BAB II TEORI DASAR 2.1 Fotogrametri · PDF filebentuk sinyal analog, seperti hasil pengambilan...
Transcript of BAB II TEORI DASAR 2.1 Fotogrametri · PDF filebentuk sinyal analog, seperti hasil pengambilan...
7
BAB II
TEORI DASAR
2.1 Fotogrametri Digital
Fotogrametri dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu dan teknologi yang
berkaitan dengan proses perekaman, pengukuran/pengamatan, dan interpretasi
(pengenalan dan identifikasi) suatu kondisi permukaan bumi serta objek fisik di
atasnya secara presisi sehingga diperoleh informasi tentang suatu ukuran dan bentuk
permukaan bumi serta objek fisik di atasnya yang dapat dipercaya. Produk dari
fotogrametri digunakan oleh berbagai disiplin yang di dalam kegiatannya berkaitan
dengan lahan/permukaan bumi.
Seiring dengan perkembangan teknologi digital, sistem fotogrametri telah
mengalami perkembangan dari sistem fotogrametri analog berkembang menjadi
sistem fotogrametri analitik dan kemudian yang termutakhir adalah sistem
fotogrametri digital (softcopy fotogrametry). Perkembangan sistem fotogrametri
berdampak pada berkembangnya alat restitusi yang digunakan dari alat restitusi
analog dan analitik seperti analog/analitik stereo plotter dimana proses pekerjaannya
dilakukan oleh manusia, berganti menjadi alat restitusi otomatis dimana proses
pekerjaannya dikerjakan secara otomatis menggunakan komputer (gambar 2.1).
Gambar 2.1 Perkembangan Alat Restitusi (Dipokusumo, 2004)
8
2.2 Citra digital
Citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x,y), dimana x dan y adalah
koordinat spasial dan f pada titik (x,y) merupakan tingkat kecerahan (brightness)
suatu citra pada suatu titik. Suatu citra diperoleh dari penangkapan kekuatan sinar
yang dipantulkan oleh objek. Citra sebagai output alat perekaman, seperti kamera,
dapat bersifat analog ataupun digital. Citra Analog adalah citra yang masih dalam
bentuk sinyal analog, seperti hasil pengambilan gambar oleh kamera atau citra
tampilan di layar TV ataupun monitor (sinyal video). Sedangkan citra digital adalah
gambar dua dimensi yang dihasilkan dari gambar analog dua dimensi yang kontinu
menjadi gambar diskrit melalui proses sampling.
Perolehan citra digital ini dapat dilakukan secara langsung oleh kamera digital
ataupun melakukan proses konversi suatu citra analog ke citra digital. Untuk
mengubah citra kontinu menjadi digital diperlukan proses pembuatan kolom dan baris
arah horizontal dan vertikal, sehingga diperoleh gambar dalam bentuk array dua
dimensi. Proses tersebut dikenal sebagai proses digitalisasi/sampling. Gambar analog
dibagi menjadi N baris dan M kolom sehingga menjadi gambar diskrit (gambar 2.2).
Persilangan antara kolom dan baris tertentu disebut dengan piksel. Contohnya adalah
gambar/titik diskrit pada baris n dan kolom m disebut dengan piksel (m,n). Sampling
adalah proses untuk menentukan warna pada piksel tertentu pada citra dari sebuah
gambar yang kontinu. Pada proses sampling biasanya dicari warna rata-rata dari
gambar analog yang kemudian dibulatkan. Proses sampling sering juga disebut proses
digitisasi.
Gambar 2.2 Contoh sampling untuk mendapatkan gambar diskrit (gambar
digital) dari gambar analog yang kontinu
Suatu citra digital merupakan representasi 2-D array sampel diskrit suatu citra kontinu
f(x,y). Amplitudo setiap sampel di kuantisasi untuk menyatakan bilangan hingga bit.
N
MX
Y
9
Setiap elemen array 2-D sampel disebut suatu piksel atau pel (dari istilah picture
element).
Tingkat ketajaman atau resolusi warna pada citra digital tergantung pada
jumlah ”bit” yang digunakan oleh komputer untuk merepresentasikan setiap piksel
tersebut. Tipe yang sering digunakan untuk merepresentasikan citra adalah ”8-bit
citra” (256 colors, 0 untuk hitam - 255 untuk putih), tetapi dengan kemajuan teknologi
perangkat keras grafik, kemampuan tampilan citra di komputer hingga 32 bit. Domain
nilai intensitas dalam suatu citra juga ditentukan oleh alat digitasi yang digunakan
untuk menangkap dan konversi citra analog ke citra digital (A/D).
2.3 Sinyal dan Spektrum
Sinyal adalah deskripsi bagaimana satu parameter merubah parameter lainnya
(Smith, 1999). Parameter tersebut merupakan sekumpulan informasi yang
ditimbulkan oleh suatu fenomena dan bisa diperlakukan sebagai data. Pada umumnya
sinyal dipresentasikan dalam bentuk grafik gelombang. Gelombang sendiri
menggambarkan suatu siklus pergerakan. Di dalam siklus tersebut terdapat
komponen-kompenen yang membentuk gelombang yaitu amplitudo, sudut phase,
periode, waktu dan frekuensi.
Gambar 2.3 Grafik Gelombang
Amplitudo merupakan besar perpindahan maksimum dari titik kesetimbangan
(yaitu nilai maksimum dari garis t pada gambar 2.3) dan harganya selalu positif.
Sedangkan frekuensi adalah banyaknya siklus pada satu satuan waktu (Wibowo,
2008).
10
Gambar 2.4 Phase dan amplitudo yang membentuk gelombang sinus.
Gambar 2.4 di atas memberi gambaran tentang phase dan amplitudo dari
perputaran sebuah lingkaran (siklus) yang membentuk gelombang sinus dengan
persamaan y = A sin (x), dimana x adalah ωt + φ. Pada gambar di atas garis A adalah
amplitudo sedangkan simbol φ adalah sudut phase (Wibowo, 2008). Sedangkan ω
adalah kecepatan sudut.
Gambar 2.5 Tiga sudut fase yang berbeda (0,π/4, π/2) tetapi memiliki frekuensi dan
amplitudo yang sama.
T adalah perioda yaitu komponen gelombang yang merepresentasikan waktu
dalam satuan detik pada suatu siklus. Perioda merupakan kebalikan dari frekuensi
yang seperti telah disebutkan di atas merupakan jumlah siklus pada suatu waktu. Dari
gambar 2.5. terlihat bahwa satu siklus perputaran lingkaran dari 0 sampai 2π dimulai
dari waktu pada saat t=0 sampai t=T. Dengan demikian siklus pada gambar 2.5
memiliki satu frekuensi (Wibowo, 2008).
Komponen frekuensi yang terkandung pada suatu sinyal dapat dibagi menjadi
dua, yaitu komponen frekuensi tinggi dan komponen frekuensi rendah. Frekuensi
180o
90o
270o
11
x(t)
0 sampler
tt0T 3T 5T 9T7T-3T
tinggi memiliki periode yang lebih pendek dibandingkan dengan frekuensi rendah
(gambar 2.6).
Fr = 1/Tr ; Ft = 1/Tt ; Tr > Tt ; sehingga Ft > Fr
Gambar 2.6 komponen frekuensi sinyal.
Dimana : Fr = Komponen frekuensi rendah
Ft = Komponen frekuensi tinggi
Representasi sinyal pada gambar 2.6 merupakan representasi sinyal waktu analog
(kontinyu) dimana t merupakan variabel kontinyu. Pada beberapa data seperti citra
digital, sinyal direpresentasikan dalam bentuk sinyal waktu diskrit. Sinyal waktu
diskrit diperoleh dari proses sampling sinyal kontinyu (gambar 2.7).
Gambar 2.7 Proses sampling sinyal waktu kontinyu untuk mendapatkan
sinyal waktu diskrit
Perbedaan antara sinyal waktu kontinyu (analog) dengan sinyal diskrit adalah pada
variabel pembentuk sinyalnya. Sebagai contoh suatu sinyal waktu x(t) merupakan
12
t
x(t)
0
(a)
n
x[n]
0 2 4-2 6
(b)
1
3
2
sinyal waktu kontinyu, jika t merupakan variabel kontinyu dan x(t) disebut dengan
sinyal waktu diskrit jika t merupakan variabel diskrit (gambar 2.8).
Gambar 2.8 (a) x(t) sebagai sinyal waktu kontinyu; (b) x(t) sebagai sinyal waktu diskrit
2.4 Transformasi Fourier
Transformasi Fourier merupakan metode tradisional untuk menentukan
kandungan frekuensi dari sebuah sinyal. Transformasi Fourier pada dasarnya
membawa sinyal dari dalam kawasan waktu (time-domain) ke dalam kawasan
frekuensi (frekuensi-domain). Pada sisi lain transformasi Fourier dapat dipandang
sebagai alat yang mengubah sinyal menjadi jumlahan sinusoidal dengan beragam
frekuensi. Transformasi Fourier menggunakan basis sinus dan kosinus yang memiliki
frekuensi berbeda. Hasil Transformasi Fourier adalah distribusi densitas spektral yang
mencirikan amplitudo dan fase dari beragam frekuensi yang menyusun sinyal. Hal ini
merupakan salah satu kegunaan Transformasi Fourier, yaitu untuk mengetahui
kandungan frekuensi sinyal.
Untuk menemukan informasi apa saja yang terkandung dalam sinyal dapat
diketahui dengan menggambarkan spektrum sinyal itu sendiri. Spektrum adalah plot
2D untuk menggambarkan distribusi frekuensi dari magnituda yang terkandung di
dalam sinyal berdasarkan serangkaian data tertentu (Smith, 1999). Sebagai contoh,
sinyal sinus dengan frekuensi 5 Hz dan amplitudo 1 Volt. Sinyal dalam domain waktu
akan terlihat seperti pada Gambar 2.9. Sementara spektrum frekuensi sinyal akan
terlihat seperti pada gambar 2.10. Spektrum sinyal pada gambar 2.10 merupakan hasil
dari transformasi Fourier sinyal sinus.
13
Gambar 2.9 Sinyal sinus dalam domain waktu
Gambar 2.10 Sinyal sinus dalam domain frekuensi
Distribusi frekuensi menggambarkan penyebaran magnituda yang terkandung pada
sinyal (Wibowo, 2008). Dengan mengetahui frekuensi dan magnituda spektrum suatu
sinyal, akan memudahkan dalam proses mengolah dan menganalisis sinyal. Selain itu
spektrum sinyal dapat memberikan informasi yang tidak terlihat pada suatu sinyal
secara visual.
2.5 Operasi Pengolahan Citra
Pengolahan citra adalah kegiatan memperbaiki kualitas citra agar mudah
diinterpretasi oleh manusia maupun mesin (komputer) sehingga citra hasil pengolahan
memiliki kualitas yang lebih baik daripada citra masukan. Sebagai contoh citra yang
warnanya kurang tajam, kabur (blurring), mengandung noise (misal bintik-bintik
putih), dll sehingga perlu ada pemrosesan untuk memperbaiki citra karena citra
tersebut menjadi sulit diinterpretasikan sebab informasi yang disampaikan menjadi
berkurang.
14
Operasi yang dilakukan untuk mentransformasikan suatu citra menjadi citra
lain dapat dikategorikan berdasarkan tujuan transformasi maupun cakupan operasi
yang dilakukan terhadap citra.
Berdasarkan tujuan transformasi operasi pengolahan citra dikategorikan sebagai
berikut :
1. Peningkatan Kualitas Citra (Image Enhancement)
Operasi peningkatan kualitas citra bertujuan untuk meningkatkan fitur tertentu pada
citra.
2. Pemulihan Citra (Image Restoration)
Operasi pemulihan citra bertujuan untuk mengembalikan kondisi citra pada kondisi
yang diketahui sebelumnya akibat adanya pengganggu yang menyebabkan
penurunan kualitas citra.
2.5.1 Transformasi Fourier dalam Pengolahan Citra Digital
Transformasi Fourier merupakan transformasi penting di dalam bidang
pengolahan sinyal (signal processing), khususnya pada bidang pengolahan citra
digital. Pada beberapa aplikasi pengolahan sinyal, terdapat beberapa kesukaran
melakukan operasi karena fungsi dalam domain spasial. Transformasi Fourier adalah
suatu alat untuk mengubah fungsi dari domain spasial menjadi domain frekuensi. Jika
suatu fungsi ditransformasikan kedalam domain frekuensi menggunakan transformasi
Fourier, maka dapat diketahui kandungan frekuensi dan magnituda fungsi tersebut.
Sedangkan untuk mengembalikan fungsi ke domain spasial dapat menggunakan
invers transformasi Fourier.
f(m,n) Transformasi Fourier F(ω1 , ω2)
F(ω1 , ω2) Invers Transformasi Fourier f(m,n)
Jika f(m,n) adalah fungsi dari 2 variabel diskrit spasial m dan n, maka transformasi
dua dimensi dari f(ω1 , ω2) adalah (Wijaya & Prijono, 2007) :
(1)
15
Variabel ω1 dan ω2 adalah variabel frekuensi dalam satuan radian per sampel. F(ω1 ,
ω2) sering disebut representasi domain frekuensi dari f(m,n) (gambar 2.11).
Sedangkan invers dua dimensi transformasi Fourier adalah sebagai berikut :
(2)
Secara umum, persamaan di atas berarti bahwa f(m,n) dapat direpresentasikan dengan
penjumlahan tak hingga dari eksponensial kompleks (sinus) dengan berbagai
frekuensi. Nilai magnituda dan fasa dari frekuensi (ω1,ω2) diberikan oleh F(ω1,ω2).
Transformasi Fourier
Fungsi f(m,n) Magnituda dan frekuensi dari fungsi f(m,n)
Gambar 2.11 Transformasi Fourier untuk fungsi f(m,n) sehingga diperoleh
spektrum sinyalnya
Puncak titik pusat citra adalah F(0,0) yang merupakan penjumlahan semua nilai pada
f(m,n). Cara lain untuk memvisualisasikan kandungan frekuensi citra adalah dengan
menggunakan logaritma (gambar 2.12). Dengan menggunakan logaritma akan
membantu menampilkan detail frekuensi dari hasil transformasi Fourier.
ω2
ω1
Gambar 2.12 Logaritma fungsi f(ω1,ω2)
Scale bar
Titik pusat frekuensi f(0,0)
16
Logaritma pada gambar 2.12 merupakan spektrum frekuensi suatu sinyal dengan titik
pusat frekuensi f(0,0) berada ditengah spektrum. Besarnya frekuensi dapat diketahui
dari jaraknya terhadap titik pusat. Semakin jauh dari titik pusat maka semakin besar
pula frekuensinya. Demikian juga sebaliknya semakin dekat terhadap titik pusat maka
semakin rendah frekuensinya. Besarnya nilai magnituda yang terkandung pada suatu
frekuensi ditunjukkan dengan menggunakan scale bar yang terdapat di samping
spektrum frekuensi.
Dalam pengolahan citra digital, transformasi Fourier digunakan untuk
menganalisis frekuensi pada operasi seperti perekaman citra, perbaikan kualitas citra,
restorasi citra, pengkodean, dan lain-lain. Dari analisis frekuensi, kita dapat
melakukan perubahan frekuensi pada citra. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa transformasi Fourier dapat memberikan informasi kandungan suatu sinyal
yang tidak terlihat secara visual pada sinyal. Demikian juga pada citra digital, dengan
transformasi Fourier maka dapat diketahui informasi frekuensi dan magnituda suatu
citra yang tidak terlihat pada domain spasial. Sebagai contoh citra yang mengandung
noise suatu titik kecil yang tidak terlihat secara visual pada citra dapat diketahui
dalam domain frekuensi, yaitu pada umumnya noise pada citra ditunjukkan dengan
karakteristik magnituda tinggi pada frekuensi tinggi yang terkandung pada citra. Jadi,
dengan merubah citra kedalam domain frekuensi akan lebih memudahkan dalam
mengolah dan menganalisis suatu citra.
2.5.2 Transformasi Fourier diskrit (DFT/ Discrete Fourier Transform)
Untuk dapat melakukan transformasi Fourier pada citra digital menggunakan
komputer, maka harus menggunakan transformasi Fourier diskrit (DFT/ Discrete
Fourier Transform) . DFT dapat dieksekusi oleh komputer karena input dan output-
nya diskrit. Fast Fourier Transform (FFT) merupakan algoritma yang cepat dari
transformasi Fourier diskrit. DFT dibuat untuk fungsi diskrit f(m,n) yang bernilai
tidak nol pada daerah 0 ≤ m ≤ M-1 dan 0 ≤ n ≤ N-1. Fungsi dari transformasi Fourier
diskrit adalah sebagai berikut (Wijaya & Prijono, 2007):
(3)
17
Sedangkan invers transformasi Fourier diskrit adalah sebagai berikut :
(4)
Nilai F(p,q) disebut koefisien DFT dari f(m,n) dan merepresentasikan frekuensi dari
f(m,n). Secara visual hasil DFT dapat dilihat pada gambar 2.13.
Transformasi Fourier
diskrit
Sampel citra f(m,n) spektrum F(p,q) hasil
transformasi fourier diskrit
Gambar 2.13 Sampel citra f(m,n) dan hasil transformasi Fourier diskritnya
2.5.3 Fast Fourier Transform (FFT)
Fast Fourier Transform merupakan penyederhanaan dari Discrete Fourier
Transform (DFT). Dalam notasi kompleks, masing-masing domain waktu dan
frekuensi berisi satu sinyal yang membuat N kompleks titik. Tiap kompleks titik ini
dibuat oleh dua angka, bagian real dan bagian imajiner.
FFT beroperasi dengan mendekomposisikan suatu N titik sinyal domain waktu
ke dalam N sinyal domain waktu yang masing-masing dikomposisi oleh suatu titik
tunggal.
Gambar 2.14. Contoh dekomposisi domain waktu yang digunakan dalam FFT (Smith,1999).
18
Pada gambar 2.14, 16 titik sinyal didekomposisi menjadi empat tahap terpisah. Tahap
pertama memecah 16 titik sinyal ke dalam dua sinyal yang masing-masing berisi 8
titik. Tahap kedua mendekomposisi data menjadi empat sinyal masing-masing 4 titik.
Pola ini berlanjut hingga N sinyal terkomposisi oleh sebuah titik tunggal. Jalinan
dekomposisi digunakan saat setiap sinyal terpecah menjadi dua, oleh karena itu sinyal
terpisah kedalam masing-masing angka sampel ganjil dan genap.
Dalam dekomposisi dibutuhkan tahapan log2N. Sebagai contoh 16 titik sinyal
(24) membutuhkan 4 tahap, 512 titik sinyal (27) membutuhkan 7 tahap, 4096 titik
sinyal (212) membutuhkan 12 tahap, dan seterusnya. Perhitungan FFT ini lebih cepat
jika dibandingkan transformasi Fourier diskrit (DFT). Fungsi DFT (Discrete Fourier
Transform) menghitung transformasi fourier bilangan diskrit menggunakan bilangan
2 untuk loop n kali, sehingga operasi aritmatikanya adalah (n2) kali. Algoritma yang
lebih cepat adalah Fast Fourier Transform (FFT) yang menggunakan hanya operasi
(n*log2n). Operasi ini membuat perbedaan besar untuk n yang sangat besar pula misal
jika n = 1024, fungsi DFT akan me-loop-ing 1048576 kali, sedangkan FFT hanya
10240 kali (Wibowo, 2008).
2.6 Metode filtering dalam domain frekuensi
Secara umum, metode yang digunakan dalam pemrosesan filter citra digital
dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu metode domain spasial dan metode domain
frekuensi. Pada metode domain spasial, pemrosesan dilakukan dengan cara
memanipulasi nilai piksel dari citra tersebut secara langsung. Sedangkan pada
pengolahan citra digital dengan metode domain frekuensi, informasi citra digital
ditransformasikan lebih dulu dengan transformasi Fourier, kemudian dilakukan
filtering pada hasil transformasi Fourier-nya. Setelah filtering dalam domain frekuensi
selesai, dilakukan inverse transformasi Fourier untuk mendapatkan informasi citra
kembali. Metode domain frekuensi ini dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah-masalah tertentu yang sulit jika dilakukan dengan menggunakan metode
domain spasial.
2.6.1 Low pass filter
Low pass filter adalah proses penghalusan citra (image smoothing), yaitu
melewatkan komponen frekuensi rendah dan menghilangkan komponen frekuensi
tinggi dari hasil transformasi Fourier. Pelembutan citra bertujuan untuk menekan
19
gangguan (noise) pada citra. Gangguan pada citra umunya berupa variasi intensitas
suatu piksel yang tidak berkorelasi dengan piksel-piksel tetangganya. Piksel yang
mengalami gangguan umumnya memiliki frekuensi tinggi (berdasarkan analisis
frekuensi dengan transformasi Fourier) (Munir, 2004). Komponen citra yang
berfrekuensi rendah umunya mempunyai nilai piksel konstan atau berubah sangat
lambat.
Pada domain spasial, operasi pelembutan dilakukan dengan mengganti
intensitas suatu piksel dengan rata-rata dari nilai piksel tersebut dan nilai piksel-piksel
tetangganya. Pada domain frekuensi, operasi pelembutan dilakukan dengan menekan
komponen frekuensi tinggi, yaitu komponen frekuensi tinggi dihilangkan dengan cara
dikalikan nol. Untuk lebih jelasnya akan diberikan contoh visualisasi proses low pass
filter yang ditunjukkan pada gambar 2.15 dan gambar 2.16.
Gambar 2.15 a) citra asli sebelum low pass filter, b) spektrum frekuensi Fourier citra
asli, c) spektrum frekuensi Fourier yang telah dihilangkan sebagian
komponen frekuensi tingginya, d) citra hasil setelah low pass filter.
20
Gambar 2.16 a) citra asli sebelum low pass filter, b) spektrum frekuensi Fourier citra
asli, c) spektrum frekuensi Fourier yang telah dihilangkan sebagian
komponen frekuensi tingginya, d) citra hasil setelah low pass filter.
2.6.2 High pass filter
High pass filter adalah proses penajaman citra yang bertujuan memperjelas
tepi pada objek di dalam citra. Penajaman citra (High Pass filter) merupakan
kebalikan dari operasi pelembutan citra (low pass filter) karena operasi ini
menghilangkan komponen frekuensi rendah dan meloloskan komponen frekuensi
tinggi dari hasil transformasi Fourier. High pass filter akan meloloskan (atau
memperkuat) komponen frekuensi tinggi (misalnya tepi atau pinggiran objek) dan
akan menurunkan komponen berfrekuensi rendah sehingga pinggiran objek terlihat
lebih tajam dibandingkan sekitarnya. Karena penajaman citra lebih berpengaruh pada
tepi (edge) objek, maka penajaman citra sering juga disebut dengan penajaman tepi
(edge sharpening) atau peningkatan kualitas tepi (edge enhancement). Gambar 2.17
dan gambar 2.18 adalah visualisasi proses high pass filter pada citra sampel.
21
Gambar 2.17 a) citra asli sebelum high pass filter, b) spektrum frekuensi Fourier
citra asli, c) spektrum frekuensi Fourier yang telah dihilangkan sebagian
komponen frekuensi rendahnya, d) citra hasil setelah high pass filter.
Gambar 2.18 a) citra asli sebelum high pass filter, b) spektrum frekuensi Fourier
citra asli, c) spektrum frekuensi Fourier yang telah dihilangkan sebagian
komponen frekuensi rendahnya, d) citra hasil setelah high pass filter.
2.7 Pencocokan Citra
Dalam bidang ilmu fotogrametri dan penginderaan jauh, terminologi matching
biasanya didefinisikan sebagai usaha untuk mendapatkan kesekawanan bagian-bagian
22
kecil dari serangkaian data yang bervariasi dalam satu model. Serangkaian data ini
dapat berupa citra, peta, model objek, dan juga data SIG. Di dalam komputer, tugas
matching ini diselesaikan oleh suatu algoritma yang disusun sebagai bagian dari
pemrosesan sinyal citra digital. Dengan demikian, proses matching yang merupakan
usaha untuk menentukan dan mengukur derajat kesamaan/kecocokan pasangan titik
sekawan atau objek citra pada dua atau lebih foto udara yang bertampalan dapat
dilakukan secara otomatis.
Pada perangkat fotogrametri analog maupun analitik, untuk mendapatkan
pasangan sekawan dari model citra, prinsipnya ialah dengan menempatkan kedua titik
apung pada dua titik objek yang sama dari sebuah model citra yang bertampalan (lihat
gambar 2.19). Alat yang digunakan pada proses tersebut dinamakan stereoplotter dan
untuk melakukan tugas ini bukanlah hal yang mudah, disamping memakan waktu
yang cukup lama karena memerlukan kemampuan mata untuk mengenali bagian kecil
citra yang hampir cocok dengan membandingkan karakteristik yang dimiliki seperti
tekstur, bentuk, kecerahan, bayangan dll, operasi ini juga terbilang mahal mengingat
sumberdaya manusia yang harus dibayar untuk pekerjaan ini. Setelah titik apung
tersebut berada pada titik yang sekawan maka munculah bentuk 3 dimensi dengan
nilai ketinggian yang tertentu.
Ada sejumlah metode image matching yang dapat dipakai untuk keperluan
proses restitusi foto yang selama ini diketahui orang. Metode yang dimaksud adalah
area-based, dan feature-based. Metode area-based menggunakan komposisi nilai
derajat keabuan (grey level) citra sebagai sampel yang akan diuji dalam penelitian.
Sedangkan metode feature-based menggunakan unsur objeknya secara utuh sebagai
Gambar 2.19 Pasangan titik sekawan pada pada
kedua citra
23
sampel yang akan diuji dalam penelitian. Pada tugas akhir kali ini akan digunakan
teknik image matching metode area-based.
2.7.1 Pencocokan Citra Berbasis Area
Pada proses pencocokan citra berbasis area pencarian titik sekawan antara dua
citra foto yang bertampalan dilakukan dengan menggunakan Sub Citra Acuan (SCA)
yang merupakan area objek yang dipilih pada foto kiri sebagai acuan, Citra Pencarian
(CP) yang merupakan area objek yang memiliki area objek paling mirip dengan CA
dengan cakupan area lebih luas dari SCA dan Sub Citra Pencarian (SCP) yang
merupakan jendela berukuran sama dengan SCA sebagai alat bantu array pencari
lokasi area objek yang paling berkorelasi. Lokasi tersebut dinyatakan pada pusat SCP
dalam koordinat lokal foto dalam bentuk baris-kolom (gambar 2.20).
Gambar 2.20 Pencocokan citra berbasis area
Metode area based matching yang digunakan dalam penelitian ini pada
dasarnya membandingkan nilai derajat keabu-abuan (grey value) suatu bentuk kecil
sub-array (matriks) citra dimana pusat matriksnya merupakan lokasi grey value dari
titik yang akan dicocokkan. Pada citra digital, akan sangat memungkinkan, dan relatif
mudah dilakukan proses penentuan letak titik dengan pemecahan matematis.
Sekumpulan nilai piksel (greyvalue=GV) pada sebuah citra dapat dibandingkan
kemiripannya dengan sekumpulan GV dari citra di sebelahnya (citra-2) yang
bertampalan. Tingkat kemiripan kumpulan data tersebut ditentukan oleh variasi GV
24
nilai GV
yang merepresentasikan bentuk objek permukaan bumi (gambar 2.21). Tingkat
kemiripannya dapat dihitung dengan mencari korelasi berdasarkan kuadrat terkecil.
Dengan berpedoman pada hasil hitungan nilai korelasi, sebagai topik bahasan dalam
tugas akhir ini, selanjutnya dapat ditentukan tingkat “kesamaan” dua kumpulan data
yang berasosiasi dengan citra tersebut.
Gambar 2.21 (a) Sepasang citra dalam bentuk visual,
dan (b) Sepasang citra dalam bentuk matriks
Dalam domain digital, citra tersebut direpresentasikan sebagai variasi nilai GV
yang membentuk dimensi matriks m x n (Gambar 2.21b). Kemudian ditentukan sub-
matriks berdimensi MxN di sekeliling titik objek foto kiri yang biasa disebut sebagai
Sub Citra Acuan (SCA). SCA akan berisi sekumpulan nilai GV dari piksel
disekeliling titik acuan. Pada matriks kanan, ditentukan juga sub-matriks berdimensi
sama dengan SCA dan dinamakan sebagai Sub Citra Pencarian (SCP). Sampai tahap
ini, akan diperoleh dua buah matriks (SCA dan SCP) dengan dimensi yang identik.
n
mM
N
25
Gambar 2.22 Window pada citra
Selanjutnya dilakukan hitungan nilai korelasi (ρ) antar kedua matriks tersebut
dengan menggunakan persamaan 5. Dari nilai korelasi tersebut dapat ditentukan mirip
tidaknya kedua matriks tersebut. Makin besar nilai ρ (mendekati +1) makin mirip
bentuk kedua objek tersebut atau dapat dikatakan kedua objek tersebut merupakan
titik yang sama. Penempatan SCP diawali dari posisi ujung kiri atas. Kemudian SCP
digeser menelusuri citra kolom demi kolom ke arah kanan sampai mencapai ujung
kanan. Setelah itu SCP digeser kebawah sebanyak satu baris dan kembali menelusuri
sepanjang baris tersebut ke arah kiri. Demikian seterusnya proses penelusuran
(pencarian) dilakukan sampai ke seluruh citra. Untuk setiap tahap penelusuran nilai ρ
dihitung dan dicatat oleh sistem komputer.
Metode ini dipilih karena merupakan metode yang paling mudah dilakukan,
dan dapat memberikan hasil solusi matching yang relatif cepat. Metode ini juga
memiliki akurasi yang cukup tinggi untuk area yang memiliki tekstur baik dan unik,
dan pada beberapa kasus tingkat akurasi dari matching dapat dinyatakan kuantitasnya
dalam unit metric (Ilham, 2007).
2.7.2 Teknik Korelasi
Sampel citra berupa komposisi grey value (GV) array citra yang akan diuji
derajat kesamaan/kecocokannya dihitung melalui suatu persamaan matematis untuk
kemudian disimpan sebagai nilai korelasi. Nilai korelasi antara dua kelompok data
GV dihitung berdasarkan rumus matematis pada persamaan 5 berikut (Schenk, 1999) :
26
(5)
xi = Nilai GV citra 1
_x = Rata-rata nilai GV citra 1
yi = Nilai GV citra 2
_
y = Rata-rata nilai GV citra 2
Dari pengkorelasian tersebut dicari nilai koefisien korelasi yang paling
maksimum. Dalam teori probabilitas dan statistika, kekuatan hubungan korelasi atau
disebut juga koefisien korelasi adalah nilai yang menunjukkan kekuatan dan arah
hubungan linier antara dua peubah acak (random variable). Suatu objek dapat
dikatakan cocok dengan objek lainnya jika nilai korelasinya > 0.7 (Wolf & Dewitt,
2000).
Teknik mengevaluasi pencocokan citra berbasis area adalah dengan
menggunakan teknik korelasi. Nilai korelasi yang dihasilkan bertujuan untuk
mengukur derajat kesamaan antara dua atau lebih citra foto yang bertampalan. Citra
pertama adalah citra acuan (CA) dan sub citra acuan (SCA) pada citra kiri sedangkan
sub citra kedua merupakan Sub Citra Pencarian (SCP) yang dibatasi oleh area Citra
Pencarian (CP) di dalam citra foto kedua.
Sub Citra Pencarian akan bergerak dalam Citra Area Pencarian, kemudian
dihitung nilai korelasi SCA dan semua SCP pada CAP dan nilai korelasi antar kedua
citra mempunyai rentang nilai -1 sampai +1 (-1 ≤ ρ ≤ 1). Secara umum nilai
pembatas dari nilai koefisien korelasi adalah lebih besar sama dengan 0.7 atau 70 %
yang dinyatakan cocok atau derajat kesamaannya tinggi. Sampel citra berupa
27
komposisi grey value array citra yang akan diuji derajat kesamaan/kecocokannya
dihitung melalui suatu persamaan matematis untuk kemudian disimpan sebagai nilai
korelasi seperti persamaan 6. Metode korelasi dari pencocokan citra berkerja dengan
memilih SCA dari citra kiri berdasarkan karakteristik tertentu dan jarak objek/area
dari titik utama citra untuk dicocokan, dan pencarian posisi yang sekawan akan
dilakukan oleh windows yang bergerak (SCP) pada CP dari citra kanan.
.
.
. 2_
22
2_
11
_
22
_
11
21
21
∑ ∑
∑
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛ −
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
==
gggg
gggg
ijij
ijij
gg
gg
σσσ
ρ (6)
dengan:
ρ = koefisien korelasi
σg1g2 = kovariansi nilai keabuan SCA dan SCP
σg1 = standar deviasi untuk SCA
σg2 = standar deviasi untuk SCP
g1ij,g2ij = nilai keabuan pada kolom ke-i dan baris ke-j pada SCA dan SCP _
1g ,_
2g = nilai rata-rata pada SCA dan SCP
2.7.3 Korelasi Nilai Rata-Rata Kanal Terpisah
Metode korelasi nilai rata-rata kanal yang diberi bobot adalah metode hitungan
korelasi yang menggunakan tiga kanal warna dengan menggunakan komponen bobot
dalam menghitung nilai korelasi. Metoda ini merupakan pengembangan dari metoda
korelasi nilai rata-rata kanal terpisah dengan melibatkan unsur bobot masing-masing
kanal merah, hijau dan biru dalam menentukan nilai korelasi citra sebagai upaya
memperhitungkan dominasi warna pada citra dan sensitivitas sensor masing-masing
kanal. Pembobotan ini diperlukan karena sensitivitas masing-masing kanal terhadap
cahaya yang diterima oleh sensor dianggap sama. Cahaya yang diterima oleh sensor
foto memiliki sensitivitas yang berbeda tergantung dominasi unsur warna pada ketiga
kanal tersebut. Sehingga dalam teknik korelasi nilai rata-rata kanal yang diberi bobot
dilibatkan pembobotan dengan memperhitungkan dominasi warna pada citra tersebut.
Proses pencocokan citra metode korelasi nilai rata-rata kanal terpisah terdapat
keterbatasan, yaitu bobot masing-masing kanal akan dibuat sama dan bernilai satu (1).
Di sisi lain, warna merupakan informasi penting dalam identifikasi objek terutama
28
dalam domain metode pencocokan citra berbasis area dan setiap objek memiliki
keunikan warna-warna tersendiri. Oleh karena itu, bobot pada masing-masing kanal
tidak bisa disama-ratakan.
1).(
2_
−
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−
=∑∑
nm
ggw
m
i
n
j
chchij
ch (7)
Untuk memperoleh nilai korelasi yang baik, hitungan korelasi tidak cukup
hanya dengan merata-ratakan korelasi dari ketiga kanal tersebut. Komponen bobot
(wch) pada persamaan 7 dari CA masing-masing kanal perlu dihitung kemudian
dikombinasikan dengan korelasi masing-masing kanal (ρch). Hasil yang diperoleh dari
hitungan tersebut adalah nilai korelasi yang diberi bobot (ρtotal) dan memenuhi
persamaan 8 (Schenk, 1999).
∑
∑
=
== k
chch
k
chchch
total
w
w
1
1.ρ
ρ (8)
dimana:
barisjumlah kolom,jumlah n m,kanaljumlah baris, kolom,k j, i,
bobot diberi yang korelasikoefisien SCA pada kanalbobot w
kanal korelasikoefisien
ch
=====
total
ch
ρ
ρ