah, namun tekanan nadi masih terukur.
4. DBD derajat IV: disebut juga fase syok (atau dengeu
syoksyndrome/DSS). Reaksi tubuh yang ditunjukan seperti penderita
mengalami syok dalam dengan kesadaran sangat menurun hingga
koma, tangan dan kaki dingin serta pucat. Nadi sangat lemah sampai
tidak teraba dan tekanan nadi tidak dapat terukur. Pada tahap ini bila
tidak ditangani dengan cepat dan tepat, penderita dapat mengalami
kematian.
B. Vektor Penular
1. Morfologi Nyamuk Aedes Aegypty
Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki ukuran sedang dengan tubuh
berwarna hitam kecoklatan. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan
garis-garis putih keperakan. Di bagian punggung (dorsal) tubuhnya tampak
9
dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri dari
spesies ini.
Sisik-sisik pada tubuh nyamuk pada umumnya mudah rontok atau
terlepas sehingga menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua.
Ukuran dan warna nyamuk jenis ini kerap berbeda antar populasi,
tergantung dari kondisi lingkungan dan nutrisi yang diperoleh nyamuk selama
perkembangan. Nyamuk jantan dan betina tidak memiliki perbedaan dalam
hal ukuran nyamuk jantan yang umumnya lebih kecil dari betina dan
terdapatnya rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri ini
dapat diamati dengan mata telanjang.
2. Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti
Masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Aedes aegypti dapat
dibagi menjadi empat tahap, yaitu telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa,
sehingga termasuk metamorfosis sempurna atau holometabola.
a) Stadium Telur
Kebanyakan Aedes aegypti betina dalam satu siklus gonotropik
(waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur
mulai dari nyamukmenghisap darah sampai telur dikeluarkan)
meletakkan telur di beberapa tempat perindukan. Masa
perkembangan embrio selama 48 jam pada lingkungan yang hangat
dan lembab. Setelah perkembangan embrio sempurna, telur dapat
bertahan pada keadaan kering dalamwaktu yang lama (lebih dari
satu tahun).Telur menetas bila wadah tergenang air, namun tidak
semua telur menetas pada saat yang bersamaan. Kemampuan telur
10
bertahan dalam keadaan kering membantu kelangsungan hidup
spesies selama kondisi iklim yang tidak menguntungkan.
b) Stadium Larva (Jentik)
Larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai ciri khas memiliki siphon
yang pendek, besar dan berwarna hitam. Larva ini tubuhnya
langsing, bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif dan
pada waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan
permukaan air. Larva menuju ke permukaan air dalam waktu kira-
kira setiap ½-1 menit, guna mendapatkan oksigen untuk bernapas.
Larva nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang selama 6-8 hari.
Berdasarkan data dari Depkes RI (2005), ada empat tingkat (instar)
jentik sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu:
1. Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm
2. Instar II : 2,5-3,8 mm
3. Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II
4. Instar IV : berukuran paling besar, yaitu 5 mm
c) Stadium Pupa
Pupa nyamuk Aedes aegypti mempunyai bentuk tubuh bengkok,
dengan bagian kepala dada (cephalothorax) lebih besar bila
dibandingkan dengan bagianperutnya, sehingga tampak seperti
tanda baca ‘koma’. Tahap pupa pada nyamukAedes aegypti
umumnya berlangsung selama 2-4 hari. Saat nyamuk dewasa akan
melengkapi perkembangannya dalam cangkang pupa, pupa akan
11
naik kepermukaan dan berbaring sejajar dengan permukaan air
untuk persiapan munculnya nyamuk dewasa.
d) Nyamuk Dewasa
Nyamuk dewasa yang baru muncul akan beristirahat untuk periode
singkatdi atas permukaan air agar sayap-sayap dan badan mereka
kering dan menguat sebelum akhirnya dapat terbang. Nyamuk
jantan dan betina muncul dengan perbandingan jumlahnya 1:1.
Nyamuk jantan muncul satu hari sebelum nyamuk betina, menetap
dekat tempat perkembangbiakan, makan dari sari buah tumbuhan
dan kawin dengan nyamuk betina yang muncul kemudian. Sesaat
setelah muncul menjadi dewasa, nyamuk akan kawindan nyamuk
betina yang telah dibuahi akan mencari makan dalam waktu 24-36
jam kemudian. Umur nyamuk betinanya dapat mencapai 2-3 bulan
(Diktat Pengendalian Vektor, 2017).
3. Prilaku Nyamuk Aedes Aegypty
Ada tiga tempat yang diperlukan untuk keberlangsungan hidup nyamuk,
berikut:
a. Tempat berkembangbiakan vektor
b. Tempat mencari makan vektor
c. Tempat istirahat vektor
Prilaku vektor yang berhubungan dengan ketiga macam habitat tersebut
penting diketahui untuk menunjang program pemberantasan vektor (Sumantri,
2010).
12
a. Tempat Perkembangan Vektor
Tempat perkembangbiakan utama nyamuk Aedes aegypty adalah
tempat penampungan air bersih dalam atau sekitar rumah, berupa
genangan air yang tertampung disuatu tempat atau bejana seperti bak
mandi, tempayan, tempat minum burung dan barang-barang bekas
yang dibuang disembarangan yang dapat terisi air pada waktu
hujan.Nyamuk Aedes aegypty tidak dapat berkembangbiak pada
genangan air yang berhubungan langsung dengan tanah (Depkes RI,
2005).
Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (2005), jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes
aegypty dapat dikelompokan menjadi:
a) Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari,
seperti: drum, tangki reservoir, bak mandi/wc, tempayan dan
ember.
b) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non
TPA), seperti tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut
dan barang-barang bekas (ban, botol, kaleng, dan lain-lain).
c) Tempat penampungan air alamiah, seperti: lubang pohon, lubang
batu, potongan bambu, dan lain-lain.
b. Tempat Mencari Makan Vektor
Nyamuk Aedes aegypti bersifat diurnal atau aktif pada pagi hingga
siang hari, biasanya pada jam 09.00-10.00 dan 16.00-17.00 (Ginanjar,
2008). Penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk betina oleh karena
13
hanya nyamuk betina yang mengisap darah. Hal itu dilakukannya
untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya untuk
memproduksi telur. Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan
memperoleh energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan.
c. Tempat Istirahat Vektor
Setelah menghisap darah, nyamuk betina akan beristirahat sekitar 2-3
hari untuk mematangkan telurnya. Nyamuk Aedes aegypty hidup
domestik, artinya lebih menyukai tinggal di dalam rumah dari pada di
luar rumah. Tempat-tempat yang lembab dan kurang terang seperti
kamar mandi, dapur dan wc adalah tempat-tempat beristirahat yang
disenangi nyamuk. Didalam rumah nyamuk ini beristirahat di baju-
baju yang digantung, kelambu dan tirai (Depkes RI, 2005).
d. Kepadatan Vektor DBD
Kepadatan vektor nyamuk Aedes dapat diukur dengan menggunakan
parameter ABJ atau Angka Bebas Jentik. Dengan menggunakan
parameter ini, maka akan terlihat seberapa jauh peran kepadatan
vektor nyamuk Aedes terhadap daerah yang terjadi kasus KLB
(Kejadian Luar Biasa). Semakin tinggi kepadatan nyamuk Aedes di
suatu wilayah, maka semakin tinggi pula resiko masyarakat di wilayah
tersebut untuk tertular DBD. Hal ini berarti bahwa jika di suatu
wilayah dengan kepadatan Aedes tinggi dan terdapat seorang penderita
DBD, maka masyarakat sekitar penderita tersebut berisiko untuk
tertular DBD (Kusumawardani, 2012 dalam Agustin, 2018).
14
Kegiatan surveilans vektor DBD merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan untuk mengetahui data-data tingkat kepadatan vektor DBD. Dalam
rangka mendapatkan data tingkat kepadatan vektor ini perlu dilakukan suatu
survey, yang terdiri dari metode survei telur (ovitrap), survei terhadap jentik, dan
nyamuk (Kemenkes RI, 2011 dalam Agustina,2018).
1. Survei Telur
Survei telur ini dilakukan dengan cara memasang ovitrap atau perangkap
telur dimana pada dinding perangkap yang bagian dalamnya dicat warna hitam
dan diberi air secukupnya. Perangkap telur ini berbentuk seperti tabung dan dapat
dibuat dari kaleng, potongan bambu, atau gelas plastik kaca.Perangkap ini dapat
diletakkan di dalam maupun di luar rumah atau dapat juga diletakkan ditempat-
tempat yang lembab dan gelap.
Cara kerja perangkap telur ini adalah padel (berupa potongan bambu atau
kain yang tenunannya kasar dan memeliki warna gelap) diletakkan di dalam
tabung perangkap telur, dimana padel ini berfungsi sebagai tempat peletakan telur
nyamuk. Satu minggu kemudian dilakukan pemeriksaan telur nyamuk pada padel
tersebut dan hitung ovitrap index.
Perhitungan ovitrap index sebagai berikut:
2. Survei Jentik
Survei jentik ini dapat dilakukan dengan cara seperti dibawah ini :
a. Periksa TPA atau kontainer air yang dapat menjadi breeding pace
nyamuk Aedes yang ada di dalam maupun di luar rumah.
15
b. Jika tidak ditemukan jentik pada pengamatan pertama, tunggu
sekitar 0,5-1 menit kemudian untuk memastikan bahwa benar-
benar tidak ada jentik.
c. Gunakan senter untuk memeriksa jentik yang ada di tempat gelap
atau air keruh.
Terdapat dua buah metode untuk melakukan survei jentik, yaitu:
a) Single Larva
Metode survei jentik ini dilakukan dengan cara mengambil satu
jentik yang ada di setiap tempat genangan air yang ditemukan
jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut.
b) Visual
Metode survei jentik ini dilakukan cukup dengan cara melihat ada
tidaknya jentik disetiap tempat genangan air tanpa melakukan
pengambilan jentik di tempat genangan air tersebut.
Terdapat beberapa parameter yang digunakan untuk mengetahui
kepadatan jentik nyamuk Aedes, antara lain:
1) Angka Bebas Jentik (ABJ)
2) House Index (HI)
3) Container Index (CI)
16
4) Breteau Index (BI)
Breteau index atau yang biasa disingkat dengan BI,
merupakan suatu parameter kepadatan jentik nyamuk dengan
melihat berapa jumlah kontainer dengan jentik dalam 100 rumah
atau bangunan yang diperiksa.
3. Survei Nyamuk
Survei nyamuk dapat dilakukan melalui penangkapan
nyamuk dengan menggunakan umpan orang yang ada di dalam
maupun diluar rumah, yang mana masing-masing penangkapan
nyamuk dengan umpan orang tersebut dilakukan selama 20 menit
tiap rumah, serta penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding
yang ada di dalam rumah. Penangkapan nyamuk yang dilakukan
ini pada umumnya menggunakan alat yang disebut dengan
aspiratir. Terdapat beberapa indeks nyamuk yang digunakan,
antara lain:
a. Landing rate
b. Resting per rumah
Rata-rata umur nyamuk di suatu wilayah dapat diketaui
dengan cara membedah perut nyamuk-nyamuk yang ditangkap
untuk diperiksa ovariumnya dengan menggunakan mikroskop.
Apabila ujung pipa-pipa udara (tracheolus) pada ovarium nyamuk
17
masih menggulung, hal ini menunjukan bahwa nyamuk tersebut
belum pernah bertelur (nuliparous). Apabila ujung pipa-pipa udara
(tracheolur) pada ovarium sudah terurai atau terlepas gulungannya,
maka nyamuk tersebut sudah pernah bertelur atau poraus.
Indeks parity rate merupakan parameter yang digunakan
untuk mengetahui rata-rata umur nyamuk, apakah nyamuk tersebut
merupakan nyamuk-nyamuk baru menetas atau nyamuk-nyamuk
yang sudah tua. Jika hasil survei entomologi suatu wilayah
menunjukan parity rate yang rendah, hal ini menunjukan bahwa
populasi nyamuk di wilayah tersebut sebagian besar masih muda,
dan begitupun sebaliknya (Kusumawardani, 2012 dalam Agustin,
2018).
C. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian DBD
1. Faktor Lingkungan (Enviroment)
a. Keberadaan Jentik pada TPA/Kontainer
Keberadaan jentik pada TPA/kontainer dapat dilihat dari letak,
macam bahan, warna, bentuk volume dan penutup kontainer serta asal air
pada kontainer sangat mempengaruhi nyamuk Aedes aegypti betina untuk
menemukan pilihan tempat bertelur. Keberadaan TPA/kontainer sangat
berperan dalam kepadatan vektor nyamuk Aedes aegypti, karena semakin
banyak tempat perindukan akan semakin padat populasi nyamuk Aedes
aegypti. Semakin padat populasi nyamuk semakin tinggi pula resiko
terinfeksi virus demam berdarah dengue (DBD) dengan waktu penyebaran
18
lebih cepat meningkat yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya KLB
(Ariani, 2016: 83).
Keberadaan jentik nyamuk yang hidupsangat memungkinkan
terjadinya demam berdarah dengue. Jentik nyamuk yang hidup di berbagai
kontainer seperti bak mandi/wc, drum, tempat minum burung, vas bunga,
kaleng-kaleng bekas, atau hinggap di lubang pohon, lubang batu, pelepah
daun, pelepah pisang, potongan bambu (Depkes RI, 1992).
b. Jenis Tempat TPA/Kontainer
Secara fisik tempat penampungan air dibedakan lagi berdasarkan
bahan tempat penampungan air (logam, plastik, porselin, fiberglas, semen
dan lain-lain), warna tempat penampungan air (putih, hijau, coklat, dan
lain-lain), volume tempat penampungan air (kurang dari 50lt, 51-100lt dan
lain-lain), letak tempat penampungan air (di dalam atau di luar rumah),
penutup tempat penampungan air (ada atau tidak) (Depkes RI, 2002 dalam
Widodo, Nur Porwono, 2012).
c. Iklim
Iklim adalah salah satu komponen pokok lingkungan fisik yang
terdiri dari suhu, kelembapan, curah hujan, dan kecepatan angin (widodo,
Nur Porwono, 2012).
a) Suhu
Suhu merupakan keadaan udara pada waktu dan tempat
tertentu.Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu yang rendah, tetapi
metabolisme menurun atau bahkan terhenti bila suhunya turun
sampai di bawah 100C. Pada suhu yang lebih tinggi dari 35
0C,
19
nyamuk juga akan mengalami perubahan, dalam arti lebih
lambatnya proses-proses fisiologi. Rata-rata suhu ideal untuk
pertumbuhan nyamuk adalah 250C-27
0C. Pertumbuhan nyamuk
akan terhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10oC atau lebih dari
400C. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1077/MENKES/PER/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara
Dalam Ruang Rumah yaitu suhu yang baik untuk pertumbuhan
nyamuk berkisar antara 180C-30
0C.
b) Kelembapan Udara
Kelembapan udara adalah banyaknya uap air yang terkandung
dalam udara yang dinyatakan dalam persen (%). Kelembapan udara
yang terlalu tinggi di dalam rumah mengakibatkan rumah dalam
keadaan basah dan lembab yang memungkinkan berkembang
biaknya bakteri dan kuman penyebab penyakit.Kelembapan yang
baik untuk pertumbuhan nyamuk berkisar antara 60%-80%
sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No.1077/MENKES/PER/2011 tentang Pedoman
Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah yaitu kelembapan yang
baik untuk pertumbuhan nyamuk berkisar antara 400C-70
0C.
Dalam kehidupan nyamuk kelembapan udara mempengaruhi
kebiasaan meletakkan telurnya. Hal ini berkaitan dengan nyamuk
atau serangga pada umumnya bahwa kehidupannya ditentukan oleh
faktor kelembapan. Sistem pernafasan nyamuk Aedes aegypti
dengan menggunkan pipa-pipa udara disebut spiracle. Adanya
20
spriracle yang terbuka lebar tanpa ada mekanisme pengaturannya,
maka pada kelembapan rendah akan menyebabkan penguapan air di
dalam tubuh nyamuk. Pada kelembapan di bawah 60% nyamuk tidak
dapat bertahan hidup, akibatnya umur nyamuk menjadi lebih
pendek, sehingga nyamuk tersebut tidak dapat menjadi vektor
karena tidak cukup waktu untuk perpindahan virus dari lampung ke
kelenjar ludahnya.
c) Curah Hujan
Hujan berpengaruh terhadap kelembapan udara dan juga
memperbanyak tempat perindukan nyamuk untuk berkembang biak.
d) Kecepatan Angin
Kecepatan angin secara tidak langsung berpengaruh kepada
kelembapan dan suhu udara serta arah penerbangan nyamuk.
2. Faktor Perilaku
a. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
Pemberantasan sarang nyamuk adalah kegiatan memberantas telur,
jentik dan kepompong, nyamuk penular di tempat-tempat perkembang biakannya.
Keberhasilan kegiatan PSN diukur dengan angka bebas jentik (ABJ). Apabila
ABJ >95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi (Widodo,
Nur Porwono, 2012).
b. Cara Kimiawi (Larvasidasi)
Cara menyemprotkan Aedes aegypti dengan menggunakan insektisida
pembasmi jentik yang dikenal dengan istilah larvasida. Cara ini dikenal dengan 4
21
M yaitu menemprotkan cairan pembasmi nyamuk, mengoleskan lotion nyamuk,
menaburkan serbuk abate, mengadakan fogging. Pada pengendalian kimia
digunakan insektisida yang bertujuan pada nyamuk dewasa atau larva (Ariani,
Ayu Putri, 2016).
c. Cara Biologi
Pengendalian biologi dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup,
baik dari golongan mikroorganisme hewan invertebrata atau vertebrata. Sebagai
pengendalian hayati dapat berperan sebagai patogenesis, parasit dan pemangsa.
Pemberantasan jentik nyamuk Aedes aegypti secara biologi dapat
dilakukan dengan memelihara ikan pemakan jentik yaitu ikan kepala timah, ikan
gupi, ikan cupang atau tempalo, dan lain-lain (Ariani, Ayu Putri, 2016).
d. Cara Fisik
Pengendalian secara fisik ini dikenal dengan kegiatan 3M plus yaitu
(Widodo, Nur Purwono, 2012):
a) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air seperti bak
mandi, wc, drum dan sebagainya seminggu sekali.
b) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air seperti gentong air,
tempayan, dan sebagainya.
c) Mengubur dan menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan.
Selain itu ditambahkan dengan cara lainnya seperti:
a) Mengganti air vas bunga, tempat minum burung dan tempat-tempat
lainnya yang sejenis.
22
b) Menutup lobang-lobang pada potongan bambu/pohon dan sejenisnya
(dengan tanah dan lain sebagainya).
c) Memasang kasa nyamuk.
d) Menghindari kebiasaan menggantung pakaian habis dipakai di dalam
rumah.
e) Mengupayakan ventilasi dan pencahayaan ruang yang memadai.
f) Menggunkan kelambu.
g) Memakai obat yang mencegah gigitan nyamuk.
h) Memasang ovitrap.
23
D. Kerangka Teori
Sumber : Modifikasi teori dari penelitian Arani (2016), Depkes (1992), Widodo
(2012).
Faktor Lingkungan
1. Keberadaan jentik
2. Tempat perindukan nyamuk
Nyamuk Aedes
aegypti
Virus Dengue
Kejadian Demam
Berdarah Dengue
(DBD)
Host (Manusia) Perilaku
Pencegahan:
1. Kebiasaan menguras TPA
2. Kebiasaan menutup TPA
3. Kebiasaan mengubur barang-
barang bekas
4. Kebiasaan menggantung
pakaian
24
E. Kerangka Konsep
Independen Dependen
Faktor Lingkungan :
1. Keberadaan jentik
2. Tempat perindukan
nyamuk
Faktor Perilaku :
1. Kebiasaan menguras TPA
2. Kebiasaan menutup TPA
3. Kebiasaan mengubur
barang-barang bekas
4. Kebiasaan menggantung
pakaian
Kejadian Demam
Berdarah Dengue
DBD
25
A. Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Ada hubungan antara keberadaan jentik dengan kejadian DBD di wilayah
kerja puskesmas kotabumi II.
2. Ada hubungan antara tempat perindukan nyamuk dengan kejadian DBD di
wilayah kerja puskesmas kotabumi II.
3. Ada hubungan antara kebiasaan menguras TPA dengan kejadian DBD di
wilayah kerja puskesmas kotabumi II.
4. Ada hubungan antara kebiasaan menutup TPA dengan kejadian DBD di
wilayah kerja puskesmas kotabumi II.
5. Ada hubungan antara kebiasaan mengubur barang-barang bekas dengan
kejadian DBD di wilayah kerja puskesmas kotabumi II.
6. Ada hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian
DBD di wilayah kerja puskesmas kotabumi II.