‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al...

83
‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al-Zuhailī (Kajian Analisi QS. al-Nisā’: 139, QS. al-Mā’idah: 51, dan QS. Mumtahanah: 1)Melalui Metode Maqāṣid al-Syarī‘ah Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Dayu Aqraminas 11140340000173 PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440H/2018M

Transcript of ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al...

Page 1: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al-Zuhailī

(Kajian Analisi QS. al-Nisā’: 139, QS. al-Mā’idah: 51, dan QS.

Mumtahanah: 1)Melalui Metode Maqāṣid al-Syarī‘ah

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Dayu Aqraminas

11140340000173

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440H/2018M

Page 2: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā
Page 3: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā
Page 4: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā
Page 5: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

ABSTRAK

Dayu Aqraminas

11140340000173

‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Prespektif Wahbah Al-Zuhailī (Kajian

Analisis QS. al-Nisā’: 139, QS. al-Mā’idah: 51, dan QS. Mumtahanah:1)

Melalui Metode Maqāṣid al-Syarī‘h

Skripsi ini membahas tentang penafsiran ayat-ayat yang digunakan untuk

menentukan sebab larangan kepemimpinan orang kafir. Salah satu penafsiran dari

Intlektual Muslim Prof Nadirsyah Housen dalam karyanya Tafsir al-Quran di

Medsos, menyatakan ‘Illat (sebab) pelarangan pemimpin kafir adalah berkhianat.

Pendapat ini yang kemudian dikaji dengan menggunakan pendekatan literatur

tafsir dan Ushul Fiqh

Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka. Sumber data

dalam penelitian ini adalah penafsiran ayat al-Qur‟an yang ditulis dalam artikel

Prof Nadirsyah Housen dan karya tulis beliau Tafsir al-Qur‟an di Medsos. Dalam

meneliti pendapat beliau menggunakan dua Literatur, pertama beberapa tafsir

klasik: Tafsir al-Qurtubī, Tafsir al-Rāzī (Mafātih al-Ghaib), Tafsir al-Marāghī,

dan lainnya. Kedua Ushul fiqih: Wahbah al-Zuhailī, Abū Ḥamid l-Ghazālī, dan

lainnya.

Penelitian ini menyimpulkan, Khianat tidak bisa menjadi „Illat (sebab)

larangan kepimpinan orang kafir, karena kata “Khianat” tidak ditemukan di dalam

penafsiran para Ulama, dan penafsiran Ulama di dalam menentukan „Illat larangan

itu membutuhkan Masālik (metode), sehingga di dalam menggunakan metode

Ushul Fiqih, Khianat tidak memenuhi syarat-syarat ketentuan untuk menjadi „illat,

yang menjadi „illat larangan Muwālah al-Kuffār (kepemimpinan kafir) adalah

kekafirannya sendiri, yang menolak agama Islam.

Page 6: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

KATA PENGANTAR

الحمد هلل الذي خلق كل شيئ قادر على كل شيئ

Segala puji milik Allah SWT yang selalu memberikan kepada kita semua

rahmat, semoga kita selalu istiqamah menjadi seorang hamba yang selalu patuh

kepada-Nya. Sholawat untuk Nabi Muhammad SAW, sebagai ayah yang tidak

lelah dalam berjuang, seorang pemimpin yang diberi gelar al-Āmin, untuk

memperjuangkan agama Allah, semoga kita diberikan Syafa’at (pertolongan)

dikemudian nanti.

Sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi dan mencapai gelar Strata

Satu (S1) di Universitar Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta adalah membuat

karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Berbagai hambatan selama menyusun

skripsi, karena masih kurang pengetahuan untuk menyelesaikannya,

Alhamdulillah dengan izin allah dengan niat dan tekad yang sungguh, dapat

menyelesaikan tugas akhir ini.

Kendati, ini semua tidak terlepas dari dukungan dan banyak pihak. Oleh

karenanya, penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta

2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. Sebagai Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an dan

Tafsir

4. Drs. Banun Binaningrum, M.Pd Sebagai Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an

dan Tafsir

5. Dr. M. Suryadinata, MA sebagai Dosen Pembimbing skripsi yang selalu

meluangkan waktu dan pikirannya selama menjadi pembimbing, terimakasih

banyak semoga menjadi amal jariyah.

6. Muhammad Zuhdi, M.Ag sebagai Dosen Pembimbing Akademik

Page 7: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

7. Kepada seluruh Dosen-dosen Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Prof. Dr. H. Said

Agil Husin Al Munawar M.A., Prof. Dr. H. Zainun Kamaluddin Fakih M.A,

Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar M.A, Dr. Abd. Moqsith, M.Ag, Rifqi

Muhammad Fatkhi, M.A., dan semuanya yang pernah mengajar saya dari

semester I-VII, Jazākumullah Wanafa‘anā bi ‘Ulūmihim.

8. Terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua Dahlan Abdullah dan

Siti al-Mukaramah, yang selalu mendoakan, memberi nasehat, dukungan, dan

memperhatikan kesehatan. Semoga Allah senantiasa melindungi dan

mengampuni kesalahan.

9. Seluruh Sahabat-sahabat Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2014, teman

seperjuangan, teman untuk berdiskusi. Semoga Allah memberikan keberkahan

dalam pertemuan kita.

10. Teman KKN 047, sebulan kita mengabdi semoga menjadi amal kebaikan kita

dan menjadi keberkahan untuk mereka.

11. Kepada teman-teman yang selalu memberikan arahan dan dukungan,

terimakasih semua semoga Allah mebalas dengan kebaikan pula. Āmīn Ya

Rabba al-‘Alamīn.

Sekali lagi, terimakasih dukungan dan bantuannya semoga menjadi amal

kebaikan untuk kita semua

Ciputat, 25 Mei 2018

Dayu Aqraminas

11140340000173

Page 8: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 158/1987 dan 0543 b/U/1987, Tanggal

22 Januari 1988.

A. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan

alif tidak dilambangkan ا

ba‟ b be ب

ta‟ t te ت

sa‟ ṡ es (dengan titik di atas) ث

jim j je ج

ha‟ ḥ ha (dengan titik di bawah) ح

kha‟ kh ka dan ha خ

dal d de د

zal ż zet (dengan titik di atas) ذ

ra‟ r er ر

zai z zet ز

sin s es س

syin sy es dan ye ش

sad ṣ es (dengan titik di bawah) ص

dad ḍ de (dengan titik di bawah) ض

ta‟ ṭ te (dengan titik di bawah) ط

za‟ ẓ zet (dengan titik di bawah) ظ

ain „ koma terbalik di atas„ ع

gain g ge غ

Page 9: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

fa f ef ف

qaf q qi ق

kaf k ka ك

lam l el ل

mim m em م

nun n en ن

wawu w we و

ha‟ h ha ه

hamzah ‟ apostrof ء

ya y ye ي

B. Konsonan Rangkap Karena Syaddah Ditulis Rangkap

ditulis muta‘aqqidin هتعقدين

ditulis ‘iddah عدة

C. Ta’ Marbutah

1. Bila dimatikan ditulis h

ditulis hibbah هبت

ditulis jizyah جسيت

(Ketentuan ini tidak diberlakukan terhadap kata-kata Arab yang sudah

terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti shalat, zakat, dan sebagainya,

kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).

Bila diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah,

maka ditulis dengan h.

األونيبء كرامت ditulis karāmah al-auliyā

2. Bila ta‟ marbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan ḍammah,

ditulis t

Page 10: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

انفطر زكبة ditulis zakātul fitri

D. Vokal Pendek

kasrah ditulis i

fathah ditulis a

ḍammah ditulis u __ۥ___

E. Vokal Panjang

fathah + alif ditulis ā

هلية جا ditulis jāhiliyah

fathah + ya‟ mati ditulis ā

ditulis yas` ā يسعى

kasrah + ya‟ mati ditulis ī

ditulis karīm كرين

ḍammah + wawu mati ditulis ū

F. Vokal Rangkap

fathah + ya‟ mati ditulis ai

ditulis bainakum بيىكم

fathah + wawu mati ditulis au

ditulis qaulun قول

G. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan dengan

Apostrof

Page 11: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

ditulis a’antum أأوتم

ditulis u‘iddat ث أعد

ditulis la’in syakartum شكرتم نئه

H. Kata Sandang Alif + Lam

a. Bila diikuti huruf Qamariyyah

ditulis al-Qur’ān انقرأن

ditulis al-qiyās انقيبش

b. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggandakan huruf

Syamsiyyah yang mengikutinya serta menghilangkan huruf l (el)-nya

’ditulis as-samā انسمبء

ditulis asy-syams انشمص

I. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat

Ditulis menurut bunyi pengucapannya dan menulis penulisannya

انفوض ذوي ditulis żawī al-furūd

انسىت أهم ditulis ahl as-sunnah

Page 12: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING.......................................................

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN....................................................

LEMBAR PERYATAAN.....................................................................................

PEDOMAN TRANSLITERASI...........................................................................

ABSTRAK..............................................................................................................

KATA PENGANTAR............................................................................................

DAFTAR ISI...........................................................................................................

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah....................................................................................1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................................4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.......................................................................5

D. Tinjauan Pustaka................................................................................................5

E. Metodologi Penelitian........................................................................................7

F. Sistematika Penulisan........................................................................................9

BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG BIOGRAFI WAHBAH AL

ZUHAILĪ DAN MAQĀṢID AL-SYARĪ’AH

A. Biografi Wahbah al-Zuhailī.............................................................................10

B. Maqāṣid al-Syari’āh Wahbah al-Zuhailī..........................................................15

BAB III: DISKURSUS ‘ILLAT

A. Definisi ‘Illat...................................................................................................19

B. Perbedaan ‘Illat, Sebab, dan Hikmah..............................................................22

C. ‘Illat Sebagai Penentu ada dan tidaknya Hukum.............................................25

D. Masālik (Metode) dalam menentukan ‘Illat....................................................26

Page 13: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

BAB IV: ‘ILLAT LARANGAN MUWĀLAH AL-KUFFĀR

A. Definisi Muwālah al-Kuffār.............................................................................34

B. Penafsiran ’Auliya’ dalam al-Qur’an Objek dan Konteks................................37

C. Sosio-Kultural Larangan Pemimpin Kafir.......................................................44

D. ‘Illar Larangan Muwālah al-Kuffār..................................................................49

BAB V: KESIMPULAN

A. Kesimpulan......................................................................................................64

B. Saran................................................................................................................65

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................66

Page 14: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Baru-baru ini Masyarakat Indonesia dikejutkan adanya persoalan aksi

demonstrasi untuk menolak Basuki Tjahya Purnama (Ahok) sebagai gubernur

kota DKI Jakarta, yang sebelumnya sudah ada penolakan yang terjadi ketika

penggantian kepemimpinan Joko Widodo yang kini menjadi Presiden yang ke-7.

Ini dilakukan berdasarkan perbedaan teologi akidah seorang muslim, yang di

Indonesia ini mayoritas penduduknya menganut agama Islam, ditambah lagi kasus

penistaan yang dilakukan oleh Basuki Tjahya Purnama (Ahok) terkait QS. al-

Mā’idah: 51.

Terkait masalah pada QS. al-Mā’idah: 51 ini terjadi perbedaan pendapat

dikalangan Intlektual Muslim, yang berfokus kepada pemahaman makna kata

Auliya’ yang sering disebutkan di beberapa ayat yang tentunya memiliki

perbedaan interpretasi baik secara tekstual maupun kontekstual (‘Illat). Di dalam

al-Qur’an kata Auliya disebutkan sebanyak 42 kali yang masing-masing memiliki

terjemahan yang beragam sesuai konteksnya1. Makna dasarnya dari kata dasar

“Muwālah2” sebagaimana yang dijelaskan Ibn Faris3

(ولي) الواو والالم والیاء : أصل صحیح یدل علي قرب

1 Muhammad Fu’ad Abd al-Baqī, Al-mu’jam al-Mufahras li al-fadz al-Qur’an al-Karim,(dar al-Kitab al-Masriyyah) hlm767

2 Kata dasar dari Muwālah diabmil dari dua istilah, pertama dari fiil madhi, dan keduaakar kata dari masdar. Pada pembahasan ini akar kata diambil dari pendapat Ibn Faris yang berakarkata pada fiil madhi.

3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā Abū al-Husain, Muhaqqīq ‘Abd al-Salām MuhammadHārūn, Mu’jam Maqāyīs al-Lughah, (Dār al-Fik) j 6 hlm 141

Page 15: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

2

Menurut beliau akar katanya ini menunjukkan al-Qurb (kedekatan),

sehingga semua pecahan kata ini tetap memberikan makna yang sama yaitu

kedekatan, termasuklah kata “al-Maula” dan “Waliyyun” yang nantinya memiliki

arti beragam seperti diartikan teman setia, penolong, sekutu, pemimpin dan lain-

lainnya. Bahkan terjemahan yang dipakai oleh Kementrian Agama memiliki

beragam tergantung pada konteks, seperti pada QS. Alī Imran/3: 28, QS. al-

Nisā’/4: 139 dan 144 serta QS. al-Mā’idah/5: 57 misalnya, kata awliya

diterjemahkan dengan pemimpin. Sedangkan pada QS. al-Mā’idah/5: 51 dan QS.

al-Mumtahanah/60: 1 diartikan dengan teman setia4. Pada QS. al-Taubah/9: 23

dimaknai dengan pelindung5 dan beragam terjemahan lainnya yang terkait pada

kalimat Auliya. Dari beberapa referensi yang saya baca, belum menemukan

pemberian makna secara ekspilisit penafsiran yang menggunakan kata Auliya

sebagai pemimpin, namun bila yang dimaksud adalah pemberian makna secara

impilisit, maka jelas ada penafsiran yang melakukannya, seperti al-Qurtubi dan

Ibn Katsīr. Penelitian ini berfokus kepada kata auliya yang dimaknai dengan

pemimpin kemudian menelusuri penafsiran ulama tentang sebab pelarangan

pemimpin orang kafir terhadap orang muslim.

Untuk mengetahui apa penyebab dilarang Muwalah al-Kuffar, maka

terlebih dahulu untuk memahami ‘Illatnya. Dan larangan terkait Muwalah al-

Kuffar terjadi ikhtilaf (perbedaan) dikalangan Intlektual Muslim, yang nantinya

berpengaruh kepada pro terhadap orang kafir yang bisa dijadikan sebagai Auliya

4 Kementrian Agama Ri 2010, Al-qur’an dan Tafsir (edisi yang disempurnakan), j 2 hlm415

5 Kementrian Agama Ri 2010, Al-qur’an dan Tafsir (edisi yang disempurnakan), j 4 hlm85

Page 16: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

3

dan sebaliknya kontra terhadap orang kafir yang menjadi Auliya. Seperti salah

satu pandangan dari Intlektual Muslim Prof Nadirsyah Housen dalam buku dan

artikel beliau terkait sebab pelarangan pemimpin kafir yaitu ada unsur Khianat

terhadapat kaum muslimin6, yang beargumen dengan sebuah frase dalam ayat

terkait larangan orang kafir sebagai Auliya, seperti QS: Alī Imran 28 dan QS: Alī

Imran 139 dan 144, Frase yang dimaksud adalah :

من دون المؤمنین

Yang bermakna “meninggalkan kaum muslimīn” atau dimaksud adalah

berkhianat, kesimpulannya ketika diasumsikan adalah jika tidak sampai

berkhianat atau meniggalkan kaum muslimin, maka menjadikan orang kafir

sebagai Auliya diperbolehkan.

Sedangkan pemahaman lainnya, sebab pelarangan pemimpin kafir yaitu

berbeda akidah sehingga kepemimpinan mereka (kafir) bisa dilakukan terhadap

kelompok mereka sendiri, tanpa ada unsur khianatpun terhadap muslim juga

dilarang, kesimpulannya jika diasumsikan jangankan berkhianat atau

meninggalkan kaum muslimin, jikat tidak ada unsur berkhianat dan meniggalkan

kaum muslimin tentu dilarang, argumen inilah yang digunakan oleh penulis

diakhir kesimpulan penelitian ini. Sehingga perlu dikaji kembali dari kedua

pendapat, seperti pendapat yang pertama tentang penggunaan metode ‘Illat

(sebab) yang ditelusuri dengan pendekatan Ushul fiqh, kata khianat belum bisa

dikategorikan sebagai ‘Illat sebagaimana yang dijelaskan Imam al-Syaukanī,

6 Nadirsyah Hosen, Tafsir al-Qur’an di Medsos: Mengaji Makna dan Rahasia Ayat Sucidi Era Sosial, ( Bunyan 2017) hlm 73-79 dan http://nadirhosen.net/tsaqofah/tafsir/tafsir-al-mumtahanah-larangan-ber-muwalatul-kuffar, dilihat 28 februari 2017 jam 20:25

Page 17: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

4

Imam al-Baidhawī, dan Imam Wahbah Zuhailī. Terkait pendapat yang kedua,

argumen yang digunakan adalah mereka (kafir) baik yahudi maupun nasrani

merupakan musuh Allah berdasarkan pendapat Ibn Katsīr dalam kitabnya,

سالم وأھلھ ینھي تعالي عباده المؤمنین عن مواالة الیھود والنصاري الذین ھم 7أعداء اإل

Lebih uniknya pendapat Ibn Katsir, tidak ada pembeda diantara hukumnya

antara Yahudi-Nasrani yang memerangi dengan yang tidak memerangi, maka

semestinya beliau menjelaskan rinciannya disini, bukan malah menghukumi

secara general.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari sekian banyaknya pembahasan tentang Muwālah al-Kuffār, penulis

lebih membahas kepada ‘Illat (Causa Legis) tentang keharaman Muwālah al-

Kuffar sekaligus mengkritik pernyataan Prof Nadirsyah Housen tentang ‘Illat

(Causa Legis) dalam menentukan keharaman Muwālah al-Kuffār.

Dalam skripsi ini penulis membatasi permasalahan yaitu:

1. Apa ‘Illat (Sebab) Muwalatul Kuffar (kepemimpinan orang kafir) yang

sebenarnya?

2. Apa landasan mereka bahwa Muwālah al-Kuffār (kepemimpinan orang kafir)

adalah khianat?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Dalam suatu penelitian atau kajian tentu mempunyai tujuan yang

mendasari tulisan ini, yaitu sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pandangan ‘Ulama dalam memahami ‘Illat (sebab)

7Imam al-Jalīl al-Hāfidz ‘Imād al-Dīn Abī al-Fidā’ Ismā’īl Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’anal-‘Adzim, (Dimasqi Bairūt), hlm 253 j 5

Page 18: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

5

dilarangnya mengangkat orang kafir sebagai pemimpin

2. Untuk mengkritik pandangan dari salah satu Intlektual Muslim yauitu Prof

Nadirsyah Housen yang berpendapat ‘Illat (sebab) larangan kepemimpinan

orang kafir adalah khianat Sedangkan kegunaannya, yaitu sebagai berikut :

1. Dengan adanya kajian ini, dapat menambah wawasan keilmuan khususnya

dalam bidang tafsir.

2. Dengan adanya kajian ini penulis berharap mudah-mudahan dapat dijadikan

sebagai literatur dan dorongan untuk mengkaji masalah tersebut lebih lanjut.

3. Dan bisa menjawab tulisan Prof Nadirsyah housen yang tidak sesuai dengan

metode keilmuan

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian yang berkaitan dengan Muwālah al-Kuffār perlu dikaji dan

diteliti dari berbagai aspek, karena bersinggungan langsung dengan sosial

kemasyarakatan yang bermayoritas beragama Islam di negara ini. Penelitian yang

berjudul “Illat Larangan Muwālāh al-Kuffār Prespektif Wahbah al-Zuhailī

Melalui Metode Maqāsid Syarī’ah” ini ingin mengupas tentang konsep sebab

dilarang pengangkatan orang kafir untuk dijadikan Wali/pemimpin.

Dari hasil penelusuran yang telah dilakukan ditemukan literatur yang

berbentuk Skripsi, Tesis dan Jurnal yang menyerupai judul ini.

1. skripsi yang ditulis oleh Rahmiwati yang berjudul " ҒƺƶƱ LjƧ LjƫǛNJƄƵǚ LjƾƞƺƵǚ Ғƃǚ ə

ơǛNJƵǃǐ" , didalam skripsinya membahas tentang kajian semantik

Page 19: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

6

terhadap pemakanaan kata Auliya’ dan melihat interprestasi ayat-ayat yang

menyangkut pemimpin orrang kafir ditengah-tengah umat Islam8.

2. Ditulis oleh Wahyu Naldi yang berjudul “Penafsiran terhadap ayat-ayat

larangan memilih pemimpin non-Muslim dalam al-Qur’an, Studi komparasi

antara M. Quraish Shihab dan Sayyid Qutub”, skripsi ini membahas tentang

membandingkan kedua mufassir terhadapat ayat-ayat larangan memilih

pemimpin non-Muslim yang diambil dari lingkungan pribadi mufassir, dan

mencari persamaan dalam penafsiran diantara perbedaaan lingkungan

kemudian di relavansikan pada konteks Indonesia9.

3. Artikel ditulis oleh M. Suryadinata, “kepemimpinan Non-Muslim dalam al-

Qur’an Analisis terhadap Penafsiran FPI mengenai ayat pemimpin Non-

Muslim”, jurnal ini membahas tentang menganalisis penafsiran FPI mengenai

kepemimpinan Non-Muslim, menafsirkan ayat-ayat larangan Muwalah al-

Kuffar secara tekstual yang terkesan memaksa yang menjadikan sebagai dalil-

dalil mereka tentang penolakan terhadap kepemimpinan Non-Muslim10

Dari beberapa literatur baik berupa skripsi dan jurnal yang dijelaskan

diatas, penulisan tidak menemukan adanya kesamaan secara khusus yang dibahas

oleh penulis dalam penulisan ini adalah ‘Illat Larangan Muwālah al-Kuffār

8 Rahmi wati, ơǛNJƵǃǐ " ҒƺƶƱ LjƧ LjƫǛNJƄƵǚ LjƾƞƺƵǚ Ғƃǚ ə" , studi Bahasa dan SastraArab, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015

9 Wahyu nadi, “Penafsiran terhadap ayat-ayat larangan memilih pemimpin non-Muslimdalam al-Qur’an, Studi komparasi antara M. Quraish Shihab dan Sayyid Qutub, Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuludin dan pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta2015

10 M. Suryadinata, “kepemimpinan Non-Muslim dalam al-Qur’an Analisis terhadapPenafsiran FPI mengenai ayat pemimpin Non-Muslim”, e-Jurnal Ilmu Ushuludin volume2/III/2015

Page 20: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

7

prespektif Wahbah al-Zuhalī (Kajian Analisis QS. al-Nisā’: 139, QS. al-Māidah:

51, dan QS. Mumtahanah: 1) metode Maqāṣid al-Syarī’ah.

E. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian dalam pembahasan skripsi ini meluputi berbagai hal

sebagai berikut :

1. Metode Pendekatan

Melalui metode ini, penulis menggunakan metode pendekatan penafsiran al-

Qur’an dari segi tafsir tematik. Yakni, menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang

memiliki tujuan yang sama, menyusunnya secara kronologis selama

memungkinkan dengan memperhatikan sebab turunnya, menjelaskannya,

mengaitkannya dengan surah tempat ia berada, menyimpulkan dan menyusun

kesimpulan tersebut ke dalam kerangka pembahasan sehingga tampak dari segala

aspek, dan menilainya dengan kriteria pengetahuan yang sahih.

Untuk lebih jelasnya, penulis menghimpun ayat-ayat Alquran yang berkenaan

dengan Muwālah al-Kuffār (kepemimpinan kafir), kemudian menyusunnya

berdasarkan kronologis serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga

diketahui pengklasifikasiannya. Apakah ia tergolong ayat-ayat makkiyah atau

madaniyyah.

2. Metode Pengumpulan data

Mengenai pengumpulan data, penulis menggunakan metode atau teknik

library research, yaitu mengumpulkan data-data melalui bacaan dan literatur-

literatur yang ada kaitannya dengan pembahasan penulis. Dan sebagai sumber

pokoknya adalah

Page 21: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

8

Alquran dan penafisrannya, serta sebagai penunjangnya yaitu buku-buku ke

Islaman yang membahas secara khusus tentang Tafsir, disiplin Ilmu Bahasa dan

Ushul Fiqh dan buku-buku yang membahas secara umum dan implisitnya

mengenai masalah yang dibahas.

3. Metode Pengolahan Data

Mayoritas metode yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah

kualitatif, karena untuk menemukan pengertian yang diinginkan, penulis

mengolah data yang ada untuk selanjutnya di interpretasikan ke dalam konsep

yang bisa mendukung sasaran dan objek pembahasan.

4. Metode Analisis

Pada metode ini, penulis menggunakan tiga macam metode, yaitu :

- Metode deduktif, yaitu metode yang digunakan untuk menyajikan bahan atau

teori yang sifatnya umum untuk kemudian diuraikan dan diterapkan secara

khusus dan terperinci. Pada metode ini menggunakan teorinya Wahbah al-

Zuhaili yaitu Maqāshid al-Syari’ah yang berupa metode ‘Illat

- Metode induktif, yiatu metode analisis yang berangkat dari fakta-fakta yang

khusus lalu ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum.

- Metode komparatif, yaitu metode penyajian yang dilakukan dengan

mengadakan perbandingan antara satu konsep dengan lainnya, kemudian

menarik suatu kesimpulan.

F. Sistematika Penulisan

Page 22: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

9

Untuk mempermudah dan memberikan arah serta gambaran materi yang

terkandung dalam skripsi ini, maka penulis menyusun dengan sistematika sebagai

berikut:

Bab I merupakan bab pendahuluan yang teridiri dari latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan penelitian,

metode penelitian dan penulisan serta sistematika penulisan.

Bab II berbicara sepintas tentang Biografi Wahbah al-Zuhaili dan

Maqāshid al-Syari’āh, dimana pembahasan terdiri dari asal-usul keluarga dan

pendidikan, karya-karya Wahbah al-Zuhaili dan pembahasan Maqāṣid al-Syarī’ah

yang dimuat dalam kitab beliau.

Bab III membahas tentang Diskursus ‘Illat, pembahasan ini sebagai

metode dalam penelitian skripsi ini. Adapun yang dibahas yaitu, pertama definisi

‘Illat yang diambil dari pendapat Ulama Literatur Ushul Fiqh kemudian

dikomparatif sehingga mendapatkan kesimpulan umum dalam pendefenisian

‘Illat. Kedua, perbedaan ‘Illat, sebab dan hikmah, pembahasan ini sebagai

pembedaan dalam memposisi kan ‘Illat, sebab dan hikmah sehingga posisi dalam

menetukan Muwālah al-Kuffar bisa ditemukan. Ketiga, pembahasan ‘Illat sebagai

penentu ada dan tidak adanya hukum, dan keempat, yaitu tentang Masālik

(metode) ‘Illat yaitu membahas klasifikasi dalam menggunakan metode setiap

‘Illat hukum.

Bab IV sebagai pembahasan inti menegenai ‘Illat larangan Muwālah al-

Kuffār, di dalam bab ini membahas antara lain: defenisi Muwālah al-Kuffār yang,

penafsiran Auliya’ dalam al-Qur’an Objek dan Konteks, Sosio-Kultular mengenai

Page 23: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

10

pelarangan Muwalāh al-Kuffār, dan ‘Illar Larangan Muwalah al-Kuffar Wahbah

al-Zuhaili.

Bab V merupakan bab penutup terdiri dari kesimpulan dan saran-saran

Page 24: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

11

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG BIOGRAFI WAHBAH AL-ZUHAILĪ DAN

MAQĀṢID AL-SYARĪ’AH

A. Biografi Wahbah al-Zuhailī

Nama asli beliau adalah Wahbah b. Muṣṭafā al-Zuḥailī. Wahbah

dilahirkan di desa Dir ‘Atiyah, kecamatan Faiha, daerah Qalmūn, Damasqus,

Syiria pada tanggal 6 Maret 1932M / 1351 H11. Ayahnya bernama Muṣṭafā al-

Zuḥailī, beliau merupakan seorang yang terkenal dengan ketakwaan dan

kesalihannya, dan juga beliau adalah seorang hafiz al-Qur’an, beliau bekerja

sebagai petani. Sedangkan Ibunya bernama Fāṭimah b. Muṣṭafā Sa’adah, beliau

seorang yang berpegang teguh terhadap ajaran agama.

Beliau adalah ‘Ulamā’ yang hidup diabad ke -20 yang sejajar dengan

tokoh-tokoh lainya, seperti Ṭahir b. ‘Asyūr, Sa’id Hawwa, Sayyīd Qutb,

Muhammad Abū Zahrah, Mahmūd Syalṭut, ‘Alī Muhammad al-Khafīf, ‘Abd

Ghanī, ‘Abd Khalīq dan Muhammad Salam Mażkur12. Wahbah al-Zuḥailī wafat

pada hari Sabtu sore, tanggal 8 Agustus tahun 2015 di Suriah, beliau menutup

mata pada usia 83 tahun13.

Pendidikan beliau dimulai pada tahun 1946 Wahbah menyelesaikan

pendidikan Ibtidaiyahnya dan melanjutkan pendidikanya di kuliah Syarī’ah di

11 Muhammad Khoiruddin, Kumpulan Biografi Ulama Kontemporer (Bandung: PustakaIlmu, 2003), 102.

12 Lisa Rahayu, Makna Qaulan dalam al-Qur’an; Tinjauan Tafsir Tematik MenurutWahbah al-Zuhailī (Skripsi Sarjana, Fakutas Ushuluddin Univesitas UIN SUSKSA Riau,Pekanbaru, 2010), hlm. 18

13 http://www.nu.or.id/post/read/61511/warisan-syekh-wahbah-zuhaili ( 6 maret 2018,00:19 WIB)

Page 25: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

12

Damaskus dan selesai pada tahun 1952. Karena semangatnya dalam belajar dan

kecintaannya terhadap ilmu, sehingga ketika beliau pindah ke Cairo beliau

mengikuti beberapa kuliah secara bersamaan, yaitu di Fakultas Bahasa Arab al-

Azhar University dan Fakultas Sharī’ah di Universitas ‘Ain Syām.14

Dalam masa waktu lima tahun, beliau mendapat tiga ijazah yang kemudian

diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Cairo yang berhasil ditempuh

selama dua tahun dan memperoleh gelar M.A pada tahun 1957 dengan tesisnya

yang berjudul “al-Zirā’i fī al-Siyāsah al-Syarī’ah wa al-Fiqh al-Islāmī “. Karena

beliau merasa belum puas dengan pendidikanya, selanjutnya beliau melanjutkan

belajarnya ke program doktoral yang diselesaikanya pada tahun 1963 dengan

judul desertasinya “ Atsār al- Ḥarb fī al- Fiqh al- Islāmī Dirāsatan Muqāranatan”

di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salmān Mażkūr15.

Pada tahun 1963 M, beliau diangkat menjadi dosen di fakultas Syarī’ah

Universitas Damaskus dan menjadi wakil dekan secara berturut-turut, kemudian

menjadi Dekan, dan menjadi ketua jurusan Fiqh al-Islāmī wa Mażāhabih di

fakultas yang sama. Beliau mengabdi selama lebih dari tujuh tahun, dan menjadi

professor pada tahun 1975. Beliau dikenal sebagai seorang yang ahli dalam

bidang Fiqih, Tafsir dan Dirasah Islamiyah16. Sebagai seorang guru besar, beliau

seringkali menjadi dosen tamu di sejumlah Universitas di negara-negara Arab,

seperti pada fakultas Syarī’ah, serta fakultas Adab Pasca sarajana di beberapa

14 Sayyid Muhammad „alī Ayāzi, Al-Mufassirun Ḥayātuhum wa Manāhijuhum(Teheran: Wizānah al-Thaqāfah wa al-Inshāq al-Islām, 1993), 684-685. 4 Ibid., 685.

15 Ardiansyah, Pengantar Penerjemah, dalam Badi al-Sayyid al-Lahham, Sheikh Prof.Dr. Wahbah al-Zuḥailī: Ulama Karismatik Kontemporer – sebuah Biografi ( Bandung:Citapustaka Media Perintis, 2010), 13.

16 Wahbah al-Zuḥailī, Al-Tafsīr al-Munīr fī al- ‘Aqīdah wa al-Sharī’ah wa al-Manhaj(Damaskus: Dār al-Fikr, 1998), 34.

Page 26: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

13

tempat, yaitu Universitas Khurtumi, Universitas Ummu Darman, Universitas

Afrika yang ketiganya berada di Sudan.

Di samping itu, beliau juga turut memberikan khutbah Jum’at sejak tahun

1950 di masjid Utsman di Damshiq dan masjid al-Imān di Dār ‘Atiyah, beliau

juga menyampaikan ceramah di Masjid, Radio dan Televisi serta Seminar dalam

segala bidang keilmuan Islam17.

Adapun karya-karya beliau yang terpenting adalah:

1. Atsār al-Harb fī al-Fiqh al-Islāmī - Dirāsat Muqāranah ( الحرب في الفقھ راأث

مقارنةاإلسالمي دراسة ), Dar al-Fikr, Damsyiq, 1963.

2. al-Wasīt fī Uṣūl al-Fiqh, الوسیط في أصول الفقھ 1966.

3. al-Fiqh al-Islāmī fi Uslūb al-Jadid, الجدیدھلوبسأالفقھ اإلسالمي في 1967.

4. Nazariāt al-Darurāt al-Syar’iyyah نظریات الضرورات الشرعیة, 1969.

5. Nazariāt al-Damān ,نظریات الضمان 1970.

6. al-Uṣūl al-Ammāh li Wahdah al-Dīn al-Haq , األصول العامة لوحدة الدین الحق

1972.

7. al-Alaqāt al-Dawliah fī al-Islāmī العالقات الدولیة في اإلسالم, 1981.

8. al-Fiqh al-Islāmī wa Adilatuhu , (8 jilid), Dār al-Fikr, Damsyiq, 1984.

9. Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī .1986 ,(dua Jilid) (أصول الفقھ اإلسالمي)

17 Ardiansyah, Pengantar Penerjemah, dalam Badi al-Sayyid al-Lahham, Wahbah al-Zuḥailī: Ulama Karismatik Kontemporer – sebuah Biografi ( Bandung: CitapustakaMedia Perintis, 2010), hlm 15.

Page 27: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

14

10. Juhūd Taqnīn al-Fiqh al-Islāmī ( ,Beirut) ,(جھود تقنین الفقھ اإلسالمي 1987.

11. Fiqh al-Mawāris fī al-Syarī’ah al-Islāmiah (فقھ الموارث في الشریعة اإلسالمیة),

Dār al-Fikr, 1987.

12. al-Wasāyā wa al-Waqf fi al-Fiqh al-Islāmi (الوصایا والوقف في الفقھ اإلسالمي),

Dār al-Fikr, 1987.

13. al-Islam Dīn al-Jihād Lā al-Udwān ( ال العدواناإلسالم دین الجھاد ), Tripoli,

Libya, 1990.

14. al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj ( التفسیر المنیر

),العقیدة والشریعة والمنھجفي 16 jilid), Dār al-Fikr, 1991.

15. al-Qisah al-Qur’aniyyah Hidāyah wa Bayān (القصة القرأنیة ھدایة وبیان),Dār

Khair, 1992.

16. al-Qur’an al-Karīm al-bunyātuh al-Tasyrī’iyyah aw Khasā‘isuh al-Hadāriah

( اریةضبنیاتھ التشریعیة أو خصائصھ الحالقرأن الكریم ), Dār al-Fikr, 1993.

17. al-Rukhsah al-Syarī’ah – Ahkāmuha wa Dawābituha (رخصة الشریعة), Dār

al-Khair, 1994.

18. Khasā‘is al-Kubra li Huqūq al-Insān fī al-Islām, Dār al-Maktabī, 1995.

19. al-Ulūm al-Syarī’ah Bayān al-Wahdah wa al-Istiqlāl, Dār al-Maktabī, 1996.

20. al-Asās wa al-Masādir al-Ijtihād al-Musytarikāt bayān al-Sunnah wa al-

Syi’ah, Dār al-Maktabī, 1996.

Page 28: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

15

21. al-Islām wa Tahadiyyat al-‘Asr, Dār al-Maktabī, 1996.

22. Muwajahat al-Ghazu al-Thaqafi al-Sahyuni wa al-Ajnabi, Dār al-Maktabī,

1996.

23. al-Taqlīd fi al-Mażāhib al-Islāmiah ‘Inda al-Sunnah wa al-Syi’ah, Dār al-

Maktabi, Damsyiq, 1996

24. al-Ijtihād al-Fiqhi al-Hadīts, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 1997.

25. al-‘Urūf wa al-‘Adah, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 1997.

26. Bayān wa al-Islām, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 1997.

27. al-Sunnah al-Nabawiyyah, Dār al-Maktabī Damsyiq, 1997.

28. ‘Idarat al-Waqaf al-Khairi, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 1998.

29. al-Mujadid Jamaluddin al-Afghani, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 1998.

30. Taghyīr al-Ijtihād, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 2000.

31. Tatbīq al-Syarī’ah al-Islāmiah, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 2000.

32. al-Zirā’ī fī al-Siyāsah al-Syar’īyyah wa al-Fiqh al-Islāmi, Dār al-Maktabī,

Damsyiq, 1999.

33. Tajdīd al-Fiqh al-Islāmī, Dār al-Fikr, Damsyiq, 2000.

34. sl-Ṭaqafah wa al-Fikr, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 2000.

35. Manhaj al-Da’wah fī al-Sirah al-Nabawiyah, Dār al-Maktabī, Damsyiq,

2000.

Page 29: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

16

36. al-Qayyīm al-Insaniah fī al-Qur’an al-Karīm, Dār al-Maktabī, Damsyiq,

2000.

37. Haq al-Hurriah fī al-‘Alam, Dār al-Fikr, Damsyiq, 2000.

38. al-Insan fī al-Qur’an, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 2001.

39. al-Islam wa Uṣūl al-Hadarah al-Insāniah, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 2001.

40. Uṣūl al-Fiqh al-Hanafī, Dār al-Maktabī, Damsyiq, 2001

Kitab yang membuat beliau menjadi terkenal dan banyak mempengaruhi

pemikiran-pemikiran fiqih kontemporer adalah al-Fiqh al-Islām wa adillatuhu.

Kitab ini berisi fiqih Muqāran (perbandingan), terutama mażhab-mażhab fiqih

yang masih hidup dan diamalkan oleh umat Islam di seluruh dunia18.

B. Maqāṣid al-Syari’āh Wahbah al-Zuhailī

Maqāṣid al-Syarī’ah merupakan gabungan dua kata yaitu د اص ق م (maqāṣid)

dan الشریعة (al-syarī’ah) adalah bentuk plural dari د ص ق م (maqṣad), د ص ق (qaṣd),

د ص ق م (maqṣid), د و ص ق (quṣūd) yang merupakan derivasi dari kata kerja د ص ق ی -د ص ق

(qaṣada-yaqṣidu), dengan beragam makna seperti menuju suatu arah, dan tujuan.

Maqāṣid al-Syarī’ah menurut pandangan Wahbah Al Zuhaili, Maqāsid al-

Syarī’ah berarti nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau

bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran itu dipandang

sebagai tujuan dan rahasia syarī’ah, yang ditetapkan oleh al-Syārī’ dalam setiap

18 https://www.suduthukum.com/2016/03/biografi-wahbah-zuhaili.html (6 maret 2018,00:40 WIB)

Page 30: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

17

ketentuan hukum19. beliau mengutip dalam kitab al-Qamūs al-Muhīt20, Mu’jam

Maqāyīs al-Lughah21, al-Misbah al-Munīr22, Mukhtar al-Ṣahāh23, dan Tahdzīb al-

Asmā’ wa al-Lugāt24, al-Maqāṣid jama’ dari kata مقصد (tujuan), yaitu

menghendaki sesuatu, menghendaki bagi dirinya dan menghendaki kepada

kehendak lain. Maksudnya menginginkan kehendak kemudian dihimpun dan

ditetapkan25.

Maqāṣid al-Syarī’ah secara terminologi yaitu :

ي ل إ ت ع س , و ام ك ح ي األ ا ف ھ ت ت ب ث أ , و ة ع ی ر ش ا ال ھ ب ت ت ي أ ت ي ال ان ع م ال و ج ائ ت الن و اف د ھ األ و ة ای الغ

26ان ك م و ان م ز ل ي ك ا ف ھ ی ل إ ل و ص و ال ا و ھ اد ج ی إ ا و ھ ق ی ق ح ت

Menurut beliau, Maqāshid al-Syari’āh sebagai tujuan atau kesimpulan

yang didatangkan untuk kepentingan syarī’ah kemudian diterapkan pada hukum-

hukum dan penyelesain yang luas sampai pada setiap ruang dan waktu.

Maksudnya, Maqashid syariah bisa datang bermunculan setiap zaman,

sehingga presensi syari’ah itu tidak membawa kesulitan bagi manusia. Kemudian

diimplementasikan pada hukum-hukum sesuai kegunaan maqashid syari’ah itu

sendiri.

19 Wahbah Zuhaili, Uṣūl Fiqh Islāmī, (Damaskus : Dar al Fikr, 1986) Hlm, 22520 Muhammad b. Ya’qūb al-Fairūz Ābādī majd al-Dīn, al-Qāmūs al-Muhīt (Muassasah al-

Risālah 2009) hlm 367 j 121 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā Abū Husain, Mu’jam Maqāyīs al-Lughah ( Mufahris

Fihrasah Kāmilah 2009) hlm 95 j 522 Fayōmī, Misbah al-Munīr 2009 hlm 292 j 223 Zainuddīn Abū ‘Abdillah Muhammad b. Abī Bakr b. Abd al-Qādir al-Hanafī al-Rāzī,

Mukhtar al-Shahāh (Maktabah ‘Ashriyyah, Bairūt 1999) hlm 53624 Al-Nawawī, Tahdzīb al-Asmā’ wa al-Lughāt (al-Qāhirah, Taswīr Dār al-kitab al-

‘Alamiyah, Bairut 2008) hlm 93 j 225 Wahbah al-Zuhailī, Maushū’ah Qadāyā Islāmiyah Mu’āshirah (Dār al-Maktabī

Damasq) hlm 623 j 526 Wahbah al-Zuhailī, al-Ushūl al-‘Ammāh liwahdah al-Dīn al-Hak (Damasq, Dār al-

Fikr), hlm 61

Page 31: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

18

Para ‘Ulamā’ membatasi Maqāshid al-Syarī’ah yaitu penyelesain yang

berguna bagi manusia di dunia maupun akhirat, cepat atau lambat yang berguna di

dunia yaitu semua penyelesain memberikan manfaat, faidah, integritas,

kebahagiaan, dan rahmat bagi manusia. Kebahagiaan yang biasa dijauhkan dari

bahaya dan sifat yang biasa merusak. Kemudian berguna di akhirat sebagai

kesuksesan dengan Ridha Allah dalam surga-Nya, berhasil dijauhkan dari azab

dan murka-Nya. Inilah merupakan tujuan yang mendasar diturunnya Syari’ah

untuk jaminan salah satu kebaikan.

Adapun dalil penetapan adanya maqashid, dalam hal ini diklasifikasikan

menjadi dua bagian pertama, untuk Nusūs al-Syarī’ah dan kedua, untuk Masālih

al-Nās (kebaikan manusia). Pertama untuk Nushūs al-Syarīah pada bidang akidah,

Ibadah, akhlak, Muamalah, sanksi hukuman, dan sesuatu justifikasi penyelesain

yang mendatangkan kebaikan dan menolak kerusakan27.

Sehingga yang didasari Maqāṣid al-Syarī’ah pada Nuṣūs al-Syarī’ah

menjadi stabil, baik dari akidah, ibadah, akhlak, mu‘amalah, sanksi hukuman, dan

bahkan sesuatu hal yang memiliki ‘Illat (sebab) dalam suatu hukum maka itu

mempunyai hikmah berdasarkan yang tertera dalam al-Qur’an.

Kedua, Masālih al-Nās yang berprinsip kepada:

اق ش الم و ار ر ض األ و د اس ف م ال ع ف د و ع اف ن م ال ب ل ج

mengedepankan manfaat ketimbang kerusakan, bahaya dan kesulitan.

Seperti halnya hikmah sebab pengharaman khamar (memabukkan), hikmah tujuan

diterapkan Qisas yang bisa menjaga kehidupan manusia. Semua ini tidaklah

27 Wahbah al-Zuhailī, Maushū’ah Qadāyā Islāmiyah Mu’āshirah (Dār al-MaktabīDamasq) hlm 625 j 5

Page 32: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

19

semata-mata Allah memberatkan atau membebani seorang Mukallaf, melainkan

menjadi solusi untuk keluar dari semua permasalahan.

Dengan demikian Maqāṣid al-Syarī’ah adalah tujuan Allah SWT dan

Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam. Atau tujuan-tujuan akhir yang harus

terealisasikan dengan diimplementasikannya syariah.

Teori yang diambil dari Maqshid al-Syariah Wahbah al-Zuhailī yaitu

tentang Ta’līl al-Hukm (‘Illat hukum) yaitu sebab dalam menentukan hukum.

Teori ini untuk menggali pembahasan dalam menetapkan sebab hukum dalam

Muwālah al-Kuffār.

Page 33: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

20

BAB III

DISKURSUS ‘ILLAT

A. Defenisi ‘Illat

‘Illat berasal dari kata ل ع yaitu sakit dan menyusahkan, ة ل الع dengan

dibaca fathah huruf ‘Ainnya maka artinya istri sebagaimana haditsnya Rasulullah

SAW

د اح ا و ن ن ی د ت ال ع د ال و أ اء ی ب ن األ ر ش اع م ن ح ن

artinya: “Kami para Nabi adalah anak-anak yang berlainan Ibu sedangkan

agama kami satu”, sedangkan ة ل الع dibaca Kasrah ‘Ainnya artinya sakit dan

sebab28.

Sedangkan ة ل الع secara terminologi di kalangan Ulama Ushūliyyin seperti

wahbab al-Zuhaili, “penyelesaian syariat hukum atau satu sifat yang mengetahui

bagi hukum. dan dinamakan juga ھ ت ار م أ و ھ ب ب س و م ك ح ال اط ن م , ulasan/pijakan

hukum, sebab dan indikasinya. ‘Illat juga sebagai pondasi Qiyas yang dibangun

olehnya”29. Menurut Asy-Syaitibi, menuliskan pengertian illat sebagai berikut:

Illat adalah kemaslahatan atau kemanfaatan yang dipelihara atau diperhatikan

syara’ didalam menyuruh sesuatu pekerjaan seperti ‘Amr (perintah) Mubāh

(boleh) atau mencegahnya seperti Nawāhi (larangan) dan Musyaqqah

(kesulitan)30. Mayoritas Ulama Hanafiyah, sebagian Ulama Hanābilah dan Imam

28 Mu’jam al-Lughāh al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Wasīth, (Maktabah al-Syurūq al-Dauliyah2004), hlm 624

29 Wahbah al-Zuhailī, al-Wajīz Fī Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, (Dār al-Khair li Tabā’ah waal-Nasyar wa al-Tauzī’ Damasq-Suriyā) hlm 70

30 Ahmad al-Raisūnī, Nadhīrah al-Maqāshid ‘Inda al-Imam al-Syātibī,(al-Dār al-‘Ālamiyyah li al-Kitāb ak-Islāmiyah 1992) hlm 12 j 1

Page 34: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

21

Baidhawī, mendefinisikan ‘illat dengan: “Suatu sifat (yang berfungsi) sebagai

pengenal bagi suatu hukum.” Imam Al-Ghazali mendefinisikan illat dengan “Sifat

yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena zatnya, melainkan atas

perbuatan syari’. ‘Illat adalah suatu sifat yang ada pada ashl yang sifat itu

menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashl serta untuk mengetahui hukum pada

fara’ yang belum ditetapkan hukumnya”31.

Muhamamd Abū Zahrah mendefinisikan illat sebagai suatu sifat yang

jelas, tetap dan sesuai dengan dasar hukum.32 Ṣaufi Hasan b. Ṭālib menjelaskan

bahwa illat adalah suatu sifat yang terdapat di dalam kasus aṣal dan juga kasus

furū’, dan illat tersebut menjadi hikmah yang menjadi tujuan syara’ dan dapat

diketahui dengan akal. Illat bisa juga diartikan sebagai suatu sifat yang nampak

dan pasti yang mana hukum dibangun atas dasar illat tersebut, dan ada tidaknya

sebuah hukum sangat tergantung dengan adanya illat tersebut.33

Masih banyak para Ulama memberikan definisi tentang ‘Illat yang

berbeda-beda. Hal ini menunjukkan adanya diskusi para ulama ushul fikih klasik

dalam memahami hakikat illat ketika dihubungkan dengan hukum-hukum yang

diambil di dalam al-Qur’an. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh diskursus

dalam ilmu kalam. Dalam diskursus tersebut, ada tiga kalimat yang menjadi poros

perbedaan yaitu apakah illat itu adalah bā’its (pendorong), muatsir (pemberi

pengaruh), ataukah mu’arrif (pemberi tahu). Apabila illat diartikan sebagai bā’its,

31 Totok Jumantoro dan Samsul, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (penerbit: AMZAH, 2005)hlm 120-121

32 Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi), hlm.188.33 Shaufi Hasan Ibnu Thalib, Tathbiq al-Syariah al-Islamiyah fii al-Bilad al-Arabiyah,

(Dar al Nadhah al-Arabiyah, 1995), hlm. 148.

Page 35: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

22

maka illat diposisikan sebagai sesuatu yang mengandung hikmah yang pantas

menjadi tujuan hukum. Apabila diartikan sebagai mu’atsir, illat dipahami sebagai

sesuatu yang memberikan pengaruh terhadap hukum sehingga dapat diidentifikasi

suatu maslahat dan mafsadat. Apabila diartikan sebagai mu’arrif, illat hukum

diposisikan sebagai pemberi tanda adanya hukum yang bisa tidak terikat dengan

kewajiban adanya naṣ. Di kalangan Asy’ariyah pada umumnya menerima konsep

illat sebagai sebuah al-Mua’rrif, yang sepadan dengan makna ‘alamah dan

amarah (tanda adanya suatu hukum). Mereka menolak illat hukum sebagai al-

Bā’its, dan mu’atsir. Namun pemaknaan ini tidak diakui secara utuh di kalangan

Asy’ariyah yang pada umumnya bermazhab fikih Syafi’ī, misalkan Al-Amidī, Ibn

Hājib bahkan al-Ghazālī mengartikan illat sebagai sebuah al-Bā’its34.

pendapat Ridzwan b. Ahmad, bahasa apapun yang digunakan oleh para

Ulama dalam memahami hakikat illat, semua mempunyai maksud yang sama

bahwa illat bisa dijadikan sebagai sebuah titik tolak untuk mengidentifikasi

adanya hukum (Ta’līl al-Ahkām) dan Allah lah yang sesungguhnya menentukan

segala hukum, bukan illat itu sendiri. Dengan demikian, perbedaan yang terjadi

hanya pada tataran konsep dan pendekatan yang digunakan.Berbeda dengan

mu’tazilah yang memahami illat sebagai al-mu’arrif secara independen dalam

menemukan hukum, tanpa terikat dengan adanya naṣ35.

Bisa ditarik kesimpulan, bahwa ‘Illat memberi batasan terhadap suatu

otoritas bahkan tanda yang dijadikan dasar hukum. Jadi hukum-hukum itu

diimplementasikan pada syariat karena ada nya suatu ‘Illat.

34 Ridzwan Bin Ahmad, “Permasalahan Ta’lil al-Ahkam Sebagai Asas PenerimaanMaqashid al-Shari’ah Menurut Ulama Usul, (dalam Jurnal Fiqh.No. 5 2008), hlm 184-191

35 Ibid, hlm. 190-191

Page 36: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

23

B. Perbedaan ‘Illat, Sebab dan Hikmah

Tiga hal ini tidak jauh beda pada titik pendefinisian, ini semua bisa

ditemukan ketika diletakan pada aspek kegunaan pada suatu hukum dan syarat-

syaratnya. Pertama bisa disebut ‘Illat dari beberapa syarat yang dijelaskan oleh

Wahbah al-Zuhaili yaitu:

ف للحكم الذي ی ظ ال ر م األ م ك ح ال ط ب ر ن ا, أل م د ع ا و د و ج و م ك الح ھ ی ل ي ع ن ب اھر المنضبط المعر

36م ك ح ال ع ی ر س ت ن م د و ص ق الم ق ق ح ی ھ ب

Kurang lebih maksudnya, beliau mengklasifikasikan tiga syarat yang harus

dipenuhi agar bisa diklaim menjadi ‘Illat. Pertama al-Amru/al-Waṣf al-Żāhir

(sifat yang jelas), sederhananya, suatu ‘Illat harus Nampak jelas pada Mahall al-

Hukm perkara yang akan dilabeli salahsatu hukum syar’ī, seperti wajib, haram,

makruh dan lainnya. Kedua munḍabit ( pasti) yakni tertentu dan bisa dibatasi

sehingga bisa dijadikan hukum. ketiga al-Mu’arif li al-Hukm di redaksi yang lain

beliau menyebut kan Yunāsib al-Hukm, yaitu ada kesesuaian terhadap hukum

artinya bahwa hubungan hukum dengan sifat (‘Illat) itu, baik ada dan tidaknya

harus diwujudkan menjadi tujuan dalam membentuk hukum. Kemudian dalam

kitab lainnya Wahbah menambahi dua poin dalam syarat nya yaitu pertama, sifat

tersebut tidak terbatas hanya ada pada aṣal, dan kedua, sifat yang akan dijadikan

36 Wahbah al-Zuhailī, al-Wajīz Fī Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, (Dār al-Khair li Tabā’ah waal-Nasyar wa al-Tauzī’ Damasq-Suriyā) hlm 71

Page 37: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

24

sebagai illat hukum berlaku umum37. Apabila semua syarat ini tidak dipenuhi

maka tidak bisa dikategorikan ‘Illat.

Kemudian hikmah adalah merupakan pendorong pembentukan hukum dan

sebagai tujuannya yang terakhir untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat

dengan memperoleh manfaat dan keuntungan serta terhindar dari segala macam

kerusakan. Jaser ‘Audah adalah salah satu tokoh modern yang membedakan

antara hikmah dengan ‘illat (al-maqṣad dalam bahasa ‘Audah). Hikmah adalah

kemaslahatan yang berakibat pada hukum dalam bentuk sekunder,

sedangkan ‘illat adalah kemaslahatan yang ditentukan oleh Pembuat syari’at, atau

diduga kuat oleh mujtahid merupakan tujuan utama hukum secara asasi. Artinya,

jika saja ‘illat itu tidak ada, tentu hukum juga tidak akan pernah ada. Hikmah bisa

saja berbeda dengan ‘illat, atau merupakan bagian dari ‘illat, atau bahkan sama

dengan ‘illat38.

Para ulama berbeda dalam memahami apakah illat mempunyai arti yang

sama dengan hikmah. Menurut al-Amidi ada tiga pendapat dalam hal ini yaitu

pertama hikmah tidak boleh dijadikan sebagai illat hukum apabila tidak ada

batasan yang jelas.Kedua, Sebagian ulama Maliki dan Hanābilah menjadikan

hikmah sebagai illat, dan Ketiga, apabila suatu sifat jelas dan terukur, maka

hikmah tidak bisa dijadikan sebagai illat hukum, namun sifat tersebutlah yang

37 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989) j 2 hlm 652-658

38Audah, Jaser, Fiqh al-Maqasid Inatah al-Ahkam asy-Syar’iyyah biMaqasidiha, (Virginia, al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 2006) hlm 61

Page 38: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

25

menjadi illatnya. Namun sebaliknya apabila hikmah yang bersifat jelas dan

terukur, maka hikmah tersebut bisa menjadi illat hukum bukan sifat39.

Sebagai contoh seorang musafir boleh menqashar shalatnya, seperti

mengerjakan shalat Zhuhur yang empat raka’at menjadi dua raka’at dan

sebagainya. Hikmahnya ialah untuk menghilangkan masyaqqah (kesulitan) atau

kemaḍaratan (bahaya)40.

Dan terakhir sebab, Sebenarnya untuk membedakan pengertian ‘illat dan

sebab sukar dilakukan, karena ada suatu peristiwa yang dalam peristiwa itu ‘illat

dan sebabnya sama. Bisa disebut juga, sebab itu lebih umum dari ‘illat, dengan

perkataan lain bahwa semua ‘illat dapat dikatakan sebab, tetapi belum tentu semua

sebab dapat dikatakan ‘illat.

Apabila ditemukan keserasian, maksudnya di antara sifat dan hukum yang

kemungkinan bisa dijangkau oleh akal maka dinamakan ‘Illat dan Sebab. Tetapi

sebalik nya, ketika sifat dan hukum tidak bisa dijangkau oleh akal makan

dinamakan sebab saja. Contohnya tergelincir matahari pada siang hari merupakan

sebab seorang muslim wajib mengerjakan shalat Dzuhur, demikian pula

terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Sya’ban merupakan sebab kaum

muslimin besoknya mengerjakan puasa bulan Ramadhān. Tetapi terbenam dan

tergelincirnya matahari itu bukanlah ‘illat hukum karena kedua sebab itu tidak

terjangkau oleh akal. Lain halnya dengan safar (dalam perjalanan) disamping ia

39 Syaifuddin Abi al-Hasan Ali bin Abi Ali Ibnu Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fiUshul alAhkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1404 H) j3 , hlm 140

40 Wahbah al-Zuhailī, al-Wajīz Fī Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, (Dār al-Khair li Tabā’ah waal-Nasyar wa al-Tauzī’ Damasq-Suriyā) hlm 71

Page 39: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

26

merupakan ‘illat hukum, juga merupakan sebab hukum yang membolehkannya

untuk mengqashar shalat41.

Kesimpulannya, ‘illat, hukum dan sebab memiliki keserasian dan

hubungan. ‘IlIat adalah sifat dan keadaan yang melekat dan mendahului

peristiwa/perbuatan hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum., hikmah

adalah sebab hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum yang

dijadikan sebagai tujuan hukum, dan sebab merupakan bagian dari pada ‘Illat

yang sifatnya lebih umum baik bisa dijangkau oleh akal maupun tidak.

C. ‘Illat sebagai penentu ada dan tidaknya Hukum

‘Illat adalah satu khas yang dipandang sebagai dasar penentapan suatu

hukum, dan seringkali dibahasakan oleh Ulama Ushuliyyin, bahwa ‘Illat

merupakan bagian dari rukun Qiyas. Seseorang yang menyakini ‘Illat pada suatu

hukum maka mereka meyakini adanya Qiyas. ‘Illat atau di sebut juga di kalangan

‘Ushuliyyīn sebagai Ta’līl al-Hukm salah satu dari beberapa metode seperti

bayani dan istilahi, untuk penemuan hukum. Jadi ‘Illat sangat penting dan sangat

berpengaruh untuk mengistibathkan hukum.

Pandangan penulis, illat hukum atau kausa hukum Selama ‘Illat hukum

masih terlibat dan memenuhi syarat, ketentuan hukum berlaku. sedangkan jika

‘Illat hukum tidak tampak ketentuan hukum pun tidak berlaku. Sesuai dengan

qaidah ushul الحكم یدور مع العلة وجودا وعدما yaitu, hukum itu berputar (mengikuti)

bersama ‘illatnya dalam mewujudkan dan meniadakan hukum, sehingga menjadi

41 Ibid, hlm 72

Page 40: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

27

ada atau tidaknya hukum tergantung konsistensi ‘illatya, jika ‘illatnya memenuhi

syarat maka terbentuklah hukum dan sebaliknya.

Pemberlakuan hukum yang terdapat di dalam sebuah peristiwa yang sudah

ada ketentuan hukumnya dapat diperluas terhadap peristiwa-peristiwa lain yang

belum ada ketentuan hukumnya disebabkan adanya kesamaan illat42. Eksistensi

illat dalam sebuah hukum bertolak dari kesadaran bahwa Syāri’ dalam

menetapkan hukum bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan bagi kehidupan

manusia dan menghindarkan mereka dari kemudahratan yang mungkin mucul.

Tujuan hukum sebagaimana disebutkan tersebut dapat diketahui dari teks naṣ

yang menetapkannya, yaitu melalui sifat yang menyertai hukum tersebut dan dari

sifat itulah dapat diketahui illat sebuah hukum43.

‘Illat hukum diposisikan sebagai sesuatu yang ma’qūl al-naṣ atau seuatu

yang dapat dipahami dari naṣ. Dengan demikian, pemberlakuan hukum dalam

skala yang lebih luas dapat dilakukan. Namun sebaliknya apabila illat hukum

tidak dapat diidentifikasi dalam sebuah naṣ, maka naṣ tersebut hanya bisa

dikategorikan dalam konteks manthuq dan mafhumnya saja44.

D. Masālik (Metode) dalam menetapkan ‘Illat

Dalam klasifikasi masālik (metode) pada ‘illat terjadi pro kontra, sebagian

Ulama ada yang membagikan dua bagian, tiga bagian, Sembilan bagian. Penulis

mengambil dari pandangan Wahbah al-Zuhailī dan al-Ghazālī yang

42 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 350.43 Amir Syarifuddin,.Ibid, hlm. 350-351.44 ‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqih, Kajian Ushul Fiqih Mudah dan Praktis, (Penterjemah

Yasin asSiba’I, Bogor: Pustala Thariqul Izzah, 2011), hlm. 113.

Page 41: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

28

mengklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu, Naṣ, Ijma’ dan Istibāt45, sedangkan

bahasa yang gunakan oleh al-Ghazālī yaitu, Istsbāt al-‘Illah bi Adillah al-

Naqliyyah (menetapkan ‘illat dengan petunjuk dalil Naqliyyah), Itsbāt al-‘Illah bi

al-Ijmā’ (menetapkan ‘illat dengan petunjuk Ijmā), dan terakhir Istbāt al-‘Illah bi

al-Istinbāt (menetapkan ‘illat dengan istinbāt)46.

1. Bagian pertama yang menjadi metode dalam ‘illat yaitu naṣ47, kemudian

naṣ dibagi menjadi dua bagian, pertama Ṣarīh (eksplisit) baik itu

penunjukan secara Qat’i (pasti) atau Żanni/Żāhir (asumtif), contoh pada

kasus Qat’i (pasti) yaitu kalimat yang terkandung huruf ة ل ع , ل ن ذ , إ ل ج أل ,ي ك

اذ ك ب ج و م ل ا, ذ ك ر ث ؤ م ا, ل ذ ك ب ب س ا, ل ذ ك dan seterusnya, seperti contoh di dalam

QS. Al-Hasr:7

على رسولھ من أھل ا أفاء هللا سول ولذي القربى والیتامى والمساكین م القرى فللھ وللر

سول فخذوه وما نھاك بیل كي ال یكون دولة بین األغنیاء منكم وما آتاكم الر م وابن الس

إ شدید العقاب عنھ فانتھوا واتقوا هللا ن هللا

Artinya: “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allahkepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anakyatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja diantara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Danapa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalahkepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.

45 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989) hlm 66146 Imām Abū Hāmid Muhammad b. Muhmmad al-Ghazālī, al-Mustaṣfa min ‘Ilmi al-

Ushūl, (Dār al-Kitāb al-‘Alamiyyah 2010) juz 3 hlm 605-62447 Definisi Naṣ adalah ھو ما دل بنفس صیغتھ على المعنى المقصود أصالة على ما سیق لھ و

,یحتمل التأویل yaitu lafadz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksudsecara langsung menurut apa yang diungkapkan, dan ada kemungkinan ditakwilkan

Page 42: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

29

Lafadz كي pada ayat di atas adalah merupakan tanda adanya ‘illat

yang Ṣarīhah Qat’iyyah, maksudnya penunjukan ‘illat yang jelas dan

pasti. fungsinya adalah untuk mengkhususkan harta Fa‘i (rampasan) untuk

diberikan kepada asnāf (kelompok) yang telah disebutkan pada ayat di

atas. Sedangkan Żāhir atau Żanni huruf yang digunakan memiliki makna

ihtimāl (kemungkinan) qat’i (pasti), untuk mngetahuinya dengan huruf , م ال

ن , أ اء ب seperti contoh pada kasus QS.

الة لدلوك الشمس إلى غسق اللیل وقرآن الفجر إن قرآن الفجر كان مشھوداأقم الص

Artinya: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir

sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya

shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.

Pada lafadz لدلوك huruf lam pada ayat di atas menunjukan talīl

(‘illat), tetapi tidak bisa dikatakan qat’i disebabkan huruf lam terebut

terkadang kegunaan makna nya memiliki dua unsur makna yaitu pemilikan

dan ikhtisās (pengkhususan).

kedua naṣ Ghair al-Ṣarīh (implisit) yaitu apabila naṣ tidak secara

langsung ada penunjukan ‘illat tetapi harus ada indikasi (Qarinah) untuk

mengarahkan suatu sifat yang terkandung di dalam naṣ tersebut menjadi

‘illat, maksudnya naṣ tersebut tidak secara jelas menunjukkan ‘illat

melainkan hanya dengan Īmā’ (isyarat) dan Tanbīh (peringatan) seperti

ada indikasi suatu hukum muncul sebagai jawaban dari pertanyaan yang

diajukan, atau indikasi hukum dan sifat yang mempunyai keserasian, atau

ada perbedaan di antara hukum dan sifat, dan ada indikasi hukum ‘illat

Page 43: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

30

yang diketahui dengan Fa’ Ta’qīb ( huruf fa’ yang memiliki makna

beriringan) seperti contoh pada kasus QS. al-Māidah 38

ارقة فاقطعوا أیدیھما جزاء بما كسبا نكاال عزیز حكیم والسارق والس وهللا ن هللا م

Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,

potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka

kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi

Maha Bijaksana”. Dan contoh pada QS. al-Nūr 2

نھما مائة جلدة وال تأخذكم بھما رأفة في دین اني فاجلدوا كل واحد م انیة والز الز هللا

ن المؤمنین ا طائفة م

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, danjanganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hariakhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan olehsekumpulan orang-orang yang beriman”.

Pada dua ayat ini, pertama pada kalimat فاقطعوا dan kedua pada

kalimat فاجلدوا , kedua kalimat ini memiliki huruf Fa’ Ta’qīb (memiliki

makna beriringan) sehingga ditemukan ‘illat nya, pertama memotong

tangan ‘illatnya mencuri sedangkan kedua dicambuk badannya ‘illatnya

berzina.

2. Kemudian menjadi Masālik (metode) yaitu Ijmā’48, maksudnya konsesus

para ‘Ulamā’ yang dijadikan sebagai Masālik dalam menentukan hukum.

Masalahnya adalah para ‘Ulamā’ berbeda pendapat tentang kedudukan

48 Imam al-Ghazālī merumuskan, Ijmā’ adalah konsesus ‘Ulamā’ atau kesepakatan‘Ulamā’, pengertian dari segi terminologi yaitu kesepakatan umat Muhammad secara khusustentang suatu masalah agama.umusan al-ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harusdilakukan umat Muhammad., yaitu umat Islam. Tetapi harus dilakukan oleh seluruh umat awam.Lihat Abū Hāmid al-Ghazālī, al-Mustashfa fī ‘Ilm al-Ushul,(Dār al Kutub al ‘ilmiyah, Beirut:1983)jilid 1, hal.110

Page 44: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

31

ijmā’ ketika digunakan dalam Masālik ‘illat (metode penetapan causa

legis), apakah didahukan dari naṣ atau sebaliknya, dengan pendapat bahwa

ijmā’ merupakan preferensi dan merupakan alternatif pertama di saat

terjadi kontradiktif di antara dalil-dalil naṣ. Tetapi, hemat penulis melihat

dari sudut pandang Wahbah al-Zuhailī, mendahulukan naṣ daripada ijmā’

kemungkinan sebabnya adalah naṣ merupakan sumber sandaran bagi ijmā’

sehingga naṣ didahulukan dari pada Ijmā’.

3. Terakhir dalam menggunakan Masālik ‘illat (metode penetapan causa

legis) yaitu Istinbāt (penetapan). Istinbāt berbeda dengan Naṣ dan Ijmā

yang menggunakan argumentasi yang bersifat Naqliyyah49, karena Istibāt

menggunakan dalil yang bersifat Aqliyyah (rasionalitas). Menurut penulis

penggunaan Masālik ‘Illat bisa disebut sebagai asumsi yang bisa terjadi

dialektika di antara para ‘Ulamā’, karena berpondasi kepada sifat yang

Dzanni ( lawan dari pasti). Di dalam menggunakan Istinbāt ada indikasi

untuk melakukannya yaitu:

a. al-Sabru wa al-Taqsīm. Al-Sabru secara Bahasa adalah mengeksplorasi

atau menyelidiki dan penelitian sedangkan Taqsīm mengklasifikasi, jadi

al-Sabru wa al-Taqsīm yaitu mengeksplorasi dan mengklasifikasikan

semua sifat-sifat yang diduga menjadi ‘illat pada Aṣal dalam ilmu qiyas,

apakah itu patut dijadikan ‘illat atau tidak. Menurut ‘Ulamā’ Ushūliyyīn,

al-Sabru yaitu observasi dan membatasi seorang mujtahid untuk

menentukan satu dari sekian banyak sifat yang terkandung di dalam Aṣal,

49 yang bersumber dari al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijmai para Ulama yang diambil dariintisari al-Qur’an dan al-Sunnah

Page 45: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

32

dengan cara melihat apakah pantas untuk dijadikan sebagai ‘illat atau

tidak, sedangkan al-Taqsīm yaitu seorang mujtahid membatasi semua

sifat-sifat yang terkadang pantas untuk dijadikan ‘illat50. Kemudian

diinformasikan juga tentang bentuk pembatalan sifat di dalam al-Sabru

wa Taqsim yang dilakukan oleh Mujtahid istilah yang digunakan oleh

Imam al-Baidāwī ialah Hāsir (dibatasi) dan Ghair al-Hāsir (tidak

dibatasi)51. Contohnya pada kasus Hāsir (dibatasi) tentang menikahi anak

gadisnya yang belum dewasa, dan contoh Ghair al-Hāsir (tidak dibatasi)

tentang penetuan ‘illat harta ribawi52. Setelah mengenal bentuk

pembatalan selanjutnya tentang cara pembatalan atau pembersihan sifat-

sifat yang tidak relevan untuk dijadikan sebagai ‘illat, pertama dengan

sebutan al-Ilgā’ yaitu seorang mujtahid harus menjelaskan bahwa sifat

yang sebelumnya sudah dibuang atau dinonfungsikan sehingga tidak bisa

menjadi pengaruh atau berbekas terhadap hukum ketika sudah dibuang,

contoh seperti di kalangan Hanafiyyah tentang sifat Ṣighār sebagai sebab

tetapnya kekuasaan ayah di dalam menikahi anak gadisn yang masih

kecil, dengan tedensi untuk menikahi anak gadisnya yang sudah dewasa,

seorang ayah masih diperintahkan meminta izin anaknya terlebih dahulu.

Kedua dengan sebutan al-Tardiyyah yaitu seorang mujtahid membuang

50 Wahbah Zuhaili, Uṣūl Fiqh Islāmī , (Damaskus : Dar al Fikr, 1986) hlm 671

51 Taqī al-Dīn Abū al-Hasan ‘Alī b. ‘Abd al-Kāfī b. ‘Alī b. Tamām b. Hāmid b. Yahya al-

Subkī, al-Ibhāj fī Syarh al-Minhāj al-Wusūl ila Ilm al-Ushūl lil Qādī al-Baidhāwī, ( Dār al-Kitab

al-‘Alamiyyah-Bairut 2010) juz 3, hlm 54

52 Wahbah Zuhaili, Uṣūl Fiqh Islāmī, (Damaskus : Dar al Fikr, 1986) hlm 672-673

Page 46: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

33

sifat yang tidak dianggap oleh Syāri’, jalan ditempuh melalui tidak

dianggap secara mutlak dalam penetapan semua hukum syara’ seperti

sifat panjang dan pendek, hitam dan putih. Kemudia ditempuh melalui

tidak dianggap dalam hukum yang akan dibahas, yaitu seorang mujtahid

membuang sifat yang tidak dianggap oleh Syāri’ dalam penetapan hukum

pada kasus sejenis, tetapi masih diperhitungkan kembali dalam kasus lain,

seperti sifat laki-laki dan perempuan (gender) dalam menetapkan hukum

pembagian harta warisan, kesaksian dan seterusnya. Dan terakhir yaitu

tidak ada kejelasan di dalam keserasiannya (Munasabah), yaitu seorang

mujtahid tidak mengetahui adanya keserasian pada sifat yang dibuang,

maka seorang mujtahid cukup menyatakan ketika menetapkan ada dan

tidaknya munasabah yaitu “ setelah sifat ini saya bahas atau diteliti,

ternyata tidak ditemukan keserasian antara sifat dengan hukum yang saya

bahas, dan seorang mujtahid tidak perlu mengungkapkan argumentasi

ketidakkeserasian sifat tersebut, karena sifat adilnya mujtahid cukup

sebagai bukti kebenarannya53.

b. al-Munāsabah, secara bahasa munasabah ialah al-Mulā‘amah

(menyelaraskan), sebagian Ulama menggunakan istilah al-Ikhālah54.

Menurut kalangan Ulama Ushūliyyin, munasabah yaitu antara sifat dan

hukum memiliki kesamaan atau keserasian untuk menyatakan tujuan dan

maslahah (kebaikan) bagi Syāri’ agar dijauhi dari kerusakan dan

53 Wahbah Zuhaili, ibid, hlm 675-67654 Artinya adalah memiliki persangkaan (Miżannah), bahwa menyangka sifat yang diteliti

menjadi ‘Illat hukum. Lihat Wahbah Zuhaili, ibid, hlm 676

Page 47: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

34

kemudharatan (efek negatif)55. Menurut Ibn Hājib, munasabah ialah sifat

yang Dzāhir (jelas) dan Mundabit (terbatasi) yang dihasilkan dengan rasio

dengan persambungan hukum yang mendapatkan tujuan untuk

kemaslahatan dan menolak kerusakan56. Menurut penulis Dzahir yang

ditawarkan oleh al-Hājib yaitu sifat yang jelas sehingga tidak mungkin

masuk sifat yang tersembuyi seperti Ridhā (kerelaan) di dalam jual beli,

munasabahnya adalah Ījāb dan Qabūl (serah terima) yang terkandung

keduanya penentuan terhadap Ridhā (kerelaan), sedangkan Mundhabit

yaitu sifat yang bisa dibatasi sehingga tidak terjadi kontradiktif individu,

dan situasi kondisi.

55 Abū Hāmid al-Ghazālī, al-Mustashfa fī ‘Ilm al-Ushul,(Dār al Kutub al ‘ilmiyah, Beirut:1983) jilid 2, hlm 77. Abū ‘Abdillah Syamsuddīn Muhammad b. Muhammad b. Muhammad al-Ma’rūf bi Ibn Amīr Hāj Ibn al-Mauqut al-Hanafī, al-Taqrīr wa al-Tahbīr, Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah 2010) jilid 3, hm 189. Muhammad b. ‘Alī b. Muhammad b. ‘Abdullah al-Syaukānī al-Yamanī, Irsyād al-Fuhūl ila Tahqīq al-Haq min ‘Ilmi al-Ushūl, (Dār al-Kitab al-‘Arabī 1999) hlm188.

56 Zakariyya b. Muhammad b. Ahmad b. Zakariyya al-Anṣārī Zainuddīn Abū Yahya al-Sanīkī, Gāyah al-Wuṣul fī Syarh Lub al-Ushūl, Dār al-Kitab al-‘Arabiyyah al-Kubra-Mesir) hlm122.

Page 48: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

35

BAB IV

‘ILLAT LARANGAN MUWĀLAH AL-KUFFĀR

A. Definisi Muwālah al-Kuffār

Muwālah al-Kuffār merupakan susunan Iḍafah yang apabilah dipisah

menjadi Muwalāh dan Kuffār. Pertama kata Muwalāh berasal dari kata ولي ,

sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Faris:

ب ر ي ق ل ع ل د ی ح ی ح ص ل ص ) الواو والالم والیاء : أ ي ل (و

yaitu sesuatu hal yang menunjuki makna dekat maksudnya semua pecahan kata

dari ي ل و memiliki makna kedekatan, Seperti pecahan kata يل و الم dan ي ل و .

Sedangkan untuk kata يل و الم , Ibn Faris memberikan makna yaitu:

ي ل و ال ن م ء ال ؤ ھ ل , ك ار , والج ر اص , والن م الع ن ب , وا ف ی ل , والح ب اح , والص تق ع الم وتق ع الم

ب ر ق و ھ و .

Semua ini memiliki makna seperti penolong, tetangga, sahabat, sekutu dan

lainnya, yang memberikan pemaknaan kedekatan. Sedangkan untuk kata ي ل و

memberikan makna ھ یل و و ھ ف ر خ ا ر م أ ي ل و ن م ل ك و yaitu seseorang yang mengatur

dan mengurus urusan orang lain atau biasa disebut sebagai pemimpin57.

Menurut Imam Nawawī kata ي ل و dibagikan menjadi dua makna, pertama

pecahan yang menjadi يل و الم yang memiliki 16 makna diantaranya:

, ف ی ل , الح م ع ال ن ب , ا ار , الج ع اب , الت ب ح , الم ر اص , الن تق ع , الم تق ع , الم م ع ن , الم ك ال , الم ب الر

ھ ی ل ع م ع ن , الم د ب , الع ر ھ , الص د ی ق الع .

57Ahmad b. Fāris b. Zakariyā Abū al-Husain, Mu’jam Maqāyīs al-Lughah, Muhaqqīq‘Abd al-Salām Muhammad Hārūn, (Dār al-Fikr) j 6 hlm 141

Page 49: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

36

Sedangkan kata ي ل و diartikan sebagai ھ یل و و ه ال و م ھ ب ام ق و را أ م أ ي ل و ن م ل ك و .

Tidak jauh beda yang dipaparkan oleh Ibn Faris tentang makna kedua pecahan

kata ini.

Bisa disimpulkan bahwa kata Muwālah berasal dari kata Waliyyun, yang

memiliki banyak makna. Semua peletakan makna bisa saja berubah dengan

keadaan konteksnya atau intrakalimat yang menunjukan keadaan yang diinginkan.

dikarenakan makna yang begitu banyak sehingga bisa diimplementasikan sesuai

objek yang ditujukan. Semua makna ini berpusat kepada makna al-Qurb yaitu

dekat. Dimaknai dengan ر اص الن (penolong) tentu penolong memiliki kedekatan

emosional yang berkeinginan untuk menolong kepada yang di tolong, pemimpin

yang memiliki kedekatan dengan yang dipimpin atau orang yang kita percayai

untuk mengatur urusan kita yang barangtentu memiliki kedekatan antara kedua

pihak, dan makna-makna kata lainnya58.

Kemudian kata Kuffār berasar dari kata ر ف ك , menurut Imam Nawawi yang

mengutip pendapat Abū Manshūr al-Azharī di dalam kitab Syarh Alfādz al-

Mukhtashar ashl al-Kufr al-Taghtiyyah wa al-Sutr, secara etimologi yaitu ل ی ال

ھ م ل ظ ب اء ی ش األ ر ت س ی ھ ن أل ر اف ك yaitu malam itu Kafir karena menutupi sesuatu.dengan

kegelapangannya, اھ ر ك ش ی م ل ا و ھ ر ت ا س ذ إ ة م ع الن ر ف ك ن ال ف و , seseorang kafir terhadap

nikmat-Nya apabila menutupinya dan tidak mensyukurinya59.

Ditinjau dari segi bahasa, kata kafir tidak selamanya berarti non muslim,

karena ada penggunaan kata kafir atau pecahan dari kata kafir seperti kufur, yang

58 Abū Zakariya Muhyiidin Yahya b. Syarif al-Nawawī, Tahdzīb al-Asmā’ wa al-Lughāt,(Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, Bairut-Libanān) hlm 196 j 4

59 Ibid, hlm 116 j 4

Page 50: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

37

bermakna inkar saja, tidak sampai mengeluarkan seseorang dari keislaman.

Contohnya kufur nikmat, yaitu orang yang tidak pandai/mensyukuri nikmat

Tuhan, atau dalam istilah lain disebut sebagai kufrun duna kufrin (kekufuran yang

tidak sampai membawa pelakunya kafir/keluar dari islam).

Secara terminologi, yaitu ات اد ق ت ع إل او ال ع ف األ و ال و ق األ ن م ان م ی اإل اد ض ا ی م و ھ

, maksudnya berlawanan dari Iman60 baik dari ucapan, perbuatan dan keyakinan.

Secara istilah, kafir adalah orang yang menentang, menolak, kebenaran dari Allah

Swt yang disampaikan oleh RasulNya. atau secara singkat kafir adalah kebalikan

dari iman. Dilihat dari istilah, bisa dikatakan bahwa kafir sama dengan non

muslim. Yaitu orang yang tidak mengimani Allah dan rasul-rasul-Nya serta

ajarannya.

Dalam terminologi kultural kata ini digunakan dalam agama Islam untuk

merujuk kepada orang-orang yang mengingkari nikmat Allah (sebagai lawan dari

kata syakir, yang berarti orang yang bersyukur). Namun yang paling dominan,

kata kafir digunakan dalam al-Quran adalah kata kafir yang mempunyai arti

pendustaan atau pengingkaran terhadap Allah Swt dan Rasul-Rasul-Nya,

khususnya Nabi Muhammad dan ajaran-ajaran yang dibawanya.

Jadi apabila kata Muwalāh dan al-Kuffār digabungkan (diidhofahkan)

maka makna nya mempunyai kedekatan dengan orang kafir baik menjadi

penolong, pemimpin, teman dan lainnya. Tetapi di dalam penelitian ini, penulis

60 Iman adalah sebuah frase yang menyakininya di dalam hati ,عبارة عن تصدیق القلب حقیقةsecara pasti. Menyakininya tidak hanya sebatas penamaan saja melain kan seorang mukallaf harusmengimplementasikannya sekurang-kurang nya harus menyakini dengan syahadatain (dua kalimatpersaksian). Menyatakan dengan hati dan diperkuatkan dengan Iqrār lisan. Lihat Sultān al-Ulamaal-‘Izzu b. ‘Abd al-Salām al-Sulaimanī (660 H), Ma’na al-Imān Wa al-Islām aw Farq Baina al-Imān wa al-Islām, (Dār al-Fikr, Damasq-Suriyah) hlm 9-10

Page 51: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

38

fokus kepada kata Auliya yang diinterpretasikan dengan makna pemimpin, baik

itu penafsiran yang memberikan makna secara implisit pemimpin ataupun

eksplisit

B. Heterogenitas Tafsir Kata Auliyā’ dalam al-Qur’an Objek dan Konteks

Di sini penulis hanya memberikan ayat-ayat mewakili makna

kawan/teman Penolong, pemimpin dan pelindung. Kata Auliyā’ sangat banyak

dibahas dalam al-Qur’an, dan setiap ayat yang membahas Auliyā’ tidak semuanya

memiliki makna yang sama. Dikarenakan perbedaan objek dan kontek kegunaan

ayat itu sendiri.

Ada beberapa ditemukan kata Auliya di dalam al-Qur’an, antara lain :

1. ‘Auliya yang memiliki makna teman dekat

Terdapat pada QS: Āli ‘Imran: 28

ك ل ل ذ ع ف ن ی م و ین ن م ؤ م ون ال ن د اء م ی ل و ین أ ر اف ك ون ال ن م ؤ م ذ ال خ ت ال ی

ى ل إ ھ و س ف ن هللا م ك ر ذ ح ی و اة ق م ت ھ ن وا م ق ت ن ت ال أ ء إ ي في ش ن هللا س م ی ل ف

یر ص م ال هللا

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadiwali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuatdemikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat)memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allahmemperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allahkembali(mu)”.

Asbāb al-Nuzūl ayat ini, diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbās bahwa sekelompok

orang yahudi diantaranya: al-Hajjāj b. ‘Amr, Ibn Abī al-Huqaiq dan Qais b.

Zaid. Mereka orang yahudi ingin mengadakan hubungan rahasia dengan

sebagian orang anshar, agar mereka mau berpaling dari agama Islam. Maka

Rif’ah b. Munzīr, Abdullah b. Jubair dan Sa’ad b. Khaisamah mencegah

mereka mendekati orang-orang yahudi itu. Tetapi mereka orang Ansar

Page 52: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

39

tersebut tetap saja mengadakan hubungan rahasia dengan mereka, maka

turunlah ayat ini61.

Kaum Muslim dilarang menjadikan orang kafir sebagai kawan akrab yang

bisa merugikan orang muslim itu sendiri baik dalam urusan agama maupun dalam

kepentingan umat, apalagi jika dalam hal ini kepentingan orang kafir lebih

didahulukan daripada kepentingan kaum muslimin sendiri, hal itu akan membantu

tersebarluasnya kekafiran. Ini sangat dilarang oleh agama. Jadi ayat ini

konteksnya ada kecurangan dari orang kafir untuk mengelabuhi orang muslim

untuk mengikuti keyakinan mereka, sehingga orang Muslim sangat dilarang untuk

terlalu dekat dengan orang kafir maka turunlah ayat ini QS: al-Nisā’: 76

وت یل الطاغ ب ون في س ل ات ق وا ی ر ف ین ك ذ ال و یل هللا ب ون في س ل ات ق وا ی ن آم ین ذ ال

ا یف ع ان ض ان ك ط ی د الش ی ن ك ان إ ط ی اء الش ی ل و وا أ ل ات ق ف

“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orangyang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitanitu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah”.

Ayat ini menjelaskan, orang mukmin berperang untuk menegakkan keadilan

dan membela diri, sedangkan orang musyrik berperang mengikuti hawa nafsu

yang dikendalikan oleh syaitan. Orang kafir di sini merupakan kawan-kawan nya

syaitan. Kesimpulannya, makna kata Auliya’ di artikan sebagai kawan.

2. Auliya’ yang memiliki makna penolong QS: al-Nisā 89

ى ت ح اء ی ل و م أ ھ ن وا م ذ خ ت ال ت اء ف و ون س ون ك ت وا ف فر ا ك م ك ون ر ف ك و ت وا ل د و

ال و م وھ م ت د ج و ث ی م ح وھ ل ت اق م و وھ ذ خ ا ف و ل و ن ت إ ف یل هللا ب وا في س ر اج ھ ی

ا یر ص ال ن ا و ی ل م و ھ ن وا م ذ خ ت ت

61 Li Imam Muhammad al-Rāzī Fakhruddīn Ibn al-‘Allām Dhiya’ al-Dīn, Tafsir Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-Tasir al-Kabīr Mafātih al-Ghaib, (Dār al-Fikr 1981) hlm 11 j 8

Page 53: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

40

“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telahmenjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlahkamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga merekaberhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlahmereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambilseorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadipenolong”,

Ayat ini memberikan informasi, sifat-sifat orang munafik yang oleh

sebagian kaum muslimin ketika itu dibela dan hendak diberi petunjuk, serta

diharapkan bantuan mereka untuk memperkuat kaum Muslimin62. Ketika itu

mereka keluar dari Madinah, karena sudah keluar dari agama Islam. Ayat ini

menggunakan makna penolong terhadap orang muslim yang kemudian

menjadi munafik.

3. Auliya’ yang memiliki makna pemimpin secara eksplisit

Pertama dengan makna implisit yang terdapat pada QS al-Taubah: 23

یا أیھا الذین آمنوا ال تتخذوا آباءكم وإخوانكم أولیاء إن استحبوا الكفر على

ئك ھم الظالمون یمان ومن یتولھم منكم فأول اإل

Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan

saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan

kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka

wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

QS: al-Nisā’ 139

ة ز ع م ال ھ د ن ون ع غ ت ب ی ین أ ن م ؤ م ون ال ن د اء م ی ل و ین أ ر اف ك ون ال ذ خ ت ین ی ذ ال

62 Imam al-Jalīl al-Hafidz ‘Imād al-Dīn Abī al-Fidā’Ismā’il b. Katsīr al-dimasqiTafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm, ([Dār al-Kitab al-‘Alamiyah 1419H) hlm 189 j 4

Page 54: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

41

“(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah merekamencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatankepunyaan Allah”.

QS: al-Nisa’ : 144

ون ید ر ت أ ین ن م ؤ م ون ال ن د اء م ی ل و ین أ افر ك ل وا ا ذ خ ت وا ال ت ن ین آم ذ ال ا ھ ی ا أ ی

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-

orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin.

Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk

menyiksamu)?”

QS: al-Maidah: 51

م ھ ض ع ب اء ی ل و ى أ ار ص الن ھود و ی ل وا ا ذ خ ت وا ال ت ن ین آم ذ ا ال ھ ی ا أ ی

م و ق ي ال د ھ ال ی ن هللا م إ ھ ن ھ م ن إ م ف ك ن م م ھ ل و ت ن ی م و عض اء ب ی ل و أ

ین م ال الظ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagianmereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantarakamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itutermasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjukkepada orang-orang yang zalim”.

QS: al-Mumtahanah: 1

ة وقد كفروا كم أ ولیاء تلقون إلیھم بالمود ي وعدو یا أیھا الذین آمنوا ال تتخذوا عدو

Page 55: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

42

ة وأنا أعلم بما ون إلیھم بالمود خرجتم جھاد ا في سبیلي وابتغاء مرضاتي تسر

أخفیتم وما أعلنتم ومن یفعلھ منكم فقد ضل سواء السبیل

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Kudan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepadamereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahalsesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu,mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepadaAllah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Kudan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamumemberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka,karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikandan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yangmelakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus”.

Menurut penulis, Masih terjadi perbedaan di kalangan Ulama mengenai

ayat-ayat di atas, apakah maknanya secara ekspilisit pemimpin atau makna

lainnya. Ada beberapa ‘Ulama yang memberikan makna eksplisit dan impilisit

Pemimpin. Seperti penjelasan Imam al-Qurtubi dan Ibn Katsir yang

memberikan penjelasan pada surah al-Maidah 51 dengan menambahkan kisah

yang terjadi di kalangan sahabat ketika pengangkatan orang kafir menjadi

pemimpin.

Kisah ini diriwayatkan oleh Ibn Hātim telah menceritakan kepada kamikasir Ibn Syihab, telah menceritakan kami Muhammad maksudnya Ibn Sa’īdIbn Sabiq, telah menceritakan kepada kami Amr Ibn Abu Qais, dari Simmā b.Harb dari ‘Iyyād bahwa ‘‘Umar pernah memerintahkan Abū Mūsa al-Asy’ariuntuk melaporkan kepadanya tentang semua yang diambil dan yangdiberikannya maksudnya pemasukan dan pengeluarannya dalam suatu catatanyang lengkap. Dan tersebutlah bahwa yang menjadi sekretari Abū Mūsa saatitu adalah seorang Nasrani. Kemudia hal tersebut dilaporkan kepada Khālifah‘‘Umar r.a. maka Khālifah ‘‘Umar merasa heran hal tersebut, lalu ia berkata“sesungguhnya orang ini benar-benar pandai, apakah kamu dapatmembacakan untuk kami sebuah surat di dalam Masjid yang dating dari negeiSyam?”. Abū Mūsa menjawab, “Dia tidak melakukannya”. Khalifa ‘‘Umarbertanya, “apakah dia mempunyai Janabah?”. Abū Musa al-‘Asy’arī berkata,“tidak, tetapi dia adalah seorang Nasrani”. Maka Khālifah ‘‘Umarmembentakku dan memukul pahaku, lalu berkata, “pecatlah dia!” selanjutnya‘‘Umar membacakan firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi

Page 56: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

43

pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagisebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil merekamenjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yangzalim”.

Sehingga menurut penulis, Ayat ini memberikan makna tersirat, seorang

Nasrani (kafir) di masa sahabat tidak diperbolehkan menjadi seorang Kātib

(penulis) dalam suatu pemerintahan, apalagi menjadi seorang pemimpin di

masa itu. Maka ada indikasi dari penafsiran Ibn katsir ayat ini fokus kepada

pemaknaan pemimpin63. Secara tidak langsung ‘‘Umar memberikan

penafsiran tehadap ayat ini pelarangan orang kafir menjabat dalam suatu

pemerintahan apalagi menjadi pemimpin, padahal Abū Mūsa mengambil

Nasrani yang notabanenya berstatus Dzimmi64. Dan penafsiran ‘Umar justru

diterima oleh Abū Mūsa al-‘Asy’arī, bahkan sahabat yang hidup di masa itu

pun seperti ‘Alī b. Abī Thālib dan Ibn ‘Abbās tidak ada bantahan mereka atau

penafsiran ‘‘Umar seperti itu.

Kemudian Sa’id Hawwa menafisrkan QS: al-Māidah 51, “BahwasanyaNasūs dari ayat ini memberikan pemahaman pentingnya agama Islam, karenaWilā’ (pemimpin) itu untuk orang Islam dengan anggapan bahwa untukagama Islam dan kepada kaum Muslimin tidak ada campur tangan dari diluar Islam (Non-Muslim)”65

Pada surah al-Nisā’: 139 dan 144, al-Qurtubi memberikan menjelaskan

yang sama yaitu memberikan makna بطانة sebagaimana beliau menafsirkan

63 Imam al-Jalīl al-Hafidz ‘Imād al-Dīn Abī al-Fidā’Ismā’il b. Katsīr al-dimasqiTafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm, ([Dār al-Kitab al-‘Alamiyah 1419H) hlm 253 j 564 yakni orang kafir yang tinggal di Negeri Muslim, memiliki perjanjian (damai) dengan

kaum Muslimin, membayar pajak (jizyah/ uang keamanan/ upeti sebagai kompensasi pemerintahIslam terhadap harta dan darahnya/ jiwanya. Ketika mereka tidak mampumembayar jizyah, maka jizyah tersebut dapat digugurkan darinya) kepada pemerintah Islam danditegakkan kepada mereka hukum-hukum Islam.

65 Sa’id Hawwa (1409H), al-Asās Fī al-Tafsīr, (Dār al-Salām-al-Qāhirah 23-Maret-2016)hlm 1427, J 3

Page 57: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

44

QS: Ali ‘Imran 11866, beliau memberikan penafsiran dengan memasukan

kisah ‘‘Umar dan Abū Mūsa al-‘Asy’ari yang memberikan jabatan kepada

orang Non-Muslim yang ketika itu beragama Nasrani. Pada ayat selanjutnya

pada surah al-Nisā’, beliau memberikan sisipan kata بطانة , menurut penulis,

pemahaman ini sama dengan pemahaman ayat sebelumnya yang memiliki kata

kunci sama dalam penafsirannya بطانة yaitu .67.

Tafsirnya Kementrian agama juga memberikan makna yang cukup

multitafsir bukan hanya teman dekat melainkan juga pemimpin penolong dan

pelindung, dan tafsir kementrian menafsir kan ayat ini melarang orang-orang

yang beriman agar jangan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani

sebagai teman akrab yang akan memberikan pertolongan dan perlindungan,

apalagi untuk dipercayai sebagai pemimpin.

Sebagai mana Asbab al-Nuzul ayat ini, di temukan beberapa periwayatan

yang menerangkan sebab turunnya ayat ini. Antara lain ialah riwayat Ibn

Syaibah dan Ibn Jarīr dan Atiyah b. S’ad menceritakan, bahwa ‘Ubadah b.

Sāmit dari Bani Khazraj dating meghadap Rasulullah SAW seraya berkata:

“Ya Rasululllah, saya ini orang yang mempunyai ikatan persahabatandengan orang-orang Yahudi dan merupakan kawan yang akrab sekali, bukandengan beberapa orang saja, tapi dengan jumlah yang banyak. Saya inginmendekatkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dengan meninggalkanhubungan saya yang akrab selama ini dengan orang-orang Yahudi”.Mendengar ucapan itu ‘Ubadah itu lalu ‘Abdullah b. Ubay berkata, “Sayaadalah orang penakut, saya takut kalau-kalau nanti mendapat bahaya dariorang-orang Yahudi bila hubungan yang akrab dengan mereka diputuskan”.Maka Rasulullah SAW berkata kepada ‘Abdullah b. Ubay, “Perasaan yang

66 Abī ‘Abdillah Muhammad b. Ahmad b. Abī Bakr al-Qurtubī, al-Jāmi’ Li Ahkām al-Qur’an Wa Mubayyin Lima Tadammanahu min al-Sunnah Waāyi al-Furqān, Dār al-Kitāb al-Mishriyyah-al-Qāhirah 1964 M) hlm 274, j 5

67 Yang mempunya makna loyalitas atau kedekatan terhadap seseorang

Page 58: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

45

terkandung dalam hati mengenai hubungan orang-orang Yahudi dengan‘Ubadah, biarlah untuk kau saja, bukan untuk orang lain”. Lalu ‘Abdullah b.Ubay menjawab, “Kalau begitu, akan saya terima”68.

4. Auliya dengan makna pelindung

Pertama terdapat pada QS al-Zumar: 3

لى هللا

ال یھدي من ھو كاذب كفار یحكم بینھم في ما ھم فیھ یختلفون إن هللا زلفى إن هللا

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kamitidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kamikepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akanmemutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya.Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangatingkar”.

Kesimpulan dari empat hasil kalsifikasi makna Auliyā’ adalah, pemaknaan

kata Auliya memiliki makna yang relatif sehingga terjadi pemaknaan yang

berbeda di kalangan ulama tafsir. Dari hasil di atas, belum tentu semua Ulama

tafsir memaknai seperti ini hanya saja bisa dilacak dari kontek mereka masing-

masing menafsirkan, baik itu memaknai penolong, teman dekat maupun

pemimpin.

C. Sosio-Kultural larangan pemimpin orang Kafir

Islam adalah Agama yang mengajarkan konsep Rahmatan lil ‘Alamīn,

suatu konsep yang menjadi acuan untuk mencerminkan bahwa Islam bukanlah

Intoleransi terhadap pemeluknya, bahkan di luar Islam (non-Muslim), melainkan

menerapkan toleransi untuk umat beragama. Ajaran ini lah yang diterapkan Nabi

ketika menghadap Non-Muslim. Di masa Nabi yang ketika itu Islam masih dalam

68 Kementria Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, ( Lentera Abadi, Jakarta 2010) hlm416, jilid 2

Page 59: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

46

keadaan minoritas dibanding agama lainnya, sampailah kepada tahapan di mana

kemenangan Islam yang menjadi pusat kepemimpinan sampai di bagian Eropa.

Penjelasan ini sangat menarik ketika konsep di atas digali lebih dalam ketika

disangkutpautkan kepada dunia kepemimpinan yang dipegang oleh Non-Muslim.

Di masa Nabi, islamisasi dengan cara berdakwah sembuyi-sembuyi karena

ada takut kekhawatiran tidak diterima oleh kelompok (agama) lain. Sering kali di

masa Nabi terjadi peperangan dengan Yahudi atau kelompok yang menyembah

berhala seperti. Di antaranya yang paling kita kenal dengan sebuta perang Uhud,

perang Badr, perang Fath al-Makkah, dan lainnya. Banyak sekali ayat yang turun

ketika perang, setelah perang, bahkan tentang larangan Muwalah (loyalitas)

terhadap orang kafir ketika hendak mau berperang. Kebanyakan kata Auliya,

ketika di telusuri dari aspek Asbab al-Nuzul kenapa diturunkan pada saat

itu?.menurut penulis, kebanyakan ayat yang menggunkan konotasi kata Auliya’

saat itu dalam kondisi berperangan. Seperti ayat Āli ‘Imran: 28, Surah al-Nisā’:

76, Surah al-Nisā 89. Jadi konteks ayat itu sendiri kenapa dilarang bermuwalah?

Dikarenakan bisa membahayakan kondisi umat Islam ketika hendak berperang

melawan mereka.

Di masa sahabat, yang diriwayatkan oleh diriwayatkan oleh Ibn Hātim

telah menceritakan kepada kami kasir Ibn Syihāb, telah menceritakan kami

Muhammad maksudnya Ibn Sa’īd Ibn Sabīq, telah menceritakan kepada kami

‘Amr Ibn Abū Qais, dari Simmā b. Harb dari ‘Iyyād bahwa ‘Umar pernah

memerintahkan Abū Mūsa al-Asy’ari untuk melaporkan kepadanya tentang semua

yang diambil dan yang diberikannya maksudnya pemasukan dan pengeluarannya

Page 60: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

47

dalam suatu catatan yang lengkap, dan tersebutlah bahwa yang menjadi sekretari

Abū Mūsa saat itu adalah seorang Nasrani. Kemudia hal tersebut dilaporkan

kepada Khālifah ‘Umar r.a. maka Khālifah ‘Umar merasa heran hal tersebut, lalu

ia berkata:

“sesungguhnya orang ini benar-benar pandai, apakah kamu dapatmembacakan untuk kami sebuah surat di dalam Masjid yang dating dari negeiSyam?”. Abū Mūsa menjawab, “Dia tidak melakukannya”. Khalifa ‘‘Umarbertanya, “apakah dia mempunyai Janabah?”. Abū Musa al-‘Asy’arī berkata,“tidak, tetapi dia adalah seorang Nasrani”. Maka Khālifah ‘‘Umar membentakkudan memukul pahaku, lalu berkata, “pecatlah dia!” selanjutnya ‘‘Umarmembacakan firman Allah SWT QS: al-Maidah 51.

Riwayat berbeda dicantumkan dalam Tafsir al-Qurtubī, dimana di bagian

akhir dialog ada perbedaan ucapan dari ‘‘Umar. Imam al-Qurtubi juga

mencantumkan kisah di atas yang diriwayatkan oleh al-Baihāqī dalam QS: Ali

Imran:118 sebagai berikut:

هللا م ھ ن و خ د ق و م ھ ن م أ ت ال , و هللا م ھ ان ھ أ د ق و م ھ م ر ك ت ال , و هللا م اھ ص أق د ق و م ھ ن د ت ال

Ini yang disampaikan oleh ‘‘Umar kepada Abū Mūsa al-‘Asy’arī,

“Jangan bawa mereka mendekati sesuatu yang Allah telah jauhkan, Jangan

memberi mereka kehormatan ketika Allah telah menghinakan mereka, dan jangan

mempercayai mereka ketika Allah telah mengatakan mereka tidak bisa

dipercaya”69.

Dalam riwayat lain yang dicantumkan oleh Kitab Tafsir al-Rāzī pada

penafsiran QS: al-Maidah 51, yaitu:

69 Abī ‘Abdillah Muhammad b. Ahmad b. Abī Bakr al-Qurtubī, al-Jāmi’ Li Ahkām al-Qur’an Wa Mubayyin Lima Tadammanahu min al-Sunnah Waāyi al-Furqān, Dār al-Kitāb al-Mishriyyah-al-Qāhirah 1964 M) hlm 274, j 5

Page 61: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

48

ع ن ص ا ت م ف ات م د ق ھ ن أ ب ي ھ ن ع م, ی ال الس ي و ان ر ص الن ات م : ال ق , ف ھ ب ال إ ة ر ص ب ال ر م أ م ت ی ال

ه ر ی غ ب ھ ن ع ن غ ت اس و ن اال ھ ل م اع ف ھ ت و م د ع ب ھ ل م ع ا ت م , ف ه د ع ب

Abū Mūsa al-‘Asy’arī berkata: “Tidak akan sempurna urusan di Bashrahkecuali dibantu orang ini” Khalīfah ‘‘Umar menjawab singkat: “Mati saja lahorang Nasrani itu, Wassalā”. Para ulama menafsirkan maksud perkataan ‘Umarterakhir itu dengan makna, “Pecat dia sekarang karena kalau besok-besok diameninggal dan kamu sudah bergantung pada dia, kamu akan repot, maka anggapsaja sekarang dia sudah meninggal, dan cari bantuan orang lain untuk mengurusiurusan itu”70.

Dan di dalam Kitab Tafsir al-Razi, ada tambahan dialog batahan dari Abū

Mūsa al-‘Asy’arī yaitu:

ھ ت اب ت ك ي ل و ھ ن ی د ھ ل 71

. Abū Mūsa membantah di depan Khalīfah: “lahu dīnuhu waliya

kitābatuhu” (baginya urusan agamanya, dan bagiku adalah urusan ketrampilan

dia). Abū Mūsa seolah mengingatkan Khalīfah dengan ungkapan yang redaksinya

mirip dalam al-Qur’an: lakum dinukum waliya din. Tetapi bantahan Abū Mūsa

juga tetap ditolak oleh Khalīfah.

Bisa ditarik kesimpulan dari kisah ini, bahwa Abū Mūsa membawa

sekretarisnya yang Kristen ke wilayah Madinah yang khusus untuk umat Islam

saja. Bahkan ‘Umar baru tahu dia seorang Nasrani itu setelah mau diajak bicara di

Masjid. Barulah Abū Mūsa memberitahu kepada Khalīfah latar belakang

sekretarisnya ini. Ini sebabnya kalimat yang diucapkan oleh Khalīfah ‘Umar saat

memarahi Abū Mūsa: “usir dia atau keluarkan dia” Ini maksudnya usir dia dari

Madinah. Disusul dengan ungkapan Khalīfah ‘Umar, “Jangan bawa mereka

70 Li Imam Muhammad al-Rāzī Fakhruddīn Ibn al-‘Allām Dhiya’ al-Dīn, Tafsir Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-Tasir al-Kabīr Mafātih al-Ghaib, (Dār al-Fikr 1981) hlm 18, j 12

71 Li Imam Muhammad al-Rāzī Fakhruddīn Ibn al-‘Allām Dhiya’ al-Dīn, Tafsir Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-Tasir al-Kabīr Mafātih al-Ghaib, (Dār al-Fikr 1981) hlm 18, j 12

Page 62: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

49

mendekati sesuatu yang telah Allah jauhkan dari mereka”. Jadi ini bukan semata-

mata persoalan Abū Mūsa mengangkat orang Kristen, tapi ini pada kesucian

wilayah Madinah.

Sebab kemarahan kedua yang bisa kita ambil dari kisah di atas adalah

ketergantungan Abū Mūsa terhadap orang Kristen pada posisi yang sangat

strategis yang keuangan pemerintahan dimana di dalamnya termasuk catatan

zakat, jizyah dalam baitul mal. Indikasi ketergantunga itu tampak dengan Abū

Mūsa tidak bisa menjelaskan sendiri catatan pengeluaran yang telah dibuat

sekretarisnya, malah sampai membawa sekretaris yang Kristen itu mendampingi

dia memberi laporan kepada Khalīfah.

Bagi sang Khalīfah, rahasia negara menjadi beresiko ketika posisi strategis

semacam itu dipercayakan kepada non-Muslim di masa saat

Khalīfah ‘Umar sedang melakukan ekspansi dakwah ke wilayah non-Muslim,

seperti pembebasan Iraq dan Mesir. Inilah pula konteksnya ketika Khalīfah ‘Umar

mengutip QS: al-Maidah:51, dimana Allah melarang mengambil Yahudi dan

Nasrani sebagai awliya (sekutu/kawan akrab), yang menurut Ibn Katsīr ketika

menjelaskan QS al-Nisa:144:

“Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengambil orang-

orang kafir sebagai ‘awliya’ mereka, dengan meninggalkan orang-orang

mukmin”.

Maka jelas sekali kultur larangan masa pemerintahan ‘Umar, yaitu

ketergantungan Abū Mūsa kepada anak buahnya, posisi strategis dalam hal

Page 63: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

50

catatan keluar-masuk zakat-jizyah, serta potensi bocornya rahasia negara yang

tengah melakukan ekspansi dakwah.

Kisah inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan argumentasi untuk

kontra terhadap kepemimpinan dari Non-Muslim, karena ayat yang menjelaskan

ayat tentang memiliki makna Istirāk (Ambiguitas) pada pemaknaan dan kegunaan

konteksnya. Di zaman Nabi ayat pelarangan ‘Auliya kepada Non-Muslim lebih

menekan kepada aspek kedekatan sebagai teman dekat, karena posisi umat Islam

yang lagi sibuk dalam situasi peperangan, takut merusak pertahanan umat

Muslim. Sebaliknya ayat menjelaskan Auliyā’ yang ditafsiri oleh Khalīfah ‘Umar

b. Khattāb dengan pemaknaan pemimpin atau jabatan, sehingga konteksnya pada

saat bukanlah dalam situasi peperangan, melainkan ditakuti bocornya kerahasian

dalam ekspansi dakwah. Sebagaimana perkataannya Sa’id Hawa dalam al-Asās fī

al-Tafsir mengatakan: “apakah anda bisa pahami tentang larangan memberikan

kafir dzimmi posisi untuk mengerjakan urusan umat Islam?” Beliau menjawab

sendiri: “Masalah ini tergantung konteksnya, karena perbedaan posisi jabatan,

kondisi, dan lokasi serta zaman”72.

D. ‘Illat larangan Muwālah al-Kuffār

Ada dua pendapat menegenai tentang ‘Illat larangan pengangkatan orang

kafir sebagai pemimpin, pertama karena berkhianat, kedua pendapat penulis yaitu

orang kafir berstatus sebagai Auliya’ bagi sesamanya.

Pada pandangan pertama, diambil dari Salahsatu Intlektual Muslim yaitu

Dr.Nadirsyah Hosen,LLM,.M.A. (Hoons), Ph.D, beliau biasa dipanggil dengan

72 Sa’id Hawwa (1409H), al-Asās Fī al-Tafsīr, (Dār al-Salām-al-Qāhirah 23-Maret-2016)hlm 1427, J 3

Page 64: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

51

sebutan Gus Nadir. Beliau adalah lulusan S1 dari Fakultas Syari’ah IAIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, sekarang beliau orang Indonesia pertama dan satu-satunya

yang menjadi dosen tetap di fakultas hukum di universitas di Australia73. Beliau

sangat aktif menulis buku dan di dunia media sosial, memberikan knowledge

tentunya pengetahuan keislaman. Salah satu tulisan beliau yang dijadikan

penelitian yaitu memberikan pemahaman pada penafsiran QS: al-Māidah ‘Illat

(sebab) dilarangnya orang kafir menjadi pemimpin karena ada unsur berkhianat74.

Dengan menggunakan teori munasabah pada QS: al-Nisā’ 139 frase ayatnya yaitu

ن ی ن م ؤ م ال ن و د ن م , dan QS: al-Mumtahanah 1. Dalam jurnal beliaupun juga

memberikan imformasi ada dua hal kenapa ‘Illat (sebab) larangan Muwālah al-

Kuffār berkhianat:

1. Periksa 3 asbabun nuzul yang berbeda yang semuanya mengisyaratkan

soal al-muwalah yang meninggalkan umat (min dunil mu’minin)

2. Imam al-Razi mengatakan yang tidak boleh itu mengangkat non-muslim

sendirian. Tanpa didampingi muslim. Dengan demikian menurut beliau

kata kuncinya adalah tidak meninggalkan/ berkhianat kepada umat75.

Kemudian beliau menjelaskan tentang penafsiran QS: al-Mumtahanah 1,

Inilah ayat yang secara tegas mengungkapkan alasan mengapa ber-muwalatul

73 Biografi beliau lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Nadirsyah_Hosen74 Khianat adalah lawan dari kata Amanah, sebagaimana dijelaskan didalam QS: al-Anfā

27 ون م ل ع ت م ت ن أ و م ك ت ا ن ا م أ وا ون خ ت و ول س الر و وا هللا ون خ ت وا ال ن م ن آ ی ذ ل ا ا ھ ی أ ا ی , artinya: “Haiorang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan(juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamumengetahui”. Bisa diambil ‘Ibarah secara umum kemudian ditakhsiskan, yaitu seseorang yangtidak menjalankan amanahnya sesame manusia seperti teman, pemimpin dan sesuatu hal yangmemilik tanggung jawabnya.

75 Nadirsyah Hosen, Tafsir al-Qur’an di Medsos: Mengaji Makna dan Rahasia Ayat Sucidi Era Sosial, ( Bunyan 2017) dan http://nadirhosen.net/tsaqofah/tarikh/254-logika-dan-illat-hukum, (dilihat 5 april 2018, 13:20 WIB)

Page 65: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

52

kuffar itu dilarang karena alasan berkhianat. Ayat ini turun berkenaan

dengan Hatib bin Abi Balta’ah yang membocorkan rencana Nabi menyerang

kota Mekah. Hatib mengirim surat rahasia kepada karib kerabatnya di Mekah.

Maka turun ayat awliya ini yang berisi soal pengkhianatan; bukan tentang

kepemimpinan76.

Argumentasi yang disampaikan oleh Gus Nadir tentang ada

pengkhianatan ini bisa dilacak kembali keabsahan dalam menggunakan dalam

metode Ushul Fiqh dan penafsiran para Ulama Tafsir.

1. Dari sudut pandang Ushul Fiqih, dalam menggunakan metode ‘Illat harus

melihat beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam menentukan suatu

‘Illat. Penulis meneliti hal ini dengan mengambil langkah dari penjelasan

sebelumnya di dalam Bab III pembahasan tentang ‘Illat. Syarat pertama

menurut Wahbah al-Zuhaili ialah al-Wasf al-Zhahir, (sifat yang jelas),

menurut penulis sederhananya, suatu ‘Illat harus Nampak jelas pada Mahall

al-Hukm perkara yang akan dilabeli salahsatu hukum syar’ī, seperti wajib,

haram, makruh dan lainnya, dan ukuran kejelasan itu adalah, bisa terdeteksi

secara jelas oleh panca indera lahiriah. Syarat kedua harus mundhabit (

pasti) yakni tertentu dan bisa dibatasi sehinggan bisa dijadikan hukum.

ketiga al-Mu’arif li al-Hukm di redaksi yang lain beliau menyebut kan

Yunāsib al-Hukm, yaitu ada kesesuaian terhadap hukum artinya bahwa

hubungan hukum dengan sifat (‘Illat) itu, baik ada dan tidaknya harus

diwujudkan menjadi tujuan dalam membentuk hukum.

76 http://nadirhosen.net/tsaqofah/tafsir/tafsir-al-mumtahanah-larangan-ber-muwalatul-kuffar, (dilihat 5 april 2018, 13:40 WIB)

Page 66: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

53

Contohnya seperti minuman Khamar, keharamannya sudah pasti

haraman disebabkan memabukkan. Ada tiga poin yang penting di sini,

pertama Khamar sebagai Mahal al-Hukm yang akan diberikan hukum

Syar’ī, kedua Haram sebagai hukum Syar’ī, ketiga memabukkan sebagai

‘Illat dari larangan meminum Khamar. Jadi, ‘Illat pada contoh di atas

adalah memabukkan, apakah memabukan sudah memenuhi syarat sah di

dalam penjelasan ‘Illat? Sudah tentu memabukkan bisa terdeteksi oleh

panca indera pada Khamar sebagai Mahal al-Hukm.

Hemat penulis, argumentasi yang disampaikan oleh Gus Nadir

yaitu berkhianat dikaitkan dengan penjelasan yang sampaikan pada teori

Wahbah al-Zuhailī. Apakah berkhianat sudah memenuhi syarat ‘Illat?.

Terlebih dahulu Kita harus mengetahui yang dimaksud berkhianat di sini

siapa?, apakah orang Muslim atau Non-Muslim. Apabila yang dikehendaki

khianat di sini adalah orang Muslim, maka bisa berantakan dalam

menentukan ‘Illatnya. Sebab yang menjadi tempat dimana ‘Illat terdeteksi

panca indera secara jelas itu adalah Mahal al-hukm, sementara yang

menjadi Mahal hukm dalam kasus ini adalah orang kafir bukanlah orang

Islam, dan apabila dikehendaki di sini adalah orang kafir, justru bertolak

sekali dengan Asbāb al-Nuzul pada setiap ayat. Seperti QS al-Nisā’ 139,

konteks ayat ini ada oknum yang munafik (Muslim) yang sebenarnya

bersekongkol dengan orang kafir. Mereka memusuhi orang-orang

mukmin, bahkan dalam saat-saat yang penting, mereka membantu orang

Page 67: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

54

kafir, karena mereka berkeyakinan bahwa kemenangan akan diperoleh

orang kafir77.

Kemudian di QS: al-Māidah 51, menurut penulis, tidak ada

indikasi orang kafir berkhianat, justru orang Muslim yang nantinya

mempunyai sifat terlalu akrab terhadap orang kafir kemudian menjadi

bagian mereka. Akhirnya ayat ini juga menegaskan, bahwa barang siapa di

antara orang-orang mukmin yang menjadikan orang Yahudi dan Nasrani

sebagai teman akrabnya, maka orang itu termasuk golongan mereka, tanpa

sadar, lambat laun orang itu akan terpengaruh, bukan membantu Islam,

tetapi akan memberi petunjuk orang-orang yang aniaya, kepada jalan yang

benar untuk mencapai hidup bahagia di dunia dan akhirat78.

Dan pada QS: al-Mumtahanah 1, dilihat dari aspek Asbā al-Nuzul

juga tidak ada indikator berkhianat dari orang kafir justru dari orang

Muslim. Kejadiannya, diriwayatkan oleh al-Bukhārī, Muslim dan Ulama

yang lain bahwa telah datang ke Madinah seorang perempuan dari Mekah

bernama Sārrah untuk suatu keperluan. Waktu itu orang-orang Musyrik

Mekah baru saja melanggar perjanjian Hudaibiyah, suatu perjanjian damai

yang dibuat Rasulullah dengan mereka. Rasulullah SAW sedang

mempertimbangkan batas waktu tertentu untuk berpikir bagi orang-orang

Musyrik Mekah. Rasulullah SAW bermaksud jika batas waktu yang

77 Kementria Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, ( Lentera Abadi, Jakarta 2010) hlm299, jilid 2

78 Kementria Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, ( Lentera Abadi, Jakarta 2010) hlm417, jilid 2

Page 68: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

55

ditentukan habis dan orang-orang Musyrik tetap pada sikap mereka

semula, maka beliau bermaksud menyerang kota Mekah.

Sārrah diperintahkan Rasulullah tinggal bersama keluarga Bani

Abd Mutālib. Rasulullah SAW mengharapkan agar mereka memberi

nafkah, pakaian, dan tempat tinggal bagi Sārrah. Setelah beberapa lama

tinggal di Madinah, maka Sārrah bermaksud kembali ke Mekah. Lalu

Hātib b. Abī Balta’ah, seorang sahabat Rasulullah SAW yang ikut Perang

Badar, menemui Sārrah untuk mengirimkan sepucuk surat kepada

keluarganya bahwa Rasulullah SAW akan mengembalikan tindakan

terhadap musyrik Mekah, setelah habis masa yang ditentukan itu. Kejadian

itu disampaikan Jibril kepada Rasulullah SAW. Maka beliau pun

menyuruh ‘Alī b. Abī Thālib, ‘Ammār, Talhah, Zubair, Miqdād, dan Abū

Marsid menyuruh Sārrah dan mengambil surat yang dikirimkan Hātib.

Semua sahabat disuruh Rasulullah SAW itu adalah dari pasukan berkuda.

Nabi berkata kepada mereka, “Segeralah pergi ke Khakh (suatulembah yang terletak antara Mekah dengan Madinah), di sana adaseorang perempuan dalam usungan. Dia membawa surat untuk pendudukMekah. Maka ambillah surat itu dari dia, dan biarkan dia pergi keMekah”.

Maka para sahabat itu memacu kudanya hingga sampai ke tempat

perempuan itu dan meminta suratnya. Mula-mulanya ia enggan

memberikannya. Setelah didesak dengan keras, barulah ia memberikan

surat itu. Setelah para sahabat kembali, maka Hātib dipanggil Rasulullah

SAW dan menanyakan sebab ia menulis surat itu. Hātib menerangkan

bahwa ia bermaksud untuk melindungi keluarganya yang ada di Mekah,

seandainya kaum Muslimin memasuki kota itu nanti, bukan bermaksud

Page 69: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

56

untuk membukakan rahasia kepada kaum musyrikin. Rasulullah SAW

dapat membenarkan alasan Hātib, tetapi ‘Umar b. Khattāb berkata, “Ya

Rasulullah, serahkanlah orang munafik itu agar aku pancung lehernya”.

Rasulullah SAW berkata, “Hātib adalah sahabat yang ikut Perang

Badar”.79

Dari beberapa ayat ini, tidak ada indikasi yang menjelaskan kafir

berkhianat terhadap orang Muslim, justru sebaliknya orang Muslim lah

yang berindikasi berkhianat terhadap orang Muslim itu sendiri. Berkhianat

baik itu orang muslim dan orang kafir jelas sekali tidak bisa dijadikan

‘Illat sebagai pelarangan orang kafir menjadi pemimpin.

Setelah diteliti kembali dengan menggunakan teori ‘Illat,

berkhianat juga tidak masuk dalam bagian syarat-syarat ‘Illat. Karena

pengkhianatan seseorang tidak bisa terdeteksi dengan panca indra. Hanya

saja bisa diketahui dengan cara perlakuan atau perbuatan yang

mengindikasikan yang sifatnya dugaan pengkhianatan. Sama halnya

contoh yang diberikan oleh Wahbah al-Zuhailī,

: ن ی ع ای ب ت الم ن ی ي ب اض ر الت ال ث م , ف ھ ب ل ی ل ع الت ح ص ی ال ا ف ی ف خ ف ص و ال ان ا ك ذ إ ف

ن ك م ی ي, ال ب ل ق ر م ي أ اض ر الت ن , أل ن ی ض و ي الع ف ة ی ك ل الم ل ق ن ل ة ل ع ن و ك ی ن أ ح ص ی ال

و ي ھ ذ ال ل و ب ق ال و اب ج ی اإل ي ھ ة ی ك ل م ال ل ق ي ن ف ة ل الع ن و ك ت ن أ ن ی ع ت ا ی م ن إ , و ھ اك ر د إ

80ياض ر الت ة ن ظ م

79 Kementria Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, ( Lentera Abadi, Jakarta 2010) hlm 86-87, jilid 10

80 Wahbah al-Zuhailī, Usūl al-Fqih al-Islāmī, (Dār al-Fikr 1986 M) hlm 654

Page 70: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

57

Menurtu beliau, Sifat yang tersembuyi (sulit diketahui) maka tidak

bisa dikategorikan ‘Illat, seperti tentang saling kerelaan ( اضير الت ) pada

jual beli, yang tidak bisa dijadikan ‘Illat dikarenakan, tidak bisa terdeteksi

dengan panca indra, karena Ridha (rela) merupakan urusan hati jadi tidak

suatu pun yang mengetahui, kecuali dengan adanya indikasi yang

memperlihatkan dia tidak merelakan seperti, mengingkari kesepakatan

ijab-qobul. Bagi penulis, khianat merupakan salah satu sifat yang

Khafiyyān (tersembuyi) yang tidak bisa dikategorikan sebagai ‘Illat,

karena merupakan salah satu urusan hati, kecuali dengan sifat-sifat yang

meindikasikan pengkhianatan sehingga bisa diketahui dengan panca indera

dan bisa menjadi syarat pertama dalam menentukan ‘Illat. Jadi khianat dan

Tarādin (saling kerelaan) di dalam jual beli, tidak bisa diketahui ‘Illat nya,

hanya bisa diketahui apa yang bisa mengindikasi hal tersebut, yang dikenal

dari ungkapan Wahbab al-Zuhailī yaitu Midzannah81 (dugaan). Dan yang

bisa dijadikan ‘Illat nya seharusnya perkara yang diduga atau

mengindikasikan berkhianat bukan berkhianat itu sendiri.

Kesimpulannya, khianat tidak bisa dijadikan ‘Illat dari aspek Ilmu

Ushūl Fiqh, karena tidak memenuhi syarat ‘Illat, apabila salah satu syarat

tidak dipenuhi, maka syarat setelahnya pun tidak bisa dilacak kembali.

Tetapi yang bisa menjadi ‘Illat adalah perkara yang diduga atau

mengindikasi berkhianat. Dan berkhianatnya juga masih memiliki

ambiguitas, apakah berkhianatnya orang Muslim atau Non-Muslim.

81 Ibid, Usūl al-Fqih al-Islāmī, (Dār al-Fikr 1986 M) hlm 654

Page 71: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

58

2. Sebelumnya khianat ditelusuri dari aspek ilmu Ushul Fiqh, bagian kedua

penulis meneliti keabsahan khianat dari aspek penafsiran para Ulama,

dengan menggunakan pendekatan komparatif setiap penafsiran Ulama,

tidak ada penyebutan khianat sebagai ‘Illat larangan Muwālah al-Kuffar.

Pertama penafsiran QS: al-Māidah dari Imam al-Zamakhsyarī

dalam kitabnya al-Kassyāf,

م ھ ت ل م اد ح ت ا إل ض ع ب م ھ ض ع ي ب ال و ا ی م ن إ ي ) أ ض ع ب اء ی ل و أ م ھ ض ع (ب ھ ل و ق ب ي ھ الن ل ل ع م ث

م ھ ت اال و م ل و م ھ ن ی د ف ال خ ھ ن ی د ن م ا ل م , ف ر ف ي الك ف م ھ اع م ت ج إ و

beliau menjelaskan bahwa larangan tersebut terjadi adanya pengangakatan

dari sebagian kelompok (Muslim) menjadikan pemimpin dari sebagian

kelompok lain (Non-Muslim)82.

Kedua penafsiran QS: al-Māidah oleh Imam al-Baidawī yang

merupakan pakar Ushūl Fiqh yang monumental, yang berjudul Minhāj al-

Wushūl ‘Ila ‘Ilmi Ushūl, beliau memberikan komentar pada ayat ini yaitu,

83ي ھ الن ة ل ع ىل إ اء م ی إ

Kalau diperhatikan peryataan beliau, penulis melihat sekali penetapan ‘Illat

semacam ini adalah dengan menggunakan cara Limā’ salah satu metode

(Masālik) dalam penetapan ‘Illat sebuah hukum.

82 Abī al-Qāsim Mahmud b. ‘Umar al-Zamakhsyari, al-Kassyāf ‘An Haqā’iq Ghawāmidal-Tanzīl Wa’uyun al-Aqāwīl Fī Wujūh al-Ta’wīl, (Maktabah al-‘Abīkan 1998) Hlm 249, j 2

83Nāsir al-Dīn Abī al-Khair ‘Abdullah b. ‘Umar b. Muhammad al-Syairāzī al-Syāfi’ī al-Baidhāwī, Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl al-Ma’rūf Tafsīr al-Baidhāwī, ( Dār Ihyā’ al-Turāsal-‘Arabī-Bairūt) Hlm 130, j 2

Page 72: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

59

Ketiga penafsiran QS: al-Māidah dalam kitab Khāsyiah Muhyiddīn

Syaikh Zādah yang nampaknya menyetuijui dengan penjelasan Imam al-

Baidhāwī terkait ‘Illat tersebut yaitu,

ي ف م ھ اد ح ت إل اض ع ب م ھ ض ع ي ب ال و ی م ك ف ال خ علىن و ق ف ت م م ھ ن إ ف ي أ ي ھ الن ة ل ع إلىاء م ی إ

84م ك ت اد ض م ىل ع م ھ اع م ت ج إ و ن ی الد

Beliau juga tidak menyebutkan secara spesifik, bahwa sebab pelarangan

Muwālah disebabkan khianat melainkan.

Keempat penafsiran QS: al-Nisā’ 139 oleh Imam al-Rāzī,

م ك اء د ھ ش ا و ع اد : (و ھ ل و ق ك ن ی ن م ؤ م ال ر ی غ ن م ي ) أ ن ی ن م ؤ م ال ن و د ن :(م ھ ل و ق ة ث ال الث ة ل أ س الم

س ل ج د ی : ز ل و ق , ت ان ك م ال ب ص ت خ م ن و د ظ ف ل ن أل ك ل ذ و هللا ر ی غ ن م ي ) أ هللا ن و د ن م

85ھ ن م ل ف س أ ان ك ي م ف ي رو أ م ع ن و د

Adapun komentar beliau pada ayat ini adalah, kata دون pada teks di atas

adalah bermakna Kesimpulannya adalah beliau tidak memberikan .غیر

makna baik secara tertulis maupun tersirat dengan meninggalkan apalagi

berkhianat. Dan beliau menambakan komentarnya di penafsiran ayat

tersebut,

ن ي أ ن ع م ب اء ی ل و أ ن ی ر اف ك ال اذ خ ت إ ن ع ي ھ الن ة ی األ ن م اد ر م ال ن و ك ی ن أ ز و ج ی : ال ل ی ق ن إ ف

, ھ ن ي ع ھ ن م ب س ی ل ك ل ذ ف م ھ ع م ن ی ن م ؤ م ا ال و ل و ت و م ھ و ل و ا ت ذ ا إ م أ ,ف ن ی ن م ؤ م ال ن و د م ھ و ل و ت ی

84Muhammad b. Muslih al-Dīn Musthafa al-Qujawī al-Hanafī ‘Ala Tafsīr al-Qādī al-Baidāwī, Khāsyiah Muhyiddīn Syaikh Zādah, (Dār al-Kitab al-‘Alamiyah-Bairut 1999), Hlm 537,j3

85Li Imam Muhammad al-Rāzī Fakhruddīn Ibn al-‘Allām Dhiya’ al-Dīn, Tafsir Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-Tasir al-Kabīr Mafātih al-Ghaib, (Dār al-Fikr 1981) hlm 12-13, j 8

Page 73: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

60

ي ال و ی د ق ل ج الر ن , أل ة ی ز م ة اد ی ز ھ ی ) ف اء ی ل و أ ن ی ر اف ك ال ن و ن م ؤ م ال ذ خ ت ی :( ال ھ ل و ق ا ف ض ی أ و

86ھ ت اال و م ل ص أ ن ع ي ھ الن ب ج و ی ا ال ی ال و م ه اذ خ ت إ ن ع ي ھ الن ا ف ی ال و م ه ذ خ ت ی ال و ه ر ی غ

Beliau juga menolak pandangan orang yang berasumsi , jika yang dilarang

itu menjadikan orang kafir sebagai Auliyā’ dengan meninggalkan

(berkhianat) orang mukmin, maka berarti menjadikan orang kafir sebagai

Auliyā’ tanpa meninggalkan orang mukmin itu diperbolehkan. Sehingga

Muwālah al-kufār tetap tidak diperbolehkan, meskipun ada indikasi

berkhianat ataupun tidak meninggalkan (berkhianat) terhadap orang

mukmin.

Kelima, penafsiran QS: al-Māidah oleh Abū al-Barkāt (al-Nasfī),

beliau menjelaskan yang menjadi ‘Illat laranganya adalah,

ن أ ى لع ل ی ل د ھ ی ف و ن ی ن م ؤ م ال اء د ع أ م ھ ل ك و )ض ع ب اء ی ل و أ م ھ ض ع (ب ھ ل و ق ب ي ھ الن ل ل ع م ث

ة د ح او ة ل م ھ ل ك ر ف ك ال

Penjelasan beliau tidak ada indikasi pengkhianatan melainkan sebab

dilarang karena mereka merupakan musuh orang Muslim, dan menjadi

argumentasi bahwa orang kafir satu ikatan, dan orang kafir merupakan

musuh Islam dan tidak boleh dijadikan Muwālah. Bahkan beliau

menambahkan, orang muslim dilarang menolong, meminta tolong,

berkawan, dan bergaul bersama mereka (orang kafir)87.

Keenam, Penafsiran QS: al-Māidah oleh Abī Hayyān, beliau

menjelaskan terkait sebab dilarang dikarenakan beda wilayah yaitu orang

86 Ibid, (Dār al-Fikr 1981) hlm 12, j 887‘Abdullah b. Ahmad b. Mahmūd al-Nasfī Abū al-Barkāt, Madārik al-Tanzīl Wa

Haqā‘iq al-Ta‘wīl, (Maktabah Nazār Mustafa al-Bāz 2013) Hlm 284, j 1

Page 74: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

61

kafir Muwālah terhadap orang mukmin. Maksudnya wilayah orang kafir

dibatasi dengan mencakupi wilayah kafir itu sendiri, seperti orang Nasrani

terhadap orang Nasrani, orang Yahudi wilayahnya bersama orang Yahudi

bukan sebaliknya. Sehingga dhomīr pada kata م ھ ض ع ب , kembali kepada

Yahudi Nasrani, sehingga Yahudi juga tidak bisa masuk ke wilayah

(kepemimpinan) Nasrani melainkan sejenisnya begitupun sebaliknya88.

Dari penafsiran beliau tidak ditemukan ‘Illat pengkhianatan justru sebab di

larang karena berbeda wilayah (jenis) kekafiran merekalah yang

menyebabkan terpisahnya wilyah sehingga tidak bisa masuk dalam ranah

Muwālah Muslim.

Ketujuh, penafsiran QS: al-Māidah oleh Imam al-Marāghī, beliau

menjelaskan sebab larangan Muwāah al-Kuffar yaitu:

ار ص ن أ مھ ض ع ب ي ار ص الن , و ض ع ب ار ص ن أ م ھ ض ع ب د و ھ ی ال ن إ ي أ )ض ع ب اء ی ل و أ م ھ ض ع (ب

ل و س الر ه د ق ا ع ا م و ض ق ن د ق د و ھ ی ال ان ا ك ذ , إ ي ھ لن ل ب ب الس و ة ل ع ال ك ة ار ب ع ال ه ذ ھ , و ض ع ب

ن م و ل و س ر ل ا ل ی ر ح ع ی م ج ال ار ص ف ان و د ع ال و ال ت ق ب م ھ أ د ب ی ن أ ر ی غ ن م د ھ ع ال ن م م ھ ع م

ن ی ن م ؤ م ال ن م ھ ع م

Penjelasan beliau, sebab dilarangnya orang muslim bermuwalah

dengan orang kafir adalah berbedanya keyakinan (wilayah) sama dengan

penjelasannya Abī hayyan. Tetapi beliau menambahkan semua

permasalahan ini terjadi karena keingkaran dari orang Yahudi dengan janji

yang Rasulullah buat. Mereka (Yahudi) yang memulai dengan peperangan

88Muhammad b. Yūsuf b. ‘Alī b. Yūsuf b. Hayyān al-Syahīr Bi Abī Hayyān Atsīr al-Dīn,Tafsīr al-Bahr al-Muhīt, (Dār al-Kitab al-‘Alamiyah 2008) hlm 519, j 3

Page 75: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

62

dan permusuhan. Jika itu tidak terjadi pasti semuanya hidup dengan

penyesuaian dengan orang Mukmin89. Penjelasan beliau tidak sama sekali

menyebutkan sebab larangannya karena pengkhianatan.

Kedelapan, penafsiran QS: Alī ‘Imrān oleh Ibn ‘Asyūr yaitu:

ي ف ي أ ن ی ن م ؤ م ال ن ی د اع ب ي: م ن ع م ال . و ة ی ف ر ظ ال د ی ك أ ت " ل ن ) "م ن ی ن م ؤ م ال ن و د ن (م ھ ل و ق و

ن و د اء ی ل و أ ن ی ر اف ك ال اذ خ ت إ ھ ن ي ع ھ ن م ال ن و ك ی , ف ر اھ الظ ب س ح ب ي ھ ن ل ل د ی ی ق ت و ھ , و ة ی ال و ال

ي ف ن و ك ا ی م د ن ع ك ل ذ , و ن ی ن م ؤ م ال ھ ت ی ال ي و اف ن ي ت ت ال ار ف الك ن م ؤ م ال ة ی ال و ي , أ ن ی ن م ؤ م ال

.از ر ت ح ال ل ن و ك ت ن أ د و ی ق ال ل ص أ , و ن ی ن م ؤ م ال ب ار ر ض إ ن ی ر اف ك ي ال ل و ت

Penafsiran beliau, larangan bermuwālah disebabkan berbedanya

wilayah, sama dijelaskan penafsiran sebelumnya. Dan beliau

menambahkan, pada teks di atas memberikan frase, bahwa larangan

menjadikan orang kafir sebagai ‘Auliya’ itu berlaku juga pada saat tindakan

yang memberikan mudharat (efek negative) pada umat Muslim90.

Dari beberapa pandangan penafsiran ‘Ulama bisa disimpulkan,

Ulama menafsirkan pada QS: al-Nisā 139, QS: al-Māidah 51, QS: al-

Mumtahanah 1 yaitu perbedaan wilyah (keyakinan), karena kewilayahan

berpengaruh kepada sesamanya, speerti wilayah Yahudi dengan Yahudi,

wilayah Nasrani dengan Nasrani dan wilayah Islam dengan Islam sehingga

tidak ada celas untuk memasuki wilayah lain, dan tidak ditemukan pada

penafsiran ayat tersebut ‘Illatnya berkhianat.

89Ahmad Musthafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (Syurkah Maktabah wa Matba’ahMustafa al-Bābī al-Halbī wa Awlādih bi misr 2010) Hlm 136, j 6

90Muhammad al-Tāhir b. Muhammad b. Muhammad al-Tāhir b. ‘Asyūr al-Tūnisī, al-Tahrīr wa Tanwīr (Tahrīr al-Ma’na al-Sadīd wa Tanwīr al-‘Aql al-Jadīd min Tafsīr al-Kitāb al-Majīd), (al-Dār al-Tūnisyah lilnasyr-Tunis 2010) Hlm 217, j 3

Page 76: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

63

Pendapat yang kedua, dari hasil penelitian penulis, ‘Illat (causa legis)

larangan orang kafir sebagai ‘auliya, yaitu orang kafir berstatus sebagai Auliyā’

bagi sesamanya (wilayah). Di sini penulis mengambil beberapa referensi sebagai

penguat argumentasi dari hasil peneliti yaitu Pada penafsiran Imam Baidhāwī

sebelumnya, ketika menetapkan suatu ‘Illat maka perlulah menggunakan metode

‘Illat. Kemudia penulis juga menelusuri dengan menggunakan teori ‘Illat Wahbah

al-Zuhaili, yaitu al-Wasf al-Zhāhir (sifat yang jelas), ketika status kafir dikaji

sekian rupa, maka dapat ditemukan titik tujuan, yaitu bisa terdeteksi oleh panca

indera. Sebab, bisa dilihat bahwa orang kafir berteman setia, suka tolong-

menolong dan bersekutu bersama mereka (kafir), seperti halnya Islam sesame

Islam.

Agar bisa dipahami dengan baik penulis memberikan contoh agar mudah

dipahami, pertama Kafir sebagai Mahal al-Hukm, kedua Haram sebagai hukum

syar’i, ketiga status kafir sebagai ‘Illat dari larangan muwalah al-Kuffār.

Dalam Masālik ‘Illat, Prof Nadir menggunakan jalan Istinbāt, yang di ambil

dari argumentasi ‘Aqliyyah. Cara yang digunakan beliau merupakan asumsi yang

bisa dibantah, disebabkan sifat yang tidak mutlaq di dalam emnggunakan dalil

aqliyyah. Sehingga penulis bisa membantah selagi cara yang digunakan adalah

bersifat Wahmun (asumtif).

Kemudian penulis mengambil rujukan untuk memperkuat dari argumentasi

di atas dengan mengambil penafsiran seperti, seperti Imam al-Rāzī, Imam al-

Baidhāwi, Imam al-Zamakhsarī, Imam Abū Hayyān, Ibn ‘Asyūr, dan lainnya,

mereka menjelaskan ‘Illat larangan orang kafir menjadi Auliyā’ karena perbedaan

Page 77: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

64

di dalam agama (wilyah), sehingga perbedaan inilah yang menjadikan benteng

pemisah sebagai Auliyā’. Pada prinsipnya, Auliyā’ yang diartikan loyalitas, teman

akrab, sekutu, tolong-menolong, atau pemimpin, semua ini berpihak kepada

sesama. Orang Yahudi bersama kelompok Yahudi, baik itu pemimpin, sekutu dan

lainnya. Orang Nasrani berpihak kepada Nasrani karena sesama wilyahnya, pun

orang Islam bersama orang Islam di dalam aspek ‘Auliyā’.

Jadi ‘Illat larangan Muwalah al-Kufffar, hanya bisa terjadi apabila orang

Non-Muslim memasuki wilayah Muslim dalam kepemimpinan, dikarenakan ‘Illat

(sebab) Non-Muslim hanya bisa berwilayah (‘Auliyā’) pada sesama meraka dan

menjadi status pada kelompok mereka (Yahudi-Nasrani).

Kemudia Imam al-Maraghi menambahkan, Kenapa ini semua terjadi?

Apakah Allah SWT yang memberikan larangan terlebih dahulu?, ataukah orang

Muslim mengajak bermusuhan? ini dijelaskan oleh Imam al-Marāghi, karena

mereka (kafir) yang memulai, yaitu dengan peperangan dan permusuhan,

merekalah yang mengingkari perjanjian Nabi. Kalaupun itu tidak terjadi, pastilah

semua umat manusia memiliki penyesuai hidup sesama mereka91.

91 Ahmad Musthafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (Syurkah Maktabah wa Matba’ahMustafa al-Bābī al-Halbī wa Awlādih bi misr 2010) Hlm 136, j 6

Page 78: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

65

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, bisa diambil kesimpulan diantaranya:

‘Illat (sebab) Muwālah al-Kuffar (pemimpin kafir) yang sebenarnya

adalah kekafiran mereka sendiri. Apabila dilakukan peneletian dengan pendekatan

Masālik (metode) kafir memenuhi syarat-syarat ‘illat, dan merujuk kepada

penafsiran ulama konservatif, pernyataan mereka bahwa pelarangannya

disebabkan berbeda akidah (keyakinan) sehingga kepemimpinan kafir dilakukan

kepada kelompok mereka sendiri bukan untuk kelompok muslim.

Mereka berpendapat khianat sebagai ‘Illat Muwāah al-Kuffār,

beargumentasi dengan Asbāb al-Nuzūl, konteks ayat ini terjadi di saat peperangan

Nabi Muhammad SAW, ada seorang prajurit dari kalangan sahabat yang

berkhianat, yang hendak membocorkan rencana Nabi. Kemudian khianat

dijadikan landasan mereka illat pelarangan Muwalah al-Kuffār. Tetapi konteks

ayat ini tidak bisa digunakan untuk sekarang, karena Ulama Tafsir ketika

menafsirkan maksud dan tujuan ayat-ayat dengan melihat konteks keadaan

mufassir, sehingga ‘illat yang di zaman Nabi juga tidak bisa dipakai pada keadaan

sekarang, karena perbedaan konteks. Kemudian berkhianat di dalam literatur

Ushūl Fiqh, ketika dibahas dalam disiplin ilmu‘Illat, berkhianat tidak memenuhi

syarat dalam menetapkan ‘Illat. Sehingga landasan mereka yang menyatakan

berkhianat sebagai ‘Illat larangan Muwālah al-Kuffār itu salah.

Page 79: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

66

B. Saran

1. Penelitian yang penulis lakukan masih dikategorikan belum maksimal,

dikarenakan penafsiran ayat tentang ‘Illat (sebab) larangan Muwālah al-

Kuffār (kepemimpinan kafir) hanya difokuskan pada tiga ayat saja. Saran

penulis, ada penelitian lanjutan yang lebih berkembang.

2. Mahasiswa Ilmu al-Qur’an masih sedikit sekali menggunakan metode

Maqāṣid al-Syarī’ah dalam penulisan skripsi. Minimal Mahasiswa/i

mempelajari, sehingga memiliki pegangan untuk penulisan dengan metode

yang jarang digunakan.

Page 80: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

67

DAFTAR PUSTKA

‘Abdullah b. Ahmad b. Mahmūd al-Nasfī Abū al-Barkāt, Madārik al-Tanzīl WaHaqā‘iq al-Ta‘wīl, (Maktabah Nazār Mustafa al-Bāz 2013)

Abī ‘Abdillah Muhammad b. Ahmad b. Abī Bakr al-Qurtubī, al-Jāmi’ Li Ahkāmal-Qur’an Wa Mubayyin Lima Tadammanahu min al-Sunnah Waāyi al-Furqān, Dār al-Kitāb al-Mishriyyah-al-Qāhirah 1964 M)

Abī al-Qāsim Mahmud b. ‘Umar al-Zamakhsyari, al-Kassyāf ‘An Haqā’iqGhawāmid al-Tanzīl Wa’uyun al-Aqāwīl Fī Wujūh al-Ta’wīl, (Maktabahal-‘Abīkan 1998

Abū ‘Abdillah Syamsuddīn Muhammad b. Muhammad b. Muhammad al-Ma’rūfbi Ibn Amīr Hāj Ibn al-Mauqut al-Hanafī, al-Taqrīr wa al-Tahbīr, Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah 2010)

Abū Zakariya Muhyiidin Yahya b. Syarif al-Nawawī, Tahdzīb al-Asmā’ wa al-Lughāt, (Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, Bairut-Libanān)

Ahmad b. Fāris b. Zakariyā Abū Husain, Mu’jam Maqāyīs al-Lughah ( MufahrisFihrasah Kāmilah 2009)

Ahmad b. Muhammad b. ‘Alī al-Fayōmī, Misbah al-Munīr Fī Gharīb al-Syarh al-Kabīr, (Maktabah al-‘Alamiyah-Bairut 2009)

Ahmad Musthafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (Syurkah Maktabah waMatba’ah Mustafa al-Bābī al-Halbī wa Awlādih bi misr 2010)

Ahmad al-Raisūnī, Nadhīrah al-Maqāshid ‘Inda al-Imam al-Syātibī,(al-Dār al-‘Ālamiyyah li al-Kitāb ak-Islāmiyah 1992)

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2008)

‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqih, Kajian Ushul Fiqih Mudah dan Praktis,(Penterjemah Yasin al-Siba’i, Pustala Thariqul Izzah:Bogor, 2011)

Audah, Jaser, Fiqh al-Maqasid Inatah al-Ahkam asy-Syar’iyyah biMaqasidiha, (Virginia, al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 2006)

Ardiansyah, Pengantar Penerjemah, dalam Badi al-Sayyid al-Lahham, SheikhProf. Dr. Wahbah al-Zuḥailī: Ulama Karismatik Kontemporer – sebuahBiografi (Citapustaka Media Perintis: Bandung, 2010)

https://www.suduthukum.com/2016/03/biografi-wahbah-zuhaili.html

Page 81: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

68

http://www.nu.or.id/post/read/61511/warisan-syekh-wahbah-zuhaili

http://nadirhosen.net/tsaqofah/tarikh/254-logika-dan-illat-hukum

http://nadirhosen.net/tsaqofah/tafsir/tafsir-al-mumtahanah-larangan-ber-muwalatul-kuffar

https://id.wikipedia.org/wiki/Nadirsyah_Hosen

Imām Abū Hāmid Muhammad b. Muhmmad al-Ghazālī, al-Mustaṣfa min ‘Ilmi al-Ushūl, (Dār al-Kitāb al-‘Alamiyyah 2010)

Imam al-Jalīl al-Hafidz ‘Imād al-Dīn Abī al-Fidā’Ismā’il b. Katsīr al-dimasqiTafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm, ([Dār al-Kitab al-‘Alamiyah 1419H)

Imam Muhammad al-Rāzī Fakhruddīn Ibn al-‘Allām Dhiya’ al-Dīn, Tafsir Fakhral-Rāzī al-Musytahir bi al-Tasir al-Kabīr Mafātih al-Ghaib, (Dār al-Fikr1981)

Kementria Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, (Lentera Abadi, Jakarta 2010)

Lisa Rahayu, Makna Qaulan dalam al-Qur’an; Tinjauan Tafsir Tematik MenurutWahbah al-Zuhailī (Skripsi Sarjana, Fakutas Ushuluddin Univesitas UINSUSKSA Riau, Pekanbaru, 2010)

Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabī)

Muhammad b. ‘Alī b. Muhammad b. ‘Abdullah al-Syaukānī al-Yamanī, Irsyād al-Fuhūl ila Tahqīq al-Haq min ‘Ilmi al-Ushūl, (Dār al-Kitab al-‘Arabī 1999)

Muhammad b. Yūsuf b. ‘Alī b. Yūsuf b. Hayyān al-Syahīr Bi Abī Hayyān Atsīral-Dīn, Tafsīr al-Bahr al-Muhīt, (Dār al-Kitab al-‘Alamiyah 2008)

Muhammad Khoiruddin, Kumpulan Biografi Ulama Kontemporer (Pustaka Ilmu:Bandung, 2003)

Muhammad b. Ya’qūb al-Fairūz Ābādī majd al-Dīn, al-Qāmūs al-Muhīt(Muassasah al-Risālah 2009)

Mu’jam al-Lughāh al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Wasīth, (Maktabah al-Syurūq al-Dauliyah 2004)

Muhammad b. Muslih al-Dīn Musthafa al-Qujawī al-Hanafī ‘Ala Tafsīr al-Qādīal-Baidāwī, Khāsyiah Muhyiddīn Syaikh Zādah, (Dār al-Kitab al-‘Alamiyah-Bairut 1999),

Page 82: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

69

Muhammad al-Tāhir b. Muhammad b. Muhammad al-Tāhir b. ‘Asyūr al-Tūnisī,al-Tahrīr wa Tanwīr (Tahrīr al-Ma’na al-Sadīd wa Tanwīr al-‘Aql al-Jadīd min Tafsīr al-Kitāb al-Majīd), (al-Dār al-Tūnisyah lilnasyr-Tunis2010)

Nadirsyah Hosen, Tafsir al-Qur’an di Medsos: Mengaji Makna dan Rahasia AyatSuci di Era Sosial, ( Bunyan 2017)

Nāsir al-Dīn Abī al-Khair ‘Abdullah b. ‘Umar b. Muhammad al-Syairāzī al-Syāfi’ī al-Baidhāwī, Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl al-Ma’rūf Tafsīral-Baidhāwī, ( Dār Ihyā’ al-Turās al-‘Arabī-Bairūt)

Al-Nawawī, Tahdzīb al-Asmā’ wa al-Lughāt (al-Qāhirah, Taswīr Dār al-kitab al-‘Alamiyah, Bairut 2008)

Ridzwan Bin Ahmad, “Permasalahan Ta’lil al-Ahkam Sebagai Asas PenerimaanMaqashid al-Shari’ah Menurut Ulama Usul, (dalam Jurnal Fiqh.No. 52008),

Sa’id Hawwa (1409H), al-Asās Fī al-Tafsīr, (Dār al-Salām-al-Qāhirah 23-Maret-2016)

Sayyid Muhammad „alī Ayāzi, Al-Mufassirun Ḥayātuhum wa Manāhijuhum(Teheran: Wizānah al-Thaqāfah wa al-Inshāq al-Islām, 1993)

Shaufi Hasan Ibnu Thalib, Tathbiq al-Syariah al-Islamiyah fii al-Bilad al-Arabiyah, (Dar al Nadhah al-Arabiyah, 1995)

Syaifuddin Abi al-Hasan Ali bin Abi Ali Ibnu Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fiUshul alAhkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1404 H)

Taqī al-Dīn Abū al-Hasan ‘Alī b. ‘Abd al-Kāfī b. ‘Alī b. Tamām b. Hāmid b.Yahya al-Subkī, al-Ibhāj fī Syarh al-Minhāj al-Wusūl ila Ilm al-Ushūl lilQādī al-Baidhāwī, ( Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah-Bairut 2010)

Totok Jumantoro dan Samsul, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (penerbit: AMZAH,2005)

Wahbah al-Zuhailī, Maushū’ah Qadāyā Islāmiyah Mu’āshirah (Dār al-MaktabīDamasq)

Wahbah al-Zuhailī, al-Ushūl al-‘Ammāh liwahdah al-Dīn al-Hak (Dār al-Fikr:Damasq)

Wahbah Zuhaili, Uṣūl Fiqh Islāmī , (Dar al Fikr: Damaskus, 1986)

Page 83: ‘Illat Larangan Muwālah Al-Kuffār Perspektif Wahbah Al ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42199/2/DAYU... · kata pada fiil madhi. 3 Ahmad b. Fāris b. Zakariyā

70

Wahbah al-Zuḥailī, Al-Tafsīr al-Munīr fī al- ‘Aqīdah wa al-Sharī’ah wa al-Manhaj (Dār al-Fikr: Damaskus, 1998)

Wahbah al-Zuhailī, al-Wajīz Fī Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, (Dār al-Khair li Tabā’ahwa al-Nasyar wa al-Tauzī’ Damasq-Suriyā)

Zainuddīn Abū ‘Abdillah Muhammad b. Abī Bakr b. Abd al-Qādir al-Hanafī al-Rāzī, Mukhtar al-Shahāh (Maktabah ‘Ashriyyah, Bairūt 1999)

Zakariyya b. Muhammad b. Ahmad b. Zakariyya al-Anṣārī Zainuddīn Abū Yahyaal-Sanīkī, Gāyah al-Wuṣul fī Syarh Lub al-Ushūl, Dār al-Kitab al-‘Arabiyyah al-Kubra-Mesir)