BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP...
Transcript of BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP...
22
BAB II
TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAH
A. Pengertian ‘iddah dan dasar hukumnya
1. Pengertian ‘iddah
Istilah ‘iddah sebenarnya sudah dikenal sejak zaman jahiliyah. Di
mana orang-orang pada saat itu hampir tidak pernah meninggalkan
kebiasaan ‘iddah ini, kemudian ketika Islam dating, kebiasaan ini diakui
dan dijalankan terus, karena ada beberapa kebaikan yang dikandung di
dalamnya, para ulama sepakat ‘iddah itu wajib hukumnya.1
Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il
madhi ‘adda – ya’uddu yang artinya “menghitung”, jadi kata ‘iddah
artinya ialah hitungan, menghitung atau sesuatu yang harus
diperhitungkan. Dari sudut bahasa ini kata ‘iddah merupakan yang biasa
dipakai untuk mewujudkan pengertian hari-hari haid atau hari-hari suci
pada seorang perempuan, artinya perempuan atau istri menghitung hari-
hari haid atau hari-hari sucinya.
Sedangkan secara terminologi, para ulama telah merumuskan
pengertian ‘iddah dari beberapa pengertian, seperti: Ashshon’ani
mendefinisikan ‘iddah adalah:
1 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah 8, terj. Muh. Tholib, Bandung: Al-Ma’arif, Cet. II, 1983.,
hlm. 139-140.
23
اسم لمدة تتربص بهاالمرأة عن التزويج بعد وفاة زوجها وفراقه لها إما
. بالوالدة أو األقرإ أو األشهر
Artinya : ‘iddah ialah suatu nama bagi suatu masa tunggu yang wajib dilakukan oleh wanita untuk tidak melakukan perkawinan setelah kematian suaminya atau perceraian dengan suaminya itu, baik dengan melahirkan anaknya, atau beberapa kali suci/haid, atau bebrapa bulan tertentu. 2
Menurut Prof. Abu Zahrah memberi definisi ‘iddah ialah:
ضرب إلنقضاء مابقي من أثار النكاحأجل Artinya : ‘iddah ialah suatu masa yang ditetapkan untuk mengakhiri
pengaruh-pengaruh perkawinan.
Lebih lanjut lagi dia mengatakan:
Jika terjadi perceraian antara seorang laki-laki dan istrinya, tidak terputus secara tuntas ikatan suami-istri itu dari segala seginya dengan semata-mata terjadi perceraian, melainkan istri wajib menunggu, tidak boleh kawin dengan laki-laki lain sampai habis masa tertentu yang telah ditentukan oleh syara’. 3
Memang ulama memberikan pengertian yang berbeda-beda,
namun jika dipahami definisi mereka ada titik persamaan. Bahwa ‘iddah
adalah masa menunggu yang harus dijalani seorang istri yang putus
perkawinan dengan suaminya, baik putusan perkawinan itu karena
kematian suami atau karena perceraian. Masa menunggu itu adalah masa
di mana seorang perempuan tidak diperbolehkan menerima pinangan dan
melaksanakan perkawinan dengan laki-laki lain selama belum habis
2 Departemen Agama, Ilmu Fiqh II, Jakarta: Proyeksi Pembinaan Prasarana dan Sarana,
Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta dan Direktorat Jendral Pembinaan Klembagaan Agama Islam, Cet II, 1984/1985, hlm. 274.
3 Ibid hlm. 275.
24
waktunya, dan waktu tunggu itu telah ditentukan oleh syara’ beberapa
lamanya.
2. Dasar hukum ‘iddah
Yang menjadi dasar disyari’atkan hukum ‘iddah adalah :
A. Al-Qur’an
Dalam al-Qur’an, banyak ayat yang menunjukkan kewajiban
bagi perempuan untuk ber ‘iddah diantaranya :
Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 228 :
☺
Artinya : Dan perempuan yang berthalaq hendaklah ia menahan diri
tiga kali quru’…..(QS. al-Baqarah : 228). 4 Surat al-Baqarah ayat 234 :
⌧
☯
Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan
meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) ber’iddah empat bulan sepuluh hari. (QS. al-Baqarah 234) 5
Surat al Ahzab ayat 49 :
☺
☺ ☺ ☺
4 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjamahnya, Jakarta: 1971, hlm. 55. 5 Ibid, hlm. 57.
25
☺ ☯ ⌧
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.(QS.Al-Ahzab;49). 6
B. Al-Hadits
Dalam sunnah nabi yang dijadikan sebagai dasar hukum
tentang ‘iddah diantaranya,:
ث أمرت بريرة أن تعتد بثال: وعن عائشة رضي اهللا عنها قالت
)لكنه معلول, رواه ابن ماجه ورواته ثقات(خيض
Artinya : Dari Aisyah r.a. ia berkata “Barirah diperintahkan agar ber’iddah dengan tiga kali haidl” (Diriwayatkan oleh ibnu majah dan rawi-rawinya dapat dipercay, hanya hadits ini ma’lil.). 7
رضي اهللا عنه في امراة المفقود تربص اربع سنين ثم عن عمر
)أخرجه مالك والشافعي(تعتد اربعة اشهر وعشرا
Artinya : “Dari Umar. r.a. “tentang perempuan yang kehilangan
suaminya, ia harus menunggu selama empat tahun, kemudian ber’iddah, empat bulan sepuluh hari” (Diriwayatkan oleh Malik dan Syafi’i) 8
Sabda Nabi SAW. Kepada Fatimah binti Qais :
6 Ibid, hlm. 675. 7 Muh. Sjarif Sukandy, Bulughul Maram, (Terj.) Bandung: PT Al-Ma’arif, 1986, hlm.
409. 8 Ibid, hlm. 414.
26
اعتدي في بيت ام مكتوم
Artinya : “Ber’iddahlah kamu dirumah Ummi Maktum” 9
Dalil-dalil diatas menunjukan bahwa ‘iddah adalah masa
menunggu bagi wanita yang di talak suami (cerai hidup) atau ditinggal
mati suami (cerai mati). Perbedaan status ini merupakan faktor penentu
jenis ‘iddah yang akan di jalankan seorang isteri. Adapun wanita hamil
‘iddahnya empat bulan sepuluh hari. Ini berarti bahwa masa ‘iddah
perempuan yang di talak suaminya (cerai hidup) lebih pendek dari
cerai mati, yaitu tiga kali quru’ bagi, mereka yang berada dalam masa
haid dan tiga bulan bagi mereka yang belum baligh atau menopouse.
Menurut Wahbah Zuhaili ‘iddah disyariatkan dengan alasan
utama untuk mengetahui kondisi rahim perempuan yang bercerai
dengan suaminya, karena ketegasan kenisbatan keteurunan dalam
Islam merupakan hal penting. Sehingga untuk menghindari kekacauan
nisbat keteurunan manusia dilakukan aturan ‘iddah bagi isteri yang
bercerai dengan suaminya baik cerai hidup maupun cerai mati.
B. Macam-macam ‘iddah
Secara garis besar ‘iddah dibagi menjadi dua :
1. ‘iddah karena meninggalnya suami
9 Sa’id Thalib Al-Hamdani penerjemah Agus Salim, Risalatun Nikah, Jakarta: Pustaka
Amani, 1989, hlm. 251.
27
Dalam hal ini posisi ‘iddahnya, ada dua kemungkinan, yaitu wanita
yang dalam keadaan hamil dan tidak hamil. 10 Apabila wanita yang
ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya sampai ia
melahirkan. Firman Allah SWT :
⌧ … Artinya : Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka itu
ialah sampai melahirkan kandungannya…” (QS. Ath-Thalaq;4 ). 11
Sedangkan bagi istri yang ditinggal mati suaminya, baik ia sudah
atau belum bercampur dengan suaminya yang meninggal itu, maka iddah
mereka empat bulan sepuluh hari. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:
⌧
☯
Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan dengan
meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari (QS. Al-Baqarah;234). 12
2. ‘iddah karena perceraian/thalaq.
Mengenai iddah karena talaq ini maka ada beberapa kemungkinan :
10 Sayaid Sabiq alih bahasa Moh. Tholib, Fikih Sunnah, Jilid 8, Bandung: al-Ma’arif,
hlm.147. 11 Departemen Agama, Op. Cit., hlm. 946. 12 Ibid. hlm. 57.
28
a. Wanita yang ditalaq suaminya dalam keadaan hamil maka ‘iddahnya
ialah sampai melahirkan. 13
b. Wanita yang di thalaq suaminya karena masih mempunyai haid, maka
‘iddahnya ialah tiga kali suci. Firman Allah;
☺
….
Artinya : Wanita-wanita yang di thalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’….(QS.Al-Baqarah;228). 14
c. Wanita yang di thalaq suaminya sudah tidak hamil dan tidak pula haid
baik masih kecil atau sudah lanjut usia, maka ‘iddahnya adalah tiga
bulan. Firman Allah :
☺
.
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang tidak lagi diantara perempuan-perempuan jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya) maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid ….(QS.Ath-Thalaq;4). 15
d. Wanita yang di cerai sebelum dikumpuli, maka tidak ada ‘iddah
baginya. Firman Allah :
13 Sayid Sabiq, Op.Cit. hlm. 142. 14 Ibid. hlm. 55. 15 Ibid. hlm. 946.
29
☺ ☺
☺ ☺
☺
☯ ⌧
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampuri. Maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakan…”(QS.Al-Ahzab;49). 16
Macam-macam ‘iddah diatas, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. ‘iddah perempuan yang sedang dalam menstruasi: tiga kali menstruasi.
2. ‘iddah perempuan dalam keadaan suci: tiga bulan.
3. ‘iddah perempuan yang telah melewati masa menstruasinya
(menopause) selam tiga bulan.
4. ‘iddah perempuan hamil sampai melahirkan.
5. tidak ada ‘iddah bagi perempuan yang belum duhul (berstubuh).
C. Ketentuan ‘iddah dalam hukum Islam
Di bab terdahulu, penulis sudah memaparkan bahwa perkembangan
hukum Islam khususnya di Indonesia. Indikasinya, bisa dilihat dari maraknya
perdebatan di kalangan pemikir Islam. Sebagaimana diketahui apa yang
diungkapkan oleh para pemikir sedikit banyak telah mempngaruhi keyakinan
dan tak jarang menjadi bahan referensi masyarakat. Tetapi perlu diketahui,
16 Ibid. hlm. 675.
30
dalam sejarah turunya, Islam merupakan agama yang toleran, dan juga
diturunkan sebagai agama pembebas.17 Islam melawan segala bentuk
dikriminasi dan paksaan. Islam mengatur keseimbangan antara keadilan
dengan cara yang benar dan bersiteguh untuk meneliti semua situasi dan
kondisi yang terkait dengan kejahatan. Hal ini yang membuat perjalanan
pemikiran hukum Islam mengalami benturan kepentingan melalui paradigma
yang digunakannya masing-masing.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Maksun Fuad, ada dua perspektif
yang mewarnai ide pemikiran hukum Islam di Indonesia, yakni pertama,
perspektif simpatis-partisipatoris. Dalam perspektif ini, hukum Islam
diandaikan bukan saja mampu merespon perkembangan zaman, akan tetapi
lebih jauh harus mampu mendorong proses pembangunan yang dijalankan
oleh negara. Artinya hukum Islam harus dihadirkan dan dijadikan sebagai alat
rekayasa sosial yang bisa menunjang pembangunan negara.
Perspektif kedua adalah kritis emansipatoris. Dalam perspektif ini,
para pemikir dalam bidang hukum Islam menjadikannya sebagai medium
kritik sosial. Dalam hal ini, hukum Islam dihadirkan sebagai sarana yang bisa
digunakan untuk mengkritisi kebijakan negara dan sekaligus mampu
memberdayakan potensi masyarakat dalam berhadapan dengan negara. Kedua
17 Artinya Islam bukan sekedar peryataan keyakinan, tidak hanya mewakili peningkatan
kehidupanm ruhaniyah, maupun penghalusan dan pendidikan nilai-nilai luhur manusia, melainkan keseluruhan yang harmonis yang juga mencakup sisitem ekonomi yang adil, organisasi sosial yang seimbang, aturan kemasyarakatan, undang-undang pidana maupun internasional, wawasan filsafatis mengenai kehidupan bersama, dengan sistem pengajaran fisik, yangt semuanya mengalis dari keyakinan mendasar yang sama dari Islam dan temperamen moral dan spiritualnya. Muhammad Quthub, Islam Agama Pembebas, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 2.
31
perspektif diatas ini merupakan bentuk pemikiran yang akan menentukan arah
hukum Islam.
Hukum Islam dalam pelaksanaanya merupakan sumber unsur normatif
dalam penataan kehidupan manusia yang berpangkal dari keyakinan dan
penerimaan terhadap sumber ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam
mushaf Qur’an dan kitab-kitab hadits. Dari sini, dua sumber otoritatif itu
dijadikan patokan dalam menata hubungan antar sesama manusia dan manusia
dengan mahluk lainnya.
Ruang lingkup pembahasannya hukum Islam, yang meliputi beberapa
bidang, diantaranya bidang muamalah, siyasah dan ibadah. ‘iddah menjadi
bagian dari persoalan mu’amalah khususnya dalam bab munakahat.
‘iddah menurut istilah hukum Islam ialah “masa tunggu yang
ditetapkan oleh hukum syara’ bagi wanita untuk tidak melakukan akad
perkawinan dengan laki-laki lain dalam masa tersebut, sebagai akibat ditinggal
mati suaminya atau perceraian dengan perceraian itu, dalam rangka
membersihkan diri dari pengaruh dan akibat hubungannya dengan suaminya
itu”. Dari istilah tersebut bisa disimpulkan bahwa pada dasarnya hukum Islam
mewajibkan ‘iddah terhadap perempuan setelah perkawinannya putus baik
disebabkan dengan meninggalnya suami maupun karena bercerai dengan
suaminya.
Penentuan masa ‘iddah dalam hukum Islam ditetapkan dengan
keadaan istri pada saat terjadi putusan, maksudnya adalah apakah antara suami
istri telah berkumpul atau belum, putusnya perkawinan tersebut karena suami
32
meninggal dunia atau bercerai dalam keadaan sama-sama masih hidup, apakah
istri pada saat putusnya perkawinan itu dalam keadaan hamil atau tidak hamil,
serta apakah pada saat putusnya perkawinan itu beluim pernah berhaidh
(menstruasi), masih haidh, ataukah sudah haidh.
Batasan batasan ketentuan iddah dalam hukum Islam dengan pendapat
imam madzhab diantaranya :
1. ‘iddah wanita yang di talak
a. Wanita hamil, maka ‘iddahnya sampai melahirkan.
Hal tersebut diatas masih masih berdeda pendapat dikalangan
madzhab, ini apabila wanita tersebut mengalami keguguran, dimana
yang dikeluarkan itu belum merupakan bayi yang sempurna. Imam
Hanafi, Syafi’I, dan Hambali mengatakan; wanita tersebut dianggap
belum keluar dari ‘iddah-nya dengan terpisahnya kandungannya dari
dirinya. Sedangkan imamiyah dan hanafi mengatakan : wanita tersebut
telah keluar dari ‘iddahnya, sekalipun yang keluar dari rahimnya itu
baru berupa sepotong kecil daging, sepanjang potongan tersebut adalah
embrio manusia. Bagi Hanafi, batas maksimal kehamilan adalah dua
tahun, bagi Syafi’i dan Hambali empat tahun, sedangkan Maliki lima
tahun.
b. ‘iddah tiga bulan hilaliah (berdasarkan perhitungan bulan), yakni bagi
wanita yang baligh tetapi tidak pernah mengalami haidh sama sekali,
serta wanita yang mencapai masa menopouse. Bagi Maliki, masa
menopouse adalah usia tujuh puluh tahun, Hambali lima puluh tahun,
33
Hanafi lima puluh lima tahun, Syafi’I- menurut pendapatnya yang kuat
enam puluh dua tahun.
Sedangkan istri yang telah dicampuri sebelum usianya menginjak
sembilan tahun, menurut Hanafi wajib menjalani ‘iddah sekalipun dia
masih gadis kecil. Maliki dan Syafi’I mengatakan: gadis kecil yang
belum layak (kuat) dicampuri tidak wajib menjalani ‘iddah, tetapi
wajib mereka yang sudah bisa dicampuri sekalipun belum berusia
sembilan tahun. Imamiyah dan Hambali mengatakan : tidak ada
kewajiban menjalani ‘iddah bagi wanita yang belum berusia sembilan
tahun, sekaipun ia sudah bisa dicampuri.
c. ‘iddah tiga quru’, yaitu bagi wanita yang telah mencapai usia sembilan
tahun, tidak hamil, bukan menopouse, dan telah mengalami haidh.
Maliki dan Syafi’I menginterpretasikan quru’ dengan masa suci (tidak
haidh), sehingga bila waktu tersebut dicerai pada hari-hari terakhir
masa sucinya, maka masa tersebut dihitung sebagai bagian dari masa
‘iddah, yang kemudian disempurnakan dengan masa suci sesudahnya.
Sedangkan Hanafi dan Hambali menginterpretasikanya dengan masa
haidh, sehingga bagaimana pun, wanita tersenbut harus melewati tiga
masa haidh (dalam menyelesaikan ‘iddah-nya) sesudah dia ditalak,
tidak termasuk masa haidh ketika ia dijatuhi talak. 18
2. ‘iddah wafat
18 Muhammad Jawad Mughniyaj, Fiqih Lima Madzhab, cet. 7, Jakarta: Lentera
Basritama, 2001, hlm. 464-467.
34
Para ulama sepakat bahwa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya,
sedangkan dia tidak hamil, adalah empat bulan sepuluh hari, baik wanita
tersebut sudah dewasa maupun masih anak-anak, dalam usia menopouse
atau tidak, sesudah dicampuri atau belum. Dalam “Fiqih Lima Madzhab”
disebutkan : ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya
adalah sampai ia melahirkan bayinya, sekalipun beberapa hanya
beberapa saat sesudah ia ditinggal oleh suaminya itu, dimana dia sudah
boleh kawin lagi sesudah lepas kehamilannya. 19
D. Ketentuan ‘iddah dalam Undang-Undang Perkawinan
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum yang bersumber pada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam gerak kenegaraan
Indonesia pada UUD 45 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 alinia
keempat pembukaan UUD 45 berisi pernyataan tujuan berdirinya negara
Indonesia dan rumusan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara. 20 Dengan
pengaturan gerak kenegaraan dalam UUD 45 yang diikuti oleh ketetapan
MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah
19 Ibid, hlm. 469. 20 Tujuan negara dan pemerintahan dalam pembukaan undang-undang dasar Negara ialah
: “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Lihat, Batang tubuh pembukaan UUD 1945.
35
Pengganti Undang-Undang, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri,
maka Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum.
Sedangkan, Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara menjamin
kehidupan beragama. Agama-agama yang dipeluk penduduk Indonesia
mempengaruhi hukum nasional karena tiap-tiap tiap-tiap agama memuat
norma hukum yang ditaati oleh pemeluknya. Bagi bangsa dan negara
Indonesia, Pancasila adalah cita hukum yang diatasnya dibangun tata hukum
negara Indonesia yang di cita-citakan. 21 Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”
adalah pertama yang merupakan bagian integral Pancasila, berkedudukan
sebagai “dasar negara”. 22
Hukum negara sangat menghormati dan mendududkan hukum agama
berlaku dalam hukum nasional. Unifikasi hanya dapat diwujudkan dalam
bidang-bidang hukum tertentu yang agama tidak memberikan ajaran atau
ketentuan hukum sendiri. Hukum nasional yang dikehendaki negara adalah
hukum yang menampung dan memasukan hukum agama, dan tidak memuat
norma yang bertentangan dengan agama. Dalam peraturan perundangan
Indonesia terlihat kecenderungan makin kuatnya kedudukan hukum agama
dalam hukum nasional, sebagaimana ditunjukan oleh berbagai peraturan
perundang-undangan, Hal ini terlihat pada salah satu Undang-Undang, yakni
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Proses, Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan disahkan dan ditandatangani Presiden Republik Indonesia
21 Lihat, A. Hamid S. Attamimi, Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum bangsa Indonesia, dalam. Oetojo Oesman dan Alfian, Jakarta 1991, hlm. 62-87.
22 Bab XI, Pasal 29 ayat 1 UUD 1945.
36
Jendral TNI Soeharto (sewaktu menjabat presiden) di Jakarta pada tanggal 2
Januari 1974, dan pada hari itu juga diundangkan yang ditandatangani
Menteri/Sekretaris Negara RI, Mayor Jendral TNI Sudarmono, tahun 1974 no.
1 yang penjelasannya dimuat dalam lembaran negara Republik Indonesia no.
3019, undang-undang ini berisi 14 bab dan 67 pasal, didalamnya diatur
tentang dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan,
batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, putusnya perkawinan serta
akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak,
perwalian dan ketentuan-kentuan lain.
UU no. 1-1974 tentang Perkawinan menganut asas-asas atau prinsip-
prinsip sebagai berikut:
e. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal.
f. Pekawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya itu.
g. Perkawinan harus dicatat menurut perundangan
h. Perkawinan berasas monogami terbuka
i. Calon suami isteri harus sudah masuk jiwa raganya untuk melangsungkan
perkawinan
j. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16
tahun
k. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang peradilan
37
l. Hak dan kewajiban suami isteri harus seimbang 23
Namun, untuk kelancaran pelaksanaannya UU no.1-1974 tersebut
pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 9
tahun 1975 tentang pelaksanaan. Ada beberapa pasal yang mengatur tentang
Ketentuan Umum, Pencatatan Perkawinan, Tata Cara Perkawinan, Akta
Perkawinan, Tata cara Perceraian, Pembatalan Perkawinan, Waktu Tunggu,
Beristeri lebih dari seorang, ketentuan Pidana dan Penutup.
Dari sisi pelaksanaan tersebut, semua bab dan pasal diatur secara rigit,
salah satu konsep yang akan dibahas dalam kali ini adalah bagaiman ketentuan
masa tunggu dalam UU Perkawinan. Ketentuan waktu tunggu dalam UU
perkawinan hampir sama dengan apa yang ada dalam hukum Islam, hanya saja
pemakaian kata. Dalam hukum Islam disebut ‘iddah, tetapi subtansinya sama.
Ketentuan Waktu Tunggu dalam UU Perkawinan diantaranya pada bab
VII pasal 39 menyatakan bahwa:
1). Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam pasal 11 ayat 2.
Undang-undang ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan
130 (seratus tiga puluh) hari.
b. Apabila perkawinan putusan karena perceraian, waktu tunggu bagi yang
masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-
kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang
bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
23 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia; Menurut Perundangan Hukum
Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm. 4-6.
38
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
2). Tidak ada waktu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian
sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi
hubungan kelamin.
3). Bagi perkawinan yng putus karena perceraian, tenggang watu tunggu
dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena
kematian, tenggang waktu tunggu di hitung sejak kematian suami. 24
E. Ketentuan ‘iddah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Istilah komiplasi hukum diambil dari bahasa latin “compilare” yang
berarti mengumpulkan bersama-sama, seperti mengumpulkan peraturan-
peraturan yang tersebar dimana-mana. Istilah ini kemudian dikembangkan
dalam bahasa Inggris menjadi “compilation” atau dalam bahasa belanda
“Complatie” , baru belakangan ini diadopsi kedalam bahasa indonesia menjadi
“kompilasi”. 25
Kelahiran kompilasi hukum Islam tidak terlepas dari kodifikasi dan
realita hukum Islam di Indonesia selama ini, diantaranya adalah belum adanya
kesatuan yang disepakati sebagai hukum Islam. Sebagaimana realitas hukum
Islam di dunia Islam umumnya. Apalagi pada waktu itu, hukum Islam di
24 Undang-Undang Perkawinan, edisi lengkap, Bandung: Fokusmedia, 2005 hlm. 45-46. 25 Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo,
1995, hlm. 10. Adapun definisi kompilasi yang lain adalah kegiatan pengumpulan atau sesuatu yang di himpun. Lihat dalam Kamus Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001, hlm. 968.
39
Indonesia masih tersebar didalam kitab-kitab klasik yang dikarang pada
puluhan abad yang lalu. 26
Kitab-kitab itulah yang memberi informasi hukum baik disekolah-
sekolah, perguruan tinggi, lebih-lebih di pesantren. Kajian terhadap kitab-
kitab fiqh pada umumnya masih belum konprehensif dan wawasan yang
bdibangun tidak memberi peluang kritik, bahkan yang dibangun adalah
persepsi yang tidak propesional, diantaranya berbentuk kerancuan pemahaman
antara syariah dan fiqh.
Hal ini melahirkan sakralisasi karya karya fiqh, yang tidak dipandang
sebagai produk pemikir namun sebagai syariat agama. Persoalan lain realita
hukum Islam di Indonesia adalah ketidak seragaman karya-karya klasik itu,
meskipun umumnya yang berlaku di Indonesia itu madzhab Syafi’i, namun
bukan berarti tanpa masalah dan perbedaan, banyak kesimpulan hukum yang
sulit untuk memberi kepastian hukum.
Untuk menyeragamkan hukum Islam dalam hubungannya dengan
masyarakat (soal perdata), maka disusunnya Kompilasi hukum Islam, ini
merupakan bagian dari upaya kita dalam rangka mencari pola fiqh yang
bersifat khas Indonesia atau fiqh yang bersifat kontekstual, ini sejalan dengan
kemunculan ide-ide pembaharuan dalam pemikiran hukum Islam Indonesia.27
Sejalan dengan waktu, maka ditetapkanlah Komilasi Hukum Islam ini
atas Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991, dan ditujukan kepada Menteri
26 M. Masruri Basran dan Zaini Dachlan, Kodifikasi Hukum Islam di Indonesia, dalam
Sudirman Tebba (ed), Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara, Bandung: Mizan, 1992, hlm. 61.
27 Abdurrahman, Op.Cit, hlm. 31.
40
Agama berdasarkan keputusan bersama ketua Mahkamah Agung pada tanggal
21 Maret 1985. KHI resmi menjadi sebagai pedoman resmi dalam bidang
hukum material bagi para hakim di limngkungan Peradilan Agama di seluruh
Indonesia.
Ada 3 (tiga) tujuan pokok KHI diantaranya:
a. Merumuskan secara sistematis dan konkret hukum Islam di Indonesia
b. Membangun landasan penerapan hukum Islam di lingkungan Peradilan
Agama yang berwawasan nasional.
c. Menegakan kepastian hukum yang lebih seragam
Kompilasi Hukum Islam terdiri dari terdiri atas 3 buku masing-masing
buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentang
Perwakafan. Namun, yang lebih dibahas adalah Buku I tentang Perkawinan
terutama pada bagaimana kententuan Waktu Tunggu (‘iddah) isi didalamnya.
Dalam KHI menyebutkan dalam Bab XVII bagian kedua pasal 135 yang
menyebutkan:
1). Bagi nseorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau
‘iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena
kematian suami.
2). Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut;
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul,
waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang
masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90
41
(sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90
(sembilan puluh) hari.
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3). Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian
sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
4). Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena
kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suaminya.
5). Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani
‘iddah tidak haid karena menyusui, maka ‘iddahnya tiga kali waktu suci.
6). Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka ‘iddahnya
selama satu tahun. Akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia
berhaid kembali, maka ‘iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.
Selanjutnya pada pasal 154, menyebutkan; apabila isteri tertalak raj’I
kemudian dalam waktu ‘iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2)
huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153, ditinggal mati oleh suaminya,
maka ‘iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat
matinya bekas suaminya.
42
Dan pasal 155 menyebutkan: waktu iddah bagi janda yang putus
perkawinannya karena khulu, faskh dan li’an berlaku ‘iddah talak.