‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al...
Transcript of ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al...
‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al-Zuhailī
(Kajian Analisi QS. al-Nisā’: 139, QS. al-Mā’idah: 51, dan QS.
Mumtahanah: 1)Melalui Metode Maqāṣid al-Syarī‘ah
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Dayu Aqraminas
11140340000173
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440H/2018M
ABSTRAK
Dayu Aqraminas
11140340000173
‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Prespektif Wahbah Al-Zuhailī (Kajian
Analisis QS. al-Nisā’: 139, QS. al-Mā’idah: 51, dan QS. Mumtahanah:1)
Melalui Metode Maqāṣid al-Syarī‘h
Skripsi ini membahas tentang penafsiran ayat-ayat yang digunakan untuk
menentukan sebab larangan kepemimpinan orang kafir. Salah satu penafsiran dari
Intlektual Muslim Prof Nadirsyah Housen dalam karyanya Tafsir al-Quran di
Medsos, menyatakan ‘Illat (sebab) pelarangan pemimpin kafir adalah berkhianat.
Pendapat ini yang kemudian dikaji dengan menggunakan pendekatan literatur
tafsir dan Ushul Fiqh
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka. Sumber data
dalam penelitian ini adalah penafsiran ayat al-Qur‟an yang ditulis dalam artikel
Prof Nadirsyah Housen dan karya tulis beliau Tafsir al-Qur‟an di Medsos. Dalam
meneliti pendapat beliau menggunakan dua Literatur, pertama beberapa tafsir
klasik: Tafsir al-Qurtubī, Tafsir al-Rāzī (Mafātih al-Ghaib), Tafsir al-Marāghī,
dan lainnya. Kedua Ushul fiqih: Wahbah al-Zuhailī, Abū Ḥamid l-Ghazālī, dan
lainnya.
Penelitian ini menyimpulkan, Khianat tidak bisa menjadi „Illat (sebab)
larangan kepimpinan orang kafir, karena kata “Khianat” tidak ditemukan di dalam
penafsiran para Ulama, dan penafsiran Ulama di dalam menentukan „Illat larangan
itu membutuhkan Masālik (metode), sehingga di dalam menggunakan metode
Ushul Fiqih, Khianat tidak memenuhi syarat-syarat ketentuan untuk menjadi „illat,
yang menjadi „illat larangan Muwālah al-Kuffār (kepemimpinan kafir) adalah
kekafirannya sendiri, yang menolak agama Islam.
KATA PENGANTAR
الحمد هلل الذي خلق كل شيئ قادر على كل شيئ
Segala puji milik Allah SWT yang selalu memberikan kepada kita semua
rahmat, semoga kita selalu istiqamah menjadi seorang hamba yang selalu patuh
kepada-Nya. Sholawat untuk Nabi Muhammad SAW, sebagai ayah yang tidak
lelah dalam berjuang, seorang pemimpin yang diberi gelar al-Āmin, untuk
memperjuangkan agama Allah, semoga kita diberikan Syafa’at (pertolongan)
dikemudian nanti.
Sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi dan mencapai gelar Strata
Satu (S1) di Universitar Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta adalah membuat
karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Berbagai hambatan selama menyusun
skripsi, karena masih kurang pengetahuan untuk menyelesaikannya,
Alhamdulillah dengan izin allah dengan niat dan tekad yang sungguh, dapat
menyelesaikan tugas akhir ini.
Kendati, ini semua tidak terlepas dari dukungan dan banyak pihak. Oleh
karenanya, penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. Sebagai Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir
4. Drs. Banun Binaningrum, M.Pd Sebagai Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an
dan Tafsir
5. Dr. M. Suryadinata, MA sebagai Dosen Pembimbing skripsi yang selalu
meluangkan waktu dan pikirannya selama menjadi pembimbing, terimakasih
banyak semoga menjadi amal jariyah.
6. Muhammad Zuhdi, M.Ag sebagai Dosen Pembimbing Akademik
7. Kepada seluruh Dosen-dosen Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Prof. Dr. H. Said
Agil Husin Al Munawar M.A., Prof. Dr. H. Zainun Kamaluddin Fakih M.A,
Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar M.A, Dr. Abd. Moqsith, M.Ag, Rifqi
Muhammad Fatkhi, M.A., dan semuanya yang pernah mengajar saya dari
semester I-VII, Jazākumullah Wanafa‘anā bi ‘Ulūmihim.
8. Terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua Dahlan Abdullah dan
Siti al-Mukaramah, yang selalu mendoakan, memberi nasehat, dukungan, dan
memperhatikan kesehatan. Semoga Allah senantiasa melindungi dan
mengampuni kesalahan.
9. Seluruh Sahabat-sahabat Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2014, teman
seperjuangan, teman untuk berdiskusi. Semoga Allah memberikan keberkahan
dalam pertemuan kita.
10. Teman KKN 047, sebulan kita mengabdi semoga menjadi amal kebaikan kita
dan menjadi keberkahan untuk mereka.
11. Kepada teman-teman yang selalu memberikan arahan dan dukungan,
terimakasih semua semoga Allah mebalas dengan kebaikan pula. Āmīn Ya
Rabba al-‘Alamīn.
Sekali lagi, terimakasih dukungan dan bantuannya semoga menjadi amal
kebaikan untuk kita semua
Ciputat, 25 Mei 2018
Dayu Aqraminas
11140340000173
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 158/1987 dan 0543 b/U/1987, Tanggal
22 Januari 1988.
A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
alif tidak dilambangkan ا
ba‟ b be ب
ta‟ t te ت
sa‟ ṡ es (dengan titik di atas) ث
jim j je ج
ha‟ ḥ ha (dengan titik di bawah) ح
kha‟ kh ka dan ha خ
dal d de د
zal ż zet (dengan titik di atas) ذ
ra‟ r er ر
zai z zet ز
sin s es س
syin sy es dan ye ش
sad ṣ es (dengan titik di bawah) ص
dad ḍ de (dengan titik di bawah) ض
ta‟ ṭ te (dengan titik di bawah) ط
za‟ ẓ zet (dengan titik di bawah) ظ
ain „ koma terbalik di atas„ ع
gain g ge غ
fa f ef ف
qaf q qi ق
kaf k ka ك
lam l el ل
mim m em م
nun n en ن
wawu w we و
ha‟ h ha ه
hamzah ‟ apostrof ء
ya y ye ي
B. Konsonan Rangkap Karena Syaddah Ditulis Rangkap
ditulis muta‘aqqidin هتعقدين
ditulis ‘iddah عدة
C. Ta’ Marbutah
1. Bila dimatikan ditulis h
ditulis hibbah هبت
ditulis jizyah جسيت
(Ketentuan ini tidak diberlakukan terhadap kata-kata Arab yang sudah
terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti shalat, zakat, dan sebagainya,
kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).
Bila diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah,
maka ditulis dengan h.
األونيبء كرامت ditulis karāmah al-auliyā
2. Bila ta‟ marbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan ḍammah,
ditulis t
انفطر زكبة ditulis zakātul fitri
D. Vokal Pendek
kasrah ditulis i
fathah ditulis a
ḍammah ditulis u __ۥ___
E. Vokal Panjang
fathah + alif ditulis ā
هلية جا ditulis jāhiliyah
fathah + ya‟ mati ditulis ā
ditulis yas` ā يسعى
kasrah + ya‟ mati ditulis ī
ditulis karīm كرين
ḍammah + wawu mati ditulis ū
F. Vokal Rangkap
fathah + ya‟ mati ditulis ai
ditulis bainakum بيىكم
fathah + wawu mati ditulis au
ditulis qaulun قول
G. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan dengan
Apostrof
ditulis a’antum أأوتم
ditulis u‘iddat ث أعد
ditulis la’in syakartum شكرتم نئه
H. Kata Sandang Alif + Lam
a. Bila diikuti huruf Qamariyyah
ditulis al-Qur’ān انقرأن
ditulis al-qiyās انقيبش
b. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggandakan huruf
Syamsiyyah yang mengikutinya serta menghilangkan huruf l (el)-nya
’ditulis as-samā انسمبء
ditulis asy-syams انشمص
I. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat
Ditulis menurut bunyi pengucapannya dan menulis penulisannya
انفوض ذوي ditulis żawī al-furūd
انسىت أهم ditulis ahl as-sunnah
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING.......................................................
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN....................................................
LEMBAR PERYATAAN.....................................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI...........................................................................
ABSTRAK..............................................................................................................
KATA PENGANTAR............................................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................................
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah....................................................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................................4
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.......................................................................5
D. Tinjauan Pustaka................................................................................................5
E. Metodologi Penelitian........................................................................................7
F. Sistematika Penulisan........................................................................................9
BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG BIOGRAFI WAHBAH AL
ZUHAILĪ DAN MAQĀṢID AL-SYARĪ’AH
A. Biografi Wahbah al-Zuhailī.............................................................................10
B. Maqāṣid al-Syari’āh Wahbah al-Zuhailī..........................................................15
BAB III: DISKURSUS ‘ILLAT
A. Definisi ‘Illat...................................................................................................19
B. Perbedaan ‘Illat, Sebab, dan Hikmah..............................................................22
C. ‘Illat Sebagai Penentu ada dan tidaknya Hukum.............................................25
D. Masālik (Metode) dalam menentukan ‘Illat....................................................26
BAB IV: ‘ILLAT LARANGAN MUWĀLAH AL-KUFFĀR
A. Definisi Muwālah al-Kuffār.............................................................................34
B. Penafsiran ’Auliya’ dalam al-Qur’an Objek dan Konteks................................37
C. Sosio-Kultural Larangan Pemimpin Kafir.......................................................44
D. ‘Illar Larangan Muwālah al-Kuffār..................................................................49
BAB V: KESIMPULAN
A. Kesimpulan......................................................................................................64
B. Saran................................................................................................................65
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................66
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Baru-baru ini Masyarakat Indonesia dikejutkan adanya persoalan aksi
demonstrasi untuk menolak Basuki Tjahya Purnama (Ahok) sebagai gubernur
kota DKI Jakarta, yang sebelumnya sudah ada penolakan yang terjadi ketika
penggantian kepemimpinan Joko Widodo yang kini menjadi Presiden yang ke-7.
Ini dilakukan berdasarkan perbedaan teologi akidah seorang muslim, yang di
Indonesia ini mayoritas penduduknya menganut agama Islam, ditambah lagi kasus
penistaan yang dilakukan oleh Basuki Tjahya Purnama (Ahok) terkait QS. al-
Mā’idah: 51.
Terkait masalah pada QS. al-Mā’idah: 51 ini terjadi perbedaan pendapat
dikalangan Intlektual Muslim, yang berfokus kepada pemahaman makna kata
Auliya’ yang sering disebutkan di beberapa ayat yang tentunya memiliki
perbedaan interpretasi baik secara tekstual maupun kontekstual (‘Illat). Di dalam
al-Qur’an kata Auliya disebutkan sebanyak 42 kali yang masing-masing memiliki
terjemahan yang beragam sesuai konteksnya1. Makna dasarnya dari kata dasar
“Muwālah2” sebagaimana yang dijelaskan Ibn Faris3
(ولي) الواو والالم والیاء : أصل صحیح یدل علي قرب
1 Muhammad Fu’ad Abd al-Baqī, Al-mu’jam al-Mufahras li al-fadz al-Qur’an al-Karim,(dar al-Kitab al-Masriyyah) hlm767
2 Kata dasar dari Muwālah diabmil dari dua istilah, pertama dari fiil madhi, dan keduaakar kata dari masdar. Pada pembahasan ini akar kata diambil dari pendapat Ibn Faris yang berakarkata pada fiil madhi.
3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā Abū al-Husain, Muhaqqīq ‘Abd al-Salām MuhammadHārūn, Mu’jam Maqāyīs al-Lughah, (Dār al-Fik) j 6 hlm 141
2
Menurut beliau akar katanya ini menunjukkan al-Qurb (kedekatan),
sehingga semua pecahan kata ini tetap memberikan makna yang sama yaitu
kedekatan, termasuklah kata “al-Maula” dan “Waliyyun” yang nantinya memiliki
arti beragam seperti diartikan teman setia, penolong, sekutu, pemimpin dan lain-
lainnya. Bahkan terjemahan yang dipakai oleh Kementrian Agama memiliki
beragam tergantung pada konteks, seperti pada QS. Alī Imran/3: 28, QS. al-
Nisā’/4: 139 dan 144 serta QS. al-Mā’idah/5: 57 misalnya, kata awliya
diterjemahkan dengan pemimpin. Sedangkan pada QS. al-Mā’idah/5: 51 dan QS.
al-Mumtahanah/60: 1 diartikan dengan teman setia4. Pada QS. al-Taubah/9: 23
dimaknai dengan pelindung5 dan beragam terjemahan lainnya yang terkait pada
kalimat Auliya. Dari beberapa referensi yang saya baca, belum menemukan
pemberian makna secara ekspilisit penafsiran yang menggunakan kata Auliya
sebagai pemimpin, namun bila yang dimaksud adalah pemberian makna secara
impilisit, maka jelas ada penafsiran yang melakukannya, seperti al-Qurtubi dan
Ibn Katsīr. Penelitian ini berfokus kepada kata auliya yang dimaknai dengan
pemimpin kemudian menelusuri penafsiran ulama tentang sebab pelarangan
pemimpin orang kafir terhadap orang muslim.
Untuk mengetahui apa penyebab dilarang Muwalah al-Kuffar, maka
terlebih dahulu untuk memahami ‘Illatnya. Dan larangan terkait Muwalah al-
Kuffar terjadi ikhtilaf (perbedaan) dikalangan Intlektual Muslim, yang nantinya
berpengaruh kepada pro terhadap orang kafir yang bisa dijadikan sebagai Auliya
4 Kementrian Agama Ri 2010, Al-qur’an dan Tafsir (edisi yang disempurnakan), j 2 hlm415
5 Kementrian Agama Ri 2010, Al-qur’an dan Tafsir (edisi yang disempurnakan), j 4 hlm85
3
dan sebaliknya kontra terhadap orang kafir yang menjadi Auliya. Seperti salah
satu pandangan dari Intlektual Muslim Prof Nadirsyah Housen dalam buku dan
artikel beliau terkait sebab pelarangan pemimpin kafir yaitu ada unsur Khianat
terhadapat kaum muslimin6, yang beargumen dengan sebuah frase dalam ayat
terkait larangan orang kafir sebagai Auliya, seperti QS: Alī Imran 28 dan QS: Alī
Imran 139 dan 144, Frase yang dimaksud adalah :
من دون المؤمنین
Yang bermakna “meninggalkan kaum muslimīn” atau dimaksud adalah
berkhianat, kesimpulannya ketika diasumsikan adalah jika tidak sampai
berkhianat atau meniggalkan kaum muslimin, maka menjadikan orang kafir
sebagai Auliya diperbolehkan.
Sedangkan pemahaman lainnya, sebab pelarangan pemimpin kafir yaitu
berbeda akidah sehingga kepemimpinan mereka (kafir) bisa dilakukan terhadap
kelompok mereka sendiri, tanpa ada unsur khianatpun terhadap muslim juga
dilarang, kesimpulannya jika diasumsikan jangankan berkhianat atau
meninggalkan kaum muslimin, jikat tidak ada unsur berkhianat dan meniggalkan
kaum muslimin tentu dilarang, argumen inilah yang digunakan oleh penulis
diakhir kesimpulan penelitian ini. Sehingga perlu dikaji kembali dari kedua
pendapat, seperti pendapat yang pertama tentang penggunaan metode ‘Illat
(sebab) yang ditelusuri dengan pendekatan Ushul fiqh, kata khianat belum bisa
dikategorikan sebagai ‘Illat sebagaimana yang dijelaskan Imam al-Syaukanī,
6 Nadirsyah Hosen, Tafsir al-Qur’an di Medsos: Mengaji Makna dan Rahasia Ayat Sucidi Era Sosial, ( Bunyan 2017) hlm 73-79 dan http://nadirhosen.net/tsaqofah/tafsir/tafsir-al-mumtahanah-larangan-ber-muwalatul-kuffar, dilihat 28 februari 2017 jam 20:25
4
Imam al-Baidhawī, dan Imam Wahbah Zuhailī. Terkait pendapat yang kedua,
argumen yang digunakan adalah mereka (kafir) baik yahudi maupun nasrani
merupakan musuh Allah berdasarkan pendapat Ibn Katsīr dalam kitabnya,
سالم وأھلھ ینھي تعالي عباده المؤمنین عن مواالة الیھود والنصاري الذین ھم 7أعداء اإل
Lebih uniknya pendapat Ibn Katsir, tidak ada pembeda diantara hukumnya
antara Yahudi-Nasrani yang memerangi dengan yang tidak memerangi, maka
semestinya beliau menjelaskan rinciannya disini, bukan malah menghukumi
secara general.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari sekian banyaknya pembahasan tentang Muwālah al-Kuffār, penulis
lebih membahas kepada ‘Illat (Causa Legis) tentang keharaman Muwālah al-
Kuffar sekaligus mengkritik pernyataan Prof Nadirsyah Housen tentang ‘Illat
(Causa Legis) dalam menentukan keharaman Muwālah al-Kuffār.
Dalam skripsi ini penulis membatasi permasalahan yaitu:
1. Apa ‘Illat (Sebab) Muwalatul Kuffar (kepemimpinan orang kafir) yang
sebenarnya?
2. Apa landasan mereka bahwa Muwālah al-Kuffār (kepemimpinan orang kafir)
adalah khianat?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dalam suatu penelitian atau kajian tentu mempunyai tujuan yang
mendasari tulisan ini, yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pandangan ‘Ulama dalam memahami ‘Illat (sebab)
7Imam al-Jalīl al-Hāfidz ‘Imād al-Dīn Abī al-Fidā’ Ismā’īl Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’anal-‘Adzim, (Dimasqi Bairūt), hlm 253 j 5
5
dilarangnya mengangkat orang kafir sebagai pemimpin
2. Untuk mengkritik pandangan dari salah satu Intlektual Muslim yauitu Prof
Nadirsyah Housen yang berpendapat ‘Illat (sebab) larangan kepemimpinan
orang kafir adalah khianat Sedangkan kegunaannya, yaitu sebagai berikut :
1. Dengan adanya kajian ini, dapat menambah wawasan keilmuan khususnya
dalam bidang tafsir.
2. Dengan adanya kajian ini penulis berharap mudah-mudahan dapat dijadikan
sebagai literatur dan dorongan untuk mengkaji masalah tersebut lebih lanjut.
3. Dan bisa menjawab tulisan Prof Nadirsyah housen yang tidak sesuai dengan
metode keilmuan
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang berkaitan dengan Muwālah al-Kuffār perlu dikaji dan
diteliti dari berbagai aspek, karena bersinggungan langsung dengan sosial
kemasyarakatan yang bermayoritas beragama Islam di negara ini. Penelitian yang
berjudul “Illat Larangan Muwālāh al-Kuffār Prespektif Wahbah al-Zuhailī
Melalui Metode Maqāsid Syarī’ah” ini ingin mengupas tentang konsep sebab
dilarang pengangkatan orang kafir untuk dijadikan Wali/pemimpin.
Dari hasil penelusuran yang telah dilakukan ditemukan literatur yang
berbentuk Skripsi, Tesis dan Jurnal yang menyerupai judul ini.
1. skripsi yang ditulis oleh Rahmiwati yang berjudul " ҒƺƶƱ LjƧ LjƫǛNJƄƵǚ LjƾƞƺƵǚ Ғƃǚ ə
ơǛNJƵǃǐ" , didalam skripsinya membahas tentang kajian semantik
6
terhadap pemakanaan kata Auliya’ dan melihat interprestasi ayat-ayat yang
menyangkut pemimpin orrang kafir ditengah-tengah umat Islam8.
2. Ditulis oleh Wahyu Naldi yang berjudul “Penafsiran terhadap ayat-ayat
larangan memilih pemimpin non-Muslim dalam al-Qur’an, Studi komparasi
antara M. Quraish Shihab dan Sayyid Qutub”, skripsi ini membahas tentang
membandingkan kedua mufassir terhadapat ayat-ayat larangan memilih
pemimpin non-Muslim yang diambil dari lingkungan pribadi mufassir, dan
mencari persamaan dalam penafsiran diantara perbedaaan lingkungan
kemudian di relavansikan pada konteks Indonesia9.
3. Artikel ditulis oleh M. Suryadinata, “kepemimpinan Non-Muslim dalam al-
Qur’an Analisis terhadap Penafsiran FPI mengenai ayat pemimpin Non-
Muslim”, jurnal ini membahas tentang menganalisis penafsiran FPI mengenai
kepemimpinan Non-Muslim, menafsirkan ayat-ayat larangan Muwalah al-
Kuffar secara tekstual yang terkesan memaksa yang menjadikan sebagai dalil-
dalil mereka tentang penolakan terhadap kepemimpinan Non-Muslim10
Dari beberapa literatur baik berupa skripsi dan jurnal yang dijelaskan
diatas, penulisan tidak menemukan adanya kesamaan secara khusus yang dibahas
oleh penulis dalam penulisan ini adalah ‘Illat Larangan Muwālah al-Kuffār
8 Rahmi wati, ơǛNJƵǃǐ " ҒƺƶƱ LjƧ LjƫǛNJƄƵǚ LjƾƞƺƵǚ Ғƃǚ ə" , studi Bahasa dan SastraArab, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015
9 Wahyu nadi, “Penafsiran terhadap ayat-ayat larangan memilih pemimpin non-Muslimdalam al-Qur’an, Studi komparasi antara M. Quraish Shihab dan Sayyid Qutub, Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuludin dan pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta2015
10 M. Suryadinata, “kepemimpinan Non-Muslim dalam al-Qur’an Analisis terhadapPenafsiran FPI mengenai ayat pemimpin Non-Muslim”, e-Jurnal Ilmu Ushuludin volume2/III/2015
7
prespektif Wahbah al-Zuhalī (Kajian Analisis QS. al-Nisā’: 139, QS. al-Māidah:
51, dan QS. Mumtahanah: 1) metode Maqāṣid al-Syarī’ah.
E. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian dalam pembahasan skripsi ini meluputi berbagai hal
sebagai berikut :
1. Metode Pendekatan
Melalui metode ini, penulis menggunakan metode pendekatan penafsiran al-
Qur’an dari segi tafsir tematik. Yakni, menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang
memiliki tujuan yang sama, menyusunnya secara kronologis selama
memungkinkan dengan memperhatikan sebab turunnya, menjelaskannya,
mengaitkannya dengan surah tempat ia berada, menyimpulkan dan menyusun
kesimpulan tersebut ke dalam kerangka pembahasan sehingga tampak dari segala
aspek, dan menilainya dengan kriteria pengetahuan yang sahih.
Untuk lebih jelasnya, penulis menghimpun ayat-ayat Alquran yang berkenaan
dengan Muwālah al-Kuffār (kepemimpinan kafir), kemudian menyusunnya
berdasarkan kronologis serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga
diketahui pengklasifikasiannya. Apakah ia tergolong ayat-ayat makkiyah atau
madaniyyah.
2. Metode Pengumpulan data
Mengenai pengumpulan data, penulis menggunakan metode atau teknik
library research, yaitu mengumpulkan data-data melalui bacaan dan literatur-
literatur yang ada kaitannya dengan pembahasan penulis. Dan sebagai sumber
pokoknya adalah
8
Alquran dan penafisrannya, serta sebagai penunjangnya yaitu buku-buku ke
Islaman yang membahas secara khusus tentang Tafsir, disiplin Ilmu Bahasa dan
Ushul Fiqh dan buku-buku yang membahas secara umum dan implisitnya
mengenai masalah yang dibahas.
3. Metode Pengolahan Data
Mayoritas metode yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah
kualitatif, karena untuk menemukan pengertian yang diinginkan, penulis
mengolah data yang ada untuk selanjutnya di interpretasikan ke dalam konsep
yang bisa mendukung sasaran dan objek pembahasan.
4. Metode Analisis
Pada metode ini, penulis menggunakan tiga macam metode, yaitu :
- Metode deduktif, yaitu metode yang digunakan untuk menyajikan bahan atau
teori yang sifatnya umum untuk kemudian diuraikan dan diterapkan secara
khusus dan terperinci. Pada metode ini menggunakan teorinya Wahbah al-
Zuhaili yaitu Maqāshid al-Syari’ah yang berupa metode ‘Illat
- Metode induktif, yiatu metode analisis yang berangkat dari fakta-fakta yang
khusus lalu ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum.
- Metode komparatif, yaitu metode penyajian yang dilakukan dengan
mengadakan perbandingan antara satu konsep dengan lainnya, kemudian
menarik suatu kesimpulan.
F. Sistematika Penulisan
9
Untuk mempermudah dan memberikan arah serta gambaran materi yang
terkandung dalam skripsi ini, maka penulis menyusun dengan sistematika sebagai
berikut:
Bab I merupakan bab pendahuluan yang teridiri dari latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan penelitian,
metode penelitian dan penulisan serta sistematika penulisan.
Bab II berbicara sepintas tentang Biografi Wahbah al-Zuhaili dan
Maqāshid al-Syari’āh, dimana pembahasan terdiri dari asal-usul keluarga dan
pendidikan, karya-karya Wahbah al-Zuhaili dan pembahasan Maqāṣid al-Syarī’ah
yang dimuat dalam kitab beliau.
Bab III membahas tentang Diskursus ‘Illat, pembahasan ini sebagai
metode dalam penelitian skripsi ini. Adapun yang dibahas yaitu, pertama definisi
‘Illat yang diambil dari pendapat Ulama Literatur Ushul Fiqh kemudian
dikomparatif sehingga mendapatkan kesimpulan umum dalam pendefenisian
‘Illat. Kedua, perbedaan ‘Illat, sebab dan hikmah, pembahasan ini sebagai
pembedaan dalam memposisi kan ‘Illat, sebab dan hikmah sehingga posisi dalam
menetukan Muwālah al-Kuffar bisa ditemukan. Ketiga, pembahasan ‘Illat sebagai
penentu ada dan tidak adanya hukum, dan keempat, yaitu tentang Masālik
(metode) ‘Illat yaitu membahas klasifikasi dalam menggunakan metode setiap
‘Illat hukum.
Bab IV sebagai pembahasan inti menegenai ‘Illat larangan Muwālah al-
Kuffār, di dalam bab ini membahas antara lain: defenisi Muwālah al-Kuffār yang,
penafsiran Auliya’ dalam al-Qur’an Objek dan Konteks, Sosio-Kultular mengenai
10
pelarangan Muwalāh al-Kuffār, dan ‘Illar Larangan Muwalah al-Kuffar Wahbah
al-Zuhaili.
Bab V merupakan bab penutup terdiri dari kesimpulan dan saran-saran
11
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG BIOGRAFI WAHBAH AL-ZUHAILĪ DAN
MAQĀṢID AL-SYARĪ’AH
A. Biografi Wahbah al-Zuhailī
Nama asli beliau adalah Wahbah b. Muṣṭafā al-Zuḥailī. Wahbah
dilahirkan di desa Dir ‘Atiyah, kecamatan Faiha, daerah Qalmūn, Damasqus,
Syiria pada tanggal 6 Maret 1932M / 1351 H11. Ayahnya bernama Muṣṭafā al-
Zuḥailī, beliau merupakan seorang yang terkenal dengan ketakwaan dan
kesalihannya, dan juga beliau adalah seorang hafiz al-Qur’an, beliau bekerja
sebagai petani. Sedangkan Ibunya bernama Fāṭimah b. Muṣṭafā Sa’adah, beliau
seorang yang berpegang teguh terhadap ajaran agama.
Beliau adalah ‘Ulamā’ yang hidup diabad ke -20 yang sejajar dengan
tokoh-tokoh lainya, seperti Ṭahir b. ‘Asyūr, Sa’id Hawwa, Sayyīd Qutb,
Muhammad Abū Zahrah, Mahmūd Syalṭut, ‘Alī Muhammad al-Khafīf, ‘Abd
Ghanī, ‘Abd Khalīq dan Muhammad Salam Mażkur12. Wahbah al-Zuḥailī wafat
pada hari Sabtu sore, tanggal 8 Agustus tahun 2015 di Suriah, beliau menutup
mata pada usia 83 tahun13.
Pendidikan beliau dimulai pada tahun 1946 Wahbah menyelesaikan
pendidikan Ibtidaiyahnya dan melanjutkan pendidikanya di kuliah Syarī’ah di
11 Muhammad Khoiruddin, Kumpulan Biografi Ulama Kontemporer (Bandung: PustakaIlmu, 2003), 102.
12 Lisa Rahayu, Makna Qaulan dalam al-Qur’an; Tinjauan Tafsir Tematik MenurutWahbah al-Zuhailī (Skripsi Sarjana, Fakutas Ushuluddin Univesitas UIN SUSKSA Riau,Pekanbaru, 2010), hlm. 18
13 http://www.nu.or.id/post/read/61511/warisan-syekh-wahbah-zuhaili ( 6 maret 2018,00:19 WIB)
12
Damaskus dan selesai pada tahun 1952. Karena semangatnya dalam belajar dan
kecintaannya terhadap ilmu, sehingga ketika beliau pindah ke Cairo beliau
mengikuti beberapa kuliah secara bersamaan, yaitu di Fakultas Bahasa Arab al-
Azhar University dan Fakultas Sharī’ah di Universitas ‘Ain Syām.14
Dalam masa waktu lima tahun, beliau mendapat tiga ijazah yang kemudian
diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Cairo yang berhasil ditempuh
selama dua tahun dan memperoleh gelar M.A pada tahun 1957 dengan tesisnya
yang berjudul “al-Zirā’i fī al-Siyāsah al-Syarī’ah wa al-Fiqh al-Islāmī “. Karena
beliau merasa belum puas dengan pendidikanya, selanjutnya beliau melanjutkan
belajarnya ke program doktoral yang diselesaikanya pada tahun 1963 dengan
judul desertasinya “ Atsār al- Ḥarb fī al- Fiqh al- Islāmī Dirāsatan Muqāranatan”
di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salmān Mażkūr15.
Pada tahun 1963 M, beliau diangkat menjadi dosen di fakultas Syarī’ah
Universitas Damaskus dan menjadi wakil dekan secara berturut-turut, kemudian
menjadi Dekan, dan menjadi ketua jurusan Fiqh al-Islāmī wa Mażāhabih di
fakultas yang sama. Beliau mengabdi selama lebih dari tujuh tahun, dan menjadi
professor pada tahun 1975. Beliau dikenal sebagai seorang yang ahli dalam
bidang Fiqih, Tafsir dan Dirasah Islamiyah16. Sebagai seorang guru besar, beliau
seringkali menjadi dosen tamu di sejumlah Universitas di negara-negara Arab,
seperti pada fakultas Syarī’ah, serta fakultas Adab Pasca sarajana di beberapa
14 Sayyid Muhammad „alī Ayāzi, Al-Mufassirun Ḥayātuhum wa Manāhijuhum(Teheran: Wizānah al-Thaqāfah wa al-Inshāq al-Islām, 1993), 684-685. 4 Ibid., 685.
15 Ardiansyah, Pengantar Penerjemah, dalam Badi al-Sayyid al-Lahham, Sheikh Prof.Dr. Wahbah al-Zuḥailī: Ulama Karismatik Kontemporer – sebuah Biografi ( Bandung:Citapustaka Media Perintis, 2010), 13.
16 Wahbah al-Zuḥailī, Al-Tafsīr al-Munīr fī al- ‘Aqīdah wa al-Sharī’ah wa al-Manhaj(Damaskus: Dār al-Fikr, 1998), 34.
13
tempat, yaitu Universitas Khurtumi, Universitas Ummu Darman, Universitas
Afrika yang ketiganya berada di Sudan.
Di samping itu, beliau juga turut memberikan khutbah Jum’at sejak tahun
1950 di masjid Utsman di Damshiq dan masjid al-Imān di Dār ‘Atiyah, beliau
juga menyampaikan ceramah di Masjid, Radio dan Televisi serta Seminar dalam
segala bidang keilmuan Islam17.
Adapun karya-karya beliau yang terpenting adalah:
1. Atsār al-Harb fī al-Fiqh al-Islāmī - Dirāsat Muqāranah ( الحرب في الفقھ راأث
مقارنةاإلسالمي دراسة ), Dar al-Fikr, Damsyiq, 1963.
2. al-Wasīt fī Uṣūl al-Fiqh, الوسیط في أصول الفقھ 1966.
3. al-Fiqh al-Islāmī fi Uslūb al-Jadid, الجدیدھلوبسأالفقھ اإلسالمي في 1967.
4. Nazariāt al-Darurāt al-Syar’iyyah نظریات الضرورات الشرعیة, 1969.
5. Nazariāt al-Damān ,نظریات الضمان 1970.
6. al-Uṣūl al-Ammāh li Wahdah al-Dīn al-Haq , األصول العامة لوحدة الدین الحق
1972.
7. al-Alaqāt al-Dawliah fī al-Islāmī العالقات الدولیة في اإلسالم, 1981.
8. al-Fiqh al-Islāmī wa Adilatuhu , (8 jilid), Dār al-Fikr, Damsyiq, 1984.
9. Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī .1986 ,(dua Jilid) (أصول الفقھ اإلسالمي)
17 Ardiansyah, Pengantar Penerjemah, dalam Badi al-Sayyid al-Lahham, Wahbah al-Zuḥailī: Ulama Karismatik Kontemporer – sebuah Biografi ( Bandung: CitapustakaMedia Perintis, 2010), hlm 15.
14
10. Juhūd Taqnīn al-Fiqh al-Islāmī ( ,Beirut) ,(جھود تقنین الفقھ اإلسالمي 1987.
11. Fiqh al-Mawāris fī al-Syarī’ah al-Islāmiah (فقھ الموارث في الشریعة اإلسالمیة),
Dār al-Fikr, 1987.
12. al-Wasāyā wa al-Waqf fi al-Fiqh al-Islāmi (الوصایا والوقف في الفقھ اإلسالمي),
Dār al-Fikr, 1987.
13. al-Islam Dīn al-Jihād Lā al-Udwān ( ال العدواناإلسالم دین الجھاد ), Tripoli,
Libya, 1990.
14. al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj ( التفسیر المنیر
),العقیدة والشریعة والمنھجفي 16 jilid), Dār al-Fikr, 1991.
15. al-Qisah al-Qur’aniyyah Hidāyah wa Bayān (القصة القرأنیة ھدایة وبیان),Dār
Khair, 1992.
16. al-Qur’an al-Karīm al-bunyātuh al-Tasyrī’iyyah aw Khasā‘isuh al-Hadāriah
( اریةضبنیاتھ التشریعیة أو خصائصھ الحالقرأن الكریم ), Dār al-Fikr, 1993.
17. al-Rukhsah al-Syarī’ah – Ahkāmuha wa Dawābituha (رخصة الشریعة), Dār
al-Khair, 1994.
18. Khasā‘is al-Kubra li Huqūq al-Insān fī al-Islām, Dār al-Maktabī, 1995.
19. al-Ulūm al-Syarī’ah Bayān al-Wahdah wa al-Istiqlāl, Dār al-Maktabī, 1996.
20. al-Asās wa al-Masādir al-Ijtihād al-Musytarikāt bayān al-Sunnah wa al-
Syi’ah, Dār al-Maktabī, 1996.
15
21. al-Islām wa Tahadiyyat al-‘Asr, Dār al-Maktabī, 1996.
22. Muwajahat al-Ghazu al-Thaqafi al-Sahyuni wa al-Ajnabi, Dār al-Maktabī,
1996.
23. al-Taqlīd fi al-Mażāhib al-Islāmiah ‘Inda al-Sunnah wa al-Syi’ah, Dār al-
Maktabi, Damsyiq, 1996
24. al-Ijtihād al-Fiqhi al-Hadīts, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 1997.
25. al-‘Urūf wa al-‘Adah, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 1997.
26. Bayān wa al-Islām, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 1997.
27. al-Sunnah al-Nabawiyyah, Dār al-Maktabī Damsyiq, 1997.
28. ‘Idarat al-Waqaf al-Khairi, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 1998.
29. al-Mujadid Jamaluddin al-Afghani, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 1998.
30. Taghyīr al-Ijtihād, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 2000.
31. Tatbīq al-Syarī’ah al-Islāmiah, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 2000.
32. al-Zirā’ī fī al-Siyāsah al-Syar’īyyah wa al-Fiqh al-Islāmi, Dār al-Maktabī,
Damsyiq, 1999.
33. Tajdīd al-Fiqh al-Islāmī, Dār al-Fikr, Damsyiq, 2000.
34. sl-Ṭaqafah wa al-Fikr, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 2000.
35. Manhaj al-Da’wah fī al-Sirah al-Nabawiyah, Dār al-Maktabī, Damsyiq,
2000.
16
36. al-Qayyīm al-Insaniah fī al-Qur’an al-Karīm, Dār al-Maktabī, Damsyiq,
2000.
37. Haq al-Hurriah fī al-‘Alam, Dār al-Fikr, Damsyiq, 2000.
38. al-Insan fī al-Qur’an, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 2001.
39. al-Islam wa Uṣūl al-Hadarah al-Insāniah, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 2001.
40. Uṣūl al-Fiqh al-Hanafī, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 2001
Kitab yang membuat beliau menjadi terkenal dan banyak mempengaruhi
pemikiran-pemikiran fiqih kontemporer adalah al-Fiqh al-Islām wa adillatuhu.
Kitab ini berisi fiqih Muqāran (perbandingan), terutama mażhab-mażhab fiqih
yang masih hidup dan diamalkan oleh umat Islam di seluruh dunia18.
B. Maqāṣid al-Syari’āh Wahbah al-Zuhailī
Maqāṣid al-Syarī’ah merupakan gabungan dua kata yaitu د اص ق م (maqāṣid)
dan الشریعة (al-syarī’ah) adalah bentuk plural dari د ص ق م (maqṣad), د ص ق (qaṣd),
د ص ق م (maqṣid), د و ص ق (quṣūd) yang merupakan derivasi dari kata kerja د ص ق ی -د ص ق
(qaṣada-yaqṣidu), dengan beragam makna seperti menuju suatu arah, dan tujuan.
Maqāṣid al-Syarī’ah menurut pandangan Wahbah Al Zuhaili, Maqāsid al-
Syarī’ah berarti nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau
bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran itu dipandang
sebagai tujuan dan rahasia syarī’ah, yang ditetapkan oleh al-Syārī’ dalam setiap
18 https://www.suduthukum.com/2016/03/biografi-wahbah-zuhaili.html (6 maret 2018,00:40 WIB)
17
ketentuan hukum19. beliau mengutip dalam kitab al-Qamūs al-Muhīt20, Mu’jam
Maqāyīs al-Lughah21, al-Misbah al-Munīr22, Mukhtar al-Ṣahāh23, dan Tahdzīb al-
Asmā’ wa al-Lugāt24, al-Maqāṣid jama’ dari kata مقصد (tujuan), yaitu
menghendaki sesuatu, menghendaki bagi dirinya dan menghendaki kepada
kehendak lain. Maksudnya menginginkan kehendak kemudian dihimpun dan
ditetapkan25.
Maqāṣid al-Syarī’ah secara terminologi yaitu :
ي ل إ ت ع س , و ام ك ح ي األ ا ف ھ ت ت ب ث أ , و ة ع ی ر ش ا ال ھ ب ت ت ي أ ت ي ال ان ع م ال و ج ائ ت الن و اف د ھ األ و ة ای الغ
26ان ك م و ان م ز ل ي ك ا ف ھ ی ل إ ل و ص و ال ا و ھ اد ج ی إ ا و ھ ق ی ق ح ت
Menurut beliau, Maqāshid al-Syari’āh sebagai tujuan atau kesimpulan
yang didatangkan untuk kepentingan syarī’ah kemudian diterapkan pada hukum-
hukum dan penyelesain yang luas sampai pada setiap ruang dan waktu.
Maksudnya, Maqashid syariah bisa datang bermunculan setiap zaman,
sehingga presensi syari’ah itu tidak membawa kesulitan bagi manusia. Kemudian
diimplementasikan pada hukum-hukum sesuai kegunaan maqashid syari’ah itu
sendiri.
19 Wahbah Zuhaili, Uṣūl Fiqh Islāmī, (Damaskus : Dar al Fikr, 1986) Hlm, 22520 Muhammad b. Ya’qūb al-Fairūz Ābādī majd al-Dīn, al-Qāmūs al-Muhīt (Muassasah al-
Risālah 2009) hlm 367 j 121 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā Abū Husain, Mu’jam Maqāyīs al-Lughah ( Mufahris
Fihrasah Kāmilah 2009) hlm 95 j 522 Fayōmī, Misbah al-Munīr 2009 hlm 292 j 223 Zainuddīn Abū ‘Abdillah Muhammad b. Abī Bakr b. Abd al-Qādir al-Hanafī al-Rāzī,
Mukhtar al-Shahāh (Maktabah ‘Ashriyyah, Bairūt 1999) hlm 53624 Al-Nawawī, Tahdzīb al-Asmā’ wa al-Lughāt (al-Qāhirah, Taswīr Dār al-kitab al-
‘Alamiyah, Bairut 2008) hlm 93 j 225 Wahbah al-Zuhailī, Maushū’ah Qadāyā Islāmiyah Mu’āshirah (Dār al-Maktabī
Damasq) hlm 623 j 526 Wahbah al-Zuhailī, al-Ushūl al-‘Ammāh liwahdah al-Dīn al-Hak (Damasq, Dār al-
Fikr), hlm 61
18
Para ‘Ulamā’ membatasi Maqāshid al-Syarī’ah yaitu penyelesain yang
berguna bagi manusia di dunia maupun akhirat, cepat atau lambat yang berguna di
dunia yaitu semua penyelesain memberikan manfaat, faidah, integritas,
kebahagiaan, dan rahmat bagi manusia. Kebahagiaan yang biasa dijauhkan dari
bahaya dan sifat yang biasa merusak. Kemudian berguna di akhirat sebagai
kesuksesan dengan Ridha Allah dalam surga-Nya, berhasil dijauhkan dari azab
dan murka-Nya. Inilah merupakan tujuan yang mendasar diturunnya Syari’ah
untuk jaminan salah satu kebaikan.
Adapun dalil penetapan adanya maqashid, dalam hal ini diklasifikasikan
menjadi dua bagian pertama, untuk Nusūs al-Syarī’ah dan kedua, untuk Masālih
al-Nās (kebaikan manusia). Pertama untuk Nushūs al-Syarīah pada bidang akidah,
Ibadah, akhlak, Muamalah, sanksi hukuman, dan sesuatu justifikasi penyelesain
yang mendatangkan kebaikan dan menolak kerusakan27.
Sehingga yang didasari Maqāṣid al-Syarī’ah pada Nuṣūs al-Syarī’ah
menjadi stabil, baik dari akidah, ibadah, akhlak, mu‘amalah, sanksi hukuman, dan
bahkan sesuatu hal yang memiliki ‘Illat (sebab) dalam suatu hukum maka itu
mempunyai hikmah berdasarkan yang tertera dalam al-Qur’an.
Kedua, Masālih al-Nās yang berprinsip kepada:
اق ش الم و ار ر ض األ و د اس ف م ال ع ف د و ع اف ن م ال ب ل ج
mengedepankan manfaat ketimbang kerusakan, bahaya dan kesulitan.
Seperti halnya hikmah sebab pengharaman khamar (memabukkan), hikmah tujuan
diterapkan Qisas yang bisa menjaga kehidupan manusia. Semua ini tidaklah
27 Wahbah al-Zuhailī, Maushū’ah Qadāyā Islāmiyah Mu’āshirah (Dār al-MaktabīDamasq) hlm 625 j 5
19
semata-mata Allah memberatkan atau membebani seorang Mukallaf, melainkan
menjadi solusi untuk keluar dari semua permasalahan.
Dengan demikian Maqāṣid al-Syarī’ah adalah tujuan Allah SWT dan
Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam. Atau tujuan-tujuan akhir yang harus
terealisasikan dengan diimplementasikannya syariah.
Teori yang diambil dari Maqshid al-Syariah Wahbah al-Zuhailī yaitu
tentang Ta’līl al-Hukm (‘Illat hukum) yaitu sebab dalam menentukan hukum.
Teori ini untuk menggali pembahasan dalam menetapkan sebab hukum dalam
Muwālah al-Kuffār.
20
BAB III
DISKURSUS ‘ILLAT
A. Defenisi ‘Illat
‘Illat berasal dari kata ل ع yaitu sakit dan menyusahkan, ة ل الع dengan
dibaca fathah huruf ‘Ainnya maka artinya istri sebagaimana haditsnya Rasulullah
SAW
د اح ا و ن ن ی د ت ال ع د ال و أ اء ی ب ن األ ر ش اع م ن ح ن
artinya: “Kami para Nabi adalah anak-anak yang berlainan Ibu sedangkan
agama kami satu”, sedangkan ة ل الع dibaca Kasrah ‘Ainnya artinya sakit dan
sebab28.
Sedangkan ة ل الع secara terminologi di kalangan Ulama Ushūliyyin seperti
wahbab al-Zuhaili, “penyelesaian syariat hukum atau satu sifat yang mengetahui
bagi hukum. dan dinamakan juga ھ ت ار م أ و ھ ب ب س و م ك ح ال اط ن م , ulasan/pijakan
hukum, sebab dan indikasinya. ‘Illat juga sebagai pondasi Qiyas yang dibangun
olehnya”29. Menurut Asy-Syaitibi, menuliskan pengertian illat sebagai berikut:
Illat adalah kemaslahatan atau kemanfaatan yang dipelihara atau diperhatikan
syara’ didalam menyuruh sesuatu pekerjaan seperti ‘Amr (perintah) Mubāh
(boleh) atau mencegahnya seperti Nawāhi (larangan) dan Musyaqqah
(kesulitan)30. Mayoritas Ulama Hanafiyah, sebagian Ulama Hanābilah dan Imam
28 Mu’jam al-Lughāh al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Wasīth, (Maktabah al-Syurūq al-Dauliyah2004), hlm 624
29 Wahbah al-Zuhailī, al-Wajīz Fī Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, (Dār al-Khair li Tabā’ah waal-Nasyar wa al-Tauzī’ Damasq-Suriyā) hlm 70
30 Ahmad al-Raisūnī, Nadhīrah al-Maqāshid ‘Inda al-Imam al-Syātibī,(al-Dār al-‘Ālamiyyah li al-Kitāb ak-Islāmiyah 1992) hlm 12 j 1
21
Baidhawī, mendefinisikan ‘illat dengan: “Suatu sifat (yang berfungsi) sebagai
pengenal bagi suatu hukum.” Imam Al-Ghazali mendefinisikan illat dengan “Sifat
yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena zatnya, melainkan atas
perbuatan syari’. ‘Illat adalah suatu sifat yang ada pada ashl yang sifat itu
menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashl serta untuk mengetahui hukum pada
fara’ yang belum ditetapkan hukumnya”31.
Muhamamd Abū Zahrah mendefinisikan illat sebagai suatu sifat yang
jelas, tetap dan sesuai dengan dasar hukum.32 Ṣaufi Hasan b. Ṭālib menjelaskan
bahwa illat adalah suatu sifat yang terdapat di dalam kasus aṣal dan juga kasus
furū’, dan illat tersebut menjadi hikmah yang menjadi tujuan syara’ dan dapat
diketahui dengan akal. Illat bisa juga diartikan sebagai suatu sifat yang nampak
dan pasti yang mana hukum dibangun atas dasar illat tersebut, dan ada tidaknya
sebuah hukum sangat tergantung dengan adanya illat tersebut.33
Masih banyak para Ulama memberikan definisi tentang ‘Illat yang
berbeda-beda. Hal ini menunjukkan adanya diskusi para ulama ushul fikih klasik
dalam memahami hakikat illat ketika dihubungkan dengan hukum-hukum yang
diambil di dalam al-Qur’an. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh diskursus
dalam ilmu kalam. Dalam diskursus tersebut, ada tiga kalimat yang menjadi poros
perbedaan yaitu apakah illat itu adalah bā’its (pendorong), muatsir (pemberi
pengaruh), ataukah mu’arrif (pemberi tahu). Apabila illat diartikan sebagai bā’its,
31 Totok Jumantoro dan Samsul, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (penerbit: AMZAH, 2005)hlm 120-121
32 Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi), hlm.188.33 Shaufi Hasan Ibnu Thalib, Tathbiq al-Syariah al-Islamiyah fii al-Bilad al-Arabiyah,
(Dar al Nadhah al-Arabiyah, 1995), hlm. 148.
22
maka illat diposisikan sebagai sesuatu yang mengandung hikmah yang pantas
menjadi tujuan hukum. Apabila diartikan sebagai mu’atsir, illat dipahami sebagai
sesuatu yang memberikan pengaruh terhadap hukum sehingga dapat diidentifikasi
suatu maslahat dan mafsadat. Apabila diartikan sebagai mu’arrif, illat hukum
diposisikan sebagai pemberi tanda adanya hukum yang bisa tidak terikat dengan
kewajiban adanya naṣ. Di kalangan Asy’ariyah pada umumnya menerima konsep
illat sebagai sebuah al-Mua’rrif, yang sepadan dengan makna ‘alamah dan
amarah (tanda adanya suatu hukum). Mereka menolak illat hukum sebagai al-
Bā’its, dan mu’atsir. Namun pemaknaan ini tidak diakui secara utuh di kalangan
Asy’ariyah yang pada umumnya bermazhab fikih Syafi’ī, misalkan Al-Amidī, Ibn
Hājib bahkan al-Ghazālī mengartikan illat sebagai sebuah al-Bā’its34.
pendapat Ridzwan b. Ahmad, bahasa apapun yang digunakan oleh para
Ulama dalam memahami hakikat illat, semua mempunyai maksud yang sama
bahwa illat bisa dijadikan sebagai sebuah titik tolak untuk mengidentifikasi
adanya hukum (Ta’līl al-Ahkām) dan Allah lah yang sesungguhnya menentukan
segala hukum, bukan illat itu sendiri. Dengan demikian, perbedaan yang terjadi
hanya pada tataran konsep dan pendekatan yang digunakan.Berbeda dengan
mu’tazilah yang memahami illat sebagai al-mu’arrif secara independen dalam
menemukan hukum, tanpa terikat dengan adanya naṣ35.
Bisa ditarik kesimpulan, bahwa ‘Illat memberi batasan terhadap suatu
otoritas bahkan tanda yang dijadikan dasar hukum. Jadi hukum-hukum itu
diimplementasikan pada syariat karena ada nya suatu ‘Illat.
34 Ridzwan Bin Ahmad, “Permasalahan Ta’lil al-Ahkam Sebagai Asas PenerimaanMaqashid al-Shari’ah Menurut Ulama Usul, (dalam Jurnal Fiqh.No. 5 2008), hlm 184-191
35 Ibid, hlm. 190-191
23
B. Perbedaan ‘Illat, Sebab dan Hikmah
Tiga hal ini tidak jauh beda pada titik pendefinisian, ini semua bisa
ditemukan ketika diletakan pada aspek kegunaan pada suatu hukum dan syarat-
syaratnya. Pertama bisa disebut ‘Illat dari beberapa syarat yang dijelaskan oleh
Wahbah al-Zuhaili yaitu:
ف للحكم الذي ی ظ ال ر م األ م ك ح ال ط ب ر ن ا, أل م د ع ا و د و ج و م ك الح ھ ی ل ي ع ن ب اھر المنضبط المعر
36م ك ح ال ع ی ر س ت ن م د و ص ق الم ق ق ح ی ھ ب
Kurang lebih maksudnya, beliau mengklasifikasikan tiga syarat yang harus
dipenuhi agar bisa diklaim menjadi ‘Illat. Pertama al-Amru/al-Waṣf al-Żāhir
(sifat yang jelas), sederhananya, suatu ‘Illat harus Nampak jelas pada Mahall al-
Hukm perkara yang akan dilabeli salahsatu hukum syar’ī, seperti wajib, haram,
makruh dan lainnya. Kedua munḍabit ( pasti) yakni tertentu dan bisa dibatasi
sehingga bisa dijadikan hukum. ketiga al-Mu’arif li al-Hukm di redaksi yang lain
beliau menyebut kan Yunāsib al-Hukm, yaitu ada kesesuaian terhadap hukum
artinya bahwa hubungan hukum dengan sifat (‘Illat) itu, baik ada dan tidaknya
harus diwujudkan menjadi tujuan dalam membentuk hukum. Kemudian dalam
kitab lainnya Wahbah menambahi dua poin dalam syarat nya yaitu pertama, sifat
tersebut tidak terbatas hanya ada pada aṣal, dan kedua, sifat yang akan dijadikan
36 Wahbah al-Zuhailī, al-Wajīz Fī Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, (Dār al-Khair li Tabā’ah waal-Nasyar wa al-Tauzī’ Damasq-Suriyā) hlm 71
24
sebagai illat hukum berlaku umum37. Apabila semua syarat ini tidak dipenuhi
maka tidak bisa dikategorikan ‘Illat.
Kemudian hikmah adalah merupakan pendorong pembentukan hukum dan
sebagai tujuannya yang terakhir untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat
dengan memperoleh manfaat dan keuntungan serta terhindar dari segala macam
kerusakan. Jaser ‘Audah adalah salah satu tokoh modern yang membedakan
antara hikmah dengan ‘illat (al-maqṣad dalam bahasa ‘Audah). Hikmah adalah
kemaslahatan yang berakibat pada hukum dalam bentuk sekunder,
sedangkan ‘illat adalah kemaslahatan yang ditentukan oleh Pembuat syari’at, atau
diduga kuat oleh mujtahid merupakan tujuan utama hukum secara asasi. Artinya,
jika saja ‘illat itu tidak ada, tentu hukum juga tidak akan pernah ada. Hikmah bisa
saja berbeda dengan ‘illat, atau merupakan bagian dari ‘illat, atau bahkan sama
dengan ‘illat38.
Para ulama berbeda dalam memahami apakah illat mempunyai arti yang
sama dengan hikmah. Menurut al-Amidi ada tiga pendapat dalam hal ini yaitu
pertama hikmah tidak boleh dijadikan sebagai illat hukum apabila tidak ada
batasan yang jelas.Kedua, Sebagian ulama Maliki dan Hanābilah menjadikan
hikmah sebagai illat, dan Ketiga, apabila suatu sifat jelas dan terukur, maka
hikmah tidak bisa dijadikan sebagai illat hukum, namun sifat tersebutlah yang
37 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989) j 2 hlm 652-658
38Audah, Jaser, Fiqh al-Maqasid Inatah al-Ahkam asy-Syar’iyyah biMaqasidiha, (Virginia, al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 2006) hlm 61
25
menjadi illatnya. Namun sebaliknya apabila hikmah yang bersifat jelas dan
terukur, maka hikmah tersebut bisa menjadi illat hukum bukan sifat39.
Sebagai contoh seorang musafir boleh menqashar shalatnya, seperti
mengerjakan shalat Zhuhur yang empat raka’at menjadi dua raka’at dan
sebagainya. Hikmahnya ialah untuk menghilangkan masyaqqah (kesulitan) atau
kemaḍaratan (bahaya)40.
Dan terakhir sebab, Sebenarnya untuk membedakan pengertian ‘illat dan
sebab sukar dilakukan, karena ada suatu peristiwa yang dalam peristiwa itu ‘illat
dan sebabnya sama. Bisa disebut juga, sebab itu lebih umum dari ‘illat, dengan
perkataan lain bahwa semua ‘illat dapat dikatakan sebab, tetapi belum tentu semua
sebab dapat dikatakan ‘illat.
Apabila ditemukan keserasian, maksudnya di antara sifat dan hukum yang
kemungkinan bisa dijangkau oleh akal maka dinamakan ‘Illat dan Sebab. Tetapi
sebalik nya, ketika sifat dan hukum tidak bisa dijangkau oleh akal makan
dinamakan sebab saja. Contohnya tergelincir matahari pada siang hari merupakan
sebab seorang muslim wajib mengerjakan shalat Dzuhur, demikian pula
terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Sya’ban merupakan sebab kaum
muslimin besoknya mengerjakan puasa bulan Ramadhān. Tetapi terbenam dan
tergelincirnya matahari itu bukanlah ‘illat hukum karena kedua sebab itu tidak
terjangkau oleh akal. Lain halnya dengan safar (dalam perjalanan) disamping ia
39 Syaifuddin Abi al-Hasan Ali bin Abi Ali Ibnu Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fiUshul alAhkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1404 H) j3 , hlm 140
40 Wahbah al-Zuhailī, al-Wajīz Fī Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, (Dār al-Khair li Tabā’ah waal-Nasyar wa al-Tauzī’ Damasq-Suriyā) hlm 71
26
merupakan ‘illat hukum, juga merupakan sebab hukum yang membolehkannya
untuk mengqashar shalat41.
Kesimpulannya, ‘illat, hukum dan sebab memiliki keserasian dan
hubungan. ‘IlIat adalah sifat dan keadaan yang melekat dan mendahului
peristiwa/perbuatan hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum., hikmah
adalah sebab hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum yang
dijadikan sebagai tujuan hukum, dan sebab merupakan bagian dari pada ‘Illat
yang sifatnya lebih umum baik bisa dijangkau oleh akal maupun tidak.
C. ‘Illat sebagai penentu ada dan tidaknya Hukum
‘Illat adalah satu khas yang dipandang sebagai dasar penentapan suatu
hukum, dan seringkali dibahasakan oleh Ulama Ushuliyyin, bahwa ‘Illat
merupakan bagian dari rukun Qiyas. Seseorang yang menyakini ‘Illat pada suatu
hukum maka mereka meyakini adanya Qiyas. ‘Illat atau di sebut juga di kalangan
‘Ushuliyyīn sebagai Ta’līl al-Hukm salah satu dari beberapa metode seperti
bayani dan istilahi, untuk penemuan hukum. Jadi ‘Illat sangat penting dan sangat
berpengaruh untuk mengistibathkan hukum.
Pandangan penulis, illat hukum atau kausa hukum Selama ‘Illat hukum
masih terlibat dan memenuhi syarat, ketentuan hukum berlaku. sedangkan jika
‘Illat hukum tidak tampak ketentuan hukum pun tidak berlaku. Sesuai dengan
qaidah ushul الحكم یدور مع العلة وجودا وعدما yaitu, hukum itu berputar (mengikuti)
bersama ‘illatnya dalam mewujudkan dan meniadakan hukum, sehingga menjadi
41 Ibid, hlm 72
27
ada atau tidaknya hukum tergantung konsistensi ‘illatya, jika ‘illatnya memenuhi
syarat maka terbentuklah hukum dan sebaliknya.
Pemberlakuan hukum yang terdapat di dalam sebuah peristiwa yang sudah
ada ketentuan hukumnya dapat diperluas terhadap peristiwa-peristiwa lain yang
belum ada ketentuan hukumnya disebabkan adanya kesamaan illat42. Eksistensi
illat dalam sebuah hukum bertolak dari kesadaran bahwa Syāri’ dalam
menetapkan hukum bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan bagi kehidupan
manusia dan menghindarkan mereka dari kemudahratan yang mungkin mucul.
Tujuan hukum sebagaimana disebutkan tersebut dapat diketahui dari teks naṣ
yang menetapkannya, yaitu melalui sifat yang menyertai hukum tersebut dan dari
sifat itulah dapat diketahui illat sebuah hukum43.
‘Illat hukum diposisikan sebagai sesuatu yang ma’qūl al-naṣ atau seuatu
yang dapat dipahami dari naṣ. Dengan demikian, pemberlakuan hukum dalam
skala yang lebih luas dapat dilakukan. Namun sebaliknya apabila illat hukum
tidak dapat diidentifikasi dalam sebuah naṣ, maka naṣ tersebut hanya bisa
dikategorikan dalam konteks manthuq dan mafhumnya saja44.
D. Masālik (Metode) dalam menetapkan ‘Illat
Dalam klasifikasi masālik (metode) pada ‘illat terjadi pro kontra, sebagian
Ulama ada yang membagikan dua bagian, tiga bagian, Sembilan bagian. Penulis
mengambil dari pandangan Wahbah al-Zuhailī dan al-Ghazālī yang
42 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 350.43 Amir Syarifuddin,.Ibid, hlm. 350-351.44 ‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqih, Kajian Ushul Fiqih Mudah dan Praktis, (Penterjemah
Yasin asSiba’I, Bogor: Pustala Thariqul Izzah, 2011), hlm. 113.
28
mengklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu, Naṣ, Ijma’ dan Istibāt45, sedangkan
bahasa yang gunakan oleh al-Ghazālī yaitu, Istsbāt al-‘Illah bi Adillah al-
Naqliyyah (menetapkan ‘illat dengan petunjuk dalil Naqliyyah), Itsbāt al-‘Illah bi
al-Ijmā’ (menetapkan ‘illat dengan petunjuk Ijmā), dan terakhir Istbāt al-‘Illah bi
al-Istinbāt (menetapkan ‘illat dengan istinbāt)46.
1. Bagian pertama yang menjadi metode dalam ‘illat yaitu naṣ47, kemudian
naṣ dibagi menjadi dua bagian, pertama Ṣarīh (eksplisit) baik itu
penunjukan secara Qat’i (pasti) atau Żanni/Żāhir (asumtif), contoh pada
kasus Qat’i (pasti) yaitu kalimat yang terkandung huruf ة ل ع , ل ن ذ , إ ل ج أل ,ي ك
اذ ك ب ج و م ل ا, ذ ك ر ث ؤ م ا, ل ذ ك ب ب س ا, ل ذ ك dan seterusnya, seperti contoh di dalam
QS. Al-Hasr:7
على رسولھ من أھل ا أفاء هللا سول ولذي القربى والیتامى والمساكین م القرى فللھ وللر
سول فخذوه وما نھاك بیل كي ال یكون دولة بین األغنیاء منكم وما آتاكم الر م وابن الس
إ شدید العقاب عنھ فانتھوا واتقوا هللا ن هللا
Artinya: “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allahkepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anakyatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja diantara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Danapa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalahkepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.
45 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989) hlm 66146 Imām Abū Hāmid Muhammad b. Muhmmad al-Ghazālī, al-Mustaṣfa min ‘Ilmi al-
Ushūl, (Dār al-Kitāb al-‘Alamiyyah 2010) juz 3 hlm 605-62447 Definisi Naṣ adalah ھو ما دل بنفس صیغتھ على المعنى المقصود أصالة على ما سیق لھ و
,یحتمل التأویل yaitu lafadz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksudsecara langsung menurut apa yang diungkapkan, dan ada kemungkinan ditakwilkan
29
Lafadz كي pada ayat di atas adalah merupakan tanda adanya ‘illat
yang Ṣarīhah Qat’iyyah, maksudnya penunjukan ‘illat yang jelas dan
pasti. fungsinya adalah untuk mengkhususkan harta Fa‘i (rampasan) untuk
diberikan kepada asnāf (kelompok) yang telah disebutkan pada ayat di
atas. Sedangkan Żāhir atau Żanni huruf yang digunakan memiliki makna
ihtimāl (kemungkinan) qat’i (pasti), untuk mngetahuinya dengan huruf , م ال
ن , أ اء ب seperti contoh pada kasus QS.
الة لدلوك الشمس إلى غسق اللیل وقرآن الفجر إن قرآن الفجر كان مشھوداأقم الص
Artinya: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir
sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya
shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.
Pada lafadz لدلوك huruf lam pada ayat di atas menunjukan talīl
(‘illat), tetapi tidak bisa dikatakan qat’i disebabkan huruf lam terebut
terkadang kegunaan makna nya memiliki dua unsur makna yaitu pemilikan
dan ikhtisās (pengkhususan).
kedua naṣ Ghair al-Ṣarīh (implisit) yaitu apabila naṣ tidak secara
langsung ada penunjukan ‘illat tetapi harus ada indikasi (Qarinah) untuk
mengarahkan suatu sifat yang terkandung di dalam naṣ tersebut menjadi
‘illat, maksudnya naṣ tersebut tidak secara jelas menunjukkan ‘illat
melainkan hanya dengan Īmā’ (isyarat) dan Tanbīh (peringatan) seperti
ada indikasi suatu hukum muncul sebagai jawaban dari pertanyaan yang
diajukan, atau indikasi hukum dan sifat yang mempunyai keserasian, atau
ada perbedaan di antara hukum dan sifat, dan ada indikasi hukum ‘illat
30
yang diketahui dengan Fa’ Ta’qīb ( huruf fa’ yang memiliki makna
beriringan) seperti contoh pada kasus QS. al-Māidah 38
ارقة فاقطعوا أیدیھما جزاء بما كسبا نكاال عزیز حكیم والسارق والس وهللا ن هللا م
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”. Dan contoh pada QS. al-Nūr 2
نھما مائة جلدة وال تأخذكم بھما رأفة في دین اني فاجلدوا كل واحد م انیة والز الز هللا
ن المؤمنین ا طائفة م
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, danjanganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hariakhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan olehsekumpulan orang-orang yang beriman”.
Pada dua ayat ini, pertama pada kalimat فاقطعوا dan kedua pada
kalimat فاجلدوا , kedua kalimat ini memiliki huruf Fa’ Ta’qīb (memiliki
makna beriringan) sehingga ditemukan ‘illat nya, pertama memotong
tangan ‘illatnya mencuri sedangkan kedua dicambuk badannya ‘illatnya
berzina.
2. Kemudian menjadi Masālik (metode) yaitu Ijmā’48, maksudnya konsesus
para ‘Ulamā’ yang dijadikan sebagai Masālik dalam menentukan hukum.
Masalahnya adalah para ‘Ulamā’ berbeda pendapat tentang kedudukan
48 Imam al-Ghazālī merumuskan, Ijmā’ adalah konsesus ‘Ulamā’ atau kesepakatan‘Ulamā’, pengertian dari segi terminologi yaitu kesepakatan umat Muhammad secara khusustentang suatu masalah agama.umusan al-ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harusdilakukan umat Muhammad., yaitu umat Islam. Tetapi harus dilakukan oleh seluruh umat awam.Lihat Abū Hāmid al-Ghazālī, al-Mustashfa fī ‘Ilm al-Ushul,(Dār al Kutub al ‘ilmiyah, Beirut:1983)jilid 1, hal.110
31
ijmā’ ketika digunakan dalam Masālik ‘illat (metode penetapan causa
legis), apakah didahukan dari naṣ atau sebaliknya, dengan pendapat bahwa
ijmā’ merupakan preferensi dan merupakan alternatif pertama di saat
terjadi kontradiktif di antara dalil-dalil naṣ. Tetapi, hemat penulis melihat
dari sudut pandang Wahbah al-Zuhailī, mendahulukan naṣ daripada ijmā’
kemungkinan sebabnya adalah naṣ merupakan sumber sandaran bagi ijmā’
sehingga naṣ didahulukan dari pada Ijmā’.
3. Terakhir dalam menggunakan Masālik ‘illat (metode penetapan causa
legis) yaitu Istinbāt (penetapan). Istinbāt berbeda dengan Naṣ dan Ijmā
yang menggunakan argumentasi yang bersifat Naqliyyah49, karena Istibāt
menggunakan dalil yang bersifat Aqliyyah (rasionalitas). Menurut penulis
penggunaan Masālik ‘Illat bisa disebut sebagai asumsi yang bisa terjadi
dialektika di antara para ‘Ulamā’, karena berpondasi kepada sifat yang
Dzanni ( lawan dari pasti). Di dalam menggunakan Istinbāt ada indikasi
untuk melakukannya yaitu:
a. al-Sabru wa al-Taqsīm. Al-Sabru secara Bahasa adalah mengeksplorasi
atau menyelidiki dan penelitian sedangkan Taqsīm mengklasifikasi, jadi
al-Sabru wa al-Taqsīm yaitu mengeksplorasi dan mengklasifikasikan
semua sifat-sifat yang diduga menjadi ‘illat pada Aṣal dalam ilmu qiyas,
apakah itu patut dijadikan ‘illat atau tidak. Menurut ‘Ulamā’ Ushūliyyīn,
al-Sabru yaitu observasi dan membatasi seorang mujtahid untuk
menentukan satu dari sekian banyak sifat yang terkandung di dalam Aṣal,
49 yang bersumber dari al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijmai para Ulama yang diambil dariintisari al-Qur’an dan al-Sunnah
32
dengan cara melihat apakah pantas untuk dijadikan sebagai ‘illat atau
tidak, sedangkan al-Taqsīm yaitu seorang mujtahid membatasi semua
sifat-sifat yang terkadang pantas untuk dijadikan ‘illat50. Kemudian
diinformasikan juga tentang bentuk pembatalan sifat di dalam al-Sabru
wa Taqsim yang dilakukan oleh Mujtahid istilah yang digunakan oleh
Imam al-Baidāwī ialah Hāsir (dibatasi) dan Ghair al-Hāsir (tidak
dibatasi)51. Contohnya pada kasus Hāsir (dibatasi) tentang menikahi anak
gadisnya yang belum dewasa, dan contoh Ghair al-Hāsir (tidak dibatasi)
tentang penetuan ‘illat harta ribawi52. Setelah mengenal bentuk
pembatalan selanjutnya tentang cara pembatalan atau pembersihan sifat-
sifat yang tidak relevan untuk dijadikan sebagai ‘illat, pertama dengan
sebutan al-Ilgā’ yaitu seorang mujtahid harus menjelaskan bahwa sifat
yang sebelumnya sudah dibuang atau dinonfungsikan sehingga tidak bisa
menjadi pengaruh atau berbekas terhadap hukum ketika sudah dibuang,
contoh seperti di kalangan Hanafiyyah tentang sifat Ṣighār sebagai sebab
tetapnya kekuasaan ayah di dalam menikahi anak gadisn yang masih
kecil, dengan tedensi untuk menikahi anak gadisnya yang sudah dewasa,
seorang ayah masih diperintahkan meminta izin anaknya terlebih dahulu.
Kedua dengan sebutan al-Tardiyyah yaitu seorang mujtahid membuang
50 Wahbah Zuhaili, Uṣūl Fiqh Islāmī , (Damaskus : Dar al Fikr, 1986) hlm 671
51 Taqī al-Dīn Abū al-Hasan ‘Alī b. ‘Abd al-Kāfī b. ‘Alī b. Tamām b. Hāmid b. Yahya al-
Subkī, al-Ibhāj fī Syarh al-Minhāj al-Wusūl ila Ilm al-Ushūl lil Qādī al-Baidhāwī, ( Dār al-Kitab
al-‘Alamiyyah-Bairut 2010) juz 3, hlm 54
52 Wahbah Zuhaili, Uṣūl Fiqh Islāmī, (Damaskus : Dar al Fikr, 1986) hlm 672-673
33
sifat yang tidak dianggap oleh Syāri’, jalan ditempuh melalui tidak
dianggap secara mutlak dalam penetapan semua hukum syara’ seperti
sifat panjang dan pendek, hitam dan putih. Kemudia ditempuh melalui
tidak dianggap dalam hukum yang akan dibahas, yaitu seorang mujtahid
membuang sifat yang tidak dianggap oleh Syāri’ dalam penetapan hukum
pada kasus sejenis, tetapi masih diperhitungkan kembali dalam kasus lain,
seperti sifat laki-laki dan perempuan (gender) dalam menetapkan hukum
pembagian harta warisan, kesaksian dan seterusnya. Dan terakhir yaitu
tidak ada kejelasan di dalam keserasiannya (Munasabah), yaitu seorang
mujtahid tidak mengetahui adanya keserasian pada sifat yang dibuang,
maka seorang mujtahid cukup menyatakan ketika menetapkan ada dan
tidaknya munasabah yaitu “ setelah sifat ini saya bahas atau diteliti,
ternyata tidak ditemukan keserasian antara sifat dengan hukum yang saya
bahas, dan seorang mujtahid tidak perlu mengungkapkan argumentasi
ketidakkeserasian sifat tersebut, karena sifat adilnya mujtahid cukup
sebagai bukti kebenarannya53.
b. al-Munāsabah, secara bahasa munasabah ialah al-Mulā‘amah
(menyelaraskan), sebagian Ulama menggunakan istilah al-Ikhālah54.
Menurut kalangan Ulama Ushūliyyin, munasabah yaitu antara sifat dan
hukum memiliki kesamaan atau keserasian untuk menyatakan tujuan dan
maslahah (kebaikan) bagi Syāri’ agar dijauhi dari kerusakan dan
53 Wahbah Zuhaili, ibid, hlm 675-67654 Artinya adalah memiliki persangkaan (Miżannah), bahwa menyangka sifat yang diteliti
menjadi ‘Illat hukum. Lihat Wahbah Zuhaili, ibid, hlm 676
34
kemudharatan (efek negatif)55. Menurut Ibn Hājib, munasabah ialah sifat
yang Dzāhir (jelas) dan Mundabit (terbatasi) yang dihasilkan dengan rasio
dengan persambungan hukum yang mendapatkan tujuan untuk
kemaslahatan dan menolak kerusakan56. Menurut penulis Dzahir yang
ditawarkan oleh al-Hājib yaitu sifat yang jelas sehingga tidak mungkin
masuk sifat yang tersembuyi seperti Ridhā (kerelaan) di dalam jual beli,
munasabahnya adalah Ījāb dan Qabūl (serah terima) yang terkandung
keduanya penentuan terhadap Ridhā (kerelaan), sedangkan Mundhabit
yaitu sifat yang bisa dibatasi sehingga tidak terjadi kontradiktif individu,
dan situasi kondisi.
55 Abū Hāmid al-Ghazālī, al-Mustashfa fī ‘Ilm al-Ushul,(Dār al Kutub al ‘ilmiyah, Beirut:1983) jilid 2, hlm 77. Abū ‘Abdillah Syamsuddīn Muhammad b. Muhammad b. Muhammad al-Ma’rūf bi Ibn Amīr Hāj Ibn al-Mauqut al-Hanafī, al-Taqrīr wa al-Tahbīr, Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah 2010) jilid 3, hm 189. Muhammad b. ‘Alī b. Muhammad b. ‘Abdullah al-Syaukānī al-Yamanī, Irsyād al-Fuhūl ila Tahqīq al-Haq min ‘Ilmi al-Ushūl, (Dār al-Kitab al-‘Arabī 1999) hlm188.
56 Zakariyya b. Muhammad b. Ahmad b. Zakariyya al-Anṣārī Zainuddīn Abū Yahya al-Sanīkī, Gāyah al-Wuṣul fī Syarh Lub al-Ushūl, Dār al-Kitab al-‘Arabiyyah al-Kubra-Mesir) hlm122.
35
BAB IV
‘ILLAT LARANGAN MUWĀLAH AL-KUFFĀR
A. Definisi Muwālah al-Kuffār
Muwālah al-Kuffār merupakan susunan Iḍafah yang apabilah dipisah
menjadi Muwalāh dan Kuffār. Pertama kata Muwalāh berasal dari kata ولي ,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Faris:
ب ر ي ق ل ع ل د ی ح ی ح ص ل ص ) الواو والالم والیاء : أ ي ل (و
yaitu sesuatu hal yang menunjuki makna dekat maksudnya semua pecahan kata
dari ي ل و memiliki makna kedekatan, Seperti pecahan kata يل و الم dan ي ل و .
Sedangkan untuk kata يل و الم , Ibn Faris memberikan makna yaitu:
ي ل و ال ن م ء ال ؤ ھ ل , ك ار , والج ر اص , والن م الع ن ب , وا ف ی ل , والح ب اح , والص تق ع الم وتق ع الم
ب ر ق و ھ و .
Semua ini memiliki makna seperti penolong, tetangga, sahabat, sekutu dan
lainnya, yang memberikan pemaknaan kedekatan. Sedangkan untuk kata ي ل و
memberikan makna ھ یل و و ھ ف ر خ ا ر م أ ي ل و ن م ل ك و yaitu seseorang yang mengatur
dan mengurus urusan orang lain atau biasa disebut sebagai pemimpin57.
Menurut Imam Nawawī kata ي ل و dibagikan menjadi dua makna, pertama
pecahan yang menjadi يل و الم yang memiliki 16 makna diantaranya:
, ف ی ل , الح م ع ال ن ب , ا ار , الج ع اب , الت ب ح , الم ر اص , الن تق ع , الم تق ع , الم م ع ن , الم ك ال , الم ب الر
ھ ی ل ع م ع ن , الم د ب , الع ر ھ , الص د ی ق الع .
57Ahmad b. Fāris b. Zakariyā Abū al-Husain, Mu’jam Maqāyīs al-Lughah, Muhaqqīq‘Abd al-Salām Muhammad Hārūn, (Dār al-Fikr) j 6 hlm 141
36
Sedangkan kata ي ل و diartikan sebagai ھ یل و و ه ال و م ھ ب ام ق و را أ م أ ي ل و ن م ل ك و .
Tidak jauh beda yang dipaparkan oleh Ibn Faris tentang makna kedua pecahan
kata ini.
Bisa disimpulkan bahwa kata Muwālah berasal dari kata Waliyyun, yang
memiliki banyak makna. Semua peletakan makna bisa saja berubah dengan
keadaan konteksnya atau intrakalimat yang menunjukan keadaan yang diinginkan.
dikarenakan makna yang begitu banyak sehingga bisa diimplementasikan sesuai
objek yang ditujukan. Semua makna ini berpusat kepada makna al-Qurb yaitu
dekat. Dimaknai dengan ر اص الن (penolong) tentu penolong memiliki kedekatan
emosional yang berkeinginan untuk menolong kepada yang di tolong, pemimpin
yang memiliki kedekatan dengan yang dipimpin atau orang yang kita percayai
untuk mengatur urusan kita yang barangtentu memiliki kedekatan antara kedua
pihak, dan makna-makna kata lainnya58.
Kemudian kata Kuffār berasar dari kata ر ف ك , menurut Imam Nawawi yang
mengutip pendapat Abū Manshūr al-Azharī di dalam kitab Syarh Alfādz al-
Mukhtashar ashl al-Kufr al-Taghtiyyah wa al-Sutr, secara etimologi yaitu ل ی ال
ھ م ل ظ ب اء ی ش األ ر ت س ی ھ ن أل ر اف ك yaitu malam itu Kafir karena menutupi sesuatu.dengan
kegelapangannya, اھ ر ك ش ی م ل ا و ھ ر ت ا س ذ إ ة م ع الن ر ف ك ن ال ف و , seseorang kafir terhadap
nikmat-Nya apabila menutupinya dan tidak mensyukurinya59.
Ditinjau dari segi bahasa, kata kafir tidak selamanya berarti non muslim,
karena ada penggunaan kata kafir atau pecahan dari kata kafir seperti kufur, yang
58 Abū Zakariya Muhyiidin Yahya b. Syarif al-Nawawī, Tahdzīb al-Asmā’ wa al-Lughāt,(Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, Bairut-Libanān) hlm 196 j 4
59 Ibid, hlm 116 j 4
37
bermakna inkar saja, tidak sampai mengeluarkan seseorang dari keislaman.
Contohnya kufur nikmat, yaitu orang yang tidak pandai/mensyukuri nikmat
Tuhan, atau dalam istilah lain disebut sebagai kufrun duna kufrin (kekufuran yang
tidak sampai membawa pelakunya kafir/keluar dari islam).
Secara terminologi, yaitu ات اد ق ت ع إل او ال ع ف األ و ال و ق األ ن م ان م ی اإل اد ض ا ی م و ھ
, maksudnya berlawanan dari Iman60 baik dari ucapan, perbuatan dan keyakinan.
Secara istilah, kafir adalah orang yang menentang, menolak, kebenaran dari Allah
Swt yang disampaikan oleh RasulNya. atau secara singkat kafir adalah kebalikan
dari iman. Dilihat dari istilah, bisa dikatakan bahwa kafir sama dengan non
muslim. Yaitu orang yang tidak mengimani Allah dan rasul-rasul-Nya serta
ajarannya.
Dalam terminologi kultural kata ini digunakan dalam agama Islam untuk
merujuk kepada orang-orang yang mengingkari nikmat Allah (sebagai lawan dari
kata syakir, yang berarti orang yang bersyukur). Namun yang paling dominan,
kata kafir digunakan dalam al-Quran adalah kata kafir yang mempunyai arti
pendustaan atau pengingkaran terhadap Allah Swt dan Rasul-Rasul-Nya,
khususnya Nabi Muhammad dan ajaran-ajaran yang dibawanya.
Jadi apabila kata Muwalāh dan al-Kuffār digabungkan (diidhofahkan)
maka makna nya mempunyai kedekatan dengan orang kafir baik menjadi
penolong, pemimpin, teman dan lainnya. Tetapi di dalam penelitian ini, penulis
60 Iman adalah sebuah frase yang menyakininya di dalam hati ,عبارة عن تصدیق القلب حقیقةsecara pasti. Menyakininya tidak hanya sebatas penamaan saja melain kan seorang mukallaf harusmengimplementasikannya sekurang-kurang nya harus menyakini dengan syahadatain (dua kalimatpersaksian). Menyatakan dengan hati dan diperkuatkan dengan Iqrār lisan. Lihat Sultān al-Ulamaal-‘Izzu b. ‘Abd al-Salām al-Sulaimanī (660 H), Ma’na al-Imān Wa al-Islām aw Farq Baina al-Imān wa al-Islām, (Dār al-Fikr, Damasq-Suriyah) hlm 9-10
38
fokus kepada kata Auliya yang diinterpretasikan dengan makna pemimpin, baik
itu penafsiran yang memberikan makna secara implisit pemimpin ataupun
eksplisit
B. Heterogenitas Tafsir Kata Auliyā’ dalam al-Qur’an Objek dan Konteks
Di sini penulis hanya memberikan ayat-ayat mewakili makna
kawan/teman Penolong, pemimpin dan pelindung. Kata Auliyā’ sangat banyak
dibahas dalam al-Qur’an, dan setiap ayat yang membahas Auliyā’ tidak semuanya
memiliki makna yang sama. Dikarenakan perbedaan objek dan kontek kegunaan
ayat itu sendiri.
Ada beberapa ditemukan kata Auliya di dalam al-Qur’an, antara lain :
1. ‘Auliya yang memiliki makna teman dekat
Terdapat pada QS: Āli ‘Imran: 28
ك ل ل ذ ع ف ن ی م و ین ن م ؤ م ون ال ن د اء م ی ل و ین أ ر اف ك ون ال ن م ؤ م ذ ال خ ت ال ی
ى ل إ ھ و س ف ن هللا م ك ر ذ ح ی و اة ق م ت ھ ن وا م ق ت ن ت ال أ ء إ ي في ش ن هللا س م ی ل ف
یر ص م ال هللا
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadiwali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuatdemikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat)memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allahmemperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allahkembali(mu)”.
Asbāb al-Nuzūl ayat ini, diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbās bahwa sekelompok
orang yahudi diantaranya: al-Hajjāj b. ‘Amr, Ibn Abī al-Huqaiq dan Qais b.
Zaid. Mereka orang yahudi ingin mengadakan hubungan rahasia dengan
sebagian orang anshar, agar mereka mau berpaling dari agama Islam. Maka
Rif’ah b. Munzīr, Abdullah b. Jubair dan Sa’ad b. Khaisamah mencegah
mereka mendekati orang-orang yahudi itu. Tetapi mereka orang Ansar
39
tersebut tetap saja mengadakan hubungan rahasia dengan mereka, maka
turunlah ayat ini61.
Kaum Muslim dilarang menjadikan orang kafir sebagai kawan akrab yang
bisa merugikan orang muslim itu sendiri baik dalam urusan agama maupun dalam
kepentingan umat, apalagi jika dalam hal ini kepentingan orang kafir lebih
didahulukan daripada kepentingan kaum muslimin sendiri, hal itu akan membantu
tersebarluasnya kekafiran. Ini sangat dilarang oleh agama. Jadi ayat ini
konteksnya ada kecurangan dari orang kafir untuk mengelabuhi orang muslim
untuk mengikuti keyakinan mereka, sehingga orang Muslim sangat dilarang untuk
terlalu dekat dengan orang kafir maka turunlah ayat ini QS: al-Nisā’: 76
وت یل الطاغ ب ون في س ل ات ق وا ی ر ف ین ك ذ ال و یل هللا ب ون في س ل ات ق وا ی ن آم ین ذ ال
ا یف ع ان ض ان ك ط ی د الش ی ن ك ان إ ط ی اء الش ی ل و وا أ ل ات ق ف
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orangyang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitanitu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah”.
Ayat ini menjelaskan, orang mukmin berperang untuk menegakkan keadilan
dan membela diri, sedangkan orang musyrik berperang mengikuti hawa nafsu
yang dikendalikan oleh syaitan. Orang kafir di sini merupakan kawan-kawan nya
syaitan. Kesimpulannya, makna kata Auliya’ di artikan sebagai kawan.
2. Auliya’ yang memiliki makna penolong QS: al-Nisā 89
ى ت ح اء ی ل و م أ ھ ن وا م ذ خ ت ال ت اء ف و ون س ون ك ت وا ف فر ا ك م ك ون ر ف ك و ت وا ل د و
ال و م وھ م ت د ج و ث ی م ح وھ ل ت اق م و وھ ذ خ ا ف و ل و ن ت إ ف یل هللا ب وا في س ر اج ھ ی
ا یر ص ال ن ا و ی ل م و ھ ن وا م ذ خ ت ت
61 Li Imam Muhammad al-Rāzī Fakhruddīn Ibn al-‘Allām Dhiya’ al-Dīn, Tafsir Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-Tasir al-Kabīr Mafātih al-Ghaib, (Dār al-Fikr 1981) hlm 11 j 8
40
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telahmenjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlahkamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga merekaberhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlahmereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambilseorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadipenolong”,
Ayat ini memberikan informasi, sifat-sifat orang munafik yang oleh
sebagian kaum muslimin ketika itu dibela dan hendak diberi petunjuk, serta
diharapkan bantuan mereka untuk memperkuat kaum Muslimin62. Ketika itu
mereka keluar dari Madinah, karena sudah keluar dari agama Islam. Ayat ini
menggunakan makna penolong terhadap orang muslim yang kemudian
menjadi munafik.
3. Auliya’ yang memiliki makna pemimpin secara eksplisit
Pertama dengan makna implisit yang terdapat pada QS al-Taubah: 23
یا أیھا الذین آمنوا ال تتخذوا آباءكم وإخوانكم أولیاء إن استحبوا الكفر على
ئك ھم الظالمون یمان ومن یتولھم منكم فأول اإل
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan
saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan
kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka
wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
QS: al-Nisā’ 139
ة ز ع م ال ھ د ن ون ع غ ت ب ی ین أ ن م ؤ م ون ال ن د اء م ی ل و ین أ ر اف ك ون ال ذ خ ت ین ی ذ ال
62 Imam al-Jalīl al-Hafidz ‘Imād al-Dīn Abī al-Fidā’Ismā’il b. Katsīr al-dimasqiTafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm, ([Dār al-Kitab al-‘Alamiyah 1419H) hlm 189 j 4
41
“(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah merekamencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatankepunyaan Allah”.
QS: al-Nisa’ : 144
ون ید ر ت أ ین ن م ؤ م ون ال ن د اء م ی ل و ین أ افر ك ل وا ا ذ خ ت وا ال ت ن ین آم ذ ال ا ھ ی ا أ ی
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-
orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk
menyiksamu)?”
QS: al-Maidah: 51
م ھ ض ع ب اء ی ل و ى أ ار ص الن ھود و ی ل وا ا ذ خ ت وا ال ت ن ین آم ذ ا ال ھ ی ا أ ی
م و ق ي ال د ھ ال ی ن هللا م إ ھ ن ھ م ن إ م ف ك ن م م ھ ل و ت ن ی م و عض اء ب ی ل و أ
ین م ال الظ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagianmereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantarakamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itutermasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjukkepada orang-orang yang zalim”.
QS: al-Mumtahanah: 1
ة وقد كفروا كم أ ولیاء تلقون إلیھم بالمود ي وعدو یا أیھا الذین آمنوا ال تتخذوا عدو
42
ة وأنا أعلم بما ون إلیھم بالمود خرجتم جھاد ا في سبیلي وابتغاء مرضاتي تسر
أخفیتم وما أعلنتم ومن یفعلھ منكم فقد ضل سواء السبیل
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Kudan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepadamereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahalsesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu,mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepadaAllah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Kudan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamumemberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka,karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikandan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yangmelakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus”.
Menurut penulis, Masih terjadi perbedaan di kalangan Ulama mengenai
ayat-ayat di atas, apakah maknanya secara ekspilisit pemimpin atau makna
lainnya. Ada beberapa ‘Ulama yang memberikan makna eksplisit dan impilisit
Pemimpin. Seperti penjelasan Imam al-Qurtubi dan Ibn Katsir yang
memberikan penjelasan pada surah al-Maidah 51 dengan menambahkan kisah
yang terjadi di kalangan sahabat ketika pengangkatan orang kafir menjadi
pemimpin.
Kisah ini diriwayatkan oleh Ibn Hātim telah menceritakan kepada kamikasir Ibn Syihab, telah menceritakan kami Muhammad maksudnya Ibn Sa’īdIbn Sabiq, telah menceritakan kepada kami Amr Ibn Abu Qais, dari Simmā b.Harb dari ‘Iyyād bahwa ‘‘Umar pernah memerintahkan Abū Mūsa al-Asy’ariuntuk melaporkan kepadanya tentang semua yang diambil dan yangdiberikannya maksudnya pemasukan dan pengeluarannya dalam suatu catatanyang lengkap. Dan tersebutlah bahwa yang menjadi sekretari Abū Mūsa saatitu adalah seorang Nasrani. Kemudia hal tersebut dilaporkan kepada Khālifah‘‘Umar r.a. maka Khālifah ‘‘Umar merasa heran hal tersebut, lalu ia berkata“sesungguhnya orang ini benar-benar pandai, apakah kamu dapatmembacakan untuk kami sebuah surat di dalam Masjid yang dating dari negeiSyam?”. Abū Mūsa menjawab, “Dia tidak melakukannya”. Khalifa ‘‘Umarbertanya, “apakah dia mempunyai Janabah?”. Abū Musa al-‘Asy’arī berkata,“tidak, tetapi dia adalah seorang Nasrani”. Maka Khālifah ‘‘Umarmembentakku dan memukul pahaku, lalu berkata, “pecatlah dia!” selanjutnya‘‘Umar membacakan firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
43
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagisebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil merekamenjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yangzalim”.
Sehingga menurut penulis, Ayat ini memberikan makna tersirat, seorang
Nasrani (kafir) di masa sahabat tidak diperbolehkan menjadi seorang Kātib
(penulis) dalam suatu pemerintahan, apalagi menjadi seorang pemimpin di
masa itu. Maka ada indikasi dari penafsiran Ibn katsir ayat ini fokus kepada
pemaknaan pemimpin63. Secara tidak langsung ‘‘Umar memberikan
penafsiran tehadap ayat ini pelarangan orang kafir menjabat dalam suatu
pemerintahan apalagi menjadi pemimpin, padahal Abū Mūsa mengambil
Nasrani yang notabanenya berstatus Dzimmi64. Dan penafsiran ‘Umar justru
diterima oleh Abū Mūsa al-‘Asy’arī, bahkan sahabat yang hidup di masa itu
pun seperti ‘Alī b. Abī Thālib dan Ibn ‘Abbās tidak ada bantahan mereka atau
penafsiran ‘‘Umar seperti itu.
Kemudian Sa’id Hawwa menafisrkan QS: al-Māidah 51, “BahwasanyaNasūs dari ayat ini memberikan pemahaman pentingnya agama Islam, karenaWilā’ (pemimpin) itu untuk orang Islam dengan anggapan bahwa untukagama Islam dan kepada kaum Muslimin tidak ada campur tangan dari diluar Islam (Non-Muslim)”65
Pada surah al-Nisā’: 139 dan 144, al-Qurtubi memberikan menjelaskan
yang sama yaitu memberikan makna بطانة sebagaimana beliau menafsirkan
63 Imam al-Jalīl al-Hafidz ‘Imād al-Dīn Abī al-Fidā’Ismā’il b. Katsīr al-dimasqiTafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm, ([Dār al-Kitab al-‘Alamiyah 1419H) hlm 253 j 564 yakni orang kafir yang tinggal di Negeri Muslim, memiliki perjanjian (damai) dengan
kaum Muslimin, membayar pajak (jizyah/ uang keamanan/ upeti sebagai kompensasi pemerintahIslam terhadap harta dan darahnya/ jiwanya. Ketika mereka tidak mampumembayar jizyah, maka jizyah tersebut dapat digugurkan darinya) kepada pemerintah Islam danditegakkan kepada mereka hukum-hukum Islam.
65 Sa’id Hawwa (1409H), al-Asās Fī al-Tafsīr, (Dār al-Salām-al-Qāhirah 23-Maret-2016)hlm 1427, J 3
44
QS: Ali ‘Imran 11866, beliau memberikan penafsiran dengan memasukan
kisah ‘‘Umar dan Abū Mūsa al-‘Asy’ari yang memberikan jabatan kepada
orang Non-Muslim yang ketika itu beragama Nasrani. Pada ayat selanjutnya
pada surah al-Nisā’, beliau memberikan sisipan kata بطانة , menurut penulis,
pemahaman ini sama dengan pemahaman ayat sebelumnya yang memiliki kata
kunci sama dalam penafsirannya بطانة yaitu .67.
Tafsirnya Kementrian agama juga memberikan makna yang cukup
multitafsir bukan hanya teman dekat melainkan juga pemimpin penolong dan
pelindung, dan tafsir kementrian menafsir kan ayat ini melarang orang-orang
yang beriman agar jangan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani
sebagai teman akrab yang akan memberikan pertolongan dan perlindungan,
apalagi untuk dipercayai sebagai pemimpin.
Sebagai mana Asbab al-Nuzul ayat ini, di temukan beberapa periwayatan
yang menerangkan sebab turunnya ayat ini. Antara lain ialah riwayat Ibn
Syaibah dan Ibn Jarīr dan Atiyah b. S’ad menceritakan, bahwa ‘Ubadah b.
Sāmit dari Bani Khazraj dating meghadap Rasulullah SAW seraya berkata:
“Ya Rasululllah, saya ini orang yang mempunyai ikatan persahabatandengan orang-orang Yahudi dan merupakan kawan yang akrab sekali, bukandengan beberapa orang saja, tapi dengan jumlah yang banyak. Saya inginmendekatkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dengan meninggalkanhubungan saya yang akrab selama ini dengan orang-orang Yahudi”.Mendengar ucapan itu ‘Ubadah itu lalu ‘Abdullah b. Ubay berkata, “Sayaadalah orang penakut, saya takut kalau-kalau nanti mendapat bahaya dariorang-orang Yahudi bila hubungan yang akrab dengan mereka diputuskan”.Maka Rasulullah SAW berkata kepada ‘Abdullah b. Ubay, “Perasaan yang
66 Abī ‘Abdillah Muhammad b. Ahmad b. Abī Bakr al-Qurtubī, al-Jāmi’ Li Ahkām al-Qur’an Wa Mubayyin Lima Tadammanahu min al-Sunnah Waāyi al-Furqān, Dār al-Kitāb al-Mishriyyah-al-Qāhirah 1964 M) hlm 274, j 5
67 Yang mempunya makna loyalitas atau kedekatan terhadap seseorang
45
terkandung dalam hati mengenai hubungan orang-orang Yahudi dengan‘Ubadah, biarlah untuk kau saja, bukan untuk orang lain”. Lalu ‘Abdullah b.Ubay menjawab, “Kalau begitu, akan saya terima”68.
4. Auliya dengan makna pelindung
Pertama terdapat pada QS al-Zumar: 3
لى هللا
ال یھدي من ھو كاذب كفار یحكم بینھم في ما ھم فیھ یختلفون إن هللا زلفى إن هللا
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kamitidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kamikepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akanmemutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya.Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangatingkar”.
Kesimpulan dari empat hasil kalsifikasi makna Auliyā’ adalah, pemaknaan
kata Auliya memiliki makna yang relatif sehingga terjadi pemaknaan yang
berbeda di kalangan ulama tafsir. Dari hasil di atas, belum tentu semua Ulama
tafsir memaknai seperti ini hanya saja bisa dilacak dari kontek mereka masing-
masing menafsirkan, baik itu memaknai penolong, teman dekat maupun
pemimpin.
C. Sosio-Kultural larangan pemimpin orang Kafir
Islam adalah Agama yang mengajarkan konsep Rahmatan lil ‘Alamīn,
suatu konsep yang menjadi acuan untuk mencerminkan bahwa Islam bukanlah
Intoleransi terhadap pemeluknya, bahkan di luar Islam (non-Muslim), melainkan
menerapkan toleransi untuk umat beragama. Ajaran ini lah yang diterapkan Nabi
ketika menghadap Non-Muslim. Di masa Nabi yang ketika itu Islam masih dalam
68 Kementria Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, ( Lentera Abadi, Jakarta 2010) hlm416, jilid 2
46
keadaan minoritas dibanding agama lainnya, sampailah kepada tahapan di mana
kemenangan Islam yang menjadi pusat kepemimpinan sampai di bagian Eropa.
Penjelasan ini sangat menarik ketika konsep di atas digali lebih dalam ketika
disangkutpautkan kepada dunia kepemimpinan yang dipegang oleh Non-Muslim.
Di masa Nabi, islamisasi dengan cara berdakwah sembuyi-sembuyi karena
ada takut kekhawatiran tidak diterima oleh kelompok (agama) lain. Sering kali di
masa Nabi terjadi peperangan dengan Yahudi atau kelompok yang menyembah
berhala seperti. Di antaranya yang paling kita kenal dengan sebuta perang Uhud,
perang Badr, perang Fath al-Makkah, dan lainnya. Banyak sekali ayat yang turun
ketika perang, setelah perang, bahkan tentang larangan Muwalah (loyalitas)
terhadap orang kafir ketika hendak mau berperang. Kebanyakan kata Auliya,
ketika di telusuri dari aspek Asbab al-Nuzul kenapa diturunkan pada saat
itu?.menurut penulis, kebanyakan ayat yang menggunkan konotasi kata Auliya’
saat itu dalam kondisi berperangan. Seperti ayat Āli ‘Imran: 28, Surah al-Nisā’:
76, Surah al-Nisā 89. Jadi konteks ayat itu sendiri kenapa dilarang bermuwalah?
Dikarenakan bisa membahayakan kondisi umat Islam ketika hendak berperang
melawan mereka.
Di masa sahabat, yang diriwayatkan oleh diriwayatkan oleh Ibn Hātim
telah menceritakan kepada kami kasir Ibn Syihāb, telah menceritakan kami
Muhammad maksudnya Ibn Sa’īd Ibn Sabīq, telah menceritakan kepada kami
‘Amr Ibn Abū Qais, dari Simmā b. Harb dari ‘Iyyād bahwa ‘Umar pernah
memerintahkan Abū Mūsa al-Asy’ari untuk melaporkan kepadanya tentang semua
yang diambil dan yang diberikannya maksudnya pemasukan dan pengeluarannya
47
dalam suatu catatan yang lengkap, dan tersebutlah bahwa yang menjadi sekretari
Abū Mūsa saat itu adalah seorang Nasrani. Kemudia hal tersebut dilaporkan
kepada Khālifah ‘Umar r.a. maka Khālifah ‘Umar merasa heran hal tersebut, lalu
ia berkata:
“sesungguhnya orang ini benar-benar pandai, apakah kamu dapatmembacakan untuk kami sebuah surat di dalam Masjid yang dating dari negeiSyam?”. Abū Mūsa menjawab, “Dia tidak melakukannya”. Khalifa ‘‘Umarbertanya, “apakah dia mempunyai Janabah?”. Abū Musa al-‘Asy’arī berkata,“tidak, tetapi dia adalah seorang Nasrani”. Maka Khālifah ‘‘Umar membentakkudan memukul pahaku, lalu berkata, “pecatlah dia!” selanjutnya ‘‘Umarmembacakan firman Allah SWT QS: al-Maidah 51.
Riwayat berbeda dicantumkan dalam Tafsir al-Qurtubī, dimana di bagian
akhir dialog ada perbedaan ucapan dari ‘‘Umar. Imam al-Qurtubi juga
mencantumkan kisah di atas yang diriwayatkan oleh al-Baihāqī dalam QS: Ali
Imran:118 sebagai berikut:
هللا م ھ ن و خ د ق و م ھ ن م أ ت ال , و هللا م ھ ان ھ أ د ق و م ھ م ر ك ت ال , و هللا م اھ ص أق د ق و م ھ ن د ت ال
Ini yang disampaikan oleh ‘‘Umar kepada Abū Mūsa al-‘Asy’arī,
“Jangan bawa mereka mendekati sesuatu yang Allah telah jauhkan, Jangan
memberi mereka kehormatan ketika Allah telah menghinakan mereka, dan jangan
mempercayai mereka ketika Allah telah mengatakan mereka tidak bisa
dipercaya”69.
Dalam riwayat lain yang dicantumkan oleh Kitab Tafsir al-Rāzī pada
penafsiran QS: al-Maidah 51, yaitu:
69 Abī ‘Abdillah Muhammad b. Ahmad b. Abī Bakr al-Qurtubī, al-Jāmi’ Li Ahkām al-Qur’an Wa Mubayyin Lima Tadammanahu min al-Sunnah Waāyi al-Furqān, Dār al-Kitāb al-Mishriyyah-al-Qāhirah 1964 M) hlm 274, j 5
48
ع ن ص ا ت م ف ات م د ق ھ ن أ ب ي ھ ن ع م, ی ال الس ي و ان ر ص الن ات م : ال ق , ف ھ ب ال إ ة ر ص ب ال ر م أ م ت ی ال
ه ر ی غ ب ھ ن ع ن غ ت اس و ن اال ھ ل م اع ف ھ ت و م د ع ب ھ ل م ع ا ت م , ف ه د ع ب
Abū Mūsa al-‘Asy’arī berkata: “Tidak akan sempurna urusan di Bashrahkecuali dibantu orang ini” Khalīfah ‘‘Umar menjawab singkat: “Mati saja lahorang Nasrani itu, Wassalā”. Para ulama menafsirkan maksud perkataan ‘Umarterakhir itu dengan makna, “Pecat dia sekarang karena kalau besok-besok diameninggal dan kamu sudah bergantung pada dia, kamu akan repot, maka anggapsaja sekarang dia sudah meninggal, dan cari bantuan orang lain untuk mengurusiurusan itu”70.
Dan di dalam Kitab Tafsir al-Razi, ada tambahan dialog batahan dari Abū
Mūsa al-‘Asy’arī yaitu:
ھ ت اب ت ك ي ل و ھ ن ی د ھ ل 71
. Abū Mūsa membantah di depan Khalīfah: “lahu dīnuhu waliya
kitābatuhu” (baginya urusan agamanya, dan bagiku adalah urusan ketrampilan
dia). Abū Mūsa seolah mengingatkan Khalīfah dengan ungkapan yang redaksinya
mirip dalam al-Qur’an: lakum dinukum waliya din. Tetapi bantahan Abū Mūsa
juga tetap ditolak oleh Khalīfah.
Bisa ditarik kesimpulan dari kisah ini, bahwa Abū Mūsa membawa
sekretarisnya yang Kristen ke wilayah Madinah yang khusus untuk umat Islam
saja. Bahkan ‘Umar baru tahu dia seorang Nasrani itu setelah mau diajak bicara di
Masjid. Barulah Abū Mūsa memberitahu kepada Khalīfah latar belakang
sekretarisnya ini. Ini sebabnya kalimat yang diucapkan oleh Khalīfah ‘Umar saat
memarahi Abū Mūsa: “usir dia atau keluarkan dia” Ini maksudnya usir dia dari
Madinah. Disusul dengan ungkapan Khalīfah ‘Umar, “Jangan bawa mereka
70 Li Imam Muhammad al-Rāzī Fakhruddīn Ibn al-‘Allām Dhiya’ al-Dīn, Tafsir Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-Tasir al-Kabīr Mafātih al-Ghaib, (Dār al-Fikr 1981) hlm 18, j 12
71 Li Imam Muhammad al-Rāzī Fakhruddīn Ibn al-‘Allām Dhiya’ al-Dīn, Tafsir Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-Tasir al-Kabīr Mafātih al-Ghaib, (Dār al-Fikr 1981) hlm 18, j 12
49
mendekati sesuatu yang telah Allah jauhkan dari mereka”. Jadi ini bukan semata-
mata persoalan Abū Mūsa mengangkat orang Kristen, tapi ini pada kesucian
wilayah Madinah.
Sebab kemarahan kedua yang bisa kita ambil dari kisah di atas adalah
ketergantungan Abū Mūsa terhadap orang Kristen pada posisi yang sangat
strategis yang keuangan pemerintahan dimana di dalamnya termasuk catatan
zakat, jizyah dalam baitul mal. Indikasi ketergantunga itu tampak dengan Abū
Mūsa tidak bisa menjelaskan sendiri catatan pengeluaran yang telah dibuat
sekretarisnya, malah sampai membawa sekretaris yang Kristen itu mendampingi
dia memberi laporan kepada Khalīfah.
Bagi sang Khalīfah, rahasia negara menjadi beresiko ketika posisi strategis
semacam itu dipercayakan kepada non-Muslim di masa saat
Khalīfah ‘Umar sedang melakukan ekspansi dakwah ke wilayah non-Muslim,
seperti pembebasan Iraq dan Mesir. Inilah pula konteksnya ketika Khalīfah ‘Umar
mengutip QS: al-Maidah:51, dimana Allah melarang mengambil Yahudi dan
Nasrani sebagai awliya (sekutu/kawan akrab), yang menurut Ibn Katsīr ketika
menjelaskan QS al-Nisa:144:
“Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengambil orang-
orang kafir sebagai ‘awliya’ mereka, dengan meninggalkan orang-orang
mukmin”.
Maka jelas sekali kultur larangan masa pemerintahan ‘Umar, yaitu
ketergantungan Abū Mūsa kepada anak buahnya, posisi strategis dalam hal
50
catatan keluar-masuk zakat-jizyah, serta potensi bocornya rahasia negara yang
tengah melakukan ekspansi dakwah.
Kisah inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan argumentasi untuk
kontra terhadap kepemimpinan dari Non-Muslim, karena ayat yang menjelaskan
ayat tentang memiliki makna Istirāk (Ambiguitas) pada pemaknaan dan kegunaan
konteksnya. Di zaman Nabi ayat pelarangan ‘Auliya kepada Non-Muslim lebih
menekan kepada aspek kedekatan sebagai teman dekat, karena posisi umat Islam
yang lagi sibuk dalam situasi peperangan, takut merusak pertahanan umat
Muslim. Sebaliknya ayat menjelaskan Auliyā’ yang ditafsiri oleh Khalīfah ‘Umar
b. Khattāb dengan pemaknaan pemimpin atau jabatan, sehingga konteksnya pada
saat bukanlah dalam situasi peperangan, melainkan ditakuti bocornya kerahasian
dalam ekspansi dakwah. Sebagaimana perkataannya Sa’id Hawa dalam al-Asās fī
al-Tafsir mengatakan: “apakah anda bisa pahami tentang larangan memberikan
kafir dzimmi posisi untuk mengerjakan urusan umat Islam?” Beliau menjawab
sendiri: “Masalah ini tergantung konteksnya, karena perbedaan posisi jabatan,
kondisi, dan lokasi serta zaman”72.
D. ‘Illat larangan Muwālah al-Kuffār
Ada dua pendapat menegenai tentang ‘Illat larangan pengangkatan orang
kafir sebagai pemimpin, pertama karena berkhianat, kedua pendapat penulis yaitu
orang kafir berstatus sebagai Auliya’ bagi sesamanya.
Pada pandangan pertama, diambil dari Salahsatu Intlektual Muslim yaitu
Dr.Nadirsyah Hosen,LLM,.M.A. (Hoons), Ph.D, beliau biasa dipanggil dengan
72 Sa’id Hawwa (1409H), al-Asās Fī al-Tafsīr, (Dār al-Salām-al-Qāhirah 23-Maret-2016)hlm 1427, J 3
51
sebutan Gus Nadir. Beliau adalah lulusan S1 dari Fakultas Syari’ah IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, sekarang beliau orang Indonesia pertama dan satu-satunya
yang menjadi dosen tetap di fakultas hukum di universitas di Australia73. Beliau
sangat aktif menulis buku dan di dunia media sosial, memberikan knowledge
tentunya pengetahuan keislaman. Salah satu tulisan beliau yang dijadikan
penelitian yaitu memberikan pemahaman pada penafsiran QS: al-Māidah ‘Illat
(sebab) dilarangnya orang kafir menjadi pemimpin karena ada unsur berkhianat74.
Dengan menggunakan teori munasabah pada QS: al-Nisā’ 139 frase ayatnya yaitu
ن ی ن م ؤ م ال ن و د ن م , dan QS: al-Mumtahanah 1. Dalam jurnal beliaupun juga
memberikan imformasi ada dua hal kenapa ‘Illat (sebab) larangan Muwālah al-
Kuffār berkhianat:
1. Periksa 3 asbabun nuzul yang berbeda yang semuanya mengisyaratkan
soal al-muwalah yang meninggalkan umat (min dunil mu’minin)
2. Imam al-Razi mengatakan yang tidak boleh itu mengangkat non-muslim
sendirian. Tanpa didampingi muslim. Dengan demikian menurut beliau
kata kuncinya adalah tidak meninggalkan/ berkhianat kepada umat75.
Kemudian beliau menjelaskan tentang penafsiran QS: al-Mumtahanah 1,
Inilah ayat yang secara tegas mengungkapkan alasan mengapa ber-muwalatul
73 Biografi beliau lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Nadirsyah_Hosen74 Khianat adalah lawan dari kata Amanah, sebagaimana dijelaskan didalam QS: al-Anfā
27 ون م ل ع ت م ت ن أ و م ك ت ا ن ا م أ وا ون خ ت و ول س الر و وا هللا ون خ ت وا ال ن م ن آ ی ذ ل ا ا ھ ی أ ا ی , artinya: “Haiorang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan(juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamumengetahui”. Bisa diambil ‘Ibarah secara umum kemudian ditakhsiskan, yaitu seseorang yangtidak menjalankan amanahnya sesame manusia seperti teman, pemimpin dan sesuatu hal yangmemilik tanggung jawabnya.
75 Nadirsyah Hosen, Tafsir al-Qur’an di Medsos: Mengaji Makna dan Rahasia Ayat Sucidi Era Sosial, ( Bunyan 2017) dan http://nadirhosen.net/tsaqofah/tarikh/254-logika-dan-illat-hukum, (dilihat 5 april 2018, 13:20 WIB)
52
kuffar itu dilarang karena alasan berkhianat. Ayat ini turun berkenaan
dengan Hatib bin Abi Balta’ah yang membocorkan rencana Nabi menyerang
kota Mekah. Hatib mengirim surat rahasia kepada karib kerabatnya di Mekah.
Maka turun ayat awliya ini yang berisi soal pengkhianatan; bukan tentang
kepemimpinan76.
Argumentasi yang disampaikan oleh Gus Nadir tentang ada
pengkhianatan ini bisa dilacak kembali keabsahan dalam menggunakan dalam
metode Ushul Fiqh dan penafsiran para Ulama Tafsir.
1. Dari sudut pandang Ushul Fiqih, dalam menggunakan metode ‘Illat harus
melihat beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam menentukan suatu
‘Illat. Penulis meneliti hal ini dengan mengambil langkah dari penjelasan
sebelumnya di dalam Bab III pembahasan tentang ‘Illat. Syarat pertama
menurut Wahbah al-Zuhaili ialah al-Wasf al-Zhahir, (sifat yang jelas),
menurut penulis sederhananya, suatu ‘Illat harus Nampak jelas pada Mahall
al-Hukm perkara yang akan dilabeli salahsatu hukum syar’ī, seperti wajib,
haram, makruh dan lainnya, dan ukuran kejelasan itu adalah, bisa terdeteksi
secara jelas oleh panca indera lahiriah. Syarat kedua harus mundhabit (
pasti) yakni tertentu dan bisa dibatasi sehinggan bisa dijadikan hukum.
ketiga al-Mu’arif li al-Hukm di redaksi yang lain beliau menyebut kan
Yunāsib al-Hukm, yaitu ada kesesuaian terhadap hukum artinya bahwa
hubungan hukum dengan sifat (‘Illat) itu, baik ada dan tidaknya harus
diwujudkan menjadi tujuan dalam membentuk hukum.
76 http://nadirhosen.net/tsaqofah/tafsir/tafsir-al-mumtahanah-larangan-ber-muwalatul-kuffar, (dilihat 5 april 2018, 13:40 WIB)
53
Contohnya seperti minuman Khamar, keharamannya sudah pasti
haraman disebabkan memabukkan. Ada tiga poin yang penting di sini,
pertama Khamar sebagai Mahal al-Hukm yang akan diberikan hukum
Syar’ī, kedua Haram sebagai hukum Syar’ī, ketiga memabukkan sebagai
‘Illat dari larangan meminum Khamar. Jadi, ‘Illat pada contoh di atas
adalah memabukkan, apakah memabukan sudah memenuhi syarat sah di
dalam penjelasan ‘Illat? Sudah tentu memabukkan bisa terdeteksi oleh
panca indera pada Khamar sebagai Mahal al-Hukm.
Hemat penulis, argumentasi yang disampaikan oleh Gus Nadir
yaitu berkhianat dikaitkan dengan penjelasan yang sampaikan pada teori
Wahbah al-Zuhailī. Apakah berkhianat sudah memenuhi syarat ‘Illat?.
Terlebih dahulu Kita harus mengetahui yang dimaksud berkhianat di sini
siapa?, apakah orang Muslim atau Non-Muslim. Apabila yang dikehendaki
khianat di sini adalah orang Muslim, maka bisa berantakan dalam
menentukan ‘Illatnya. Sebab yang menjadi tempat dimana ‘Illat terdeteksi
panca indera secara jelas itu adalah Mahal al-hukm, sementara yang
menjadi Mahal hukm dalam kasus ini adalah orang kafir bukanlah orang
Islam, dan apabila dikehendaki di sini adalah orang kafir, justru bertolak
sekali dengan Asbāb al-Nuzul pada setiap ayat. Seperti QS al-Nisā’ 139,
konteks ayat ini ada oknum yang munafik (Muslim) yang sebenarnya
bersekongkol dengan orang kafir. Mereka memusuhi orang-orang
mukmin, bahkan dalam saat-saat yang penting, mereka membantu orang
54
kafir, karena mereka berkeyakinan bahwa kemenangan akan diperoleh
orang kafir77.
Kemudian di QS: al-Māidah 51, menurut penulis, tidak ada
indikasi orang kafir berkhianat, justru orang Muslim yang nantinya
mempunyai sifat terlalu akrab terhadap orang kafir kemudian menjadi
bagian mereka. Akhirnya ayat ini juga menegaskan, bahwa barang siapa di
antara orang-orang mukmin yang menjadikan orang Yahudi dan Nasrani
sebagai teman akrabnya, maka orang itu termasuk golongan mereka, tanpa
sadar, lambat laun orang itu akan terpengaruh, bukan membantu Islam,
tetapi akan memberi petunjuk orang-orang yang aniaya, kepada jalan yang
benar untuk mencapai hidup bahagia di dunia dan akhirat78.
Dan pada QS: al-Mumtahanah 1, dilihat dari aspek Asbā al-Nuzul
juga tidak ada indikator berkhianat dari orang kafir justru dari orang
Muslim. Kejadiannya, diriwayatkan oleh al-Bukhārī, Muslim dan Ulama
yang lain bahwa telah datang ke Madinah seorang perempuan dari Mekah
bernama Sārrah untuk suatu keperluan. Waktu itu orang-orang Musyrik
Mekah baru saja melanggar perjanjian Hudaibiyah, suatu perjanjian damai
yang dibuat Rasulullah dengan mereka. Rasulullah SAW sedang
mempertimbangkan batas waktu tertentu untuk berpikir bagi orang-orang
Musyrik Mekah. Rasulullah SAW bermaksud jika batas waktu yang
77 Kementria Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, ( Lentera Abadi, Jakarta 2010) hlm299, jilid 2
78 Kementria Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, ( Lentera Abadi, Jakarta 2010) hlm417, jilid 2
55
ditentukan habis dan orang-orang Musyrik tetap pada sikap mereka
semula, maka beliau bermaksud menyerang kota Mekah.
Sārrah diperintahkan Rasulullah tinggal bersama keluarga Bani
Abd Mutālib. Rasulullah SAW mengharapkan agar mereka memberi
nafkah, pakaian, dan tempat tinggal bagi Sārrah. Setelah beberapa lama
tinggal di Madinah, maka Sārrah bermaksud kembali ke Mekah. Lalu
Hātib b. Abī Balta’ah, seorang sahabat Rasulullah SAW yang ikut Perang
Badar, menemui Sārrah untuk mengirimkan sepucuk surat kepada
keluarganya bahwa Rasulullah SAW akan mengembalikan tindakan
terhadap musyrik Mekah, setelah habis masa yang ditentukan itu. Kejadian
itu disampaikan Jibril kepada Rasulullah SAW. Maka beliau pun
menyuruh ‘Alī b. Abī Thālib, ‘Ammār, Talhah, Zubair, Miqdād, dan Abū
Marsid menyuruh Sārrah dan mengambil surat yang dikirimkan Hātib.
Semua sahabat disuruh Rasulullah SAW itu adalah dari pasukan berkuda.
Nabi berkata kepada mereka, “Segeralah pergi ke Khakh (suatulembah yang terletak antara Mekah dengan Madinah), di sana adaseorang perempuan dalam usungan. Dia membawa surat untuk pendudukMekah. Maka ambillah surat itu dari dia, dan biarkan dia pergi keMekah”.
Maka para sahabat itu memacu kudanya hingga sampai ke tempat
perempuan itu dan meminta suratnya. Mula-mulanya ia enggan
memberikannya. Setelah didesak dengan keras, barulah ia memberikan
surat itu. Setelah para sahabat kembali, maka Hātib dipanggil Rasulullah
SAW dan menanyakan sebab ia menulis surat itu. Hātib menerangkan
bahwa ia bermaksud untuk melindungi keluarganya yang ada di Mekah,
seandainya kaum Muslimin memasuki kota itu nanti, bukan bermaksud
56
untuk membukakan rahasia kepada kaum musyrikin. Rasulullah SAW
dapat membenarkan alasan Hātib, tetapi ‘Umar b. Khattāb berkata, “Ya
Rasulullah, serahkanlah orang munafik itu agar aku pancung lehernya”.
Rasulullah SAW berkata, “Hātib adalah sahabat yang ikut Perang
Badar”.79
Dari beberapa ayat ini, tidak ada indikasi yang menjelaskan kafir
berkhianat terhadap orang Muslim, justru sebaliknya orang Muslim lah
yang berindikasi berkhianat terhadap orang Muslim itu sendiri. Berkhianat
baik itu orang muslim dan orang kafir jelas sekali tidak bisa dijadikan
‘Illat sebagai pelarangan orang kafir menjadi pemimpin.
Setelah diteliti kembali dengan menggunakan teori ‘Illat,
berkhianat juga tidak masuk dalam bagian syarat-syarat ‘Illat. Karena
pengkhianatan seseorang tidak bisa terdeteksi dengan panca indra. Hanya
saja bisa diketahui dengan cara perlakuan atau perbuatan yang
mengindikasikan yang sifatnya dugaan pengkhianatan. Sama halnya
contoh yang diberikan oleh Wahbah al-Zuhailī,
: ن ی ع ای ب ت الم ن ی ي ب اض ر الت ال ث م , ف ھ ب ل ی ل ع الت ح ص ی ال ا ف ی ف خ ف ص و ال ان ا ك ذ إ ف
ن ك م ی ي, ال ب ل ق ر م ي أ اض ر الت ن , أل ن ی ض و ي الع ف ة ی ك ل الم ل ق ن ل ة ل ع ن و ك ی ن أ ح ص ی ال
و ي ھ ذ ال ل و ب ق ال و اب ج ی اإل ي ھ ة ی ك ل م ال ل ق ي ن ف ة ل الع ن و ك ت ن أ ن ی ع ت ا ی م ن إ , و ھ اك ر د إ
80ياض ر الت ة ن ظ م
79 Kementria Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, ( Lentera Abadi, Jakarta 2010) hlm 86-87, jilid 10
80 Wahbah al-Zuhailī, Usūl al-Fqih al-Islāmī, (Dār al-Fikr 1986 M) hlm 654
57
Menurtu beliau, Sifat yang tersembuyi (sulit diketahui) maka tidak
bisa dikategorikan ‘Illat, seperti tentang saling kerelaan ( اضير الت ) pada
jual beli, yang tidak bisa dijadikan ‘Illat dikarenakan, tidak bisa terdeteksi
dengan panca indra, karena Ridha (rela) merupakan urusan hati jadi tidak
suatu pun yang mengetahui, kecuali dengan adanya indikasi yang
memperlihatkan dia tidak merelakan seperti, mengingkari kesepakatan
ijab-qobul. Bagi penulis, khianat merupakan salah satu sifat yang
Khafiyyān (tersembuyi) yang tidak bisa dikategorikan sebagai ‘Illat,
karena merupakan salah satu urusan hati, kecuali dengan sifat-sifat yang
meindikasikan pengkhianatan sehingga bisa diketahui dengan panca indera
dan bisa menjadi syarat pertama dalam menentukan ‘Illat. Jadi khianat dan
Tarādin (saling kerelaan) di dalam jual beli, tidak bisa diketahui ‘Illat nya,
hanya bisa diketahui apa yang bisa mengindikasi hal tersebut, yang dikenal
dari ungkapan Wahbab al-Zuhailī yaitu Midzannah81 (dugaan). Dan yang
bisa dijadikan ‘Illat nya seharusnya perkara yang diduga atau
mengindikasikan berkhianat bukan berkhianat itu sendiri.
Kesimpulannya, khianat tidak bisa dijadikan ‘Illat dari aspek Ilmu
Ushūl Fiqh, karena tidak memenuhi syarat ‘Illat, apabila salah satu syarat
tidak dipenuhi, maka syarat setelahnya pun tidak bisa dilacak kembali.
Tetapi yang bisa menjadi ‘Illat adalah perkara yang diduga atau
mengindikasi berkhianat. Dan berkhianatnya juga masih memiliki
ambiguitas, apakah berkhianatnya orang Muslim atau Non-Muslim.
81 Ibid, Usūl al-Fqih al-Islāmī, (Dār al-Fikr 1986 M) hlm 654
58
2. Sebelumnya khianat ditelusuri dari aspek ilmu Ushul Fiqh, bagian kedua
penulis meneliti keabsahan khianat dari aspek penafsiran para Ulama,
dengan menggunakan pendekatan komparatif setiap penafsiran Ulama,
tidak ada penyebutan khianat sebagai ‘Illat larangan Muwālah al-Kuffar.
Pertama penafsiran QS: al-Māidah dari Imam al-Zamakhsyarī
dalam kitabnya al-Kassyāf,
م ھ ت ل م اد ح ت ا إل ض ع ب م ھ ض ع ي ب ال و ا ی م ن إ ي ) أ ض ع ب اء ی ل و أ م ھ ض ع (ب ھ ل و ق ب ي ھ الن ل ل ع م ث
م ھ ت اال و م ل و م ھ ن ی د ف ال خ ھ ن ی د ن م ا ل م , ف ر ف ي الك ف م ھ اع م ت ج إ و
beliau menjelaskan bahwa larangan tersebut terjadi adanya pengangakatan
dari sebagian kelompok (Muslim) menjadikan pemimpin dari sebagian
kelompok lain (Non-Muslim)82.
Kedua penafsiran QS: al-Māidah oleh Imam al-Baidawī yang
merupakan pakar Ushūl Fiqh yang monumental, yang berjudul Minhāj al-
Wushūl ‘Ila ‘Ilmi Ushūl, beliau memberikan komentar pada ayat ini yaitu,
83ي ھ الن ة ل ع ىل إ اء م ی إ
Kalau diperhatikan peryataan beliau, penulis melihat sekali penetapan ‘Illat
semacam ini adalah dengan menggunakan cara Limā’ salah satu metode
(Masālik) dalam penetapan ‘Illat sebuah hukum.
82 Abī al-Qāsim Mahmud b. ‘Umar al-Zamakhsyari, al-Kassyāf ‘An Haqā’iq Ghawāmidal-Tanzīl Wa’uyun al-Aqāwīl Fī Wujūh al-Ta’wīl, (Maktabah al-‘Abīkan 1998) Hlm 249, j 2
83Nāsir al-Dīn Abī al-Khair ‘Abdullah b. ‘Umar b. Muhammad al-Syairāzī al-Syāfi’ī al-Baidhāwī, Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl al-Ma’rūf Tafsīr al-Baidhāwī, ( Dār Ihyā’ al-Turāsal-‘Arabī-Bairūt) Hlm 130, j 2
59
Ketiga penafsiran QS: al-Māidah dalam kitab Khāsyiah Muhyiddīn
Syaikh Zādah yang nampaknya menyetuijui dengan penjelasan Imam al-
Baidhāwī terkait ‘Illat tersebut yaitu,
ي ف م ھ اد ح ت إل اض ع ب م ھ ض ع ي ب ال و ی م ك ف ال خ علىن و ق ف ت م م ھ ن إ ف ي أ ي ھ الن ة ل ع إلىاء م ی إ
84م ك ت اد ض م ىل ع م ھ اع م ت ج إ و ن ی الد
Beliau juga tidak menyebutkan secara spesifik, bahwa sebab pelarangan
Muwālah disebabkan khianat melainkan.
Keempat penafsiran QS: al-Nisā’ 139 oleh Imam al-Rāzī,
م ك اء د ھ ش ا و ع اد : (و ھ ل و ق ك ن ی ن م ؤ م ال ر ی غ ن م ي ) أ ن ی ن م ؤ م ال ن و د ن :(م ھ ل و ق ة ث ال الث ة ل أ س الم
س ل ج د ی : ز ل و ق , ت ان ك م ال ب ص ت خ م ن و د ظ ف ل ن أل ك ل ذ و هللا ر ی غ ن م ي ) أ هللا ن و د ن م
85ھ ن م ل ف س أ ان ك ي م ف ي رو أ م ع ن و د
Adapun komentar beliau pada ayat ini adalah, kata دون pada teks di atas
adalah bermakna Kesimpulannya adalah beliau tidak memberikan .غیر
makna baik secara tertulis maupun tersirat dengan meninggalkan apalagi
berkhianat. Dan beliau menambakan komentarnya di penafsiran ayat
tersebut,
ن ي أ ن ع م ب اء ی ل و أ ن ی ر اف ك ال اذ خ ت إ ن ع ي ھ الن ة ی األ ن م اد ر م ال ن و ك ی ن أ ز و ج ی : ال ل ی ق ن إ ف
, ھ ن ي ع ھ ن م ب س ی ل ك ل ذ ف م ھ ع م ن ی ن م ؤ م ا ال و ل و ت و م ھ و ل و ا ت ذ ا إ م أ ,ف ن ی ن م ؤ م ال ن و د م ھ و ل و ت ی
84Muhammad b. Muslih al-Dīn Musthafa al-Qujawī al-Hanafī ‘Ala Tafsīr al-Qādī al-Baidāwī, Khāsyiah Muhyiddīn Syaikh Zādah, (Dār al-Kitab al-‘Alamiyah-Bairut 1999), Hlm 537,j3
85Li Imam Muhammad al-Rāzī Fakhruddīn Ibn al-‘Allām Dhiya’ al-Dīn, Tafsir Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-Tasir al-Kabīr Mafātih al-Ghaib, (Dār al-Fikr 1981) hlm 12-13, j 8
60
ي ال و ی د ق ل ج الر ن , أل ة ی ز م ة اد ی ز ھ ی ) ف اء ی ل و أ ن ی ر اف ك ال ن و ن م ؤ م ال ذ خ ت ی :( ال ھ ل و ق ا ف ض ی أ و
86ھ ت اال و م ل ص أ ن ع ي ھ الن ب ج و ی ا ال ی ال و م ه اذ خ ت إ ن ع ي ھ الن ا ف ی ال و م ه ذ خ ت ی ال و ه ر ی غ
Beliau juga menolak pandangan orang yang berasumsi , jika yang dilarang
itu menjadikan orang kafir sebagai Auliyā’ dengan meninggalkan
(berkhianat) orang mukmin, maka berarti menjadikan orang kafir sebagai
Auliyā’ tanpa meninggalkan orang mukmin itu diperbolehkan. Sehingga
Muwālah al-kufār tetap tidak diperbolehkan, meskipun ada indikasi
berkhianat ataupun tidak meninggalkan (berkhianat) terhadap orang
mukmin.
Kelima, penafsiran QS: al-Māidah oleh Abū al-Barkāt (al-Nasfī),
beliau menjelaskan yang menjadi ‘Illat laranganya adalah,
ن أ ى لع ل ی ل د ھ ی ف و ن ی ن م ؤ م ال اء د ع أ م ھ ل ك و )ض ع ب اء ی ل و أ م ھ ض ع (ب ھ ل و ق ب ي ھ الن ل ل ع م ث
ة د ح او ة ل م ھ ل ك ر ف ك ال
Penjelasan beliau tidak ada indikasi pengkhianatan melainkan sebab
dilarang karena mereka merupakan musuh orang Muslim, dan menjadi
argumentasi bahwa orang kafir satu ikatan, dan orang kafir merupakan
musuh Islam dan tidak boleh dijadikan Muwālah. Bahkan beliau
menambahkan, orang muslim dilarang menolong, meminta tolong,
berkawan, dan bergaul bersama mereka (orang kafir)87.
Keenam, Penafsiran QS: al-Māidah oleh Abī Hayyān, beliau
menjelaskan terkait sebab dilarang dikarenakan beda wilayah yaitu orang
86 Ibid, (Dār al-Fikr 1981) hlm 12, j 887‘Abdullah b. Ahmad b. Mahmūd al-Nasfī Abū al-Barkāt, Madārik al-Tanzīl Wa
Haqā‘iq al-Ta‘wīl, (Maktabah Nazār Mustafa al-Bāz 2013) Hlm 284, j 1
61
kafir Muwālah terhadap orang mukmin. Maksudnya wilayah orang kafir
dibatasi dengan mencakupi wilayah kafir itu sendiri, seperti orang Nasrani
terhadap orang Nasrani, orang Yahudi wilayahnya bersama orang Yahudi
bukan sebaliknya. Sehingga dhomīr pada kata م ھ ض ع ب , kembali kepada
Yahudi Nasrani, sehingga Yahudi juga tidak bisa masuk ke wilayah
(kepemimpinan) Nasrani melainkan sejenisnya begitupun sebaliknya88.
Dari penafsiran beliau tidak ditemukan ‘Illat pengkhianatan justru sebab di
larang karena berbeda wilayah (jenis) kekafiran merekalah yang
menyebabkan terpisahnya wilyah sehingga tidak bisa masuk dalam ranah
Muwālah Muslim.
Ketujuh, penafsiran QS: al-Māidah oleh Imam al-Marāghī, beliau
menjelaskan sebab larangan Muwāah al-Kuffar yaitu:
ار ص ن أ مھ ض ع ب ي ار ص الن , و ض ع ب ار ص ن أ م ھ ض ع ب د و ھ ی ال ن إ ي أ )ض ع ب اء ی ل و أ م ھ ض ع (ب
ل و س الر ه د ق ا ع ا م و ض ق ن د ق د و ھ ی ال ان ا ك ذ , إ ي ھ لن ل ب ب الس و ة ل ع ال ك ة ار ب ع ال ه ذ ھ , و ض ع ب
ن م و ل و س ر ل ا ل ی ر ح ع ی م ج ال ار ص ف ان و د ع ال و ال ت ق ب م ھ أ د ب ی ن أ ر ی غ ن م د ھ ع ال ن م م ھ ع م
ن ی ن م ؤ م ال ن م ھ ع م
Penjelasan beliau, sebab dilarangnya orang muslim bermuwalah
dengan orang kafir adalah berbedanya keyakinan (wilayah) sama dengan
penjelasannya Abī hayyan. Tetapi beliau menambahkan semua
permasalahan ini terjadi karena keingkaran dari orang Yahudi dengan janji
yang Rasulullah buat. Mereka (Yahudi) yang memulai dengan peperangan
88Muhammad b. Yūsuf b. ‘Alī b. Yūsuf b. Hayyān al-Syahīr Bi Abī Hayyān Atsīr al-Dīn,Tafsīr al-Bahr al-Muhīt, (Dār al-Kitab al-‘Alamiyah 2008) hlm 519, j 3
62
dan permusuhan. Jika itu tidak terjadi pasti semuanya hidup dengan
penyesuaian dengan orang Mukmin89. Penjelasan beliau tidak sama sekali
menyebutkan sebab larangannya karena pengkhianatan.
Kedelapan, penafsiran QS: Alī ‘Imrān oleh Ibn ‘Asyūr yaitu:
ي ف ي أ ن ی ن م ؤ م ال ن ی د اع ب ي: م ن ع م ال . و ة ی ف ر ظ ال د ی ك أ ت " ل ن ) "م ن ی ن م ؤ م ال ن و د ن (م ھ ل و ق و
ن و د اء ی ل و أ ن ی ر اف ك ال اذ خ ت إ ھ ن ي ع ھ ن م ال ن و ك ی , ف ر اھ الظ ب س ح ب ي ھ ن ل ل د ی ی ق ت و ھ , و ة ی ال و ال
ي ف ن و ك ا ی م د ن ع ك ل ذ , و ن ی ن م ؤ م ال ھ ت ی ال ي و اف ن ي ت ت ال ار ف الك ن م ؤ م ال ة ی ال و ي , أ ن ی ن م ؤ م ال
.از ر ت ح ال ل ن و ك ت ن أ د و ی ق ال ل ص أ , و ن ی ن م ؤ م ال ب ار ر ض إ ن ی ر اف ك ي ال ل و ت
Penafsiran beliau, larangan bermuwālah disebabkan berbedanya
wilayah, sama dijelaskan penafsiran sebelumnya. Dan beliau
menambahkan, pada teks di atas memberikan frase, bahwa larangan
menjadikan orang kafir sebagai ‘Auliya’ itu berlaku juga pada saat tindakan
yang memberikan mudharat (efek negative) pada umat Muslim90.
Dari beberapa pandangan penafsiran ‘Ulama bisa disimpulkan,
Ulama menafsirkan pada QS: al-Nisā 139, QS: al-Māidah 51, QS: al-
Mumtahanah 1 yaitu perbedaan wilyah (keyakinan), karena kewilayahan
berpengaruh kepada sesamanya, speerti wilayah Yahudi dengan Yahudi,
wilayah Nasrani dengan Nasrani dan wilayah Islam dengan Islam sehingga
tidak ada celas untuk memasuki wilayah lain, dan tidak ditemukan pada
penafsiran ayat tersebut ‘Illatnya berkhianat.
89Ahmad Musthafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (Syurkah Maktabah wa Matba’ahMustafa al-Bābī al-Halbī wa Awlādih bi misr 2010) Hlm 136, j 6
90Muhammad al-Tāhir b. Muhammad b. Muhammad al-Tāhir b. ‘Asyūr al-Tūnisī, al-Tahrīr wa Tanwīr (Tahrīr al-Ma’na al-Sadīd wa Tanwīr al-‘Aql al-Jadīd min Tafsīr al-Kitāb al-Majīd), (al-Dār al-Tūnisyah lilnasyr-Tunis 2010) Hlm 217, j 3
63
Pendapat yang kedua, dari hasil penelitian penulis, ‘Illat (causa legis)
larangan orang kafir sebagai ‘auliya, yaitu orang kafir berstatus sebagai Auliyā’
bagi sesamanya (wilayah). Di sini penulis mengambil beberapa referensi sebagai
penguat argumentasi dari hasil peneliti yaitu Pada penafsiran Imam Baidhāwī
sebelumnya, ketika menetapkan suatu ‘Illat maka perlulah menggunakan metode
‘Illat. Kemudia penulis juga menelusuri dengan menggunakan teori ‘Illat Wahbah
al-Zuhaili, yaitu al-Wasf al-Zhāhir (sifat yang jelas), ketika status kafir dikaji
sekian rupa, maka dapat ditemukan titik tujuan, yaitu bisa terdeteksi oleh panca
indera. Sebab, bisa dilihat bahwa orang kafir berteman setia, suka tolong-
menolong dan bersekutu bersama mereka (kafir), seperti halnya Islam sesame
Islam.
Agar bisa dipahami dengan baik penulis memberikan contoh agar mudah
dipahami, pertama Kafir sebagai Mahal al-Hukm, kedua Haram sebagai hukum
syar’i, ketiga status kafir sebagai ‘Illat dari larangan muwalah al-Kuffār.
Dalam Masālik ‘Illat, Prof Nadir menggunakan jalan Istinbāt, yang di ambil
dari argumentasi ‘Aqliyyah. Cara yang digunakan beliau merupakan asumsi yang
bisa dibantah, disebabkan sifat yang tidak mutlaq di dalam emnggunakan dalil
aqliyyah. Sehingga penulis bisa membantah selagi cara yang digunakan adalah
bersifat Wahmun (asumtif).
Kemudian penulis mengambil rujukan untuk memperkuat dari argumentasi
di atas dengan mengambil penafsiran seperti, seperti Imam al-Rāzī, Imam al-
Baidhāwi, Imam al-Zamakhsarī, Imam Abū Hayyān, Ibn ‘Asyūr, dan lainnya,
mereka menjelaskan ‘Illat larangan orang kafir menjadi Auliyā’ karena perbedaan
64
di dalam agama (wilyah), sehingga perbedaan inilah yang menjadikan benteng
pemisah sebagai Auliyā’. Pada prinsipnya, Auliyā’ yang diartikan loyalitas, teman
akrab, sekutu, tolong-menolong, atau pemimpin, semua ini berpihak kepada
sesama. Orang Yahudi bersama kelompok Yahudi, baik itu pemimpin, sekutu dan
lainnya. Orang Nasrani berpihak kepada Nasrani karena sesama wilyahnya, pun
orang Islam bersama orang Islam di dalam aspek ‘Auliyā’.
Jadi ‘Illat larangan Muwalah al-Kufffar, hanya bisa terjadi apabila orang
Non-Muslim memasuki wilayah Muslim dalam kepemimpinan, dikarenakan ‘Illat
(sebab) Non-Muslim hanya bisa berwilayah (‘Auliyā’) pada sesama meraka dan
menjadi status pada kelompok mereka (Yahudi-Nasrani).
Kemudia Imam al-Maraghi menambahkan, Kenapa ini semua terjadi?
Apakah Allah SWT yang memberikan larangan terlebih dahulu?, ataukah orang
Muslim mengajak bermusuhan? ini dijelaskan oleh Imam al-Marāghi, karena
mereka (kafir) yang memulai, yaitu dengan peperangan dan permusuhan,
merekalah yang mengingkari perjanjian Nabi. Kalaupun itu tidak terjadi, pastilah
semua umat manusia memiliki penyesuai hidup sesama mereka91.
91 Ahmad Musthafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (Syurkah Maktabah wa Matba’ahMustafa al-Bābī al-Halbī wa Awlādih bi misr 2010) Hlm 136, j 6
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, bisa diambil kesimpulan diantaranya:
‘Illat (sebab) Muwālah al-Kuffar (pemimpin kafir) yang sebenarnya
adalah kekafiran mereka sendiri. Apabila dilakukan peneletian dengan pendekatan
Masālik (metode) kafir memenuhi syarat-syarat ‘illat, dan merujuk kepada
penafsiran ulama konservatif, pernyataan mereka bahwa pelarangannya
disebabkan berbeda akidah (keyakinan) sehingga kepemimpinan kafir dilakukan
kepada kelompok mereka sendiri bukan untuk kelompok muslim.
Mereka berpendapat khianat sebagai ‘Illat Muwāah al-Kuffār,
beargumentasi dengan Asbāb al-Nuzūl, konteks ayat ini terjadi di saat peperangan
Nabi Muhammad SAW, ada seorang prajurit dari kalangan sahabat yang
berkhianat, yang hendak membocorkan rencana Nabi. Kemudian khianat
dijadikan landasan mereka illat pelarangan Muwalah al-Kuffār. Tetapi konteks
ayat ini tidak bisa digunakan untuk sekarang, karena Ulama Tafsir ketika
menafsirkan maksud dan tujuan ayat-ayat dengan melihat konteks keadaan
mufassir, sehingga ‘illat yang di zaman Nabi juga tidak bisa dipakai pada keadaan
sekarang, karena perbedaan konteks. Kemudian berkhianat di dalam literatur
Ushūl Fiqh, ketika dibahas dalam disiplin ilmu‘Illat, berkhianat tidak memenuhi
syarat dalam menetapkan ‘Illat. Sehingga landasan mereka yang menyatakan
berkhianat sebagai ‘Illat larangan Muwālah al-Kuffār itu salah.
66
B. Saran
1. Penelitian yang penulis lakukan masih dikategorikan belum maksimal,
dikarenakan penafsiran ayat tentang ‘Illat (sebab) larangan Muwālah al-
Kuffār (kepemimpinan kafir) hanya difokuskan pada tiga ayat saja. Saran
penulis, ada penelitian lanjutan yang lebih berkembang.
2. Mahasiswa Ilmu al-Qur’an masih sedikit sekali menggunakan metode
Maqāṣid al-Syarī’ah dalam penulisan skripsi. Minimal Mahasiswa/i
mempelajari, sehingga memiliki pegangan untuk penulisan dengan metode
yang jarang digunakan.
67
DAFTAR PUSTKA
‘Abdullah b. Ahmad b. Mahmūd al-Nasfī Abū al-Barkāt, Madārik al-Tanzīl WaHaqā‘iq al-Ta‘wīl, (Maktabah Nazār Mustafa al-Bāz 2013)
Abī ‘Abdillah Muhammad b. Ahmad b. Abī Bakr al-Qurtubī, al-Jāmi’ Li Ahkāmal-Qur’an Wa Mubayyin Lima Tadammanahu min al-Sunnah Waāyi al-Furqān, Dār al-Kitāb al-Mishriyyah-al-Qāhirah 1964 M)
Abī al-Qāsim Mahmud b. ‘Umar al-Zamakhsyari, al-Kassyāf ‘An Haqā’iqGhawāmid al-Tanzīl Wa’uyun al-Aqāwīl Fī Wujūh al-Ta’wīl, (Maktabahal-‘Abīkan 1998
Abū ‘Abdillah Syamsuddīn Muhammad b. Muhammad b. Muhammad al-Ma’rūfbi Ibn Amīr Hāj Ibn al-Mauqut al-Hanafī, al-Taqrīr wa al-Tahbīr, Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah 2010)
Abū Zakariya Muhyiidin Yahya b. Syarif al-Nawawī, Tahdzīb al-Asmā’ wa al-Lughāt, (Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, Bairut-Libanān)
Ahmad b. Fāris b. Zakariyā Abū Husain, Mu’jam Maqāyīs al-Lughah ( MufahrisFihrasah Kāmilah 2009)
Ahmad b. Muhammad b. ‘Alī al-Fayōmī, Misbah al-Munīr Fī Gharīb al-Syarh al-Kabīr, (Maktabah al-‘Alamiyah-Bairut 2009)
Ahmad Musthafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (Syurkah Maktabah waMatba’ah Mustafa al-Bābī al-Halbī wa Awlādih bi misr 2010)
Ahmad al-Raisūnī, Nadhīrah al-Maqāshid ‘Inda al-Imam al-Syātibī,(al-Dār al-‘Ālamiyyah li al-Kitāb ak-Islāmiyah 1992)
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2008)
‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqih, Kajian Ushul Fiqih Mudah dan Praktis,(Penterjemah Yasin al-Siba’i, Pustala Thariqul Izzah:Bogor, 2011)
Audah, Jaser, Fiqh al-Maqasid Inatah al-Ahkam asy-Syar’iyyah biMaqasidiha, (Virginia, al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 2006)
Ardiansyah, Pengantar Penerjemah, dalam Badi al-Sayyid al-Lahham, SheikhProf. Dr. Wahbah al-Zuḥailī: Ulama Karismatik Kontemporer – sebuahBiografi (Citapustaka Media Perintis: Bandung, 2010)
https://www.suduthukum.com/2016/03/biografi-wahbah-zuhaili.html
68
http://www.nu.or.id/post/read/61511/warisan-syekh-wahbah-zuhaili
http://nadirhosen.net/tsaqofah/tarikh/254-logika-dan-illat-hukum
http://nadirhosen.net/tsaqofah/tafsir/tafsir-al-mumtahanah-larangan-ber-muwalatul-kuffar
https://id.wikipedia.org/wiki/Nadirsyah_Hosen
Imām Abū Hāmid Muhammad b. Muhmmad al-Ghazālī, al-Mustaṣfa min ‘Ilmi al-Ushūl, (Dār al-Kitāb al-‘Alamiyyah 2010)
Imam al-Jalīl al-Hafidz ‘Imād al-Dīn Abī al-Fidā’Ismā’il b. Katsīr al-dimasqiTafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm, ([Dār al-Kitab al-‘Alamiyah 1419H)
Imam Muhammad al-Rāzī Fakhruddīn Ibn al-‘Allām Dhiya’ al-Dīn, Tafsir Fakhral-Rāzī al-Musytahir bi al-Tasir al-Kabīr Mafātih al-Ghaib, (Dār al-Fikr1981)
Kementria Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, (Lentera Abadi, Jakarta 2010)
Lisa Rahayu, Makna Qaulan dalam al-Qur’an; Tinjauan Tafsir Tematik MenurutWahbah al-Zuhailī (Skripsi Sarjana, Fakutas Ushuluddin Univesitas UINSUSKSA Riau, Pekanbaru, 2010)
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabī)
Muhammad b. ‘Alī b. Muhammad b. ‘Abdullah al-Syaukānī al-Yamanī, Irsyād al-Fuhūl ila Tahqīq al-Haq min ‘Ilmi al-Ushūl, (Dār al-Kitab al-‘Arabī 1999)
Muhammad b. Yūsuf b. ‘Alī b. Yūsuf b. Hayyān al-Syahīr Bi Abī Hayyān Atsīral-Dīn, Tafsīr al-Bahr al-Muhīt, (Dār al-Kitab al-‘Alamiyah 2008)
Muhammad Khoiruddin, Kumpulan Biografi Ulama Kontemporer (Pustaka Ilmu:Bandung, 2003)
Muhammad b. Ya’qūb al-Fairūz Ābādī majd al-Dīn, al-Qāmūs al-Muhīt(Muassasah al-Risālah 2009)
Mu’jam al-Lughāh al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Wasīth, (Maktabah al-Syurūq al-Dauliyah 2004)
Muhammad b. Muslih al-Dīn Musthafa al-Qujawī al-Hanafī ‘Ala Tafsīr al-Qādīal-Baidāwī, Khāsyiah Muhyiddīn Syaikh Zādah, (Dār al-Kitab al-‘Alamiyah-Bairut 1999),
69
Muhammad al-Tāhir b. Muhammad b. Muhammad al-Tāhir b. ‘Asyūr al-Tūnisī,al-Tahrīr wa Tanwīr (Tahrīr al-Ma’na al-Sadīd wa Tanwīr al-‘Aql al-Jadīd min Tafsīr al-Kitāb al-Majīd), (al-Dār al-Tūnisyah lilnasyr-Tunis2010)
Nadirsyah Hosen, Tafsir al-Qur’an di Medsos: Mengaji Makna dan Rahasia AyatSuci di Era Sosial, ( Bunyan 2017)
Nāsir al-Dīn Abī al-Khair ‘Abdullah b. ‘Umar b. Muhammad al-Syairāzī al-Syāfi’ī al-Baidhāwī, Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl al-Ma’rūf Tafsīral-Baidhāwī, ( Dār Ihyā’ al-Turās al-‘Arabī-Bairūt)
Al-Nawawī, Tahdzīb al-Asmā’ wa al-Lughāt (al-Qāhirah, Taswīr Dār al-kitab al-‘Alamiyah, Bairut 2008)
Ridzwan Bin Ahmad, “Permasalahan Ta’lil al-Ahkam Sebagai Asas PenerimaanMaqashid al-Shari’ah Menurut Ulama Usul, (dalam Jurnal Fiqh.No. 52008),
Sa’id Hawwa (1409H), al-Asās Fī al-Tafsīr, (Dār al-Salām-al-Qāhirah 23-Maret-2016)
Sayyid Muhammad „alī Ayāzi, Al-Mufassirun Ḥayātuhum wa Manāhijuhum(Teheran: Wizānah al-Thaqāfah wa al-Inshāq al-Islām, 1993)
Shaufi Hasan Ibnu Thalib, Tathbiq al-Syariah al-Islamiyah fii al-Bilad al-Arabiyah, (Dar al Nadhah al-Arabiyah, 1995)
Syaifuddin Abi al-Hasan Ali bin Abi Ali Ibnu Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fiUshul alAhkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1404 H)
Taqī al-Dīn Abū al-Hasan ‘Alī b. ‘Abd al-Kāfī b. ‘Alī b. Tamām b. Hāmid b.Yahya al-Subkī, al-Ibhāj fī Syarh al-Minhāj al-Wusūl ila Ilm al-Ushūl lilQādī al-Baidhāwī, ( Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah-Bairut 2010)
Totok Jumantoro dan Samsul, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (penerbit: AMZAH,2005)
Wahbah al-Zuhailī, Maushū’ah Qadāyā Islāmiyah Mu’āshirah (Dār al-MaktabīDamasq)
Wahbah al-Zuhailī, al-Ushūl al-‘Ammāh liwahdah al-Dīn al-Hak (Dār al-Fikr:Damasq)
Wahbah Zuhaili, Uṣūl Fiqh Islāmī , (Dar al Fikr: Damaskus, 1986)
70
Wahbah al-Zuḥailī, Al-Tafsīr al-Munīr fī al- ‘Aqīdah wa al-Sharī’ah wa al-Manhaj (Dār al-Fikr: Damaskus, 1998)
Wahbah al-Zuhailī, al-Wajīz Fī Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, (Dār al-Khair li Tabā’ahwa al-Nasyar wa al-Tauzī’ Damasq-Suriyā)
Zainuddīn Abū ‘Abdillah Muhammad b. Abī Bakr b. Abd al-Qādir al-Hanafī al-Rāzī, Mukhtar al-Shahāh (Maktabah ‘Ashriyyah, Bairūt 1999)
Zakariyya b. Muhammad b. Ahmad b. Zakariyya al-Anṣārī Zainuddīn Abū Yahyaal-Sanīkī, Gāyah al-Wuṣul fī Syarh Lub al-Ushūl, Dār al-Kitab al-‘Arabiyyah al-Kubra-Mesir)