BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10005/2/T1... · 2017-02-24 · 10...

26
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Untuk mendukung serta memberikan arah yang jelas bagi terlaksananya penelitian ini, perlu adanya teori-teori yang dapat dijadikan sebagai acuan. Secara jelas, sebuah penelitian tidak akan kuat apabila tidak ada teori teori pendukung yang kuat. Rakhmat (2000) mengatakan bahwa sebuah penelitian membutuhkan teori- teori pendukung yang relevan dengan penelitian. Oleh karena itu, tahapan ini menghadirkan teori-teori pendukung sesuai topik atau aspek-aspek yang dibahas. Berikut ini adalah teori-teori yang menjadi acuan dalam penelitian ini. 2.1. Moral Salah satu hal mendasar manusia yang dapat membentuk serta memberi arah bagi perkembangan kehidupannya ke depan adalah bagaimana manusia itu hidup dalam suatu tatanan kehidupan yang baik. Dalam hal ini, manusia akan mampu bertahan hidup serta berada dalam berbagai kondisi kehidupan apabila hidupannya mencerminkan budi pekerti yang baik, akhlak serta karakter yang berkualitas khususnya ketika bersosialisasi dengan lingkungannya. Selain kemampuan kognitif yang sempurna, moralitas yang baik menjadi acuan yang memberi arah atau petunjuk hidup. Moral yang baik dan berkualitas adalah kunci bagi individu untuk menapaki hidupnya sehari-hari. Apa itu moral dan seberapa pentingnya aspek ini bagi kehidupan dapat dilihat pada poin-poin pembahasan berikut. 2.1.1 Pengertian Moral Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Kata moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani Kuno, yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau cara berfikir. Sjarkawi (2005) mengemukakan bahwa moral

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10005/2/T1... · 2017-02-24 · 10...

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Untuk mendukung serta memberikan arah yang jelas bagi terlaksananya

penelitian ini, perlu adanya teori-teori yang dapat dijadikan sebagai acuan. Secara

jelas, sebuah penelitian tidak akan kuat apabila tidak ada teori–teori pendukung yang

kuat. Rakhmat (2000) mengatakan bahwa sebuah penelitian membutuhkan teori- teori

pendukung yang relevan dengan penelitian. Oleh karena itu, tahapan ini

menghadirkan teori-teori pendukung sesuai topik atau aspek-aspek yang dibahas.

Berikut ini adalah teori-teori yang menjadi acuan dalam penelitian ini.

2.1. Moral

Salah satu hal mendasar manusia yang dapat membentuk serta memberi arah

bagi perkembangan kehidupannya ke depan adalah bagaimana manusia itu hidup

dalam suatu tatanan kehidupan yang baik. Dalam hal ini, manusia akan mampu

bertahan hidup serta berada dalam berbagai kondisi kehidupan apabila hidupannya

mencerminkan budi pekerti yang baik, akhlak serta karakter yang berkualitas

khususnya ketika bersosialisasi dengan lingkungannya. Selain kemampuan kognitif

yang sempurna, moralitas yang baik menjadi acuan yang memberi arah atau petunjuk

hidup. Moral yang baik dan berkualitas adalah kunci bagi individu untuk menapaki

hidupnya sehari-hari. Apa itu moral dan seberapa pentingnya aspek ini bagi

kehidupan dapat dilihat pada poin-poin pembahasan berikut.

2.1.1 Pengertian Moral

Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin,

bentuk jamaknya mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam

Kamus Bahasa Indonesia (2008), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau

susila. Kata moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang berasal dari kata

ethos dalam bahasa Yunani Kuno, yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak,

perasaan, sikap, atau cara berfikir. Sjarkawi (2005) mengemukakan bahwa moral

9

merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang patut dan

tidak patut dilakukan. Selain itu moral juga merupakan seperangkat keyakinan dalam

suatu masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa yang

seharusnya dilakukan oleh manusia.

Dalam Ensiklopedia Pendidikan, moral diartikan sebagai nilai atau dasar

dalam masyarakat untuk menentukaan baik atau buruknya suatu tindakan yang pada

akhirnya menjadi adat istiadat suatu kelompok. Hurlock (2007) mengatakan bahwa

yang dimaksud dengan moral adalah tata cara, kebiasaan dan adat di mana dalam

perilaku dikendalikan oleh konsep-konsep moral yang memuat peraturan yang telah

menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang menentukan dalam perilaku

yang diharapkan oleh seluruh anggota kelompok tersebut. Sedangkan Hurlock (dalam

Ali dan Asrori, 2010), mengatakan bahwa moral adalah sopan santun, kebiasaan, adat

istiadat dan aturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya.

Ahli lain seperti Rogers (dalam Ali dan Asrori, 2010) mendefinisikan moral

sebagai kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan

sosial secara harmonis, seimbang dan adil. Perilaku moral ini diperlukan demi

terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, keharmonisan dan ketertiban.

Sedangkan menurut Gunarsa (dalam Ali dan Asrori, 2010) moral adalah rangkaian

nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi. Istilah moral sendiri

berasal dari kata mores yang berarti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat atau

kebiasaan. Sementara itu, Wantah (2005) mendefinisikan moral sebagai sesuatu yang

harus dilakukan dan tidak ada hubunganya untuk menentukan siapa yang benar dan

perilaku yang baik dan buruk.

Melihat definisi-definisi tersebut di atas, sangatlah perlu untuk

memperhatikan moral sebagai aspek yang hakiki sebagai pedoman bagi kehidupan

manusia. Individu yang bermoral memberi serta menunjukan arti hidupnya bagi orang

lain. Individu yang bermoral memberi patokan bagi sesama dalam bersikap. Individu

yang bermoral menghadirkan suatu atmosfir kehidupan yang berkualitas.

10

2.1.2 Tahapan Perkembangan Moral

Kohlberg, seorang ahli perkembangan moral dalam Haditono (1999), membagi

perkembangan moral ke dalam 3 (tiga) tingkatan yang masing-masing dibagi ke

dalam 2 (dua) stadium sehingga terdapat 6 stadium, sebagai berikut:

Tingkatan I, Penalaran moral yang pra-konvensional

Tingkatan ini mendasarkan pada objek di luar individu sebagai ukuran benar atau

salah. Stadiumnya adalah sebagi berikut:

Stadium 1: Orientasi patuh dan takut pada hukum, artinya suatu tingkah laku dinilai

benar apabila tidak dikenakan hukuman dan salah apabila dikenakan

hukuman. Di sini, hukum sebagai otoritas harus dipatuhi karena hukum

berkuasa.

Stadium 2: Orientasi naif egoistis/hedonisme instrumental. Stadium ini mendasarkan

pada orang atau kejadian di luar diri individu dengan memperhatikan

alasannya melakukan sesuatu. Sebagai contoh, mencuri dinilai salah,

tetapi masih bisa dimaafkan jika alasannya adalah untuk memenuhi

kebutuhan dirinya atau orang lain yang disenangi.

Tingkatan II, Penalaran moral yang konvensional.

Tingkatan ini berdasar pada pengharapan sosial di mana suatu perbuatan dianggap

benar jika sesuai dengan peraturan dalam masyarakat. Stadiumnya sebagai berikut:

Stadium 3: Orientasi anak atau person yang baik. Anak menilai perbuatan dikatakan

baik jika suatu perbuatan menyenagkan orang lain Jika seorang anak

dapat melakukan apa yang diharapkan oleh orang lain atau masyarakat,

maka ia dipandang sebagai anak yang bermoral baik. Jika tidak, ia tidak

akan dianggap sebagai anak yang baik.

Stadium 4: Orientasi pelestarian otoritas dan aturan sosial, artinya, anak memandang

aturan sosial sebagai sesuatu yang perlu dijaga atau dilestarikan. Apabila

seseorang “melakukan tugasnya”, maka ia dipandang bermoral sehingga

dapat melestarikan aturan dan sistim sosial.

Tingkatan III, Penalaran moral yang post-konvensional

11

Tingkatan ini memandang bahwa aturan-aturan dalam masyarakat tidak absolut tetapi

relatif; dapat diganti dengan yang lain.

Stadium 5: Orientasi kontrol legalistis, memahami bahwa aturan-aturan dalam

masyarakat merupakan kontrol (perjanjian) antara diri orang dan

masyarakat. Di sini, individu dituntut untuk memenuhi kewajibannya,

sedangkan masyarakat dituntut pula untuk menjamin kesejahteraan

individu. Peraturan dalam masyarakat bersifat subjektif.

Stadium 6: Orientasi yang berdasar pada prinsip serta konsensia sendiri. Dalam

stadium ini, peraturen dan norma hingga batasan-batasannya dianggap

subjektif dan tidak pasti. Dengan demikian, ukuran penilaian tingkah laku

moral adalah konsensia masing-masing pribadi. Prinsipnya sendiri lepas

dari segala norma yang ada. Kohlberg menganggap prinsip ini sebgai

prinsip moral yang universal di mana suatu norma moral yang dasarnya

ada pada konsensia orang itu sendiri.

2.1.3 Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Krisis Moral

Adapun yang menjadi akar masalah penyebab timbulnya krisis moral dalam

masyarakat cukup banyak, yang terpenting diantaranya adalah:

Pertama, krisis moral terjadi karena longgarnya pegangan terhadap agama

yang menyebabkan hilangnya pengontrol diri dari dalam (self-control). Selanjutnya

alat pengontrol perpindahan kepada hukum dan masyarakat. Namun karena hukum

dan masyarakat juga sudah lemah, maka hilanglah seluruh alat kontrol. Akibatnya

manusia dapat berbuat sesuka hati dalam melakukan pelanggaran tanpa ada yang

menegur.

Kedua, krisis moral terjadi karena pembinaan moral yang dilakukan oleh

orang tua, sekolah dan masyarakat sudah kurang efektif. Bahwa penanggung jawab

pelaksanaan pendidikan di negara kita adalah keluarga, masyarakat dan pemerintah.

Ketiga institusi pendidikan sudah terbawa oleh arus kehidupan yang mengutamakan

materi tanpa diimbangi dengan pembinaan mental spiritual.

12

Ketiga, krisis moral terjadi karena derasnya arus budaya hidup materialistik,

hedonistik dan sekularistik. Derasnya arus budaya yang demikian didukung oleh para

penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dengan

memanfaatkan para remaja tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan moral

para generasi penerus bangsa.

Keempat, krisis moral terjadi karena belum adanya kemauan yang sungguh-

sungguh dari pemerintah untuk memperbaiki moral hidup bangsa. Kekuasaan, dana,

tekhnologi, sumber daya manusia, peluang dan sebagainya yang dimiliki pemerintah

belum banyak digunakan untuk melakukan pembinaan akhlak bangsa. Hal ini

semakin diperparah dengan ulah penguasa yang semata- mata mengejar kedudukan,

kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara yang tidak mendidik, sepeati adanya

praktek korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN).

Krisis moral pun dapat terjadi terjadi karena pendidikan moral tidak terjadi

seperti yang diharapkan. Pembinaan moral seharusnya terjadi sejak anak masih dini.

Pembinaan ini pun harus memperhatikan usia serta kemampuannya. Alasannya

adalah anak belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Anak

pun belum benar-benar memahami batas-batas dan ketentuan-ketentuan moral yang

berlaku di lingkungan tempat ia tinggal. Jika anak tidak diperkenalkan dengan sikap-

sikap yang dianggap baik untuk pertumbuhan moralnya, maka anak akan tumbuh

menjadi dewasa tanpa mengenal moral itu sendiri.

Selanjutnya, suasana keluarga atau rumah tangga yang kurang baik pun dapat

menghambat pertumbuhan moral anak. Kurangnya saling pengertian, saling

menerima, saling menghargai antara suami dan istri, tidak adanya kerukunan orang

tua menyebabkan anak menjadi takut, gelisah, cemas dan akibat-akibat lain yang

kurang baik bagi psikologi anak. Tidak mengherankan jika anak-anak akhirnya

terdorong untuk melakukan hal-hal yang merupakan ungkapan hatinya yang dapat

meresahkan serta mengganggu ketentraman orang lain. Masalah lain adalah

penggunaan atau mengkonsumsi obat-obatan yang dilarang seperti obat anti hamil.

Usia muda adalah usia peralihan yang membuat orang semaunya saja melakukan

13

segala sesuatu untuk memuaskan hawa nafsu mereka. Mereka gampang dibujuk

untuk melakukan hal-hal yang tentu saja merusak moralitas mereka sendiri.

Hal terakhir selain yang tidak disebutkan dalam tulisan ini adalah kurangnya

yang menghambat pertumbuhan moral adalah kurangnya kesadaran untuk mengatur

waktu luang dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat dengan cara yang baik dan

sehat. Hal tersebut mendorong anak-anak untuk memikirkan hal-hal lain yang tidak

membangun yang tentunya merusak pertumbuhan moral mereka. Oleh karena itu,

memperhatikan kelemahan-kelemahan tersebut di atas, perlu adanya langkah-langkah

atau tindakan-tindakan yang nyata agar dapat membimbing anak-anak

menghindarinya. Pembenahan yang secara terus-menerus dilakukan mulai dari

lingkungan keluarga, diri anak sendiri dan lingkungan yang lebih besar pastinya akan

sangat bermanfaat dan memberi solusi positif bagi pembentukan moral mereka.

2.2. Anak Usia Dini (AUD)

Usia dini merupakan salah satu tahapan usia pertumbuhan dan perkembangan

seorang individu. Masa ini disebut sebagai masa emas atau golden age karena pada

masa ini otak menerima dan menyerap berbagai macam informasi, tidak melihat baik

dan buruk. Itulah masa-masa di mana perkembangan fisik, mental maupun spiritual

anak mulai terbentuk. Cerminan kehidupan masa depan anak dapat dilihat serta

terbentuk pada masa ini. Oleh karena itu, pembentukan kepribadian anak sangat

penting dilakukan pada usia tersebut.

2.2.1. Pengertian Anak Usia Dini

Kehidupan seseorang tidak pernah terlepas dari masa anak-anak. Masa anak-

anak menjadi masa awal kehidupan seseorang yang tidak bisa diulangi. Manusia

dewasa bisa kembali dalam dunia anak- anak namun anak- anak tidak mampu

menjadikan dirinya sebagai sosok seorang manusia dewasa sehingga masa ini

menjadi hal yang mempunyai peranan yang krusial dalam menentukan kehidupan

seseorang di masa mendatang. Oleh sebab itu, masa ini biasanya disebut dengan masa

emas atau “golden age”.

14

Menurut Isjoni, (2009), anak usia dini adalah individu yang sedang

mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Anak usia dini

merupakan anak yang berusia 0-6 tahun. Mereka adalah individu yang sedang

mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, bahkan

dikatakan sebagai lompatan perkembangan. Karena itulah, maka usia dini dikatakan

sebagai usia emas, yaitu usia yang sangat berharga dibanding usia-usia

selanjutnya.

Anak usia dini memiliki potensi genetik dan siap untuk dikembangkan melalui

pemberian berbagai rangsangan. Sehingga pembentukan perkembangan selanjutnya

dari seorang anak sangat ditentukan pada masa-masa awal perkembangan anak. Masa

kanak-kanak merupakan masa saat anak belum mampu mengembangkan potensi yang

ada dalam dirinya. Mereka cenderung senang bermain pada saat yang bersamaan,

ingin menang sendiri dan sering mengubah aturan main untuk kepentingan diri

sendiri. Dengan demikian, dibutuhkan upaya pendidikan untuk mencapai optimalisasi

semua aspek perkembangan, baik perkembangan fisik maupun perkembangan psikis.

Potensi anak yang sangat penting untuk dikembangkan.

2.2.2. Tahapan Perkembangan Anak Usia Dini (AUD)

Perkembangan anak menurut Piaget ditinjau dari aspek kognitif. Piaget

membagi perkembangan kognitif anak kedalam 4 tahapan yaitu

a) Tahap Sensori motor

Tahap sensori motor terjadi pada umur 0-2 tahun. Tahap ini ditandai dengan

perilaku suka meniru dan bertindak secara refleks dari anak. Anak- anak pada tahap

ini hanya akan memikirkan apa yang terjadi sekarang. Mereka akan meniru apa yang

dilakukan oleh orang dewasa. Oleh sebab itu, penanaman dan pembentukan moral

pada anak usia ini dilakukan dengan cara meniru dimana orang dewaa menjadi subjek

teladan yang akan ditiru.

15

b) Tahap Praoperasional

Usia 2-7 tahun masuk didalam tahap praoperasional. Pada tahapan ini, anak-

anak mulai menggunakan simbol dan bahasa dimana melalui simbol dan bahasa, anak

mulai dapat memikirkan sesuatu yang tidak terjadi sekarang melainkan sesuatu yang

sudah berlalu. Bahasa juga membantu anak menggungkapkan sesuatu yang lebih luas

dari pada sesuatu yang sekedar dijamah dan dilihat olehnya. Sikap anak- anak pada

tahapan ini juga masih bersifat egosentris dimana pikiran mereka hanya terfokus pada

diri sendiri dan bukan orang lain. Sehingga, penanaman nilai moral mulai dapat

dilakukan oleh orang dewasa melalui bahasa yang singkat dan tepat.

c) Tahap Operasional Kongkret

Anak- anak usia 7-11 tahun pada tahapan ini sudah mulai berpikir

transformasi reversible (dapat dipertukarkan) dan kekekalan. Anak sudah mulai

mengerti adanya perpindahan benda, mulai dapat membuat klasifikasi, namun

dasarnya masih pada hal yang kongkret. Anak juga mengerti persoalan sebab akibat.

Sehingga, dalam penanaman dan pengembangan moral sudah dapat dikenalkan suatu

tindakan dengan akibat yang baik maupun tidak.

d) Tahap Operasional Formal

Pada tahap ini, anak usia 11 tahun ke atas sudah mulai berpikir formal dan

abstrak. Anak sudah mulai dapat membatasi pikirannya pada yang sekarang dan juga

dapat berpikir tentang yang akan datang dan sesuatu yang diandaikan. Anak pada

tahap ini juga sudah dapat diajak untuk menyadari apa yang dibuatnya dengan

alasannya. Untuk itu, pada tahapan ini anak sudah mulai dapat diajak untuk

berdiskusi menemukan nilai yang baik dan yang tidak baik.

2.2.3 Karakteristik Anak Usia Dini (AUD)

Memahami karakter anak usia dini (AUD) sangatlah penting sebelum

menanamkan konsep moral bagi mereka. Anak usia dini dikenal sebagai manusia

yang unik. Mereka terkadang lebih dari orang-orang dewasa yang sulit diterka atau

diduga bila dilihat dari bicara, tingkah laku maupun pikirannya. Anak usia dini

memiliki karakteristik tersendiri (Isjoni, 2009), diantaranya sebagai berikut;

16

a. Usia 0-1 tahun

Pada masa bayi perkembangan fisik mengalami kecepatan luar biasa,

paling cepat dibanding usia selanjutnya. Berbagai karakteristik usia bayi diantaranya

mempelajari keterampilan motorik mulai dari berguling, merangkak, duduk,

berdiri, dan berjalan, menggunakan panca indera dan mulai mempelajari

komunikasi sosial.

b. Usia 2-3 tahun

Anak pada usia ini memiliki karakteristik yang sama dengan usia selanjutnya,

secara fisik anak mengalami pertumbuhan yang pesat. Anak sangat aktif

mengeksplorasi benda-benda yang ada disekitarnya, mulai mengembangkan

kemampuan berbahasanya serta mulai mencoba mengembangkan emosi.

c. Usia 4-6 tahun

Karakteristik anak pada usia ini yang berkaitan dengan perkembangan fisik

yaitu anak mulai sangat aktif melakukan beragam kegiatan. Perkembangan bahasa

anak semakin baik dan perkembangan kognitifnya pun sangat pesat. Namun, bentuk

permainan anak pada usia ini masih bersifat individu.

Fokus penelitian ini adalah anak-anak prasekolah (AUD) yang berusia 4-6

tahun. Mereka adalah anak-anak yang sementara mempersiapkan diri untuk

memasuki jenjang pendidikan berikutnya (sekolah). Oleh karena itu, pembentukan

moral bagi anak-anak di usia tersebut perlu menjadi prioritas yang semestinya

dilakukan oleh guru sebagai pendidik. Secara jelas, anak pada usia ini sangat aktif

dalam melakukan berbagai kegiatan khususnya kegiatan-kegiatan yang berkaitan

denga fisik. Hal tersebut tentunya bermanfaat bagi perkembangan otot mereka.

Perkembangan bahasa mereka pun pesat. Mereka sudah mampu memahami

maksud pembicaraa orang lain dan mengungkapkan pikirannya dalam batas-batas

tertentu. Di sisi lain, perkembangan kognitif (daya pikir) mereka semakin baik. Ini

ditunjukkan melalui rasa ingin tahu anak yang luar biasa terhadap lingkungan sekitar.

Adapun bentuk permainannya juga masih bersifat individu, bukan permainan sosial

walaupun aktivitas permainan dilakukan secara bersama-sama.

17

Karakteristik di atas memberi gambaran mengenai bagaimana agresifitas anak

pada usia ini teristimewa dalam memahami hal-hal baru dalam kehidupannya.

Meskipun demikian, sifat individualistik mereka juga nampak seperti yang terdapat

pada poin terakhir. Karena itu, akan sangat tepat jika anak pada usia ini mendapatkan

penekanan khususnya dalam pembentukan pertumbuhan moralnya ke depan.

2.2.4. Aspek-Aspek Perkembangan Anak Usia Dini

Banyak aspek – aspek perkembangan anak usia dini. Secara internasional, ada

beberapa aspek – aspek perkembangan pada anak usia dini yaitu

a. Perkembangan fisik motorik, baik fisik motorik kasar maupun fisik motorik halus.

Motorik kasar merupakan gerakan tubuh yang merupakan otot – otot besar,

sebagian besar atau seluruh anggota tubuh. Sedangkan motorik halus adalah

kemampuan yang berhubungan dengan otot – otot kecil dan koordinasi mata dan

tangan.

b. Perkembangan emosional dan sosial. Perkembangan emosional berkaitan dengan

segala sesuatu yang berhubungan dengan perasaan anak. Sedangkan

perkembangan social berkaitan dengan interaksi anak dengan lingkungan di sekitar

anak.

c. Perkembangan kognitif/intelektual. Perkembangan kognitif/intelektual berkaitan

dengan perkembangan anak untuk menggunakan bahasa.

Namun, ketiga aspek perkembangan tersebut tidak mutlak. Ketiga aspek ini

digunakan atau menjadi acuan dalam menentukan aspek – aspek perkembangan anak,

baik itu dalam menyusun program belajar bagi anak maupun menjadi pedoman untuk

bersama mendidik anak usia dini. Sedangkan menurut Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan RI (2014) tentang Kurikulum 2013 yang mengatur tentang pendidikan

anak usia dini terdapat 4 kompetensi dasar perkembangan anak usia dini yang

meliputi

1. Kompetensi inti spiritual. Perkembangan anak mengenai ajaran agama yang

dianutnya.

18

2. Kompetensi inti sosial, perkembangan yang meliputi kemampuan anak untuk

memiliki perilaku hidup sehat, rasa ingin tahu, kreatif dan estetis, percaya diri,

disiplin, mandiri, peduli, mampu menghargai dan toleran kepada orang lain,

mampu menyesuaikan diri, tanggungjawab, jujur, rendah hati dan santun

dalam berinteraksi dengan keluarga, pendidik, dan teman

3. Kompetensi inti pengetahuan, dimana anak-anak mengenali diri, keluarga,

teman, pendidik, lingkungan sekitar, agama, teknologi, seni, dan budaya di

rumah, tempat bermain dan satuan PAUD dengan cara: mengamati dengan

indera (melihat, mendengar, menghidu, merasa, meraba); menanya;

mengumpulkan informasi; menalar, dan mengomunikasikan melalui kegiatan

bermain

4. Kompetensi inti keterampilan, kemampuan anak untk menunjukkan yang

diketahui, dirasakan, dibutuhkan, dan dipikirkan melalui bahasa, musik,

gerakan, dan karya secara produktif dan kreatif, serta mencerminkan perilaku

anak berakhlak mulia

2.2.5. Perkembangan Moral Anak Usia Dini

1). Perkembangan Moral Anak Menurut Psikologi Agama

Menurut penelitian Ernest Harms seperti dikutip dalam Sari (2010), tingkatan

perkembangan agama anak dimulai dengan The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng

yaitu pada usia 3-6 tahun. Pada fase ini, pengenalan mereka tentang Tuhan

dipengaruhi oleh tingkat fantasi dan emosi mereka sendiri. Mereka banyak

dipengaruhi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. Sifat agama mereka

sebagai berikut:

a. Unreflective (Tidak mendalam)

Mereka menerima setiap ajaran agama tanpa melakukan kritik sedikit pun.

Mereka kadang merasa puas dengan keterangan yang tidak masuk akal.

b. Egosentris

Perkembangan agama anak berjalan sesuai perkembangan pengalaman

mereka. Mereka selalu menonjolkan kepentingan diri mereka dalam menanggapi

19

masalah-masalah yang berkaitan dengan agama. Kekurangan kasih sayang akan

membuat seorang anak menjadi kenak-kanakan serta rendahnya sifat ego mereka. Hal

tersebut tentunya menghambat perkembangan moral keagamaannya.

c. Imitatif

Pada dasarnya anak-anak meniru apa yang mereka lihat dari orang dewasa.

Kondisi yang mereka lihat dari lingkungan adalah sesuatu yang sangat berguna bagi

mereka untuk ditiru. Anak perempuan merupakan peniru yang hebat. Kondisi ini

sangat menguntungkan bagi pembelajaran agama bagi mereka.

d. Rasa Heran

Rasa kagum pada anak sangatlah berbeda dengan rasa kagum pada orang

dewasa karena mereka belum memilki sifat kritis dan kreatif. Hal tersebut memberi

ruang agar dapat memotivasi anak-anak untuk mengalami hal-hal yang baru (new

experiences). Rasa kagum mereka bisa disalurkan melalui rasa kagum.

2). Perkembangan Moral Menurut Psikologi Perkembangan

Adapun teori mengenai jiwa keagamaan anak, yaitu:

a. Rasa Ketergantungan (Sense of Dependable).

Ada 4 kebutuhan manusia ketika dilahirkan ke dunia; keinginan untuk

perlindungan (security), keinginan untuk pengalaman baru (new experience),

keinginan untuk mendapatkan tanggapan (response), dan keinginan untuk dikenal

(recognition). Keempat hal tersebut menandakan bahwa sejak lahir, anak memilki

rasa ketergantungan yang tinggi. Rasa keagamaan mereka akan timbul ketika mereka

merasakan pengalaman-pengalaman yang baru.

b. Instink keagamaan

Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi

kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya insting belum sempurna. Oleh

karena itu pengalaman keagamaan anak perlu diperkenalkan jauh sebelum mereka

berusia 7 tahun atau usia sekolah.

20

2.3. Pendidikan

Pendidikan adalah salah satu hak mendasar yang dimiliki oleh setiap orang

dan harus didapatkan sejak lahir. Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan

terus-menerus berkembang. Secara umum, pendidikan adalah proses pengembangan

diri tiap individu untuk dapat hidup dan melangsungkan kehidupannya. Setiap

individu yang berpendidikan akan mampu menunjukan pengaruh positif teristimewa

dalam berprilaku, bersosialisasi serta hidup berdampingan dengan orang lain

dilingkungan sekitarnya. Pendidikan juga mencerminkan kehidupan seseorang yang

berakhlak dan bertanggung jawab bagi masa depannya secara individu serta

kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

2.3.1. Pendidikan Anak Usia Dini

Salah satu tujuan dari pembangunan Nasional yang tercantum dalam

pembukaan undang-undang 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa agar

menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, bertanggung jawab, maju dan

mandiri sesuai dengan tatanan kehidupan masyarakat yang berdasarkan pancasila.

Hak yang tercantum juga di dalam undang-undang adalah bahwa setiap warga negara

berhak untuk mendapatkan pendidikan. Sementara itu, Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan RI (1989) tentang undang-undang nomor 2 mengenai sistem pendidikan

nasional, mengatakan bahwa peranan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia

pacasila yang memiliki kualitas pendidikan yang tinggi dan memiliki kemampuan

untuk berkarya sendiri dan mendukung perkembangan bangsa.

Dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2003) tentang undang-

undang nomor 20 tahun mengenai system pendidikan nasional menyebutkan bahwa

pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara. Tentu saja hal ini bertujuan untuk mencerdaskan

kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indoensia seutuhnya, yaitu manusia

21

yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti

luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,

kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan

kebangsaan.

Menyadari pentingnya pendidikan dalam kehidupan, maka dalam UU nomor

20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1, Pasal 1, Butir 14 juga

menyatakan bahwa ”Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang

ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui

pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan

jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan

lebih lanjut”. Sebagai tingkatan yang paling dasar dalam penerapan pendidikan di

Indonesia, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) perlu mendapatkan perhatian serius

terutama dalam membentuk karakter anak yang adalah penerus masa depan bangsa.

Prinsip yang mendasarinya adalah karena pada tingkatan usia ini, seluruh instrumen

manusia terbentuk bukan hanya kecerdasan saja tetapi juga kecakapan psikis anak,

sehingga masa ini disebut sebagai masa emas perkembangan (golden age of

development).

Dalam hubungannya dengan kecerdasan dan kecakapan, perkembangan anak

pada tahun- tahun pertama sangat penting karena perkembangan tersebut menentukan

kualitas hidupnya di masa depan. Selain merupakan individu yang berbeda, unik, dan

memiliki karakteristik sendiri sesuai dengan tahapan usianya, anak dilahirkan dengan

potensi yang mampu berkembang secara baik termasuk di dalamnya perkembangan

karakter yang tidak terlepas dari aspek-aspek perkembangan lainnya. Karakter anak

akan sangat menentukan kehidupan mereka di tahun-tahun berikutnya di mana

mereka banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosial baik keluarga sebagai lingkup

social yang terkecil hingga lingkungan masyarakat sebagai lingkupa yang terbesar.

Pendidikan anak usia dini merupakan strategi pembangunan sumber daya

manusia harus dipandang sebagai titik sentral mengingat pembentukan karakter

bangsa dan kehandalan SDM ditentukan bagaimana penanaman sejak anak usia dini.

Memang Pendidikan Anak Usia Dini bukanlah satu-satunya yang paling penting bagi

22

kesuksesan seorang anak di masa depan. Namun, hal tersebut merupakan satu

diantara banyak hal penting yang harus diperhatikan. Karena kematangan pendidikan

sejak usia dini sangat berpengaruh bagi perkembangan anak dari berbagai aspek

kecerdasan. Selain itu dengan Pendidikan Anak Usia Dini, anak akan menjadi lebih

matang dan siap dalam menghadapi dunia sekolah.

Pendidikan anak usia dini merupakan tempat yang tepat dan cukup

dibutuhkan anak untuk menghadapi masa depannya. Pendidikan anak usia dini akan

memberikan persiapan anak menghadapi masa-masa ke depannya, yang paling dekat

adalah menghadapi masa sekolah. Pendidikan anak usia dini tidak sekedar berfungsi

untuk memberikan pengalaman belajar kepada anak, tetapi yang lebih penting

berfungsi untuk mengoptimalkan perkembangan otak. Pendidikan anak usia dini

sepatutnya juga mencakup seluruh proses stimulasi psikososial dan tidak terbatas

pada proses pembelajaran yang terjadi dalam lembaga pendidikan. Artinya,

pendidikan anak usia dini dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja seperti

halnya interaksi manusia yang terjadi di dalam keluarga, teman sebaya, dan dari

hubungan kemasyarakatan yang sesuai dengan kondisi dan perkembangan anak usia

dini.

Hal penting yang menjadi fokus utama dalam pendidikan serta dalam

penelitian ini adalah kecakapan yang berhubungan dengan karakter atau moral.

Permendikbud 146 tahun 2014 pada lampiran pertama menyatakan bahwa moral juga

merupakan karakteristik dari kurikulum perkembangan pendidikan anak usia dini ini.

Hal tersebut disamping aspek lain yang terintergral dalam empat kompetensi dasar

yaitu kompetensi dasar spiritual, kompetensi dasar sosial, kompetensi dasar

pengetahuan dan kompetensi dasar keterampilan.

Kecakapan ini perlu ditanamkan sejak dini di samping kecakapan dalam

aspek-aspek lain. Dalam aspek moral ini, anak diperkenalkan tentang bagaimana

bersosialisasi, bersikap dan bertindak dengan sesama dan mampu membangun suatu

hubungan yang harmonis dengan orang lain dalam suasana yang terkendali serta

adanya rasa saling memahami. Pada kondisi inilah anak sebagai individu yang belum

23

sepenuhnya mengenal aturan dan tata cara berprilaku serta cara bersikap dengan

orang lain mulai belajar bergaul dan memahami orang lain.

Hal ini berarti bahwa pembentukan karakter perlu didasarkan pada bagaimana

menanamkan secara menyeluruh aspek-aspek tersebut di atas menjadi suatu kesatuan

yang kuat sebagai pedoman perkembangan anak dalam dunia pendidikan. Seorang

ahli bernama Lickona menjelaskan bahwa karakter terdiri atas 3 bagian yang saling

terkait yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral

(moral feeling) dan perilaku bermoral (moral behavior). Artinya, manusia yang

berkarakter adalah individu yang mengetahui tentang kebaikan (knowing the good),

menginginkan dan mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan

(acting the good).

2.3.2. Pendidikan Moral

Berusaha untuk mengembangkan suatu pola perilaku seseorang sesuai dengan

nilai- nilai dan kehidupan moralitas dan kesusilaan nyata yang ada di dalam

masyarakat. Untuk itu, pendidikan moral berguna untuk mengambil keputusan moral

yang terbaik bagi dirinya dan masyarakat. Seperti pernyataaan yang sangat terkenal

dari Meno yaitu “apakah pendidikan moral diartikan dengan pendidikan tentang

moral atau apakah moral itu dimaksudkan agar manusia belajar menjadi manusia

yang bermoral?” dari pernyataan tersebut dengan sendirinya membuka kesadaran

akan pentingnnya moral dan pendidikan moral bagi manusia. Namun, yang lebih

penting adalah bagaimana isi pendidikan dan metode penyajian serta bagaimana

tanggung jawab sekolah dalam masyarakat dalam pengembangan pendidikan moral

tersebut.

Menurut Zuriah (2008) menyatakan bahwa pendidikan moral adalah suatu

program pendidikan (sekolah dan luar sekolah) yang mengorganisasikan dan

“menyederhanakan” sumber-sumber moral dan disajikan dengan memperhatikan

pertimbangan psikologi untuk tujuan pendidikan. Jika tujuan pendidikan moral

mengarah pada seseorang menjadi bermoral maka hal yang menjadi krusial adalah

bagaimana agar seseorang dapat menyesuaikan diri dengan tujuan hidup

24

bermasyarakat. Sedangkan menurut Ramli (2003), pendidikan moral memiliki esensi

dan makna yang sama dengan pendidikan karakter dan pendidikan akhlak.

Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik,

warga masyarakat, dan warga negara yang baik pula. Adapun kriteria manusia yang

baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu

masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak

dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya.

Pendidikan moral sangatlah luas sehingga dibutuhkan suatu kegiatan dari

guru, orang tua, masyarakat dan negara untuk membantu dan melakukan pelayanan

ekstra dalam membantu pencapaian tujuan pendidikan moral. Guru dapat mengaitkan

semua bentuk pembelajaran dengan moral. Begitupula kepala sekolah dan orang tua

dimana keduanya dapat berbuat sesuatu dalam kaitannya dengan masalah moral.

Meskipun lingkungan masyarakat seperti keadilan, keamanan, kemakmuran dan

kesetiakawanan ssosial dan lainnya yang akan mempengaruhi penentuan sikap dan

pertimbangan moral seseorang. Dengan begitu pendidikan moral menuntut adanya

tanggung jawab dari semua pihak terhadap keberhasilan pendidikan moral.

Ada beberapa substansi dari pendidikan moral atau budi pekerti seperti yang

disampaikan oleh Rianto dalam Zuriah (2007) yang meliputi sikap dan perilaku

dalam hubungannya dengan Tuhan, sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan

diri sendiri, sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan keluarga, sikap dan

perilaku dalam hubungannya dengan masyarakat dan bangsa, dan sikap dan perilaku

dalam hubungannya dengan alam sekitar. Samani & Hariyant (2012) mengemukakan

beberapa substansi dari pendidikan moral tersebut secara ringkas dalam butir-butir

nilai budi pekerti atau moral dan kaitannya dengan lima jangkauan tersebut di atas

yang digambarkan dalam table sebagai berikut;

25

Tabel 2.1 Integritas Sikap dan Perilaku serta Nilai-nilai karakter moral atau

budi pekerti (Samani & Hariyant, 2012).

Jangkauan atau Integritas Sikap

dan Perilaku Nilai-nilai Karakter

Sikap dan perilaku dalam

hubungannya dengan Tuhan

Berdisiplin, beriman, bertaqwa, berfikir jauh ke

depan, bersyukur, jujur, mawas diri, pemaaf,

pemurah, pengabdian.

Sikap dan perilaku dalam

hubungannya dengan diri

sendiri

Bekerja keras, berani memikul resiko,

berdisiplin, berhati lembut, berempati, berfikir

matang, berfikir jauh ke depan, bersahaja,

bersemangat, bersikap konstruktif, bertanggung

jawab, bijaksana, cerdik, cermat, dinamis,

efisien, gigih, hemat, jujur, berkemauan keras,

mandiri, mawas diri, menghargai orang lain,

toleransi, menghargai waktu, menghargai

kesehatan, tangguh, ulet, susila, sportif, terbuka,

adil, hormat, produktif, aktif, ramah tamah,

kasih sayang, rela berkorban, amanah, pemaaf,

pemurah, pengabdian, menghargai karya orang

lain, kukuh hati, lugas, pengendalian diri,

pengabdian, tekun, tegas, tertib.

Sikap dan perilaku dalam

hubungannya dengan keluarga

Bekerja keras, berfikir jauh kedepan, rela

berkorban, mawas diri, lugas, cerdik, cermat,

jujur, bijaksana, tertib, pemaaf, menghargai

waktu, menghargai kesehatan, ramah tamah,

pengabdian, setia, sabar, pemurah, rasa kasih

sayang, amanah, terbuka

Sikap dan perilaku dalam

hubungannya dengan

masyarakat dan bangsa

Bekerja keras, berfikir jauh kedepan, toleransi,

bijaksana, cerdik, cermat, jujur, berkemauan

keras, lugas, setia, menghargai, tertib, sportif,

susila, tegas, rela berkorban, amanah, terbuka,

ramah tamah, rasa kasih sayang, pemurah,

pengabdian, adil

Sikap dan perilaku dalam

hubungannya dengan alam

sekitar

Bekerja keras, berfikir jauh ke depan,

pengabdian, menghargai kesehatan

Karakter-karakter tersebut di atas juga merupakan kompetensi inti spiritual

dan kompetensi inti sosial yang perlu dicapai melalui penerapan kurikulum 2013

yang mengatur tentang pendidikan anak usia dini. Itulah yang akan menjadi fokus

26

dalam penelitian ini berkaitan dengan bagaimana guru membenahi dan

mengoptimalkan perkembangan moral anak usia 4-6 hun melalui peran mereka.

2.4. Guru

Unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan adalah guru. Guru adalah

tokoh yang berperan penting dalam upaya menciptakan pendidikan yang utuh. Guru

menjadi acuan dimulainya proses pendidikan di sekolah dan juga acuan bagi

terciptanya keseluruhan keberhasilan suatu program pendidikan. Menurut Kementrian

Pendidikan dan Kebudayaan (2003) tentang undang-undang nomor 20 mengenai

system pendidikan nasional, guru merupakan pendidik professional yang bertugas

untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan

mengevaluasi dari peserta didik. Karena memegang peranan yang penting dalam

pendidikan maka tugas dan tanggung jawab mendasar dari seorang guru harus benar-

benar dipahami dan diterapkan. Guru harus mampu menciptakan pendidikan yang

berkualitas dan memiliki energi kuat serta berdaya mengembangkan kebaikan.

Guru adalah tokoh yang memberikan keberhasilan sangat besar di sekolah

yang tidak bisa digantikan oleh apa pun. Banyak aspek manusiawi yang dimiliki

seperti sistem nilai, sikap, perasaan, motivasi, kebiasaan serta keteladanan dalam

suatu proses pembelajaran yang hanya bisa didapatkan dari seorang guru. Oleh

karena itu, kehadiran guru memberi kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan

anak didik termasuk kepribadiannya.

2.4.1. Peran Guru Sebagai Pendidik

Secara akademik, yang disebut sebagai pendidik adalah guru yang memiliki

makna “orang yang digugu serta ditiru.” Guru sebagai tokoh yang bertanggung jawab

di bidang pendidikan yang membantu anak-anak dalam mentransfer setiap ilmu yang

berguna bagi pencapaian kedewasaaan dan masa depan yang lebih baik. Secara

formal, guru memiliki tanggung jawab besar terhadap anak didiknya yang tentu saja

tidak dimiliki oleh pihak lain termasuk orang tua. Banyak unsur-unsur manusiawi

yang dimiliki seperti sikap, sistem nilai, perasaaan, kebiasaan, motivasi, dan

27

keteladanan yang diharapkan dalam prosem belajar yang tentunya unik dan hanya

dapat dilihat dan dicapai melalui peran seorang guru sebagai pendidik.

Secara umum, seorang pendidik hadir untuk membantu dan mengupayakan

perkembangan peserta didiknya agar mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki.

Ada beberapa kondisi atau syarat untuk menjadi seorang pendidik menurut

Ramayulius (2006), sebagai berikut:

1) Kewibawaan yaitu pengaruh positive yangau bertujuan untuk membantu orang

lain ataupun anak didik agar berkembang sebaik mungkin. Peserta didik akan

percaya kepada pendidik dan dengan sendirinya patuh jika pendidik memiliki

kewibawaan yang baik dan dapat diteladani.

2) Pendidik harus mengenal secara pribadi peserta didiknya.

3) Pendidik harus mengetahui bahwa peserta didiknya adalah “aku” yang berpribadi

dan ingin bertanggung jawab serta menentukan diri sendiri.

Sedangkan menurut imam Al Ghazali dalam Syaefuddin (2005; 124-127),

memberi delapan batasan yang ketat bagi profesi pendidik yang harus dipenuhi,

sebagai berikut:

1) Pendidik harus memiliki rasa kasih sayang terhadap anak didik serta menganggap

mereka seperti anak sendiri

2) Pendidik tidak melakukan komersialisasi dunia pendidikan

3) Memberi nasehat dan arahan yang baik bagi peserta didik

4) Mampu mengarahkan peserta didik kepada hal-hal yang positif dan menghindari

hal-hal yang sifatnya destruktif yang akan merusak moral dan kepribadian peserta

didik itu sendiri.

5) Mengenali tingkat naluri dan intelektualitas anak didik. Pendidik harus mampu

mengidentifikasi kemampuan anak sebagai peserta didik.

6) Pendidik harus mampu menumbuhkan motivasi anak serta kegairahannya terhadap

ilmu yang dipelajari tanpa menimbulkan sikap apriori terhadap ilmu lain.

7) Pendidik harus mampu mengidentifiksi kelompok anak didik usia dini dan secara

khusus memberi materi atau ilmu yang sesuai denganperkembangan kejiwaannya.

28

Kelompok usia dini lebih tepat diberi ilmu praktis tanpa argumentasi yang berat

dan melelahkan mereka.

8) Pendidik harus mampu memberi teladan kepada anak didiknya.

Apabila peranan tersebut mampu dilakukan dengan baik, seorang pendidik

tentunya akan menjadi pribadi yang berhasil dalam mengembangkan anak didiknya

menjadi potensi yang besar di masa yang akan datang bagi kemajuan bangsa. Peserta

didik sendiri akan tumbuh menjadi probadi-pribadi yang bertanggung jawab dan

memiliki potensi serta kompetensi yang bermanfaat. Selain itu, mereka pastinya

memiliki pertumbuhan moral yang baik karena transfer positif yang diperoleh dari

guru sebagai pendidik mereka.

2.4.2. Peran Guru dalam Pembentukan Moral Anak

Sebagai tokoh yang secara langsung berhubungan dengan anak didik, guru

memiliki peran yang besar dalam membimbing serta membentuk moral anak

didiknya. Untuk mencetak generasi yang bermoral, guru perlu memperhatikan serta

melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk membantu proses pembentukan peserta

didik yang bermoral baik di masa depan.

Dalam dunia pendidikan, Ki Hadjar Dewantara dalam Hartono (2011) sebagai

pelopor dan bapak pendidikan Indonesia menetapkan beberapa tugas pokok seorang

guru yang tertanam dalam makna slogan pendidikan Indonesia dan terkenal dengan

sebutan “Tutwuri Handayani.” Di dalam slogan ini terdapat tiga tugas pokok penting

seorang guru yaitu:

1. Ing Ngarso Sungtulodo, berarti seorang guru harus mampu menjadi contoh

atau model bagi siswanya baik sikap maupun pola pikirnya. Anak akan

melakukan apa yang dicontohkan oleh gurunya. Bila guru memberikan

teladan yang baik maka anak pun akan menjadi baik dalam sikap serta pola

pikirnya.

2. Ing Madya Mangunkarso, berarti bahwa guru selalu berada di antara

siswanya. Artinya bahwa Guru harus mampu memberikan motivasi bagi siswa

sehingga siswa diharapkan bisa lebih maju dalam belajar. Jika guru selalu

29

memberikan semangat kepada siswanya, maka siswa akan lebih giat karena

merasa diperhatikan dan selalu mendapat pikiran-pikiran positif dari gurunya.

Hal ini biasanya berkaitan dengan pemberian reward pada anak untuk

membangkitkan semangat mereka.

3. Tut Wuri Handayani, berarti guru selalu memberikan dorongan pada anak

agar mampu mengembangkan dan mengoptimalkan setiap potensi yang

dimilikinya. Guru diharapkan mampu memberikan kesempatan pada anak

untuk mengeksplor setiap hal positif yang dapat membangun dirinya dengan

terus memberi dorongan dan juga semangat pada anak.

Selain ketiga tugas pokok guru menurut Ki Hadjar Dewantara di atas, ada

beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli (dalam Sardiman, 2001) yaitu:

1. Prey Katz menggambarkan peran guru sebagai komunikator, sahabat yang

dapat memberikan nasihat-nasihat, motivator sebagai pemberi inspirasi dan

dorongan, pembimbing dalam pengembangan sikap dan tingkah laku serta

nilai-nilai orang yang menguasai bahan yang diajarkan.

2. Havighurst menjelaskan bahwa peran guru di sekolah adalah sebagai pegawai

(employee) dalam hubungan kedinasan, sebagai bawahan (subordinate)

terhadap atasannya, sebagai kolega dalam hubungannya dengan anak didik,

sebagai pengatur disiplin, dan pengganti orang tua.

3. James W. Brown mengemukakan bahwa tugas dan peran guru antara lain:

menguasai dan menggambarkan materi pelajaran, merencanakan dan

mempersiapkan palajaran sehari-hari, mengontrol dan mengevaluasi kegiatan

siswa.

Ada pula beberapa peran guru menurut Sari (2010), sebagai berikut:

1). Guru sebagai ahli instruksional

Dalam peran ini guru harus mampu menunjukan kompetensinya terutama

dalam mengambil keputusan mengenai materi serta metode yang akan digunakan

dalam proses pembelajaran. Keputusan tersebut harus dibuat dengan memperhatikan

sejumlah faktor seperti mata pelajaran, kemampuan dan daya serap siswa serta tujuan

yang akan dicapai.

30

2). Guru sebagai motivator

Siswa akan memiliki semangat belajar yang tinggi apabila memiliki motivasi

yang tinggi pula. Motivasi yang ada tentunya dari dalam maupun dari luar diri siswa

itu sendiri. Motivasi dari luar berasal dari guru seperti memberi dorongan agar peserta

didik semakin giat dalam belajar serta memberi tugas kepada siswa sesuai tingkat

kemampuan mereka.

3). Guru sebagai model

Guru harus bisa menjadi teladan dan pusat perhatian bagi muridnya Guru

harus mampu menunjukan kharisma yang tinggi, dan juga berusaha agar semua

perkataan, sikap dan tindakannya memancar kepada murid-muridnya.

Untuk itu, dalam penelitian ini, ada 3 peranan yang diadopsi dari pendapat

para ahli di atas mengenai peran guru yang akan digunakan sebagai pedoman untuk

meneliti sejauh mana peranan guru dalam upaya membentuk moral anak di TK

Kristen 03 Eben Haezer Salatiga. Ketiga peranan dimaksud adalah guru sebagai

model, guru sebagai motivator dan guru sebagai pembimbing bagi anak didiknya.

Sebagai model, guru berkewajiban memberi contoh bagi anak didiknya dalam

berpikir, bersikap serta berperilaku yang tentunya dapat diikuti dan dicontohi oleh

anak didiknya. Guru perlu menjaga sikap serta wibawanya sebagai seorang yang

menjadi panutan agar anak bisa mengikuti serta meneladani. Menurut kamus besar

Indonesia (2008) model merupakan pola, contoh atau acuan dari sesuatu yang akan

dibuat atau dihasilkan. Berdasarkan pendapat tersebut, guru harus mampu

menginspirasi ata menjadi acuan bagi anak untuk melakukan hal-hal yang patut

dilakukan dalam bersosialisasi dengan lingkungan serta sesamanya yang beguna bagi

masa depannya. Sikap serta perilaku guru tentunya akan menjadi pedoman serta

pegangan bagi anak dalam menjalani kehidupannya ke depan.

Sebagai motivator, guru diharapkan mampu memberikan semangat serta

motivasi kepada anak. Dorongan dan motivasi yang diberikan oleh guru akan mampu

membangkitkan semangat anak baik itu dalam mengembangkan potensi dalam

dirinya maupun memberikan dampak-dampak positif termasuk di dalamnya bertindak

31

dan berperilaku. Guru dituntut untuk kreatif membangkitkan motivasi belajar pada

anak sehingga terbentuk perilaku yang efektif.

Sedangkan sebagai pembimbing, guru diharapkan mampu membimbing dan

menuntun anak kepada hal-hal positif dan membangun dirinya. Guru harus berusaha

membimbing anak agar dapat menemukan berbagai potensi yang dimilikinya dan

dapat mencapai dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan mereka. Melalui

ketercapaian itu, anak dapat tumbuh dan berkembang sebagai individu yang memiliki

sikap dan perilaku yang baik.

2.4.3. Langkah-Langkah Guru dalam Penanaman Nilai Moral pada Anak Usia

Dini

Menurut Darmadi (2009), penanaman nilai-nilai serta pembentukan moral

pada Anak Usia Dini (AUD) oleh guru dapat dilakukan melalui beberapa metode.

Metode-metode tersebut sebagai berikut:

1) Metode bermain

Metode bermain dapat membantu anak untuk bersosialisasi dengan orang lain.

Melalui permainan anak mendapatkan kesenangan serta mereka dapat menuangkan

imajinasi mereka secara bebas. Nilai-nilai sosial dan norma yang dapat diajarkan

kepada anak-anak, sebagai berikut:

a) Mengajarkan anak untuk dapat bersosialisasi dan mampu bekerja sama dengan

teman-teman sepermainan.

b) Mengajarkan kepada anak agar memiliki sikap tenggang rasa, menolong sesama

dan saling membutuhkan.

c) Mengajarkan kepada anak untuk mau berbagi dengan teman serta memiliki rasa

peduli kepada orang lain.

d) Mengajarkan tata bicara yang sopan, baik dan benar kepada anak-anak.

e) Memperkenalkan kepada anak berbagai macam aturan yang baik yang ada di

keluarga, lingkungan sekitar, sekolah maupun di jalan.

f) Melatih anak-anak untuk menaati aturan tersebut.

32

g) Mengajarkan kepada anak untuk belajar menerima konsekuensi atau akibat jika

melanggar peraturan.

2) Metode bercerita

Dengan metode ini pesan-pesan atau informasi moral yang dapat menambah

pengetahuan anak tentang nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat. Pesan-pesan

moral yang dapat disampaikan seperti sikap rendah hati, jujur, tidak boleh

membantah, menyayangi serta mendengar nasehat dari orang tua, toleransi, membatu

orang tua, saudara, teman, tetangga yang membutuhkan. Selain itu, menanamkan rasa

cinta terhadap orang lain.

3) Metode pemberian tugas

Melalui metode ini, nilai moral yang dapat dibagikan dalam pemberian tugas

secara individu antara lain melatih kesabaran seorang anak dan mengajarkannya

untuk memiliki sikap bertanggung jawab terhadap apa yang telah menjadi tugasnya.

Selain itu, melatih anak untuk belajar menaati aturan yang telah disepakati bersama.

Di sisi lain, secara kelompok memberi kesempatan kepada anak untuk berlatih

bekerja sama dan menyelesaikan tugas bersama. Hal ini juga membantu

menumbuhkan kemauan anak serta melatih mereka untuk bersosialisasi dengan orang

lain.

4) Metode bercakap-cakap

Metode ini sangatlah penting karena dapat meningkatkan kemampuan

komunikasi anak dengan orang lain. Dengan bercakap-cakap dapat memberi banyak

pengetahuan karena banyak sekali pegetahuan yang diperoleh anak karena pada

dasarnya anak-anak sangat suka bertanya. Melalui metode ini, pendidik memiliki

kesempatan untuk mengajarkan aturan nilai dan norma yang ada di masyarakat. Hal-

hal yang bisa dipelajari anak adalah sebagai berikut;

a) Memberi salam kepada orang lain

b) Mencium tangan orang yang lebih tua

c) Mengucapkan salam

d) Bersikap sopan dengan berbicara baik

e) Memandang lawan bicara dengan pandangan yang sopan, dan sebagainya.

33

Metode-metode di atas dapat memberikan ruang kepada anak untuk banyak

belajar bagaimana cara hidup serta sosialisasi yang baik dengan sekitar. Pendidik

dapat mentransfer nilai-nilai moral yang ada yag nantinya menjadi bekal yang sangat

berguna bagi anak khusunya ketika menjalani masa sekolah, beranjak dewasa serta

menapaki hidup dengan orang lain. Apabila nilai-nilai yang terdapat dalam penerapan

metode tersebut di atas di pegang dan dimaknai oleh anak (AUD), akan sangat

bermanfaat bagi hidup mereka di masa depan karena nilai-nilai moral tersebut sudah

tertanam bagi mereka sejak dini.