BAB II TEORI DASAR - · PDF fileProses produksi semen melibatkan penghalusan bahan –...
Transcript of BAB II TEORI DASAR - · PDF fileProses produksi semen melibatkan penghalusan bahan –...
BAB II
TEORI DASAR
Bab ini merupakan tinjauan pustaka yang mencakup dasar teori material beton
beserta komposisi dasar penyusun-penyusunnya, bahan tambah yang umum digunakan,
aspek kimia material beton, proses pengerjaan beton serta metoda karakterisasi.
2.1 Beton
Beton adalah material konstruksi yang terdiri dari agregat (umumnya berupa batu
dan pasir) yang diikat dengan pasta yang terbuat dari campuran antara semen dengan air.
Komponen penyusun beton yang secara umum terdiri dari semen, agregat, air dan bahan
tambah (admixture) bercampur menghasilkan suatu bentukan yang padat dan kuat. Ketika
dicampur dengan air, semen akan bereaksi dan membentuk pasta yang kemudian akan
mengeras dan mengikat agregat dalam campuran beton. Reaksi yang berlangsung antara
semen dengan air ini merupakan reaksi hidrasi. Secara umum, beton memiliki kekuatan
tekan yang tinggi tetapi kekuatan tariknya rendah. Dalam aplikasinya sebagai material
konstruksi, beton sering ditambahkan dengan bahan penguat, contohnya baja dan
polimer.
Komponen pembentuk beton dapat dibagi kedalam 4 bagian, yaitu :
• Semen.
• Air.
• Agregat.
• Bahan tambah (admixture).
2.1.1 Semen
Semen adalah suatu bahan pengikat yang terbuat dari campuran antara batu kapur
(limestone) dan lempung (clay) yang dihaluskan, dibakar, ditambahkan dengan gipsum
dan kemudian dihaluskan kembali sampai kehalusan tertentu. Semen dapat berfungsi
sebagai pengikat dalam campuran beton dengan cara bereaksi dengan air membentuk
pasta yang kemudian mengeras sekaligus mengikat agregat membentuk beton. Semen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah semen portland tipe I. Portland merupakan
4
nama yang dipakai Joseph Aspdin ketika pertama kali mempatenkan produk hasil
pembakaran campuran kapur (lime) dan lempung (clay) pada tahun 1824. Nama ini
diambil dari kemiripan warna antara semen yang dihasilkan dengan warna batu portland
(portland stone). Menurut ASTM C 150, semen portland didefenisikan sebagai “a
hydraulic cement produced by pulverizing clinker consisting essentially of hydraulic
calcium silicates, usually containing one or more of the forms of calcium sulfate as an
interground addition” atau dapat diartikan sebagai semen hidrolik yang dihasilkan dengan
menghaluskan klinker yang terdiri dari kalsium silikat hidrolik yang umumnya
mengandung satu atau lebih bentuk kalsium sulfat sebagai bahan tambahan yang digiling
bersama-sama dengan bahan utamanya.
Proses produksi semen melibatkan penghalusan bahan – bahan penyusunnya
seperti kapur (lime) dan lempung (clay), serta proses pembakaran campuran ini yang
dilanjutkan dengan penambahan gipsum dan penghalusan tahap akhir. Proses produksi
semen dapat dilihat dalam gambar di bawah ini:
Gambar 2.1 Proses produksi semen
5
Bahan baku pembuatan semen berupa kapur (lime) dan lempung (clay) digiling
atau dihaluskan terlebih dahulu menggunakan crusher. Setelah melalui proses
penimbangan (proportioning), bahan – bahan dasar ini kemudian dihaluskan lagi dan
ditambahkan dengan air membentuk larutan pekat yang disebut slurry. Proses
dilanjutkan dengan pembakaran menggunakan rotary mill menghasilkan klinker. Setelah
itu dilakukan penambahan gipsum dilanjutkan dengan proses penggilingan sampai
mencapai kehalusan atau ukuran semen yang ditentukan.
Semen portland memiliki komposisi kimia sebagai berikut :
Kandungan (%)
CaO 60 – 67
SiO2 17 – 25
Al2O3 3,0 – 8,0
Fe2O3 0,5 – 6,0
MgO 0,1 – 5,5
Na2O + K2O 0,5 – 1,3
SO3 1,0 – 3,0
Tabel 2.1 Kandungan oksida pada semen portland
Senyawa – senyawa utama yang terdapat di dalam semen portland antara lain :
C3S (tricalcium silicate – 3CaO.SiO2), C2S (dicalcium silicate – 2CaO.SiO2), C3A
(tricalcium aluminate – 3CaO.Al2O3) dan C4AF (tetracalcium aluminoferrite -
4CaO.Al2O3.Fe2O3). Komposisi senyawa – senyawa ini dapat dilihat pada tabel di bawah
ini :
Senyawa Kandungan (%)
C3S 45 – 65
C2S 10 – 25
C3A 7 – 12
C4AF 5 – 11
Tabel 2.2 Komposisi senyawa semen portland
6
Ketika dicampur dengan air, senyawa – senyawa tersebut di atas akan mengalami
reaksi hidrasi. C3S dan C2S adalah senyawa utama yang berkontribusi terhadap kekuatan
pasta hasil hidrasi semen. C3S bereaksi dengan cepat dengan air dan menyumbangkan
kekuatan awal beton sedangkan C2S bereaksi dengan lebih lambat dibandingkan C3S.
Berikut ini adalah beberapa karakteristik dasar senyawa – senyawa penyusun semen:
Senyawa C3S C2A C3A C4AF
Kecepatan reaksi dengan air sedang lambat cepat Sedang
Kontribusi terhadap kekuatan awal baik buruk baik baik
Kontribusi terhadap kekuatan akhir baik Sangat baik sedang sedang
Tabel 2.3 Karakteristik senyawa penyusun semen
Semen portland memiliki beberapa tipe yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Semen portland tipe I, semen untuk penggunaan secara umum, yang diterapkan
pada keadaan lingkungan biasa.
2. Semen portland tipe II, semen yang memiliki ketahanan terhadap serangan sulfat
yang cukup baik.
3. Semen portland tipe III, semen yang memiliki laju pengerasan awal yang tinggi,
digunakan untuk konstruksi yang membutuhkan kekerasan awal yang tinggi.
4. Semen portland tipe IV, semen yang memiliki panas hidrasi yang rendah.
5. Semen portland tipe V, semen yang memiliki ketahanan sulfat yang tinggi.
7
Gambaran kontribusi senyawa – senyawa penyusun semen terhadap kekuatan
beton dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Grafik 2.1 Kenaikan kekuatan berbanding waktu empat komponen kimia semen
portland
Dari gambar di atas terlihat bahwa C3S memiliki kontribusi yang paling besar
terhadap kekuatan beton di usia dini (di awal reaksi hidrasi).
Bentuk reaksi hidrasi senyawa pada semen adalah sebagai berikut :
i) 2C3S + 6H2O C3S2.3H2O + 3Ca(OH)2
Calcium silicate hydrate Calcium hydroxide
ii) 2C2S + 4H2O C3S2.3H2O + Ca(OH)2
iii) C3A + 6H2O C3A.6H2O (CAH)
Calcium aluminate hydrate
Hasil reaksi diatas berupa senyawa kalsium silikat hidrat (C3S2.3H2O/ CSH), yang
merupakan hasil utama reaksi hidrasi, dan senyawa kalsium hidroksida Ca(OH)2 yang
merupakan hasil samping yang memiliki ikatan yang lebih lemah dibandingkan CSH dan
CAH. Sedangkan rekasi C3A dengan air berlangsung sangat cepat, sehingga biasanya
dapat dicegah dengan menambahkan gypsum pada klinker semen.
Reaksi-reaksi hidrasi lain yang dapat terjadi dalam campuran beton adalah
sebagai berikut :
Ca(OH)2 + [SiO2, Al3O3] C3S2H3, C3AH6
(senyawa bahan tambahan)
8
C3A + 3(CaSO4. 2H2O) + 20 H2O C6AS3H32
gypsum ettringite
2.1.2 Agregat
Menurut ASTM C 125, agregat dapat didefenisikan sebagai ”granular material,
such as sand, gravel, crushed stone, or iron blast-furnace slag, used with a cementing
medium to form hydraulic-cement concrete or mortar” atau dapat diartikan sebagai
material dengan bentuk granular seperti pasir, batu pecahan, atau slag hasil pelelehan
besi, yang dicampurkan dengan media sementisius membentuk beton semen hidrolik atau
mortar.
Berdasarkan ukurannya, agregat yang dipakai sebagai bahan campuran beton
dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu agregat kasar dan agegat halus. Agregat kasar
adalah agregat yang ukuran butirnya lebih besar dari 4,75 mm sedangkan agegat halus
adalah agregat yang berukuran lebih kecil dari 4,75 mm.
Pada campuran beton, agregat dapat mengisi 60 – 80 % dari volume beton. Untuk
mendapatkan beton dengan sifat – sifat mekanik yang baik, agregat yang digunakan harus
memiliki gradasi yang baik. Selain itu, agregat juga harus memiliki kekuatan yang tinggi,
serta memiliki ukuran dan bentuk partikel yang sesuai. Bentuk partikel agregat akan
mempengaruhi luas permukaan spesifik (specific surface), yaitu luas permukaan per
satuan berat agregat. Agregat dengan bentuk spherical (bulat) akan memiliki luas
permukaan spesifik yang lebih kecil dibandingkan agregat dengan bentuk pelat atau
serpih dengan berat yang sama. Luas permukaan spesifik mempengaruhi besarnya
kebutuhan air dalam campuran beton karena dalam proses pencampuran air akan
menutupi permukaan dari partikel agregat. Semakin kecil luas permukaan partikel
agregat semakin kecil pula jumlah air yang dibutuhkan dalam campuran.
Karakter pori agregat dapat mempengaruhi rasio air semen dalam campuran.
Karena memiliki pori, agregat dapat menyerap maupun menyumbang air sehingga dapat
mempengaruhi jumlah air dalam campuran. Jumlah air dalam campuran berpengaruh
terhadap kelecakan (workability) dari campuran beton. Ditinjau dari kadar kelembaban
agregat, ada beberapa kondisi yang dapat dialami agregat, antara lain :
9
1. Kering oven (oven dry), yaitu kondisi dimana seluruh air yang ada telah
dihilangkan, baik air yang ada di permukaan maupun yang berada dalam pori. Pemanasan
pada 105°C dilakukan selama 24 jam untuk memperoleh kondisi ini, dan ditimbang
hingga mempunyai berat konstan.
2. Kering udara (air dry), seluruh air yang ada di permukaan telah dihilangkan,
namun masih menyisakan air di dalam pori internalnya.
3. Jenuh dengan permukaan kering (saturated surface dry), seluruh pori masih terisi
air, namun dengan permukaan yang kering. Agregat pada keadaan ini tidak dapat
mempengaruhi kadar air dalam campuran beton, sebab tak dapat lagi menyerap maupun
menyumbang air. Agregat seperti ini ideal untuk dijadikan komponen penyusun dalam
beton.
4. Basah (wet), dimana seluruh pori yang ada terisi air dan mempunyai permukaan
yang dilapisi air. Agregat tipe ini tidak akan mampu lagi menyerap air, namun akan
menyumbang air pada proses pencampuran beton sehingga rasio air semen dalam beton
dapat berubah.
2.1.3 Air
Air dibutuhkan pada pembuatan beton untuk memicu reaksi hidrasi pada semen,
membasahi agregat dan memberikan kemudahan dalam pengerjaan beton. Reaksi hidrasi
adalah suatu reaksi kimia dimana senyawa utama di dalam semen membentuk ikatan
kimia dengan molekul air membentuk hidrat atau produk hidrasi. Reaksi hidrasi yang
berlangsung antara semen dengan air bersifat sensitif terhadap beberapa bahan kimia
yang mungkin terkandung dalam air pencampur, sehingga dianjurkan untuk
menggunakan air bersih untuk digunakan sebagai air pencampur dalam proses mixing
campuran beton. Air yang dapat diminum (potable water) umumnya dapat digunakan
dalam campuran beton. Air dengan kadar pengotor yang besar dapat mengganggu
jalannya reaksi hidrasi sehingga dapat menurunkan kekuatan beton.
Air memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pencampuran beton
karena mempengaruhi rasio air semen (water cement ratio) campuran beton. Penggunaan
air yang terlalu banyak dapat menurunkan kekuatan beton sementara jika terlalu sedikit
dapat menurunkan kelecakan (workability) beton tersebut. Beton harus memiliki
10
kelecakan yang baik agar dapat dibentuk dengan mudah sesuai dengan konstruksi yang
diinginkan. Karena beton harus memiliki kekuatan yang tinggi sekaligus memiliki
kelecakan yang baik, maka perencanaan dan perhitungan rasio air semen harus dilakukan
dengan tepat.
2.1.4 Admixture
Berdasarkan ASTM C 125, bahan tambah (admixture) didefinisikan sebagai
“material other than water, aggregates, hydraulic cementitious material, and fiber
reinforcement that is used as an ingredient of a cementitious mixture to modify its freshly
mixed, setting, or hardened properties and that is added to the batch before or during its
mixing” atau dapat diartikan material selain air, agregat, semen dan serat yang digunakan
sebagai bahan pencampuran beton untuk mengubah beberapa sifat semen atau beton yang
dihasilkan yang ditambahkan sebelum atau selama pencampuran. Bahan tambahan ada
yang berupa additive dan admixture. Admixture adalah bahan tambah yang ditambahkan
pada campuran beton pada tahap pencampurannya, sedangkan additive merupakan bahan
yang ditambahkan pada semen pada tahap pembuatannya.
Admixture dapat diklasifikasikan menjadi chemical admixture dan mineral
admixture. Chemical admixture adalah bahan tambah pada campuran beton yang dapat
larut di dalam air sedangkan mineral admixture adalah bahan – bahan tambah yang tidak
dapat larut dalam air. Beberapa contoh chemical admixtures antara lain : water reducer,
retarder, dan accelerator. Water reducer adalah admixture yang dapat digunakan untuk
mengurangi proporsi air dalam campuran beton sehingga menghasilkan rasio air semen
yang rendah namun tetap menjaga konsistensi beton. Retarder adalah bahan tambah yang
dapat memperlambat waktu setting beton. Sebaliknya, accelerator adalah bahan tambah
yang digunakan untuk mempercepat waktu pengikatan beton. Contoh mineral admixtures
antara lain : silica fume, fly ash, slag, rice husk ash (abu sekam padi) dan lainnya. Fly ash
didefinisikan sebagi butiran halus hasil residu pembakaran batubara atau bubuk batubara
(ASTM C 618). Silica fume adalah produk sampingan dari pembuatan paduan besi
dengan silikon. Slag merupakan limbah hasil produksi baja sedangkan abu sekam padi
adalah hasil pembakaran sekam padi yang merupakan lapisan keras yang membungkus
butir beras.
11
2.2 Abu Ampas Tebu
Abu ampas tebu merupakan hasil samping dari proses penggilingan tebu di pabrik
gula. Tebu adalah tanaman yang sarinya dapat diolah menjadi gula. Tanaman ini hanya
dapat tumbuh di daerah tropis. Di Indonesia, perkebunan tebu menempati luas areal lebih
dari 232 ribu hektar yang tersebar di Medan, Lampung, Semarang, Solo dan Makassar.
Produksi tebu di Indonesia pada tahun 2006 mencapai 10,2 juta ton[1]. Ampas tebu
sebagai hasil samping produksi gula memiliki beragam manfaat, antara lain : untuk
makanan ternak; bahan baku pembuatan pupuk, bahan baku ethyl alcohol, bahan pembuat
particle board, bahan baku pulp dan untuk bahan bakar boiler di pabrik gula.
Dalam pemanfaatannya sebagai bahan bakar boiler di pabrik gula, ampas tebu
dibakar untuk memanaskan air pada boiler sehingga menghasilkan uap yang akan
digunakan untuk menggerakkan pembangkit listrik. Dari proses pembakaran ampas tebu
ini akan dihasikan abu ampas tebu yang berwarna kelabu kehitaman. Di PT PG Jatitujuh,
dibutuhkan sekitar 51 ton ampas tebu tiap jamnya untuk memanaskan 3 buah boiler yang
mereka miliki. Hal ini berarti dalam satu hari dibutuhkan sekitar 1224 ton ampas tebu
untuk dijadikan sebagai bahan bakar boiler tersebut. Dengan asumsi abu ampas tebu
memiliki proporsi sekitar 2 % dari ampas tebu, maka dalam satu hari akan dihasilkan
kira – kira 24,48 ton abu ampas tebu di pabrik ini.
Proses produksi yang berlangsung di PT PG Jatitujh dapat ditunjukkan secara
sedaerhana melalui skema di bawah ini :
Gambar 2.2 Skema pengolahan tebu
Mill
Kristal gula
Evaporator
Nira Murni
Purifier
Abu Ampas Tebu
Boiler
Nira
Ampas Tebu
Tebu
12
Dari skema di atas tampak bahwa boiler yang terdapat di PT PG Jatitujuh digunakan
untuk menggerakkan purifier dan evaporator untuk menghasilkan kristal gula.
Abu ampas tebu yang digunakan pada penelitian ini adalah abu ampas tebu yang
lolos saringan 0,6 mm. Namun demikian, abu ampas tebu ini tidak dihaluskan terlebih
dahulu sebelum disaring. Untuk melihat morfologi dari abu ampas tebu ini dilakukan
Scanning Electron Microscopy (SEM) dan pengambilan gambar dengan menggunakan
kamera digital. Hasil pengambilan gambar dan analisis SEM dapat dilihat pada bagian
4.11.
Dari hasil analisis kimia basah tampak bahwa abu ampas tebu ini memiliki kadar
silika yang relatif tinggi sehingga memiliki prospek untuk dijadikan sebagai bahan
substitusi semen dalam campuran beton. Bahan ini diharapkan akan bereaksi secara
pozzolanik dengan kalsium hidroksida hasil reaksi hidrasi semen untuk menghasilkan
senyawa kalsium silikat hidrat yang berkontribusi dalam menaikkan kekuatan tekan
beton. Sebagai perbandingan, berikut ini adalah data beberapa komposisi senyawa yang
dimiliki bahan- bahan pozzolan lainnya.
Senyawa Semen
portland
Slag Silica
Fume
Fly Ash Abu
sekam
padi
Abu
ampas
tebu
CaO % 60 – 67 30-46 0,1-0,6 2-7 0,55 3,91
SiO2 % 17 – 25 30-40 85-98 40-55 93,81 70,7
Al2O3 % 3,0 – 8,0 10-20 0,2-0,6 20-30 1,1 6,59
Fe2O3 % 0,5 – 6,0 4 0,3-1 5-10 0,19 1,03
MgO % 0,1 – 4,0 2-16 0,3-3,5 1-4 0,4 2,87
SO3 % 1,0 – 3,0 3 - 0,4-2 - -
Na2O % - 3 0,8-1,8 1-2 0,23 -
K2O % - 3 1,5-3,5 1-5 0,017 -
Tabel 2.4 Komposisi kimiawi beberapa bahan tambah
Hasil analisis kimia basah yang dilakukan pada Balai Besar Bahan dan Barang
Teknik (B4T) dapat dilihat pada bagian 4.1.1.
13
2.3 Karakterisasi dan Pengujian
Sifat-sifat dari material sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat mikrostrukturnya.
Beberapa teknik dan metoda diperlukan untuk mengakarakterisasi material sehingga
sifat-sifat dari material dapat diketahui. Beberapa teknik karakterisasi material yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kimia, XRD dan SEM.
2.3.1 Analisis Kimia Basah
Analisis kimia diperlukan untuk mengetahui komposisi kimia senyawa – senyawa
penyusun material penelitian. Beberapa oksida sering disebut sebagai oksida utama, yaitu
silika (SiO2), alumina (Al2O3), Oksida besi dan titania (Fe2O3 dan TiO2), lime dan
magnesia (CaO, MgO), dan oksida-oksida alkali (K2O, Na2O).
Dalam penelitian ini, digunakan analisis kimia basah (wet chemical analysis)
untuk mendapatkan persentase senyawa-senyawa utama tersebut. Prinsip analisis kimia
basah adalah pelarutan dan penggunaan berbagai teknik (titrasi, spektroskopi).
2.3.2 X-Ray Diffraction (XRD)
Difraksi sinar-x adalah salah satu metode karakterisasi yang dapat digunakan
untuk menentukan senyawa-senyawa yang terdapat dalam suatu material sampel. Pada
metode ini, sinar-x dihasilkan dengan menembakkan elektron ke suatu material target
(contoh: Cu). Elektron ini berasal dari suatu sumber elektron berupa filamen (katoda)
yang bergerak menuju material target (anoda) akibat adanya beda potensial. Interaksi
antara elektron ini dengan material target akan menghasilkan sinar-x yang memiliki
panjang gelombang tertentu sesuai dengan material target tersebut. Setelah difilter untuk
mendapatkan sinar x yang bersifat monokromatik, sinar x tersebut akan ditembakkan ke
arah sampel yang hendak dikarakterisasi. Sinar-x ini akan bertumbukan dengan atom-
atom yang terdapat pada sampel dan dihamburkan. Sinar-x yang dihamburkan ini akan
saling berinterferensi baik saling menghilangkan (destructive interference) maupun saling
menguatkan (constructive interference). Difraksi terjadi ketika hamburan sinar-x dari
salah satu bidang atom sefasa dengan hamburan dari bidang atom lainnya. Difraksi sinar-
x ini akan dideteksi oleh detektor dan ditampilkan dalam grafik yang menggambarkan
hubungan antara sudut difraksi (2θ) dengan intensitas. Setiap jenis material akan
14
menghasilkan peak yang spesifik pada 2θ yang tertentu. Dari harga 2θ yang
menghasilkan peak-peak pada grafik 2θ terhadap intensitasnya, akan dapat dihitung
besarnya d-spacing atau jarak antar bidang seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.3
dengan menggunakan hukum Bragg. Nilai d-sapacing yang diperoleh dari perhitungan ini
kemudian dicocokkan dengan data d-spacing yang terdapat pada indeks Hanawalt untuk
mengidentifikasi senyawa apa yang terdapat di dalam material sampel.
Gambar 2.3 Difraksi sinar-X oleh bidang – bidang atom
Sinar datang 1 dan 2 adalah berkas sinar-x yang ditembakkan ke material sampel
yang memiliki bidang atom A-A’ dan bidang B-B’. Bidang atom ini memiliki jarak antar
bidang dhkl yang juga disebut d-spacing. Sinar datang tersebut akan dibelokkan oleh atom
yang terdapat dalam material sampel dengan contoh atom P dan atom Q seperti yang
terlihat pada gambar. Sinar-x yang mengenai atom-atom pada material sampel ini akan
menghasilkan sinar 1’ dan sinar 2’ yang membentuk sudut sebesar θ terhadap bidang A-
A’. Agar difraksi dapat berlangsung maka perbedaan lintasan sinar-X yang terjadi (yaitu
S-Q-T) harus sebesar nλ, dimana n adalah bilangan asli dan λ merupakan panjang
gelombang sinar-X. Maka kondisi difraksi dapat dirumuskan sebagai berikut
nλ = SQ + QT (1)
atau
15
nλ = dhkl sinθ + dhkl sinθ = 2 dhkl sinθ (2)
Persamaan 2 tersebut merupakan persamaan yang dikenal dengan hukum Bragg.
Dengan mensubstitusikan nilai θ pada rumus tersebut maka kita dapat mengetahui nilai
dhkl dan selanjutnya nilai dhkl tersebut dapat dicocokkan pada indeks Hanawalt hingga kita
dapat mengetahui jenis senyawa dari sampel yang dikarakterisasi.
2.3.3 Scanning Electon Microscopy ( SEM )
SEM adalah metode yang dapat digunakan untuk mengamati morfologi suatu
material dengan perbesaran yang jauh melebihi mikroskop optik biasa. Syarat yang harus
dipenuhi oleh material sampel yang hendak dikarakterisasi menggunakan scanning
electron microscopy adalah harus bersifat konduktif dengan tujuan agar dapat
berinteraksi dengan baik dengan primary electron yang berasal dari electron gun pada
perangkat scanning electron microscope. Sampel material yang tidak bersifat konduktif
harus dilapisi dengan bahan yang konduktif (contoh: emas) agar terbentuk lapisan tipis
yang konduktif pada permukaan sampel.
Pada perangkat scanning electron microscope, elektron yang berasal dari electron
gun akan menumbuk permukaan sampel sehingga terjadi interaksi antara elektron yang
berasal dari electron gun ini (disebut primary electron) dengan elektron yang terdapat
pada permukaan sampel menghasilkan sinar-x, secondary electron, back scattered
electron dan auger electron. Secondary electron inilah yang dimanfaatkan dan dideteksi
menggunakan detektor untuk menghasilkan image dari sampel yang dikarakterisasi.
2.3.4 Pengujian Kuat Tekan Beton
Pengujian kuat tekan beton dilakukan di Laboratorium Struktur dan Bahan Teknik
Sipil Institut Teknologi Bandung. Pengujian kuat tekan beton dilakukan pada 48 buah
sampel uji yang terdiri dari masing – masing 12 buah sampel untuk tiap komposisi beton.
Tiap komposisi beton diuji kuat tekannya pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing –
masing berjumlah 3 sampel. Tiap sampel diuji tekan sampai mengalami kegagalan/rusak
dan beban tertinggi yang dapat ditahan oleh sampel dicatat dan dikonversi ke dalam
satuan Mega Pascal (Mpa).
16