BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/2065/6/6. BAB II.pdf · kematian di rumah...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/2065/6/6. BAB II.pdf · kematian di rumah...
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Penyakit
1. Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskuler
yang progresif sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling
berhubungan, World Health Organization (WHO) menyatakan hipertensi
merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau sama dengan 160
mmHg dan atau tekanan diastolic sama atau lebih besar 95 mmHg, Join
National Committee (JNC VII) berpendapat hipertensi adalah peningkatan
tekanan darah diatas 140/90 mmHg, sedangkan menurut Brunner dan
Suddarth hipertensi juga diartikan sebagai tekanan darah persisten dimana
tekanan darahnya diatas 140/90 mmHg. Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah
sistolik yang persisten diatas 140 mmHg sebagai akibat dari kondisi lain
yang kompleks dan saling berhubungan, menurut American Society of
Hypertension (ASH). (Bianti Nuraini, 2015 Vol. 4 No. 5).
Menurut Wahyuningsih & Endri Astuti (2013:71) Hipertensi
merupakan “silent killer” sehingga menyebabkan fenomena gunung es.
Prevalensi hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia. Kondisi
patologis ini jika tidak mendapatkan penanganan secara cepat dan secara
dini maka akan memperberat risiko. Hipertensi adalah penyakit nomor 3
dari 10 penyakit yang mempunyai persentase besar dan yang sering di
jumpai pada usia lanjut (WHO, 1990 cit Nugroho, 2000). Berdasarkan
data World Health Organization (WHO) dari 50% penderita hipertensi
yang diketahui hanya 25% yang mendapat pengobatan, dan hanya 12,5%
yang diobati dengan baik (adequately treated cases) .Berdasarkan Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, kematian akibat penyakit
jantung dan pembuluh darah di Indonesia sebesar 26,3%, sedangkan data
6
kematian di rumah sakit tahun 2005 sebesar 16,7 (Ruhyana, 2007). Di
Indonesia banyaknya penderita hipertensi diperkirakan 15 juta orang tetapi
hanya 4% yang merupakan hipertensi terkontrol. Prevalensi 6-15% pada
orang dewasa, 50% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita
hipertensi sehingga mereka cenderung untuk menjadi hipertensi berat
karena tidak menghindari dan tidak mengetahui faktor risikonya, dan 90%
merupakan hipertensi esensial (Amiruddin, 2007).
2. Klasifikasi Hipertensi
Tabel 1.1
Klasifikasi Tekanan Darah Pada Orang Dewasa
Kategori Tekanan Darah
Sistolik
Tekanan Darah
Diastolik
Normal Dibawah 130
mmHg
Dibawah 85 mmHg
Normal Tinggi 130-139 mmHg 85-89 mmHg
Stadium 1 (Hipertensi
Ringan)
140-159 mmHg 90-99 mmHg
Stadium 2 (Hipertensi
Sedang)
160-179 mmHg 100-109 mmHg
Stadium 3 (Hipertensi
Berat)
180-209 mmHg 110-119 mmHg
Stadium 4 (Hipertensi
Maligna)
210 mmHg atau
lebih
120 mmHg atau
lebih
Sumber: Triyanto Endang, 2014
7
3. Epidemiologi Hipertensi
Di Amerika, diperkirakan 30% penduduknya (± 50 juta jiwa)
menderita tekanan darah tinggi (≥ 140/90 mmHg) dengan persentase
biaya kesehatan cukup besar setiap tahunnya. Menurut National Health
and Nutrition Health and Nutrition Examination Survey (NHNES),
insiden hipertensi pada orang dewasa di Amerika tahun 1999-2000
adalah sekitar 29-31%, yang berarti bahwa terdapat 58-65 juta orang
menderita hipertensi, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data Nutrition
Health and Nutrition Examination Survey (NHNES) III tahun 1988-
1991. Tekanan darah tinggi merupakan salah satu penyakit degeneratif.
Umumnya tekanan darah bertambah secara perlahan dengan
bertambahnya umur. Risiko untuk menderita hipertensi pada populasi
≥ 55 tahun yang tadinya tekanan darahnya normal adalah 90%.2
Kebanyakan pasien mempunyai tekanan darah prehipertensi sebelum
mereka didiagnosis dengan hipertensi, dan kebanyakan diagnosis
hipertensi terjadi pada umur diantara dekade ketiga dan dekade kelima.
Sampai dengan umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita
hipertensi dibanding perempuan. Dari umur 55 s.d 74 tahun, sedikit
lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang menderita hipertensi.
Pada populasi lansia (umur ≥ 60 tahun), prevalensi untuk hipertensi
sebesar 65.4%. (Departemen Kesehatan, 2006: 2).
4. Etiologi Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang
beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologinya tidak
diketahui hipertensi essensial atau hipertensi primer. Hipertensi primer
ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari
populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus,
dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi
sekunder, endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder
8
dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat
disembuhkan secara potensial.
Hipertensi primer atau essensial lebih dari 90% pasien dengan
hipertensi merupakan hipertensi essensial atau hipertensi primer.
Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial merupakan 95% dari
seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin
berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun
belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi
primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga,
hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang
peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila
ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik
dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi
essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang
mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan
adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine,
pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan
angiotensinogen.
Hipertensi sekunder Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan
sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat
meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal
akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah
penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara
langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau
memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Obat-obat
ini dapat dilihat pada tabel 1.2. Apabila penyebab sekunder dapat
diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau
mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah
merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder.
(Departemen Kesehatan, 2006: 3).
9
Tabel 1.2
Penyebab Hipertensi yang Dapat di Identifikasi
Penyakit Obat
- penyakit ginjal kronis
- hiperaldosteronisme primer
- penyakit renovaskular
- sindroma Cushing
- pheochromocytoma
- koarktasi aorta
- penyakit tiroid atau
paratiroid
- Kortikosteroid, ACTH
- Estrogen (biasanya pil KB
dg kadar estrogen tinggi)
- NSAID, cox-2 inhibitor
- Fenilpropanolamine dan
analog
- Cyclosporin dan
tacrolimus
- Eritropoetin
- Sibutramin
- Antidepresan (terutama
venlafaxine)
NSAID: non-steroid-anti-inflammatory-drug, ACTH:
adrenokortikotropik hormone dalam (Departemen Kesehatan, 2006).
5. Diagnosis Hipertensi
Hipertensi seringkali disebut sebagai “silent killer” karena pasien
dengan hipertensi esensial biasanya tidak ada gejala (asimptomatik).
Penemuan fisik yang utama adalah meningkatnya tekanan darah.
Pengukuran rata-rata dua kali atau lebih dalam waktu dua kali kontrol
ditentukan untuk mendiagnosis hipertensi. Tekanan darah ini digunakan
untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan sesuai dengan tingkatnya.
(Departemen Kesehatan, 2006: 7).
6. Patofisiologi Hipertensi
Menurut Nurhidayat Saiful (2015: 90) mekanisme yang mengontrol
konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor,
pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari
kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
10
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang
bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis.
Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana
dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi
pembuluh darah. Berbagai factor seperti kecemasan dan ketakutan
dapat mempengaruhirespon pembuluh darah terhadap rangsang
vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitive terhadap
norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana system saraf simpatis
merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar
adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas
vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang
menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan
steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor
pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran
ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Rennin merangsang
pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin
II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi
aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi
natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume
intra vaskuler.
Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi untuk
pertimbangan gerontology. Perubahan structural dan fungsional pada
system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan
darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi
aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam
relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan
kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah.
Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya
dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung
11
(volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curang jantung dan
peningkatan tahanan perifer (Brunner & Suddarth, 2002).
12
Gambar 2.1
Pathway Hipertensi
Faktor predisposisi :usia, jenis kelamin,merokok,stress,kurang
olahraga,genetic,alcohol,konsentrasi,garam,obesitas
HIPERTENSI
Tekanan sistemik darah Kerusakan Vaskuler
pembuluh darah
Ansietas
Perubahan situasi
Beban kerja jantung
Aliran darah makin
cepat keseluruh tubuh
sedangkan nutrisi dalam
sel sudah mencukupi
kebutuhan
Perubahan Struktur Gangguan pola tidur Informasi yang minim
Defesiensi pengetahuan Penyumbatan pembuluh
darah
Vasokontriksi
Gangguan konsentrasi
Risiko cedera
Spasme arteriol
13
sumber : Nurarif Amin Huda & Kusuma Hardi (2013:216)
Ginjal Otak Pembuluh darah Retina
Vasokontriksi
pemeb darah ginjal Resistensi
pembuluh darah
otak
Suplai O2 ke otak
Blood flow darah
menurun
Nyeri akut
Resiko
ketidakefektifan
perfusi jaringan
otak
Sistematik Koroner
Vasokontriksi Iskemia
miokard Respon RAA
Merangsang aldosteron
Retensi NA
Afterload
meningkat Nyeri dada
Penurunan curah
jantung
Fatigue
Intoleransi aktivitas
Edema
Kelebihan
Volume Cairan
14
7. Manifestasi Klinis Hipertensi
Menurut Adnil (2004) gejala klinis yang dialami oleh para
penderita hipertensi biasanya berupa: pusing, mudah marah, telinga
berdengung, sukar tidur, sesak napas, rasa berat di tengkuk, mudah
lelah, mata berkunang-kunang, dan mimisan (jarang dilaporkan).
Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakkan gejala
sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya kerusakan
vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang di
vaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis
pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi
pada malam hari) dan azetoma peningkatan nitrogen urea darah
(BUN) dan kreatinin. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat
menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang
bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi (hemiplegia)
atau gangguan tajam penglihatan (Wijayakusuma, 2000).
Crowin (2000) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis
timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa nyeri
kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat
peningkatan tekanan darah intracranial. Pada pemeriksaan fisik,
tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi,
tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti
perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah,
dan pada kasus berat, edema pupil (edema diskus optikus). Gejala lain
yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka
merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba – tiba,
tengkuk terasa pegal dan lain-lain. (Triyanto Endang, 2014: 13-14).
8. Pemeriksaan Diagnostik Hipertensi
Pemeriksaan laboratorium rutin yang direkomendasikan sebelum
memulai terapi antihipertensi adalah urinalysis, kadar gula darah dan
hematokrit; kalium, kreatinin, dan kalsium serum; profil lemak
(setelah puasa 9 – 12 jam) termasuk HDL, LDL, dan trigliserida, serta
15
elektrokardiogram. Pemeriksaan opsional termasuk pengukuran
ekskresi albumin urin atau rasio albumin / kreatinin. Pemeriksaan
yang lebih ekstensif untuk mengidentifikasi penyebab hipertensi tidak
diindikasikan kecuali apabila pengontrolan tekanan darah tidak
tercapai. (Departemen Kesehatan, 2006).
9. Komplikasi Hipertensi
Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau
akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan
tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila
arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertropi dan
menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya
berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklorosis dapat
menjadi lemah, sehingga meningkatkan kemungkinan terburuknya
aneurisma. Gejala terkena stroke adalah sakit kepala secara tiba-tiba,
seperti orang bingung, limbung atau bertingkah laku seperti orang
mabuk, salah satu bagian tubuh terasa lemah atau sulit digerakkan
(misalnya wajah, mulut, atau lengan terasa kaku, tidak dapat berbicara
secara jelas) serta tidak sadarkan diri secara mendadak.
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri coroner yang
terosklerosis tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium
atau apabila terbentuk thrombus yang menghambat aliran darah
melalui pembuluh darah tersebut. Hipertensi kronik dan hepertensi
ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat
terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark.
Demikian juga hipertropi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-
perubahan waktu antara listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi
disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko pembentukan
bekuan (Corwin, 2000).
Gagal ginjal terjadi karena kerusakan progresif karena tekanan tinggi
pada kapiler-kapiler ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus,
darah akan mengalir keunit-unit fungsional ginjal, nefron akan
16
terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan
rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui urine
sehingga tekanan osmotic koloid plasma berkurang, menyebabkan
edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik.
Ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang
kembalinya kejantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul
diparu, kaki dan jaringan lain sering sering disebut edema. Cairan
didalam paru-paru menyebabkan sesak napas, timbunan cairan
ditungkai menyebabkan kaki bengkak atau sering dikatakan edema.
Ensefalopati dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna
(hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi pada kelainan ini
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke
dalam ruang intertisium diseluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron
disekitarnya kolaps dan terjadi koma (Triyanto Endang, 2014: 14-16).
10. Pencegahan Hipertensi
Pencegahan hipertensi dilakukan melalui dua pendekatan :
a. Intervensi untuk menurunkan tekanan darah di populasi dengan
tujuan menggeser distribusi tekanan darah kearah yang lebih
rendah. Penurunan Tekanan Darah Sistolik (TDS) sebanyak 2
mmHg di populasi mampu menurunkan kematian akibat stroke,
Penyakit Jantung Koroner (PJK), dan sebab-sebab lain masing-
masing sebesar 6%, 4% dan 3%. Penurunan Tekanan Darah
Sistolik (TDS) 3 mmHg ternyata dapat menurunkan kematian
masing-masing sebesar 8%, 5% dan 4%.
b. Strategi penurunan tekanan darah ditujukan pada mereka yang
mempunyai kecenderungan meningginya tekanan darah, kelompok
masyarakat ini termasuk mereka yang mengalami tekanan darah
normal dalam kisaran yang tinggi Tekanan Darah Sistolik (TDS)
130-139 mmHg atau Tekanan Darah Diastolik (TDD) 85-89
mmHg, riwayat keluarga ada yang menderita hipertensi, obsitas,
tidak aktif secara fisik, atau banyak minum alcohol dan garam.
17
Berbagai cara yang terbukti mampu untuk mencegah terjadinya
hipertensi, yaitu pengendalian berat badan, pengurangan asupan
natrium kloride, aktifitas alcohol, pengendalian stress,
suplementasi fish oil dan serat The 5-year primary prevention of
hypertension meneliti berbagai faktor intervensi terdiri dari
pengurangan kalori, asupan natrium klorida dan alcohol serta
peningkatan aktifitas fisik. Hasil penelitian menunjukkan
penurunan berat badan sebesar 5,9 pounds berkaitan dengan
penurunan Tekanan Darah Sistolik (TDS) dan Tekanan Darah
Diastolik (TDD) sebesar 1,3 mmHg dan 1,2 mmHg. Penelitian
yang mengikut sertakan sebanyak 47.000 individu menunjukan
perbedaan asupan sodium sebanyak 100 mmo1/hari berhubungan
dengan perbedaan Tekanan Darah Sistolik (TDS) sebesar 5 mmHg
pada usia 15-19 tahun dan 10 mmHg pada usia 60-69 tahun.
Meningginya Tekanan Darah Sistolik (TDS) dan Tekanan Darah
Diastolik (TDD), meningkatnya sirkulasi kadar kateholamin,
cortisol, vasopressin, endorphins, andaldosterone, dan penurunan
ekskresi sodium di urine merupakan respon dari rangsangan stress
yang akut. Intervensi pemnegdalian stress seperti relaksasi,
meditasi dan biofeedback mampu mencegah dan mengobati
hipertensi. (Muljadi Budisetio, 2001: 104).
11. Factor – factor yang Berhubungan Dengan Hipertensi
Pada 70-80% kasus hipertensi esensial, didapatkan riwayat
hipertensi didalam keluarga. Apabila riwayat hipertensi didapatkan
pada kedua orangtua maka dugaan hipertensi esensial lebih besar.
Hipertensi juga banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot
(satu telur), apabila salah satunya menderita hipertensi. Dugaan ini
menyokong bahwa factor genetik mempunyai peran didalam
terjadinya hipertensi. Riwayat keluarga juga merupakan masalah yang
memicu masalah terjadinya hipertensi cenderung merupakan penyakit
keturunan. Jika seseorang dari orangtua kita memiliki riwayat
18
hipertensi maka sepanjang hidup kita memiliki kemungkinan 25%
terkenan hipertensi.
Perbandingan antara pria dan wanita, ternyata wanita lebih banyak
menderita hipertensi. Dari laporan sugiri di Jawa Tengah didapatkan
angka prevalensi 6% dari pria dan 11% pada wanita. Laporan dari
Sumatera Barat menunjukan 18,6% pada pria dan 17,4% wanita. Di
daerah perkotaan Semarang didapatkan 7,5% pada pria dan 10,9%
pada wanita. Sedangkan di daerah perkotaan Jakarta didapatkan
14,6% pada pria dan 13,7% pada wanita.
Factor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan
bertambahnya umur maka semakin tinggi mendapat resiko hipertensi.
Insiden hipertensi makin meningkat dengan meningkatnya usia. Ini
sering disebabkan oleh perubahan alamiah di dalam tubuh yang
mempengaruhi jantung, pembuluh darah, dan hormon. Hipertensi
pada yang berusia kurang dari 35 tahun akan menaikkan insiden
penyakit arteri coroner dan kematian prematur (Julianti, 2005). Jenis
kelamin juga sangat erat kaitannya terhadap terjadinya hipertensi
dimana pada masa muda dan paruh baya lebih tinggi penyakit
hipertensi pada laki-laki dan pada wanita lebih tinggi setelah umur 55
tahun, ketika seseorang wanita mengalami menopause.
Factor lingkungan seperti stress berpengaruh terhadap timbulnya
hipertensi esensial. Hubungan antara stress dengan hipertensi, diduga
melalui aktivitas saraf simpatis. Saraf simpatis adalah saraf yang
bekerja pada saat kita beraktivitas. Saraf parasimpatis adalah saraf
yang bekerja pada saat kita tidak beraktivitas. Peningkatan aktivitas
saraf simpatis dapat meningkatkan tekanan darah secara intermitten
(tidak menentu). Apabila stress berkepanjangan, dapat mengakibatkan
tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti, tetapi
angka kejadian di masyarakat kerkotaan lebih tinggi dibandingkan
dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh
stress yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota.
Peningkatan tekanan darah sering intermiten pada awal perjalanan
19
penyakitnya. Bahkan pada kasus yang sudah tegak diagnosisnya,
sangat berfluktuasi sebagai akibat dari respon terhadap stress
emosional dan aktivitas fisik. Selama terjadi rasa takut ataupun stress
tekanan arteri sering kali meningkat sampai setinggi dua kali normal
dalam waktu beberapa detik.
Berdasarkan penyelidikan, kegemukan merupakan ciri khas dari
populasi hipertensi dan dibuktikan bahwa factor ini mempunyai kaitan
yang erat dengan terjadinya hipertensi dikemudian hari. Walaupun
belum dapat dijelaskan hubungan antara obesitas dan hipertensi
esensial, tetapi penyelidikan membuktikan bahwa daya pompa jantung
dan sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan hipertensi lebih
tinggi dibandingkan dengan penderita yang memiliki berat badan
normal. Terbukti bahwa daya pompa jantung dan sirkulasi volume
darah penderita obesitas dengan hipertensi lebih tinggi dari pada
penderita hipertensi dengan berat badan normal. (Triyanto Endang,
2014: 10-12).
12. Penatalaksanaan Hipertensi
Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan:
1. Terapi nonfarmakologi
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting
untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang
penting dalam penanganan hipertensi. Semua pasien dengan
hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup. Perubahan yang
sudah terlihat menurunkan tekanan darah sesuai dengan
rekomendasi dari Join National Committee (JNC VII). Disamping
menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien dengan hipertensi,
modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan
darah ke hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah
prehipertensi. Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat
menurunkan tekanan darah adalah mengurangi berat badan untuk
individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola makan Dietary
20
Approach to Stop Hypertension (DASH) yang kaya akan kalium
dan kalsium, diet rendah natrium, aktifitas fisik, dan
mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada sejumlah pasien dengan
pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat
antihipertensi. mengurangi garam dan berat badan dapat
membebaskan pasien dari menggunakan obat. Program diet yang
mudah diterima adalah yang didisain untuk menurunkan berat
badan secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk dan obesitas
disertai pembatasan pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini
diperlukan pendidikan ke pasien, dan dorongan moril. Fakta-fakta
berikut dapat diberitahu kepada pasien supaya pasien mengerti
rasionalitas intervensi diet:
a. Hipertensi 2 – 3 kali lebih sering pada orang gemuk dibanding
orang dengan berat badan ideal
b. Lebih dari 60 % pasien dengan hipertensi adalah gemuk
(overweight)
c. Penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4.5 kg) dapat
menurunkan tekanan darah secara bermakna pada orang gemuk
d. Obesitas abdomen dikaitkan dengan sindroma metabolik, yang
juga prekursor dari hipertensi dan sindroma resisten insulin yang
dapat berlanjut ke Diabetes Melitus (DM) tipe 2, dislipidemia,
dan selanjutnya ke penyakit kardiovaskular.
e. Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh
dapat menurunkan tekanan darah pada individu dengan
hipertensi. Walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif
terhadap garam, kebanyakan pasien mengalami penurunaan
tekanan darah sistolik dengan pembatasan natrium. Join
National Committee (JNC) VII menyarankan pola makan
Dietary Approach to Stop Hypertension (DASH) yaitu diet yang
kaya dengan buah, sayur, dan produk susu redah lemak dengan
kadar total lemak dan lemak jenuh berkurang. Natrium yang
direkomendasikan < 2.4 g (100 mEq)/hari. Aktifitas fisik dapat
21
menurunkan tekanan darah. Olahraga aerobik secara teratur
paling tidak 30 menit/hari beberapa hari/minggu ideal untuk
kebanyakan pasien. Studi menunjukkan kalau olahraga aerobik,
seperti jogging, berenang, jalan kaki, dan menggunakan sepeda,
dapat menurunkan tekanan darah. Keuntungan ini dapat terjadi
walaupun tanpa disertai penurunan berat badan. Pasien harus
konsultasi dengan dokter untuk mengetahui jenis olah-raga
mana yang terbaik terutama untuk pasien dengan kerusakan
organ target. Merokok merupakan faktor resiko utama
independen untuk penyakit kardiovaskular. Pasien hipertensi
yang merokok harus dikonseling berhubungan dengan resiko
lain yang dapat diakibatkan oleh merokok.
2. Terapi Farmakologi
Ada 9 kelas obat antihipertensi yaiyu: Diuretik, penyekat beta,
penghambat enzim konversi angiotensin inhibitor (ACEI),
penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan antagonis kalsium
dianggap sebagai obat antihipertensi utama. Obat-obat ini baik
sendiri atau dikombinasi, harus digunakan untuk mengobati
mayoritas pasien dengan hipertensi karena bukti menunjukkan
keuntungan dengan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini
(misalnya diuretik dan antagonis kalsium) mempunyai subkelas
dimana perbedaan yang bermakna dari studi terlihat dalam
mekanisme kerja, penggunaan klinis atau efek samping. Penyekat
alfa, agonis alfa sentral, penghambat adrenergik, dan vasodilator
digunakan sebagai obat alternatif pada pasien-pasien tertentu
disamping obat utama. Evidence-based medicine adalah
pengobatan yang didasarkan atas bukti terbaik yang ada dalam
mengambil keputusan saat memilih obat secara sadar, jelas, dan
bijak terhadap masing-masing pasien dan/atau penyakit. Praktek
evidence-based untuk hipertensi termasuk memilih obat tertentu
berdasarkan data yang menunjukkan penurunan mortalitas dan
22
morbiditas kardiovaskular atau kerusakan target organ akibat
hipertensi. Bukti ilmiah menunjukkan kalau sekadar menurunkan
tekanan darah, tolerabilitas, dan biaya saja tidak dapat dipakai
dalam seleksi obat hipertensi. Dengan mempertimbangkan faktor-
faktor ini, obat-obat yang paling berguna adalah diuretik,
penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat
reseptor angiotensin (ARB), penyekat beta, dan antagonis kalsium
(CCB). (Departemen Kesehatan, 2006 : 11-12).
B. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia
Menurut Kasiati & Rosmalawati Ni Wayan Dwi (2016:174)
kebutuhan menyatakan bahwa setiap manusia memiliki lima kebutuhan
dasar yaitu: kebutuhan fisiologis, keamanan, cinta, harga diri, dan
aktualisasi diri (Potter dan Patricia,1997). Untuk lebih jelas dapat dilihat di
gambar berikut:
Gambar 2.2
Hirarki kebutuhan dasar menurut A. Maslow
(Kasiati & Rosmalawati Ni Wayan Dwi, 2016)
Kebutuhan
aktualisasi diri
Kebutuhan harga diri
Kebutuhan rasa cinta dan kasih
sayang
Kebutuhan rasa aman dan nyaman
Kebutuhanfisiologis (oksigen, makan, minum,
eliminasi, tidur, seks)
23
Definisi Kenyamanan
Kolcaba (1992, dalam Potter & Perry, 2005) mengungkapkan
kenyamanan/rasa nyaman adalah suatu keadaan telah terpenuhinya
kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan ketentraman (suatu
kepuasan yang meningkatkan penampilan sehari-hari), kelegaan
(kebutuhan telah terpenuhi), dan transenden (keadaan tentang sesuatu
yang melebihi masalah atau nyeri). Kenyamanan mesti dipandang secara
holistik yang mencakup empat aspek yaitu:
1. Fisik, berhubungan dengan sensasi tubuh.
2. Sosial, berhubungan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan
sosial.
3. Psikospiritual, berhubungan dengan kewaspadaan internal dalam diri
sendiri yang meliputi harga diri, seksualitas, dan makna kehidupan).
4. Lingkungan, berhubungan dengan latar belakang pengalaman eksternal
manusia seperti cahaya, bunyi, temperatur, warna, dan unsur alamiah
lainnya.
Kenyamanan adalah konsep sentral tentang kiat keperawatan
(Donahue, 1989) dalam Alimul (2006) meringkaskan “ melalui rasa
nyaman dan tindakan untuk mengupayakan kenyamanan... ”. Perawat
memberikan kekuatan, harapan, hiburan, dukungan, dorongan dan bntuan.
Berbagai teori keperawatan menyatakan kenyamanan sebagai kebutuhan
dasar klien yang merupakan tujuan pemberian asuhan keperawatan.
Konsep kenyamanan mempunyai subjektifitas yang sama dengan nyeri.
Setiap individu memiliki karakteristik fisiologis, sosial, spiritual,
psikologis, dan kebudayaan yang mempengaruhi cara mereka
menginterpretasikan dan merasakan nyeri.
Kolcaba (1992) mendefinisikan kenyamanan dengan cara yang
konsisten pada pengalaman subjektif klien. Meningkatkan kebutuhan rasa
nyaman diartikan perawat telah memberikan kekuatan, harapan, hiburan,
dukungan, dorongan, dan bantuan. Secara umum dalam aplikasinya
pemenuhan kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan rasa nyaman bebas
24
dari rasa nyeri, dan hipo/hipertermia. Hal ini disebabkan karena kondisi
nyeri dan hipo/hipertermia merupakan kondisi yang mempengaruhi
perasaan tidak nyaman pasien yang ditunjukan dengan timbulnya gejala
dan tanda pada pasien.
1. Pengertian Nyeri
Menurut Kasiati & Rosmalawati Ni Wayan Dwi (2016), nyeri
merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang
disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri merupakan kondisi berupa
perasaan tidak menyenangkan bersifat sangat subyektif karena perasaan
nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya, dan
hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa
nyeri yang dialaminya. Menurut beberapa ahli, nyeri diartikan sebagai
berikut :
a. Mc. Coffery (1979), mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang
mempengaruhi seseorang yang keberadaannya diketahui hanya jika
orang tersebut pernah mengalaminya.
b. Wofl Weitzel Fuerst (1974), mengatakan bahwa nyeri merupakan
suatu perasaan menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang
bisa menimbulkan ketegangan.
c. Arthur C Curton (1983), mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu
mekanisme produksi tubuh, timbul ketika jaringan sedang di rusak dan
menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan
rangsangan nyeri.
d. Scrumum, mengartikan nyeri sebagai suatu keadaan yang tidak
menyenangkan akibat terjadinya rangsangan fisik maupun dari serabut
saraf dalam tubuh ke otak dan diikuti oleh reaksi fisik, fisiologis dan
emosional.
2. Fisiologi Nyeri
Terjadinya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya
rangsangan. Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan
ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit atau bahkan tidak
25
memiliki myelin, yang tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya pada
vicera, persendian, dinding arteri, hati dan kadung empedu. Reseptor nyeri
dapat memberikan respon akibat adanya stimulasi atau rangsangan.
Stimulasi tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti bradikinin, histamin,
prostaglandin, dan macam-macam asam yang dilepas apabila terdapat
kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigenasi. Stimulasi yang lain
dapat berupa termal, listrik atau mekanis.
3. Klasifikasi Nyeri
Secara umum nyeri dibedakan menjadi 2 yakni: nyeri akut dan nyeri
kronis. Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan
cepat menghilang, yang tidak melebihi 6 bulan dan ditandai adanya
peningkatan tegangan otot. Nyeri kronis adalah nyeri yang timbul secara
perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam waktu yang cukup lama, yaitu
lebih dari 6 bulan. Yang termasuk dalam nyeri kronis ini adalah nyeri
terminal, sindrom nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis. Bila ditinjau dari
sifat terjadinya, nyeri dibagi menjadi nyeri tertusuk dan nyeri terbakar.
Tabel 2.2
Klasifikasi Nyeri
Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis
Pengalaman Satu kejadian Satu situasi, status
eksistensi
Sumber Sebab eksternal/penyakit
dari dalam
Tidak diketahui atau
pengobatan yang
terlalu lama
Serangan Mendadak Bisa mendadak,
berkembang dan
terselubung
Waktu Sampai 6 bulan Lebih dari 6 bulan
sampai bertahun
tahun
26
Pernyataan nyeri Daerah nyeri tidak diketahui
dengan pasti
Daerah nyeri sulit
dibedakan
intensitasnya,
sehingga sulit
dievaluasi
Gejala-gejala
klinis
Pola respons yang khas
dengan gejala yang lebih
jelas
Pola respons yang
bervariasi dengan
sedikit gejala
(adaptasi)
Pola Terbatas Berlangsung terus,
dapat bervariasi
Perjalanan
Biasanya berkurang setelah
beberapa saat
Penderitaan
meningkat setelah
beberapa saat
Sumber: Barbara C Long, 1989
(Kasiati & Rosmalawati Ni Wayan Dwi, 2016)
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
Pengalaman nyeri seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal,
antara lain:
a. Arti nyeri
Arti nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir
sebagian arti nyeri merupakan arti yang negatif, seperti
membahayakan, merusak, dan lain-lain. Keadaan ini dipengaruhi
oleh berbagai faktor, seperti usia, jenis kelamin, latar belakang
sosial budaya, dan pengalaman.
b. Persepsi nyeri
Persepsi nyeri merupakan penilaian yang sangat subyektif
tempatnya pada korteks (pada fungsi evaluatif kognitif). Persepsi
ini dipengaruhi oleh faktor yang dapat memicu stimuli nociceptor.
27
c. Toleransi nyeri
Toleransi ini erat hubungannya dengan intensitas nyeri yang dapat
mempengaruhi kemampuan seseorang menahan nyeri. Faktor yang
dapat mempengaruhi peningkatan toleransi nyeri antara lain:
alkohol, obat-obatan, hipnotis, dan lain-lain. Sedangkan faktor
yang dapat menurunkan toleransi nyeri antara lain: kelelahan, rasa
marah, bosan, cemas, nyeri yang tidak kunjung hilang, sakit, dan
lain-lain.
d. Reaksi terhadap nyeri
Reaksi terhadap nyeri merupakan bentuk respons seseorang
terhadap nyeri, seperti ketakutan, gelisah, cemas, menangis, dan
menjerit. Semua ini merupakan bentuk respon nyeri yang dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti arti nyeri, tingkat persepsi
nyeri, pengalaman masa lalu, nilai budaya, harapan sosial,
kesehatan fisik dan mental, rasa takut, cemas, usia dan lain-lain.
(Kasiati & Rosmalawati Ni Wayan Dwi, 2016: 176-179).
C. Proses Asuhan Keperawatan Hipertensi
1. Pengkajian
Tahap pengkajian merupakan pemikiran dasar dalam memberikan
asuhan keperawatan sesuai kebutuhan individu. Pengkajian yang lengkap,
akurat, sesuai kenyataan, kebenaran data sangat penting untuk
merumuskan suatu diagnose keperawatan dan dalam memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan respon individu (Suarni Lisa & Heni Apriyani,
2017).
Menurut Nurhidayat Saiful (2015:98-99) pengkajian yang akan di dapat
pada klien hipertensi adalah :
1. Identitas
Pengkajian meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, suku,
pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, alamat, tanggal masuk RS,
tanggal pengkajian.
28
2. Aktivitas/ Istirahat
a. Gejala : kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton.
b. Tanda : Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung,
takipnea.
3. Sirkulasi
a. Gejala : Riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung
koroner/katup dan penyakit cebrocaskuler, episode palpitasi.
b. Tanda : Kenaikan TD, Nadi denyutan jelas dari karotis,
jugularis,radialis, tikikardi, murmur stenosis valvular, distensi vena
jugularis,kulit pucat, sianosis, suhu dingin (vasokontriksi perifer)
pengisian kapiler mungkin lambat / bertunda.
4. Integritas Ego
a. Gejala : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, factor stress
multiple (hubungan, keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan).
b. Tanda : Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan continue
perhatian,tangisan meledak, otot muka tegang, pernafasan menghela,
peningkatan pola bicara.
5. Eliminasi
a. Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau (seperti obstruksi atau
riwayatpenyakit ginjal pada masa yang lalu).
6. Makanan/cairan
a. Gejala: Makanan yang disukai yang mencakup makanan tinggi
garam, lemak serta kolesterol, mual, muntah dan perubahan BB
akhir akhir ini (meningkat/turun), riwayat penggunaan diuretic.
b. Tanda: Berat badan normal atau obesitas,, adanya edema, glikosuria.
7. Neurosensori
a. Genjala: Keluhan pening/pusing berdenyut, sakit kepala,
subojksipital (terjadi saat bangun dan menghilangkan secara spontan
setelah beberapa jam) Gangguan penglihatan (diplobia, penglihatan
kabur,epistakis).
b. Tanda: Status mental, perubahan keterjagaan, orientasi, pola/isi
bicara,efek, proses pikir, penurunan keuatan genggaman tangan.
29
8. Nyeri/ ketidaknyaman
a. Gejala: Angina (penyakit arteri koroner/ keterlibatan jantung), sakit
kepala.
9. Pola Iatirahat dan tidur
a. Kebutuhan istirahat akan terganggu karena sakit kepala, sehingga
klien tidak dapat istirahat secara optimal .
10. Pola aktivitas.
a. Klien mengalami gangguan dalam beraktifitas karena tubuh klien
yang lemah, sehingga perlu bantuan untuk kebutuhan sehari-harinya.
11. Pernafasan
a. Gejala: Dispnea yang berkaitan dari aktivitas/kerja takipnea,
ortopnea, dispnea, batuk dengan/tanpa pembentukan sputum,
riwayat merokok.
b. Tanda: Distress pernafasan/penggunaan otot aksesori pernafasan
bunyi nafas tambahan (krakties/mengi), sianosis.
12. Keamanan
a. Gejala: Gangguan koordinasi/cara berjalan, hipotensi postural.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Nurarif Amin Huda & Kusuma Hardi (2013:215),
diagnosa yang lazim muncul pada hipertensi sebagai berikut :
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan
afterload, vasokontriksi, hipertropi/rigiditas ventrikuler, iskemia
miokard ditandai dengan perubahan irama jantung, lelah, dyspnea,
perubahan kontraktilitas, perubahan preload, perubahan afterload, ,
cemas, gelisah
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan,
ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen ditandai dengan
klien mengatakan lelah saat beraktivitas, klien mengatakan
membutuhkan bantuan orang lain untuk berdiri dan berjalan
terutama saat ke kamar mandi, klien tampak dibantu oleh
keluarganya saat beraktivitas, klien tampak lemah setelah
30
beraktivitas, TD 220/140 mmHg klien berubah >20% dari kondisi
istirahat TD 210/130 mmHg
3. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler
serebral ditandai dengan klien mengatakan sakit kepala seperti
tertusuk-tusuk, klien mengatakan tengkuk berat seperti tertimpa
benda berat, klien mengatakan nyeri terus menerus, skala nyeri 6
(0-10), TD 210/130 mmHg klien tampak meringis
4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional sekunder adanya
hipertensi yang diderita klien ditandai dengan merasa bingung,
merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi, tampak
gelisah, tampak tegang, sulit tidur, mengeluh pusing, tremor
5. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan
ditandai dengan klien mengeluh sulit tidur karena bising, klien
mengatakan mudah terbangun saat tidur, klien mengatakan
kebutuhan tidurnya tidak terpenuhi 2-4 jam perhari, klien tampak
menguap, klien tampak lesu, mata klien tampak kemerahan
6. Resiko ketidakefektifan serebral berhubungan dengan hipertensi
3. Rencana Keperawatan
Menurut Anggi pebrina rizki fani munthe (2017) perencanaan
keperawatan disusun berdasarkan diagnosa keperawatan.
Komponen perencanaan keperawatan meliputi :
a. Prioritas masalah dengan kriteria : masalah-masalah yang
mengancam kehidupan merupakan prioritas pertama., masalah-
masalah yang mengancam kesehatan seseorang adalah prioritas
kedua, masalah-masalah yang mempengaruhi perilaku merupakan
prioritas ketiga.
b. Tujuan asuhan keperawatan dengan kriteria : spesifik, bisa diukur,
bisa dicapai, realistik, ada batas waktu.
c. Rencana tindakan berdasarkan tujuan asuhan keperawatan,
peraturan yang berlaku, lingkungan, sumber daya dan fasilitas yang
ada, menjamin rasa aman dan nyaman bagi pasien, kalimat dan
31
bahasa harus dumengerti oleh pasien , ringkas, tegas dengan
bahasanya mudah dimengerti. Yang telah dimodifikasi dalam
bentuk table 2.3
32
Tabel 2.3
Rencana Asuhan Keperawatan berdasarkan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI),
Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI)
No Diagnose Keperawatan Perencanaan
Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)
1 2 3 4
1 Penurunan curah jantung berhubungan
dengan peningkatan afterload,
vasokontriksi, hipertropi/rigiditas
ventrikuler, iskemia miokard
Definisi : ketidakadekuatan jantung
memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolism tubuh.
1. Curah Jantung
(L.02008)
Kriteria hasil :
a. Lelah (5)
b. Tekanan darah (5)
2. Tingkat Keletihan
(L.05046)
Kriteria hasil :
1. Perawatan Jantung
(I.02075)
a. Identifikasi tanda /
gejala primer penurunan
curah jantung (meliputi
dyspnea,
kelelahan,edema,
ortopnea, paroxysmal
nocturnal dyspnea,
peningkatan CVP)
b. Monitor tekanan darah
33
1 2 3 4
Gejala dan Tanda Minor :
a. Bradikardiia/takikardi
b. Gambaran EKG aritmia atau
gangguan kondiksi
c. Tekanan darah meningkat
d. Nadi periver teraba lemah
e. Terdengar suara jantung S3
dan/atau S4
f. Cemas
g. Gelisah
Penyebab :
a. Perubahan irama jantung
b. Perubahan frekuensi jantung
a. Lesu (5)
b. Sakit kepala (5)
(termasuk tekanan
darah ortostatik, jika
perlu)
c. Periksa tekanan darah
dan frekuensi nadi
sebelum dan sesudah
aktivitas
2. Pemantauan Tanda Vital
(I.02060)
a. Monitor tekanan darah
b. Identifikasi penyebab
perubahan tanda vital
34
1 2 3 4
c. Perubahan kontraktilitas
d. Perubahan preload
e. Perubahan afterload
2 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
kelemahan, ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen
Definisi : ketidakcukupan energy untuk
melakukan aktivitas sehari-hari.
Gejala dan Tanda Mayor :
1. Mengeluh lemah
2. Dyspnea saat/setelah beraktivitas
3. Merasa tidak nyaman setelah
1. Toleransi Aktivitas
(L.05047)
Kriteria hasil :
a. Kemudahan dalam
aktivitas sehari – hari
(5)
b. Perasaan lemah (5)
c. Tekanan darah (5)
1. Manajemen Energi
(I.05178)
a. Monitor lokasi dan
ketidaknyamanan selama
melakukan aktivitas
b. Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah
stimulus (cahaya,suara,
kunjungan)
c. Anjurkan tirah baring
35
1 2 3 4
beraktivitas
4. Merasa lemah
5. Frekuensi jantung meningkat <20%
dari kondisi istirahat
Penyebab :
a. Ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen
b. Tirah baring
c. Kelemahan
d. Imobilitas
e. Gaya hidup monoton
2. Tingkat Keletihan
(L.05046)
Kriteria hasil :
a. Kemampuan
melakukan aktivitas
rutin (5)
b. Lesu (5)
c. Sakit kepala (5)
2. Terapi Aktivitas (I.05186)
a. Fasilitasi focus pada
kemampuan, bukan
defisit yang dialam
b. Fasilitasi aktivitas rutin
(ambulasi, mobilisasi,
dan perawatan diri)
sesuai kebutuhan klien
c. Fasilitasi
mengembangkan
motivasi dan penguatan
diri
36
1 2 3 4
3 Nyeri akut berhubungan dengan
peningkatan tekanan vaskuler serebral
Definisi : pengalaman sensorik atau
emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan actual atau fungsional,
dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang
berlangsung kurang dari 3 bulan.
Tanda dan Gejala Mayor :
a. Mengeluh nyeri
b. Tampak meringis
c. Bersikap protektif (mis. waspada,
posisi menghindari nyeri)
1. Control Nyeri (L.08063)
Kriteria hasil :
a. Mengenali kapan nyeri
terjadi (5)
b. Mengenali factor
penyebab nyeri (5)
c. Menggunakan teknik
pengurangan nyeri, non
farmakologis (5)
2. Mobilitas Fisik
(L.05042)
Kriteria hasil :
a. Nyeri (5)
b. Sakit kepala (5)
1. Manajemen Nyeri
(I.08238)
a. Identifikasi lokasi,
karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas,
intensitas, nyeri
b. Identifikasi factor yang
memperberat dan
memperingan nyeri
c. Identifikasi skala nyeri
d. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(teknik relaksasi dan
kompres hangat daerah
yang terasa nyeri )
e. Control lingkungan
37
1 2 3 4
d. Gelisah
e. Frekuensi meningkat
f. Sulit tidur
g. Tekanan darah meningkat
h. Pola nafas berubah
i. Proses berfikir terganggu
j. Menarik diri
k. Berfokus pada diri sendiri
l. Diaphoresis
Penyebab :
a. Agen pencedera fisik (mis.
inflamasi, iskemia, neoplasma)
yang dapat memperberat
nyeri (suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan)
f. Berikan terapi kolabora
untuk mengatasi
g. pepeningkatan vaskuler
serebral
2. Pemberian Analgesik
(I.08243)
a. Identifikasi karakteristik
nyeri (pencetus, Pereda,
kualitas, lokasi,
intensitas, frekuensi,
durasi)
b. Identifikasi riwayat alergi
38
1 2 3 4
b. Agen pencedera kimiawi (mis.
terbakar, bahan kimia iritan)
c. Agen pencedera fisik (mis. abeses,
amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi,
trauma, latihan fisik berlebih)
obat
c. Monitor tanda-tanda vital
sebelum dan sesudah
pemberian analgetik
d. Evaluasi keefektifan
analgesic
e. Dokumentasikan respon
terhadap analgestik dan
adanya efek samping
4 Ansietas berhubungan dengan krisis
situasional sekunder adanya hipertensi
yang diderita klien
Definisi : kondisi emosi dan pengalaman
subyektif individu terhadap objek yang
tidak jelas spesifik akibat antisipasi bahaya
yang memungkinkan individu melakukan
1. Tingkat Ansietas
(L.09093)
Kriteria hasil :
a. Perilaku gelisah (5)
b. Keluhan pusing (5)
c. Pola tidur (5)
1. Reduksi Ansietas
(I.09314)
a. Identifikasi saat tingkat
ansietas berubah (mis.
kondisi,waktu, stressor)
b. Identifikasi kemampuan
mengambil keputusan
c. Monitor tanda-tanda
39
1 2 3 4
tindakan untuk menghadapi ancaman
Gejala dan Tanda Mayor :
a. Merasa bingung
b. Merasa khawatir dengan akibat dari
kondisi yang dihadapi
c. Sulit berkonsentrasi
d. Mengeluh pusing
e. Tampak gelisah
f. Tampak tegang
g. Sulit tidur
h. Tekanan darah meningkat
i. Tremor
2. Proses Informasi
(L.10100)
Kriteria hasil :
a. Memahami kalimat (5)
b. Memahami cerita (5)
c. Proses pikir logika (5)
ansietas (verbal dan
nonverbal)
d. Ciptakan suasana teraupetik
untuk menumbuhkan
kepercayaan
e. Pahami situasi yang
membuat ansietas
f. Gunakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan
g. Motivasi mengidentifikasi
situasi yang memicu
kecemasan
40
1 2 3 4
Penyebab :
a. Krisis situsional
b. Kebutuhan tidak terpenuhi
c. Krisis maturasional
d. Ancaman terhadap konsep diri
e. Ancaman terhadap kematian
f. Kekhawatiran mengalami kegagalan
g. Disfungsi system keluarga
h. Hubungan orangtua-anak tidak
memuaskan
i. Factor keturunan (tempramen
mudah teragitasi sejak lahir)
j. Penyalahgunaan zat
2. Terapi Relaksasi (I.09326)
a. Identifikasi tempat
yang tenang dan
nyaman
Monitor berkala untuk
memastikan otot rileks
b. Atur lingkungan yang
agar tidak ada
gangguan saat terapi
c. Berikan posisi
bersandar pada kursi
atau posisi lainnya
yang nyaman
Hentikan sesi relaksasi
yang nyaman
41
1 2 3 4
k. Terpapar bahaya lingkungan (mis.
toksin, pelutan, dll)
l. Kurang terpapar informasi
d. Beri waktu
mengungkapkan
perasaan yang tentang
terapi
e. Anjurkan memakai
pakaian yang nyaman
5 Gangguan pola tidur berhubungan dengan
hambatan lingkungan (kebisingan)
Definisi : gangguan kualitas dan kuantitas
waktu tidur akibat faktor eksternal.
Gejala dan Tanda Mayor :
a. Mengeluh sulit tidur
b. Mengeluh sulit terjaga
c. Mengeluh tidak puas tidur
d. Mengeluh pola tidur berubah
1. Pola Tidur (L.05045)
Kriteria hasil :
a. Keluhan sulit tidur (5)
b. Keluhan sering terjaga
(5)
c. Keluhan tidak puas
tidur (5)
d. Keluhan istirahat tidak
cukup (5)
1. Dukungan Tidur
(I.05174)
a. Identifikasi pola aktivi-
tas dan tidur
b. Identifikasi factor
pengganggu tidur (fisik
dan atau
psikologis)
c. Identifikasi makanan
dan minuman yang
mengganggu tidur (kopi,
42
1 2 3 4
d. Mengeluh istirahat tidak cukup
e. Mengeluh kemampuan beraktivitas
menurun
Penyebab :
a. Hambatan lingkungan
(mis.Kelembapan lingkungan
sekitar, suhu lingkungan,
pencahayaan, kebisingan, bau tidak
sedap, jadwal
pemantauan/pemeriksaan/tindakan)
b. Kurangnya control tidur
c. Kurangnya privasi
d. Restraint fisik
e. Ketiadaan teman tidur
f. Tidak familiar dengan pelatan tidur
2. Tingkat Keletihan
(L.05046)
Kriteria hasil :
a. Pola istirahat (5)
teh, alcohol, makan
mendekasti waktu tidur,
minum banyak air
sebelum tidur)
d. Modifikasi lingkungan
(pencahayaan,
kebisingan, suhu,
matras, dan tempat
tidur)
e. Lakukan prosedur untuk
meningkatkan
f. kenyamanan (pijat, pe-
ngaturan posisi)
g. Anjurkan menghindari
makanan dan minuman
yang mengganggu tidur
h. Ajarkan relaksasi otot
autogeni
43
1 2 3 4
2. Pengaturan Posisi
(L.01019)
a. Atur posisi tidur yang
disukai
b. Tinggikan tempat tidur
bagian kepala
6 Resiko ketidakefektifan serebral ditandai
dengan hipertensi
Definisi : beresiko mengalami penurunan
sirkulasi darah pada level kapiler yang
dapat mengganggu metabolisme tubuh.
Factor Resiko :
a. Hiperglikemia
b. Buerger’s disease
1. Perfusi Perifer
(L.02011)
Kriteria hasil:
a. Nyeri ekstremitas (5)
b. Kelemahan otot (5)
c. Pengisian kapiler (5)
1. Perawatan Sirkulasi
(I.02079)
a. Periksa sirkulasi
perifer (mis. nadi
perifer, edema,
pengisian kapiler,
warna, suhu
anklebrachial index)
b. Monitor panas,
44
1 2 3 4
c. Varises
d. Diabetes mellitus
e. Hipotensi
f. Kanker
2. Mobilitas Fisik
(L.05042)
Kriteria hasil:
a. Rentang gerak (ROM)
(5)
b. Nyeri (5)
c. Kelemahan fisik (5)
kemerahan, nyeri, atau
bengkak pada
ekstremitas
Hindari pemasangan
infus atau pengambilan
darah di area
keterbatasan perfusi
d. Anjurkan minum obat
pengontrol tekanan
darah secara teratur
2. Pemantauan Tanda Vital
(I.02060)
a. Monitor tekanan
darah
b. Monitor nadi
(frekuensi, kekuatan,
irama)
45
1 2 3 4
c. Monitor pernapasan
(frekuensi, kondisi
klien)
d. Dokumentasi hasil
pemantauan
46
4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status
kesehatan yang di hadapi ke status kesehatan yang lebih baik, yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. (Gordon,1994, dalam
Potter & Perry, 1997). Tahapan implementasi adalah pelaksanaan
sesuai rencana yang sudah disusun pada tahap sebelumnya. (Suarni
Lisa & Apriyani Heni, 2017:20).
Observasi adalah aktivitas terhadap suatu proses atau objek dengan
maksud merasakan dan kemudian memahami pengetahuan dari sebuah
fenomena berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang sudah diketahui
sebelumnya, untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan
untuk melanjutkan suatu penelitian.
Tindakan mandiri atau teraupetik adalah tindakan perawat
profesioal dalam memberikan asuhan keperawatan secara
komprehensif pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan yang
dilandasi dengan keilmuan khusus, pengambilan keputusan dan
keterampilan perawat berdasarkan aplikasi ilmu sesuai lingkup
kewenangan dan tangungjawab.
Edukasi adalah proses pembelajaran yang bertujuan untuk
mengembangkan potensi diri pada peserta didik dan mewujudkan
proses pembelajaran yang lebih baik.
Kolaboratif adalah situasi dimana terdapat dua atau lebih orang
belajar atau berusaha untuk belajar sesuatu secara bersama-sama.
5. Evaluasi
Dalam buku Suarni Lisa & Apriyani Heni (2017:20) meskipun
proses keperawatan mempunyai tahap-tahap, namun evaluasi
berlangsung terus-menerus sepanjang pelaksanaan proses keperawatan
(AlfaroLeVere, 1998). Tahap evaluasi merupakan perbandingan yang
sistematik dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang
telah ditetapkan, dilakukan berkesinambungan dengan melibatkan
47
klien dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi dalam keperawatan
merupakan kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan yang telah
ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara
optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.
Menurut Craven dan Hirnle (2000) evaluasi didefinisikan sebagai
keputusan dari efektifitas asuhan keperawatan antara dasar tujuan
keperawatan klien yang telah ditetapkan dengan respon perilaku klien
yang tampil. (Suarni Lisa & Apriyani Heni, 2017: 20).