BAB II Tgas Pak Sudung

42
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi dan Fisiologi Anatomi dan fisiologi pernafasan system pernafasan dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Anatomi sistem pernafasan a. Hidung Merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu yang masuk ke dalam hidung ( Syaifuddin,2009)

description

tugas IKM

Transcript of BAB II Tgas Pak Sudung

Page 1: BAB II Tgas Pak Sudung

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi

Anatomi dan fisiologi pernafasan system pernafasan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Anatomi sistem pernafasan

a. Hidung

Merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh

sekat hidung (septum nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring

udara, debu yang masuk ke dalam hidung ( Syaifuddin,2009)

b. Sinus paranasalis

Sinus paranasalis rongga dalam tengkorak yang terletak di dekat hidung dan mata.terdapat empat

sinus yaitu: sinus frontalis, etmoidalis, sfenoidalis, dan maksilaris

c. Faring

Page 2: BAB II Tgas Pak Sudung

Faring atau tenggorok adalah rongga yang menghubungkan antara hidung dan rongga mulut ke

laring. Faring dibagi menjadi dalam tiga area,yaitu nasofaring,orofaring dan hipofaring

d. Laring

Merupakan unit organ terakhir pada jalan nafas atas. Laring juga disebut kotak suara karena pita

suara terdapat di sini. Terdapat juga kartilago tiroid yang merupakan kartilago terbesar pada

faring

e. Trakea

Trakea atau batang tenggorok merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16-20 cincin

yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti kuku kuda. Sebelah dalam diliputi

oleh selaput lender yang berbulu getar yang disebut sel bersilia

f. Bronkus

Bronkus merupakan lanjutan dari trakea terletak pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V.

bronkus mempunyai struktur yang sama dengan trakea dan terletak mengarah ke paru-paru

Page 3: BAB II Tgas Pak Sudung

2. Fisiologi sistem pernapasan

Bernafas adalah proses keluar masuknya udara ke dalam dan keluar paru. Proseses bernafas

diawali dengan memasukan udara ke dalam rongga paru untuk kemudian diedarkan ke dalam

sirkulasi serta pengeluaran zat sisa (CO2) dari sirkulasi menuju keluar tubuh melalui paru.

a. Ventilasi

Ventilasi adalah proses pergerakan udara masuk dan keluar paru.ventilasi terdiri dari dua tahap

yaitu,inspirasi dan ekspirasi

b. Difusi gas

Difusi adalah proses ketika terjadi pertukaran oksigen dan karbon dioksida pada tempat

pertemuan udarah – darah.

c. Tranportasi gas

Bagian ketiga dari proses pernapasan adalah transportasi gas (oksigen dan karbon dioksida ) dari

paru menuju ke sirkulasi tubuh.

B. Definisi

Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang dihubungkan

dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversibel dan gejala pernapasan.1

Asma bronkial adalah salah satu penyakit paru yang termasuk dalam kelompok penyakit

paru alergi dan imunologi yang merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap

reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan

dengan manifestasi berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan yang

menyeluruh dari saluran napas. Penyempitan ini bersifat dinamis dan derajat penyempitan

dapat berubah, baik secara spontan maupun karena pemberian obat.2

C. Epidemiologi

Asma dapat ditemukan pada laki – laki dan perempuan di segala usia, terutama

pada usia dini. Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan

pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa.

Page 4: BAB II Tgas Pak Sudung

Laki-laki lebih memungkinkan mengalami penurunan gejala di akhir usia remaja

dibandingkan dengan perempuan.3

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah

penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini

akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.4

Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood

(ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma

meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari

seluruh penduduk Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia.5

Penelitian yang dilakukan oleh Anggia D pada tahun 2005 di RSUD Arifin

Achmad Pekanbaru didapatkan kelompok umur terbanyak yang menderita asma adalah

25 – 34 tahun sebanyak 17 orang (24,29%) dari 70 orang, dan perempuan lebih banyak

dari pada laki – laki (52,86%). 6

D. Faktor Resiko

Faktor resiko asma dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

a. Atopi

Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum

diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi

biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya

bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial

jika terpajan dengan faktor pencetus.

b. Hiperreaktivitas bronkus

Saluran pernapasan sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen

maupun iritan.

c. Jenis Kelamin

Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1

dan pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita

usia dewasa.

d. Ras

e. Obesitas

Page 5: BAB II Tgas Pak Sudung

Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan

faktor resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi

fungsi saluran pernapasan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya

asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan

penderita obesitas dengan asma, dapat mempengaruhi gejala fungsi paru,

morbiditas dan status kesehatan.

E. Faktor Pencetus

Penelitian yang dilakukan oleh pakar di bidang penyakit asma sudah sedemikian

jauh, tetapi sampai sekarang belum menemukan penyebab yang pasti. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa saluran pernapasan penderita asma mempunyai sifat

sangat peka terhadap rangsangan dari luar yang erat kaitannya dengan proses inflamasi.

Proses inflamasi akan meningkat bila penderita terpajan oleh alergen tertentu.

Penyempitan saluran pernapasan pada penderita asma disebabkan oleh reaksi

inflamasi kronik yang didahului oleh faktor pencetus. Beberapa faktor pencetus yang

sering menjadi pencetus serangan asma adalah :

1. Faktor Lingkungan

a. Alergen dalam rumah

Contohnya seperti tungau debu rumah, spora jamur,kecoa, serpihan kulit

binatang seperti anjing, kucing,dan lain-lain

b. Alergen luar rumah

Serbuk sari, dan spora jamur

2. Faktor Lain

a. Alergen makanan

Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,

jeruk, bahan penyedap pengawet dan pewarna makanan

b. Alergen obat – obat tertentu

Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin,

tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain

c. Bahan yang mengiritasi

Page 6: BAB II Tgas Pak Sudung

Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.

d. Ekspresi emosi berlebih

Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga

dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma

yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami

stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah

pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih

sulit diobati.

e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif

Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok,

sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang

dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma

pada usia dini Polusi udara dari dalam dan luar ruangan

f. Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.

Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya

serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti:

musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan)

F. Klasifikasi

Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran

klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat

inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol

asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu

pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Dengan

adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut

berat-ringannya asma yang sangat penting dalam penatalaksanaannya.7

Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan

(akut)7 :

1. Asma saat tanpa serangan

Page 7: BAB II Tgas Pak Sudung

Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1)

Intermitten; 2) Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat (Tabel.1)

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa7

Page 8: BAB II Tgas Pak Sudung

2. Asma saat serangan

Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan

sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global

Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan

gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat

serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma

serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat. Perlu dibedakan

antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut). Sebagai contoh:

seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada

kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma

berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.

Tabel 2. Klasifikasi asma menurut derajat serangan7

Page 9: BAB II Tgas Pak Sudung

G. Patogenesis

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas dan disebabkan oleh

hiperreaktivitas saluran napas yang melibatkan beberapa sel inflamasi terutama sel mast,

eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel yang menyebabkan pelepasan

mediator seperti histamin dan leukotrin yang dapat mengaktivasi target saluran napas

sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema dan hipersekresi

mukus. Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks

melibatkan faktor genetik, antigen dan berbagai sel inflamasi, interaksi antara sel dan

mediator yang membentuk proses inflamasi kronik.8

Proses inflamasi kronik ini berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran

napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas, batuk terutama pada

malam hari. Hiperresponsivitas saluran napas adalah respon bronkus berlebihan yaitu

penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik dan non-spesifik.8

Asma : Inflamasi kronis Saluran Napas

Hiperreaktivitas

pemicu

Banyak Sel :Sel MastEosinofilNetrofilLimfosit

Melepas MEDIATOR :HistaminProstaglandin (PG)Leukotrien (L)Platelet Activating Factor (PAF), dll

Bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, edema saluran napas

Obstruksi difus saluran napas

BATUK, MENGI, SESAK

Page 10: BAB II Tgas Pak Sudung

Gambar 1. Patogenesis Asma9

Tabel 3. Mediator Sel Mast dan Pengaruhnya terhadap Asma10

Mediator Pengaruh terhadap asma

Histamin LTC4, D4,E4 Prostaglandin dan Thromboksan A2 Bradikinin Platelet-activating factor (PAF)

Kontruksi otot polos

Histamin LTC4, D4,E4 Prostaglandin dan Thromboksan E2 Bradikinin Platelet-activating factor (PAF)

Chymase Radikal oksigen

Udema mukosa

Histamin LTC4, D4,E4 Prostaglandin Hidroxyeicosatetraenoic acid

Sekresi mukus

Radikal oksigen Enzim proteolitik

Deskuamasi epitel bronkial

Page 11: BAB II Tgas Pak Sudung

Faktor inflamasi dan sitokin

H. Diagnosis

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani

dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik

awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan

batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma

didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis

asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada

sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus

udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat

membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi

paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan

menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu

penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat

mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang

Anamnesis

Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa batuk,

sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan

cuaca. Faktor – faktor yang mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya

riwayat alergi.11

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi

saluran napas. Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernapasan dan

denyut nadi juga meningkat, ekspirasi memanjang diserta ronki kering, mengi.11

Pemeriksaan Laboratorium

Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman,

kristal Charcot Leyden). 11

Pemeriksaan Penunjang

o Spirometri

Page 12: BAB II Tgas Pak Sudung

Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal

ventilasi paru. Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan

ciri khas asma dapat dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi paksa

detik pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20%

atau lebih sesudah pemberian bronkodilator.

o Uji Provokasi Bronkus

Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma.

Pada penderita dengan gejala sma dan faal paru normal sebaiknya

dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus

merupakan cara untuk membuktikan secara objektif hiperreaktivitas

saluran napas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiri

dari tiga jenis yaitu uji provokasi dengan beban kerja (exercise),

hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik seperti metakolin dan

histamin.

o Foto Toraks

Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit

lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi

saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma

yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan

adanya kelainan.

Page 13: BAB II Tgas Pak Sudung

Tabel 4. Diagnosis Asma12

Page 14: BAB II Tgas Pak Sudung

I. Diagnosis Banding

a. Bronkitis kronik

Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum

3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Gejala utama batuk yang disertai

sputum dan perokok berat. Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama kelamaan

disertai mengi dan menurunkan kemampuan jasmani.

b. Emfisema paru

Sesak napas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan

mengi jarang menyertainya.

c. Gagal jantung kiri

Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan timbul pada

malam hari disebut paroxysmal nocturnal dispnea. Penderita tiba-tiba terbangun

pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila

duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.

d. Emboli paru

Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung.

Disamping gejala sesak napas, pasien batuk dengan disertai darah (haemoptoe).

J. Penatalaksanaan

Konsep Baru Pengobatan Awal – Penilaian Derajat.

Banyak penderita asma tidak diobati menurut pedoman mutakhir, menimbulkan

asma tidak terkontrol dan merupakan beban bagi penderita, keluarga serta seluruh sistem

perawatan kesehatan. Pemantauan dan penilaian secara terus menerus penting untuk

keberhasilan penanganan klinis. Menurut konsep baru, penanganan asma dibuat dalam 3

golongan umur yaitu 0-4 tahun, 4-12 tahun dan diatas 12 tahun, serta menggunakan 2

domain dalam evaluasi derajat berat dan kontrol asma, yaitu gangguan dan risiko. Bila

diagnosis asma sudah ditegakkan, setiap penderita dilakukan penilaian derajat berat asma,

Derajat berat adalah intensitas intrinsik proses penyakit yang diukur praterapi, dan dapat

Page 15: BAB II Tgas Pak Sudung

memberikan informasi kepada dokter untuk mengembangkan rencana pengobatan awal.

Pengobatan awal diberikan sesuai dengan regimen (tahap) pengobatan.

Pencegahan

A. Mencegah Sensititasi

Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya atopi,

diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya asma

pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan dengan asap rokok, baik in

utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan

asma. Hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun bayi kearah Th1, respons

nonalergi atau modulasi sel T regulator masih merupakan hipotesis.

B. Mencegah Eksaserbasi

Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai factor (trigger) seperti alergen

(indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa dan jamur, alergen outdoor

seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita

dengan beberapa factor seperti menghentikan rokok, menghindari asap rokok, lingkungan

kerja, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki control asma serta keperluan

obat.

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan

kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan

aktiviti sehari-hari.13

 Tujuan penatalaksanaan asma13:

Page 16: BAB II Tgas Pak Sudung

a. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

b. Mencegah eksaserbasi akut

c. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

d. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise

e. Menghindari efek samping obat

f. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel

g. Mencegah kematian karena asma

Ciri-ciri asma terkontrol:

1. Tanpa gejala harian atau d” 2x/minggu

2. Tanpa keterbatasan aktivitas harian

3. Tanpa gejala asma malam

4. Tanpa pengobatan pelega atau d” 2x/minggu

5. Fungsi paru normal atau hampir normal

6. Tanpa eksaserbasi

Ciri-ciri asma tidak terkontrol

1. Asma malam (terbangun malam hari karena gejala asma)

2. Kunjungan ke gawat darurat, karena serangan akut

3. Kebutuhan obat pelega meningkat

.

Pengendalian asma bertujuan

Page 17: BAB II Tgas Pak Sudung

1. Meningkatkan kemandirian pasien dalam upaya pencegahan asma

2. Menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang terpajan faktor risiko asma

3. Terlaksananya deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko asma

4. Terlaksananya penegakan diagnosis dan tatalaksana pasien asma sesuai

standar/kriteria

5. Menurunnya angka kesakitan akibat asma

6. Menurunnya angka kematian akibat asma

Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma

terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan.13

Penatalaksanaan asma bronkial terdiri dari pengobatan non-medikamentosa dan

pengobatan medikamentosa :

Pengobatan non-medikamentosa

Penyuluhan

Menghindari faktor pencetus

Pengendali emosi

Pemakaian oksigen

Pengobatan medikamentosa

Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan

napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.13

Pengontrol (Controllers)

Page 18: BAB II Tgas Pak Sudung

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,

diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada

asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :

Kortikosteroid inhalasi Kortikosteroid sistemik Sodium kromoglikat Nedokromil sodium Metilsantin Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi Agonis beta-2 kerja lama, oral Leukotrien modifiers Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1) Lain-lain

 

Glukokortikosteroid inhalasi

Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.

Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan

hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan

dan memperbaiki kualitas hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma

persisten (ringan sampai berat).

Tabel 5. Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi13

Dewasa Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi

Obat

Beklometason dipropionat

Budesonid

Flunisolid

Flutikason

Triamsinolon asetonid

 

200-500 ug

200-400 ug

500-1000 ug

100-250 ug

400-1000 ug

 

500-1000 ug

400-800 ug

1000-2000 ug

250-500 ug

1000-2000 ug

 

>1000 ug

>800 ug

>2000 ug

>500 ug

>2000 ug

Anak Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi

Obat      

Page 19: BAB II Tgas Pak Sudung

Beklometason dipropionat

Budesonid

Flunisolid

Flutikason

Triamsinolon asetonid

100-400 ug

100-200 ug

500-750 ug

100-200 ug

400-800 ug

400-800 ug

200-400 ug

1000-1250 ug

200-500 ug

800-1200 ug

>800 ug

>400 ug

>1250 ug

>500 ug

>1200 ug

 

 

 Glukokortikosteroid sistemik

Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu diingat indeks terapi

(efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral

jangka panjang.

 Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)

Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten

ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini

bermanfaat atau tidak.

Metilsantin

Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti

antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat

pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol

gejala dan memperbaiki faal paru.

  Agonis beta-2 kerja lama

Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan

formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-

2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,

Page 20: BAB II Tgas Pak Sudung

menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel

mast dan basofil.

Tabel 6. Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-213

Onset Durasi (Lama kerja)

  Singkat Lama

Cepat Fenoterol

Prokaterol

Salbutamol/ Albuterol

Terbutalin

Pirbuterol

Formoterol

Lambat   Salmeterol

 

  Leukotriene modifiers

Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.

Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan

bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat

bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah

preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang beredar

di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).

 Pelega (Reliever)

Page 21: BAB II Tgas Pak Sudung

Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki

dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa

berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan

hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega adalah 13:

Agonis beta2 kerja singkat

Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma

Kortikosteroid sistemik . (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila

penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,

penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).

Antikolinergik

Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.

Aminofillin

Adrenalin

Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat. Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).

Metilsantin

Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah

dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat.

Page 22: BAB II Tgas Pak Sudung

Cara pemberian pengobatan

Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan

parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian pengobatan

langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah 13:

lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas

efek sistemik minimal atau dihindarkan

beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi

pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator

adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral

Tabel 7. Pengobatan sesuai berat asma 13

Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.

Berat Asma Medikasi pengontrol

harian

Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain

Asma Intermiten Tidak perlu -------- -------Asma Persisten Ringan

Glukokortikosteroid inhalasi (200-400 ug

BD/hari atau ekivalennya)

h. Teofilin lepas lambat

i. Kromolin

j. Leukotriene modifiers

------

Asma Persisten Sedang

 

Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid

(400-800 ug BD/hari atau ekivalennya) dan

agonis beta-2 kerja lama

Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah Teofilin lepas lambat ,atau

Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau

Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) atau

Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers

Ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau

Ditambah teofilin lepas lambat

Page 23: BAB II Tgas Pak Sudung

Asma Persisten Berat

 

Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (> 800 ug BD atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama, ditambah ³ 1 di bawah ini:

teofilin lepas lambat

leukotriene modifiers

glukokortikosteroid oral

Prednisolon/ metilprednisolon oral selang sehari 10 mg

ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat

K. Komplikasi

Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :

1. Status asmatikus

2. Atelektasis

3. Hipoksemia

4. Pneumothoraks

5. Emfisema

L. Prognosis

Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir

menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang

berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka

kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan bahwa

angka kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih banyak, kalau serangan asma

diketahui dan dimulai sejak kanak – kanak dan mendapat pengawasan yang cukup kira-

Page 24: BAB II Tgas Pak Sudung

kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam pengawasan tersebut

kalau sering mengalami serangan common cold 29% akan mengalami serangan ulang.14

Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka kematiannya 2%,

sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan serangan terus menerus angka

kematiannya 9%.14

M. Peran Dokter Keluarga

1. Pendekatan Keluarga

Kegiatan terencana , terarah, untuk menggali, meningkatkan, mengarahkan peran

serta keluarga agar dapat memanfaatkan potensi atau sumber yang ada guna

menyembuhkan anggota keluarga dan menyelesaikan masalah kesehatan yang mereka

hadapi

Untuk melaksanakan tujuan tersebut, salah satu cara dapat dilakukan dengan

komunikasi, informasi, dan edukasi yang meliputi :

1. Penyuluhan bagi pasien dan keluarga tentang pencegahan dan penanggulangan

asma

2. Meningkatkan pengetahuan, motivasi, dan partisipasi pasien dalam pengendalian

asma

3. Untuk merubah sikap dan perilaku pasien dalam pengendalian asma

4. Meningkatkan kemandirian pasien dalam keterampilan penggunaan obat/alat

inhalasi

Pelaksanaan KIE tentang asma dan factor resikonya dapat dilakukan melalui

berbagai media penyuluhan seperti penyuluhan tatap muka, radio, televise dan

media elektronik lainnya , poster, leaflet, pamphlet, surat kabar, majalah dan

media cetak lainnya.15

Page 25: BAB II Tgas Pak Sudung

2. Ciri Pelayanan

Comprehensiveness, continuity, coordinative, prevention first, family consideration

dan community consideration

3. Tugas Dokter Keluarga

Menyelenggarakan pelayanan primer secara paripurna, menyeluruh dan

berkesinambungan yang berfungsi dalam penapisan untuk pelayanan spesialistik yang

diperlukan, mendiagnosis secara cepat dan tepat serta memberikan terapi secara cepat dan

tepat, meberikan pelayanan secara aktif kepada pasien pada saat sehat dan sakit,

memberikan pelayanan kepada individu dan keluarga , membina keluarga pasien untuk

berpatisipasi dalam upaya peningkatan taraf kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan

dan rehabilitasi, menangani penyakit akut dan kronik, melakukan tindakan tahap awal

kasus berat agar siap dikirim ke rumah sakit, tetap bertanggung jawab atas pasien yang

dirujuk ke dokter spesialis atau dirawat di RS, memantau pasien yang telah dirujuk atau

dikonsultasikan, bertindak sebagai mitra, penasihat dan konsultasi bagi pasiennya.

Mengkoordinasikan pelayanan yang diperlukan untuk kepentingan pasien,

menyelenggarakan rekam medis yang memenuhi standar, melakukan penelitian untuk

mengembangkan ilmu kedokteran secara umum dan ilmu kedokteran keluarga secara

khusus.

REASEARCH ASMA

Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah observasional analitik dengan metode potong

lintang (cross-sectional) yang dilaksanakan di Bagian

Page 26: BAB II Tgas Pak Sudung

Poliklinik Paru RSUP Dr.M.Djamil Padang dan RSUD

Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi. Waktu pelaksanaan

adalah bulan April 2013 hingga September 2013.

Populasi target dari penelitian ini adalah pasien

penderita penyakit asma. Populasi terjangkau dari

penelitian ini adalah pasien penyakit asma yang

berobat ke Poliklinik Paru di RSUP M.Djamil Padang

dan RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi. Kriteria

inklusi adalah responden yang telah didiagnosis asma

oleh dokter spesialis paru dan responden bersedia

dan mampu untuk menyelesaikan rangkaian

pengambilan data. Kriteria eksklusi adalah responden

dengan penyakit paru lain misalnya tuberkulosis paru,

pneumonia, kanker paru, emfisema, dan lain lain.

Sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan cara

consecutive sampling.

Tingkat pengetahuan asma pada pasien

dinilai melalui 31 pertanyaan di dalam kuesioner

mengenai etiologi, patofisiologi, medikasi, perkiraan

derajat asma serta manajemen gejala termasuk

meminimalisasi faktor pencetus dan aktivitas fisik.

Page 27: BAB II Tgas Pak Sudung

Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner Asthma

General Knowledge Questionnaire (AGKQ), kuesioner

ini pertama kali didemonstrasikan oleh Allen et al pada

tahun 1998 di Amerika Serikat. Kuesioner ini memiliki

konten dan validitas muka yang baik. AGKQ dapat

diandalkan di dalam proses pengujian pengetahuan

asma pada penelitian, sehingga kuesioner ini telah

terbukti menjadi alat penelitian yang berharga untuk

menentukan tingkat pengetahuan asma baik pada

intervensi pendidikan dan keadaan klinis. Hasil skor

didapatkan dari skor persentase dari jawaban yang

benar.11

Pada penelitian ini tingkat kontrol asma

dikategorikan menjadi dua kategori :

a. Rendah bila jawaban benar < 60%

b. Tinggi bila jawaban benar 60%

Tingkat kontrol asma dinilai melalui kuesioner

ACT (Asthma Control Test). Kuesioner ini berisi 5

pertanyaan dan masing masing pertanyaan

mempunyai skor 1 sampai 5, sehingga nilai terendah

Page 28: BAB II Tgas Pak Sudung

ACT adalah 5 dan tertinggi adalah 25.12

Pada penelitian ini tingkat kontrol asma

dikategorikan menjadi 3 kategori :

a. Tidak terkontrol : skor < 19

b. Terkontrol sebagian: skor 20 – 24

c. Terkontrol total : skor 25

Lembar kuesioner terdiri dari lembar

kuesioner data dasar, lembar kuesioner ACT, dan

lembar kuesioner AGKQ. Lembar kuesioner data

dasar berisi tentang karakteristik subjek penelitian

yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, tinggi

badan, berat badan, IMT, dan riwayat merokok.

Lembar kertas kuesioner ACT (Asthma

Control Test) dan lembar kertas kuesioner AGKQ yang

telah diterjamahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Sumber data yang akan digunakan pada penelitian ini

adalah sumber data primer. Data primer diperoleh dari

subjek pasien asma yang datang berobat ke Poliklinik

Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang dan RSUD Dr.

Achmad Mochtar Bukittinggi.

Page 29: BAB II Tgas Pak Sudung

Penandatanganan informed consent dan

wawancara untuk pengisian kuesioner dilakukan pada

pasien yang telah didiagnosis asma oleh dokter

spesialis paru di poliklinik paru RSUP Dr. M.Djamil

Padang dan RSUD Dr. Achmad Mochtar

Data yang terkumpul dari penelitian ini akan

dicatat dan diolah lebih lanjut untuk dilakukan uji

statistik dengan menggunakan program SPSS

(Statistical Package for Social Sciences) for Windows

versi 15. Analisis yang dilakukan secara univariat dan

bivariat. Analisis univariat akan menyajikan data dalam

bentuk tabel distribusi frekuensi sehingga terlihat

gambaran deskriptif dari variabel yang diteliti. Analisis

bivariat dilakukan dengan uji kemaknaan Chi Squre

untuk melihat hubungan antara dua variabel yaitu

variabel bebas dan terikat, bila tidak memenuhi syarat

digunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Jika terdapat

perbedaan bermakna (p<0,05) dan tidak ada

perbedaan bermakna (p>0,05).

Page 30: BAB II Tgas Pak Sudung

LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

1. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke - 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam FKUI. 2006. h 978 – 87.

2. Alsagaff H, Mukty A. Dasar - Dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi ke – 2. Surabaya :

Airlangga University Press. 2002. h 263 – 300.

3. Morris MJ. Asthma. [ updated 2011 June 13; cited 2011 June 29]. Available from :

http://emedicine.medscape.com/article/296301-overview#showall

4. Partridge MD. Examining The Unmet Need In Adults With Severe Asthma. Eur Respir

Rev 2007; 16: 104, 67–72

5. Dewan Asma Indonesia. You Can Control Your Asthma : ACT NOW!. Jakarta. 2009 May

4th. Available from:

http://indonesianasthmacouncil.org/index.php?

option=com_content&task=view&id=13&Itemid=5

6. Anggia D. Profil Penderita Asma Bronkial yang Dirawat Inap di Bagian Paru RSUD

Arifin Achmad Pekanbaru Periode Januari – Desember 2005. Pekanbaru : Fakultas

Kedokteran Universitas Riau. 2006.

7. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.

Jakarta. 3 Nopember 2008.

8. Rahmawati I, Yunus F, Wiyono WH. Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Jurnal Cermin

Kedokteran. 2003; 141. 5 – 6.

9. Widjaja A. Patogenesis Asma. Makalah Ilmiah Respirologi 2003. Surakarta : Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret. 2003. h 27.

10. Noorcahyati S. Pemantauan Kadar Imunoglobulin M (Igm) dan Imunoglobulin G (Igg)

Chlamydia pneumoniae pada Penderita Asma di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam

Malik Medan. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2002.

Page 31: BAB II Tgas Pak Sudung

11. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta

Kedokteran. Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. 2001. h 477 – 82.

12. Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran Indonesia.

Nopember 2008; 58(11), 444-51.

13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di

Indonesia. 2003. h 73-5

14. Mcfadden ER. Penyakit Asma. Dalam Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.

Isselbacher KJ et al, editor. Jakrta : EGC. 2000. 1311-18.

15. Cabana MD, Le TT, Arbor A. Challenges in asthma patient education.JACI.2005;115

(6):1225-7.