BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP...

21
22 BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAH A. Pengertian ‘iddah dan dasar hukumnya 1. Pengertian ‘iddah Istilah ‘iddah sebenarnya sudah dikenal sejak zaman jahiliyah. Di mana orang-orang pada saat itu hampir tidak pernah meninggalkan kebiasaan ‘iddah ini, kemudian ketika Islam dating, kebiasaan ini diakui dan dijalankan terus, karena ada beberapa kebaikan yang dikandung di dalamnya, para ulama sepakat ‘iddah itu wajib hukumnya. 1 Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda – ya’uddu yang artinya “menghitung”, jadi kata ‘iddah artinya ialah hitungan, menghitung atau sesuatu yang harus diperhitungkan. Dari sudut bahasa ini kata ‘iddah merupakan yang biasa dipakai untuk mewujudkan pengertian hari-hari haid atau hari-hari suci pada seorang perempuan, artinya perempuan atau istri menghitung hari- hari haid atau hari-hari sucinya. Sedangkan secara terminologi, para ulama telah merumuskan pengertian ‘iddah dari beberapa pengertian, seperti: Ashshon’ani mendefinisikan ‘iddah adalah: 1 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah 8, terj. Muh. Tholib, Bandung: Al-Ma’arif, Cet. II, 1983., hlm. 139-140.

Transcript of BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP...

Page 1: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

22

BAB II

TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAH

A. Pengertian ‘iddah dan dasar hukumnya

1. Pengertian ‘iddah

Istilah ‘iddah sebenarnya sudah dikenal sejak zaman jahiliyah. Di

mana orang-orang pada saat itu hampir tidak pernah meninggalkan

kebiasaan ‘iddah ini, kemudian ketika Islam dating, kebiasaan ini diakui

dan dijalankan terus, karena ada beberapa kebaikan yang dikandung di

dalamnya, para ulama sepakat ‘iddah itu wajib hukumnya.1

Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il

madhi ‘adda – ya’uddu yang artinya “menghitung”, jadi kata ‘iddah

artinya ialah hitungan, menghitung atau sesuatu yang harus

diperhitungkan. Dari sudut bahasa ini kata ‘iddah merupakan yang biasa

dipakai untuk mewujudkan pengertian hari-hari haid atau hari-hari suci

pada seorang perempuan, artinya perempuan atau istri menghitung hari-

hari haid atau hari-hari sucinya.

Sedangkan secara terminologi, para ulama telah merumuskan

pengertian ‘iddah dari beberapa pengertian, seperti: Ashshon’ani

mendefinisikan ‘iddah adalah:

1 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah 8, terj. Muh. Tholib, Bandung: Al-Ma’arif, Cet. II, 1983.,

hlm. 139-140.

Page 2: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

23

اسم لمدة تتربص بهاالمرأة عن التزويج بعد وفاة زوجها وفراقه لها إما

. بالوالدة أو األقرإ أو األشهر

Artinya : ‘iddah ialah suatu nama bagi suatu masa tunggu yang wajib dilakukan oleh wanita untuk tidak melakukan perkawinan setelah kematian suaminya atau perceraian dengan suaminya itu, baik dengan melahirkan anaknya, atau beberapa kali suci/haid, atau bebrapa bulan tertentu. 2

Menurut Prof. Abu Zahrah memberi definisi ‘iddah ialah:

ضرب إلنقضاء مابقي من أثار النكاحأجل Artinya : ‘iddah ialah suatu masa yang ditetapkan untuk mengakhiri

pengaruh-pengaruh perkawinan.

Lebih lanjut lagi dia mengatakan:

Jika terjadi perceraian antara seorang laki-laki dan istrinya, tidak terputus secara tuntas ikatan suami-istri itu dari segala seginya dengan semata-mata terjadi perceraian, melainkan istri wajib menunggu, tidak boleh kawin dengan laki-laki lain sampai habis masa tertentu yang telah ditentukan oleh syara’. 3

Memang ulama memberikan pengertian yang berbeda-beda,

namun jika dipahami definisi mereka ada titik persamaan. Bahwa ‘iddah

adalah masa menunggu yang harus dijalani seorang istri yang putus

perkawinan dengan suaminya, baik putusan perkawinan itu karena

kematian suami atau karena perceraian. Masa menunggu itu adalah masa

di mana seorang perempuan tidak diperbolehkan menerima pinangan dan

melaksanakan perkawinan dengan laki-laki lain selama belum habis

2 Departemen Agama, Ilmu Fiqh II, Jakarta: Proyeksi Pembinaan Prasarana dan Sarana,

Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta dan Direktorat Jendral Pembinaan Klembagaan Agama Islam, Cet II, 1984/1985, hlm. 274.

3 Ibid hlm. 275.

Page 3: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

24

waktunya, dan waktu tunggu itu telah ditentukan oleh syara’ beberapa

lamanya.

2. Dasar hukum ‘iddah

Yang menjadi dasar disyari’atkan hukum ‘iddah adalah :

A. Al-Qur’an

Dalam al-Qur’an, banyak ayat yang menunjukkan kewajiban

bagi perempuan untuk ber ‘iddah diantaranya :

Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 228 :

Artinya : Dan perempuan yang berthalaq hendaklah ia menahan diri

tiga kali quru’…..(QS. al-Baqarah : 228). 4 Surat al-Baqarah ayat 234 :

Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan

meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) ber’iddah empat bulan sepuluh hari. (QS. al-Baqarah 234) 5

Surat al Ahzab ayat 49 :

☺ ☺ ☺

4 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjamahnya, Jakarta: 1971, hlm. 55. 5 Ibid, hlm. 57.

Page 4: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

25

☺ ☯ ⌧

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bila kamu menikahi

perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.(QS.Al-Ahzab;49). 6

B. Al-Hadits

Dalam sunnah nabi yang dijadikan sebagai dasar hukum

tentang ‘iddah diantaranya,:

ث أمرت بريرة أن تعتد بثال: وعن عائشة رضي اهللا عنها قالت

)لكنه معلول, رواه ابن ماجه ورواته ثقات(خيض

Artinya : Dari Aisyah r.a. ia berkata “Barirah diperintahkan agar ber’iddah dengan tiga kali haidl” (Diriwayatkan oleh ibnu majah dan rawi-rawinya dapat dipercay, hanya hadits ini ma’lil.). 7

رضي اهللا عنه في امراة المفقود تربص اربع سنين ثم عن عمر

)أخرجه مالك والشافعي(تعتد اربعة اشهر وعشرا

Artinya : “Dari Umar. r.a. “tentang perempuan yang kehilangan

suaminya, ia harus menunggu selama empat tahun, kemudian ber’iddah, empat bulan sepuluh hari” (Diriwayatkan oleh Malik dan Syafi’i) 8

Sabda Nabi SAW. Kepada Fatimah binti Qais :

6 Ibid, hlm. 675. 7 Muh. Sjarif Sukandy, Bulughul Maram, (Terj.) Bandung: PT Al-Ma’arif, 1986, hlm.

409. 8 Ibid, hlm. 414.

Page 5: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

26

اعتدي في بيت ام مكتوم

Artinya : “Ber’iddahlah kamu dirumah Ummi Maktum” 9

Dalil-dalil diatas menunjukan bahwa ‘iddah adalah masa

menunggu bagi wanita yang di talak suami (cerai hidup) atau ditinggal

mati suami (cerai mati). Perbedaan status ini merupakan faktor penentu

jenis ‘iddah yang akan di jalankan seorang isteri. Adapun wanita hamil

‘iddahnya empat bulan sepuluh hari. Ini berarti bahwa masa ‘iddah

perempuan yang di talak suaminya (cerai hidup) lebih pendek dari

cerai mati, yaitu tiga kali quru’ bagi, mereka yang berada dalam masa

haid dan tiga bulan bagi mereka yang belum baligh atau menopouse.

Menurut Wahbah Zuhaili ‘iddah disyariatkan dengan alasan

utama untuk mengetahui kondisi rahim perempuan yang bercerai

dengan suaminya, karena ketegasan kenisbatan keteurunan dalam

Islam merupakan hal penting. Sehingga untuk menghindari kekacauan

nisbat keteurunan manusia dilakukan aturan ‘iddah bagi isteri yang

bercerai dengan suaminya baik cerai hidup maupun cerai mati.

B. Macam-macam ‘iddah

Secara garis besar ‘iddah dibagi menjadi dua :

1. ‘iddah karena meninggalnya suami

9 Sa’id Thalib Al-Hamdani penerjemah Agus Salim, Risalatun Nikah, Jakarta: Pustaka

Amani, 1989, hlm. 251.

Page 6: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

27

Dalam hal ini posisi ‘iddahnya, ada dua kemungkinan, yaitu wanita

yang dalam keadaan hamil dan tidak hamil. 10 Apabila wanita yang

ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya sampai ia

melahirkan. Firman Allah SWT :

⌧ … Artinya : Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka itu

ialah sampai melahirkan kandungannya…” (QS. Ath-Thalaq;4 ). 11

Sedangkan bagi istri yang ditinggal mati suaminya, baik ia sudah

atau belum bercampur dengan suaminya yang meninggal itu, maka iddah

mereka empat bulan sepuluh hari. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:

Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan dengan

meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari (QS. Al-Baqarah;234). 12

2. ‘iddah karena perceraian/thalaq.

Mengenai iddah karena talaq ini maka ada beberapa kemungkinan :

10 Sayaid Sabiq alih bahasa Moh. Tholib, Fikih Sunnah, Jilid 8, Bandung: al-Ma’arif,

hlm.147. 11 Departemen Agama, Op. Cit., hlm. 946. 12 Ibid. hlm. 57.

Page 7: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

28

a. Wanita yang ditalaq suaminya dalam keadaan hamil maka ‘iddahnya

ialah sampai melahirkan. 13

b. Wanita yang di thalaq suaminya karena masih mempunyai haid, maka

‘iddahnya ialah tiga kali suci. Firman Allah;

….

Artinya : Wanita-wanita yang di thalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’….(QS.Al-Baqarah;228). 14

c. Wanita yang di thalaq suaminya sudah tidak hamil dan tidak pula haid

baik masih kecil atau sudah lanjut usia, maka ‘iddahnya adalah tiga

bulan. Firman Allah :

.

Artinya : Dan perempuan-perempuan yang tidak lagi diantara perempuan-perempuan jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya) maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid ….(QS.Ath-Thalaq;4). 15

d. Wanita yang di cerai sebelum dikumpuli, maka tidak ada ‘iddah

baginya. Firman Allah :

13 Sayid Sabiq, Op.Cit. hlm. 142. 14 Ibid. hlm. 55. 15 Ibid. hlm. 946.

Page 8: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

29

☺ ☺

☺ ☺

☯ ⌧

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampuri. Maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakan…”(QS.Al-Ahzab;49). 16

Macam-macam ‘iddah diatas, maka dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. ‘iddah perempuan yang sedang dalam menstruasi: tiga kali menstruasi.

2. ‘iddah perempuan dalam keadaan suci: tiga bulan.

3. ‘iddah perempuan yang telah melewati masa menstruasinya

(menopause) selam tiga bulan.

4. ‘iddah perempuan hamil sampai melahirkan.

5. tidak ada ‘iddah bagi perempuan yang belum duhul (berstubuh).

C. Ketentuan ‘iddah dalam hukum Islam

Di bab terdahulu, penulis sudah memaparkan bahwa perkembangan

hukum Islam khususnya di Indonesia. Indikasinya, bisa dilihat dari maraknya

perdebatan di kalangan pemikir Islam. Sebagaimana diketahui apa yang

diungkapkan oleh para pemikir sedikit banyak telah mempngaruhi keyakinan

dan tak jarang menjadi bahan referensi masyarakat. Tetapi perlu diketahui,

16 Ibid. hlm. 675.

Page 9: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

30

dalam sejarah turunya, Islam merupakan agama yang toleran, dan juga

diturunkan sebagai agama pembebas.17 Islam melawan segala bentuk

dikriminasi dan paksaan. Islam mengatur keseimbangan antara keadilan

dengan cara yang benar dan bersiteguh untuk meneliti semua situasi dan

kondisi yang terkait dengan kejahatan. Hal ini yang membuat perjalanan

pemikiran hukum Islam mengalami benturan kepentingan melalui paradigma

yang digunakannya masing-masing.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Maksun Fuad, ada dua perspektif

yang mewarnai ide pemikiran hukum Islam di Indonesia, yakni pertama,

perspektif simpatis-partisipatoris. Dalam perspektif ini, hukum Islam

diandaikan bukan saja mampu merespon perkembangan zaman, akan tetapi

lebih jauh harus mampu mendorong proses pembangunan yang dijalankan

oleh negara. Artinya hukum Islam harus dihadirkan dan dijadikan sebagai alat

rekayasa sosial yang bisa menunjang pembangunan negara.

Perspektif kedua adalah kritis emansipatoris. Dalam perspektif ini,

para pemikir dalam bidang hukum Islam menjadikannya sebagai medium

kritik sosial. Dalam hal ini, hukum Islam dihadirkan sebagai sarana yang bisa

digunakan untuk mengkritisi kebijakan negara dan sekaligus mampu

memberdayakan potensi masyarakat dalam berhadapan dengan negara. Kedua

17 Artinya Islam bukan sekedar peryataan keyakinan, tidak hanya mewakili peningkatan

kehidupanm ruhaniyah, maupun penghalusan dan pendidikan nilai-nilai luhur manusia, melainkan keseluruhan yang harmonis yang juga mencakup sisitem ekonomi yang adil, organisasi sosial yang seimbang, aturan kemasyarakatan, undang-undang pidana maupun internasional, wawasan filsafatis mengenai kehidupan bersama, dengan sistem pengajaran fisik, yangt semuanya mengalis dari keyakinan mendasar yang sama dari Islam dan temperamen moral dan spiritualnya. Muhammad Quthub, Islam Agama Pembebas, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 2.

Page 10: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

31

perspektif diatas ini merupakan bentuk pemikiran yang akan menentukan arah

hukum Islam.

Hukum Islam dalam pelaksanaanya merupakan sumber unsur normatif

dalam penataan kehidupan manusia yang berpangkal dari keyakinan dan

penerimaan terhadap sumber ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam

mushaf Qur’an dan kitab-kitab hadits. Dari sini, dua sumber otoritatif itu

dijadikan patokan dalam menata hubungan antar sesama manusia dan manusia

dengan mahluk lainnya.

Ruang lingkup pembahasannya hukum Islam, yang meliputi beberapa

bidang, diantaranya bidang muamalah, siyasah dan ibadah. ‘iddah menjadi

bagian dari persoalan mu’amalah khususnya dalam bab munakahat.

‘iddah menurut istilah hukum Islam ialah “masa tunggu yang

ditetapkan oleh hukum syara’ bagi wanita untuk tidak melakukan akad

perkawinan dengan laki-laki lain dalam masa tersebut, sebagai akibat ditinggal

mati suaminya atau perceraian dengan perceraian itu, dalam rangka

membersihkan diri dari pengaruh dan akibat hubungannya dengan suaminya

itu”. Dari istilah tersebut bisa disimpulkan bahwa pada dasarnya hukum Islam

mewajibkan ‘iddah terhadap perempuan setelah perkawinannya putus baik

disebabkan dengan meninggalnya suami maupun karena bercerai dengan

suaminya.

Penentuan masa ‘iddah dalam hukum Islam ditetapkan dengan

keadaan istri pada saat terjadi putusan, maksudnya adalah apakah antara suami

istri telah berkumpul atau belum, putusnya perkawinan tersebut karena suami

Page 11: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

32

meninggal dunia atau bercerai dalam keadaan sama-sama masih hidup, apakah

istri pada saat putusnya perkawinan itu dalam keadaan hamil atau tidak hamil,

serta apakah pada saat putusnya perkawinan itu beluim pernah berhaidh

(menstruasi), masih haidh, ataukah sudah haidh.

Batasan batasan ketentuan iddah dalam hukum Islam dengan pendapat

imam madzhab diantaranya :

1. ‘iddah wanita yang di talak

a. Wanita hamil, maka ‘iddahnya sampai melahirkan.

Hal tersebut diatas masih masih berdeda pendapat dikalangan

madzhab, ini apabila wanita tersebut mengalami keguguran, dimana

yang dikeluarkan itu belum merupakan bayi yang sempurna. Imam

Hanafi, Syafi’I, dan Hambali mengatakan; wanita tersebut dianggap

belum keluar dari ‘iddah-nya dengan terpisahnya kandungannya dari

dirinya. Sedangkan imamiyah dan hanafi mengatakan : wanita tersebut

telah keluar dari ‘iddahnya, sekalipun yang keluar dari rahimnya itu

baru berupa sepotong kecil daging, sepanjang potongan tersebut adalah

embrio manusia. Bagi Hanafi, batas maksimal kehamilan adalah dua

tahun, bagi Syafi’i dan Hambali empat tahun, sedangkan Maliki lima

tahun.

b. ‘iddah tiga bulan hilaliah (berdasarkan perhitungan bulan), yakni bagi

wanita yang baligh tetapi tidak pernah mengalami haidh sama sekali,

serta wanita yang mencapai masa menopouse. Bagi Maliki, masa

menopouse adalah usia tujuh puluh tahun, Hambali lima puluh tahun,

Page 12: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

33

Hanafi lima puluh lima tahun, Syafi’I- menurut pendapatnya yang kuat

enam puluh dua tahun.

Sedangkan istri yang telah dicampuri sebelum usianya menginjak

sembilan tahun, menurut Hanafi wajib menjalani ‘iddah sekalipun dia

masih gadis kecil. Maliki dan Syafi’I mengatakan: gadis kecil yang

belum layak (kuat) dicampuri tidak wajib menjalani ‘iddah, tetapi

wajib mereka yang sudah bisa dicampuri sekalipun belum berusia

sembilan tahun. Imamiyah dan Hambali mengatakan : tidak ada

kewajiban menjalani ‘iddah bagi wanita yang belum berusia sembilan

tahun, sekaipun ia sudah bisa dicampuri.

c. ‘iddah tiga quru’, yaitu bagi wanita yang telah mencapai usia sembilan

tahun, tidak hamil, bukan menopouse, dan telah mengalami haidh.

Maliki dan Syafi’I menginterpretasikan quru’ dengan masa suci (tidak

haidh), sehingga bila waktu tersebut dicerai pada hari-hari terakhir

masa sucinya, maka masa tersebut dihitung sebagai bagian dari masa

‘iddah, yang kemudian disempurnakan dengan masa suci sesudahnya.

Sedangkan Hanafi dan Hambali menginterpretasikanya dengan masa

haidh, sehingga bagaimana pun, wanita tersenbut harus melewati tiga

masa haidh (dalam menyelesaikan ‘iddah-nya) sesudah dia ditalak,

tidak termasuk masa haidh ketika ia dijatuhi talak. 18

2. ‘iddah wafat

18 Muhammad Jawad Mughniyaj, Fiqih Lima Madzhab, cet. 7, Jakarta: Lentera

Basritama, 2001, hlm. 464-467.

Page 13: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

34

Para ulama sepakat bahwa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya,

sedangkan dia tidak hamil, adalah empat bulan sepuluh hari, baik wanita

tersebut sudah dewasa maupun masih anak-anak, dalam usia menopouse

atau tidak, sesudah dicampuri atau belum. Dalam “Fiqih Lima Madzhab”

disebutkan : ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya

adalah sampai ia melahirkan bayinya, sekalipun beberapa hanya

beberapa saat sesudah ia ditinggal oleh suaminya itu, dimana dia sudah

boleh kawin lagi sesudah lepas kehamilannya. 19

D. Ketentuan ‘iddah dalam Undang-Undang Perkawinan

Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum yang bersumber pada

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam gerak kenegaraan

Indonesia pada UUD 45 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 alinia

keempat pembukaan UUD 45 berisi pernyataan tujuan berdirinya negara

Indonesia dan rumusan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara. 20 Dengan

pengaturan gerak kenegaraan dalam UUD 45 yang diikuti oleh ketetapan

MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah

19 Ibid, hlm. 469. 20 Tujuan negara dan pemerintahan dalam pembukaan undang-undang dasar Negara ialah

: “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Lihat, Batang tubuh pembukaan UUD 1945.

Page 14: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

35

Pengganti Undang-Undang, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri,

maka Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum.

Sedangkan, Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara menjamin

kehidupan beragama. Agama-agama yang dipeluk penduduk Indonesia

mempengaruhi hukum nasional karena tiap-tiap tiap-tiap agama memuat

norma hukum yang ditaati oleh pemeluknya. Bagi bangsa dan negara

Indonesia, Pancasila adalah cita hukum yang diatasnya dibangun tata hukum

negara Indonesia yang di cita-citakan. 21 Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”

adalah pertama yang merupakan bagian integral Pancasila, berkedudukan

sebagai “dasar negara”. 22

Hukum negara sangat menghormati dan mendududkan hukum agama

berlaku dalam hukum nasional. Unifikasi hanya dapat diwujudkan dalam

bidang-bidang hukum tertentu yang agama tidak memberikan ajaran atau

ketentuan hukum sendiri. Hukum nasional yang dikehendaki negara adalah

hukum yang menampung dan memasukan hukum agama, dan tidak memuat

norma yang bertentangan dengan agama. Dalam peraturan perundangan

Indonesia terlihat kecenderungan makin kuatnya kedudukan hukum agama

dalam hukum nasional, sebagaimana ditunjukan oleh berbagai peraturan

perundang-undangan, Hal ini terlihat pada salah satu Undang-Undang, yakni

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Proses, Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974

tentang Perkawinan disahkan dan ditandatangani Presiden Republik Indonesia

21 Lihat, A. Hamid S. Attamimi, Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum bangsa Indonesia, dalam. Oetojo Oesman dan Alfian, Jakarta 1991, hlm. 62-87.

22 Bab XI, Pasal 29 ayat 1 UUD 1945.

Page 15: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

36

Jendral TNI Soeharto (sewaktu menjabat presiden) di Jakarta pada tanggal 2

Januari 1974, dan pada hari itu juga diundangkan yang ditandatangani

Menteri/Sekretaris Negara RI, Mayor Jendral TNI Sudarmono, tahun 1974 no.

1 yang penjelasannya dimuat dalam lembaran negara Republik Indonesia no.

3019, undang-undang ini berisi 14 bab dan 67 pasal, didalamnya diatur

tentang dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan,

batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, putusnya perkawinan serta

akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak,

perwalian dan ketentuan-kentuan lain.

UU no. 1-1974 tentang Perkawinan menganut asas-asas atau prinsip-

prinsip sebagai berikut:

e. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal.

f. Pekawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan

kepercayaannya itu.

g. Perkawinan harus dicatat menurut perundangan

h. Perkawinan berasas monogami terbuka

i. Calon suami isteri harus sudah masuk jiwa raganya untuk melangsungkan

perkawinan

j. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16

tahun

k. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang peradilan

Page 16: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

37

l. Hak dan kewajiban suami isteri harus seimbang 23

Namun, untuk kelancaran pelaksanaannya UU no.1-1974 tersebut

pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 9

tahun 1975 tentang pelaksanaan. Ada beberapa pasal yang mengatur tentang

Ketentuan Umum, Pencatatan Perkawinan, Tata Cara Perkawinan, Akta

Perkawinan, Tata cara Perceraian, Pembatalan Perkawinan, Waktu Tunggu,

Beristeri lebih dari seorang, ketentuan Pidana dan Penutup.

Dari sisi pelaksanaan tersebut, semua bab dan pasal diatur secara rigit,

salah satu konsep yang akan dibahas dalam kali ini adalah bagaiman ketentuan

masa tunggu dalam UU Perkawinan. Ketentuan waktu tunggu dalam UU

perkawinan hampir sama dengan apa yang ada dalam hukum Islam, hanya saja

pemakaian kata. Dalam hukum Islam disebut ‘iddah, tetapi subtansinya sama.

Ketentuan Waktu Tunggu dalam UU Perkawinan diantaranya pada bab

VII pasal 39 menyatakan bahwa:

1). Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam pasal 11 ayat 2.

Undang-undang ditentukan sebagai berikut :

a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan

130 (seratus tiga puluh) hari.

b. Apabila perkawinan putusan karena perceraian, waktu tunggu bagi yang

masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-

kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang

bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.

23 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia; Menurut Perundangan Hukum

Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm. 4-6.

Page 17: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

38

c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,

waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

2). Tidak ada waktu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian

sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi

hubungan kelamin.

3). Bagi perkawinan yng putus karena perceraian, tenggang watu tunggu

dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan

hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena

kematian, tenggang waktu tunggu di hitung sejak kematian suami. 24

E. Ketentuan ‘iddah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Istilah komiplasi hukum diambil dari bahasa latin “compilare” yang

berarti mengumpulkan bersama-sama, seperti mengumpulkan peraturan-

peraturan yang tersebar dimana-mana. Istilah ini kemudian dikembangkan

dalam bahasa Inggris menjadi “compilation” atau dalam bahasa belanda

“Complatie” , baru belakangan ini diadopsi kedalam bahasa indonesia menjadi

“kompilasi”. 25

Kelahiran kompilasi hukum Islam tidak terlepas dari kodifikasi dan

realita hukum Islam di Indonesia selama ini, diantaranya adalah belum adanya

kesatuan yang disepakati sebagai hukum Islam. Sebagaimana realitas hukum

Islam di dunia Islam umumnya. Apalagi pada waktu itu, hukum Islam di

24 Undang-Undang Perkawinan, edisi lengkap, Bandung: Fokusmedia, 2005 hlm. 45-46. 25 Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo,

1995, hlm. 10. Adapun definisi kompilasi yang lain adalah kegiatan pengumpulan atau sesuatu yang di himpun. Lihat dalam Kamus Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001, hlm. 968.

Page 18: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

39

Indonesia masih tersebar didalam kitab-kitab klasik yang dikarang pada

puluhan abad yang lalu. 26

Kitab-kitab itulah yang memberi informasi hukum baik disekolah-

sekolah, perguruan tinggi, lebih-lebih di pesantren. Kajian terhadap kitab-

kitab fiqh pada umumnya masih belum konprehensif dan wawasan yang

bdibangun tidak memberi peluang kritik, bahkan yang dibangun adalah

persepsi yang tidak propesional, diantaranya berbentuk kerancuan pemahaman

antara syariah dan fiqh.

Hal ini melahirkan sakralisasi karya karya fiqh, yang tidak dipandang

sebagai produk pemikir namun sebagai syariat agama. Persoalan lain realita

hukum Islam di Indonesia adalah ketidak seragaman karya-karya klasik itu,

meskipun umumnya yang berlaku di Indonesia itu madzhab Syafi’i, namun

bukan berarti tanpa masalah dan perbedaan, banyak kesimpulan hukum yang

sulit untuk memberi kepastian hukum.

Untuk menyeragamkan hukum Islam dalam hubungannya dengan

masyarakat (soal perdata), maka disusunnya Kompilasi hukum Islam, ini

merupakan bagian dari upaya kita dalam rangka mencari pola fiqh yang

bersifat khas Indonesia atau fiqh yang bersifat kontekstual, ini sejalan dengan

kemunculan ide-ide pembaharuan dalam pemikiran hukum Islam Indonesia.27

Sejalan dengan waktu, maka ditetapkanlah Komilasi Hukum Islam ini

atas Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991, dan ditujukan kepada Menteri

26 M. Masruri Basran dan Zaini Dachlan, Kodifikasi Hukum Islam di Indonesia, dalam

Sudirman Tebba (ed), Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara, Bandung: Mizan, 1992, hlm. 61.

27 Abdurrahman, Op.Cit, hlm. 31.

Page 19: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

40

Agama berdasarkan keputusan bersama ketua Mahkamah Agung pada tanggal

21 Maret 1985. KHI resmi menjadi sebagai pedoman resmi dalam bidang

hukum material bagi para hakim di limngkungan Peradilan Agama di seluruh

Indonesia.

Ada 3 (tiga) tujuan pokok KHI diantaranya:

a. Merumuskan secara sistematis dan konkret hukum Islam di Indonesia

b. Membangun landasan penerapan hukum Islam di lingkungan Peradilan

Agama yang berwawasan nasional.

c. Menegakan kepastian hukum yang lebih seragam

Kompilasi Hukum Islam terdiri dari terdiri atas 3 buku masing-masing

buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentang

Perwakafan. Namun, yang lebih dibahas adalah Buku I tentang Perkawinan

terutama pada bagaimana kententuan Waktu Tunggu (‘iddah) isi didalamnya.

Dalam KHI menyebutkan dalam Bab XVII bagian kedua pasal 135 yang

menyebutkan:

1). Bagi nseorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau

‘iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena

kematian suami.

2). Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut;

a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul,

waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang

masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90

Page 20: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

41

(sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90

(sembilan puluh) hari.

c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut

dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut

dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

3). Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian

sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.

4). Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu

dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai

kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena

kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suaminya.

5). Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani

‘iddah tidak haid karena menyusui, maka ‘iddahnya tiga kali waktu suci.

6). Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka ‘iddahnya

selama satu tahun. Akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia

berhaid kembali, maka ‘iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.

Selanjutnya pada pasal 154, menyebutkan; apabila isteri tertalak raj’I

kemudian dalam waktu ‘iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2)

huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153, ditinggal mati oleh suaminya,

maka ‘iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat

matinya bekas suaminya.

Page 21: BAB II TINAJAUAN UMUM KONSEP ‘IDDAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · Ditinjau dari etimologi, kata ‘iddah adalah masdar dari fi’il madhi ‘adda

42

Dan pasal 155 menyebutkan: waktu iddah bagi janda yang putus

perkawinannya karena khulu, faskh dan li’an berlaku ‘iddah talak.