Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital...

74

Click here to load reader

Transcript of Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital...

Page 1: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

26

Bab. II. TEORI BAHASA RUPA

2.1. Landasan Teoretik

2.1.1. Kajian tentang konstelasi teori/pemikiran tentang pembacaan rupa

Sebenarnya pengkajian tentang pembacaan rupa telah banyak dibahas oleh para ahli atau

pakar perupaan, khususnya dengan yang dimaksud sebagai analisis visual terhadap

berbagai wujud rupa tersebut. Biasanya pada kajian-kajian bahasa rupa selalu dihadapkan

pada berbagai persoalan yang berhubungan dengan terminologi bahasa rupanya. Oleh

karena itu dalam konstelasi pemikiran tentang pembacaan rupa, dijelaskan lebih lanjut

sehubungan dengan pemahaman tentang bahasa rupa itu sendiri.

Sehubungan dengan penjelasan sebelumnya, yang dimaksud dengan analisis visual ini

antara lain, estetik, kritik seni, linguistik, fenomenologi, psikoanalisis, proxemics,

semiotik dan hermeneutik, yang semuanya ini biasa disebut ‘pendekatan visual’.

Sedangkan yang dimaksud dengan kajian kerupaan (yang terus berkembang) yang

relevan dengan aspek kerupaan adalah hermeneutik, psikoanalisis, reception theory,

textual analysis, discourse analysis dan geneologi. Hal ini dapat dilihat dari skema relasi

antara bahasa rupa yang ditawarkan Primadi dengan kajian-kajian lain yang relevan:

estetis Efek/Tindakan

Simbolis

Bercerita Denotasi

Konotasi Semiotik

Mitologis Semantik Analisis Wacana

textual Analysis

Hermeneutika Fenomenologi

Psikoanalisis

Skema: ruang lingkup bahasa rupa dengan kajian-kajian lain yang relevan. (.Piliang AY. 2005) Skema: 2.1.

Page 2: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

27

Sehingga dapat dijelaskan dari skema tersebut bahwa kajian bahasa rupa yang

dikembangkan oleh Primadi memiliki hubungan yang jelas dengan kajian semiotika,

khususnya persinggungan dengan aspek denotasi (denotation) dari semiotika sebagai

sebuah ilmu (Piliang Y.A 2005). Sebagaimana diketahui, didalam kajian semiotika, ada

tingkat kajian/tanda, yaitu: 1) tingkat denotasi (denotation), 2) tingkat konotasi

(konotation), dan 3) tingkat mitos dan metalanguage. Pada tingkat denotasi, secara

khusus, dibicarakan, relasi antara sebuah tanda (sign) dengan apa yang ditandainya

(signification). Nelson Goodman (Piliang, Y.A 2005), di dalam Language of Art

menjelaskan denotasi sebagai relasi di antara yang merepresentasikan dengan obyek yang

direpresentasikan (sign). Yang merepresentasikan itu mewakili (stand for), merujuk

(refer to), menyerupai (resemblace) atau mendeskripsikan apa yang direpresentasikan.

Sebuah gambar kerbau menunjuk, mewakili, merujuk atau meniru obyek kerbau di dalam

realitas. Sebuah gambar adalah sebuah ikon (icon) dari apa yang direpresentasikan.

Untuk mempermudah penjelasan dari bahasa rupa yang disusunnya, Primadi telah

berhasil menciptakan segitiga limas gambar representatif ,

Segitiga limas representatif:

Rusuk-rusuk tegak limas ini terdiri dari:

Ekspresif (A-D), stilasi (B-D), deskriptif (C-

D). Sedangkan rusuk-rusuk alas limas ini

terdiri dari: Simbolik (A-B), estetis (A-C),

bahasa rupa (B-C). (lihat skema 2.2)

Skema: ‘Segitiga Limas Representatif’ (Tabrani, P. 2005) Skema 2.2

Page 3: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

28

Dapat dilihat pada skema ini, terdapat empat hubungan sistem kerja, baik dari rusuk-

rusuk tegak maupun rusuk-rusuk alas, 1) hubungan Estetis – Simbolis – Bahasa Rupa, 2)

hubungan Estetis – Ekspresif – Deskriptif, 3) hubungan Simbolis – Ekspresif – Stilasi, 4)

hubungan Deskriptif – Stilasi – Bahasa Rupa (Tabrani, P. 2005).

Kemudian pada perkembangannya, limas gambar-gambar representatif menjadi lebih luas

dengan tambahan-tambahan rusuk.

Skema: Limas representatif

Rusuk-rusuk tegak dari limas ini, merupakan ‘teknik’nya atau segi penggambarannya

yakni: deskriptif, stilasi, ekspresif dan geometris. Sedangkan rusuk-rusuk alas dari limas

ini merupakan segi pe’makna’nya yakni: Bahasa Rupa, Estetis, Simbolik, dan Semiotik.

Limas representatif ciptaan Primadi Tabrani (skema 2.3)

Jadi dapat dijelaskan bahwa yang semula segitiga limas representatif, kemudian menjadi

segiempat limas representatif, adalah dengan adanya tambahan rusuk tegak yakni,

penggambaran secara teknis geometris, dan rusuk alas adalah pemaknaan semiotik. Hal

ini dapat dijelaskan pula bahwa, kajian denotasi dari keilmuan semiotik merupakan

bagian dari analisis aspek gambar sebagai representasi (bahasa rupa). Sehingga

penggambaran teknis geometris dapat masuk di dalam limas representatif sebagai bagian

dari gambar-gambar representatif

Skema: ‘Limas Representatif’ (Tabrani, P. 2005) Skema 2.3

Page 4: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

29

Meskipun demikian, walaupun kajian bahasa rupa dapat dimasukkan ke dalam kajian

denotasi, aspek khusus yang dikaji Primadi yang tidak dikaji oleh semiotika dan

semantika, yakni aspek bercerita (story telling) masih tetap harus mengacu pada teori

dasar kajian bahasa rupa. Karena aspek bercerita telah dilupakan oleh kajian rupa, baik di

Indonesia maupun di Barat. Dijelaskan lebih lanjut oleh Yasraf A. Piliang (2005), bahwa

pada semiotika kajian tanda pada tingkat denotasi (denotation), sebagaimana yang

dilakukan Barthes, merupakan kajian yang juga tidak dianggap utama yang hanya dikaji

secara sepintas, karena yang diutamakan adalah kajian pada tingkat konotatif

(connotative) yaitu bagaimana sebuah gambar memiliki ‘makna’ atau ‘konsep’ tertentu

yang bersifat ideologis.

Jadi dapat dipahami, sebagai kajian yang berkonsep dasar pada aspek bercerita, lebih

menekankan pada aspek representasi obyeknya. Tetapi tidak menutup kemungkinan

dalam mengkaji aspek bercerita, dapat diperluas kajiannya dengan menggunakan kajian

pemaknaan lain, misalnya kajian semiotik, estetik, dan simbolik

Pada konteks yang bukan berupa analisis gambar-gambar, misalnya dalam kajian teks

dalam bahasa verbal atau bahasa tulis dalam konteks sastra, yang termasuk aspek

bercerita adalah, komik (cerita bergambar), cerita pendek (cerpen), novel, roman, dan

sejenisnya. Sama halnya dengan ‘gerak’ wayang kulit pada saat dipagelarkan merupakan

aspek bercerita pada konsep bahasa rupa dalam bentuk bahasa non verbal (gesture).

Kemudian kajian teks dalam bahasa verbal atau bahasa tulis dalam konteks sastra, dengan

kajian pendekatan semiotik adalah, puisi, prosa, syair, pantun, dan kidung, dengan

melalui analisis konotasi dan mitologis. Bahkan dapat pula menggunakan analisis wacana

yang lebih luas, antara lain melalui pendekatan semantik, textual analisys, hermeneutika,

fenomenologi, bahkan psikoanalisis. Karena kajian sastra jenis ini memiliki makna

simbolis dan kaidah estetis.

Page 5: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

30

Demikian pula dengan istilah ‘sastra visual’ yang digunakan Edy Sedyawati sehubungan

dalam konteks bahasa rupa. Pengertian ‘sastra visual’ yang dimaksudnya adalah, sastra,

atau khususnya cerita, yang dituangkan ke dalam citraan visual. Untuk mempermudah

pemahaman, digunakannya contoh misalnya, relief candi, gambar berseri/berangkai

seperti pada wayang beber maupun lontar bergambar dari Bali, serta komik dijaman

modern sekarang (Sedyawati, E. 2005).

Dalam ulasannya disebutkan bahwa makna dramatik dari ekspresi visual wayang beber

yang telah ditemukan Primadi yang dituliskan dalam disertasinya, adalah penempatan

tokoh yang sama dalam satu ‘bingkai’ adegan, misalnya harus diinterpretasikan sebagai

representasi sequence. Sejumlah kaidah pencitraan secara visual sebagaimana dapat

dilihat pada relief candi dan sejumlah peninggalan purbakala lain.

Pada penjelasan ini dapat diuraikan bahwa, yang dimaksud dengan makna dramatik dari

ekspresi visual, adalah ‘tata ungkapan dalam’ dan ‘tata ungkapan luar’ untuk kajian

bahasa rupa yang di teliti oleh Primadi. Melalui ‘tata ungkapan dalam’ dapat diketahui

cara menyusun berbagai obyek dan cara obyek tersebut digambar agar dapat diceritakan,

dan perpindahan gambar tunggal yang satu ke gambar tunggal yang lain disebut ‘tata

ungkapan luar’. Dalam studi sebelumnya telah dibahas oleh Edy Sedyawati (2005)

sejumlah kaidah, khususnya berkenaan dengan 1) pada tipologi karakter cerita

(penandaan visual), yakni perbedaan perangkat busana dan dandanan rambut, pada tokoh

bangsawan dan rakyat biasa, atau golongan tokoh ’halus’ dan tokoh ’gagah’, 2) tanda-

tanda sikap tubuh, misalnya kepala terkulai, atau tangan ke arah bahu dan disangga

tangan yang lain, menandakan kesedihan. Kedua kaidah ini dalam pembahasan kajian

bahasa rupa Primadi termasuk dalam pembahasan ‘tata ungkapan dalam’.

Kemudian pada sejumlah kaidah berikutnya yakni, 3) kode-kode untuk pergantian

adegan. Misalnya, adanya penggambaran sekelompok orang yang sedang saling

membelakangi, diantara punggung yang satu dengan yang lain merupakan pembatas

antara adegan yang satu dengan yang lain, 4) ciri-ciri visual penanda yang lain, misalnya

lingkungan keraton ditandai dengan tempat-tempat duduk yang ditinggikan. Atau pohon-

Page 6: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

31

pohon untuk lingkungan alam yang terbuka. Kedua kaidah tesebut dalam kajian bahasa

rupa Primadi, termasuk dalam pembahasan ‘tata ungkapan luar’ yang masing-masing

kaidah tersebut memiliki ruang dan waktunya sendiri-sendiri. Seperti yang dituliskan

Primadi dalam bukunya, bahwa tiap benda di alam memiliki ruang dan waktu sendiri-

sendiri, yang tidak persis sama satu dengan yang lain, tapi mereka bisa bersama-sama

dalam satu tema (Tabrani. 2005).

2.1.2. Kajian atas hasil disertasi Primadi Tabrani

Sehubungan dengan penelitian aspek ‘gerak’ dalam bentuk bayangan wayang kulit di saat

pergelaran, digunakan pendekatan analisis bahasa rupa. Oleh karena itu penelitian ini

perlu dukungan dari sumber-sumber penelitian bahasa rupa yang pernah diteliti

sebelumnya. Kajian bahasa rupa merupakan subyek dari penelitian disertasi ini dan

pembahasan penelitiannya tentang pencarian bahasa rupa dua dimensi aspek ‘gerak’

dalam bentuk bayangan wayang kulit merupakan topik utama. Maka perlu dicari aspek

bahasa rupa pada gambar-gambar dua dimensi ‘diam’ yang representatif sebelum

mempelajari aspek gerak pada gambar-gambar dua dimensi bayangan. Penelitian bahasa

rupa gambar-gambar dua dimensi ‘diam’ yang representatif, sudah diteliti oleh Primadi

Tabrani dalam bentuk disertasi (1991). Melalui tinjauan pada wayang beber ‘Jaka

Kembang Kuning’ dari telaah ‘cara wimba’ dan ‘tata ungkapan’ bahasa rupa sebagai

media ruparungu (media audiovisual) statis yang modern. Dalam hubungannya dengan

bahasa rupa gambar prasejarah, primitif, anak, cerita wayang beber dan relief cerita

Lalitavistara Borobudur.

Penelitian serupa yang juga diperlukan untuk melengkapi aspek bahasa rupa pada

gambar-gambar bahasa rupa media ruparungu dua dimensi ‘diam’, adalah penelitian

Lampion Damarkurung (Ismoerdijahwati. 2001), tentang bahasa rupa gambar-gambar

lampion damarkurung asal Gresik Jawa Timur, karya Mbah Masmundari1 (alm).

Penelitian ini membahas tentang pencarian subtansi dari keberadaan lampion dan bahasa 1 Mbah Masmundari meninggal dunia tanggal 26 Januari 2006 dalam usia 102 tahun. Beliau dilahirkan ditahun 1904 dan merupakan anak ke 3 bersaudara. Mempunyai seorang putri bernama ibu Rohayah, dan ibu Rohayah tidak mempunyai ketrampilan menggambar seperti ibunya. Sehingga tidak terjadi regenerasi dalam keahlian menggambar di lampion tersebut. Untunglah secara diam-diam, salah seorang cucunya mempelajari teknik menggambar tersebut, dan akhirnya kepunahan bisa terhindarkan.

Page 7: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

32

rupa gambar-gambar penutup lampion damarkurung. Pendekatan yang digunakan adalah

teori bahasa rupa Primadi, dari hasil penelitian berupa gambar-gambar 2 dimensi

representatif gambar ‘diam’ yang ‘hidup’ sekaligus memiliki dimensi waktu. Gambar-

gambarnya menggunakan teknik ’en profil’ sekaligus ’en face’ mirip wayang kulit

dengan penggambaran bentuk wajah ke samping/tampak sisi. Hanya saja tokoh-tokoh

yang digambarkan ini tidak menggunakan kostum wayang, tetapi menggunakan kostum

masa kini, jeans bagi lelaki dan para kaum mudanya, dan penggunaan kerudung dan kain

bagi para wanitanya. Melalui bahasa rupa akhirnya diketemukan, bahwa cerita pada

gambar-gambar lampion damarkurung, mirip dengan gambar-gambar wayang beber

‘Jaka Kembang Kuning’, dan relief ‘Lalitavistara’ Borobudur. Misalnya, seorang ‘Raja’,

‘tuan rumah’, ‘pemilik’, ‘penjual’, ‘petugas’, ‘penunggu’, diposisikan sebelah kanan

gambar. Sedangkan seorang ‘tamu’, ‘pengunjung’, ‘pembeli’, diposisikan sebelah kiri.

Arah ‘datang’ dari kiri-ke kanan (masuk ke dalam suatu ruang), arah ‘pergi’ dari kanan-

ke kiri (keluar dari suatu ruang). Juga merupakan gambar dua dimensi ‘diam’ tapi

‘hidup’, seperti pada gambar pra sejarah, primitif, anak, relief candi ‘Lalitavitara’

Borobudur, Wayang Beber ‘Jaka Kembang Kuning’.

Pada perkembangan selanjutnya, untuk mempermudah kajian, Tabrani, P. (2005)

menjadikan gambar-gambar tersebut menjadi satu pemahaman, yakni bahasa rupa

gambar-gambar tradisi. Untuk selanjutnya lebih sering ditemui istilah bahasa rupa

gambar-gambar tradisi pada penulisan disertasi ini. Bahasa Rupa gambar-gambar tradisi

adalah kesemua gambar mulai dari gambar-gambar tunggal, yakni bahasa rupa gambar

pra sejarah, gambar primitif, gambar anak-anak, kemudian gambar-gambar tunggal yang

dirangkai yakni bahasa rupa gambar relief candi “Lalitavistara” Borobudur, gambar

wayang beber “Jaka Kembang Kuning” dan gambar lampion Damarkurung, yang

dirangkum dengan sebutan bahasa rupa gambar tradisi. Sesuai dengan pernyataan

Tabrani P. (2005), bahwa hal ini disebabkan, bahasa rupa pendahulu kemudian

berkembang sesuai latar belakang masing-masing menjadi bahasa rupa tradisi pada

gambar tradisional… oleh sebab itu bahasa rupa gambar prasejarah, primitif, anak dan

tradisi penulis rangkum sebagai bahasa rupa gambar tradisi, karena semuanya

menggunakan bahasa rupa yang lebih dekat dengan RWD.

Page 8: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

33

Untuk lebih jelasnya perlu dituliskan juga bahwa, pada gambar-gambar tradisi terdapat

persamaan-persamaan dalam bahasa rupanya, termasuk ciri-cirinya. Karena pelaku dari

masing-masing pencipta gambar tersebut memiliki latar yang sama, yakni budaya tulis

belum dikenal atau budaya tulis belum membudaya atau kemampuan menulis masih

terbatas. Maka bahasa rupa gambar pra sejarah berlaku pula pada bahasa rupa gambar

primitif dan gambar anak-anak, karena memiliki ciri-ciri yang sama: bila seekor mammut

digambar belalainya lebih dari satu. Pesannya adalah, sang mammut sedang

menggerakkan belalainya. Bila seekor binatang digambar dengan bentuk dan garis yang

relatif statis, maka binatang itu relatif sedang diam. Bila suatu obyek digambar “lebih

besar” dari sekelilingnya, maka pesannya obyek tersebut lebih penting dari yang lainnya.

Oleh karena itu besar kecilnya obyek tidak ada hubungannya dengan ‘frame’. Maka dapat

disimpulkan hingga saat itu, belum dikenal apa yang disebut dengan istilah ‘ukuran

pengambilan’. Umumnya tiap benda, selalu digambar dari kepala sampai kaki, jadi

gambar lebih berbicara dengan ‘gesture’ daripada dengan ‘ekspresi wajah’. Bila suatu

obyek ‘penting untuk dikenali’, maka binatang (obyek) itu akan digambar dari arah

paling karakteristik hingga binatang itu mudah dikenali. Misalnya, ayam lebih sering

digambar tampak sisi daripada tampak muka, begitu pula binatang kaki empat juga

digambar tampak sisi. Karena bila tampak depan, akan tampak sulit dikenali jenis

binatang yang digambarkan. Bila suatu kejadian di dalam ruang dianggap penting untuk

diceritakan, maka dibuat gambar ‘sinar x’, hingga kejadian tersebut tampak dari luar dan

dapat diceritakan. Bila pada suatu gambar, suatu obyek digambar beberapa kali (cara

kembar), pesannya benda tersebut sedang ‘bergerak’, berada pada aneka waktu dan

tempat yang sedikit berbeda. Bila pada suatu gambar terdapat obyek-obyek yang ’jungkir

balik’ (dilihat dengan cara ruang angkasa), maka pesannya ada ruang yang berkeliling

(orang prasejarah, primitif dan anak-anak mampu ‘membaca’ gambar-gambar tersebut

dengan tanpa kesulitan). Kemudian pada gambar-gambar tertentu, terkadang tampil

dalam bentuk berlapis-lapis latar. Tiap latar mempunyai waktu dan ruangnya sendiri yang

tidak sama persis satu dengan yang lain. Misalnya, lapisan latar paling bawah,

maksudnya terjadi lebih dahulu, lapisan berikutnya terjadi kemudian, dan begitu

Page 9: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

34

selanjutnya. Tapi bagi manusia prasejarah, primitif dan anak-anak, ruang dan waktu tidak

harus ‘dibaca’ kronologis, bisa dengan flashback atau siklus. Maksudnya, tak penting

mana yang ‘dibaca’ terlebih dahulu, mana yang ‘dibaca’ kemudian. Setelah semua

dibaca, maka lengkaplah maknanya. Walaupun latarnya bisa berlapis-lapis, namun semua

obyek di suatu latar ‘digeser’ baik sebagian maupun seluruhnya, supaya tampak dan

dapat diceritakan.

Perlu diketahui, bahwa penelitian-penelitian tersebut, merupakan penelitian dengan

bahasa rupa, khusus mengenai gambar representatif pada gambar-gambar dengan teknik

penggambaran deskriptif. Artinya kajian dari penelitian-penelitian bahasa rupa tersebut

menggunakan gambar-gambar yang mewakili aslinya, dan sekaligus bercerita. Bila pada

suatu gambar, suatu obyek digambar dengan menggunakan imaji gerak, maka bentuk

penggambarannya adalah, bila suatu obyek digambar beberapa kali (cara kembar),

tampil dalam bentuk berlapis-lapis latar, dan flashback atau siklus. Kesemua bentuk

penggambaran tersebut merupakan bentuk gambar gerak yang ’statis’ (’stop motion’)

yang merupakan penggambaran animasi.

Oleh karena itu, penelitian-penelitian tersebut dapat menjadi panduan untuk membantu

menemukan bahasa rupa gambar-gambar dua dimensi aspek ‘gerak’ pada bayangan

wayang kulit pada saat dipergelarkan melalui kelir, dengan sinar dari lampu blencong.

Penelitian media audio visual diperlukan juga untuk membantu penelitian bahasa rupa

‘gerak’ wayang kulit dalam bentuk bayangan. Karena wayang kulit merupakan media

audio visual tradisional dalam bentuk bayangan dua dimensi yang bergerak dari arah kelir

melalui sinar lampu blencong. Dalam media Audio Visual, informasi yang masuk melalui

penglihatan bersifat dominan. Penelitian/tulisan mengenai The Grammar of film/TV

bertitik tolak, bagaimana membuat film/TV semata dari segi visualnya tanpa merepotkan

diri dengan bunyi dan sastra serta latar belakang budayanya. Oleh karenanya dapat

disimpulkan bahwa pada media audio visual, segi visualnya yang memberikan informasi

terbesar, dibandingkan dengan informasi yang diberikan melalui media lainnya.

Page 10: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

35

Seperti yang dituliskan oleh Subroto DS (1994), ……..yang berkenaan dengan pandang dengar, dengan kamera, mikrofon serta video kabel yang membawa sinyalnya dan seperti yang diketahui bahwa kita menerima berbagai informasi melalui panca indra kita, mata, telinga, hidung, mulut dan kulit. Berbagai informasi ini justru informasi melalui mata yang paling besar prosentasenya, sampai 75% dari seluruh informasi yang dapat diterima, hal ini dapat kita rasakan bahwa sebagian besar informasi ini diterima dengan jalan melihat…itu artinya bahwa tidak salah lagi dan lagi biasanya kita tidak mengetahui sesuatu karena belum pernah melihatnya.

Informasi melalui indera mata sebagian merupakan informasi yang kongkrit, sehingga

didapatkan informasi yang cukup jelas, baik warna, bentuk serta ukurannya, karena itu

media audio visual sangat bermanfaat untuk mengkomunikasikan suatu gagasan.

Bahkan oleh Dwyer (1978) dikemukakan untuk mengenal informasi secara lengkap,

indera penglihatan merupakan aspek utama dalam menerima informasi bahkan

prosentasenya sampai 83%, seperti yang dikemukakan melalui tabel 2.1, The effectiveness of

Visualization.

The Grammar of Film/TV Language, adalah usaha agar rangkaian gambar tunggal bisa

bercerita. Oleh karena itu, dari kegiatan serupa pada Film/TV, diharapkan pula pada

penelitian pagelaran wayang kulit. Melalui gambar-gambar hasil rekaman video,

berusaha diketemukan bahasa rupa ‘gerak’ pada gambar-gambar ‘gerak’ wayang kulit.

Akhirnya dari usaha ini diperoleh The Grammar of Wayang Kulit Purwa (bahasa rupa

wayang kulit purwa). Menggunakan istilah ‘grammar’, karena untuk merangkai gambar-

gambar hingga terjadi kesinambungan cerita diperlukan grammar. Untuk sementara

boleh dianggap ‘grammar’, tapi perlahan akan terungkap, bukan hanya ‘grammar’. Dari

usaha ini pula tampaklah bahwa penelitian bahasa rupa mengikuti pola penelitian bahasa

rupa film/TV – The Grammar of Film/TV Language.

WE LEARN 1 % Through Taste 1,5 % Through Touch 11 % Through Hearing 83 % Through Sight

Page 11: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

36

Pada bahasa rupa barat, terdapat banyak istilah kamera misalnya, istilah kamera MLS

(Medium Long Shot). Pada gambar-gambar sistem NPM, istilah kamera MLS, selalu

merupakan bingkai/frame pada suatu bidang gambar, seakan merupakan ‘cara’

pengambilan gambar dari kepala-kaki pada bahasa rupa pendahulu. Namun pada bahasa

rupa pendahulu, meskipun menggunakan gambar dengan cara pengambilan dari kepala-

kaki, selalu tanpa bingkai (frame). Pada bahasa rupa pendahulu, seluas apapun bidang

gambar, seluas apapun bidang cadas, sebesar apapun gambarnya, tidak ada hubungannya

dengan ‘Frame’, gambarnya tetap dari kepala sampai kaki.

Penelitian Yumarta, Y (2004) tentang bahasa rupa ‘gerak’ pergelaran wayang golek

purwa, juga menggunakan konsep dasar dari hasil penelitian Primadi yakni bahasa rupa

gambar teori RWD (Ruang – Waktu – Datar), telah disusun dalam bentuk tabel sebagai

berikut:

TABEL 2.2. BAHASA RUPA MENURUT TEORI RUANG WAKTU DATAR (RWD)

BAHASA RUPA

MEDIA DIMENSI POSISI DIARTIKAN KETERANGAN

Gambar Cadas Relief cerita Wayang Beber Damarkurung Lukisan Kaca Gambar Anak

Statis

Dwimatra

Seperti diam

Bergerak

Digambar dengan blabar yang mengekspresikan gerak sehingga terkesan hidup

Dalam keadaan diam, tidak dimainkan

Sebagai “gambar diam” tidak mati

Jejer, wayang dan gunungan ditancapkan.

Wayang Kulit

Dwimatra

Dalam keadaan bergerak karena dimainkan

Sebagai “gambar hidup”

Gerakan-gerakan dalam sabetan

Dalam keadaan diam tidak Dimainkan/tidak digerakkan

Dianggap “gambar diam” tidak mati

Jejer, wayang dan gunungan ditancapkan

Wayang Golek

dinamis

Trimatra

Dalam keadaan bergerak karena dimainkan

Dianggap “gambar hidup”

Gerakan-gerakan dalam sabetan

Page 12: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

37

Pada wayang kulit (dwimatra) dan wayang golek (trimatra) terdapat persamaan sebagai

media dinamis. Bila wayang kulit dan wayang golek tidak dimainkan, posisi mereka

dalam keadaan ‘diam’, dan diartikan sebagai ‘gambar diam’ tidak mati (wayang dan

gunungan dalam keadaan jejer, ditancapkan). Bila posisi wayang kulit dan wayang golek

dalam keadaan bergerak karena dimainkan, diartikan sebagai “gambar hidup” (melalui

gerakan-gerakan dalam sabetan).

Kemudian disertakan pula tabel cara baca bahasa rupa wayang golek purwa dalam posisi

statis dan tabel cara baca bahasa rupa wayang golek purwa dalam posisi dinamis (2004).

Tabel-tabel tersebut, perlu ditampilkan dalam penelitian ini, sebab dapat dipakai sebagai

bahan pembanding dengan bahasa rupa wayang kulit dua dimensi dalam bentuk

bayangan dari arah kelir melalui sinar lampu blencong.

Tabel 2.3 Cara Bahasa Rupa Wayang Golek Purwa dalam Posisi Statis.

No Catatan Cara Memainkan Tata Ungkapan Makna 1. Posisi kayon

Posisi wayang statis “mati”

Ditancap diam Diam, wayang ditancapkan

Tata Ungkapan Luar T.U. Dalam, adegan keraton susunan jejer tanpa gerak.

Kehidupan belum Dimulai Kiri: berpangkat, penghuni, baik. Kanan: pangkat rendah, jahat, tamu.

2. Blocking Pengadegan/ jejer Dialog, gerak isyarat tangan

Yang berbicara lebih awal.

3. Yang ke kiri

penting

4. Identifikasi Atribut/ ciri

Tempat di latar depan kiri bicara dengan gestikulasi + gesture

Yang dihormati, tuan rumah, baik, berpangkat tinggi, pemeran utama

5. Lapisan latar + daerah pentas kiri + kanan.

Lt. depan, tengah belakang, daerah pentas kiri, kanan

Latar depan kiri yang disebut lebih dulu, kemudian latar tengah kanan, berikut latar belakang kanan

Persidangan, rembugan, bercerita banyak kejadian dalam durasi waktu dan ruang.

6. Dilihat dari samping

Tampak karakteristik

Dinyatakan dengan atribut/ hiasan kepala

Dikenali sebagai tokoh satria, ponggawa, putri, dan lain-lain.

7. Skala normal wayang panggung

Wayang ditancap dan dipegang

Tampak MLS, dalam jejer, gerak isyarat tangan, badan, kepala.

Tokoh sedang berbicara dalam jejer (gestikulasi, gesture, sabet)

Page 13: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

38

Tabel 2.4. Cara Bahasa Rupa Wayang Golek Purwa Dalam Posisi Dinamis.

No Catatan Cara Memainkan

Tata Ungkapan Makna

1. Posisi wayang dinamis “hidup”

Gerak dengan gestikulasi, gesture

T.U Dalam & T.U Luar, jejer keraton, jejer dengan gerak

Kiri. Latar depan: berbicara lebih dulu, latar tengah diberi tugas.

2. Blocking Pengadegan/ jejer

Dialog, gerak isyarat tangan

Yang berbicara lebih dulu.

3. Penting Dipegang tangan kanan

4. Identifikasi Gerak tari

Selalu berada di kiri,memperlihatkan gerak karakteristik

Yang akan menang dalam perang,memperkenal- kan diri, menunjuk kan lama waktu perjalanan.

5. Lapisan latar + daerah pentas kiri + kanan

Gerak sabetan gesture

Gerakan ke kiri, kanan, atas, bawah, muka, belakang. Latar tengah kanan, latar belakang.

Imajinasi ruang dan waktu.

6. Cara melihat Kiri, kanan, tengah

Menggambarkan peristiwa dalam bahasa rupa pertunjukkan.

Perlu diperhatikan, ada perbedaan yang signifikan:

- Pada posisi tokoh dari gambar-gambar relief candi Borobudur dan seni hias

Damarkurung bahwa, posisi tokoh Raja, tuan rumah, atau tokoh baik, berada di

posisi kanan gambar, dan tokoh di bawah raja, tamu atau tokoh jahat, berada di

posisi kiri gambar.

- Pada wayang beber dan wayang golek, posisi tokoh Raja, tuan rumah, atau tokoh

baik, berada di tangan kanan dalang, berarti berada di posisi kiri dari arah para

penonton. Sedangkan posisi tokoh di bawah Raja, tamu atau tokoh jahat berada di

tangan kiri dalang, berarti berada di posisi kanan dari arah para penonton.

Page 14: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

39

Tabel 2.2, 2.3, 2.4, tersebut merupakan parameter untuk membantu menganalisis bahasa

rupa gerak wayang kulit purwa gaya Yogyakarta. Sehingga perbedaan-perbedaan dan

persamaan-persamaan yang signifikan antara wayang golek purwa dan wayang kulit

purwa dapat diketahui nantinya pada bahasa rupa gerak wayang kulit dari arah bayangan.

Bahasa rupa sistem RWD dan NPM telah dicobakan dan digunakan pada gambar-gambar

tradisi, dan gambar-gambar modern dari penelitian-penelitian bahasa rupa sebelumnya,

baik gambar tunggal maupun gambar rangkai. Sebagai contoh ‘cara membaca’ gambar

dua dimensi bahasa rupa tradisi, baik gambar tunggal, maupun gambar-gambar yang

dirangkai akan dipaparkan dalam tulisan ini, yang merupakan hasil penelitian-penelitian

sebelumnya.

Untuk mudahnya, dikemukakan terlebih dahulu, penggunaan teori bahasa rupa hasil

penelitian Primadi pada penelitian-penelitian serupa, melalui ‘cara membaca’ jenis

gambar-gambar tunggal yang memiliki sistem menggambar RWD: gambar pra sejarah,

primitif, dan gambar anak. Setelah itu dipaparkan pula ‘cara membaca’ gambar-gambar

yang cara pembuatan gambarnya dirangkai, sistem menggambar RWD: gambar-gambar

wayang beber, gambar-gambar relief Borobudur dan seni hias Damarkurung. Kemudian

yang terakhir ditampilkan pula jenis gambar-gambar tunggal yang memiliki sistem

menggambar NPM.

Contoh-contoh ‘membaca’ bahasa rupa jenis gambar tunggal:

Contoh cara membaca bahasa rupa jenis gambar-gambar tunggal ini, dipakai pula untuk

membaca pada saat analisis gambar pergelaran wayang kulit purwa gaya Yogyakarta

dalam bentuk bayangan gerak. Cara membaca ini disusun dalam bentuk tabel-tabel agar

supaya mempermudah cara membacanya.

Page 15: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

40

Tabel 2.5. Contoh bahasa rupa pada gambar prasejarah

Foto 2.1. Kuda Berderap Dipanah- Lascaux, Perancis, Eropa (Howell dalam Tabrani, 2005)

CARA WIMBA TATA UNGKAPAN MEMBACA BAHASA RUPA Tampak karakteristik

Kuda digambar dari tampak khas hingga mudah dikenali. Tidak hanya sebagai kuda, tapi pula kuda bunting.

Dari kepala sampai kaki

Gesturenya mudah dikenali sebagai kuda, tubuh tidak kaku, larinya tersendat karena keberatan oleh kandungan

Skala normal Skala kuda ini nyaris 1:1 dan digambar lebih besar dari kuda lainnya pada gambar yang sama. Jadi kuda ini penting dalam cerita tersebut.

Bentuk tubuh relatif dinamis

Walaupun tubuh besar dan keberatan oleh kandungan, ia masih bisa berlari.

Kejadian Bukan still picture, tapi ada matra waktu dalam gerak kuda dan panah yang berhamburan kearahnya dari belakang. Pesannya, kuda itu berpindah tempat.

Aneka tampak Badan tampak samping, kuku tampak muka

Page 16: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

41

Tabel. 2.6. Contoh bahasa rupa pada gambar primitif

Foto 2.2. Merupakan satu bentuk lukisan burung pada media kulit kayu suku Aborigin (Aboriginal bark paintings) (Repro gambar: .Ucko. J.P. 1977)

CARA WIMBA TATA UNGKAPAN MEMBACA BAHASA RUPA Ukuran Pengambilan: Dari kepala - kaki

Badan tampak samping dan kaki tampak atas. Sehingga bisa diceritakan bentuk burungnya

Sudut Pengambilan: Sinar X

Badan burung seolah-olah tembus pandang, sehingga organ-organ didalam tubuh burung dapat diceritakan

Skala normal/sama dengan aslinya

TUD Menyatakan Penting: Tampak Khas (berkarakteristik) Sinar X

Skala burung ini nyaris 1:1 dan digambar secara khas dari arah yang paling mudah dikenali. Sekaligus juga ditampakkan pula organ-organ tubuh burung yang dianggap penting untuk diceritakan.

Penggambaran: Aneka tampak

Digambar tampak samping, dari arah yang paling mudah dikenali, yang merupakan gambar burung, lengkap dengan organ-organnya. Jadi penggambarannya bukan still picture.

Page 17: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

42

Tabel 2.7. Contoh bahasa rupa pada gambar anak

Foto 2.3. Karya Arbitha Mirdyana, 4 tahun, Perempuan, Jakarta. (Hardi Y S. 2004)

CARA WIMBA TATA UNGKAPAN DALAM

MEMBACA ‘BAHASA RUPA’

Ukuran Pengambilan: Dari kepala – kaki Ada yang diperbesar

Semua wimbanya digambar dari kepala sampai kaki agar dapat dikenali ‘gesture’nya. Bunga digambar lebih besar, artinya bunga itu penting.

Sudut pengambilan: Sudut wajar

Wimba tampak wajar, sejajar dengan pandangan mata

Skala: Lebih kecil dari aslinya

Semua wimba digambar lebih kecil dari aslinya

Penggambaran: Naturalis Terbatas Ekspresif Blabar Garis Warna Aneka Tampak Kejadian

Wimba dapat dengan mudah dikenali. Penggambaran dengan cara ekspresif dengan garis yang jelas dan blabar yang jelas. Sehingga dapat mengungkapkan perasaan, suasana dan gerak. Warna digunakan pada wimba. Manusia tampak depan, kakinya tampak atas, bunga tampak atas, daunnya tampak samping Bukan still picture, bukan momen opname tapi ada matra waktu, terlihat

Page 18: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

43

dari obyek seperti sedang berjalan Menyatakan Ruang

Garis Tanah Digeser

Wimba berdiri pada garis tanah yang digambar seperti rumput. Wimba digambar dengan cara digeser agar dapat diceritakan semuanya.

Menyatakan Gerak Garis-garis ekspresif Bentuk dinamis

Bentuk digambar dinamis dengan garis-garis yang ekspresif, sehingga terlihat sedang bergerak.

Menyatakan Penting: Tampak khas Diperbesar

Semua Wimba digambar dari tampak yang paling mudah dikenali Bunga digambar lebih besar, artinya bunga itu penting.

Pembahasan gambar-gambar Tradisi yang berbentuk gambar rangkai. Pembahasan berikutnya adalah gambar-gambar yang dirangkai yang memiliki sistem cara

menggambar bahasa rupa RWD. Gambar-gambar tersebut adalah gambar relief candi

“Lalitavistara” Borobudur, gambar wayang beber “Jaka Kembang Kuning” dan seni

hias lampion Damarkurung. ‘Cara-baca’ bahasa rupa yang dikemukakan pada penelitian

ini, merupakan hasil dari penelitian sebelumnya. Cara membacanya juga dipakai untuk

membaca gambar-gambar bayangan gerak wayang kulit purwa gaya Yogyakarta.

Penulisan cara membaca bahasa rupa dari gambar-gambar tersebut disusun dalam bentuk

tabel-tabel, yang merupakan hasil kajian dan bersifat keseluruhan langsung dikutib dari

buku sumber. Tabel-tabel tersebut sekaligus berfungsi sebagai parameter (pedoman-

pedoman) untuk menganalisis gambar-gambar bayangan gerak wayang kulit purwa gaya

Yogyakarta. Sedangkan pilihan gambar yang ditampilkan merupakan salah satu gambar

yang dapat dianggap mewakili, dari keseluruhan gambar-gambar yang dipakai sebagai

obyek kajian.

Page 19: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

44

Bahasa rupa gambar relief candi Lalitavistara Borobudur.

TABEL 2.8. MEMBACA BAHASA RUPA BOROBUDUR

(SISTEM RUANG-WAKTU-DATAR)2 NO CATATAN GAMBAR MEMBACA

BAHASA RUPA 1. DATA OBYEK

-Bergerak -Gerak Berulang -Penting Dikenali -Dalam Ruang

-Bentuk Dinamis & Blabar Ekspresif -Imaji Jamak -Sedikit Diperbesar -Tampak Karakteristik -Sinar X

-Sedang Bergerak Penting Untuk di - ketahui dalam cerita

2. CARA LIHAT -Pradaksina -Tiap Panil -Pergi -Tuan Rumah -Tamu -Jagongan -Memusat

-Urutan Panil Kanan-Kiri -Yang di kanan terjadi lebih dulu, lalu ke kiri. Dst. -Dari kanan ke kiri Menghadap ke kiri. -Di Belahan Kanan -Di Belahan Kiri -Tokoh Utama Tuan Rumah/ Tamu Di Tengah, Tuan Rumah Di Kanan, Tamu Di Kiri. -Tokoh Utama Di Tengah.

Bahasa Rupa ini dimaksudkan agar gambar dapat dibaca. Sungguhpun tanpa sastra/Teks -Gmb. Prasejarah -Gmb. Primitif -Relief Candi

3. SEKUEN -Adegan-Film -Latar-Film -Di Tiap Latar -Dipadukan

TANPA KISI-KISI -Beberapa Adegan-Film -Beberapa Latar Film -Latar Belakang Terjadi Lebih Dulu, (Latar Depan Dianggap Belum Ada). Latar Depan Terjadi Kemudian -Obyek/ Tokoh Bisa Digambar Lebih Dari Satu -Dengan Hitech Dismix

Bahasa Rupa Ini Agar Gambar Mampu Bercerita tentang banyak Kejadian Alam Rentang Waktu, Pindah Tempat, Dsbnya.

4. A NATURALIS -Urat & Mimik

DI STILIR -Tidak Ditampakkan

Bahasa Rupa

2 Tentang panel 49 ‘Lalitavistara’ relief Borobudur dapat dipelajari lebih lanjut pada Tabrani, P. (2005), Primadi Tabrani, dkk, (1986); Disertasi Tabrani, P. 1991.

Page 20: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

45

-Identifikasi -Kepala-Kaki

-Melalui Atribut Ciri-ciri -Gesture & Ruang

Borobudur berbicara dengan gesture dan kesan ruang

5. A PERSPEKTIF -Digeser -Aneka Sudut -Aneka Jarak

CANDERA + CERITA -Semua Kelihatan -Tampak Samping/Muka -Yang Penting Diperbesar

Hingga Bisa - Diceritakan Bukan Hanya Mencandera, Tapi Bercerita Dengan Apa Yang Digambar.

6. A MOMEN OPNAME BERDIMENSI WAKTU ANEKA ARAH/JARAK/WAKTU

Foto 2.4. Contoh Panil 49 Lalitavistara Borobudur ‘Sayembara Memanah’.

(repro Tabrani, P. 2005)

Sehubungan dengan itu dijelaskan pula ‘cara baca’ bahasa rupa relief cerita Borobudur

asal tahun 800 Masehi, dengan cerita sebagai berikut (perhatikan gambar relief

“Lalitavistara” Borobudur di atas):

Panel 49 menggambarkan sayembara memanah. Di belahan kanan (orang penting/ tuan

rumah) ada seseorang dengan atribut bangsawan dan bermahkota, duduk di podium yang

lebih tinggi dari lapangan.

Pesannya: tokoh itu seorang raja dan tuan rumah sayembara itu, dan sedang menyaksikan

jalannya sayembara tersebut.

Ada dua latar, di latar belakang (terjadi lebih dulu) para peserta sedang sibuk memanah

(latar depan, dianggap belum ada). Sementara itu di latar muka ada seorang peserta

dengan atribut bangsawan, memakai mahkota, berdiri dengan kedua kaki berlandaskan

Page 21: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

46

batu (ciri Bodhisatwa), di belahan kanan panel (penting) di sebelah kiri raja dekat

podium.

Pesannya: tokoh itu tentunya peserta utama dan untuk latar muka posisi ini terjadi lebih

dulu.

Di latar muka agak ke tengah, sebelah kiri peserta utama tadi, ada peserta dengan atribut

sama dengan peserta utama dan diteduhi payung (satu-satunya payung) serta juga berdiri

dengan kakinya berlandaskan batu (ciri Bodhisatwa).

Pesannya: Bodhisatwa sebagai peserta utama mulai dengan berdiri di kirinya raja dekat

podium di belahan kanan panil, kemudian maju ke tengah dan bersiap-siap melaksanakan

gilirannya. Tokoh yang baru saja selesai memanah di latar muka, di sebelah kiri tokoh

yang di tengah tadi, atributnya sama dan juga berlandaskan batu.

Pesannya: Bodhisatwa kemudian maju dan melaksanakan gilirannya, anak panahnya

(diperbesar agar tampak) melesat dan ujungnya tampak menembus tujuh pohon lontar

yang berada di belahan kiri panel dan merupakan adegan terakhir.

Jadi dalam panel ini, Bodhisatwa digambar 3 kali dalam posisi dan waktu yang sedikit

berbeda. Saat latar muka ‘muncul’ maka latar muka di ‘disolve’ dan pada saat yang tepat,

latar belakang dan latar muka di ‘dismix’ (dissolve & mix) hingga semua tampak dan

dapat diceritakan. Tampak pula semua tokoh digeser (penuh atau sebagian) agar tampak

dan bisa diceritakan.

Cara membaca bahasa rupa gambar wayang beber ‘Jaka Kembang Kuning’ menggunakan

teknik bercerita dari sequence ke sequence. Masing-masing sequence dibatasi oleh

gambar tokoh-tokoh yang saling memunggungi, untuk membedakan ruang dan waktu

dari masing-masing kisah. Pada masing-masing sequence dari pembatasan tersebut, dapat

dianggap sebagai masing-masing panil seperti yang terdapat pada relief-relief candi,

dalam penyampaian cerita (tiap sequence) dibatasi oleh panil-panil. Cara penyampaian

cerita dengan menggunakan pembatasan panil ini dimaksudkan agar dapat dibaca tanpa

sastra/teks. Satu sequence tokoh yang sama digambar lebih dari satu kali, bisa terdapat

beberapa adegan, bisa beberapa latar, latar belakang diceritakan duluan (latar depan bisa

Page 22: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

47

diceritakan kemudian). Hal ini dimaksudkan agar gambar mampu bercerita tentang

banyak kejadian dalam rentang waktu, pindah tempat dan sebagainya.

Bahasa rupa gambar Wayang Beber ‘Jaka Kembang Kuning’

TABEL 2.9. CARA BACA BAHASA RUPA WAYANG BEBER – JAKA KEMBANG KUNING

(SISTEM RUANG –WAKTU- DATAR) NO. CATATAN GAMBAR BAHASA RUPA

1 DATA OBYEK • Bergerak • Penting • Dikenali

• Bentuk Dinamis & Blabar

Ekspresif Gerak Kaki. -Sinar X Kain -Sedikit diperbesar -Tampak karakteristik

• Sedang Bergerak

- Agar gesture tampak penting diketahui Dalam alur cerita

2

CARA LIHAT

• Kiri-Kanan • Tiap Panil

-Tuan Rumah -Tamu -Jagongan

• Urutan SQ Kiri- Kanan • Di belahan Kiri • Di Belahan Kanan • TokohUtama,TuanRumah/

Tamu • Di Tengah

Bahasa Rupa ini agar gambar dapat dibaca tanpa sastra/ teks.

• Gmb. Prasejarah • Gmb. Primitif • Gmb. Anak • Relief candi/WB

3

TIAP SEKUEN • Di 1 sequen • Adegan • Latar • Di Tiap Latar • Dipadukan

Tanpa kisi-kisi • Tokoh yang sama di- gambar lebih dari satu kali. • Bisa beberapa adegan • Bisa beberapa latar, latarbelakang diceritakan duluan (latar depan dianggap belum ada). Latar depan diceritakan kemudian. • Tokoh yang berada di tengah diceritakan duluan, baru yang dibelakangnya • Dengan hitech dismix

Bahasa Rupa Wayang beber JKK Agar gambar mampu bercerita tentang banyak kejadian dalam rentang waktu, pindah tempat dan sebagainya.

Page 23: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

48

4

A-NATURALIS

• Kepala-Kaki • Malu/Marah • Identifikasi

DI STILIR

• Gesture & Ruang • Memalingkan muka atau

kaki bersilang • Melalui atribut ciri-ciri

Bahasa Rupa Wayang Beber JKK berbicara dengan gesture dan kesan ruang.

5

A – PERSPEKTIF

• Digeser • Aneka Sudut • Aneka Jarak • Yang

dipentingkan

CANDERA + CERITA

• Semua terlihat walau sebagian

• Tampak samping/muka • Diperbesar

Bukan hanya - mencandera, tapi bercerita dengan apa yang di gambar

6 A-MOMEN OPNAME

Berdimensi waktu Aneka arah/jarak/waktu

Untuk bahan kajian penulisan di sini dipilih gulungan yang dianggap ceritanya paling

menarik dan merupakan kisah akhir yang berbahagia dari perjalanan kisah Jaka Kembang

Kuning sebagai tokoh utamanya, yakni gulungan ke 6 dari enam gulungan cerita Jaka

Kembang Kuning.

Page 24: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

49

Foto

2.5

. Gul

unga

n 6,

sequ

ence

21

sam

pai

sequ

ence

24

SQ. 2

1 SQ

. 22

SQ. 2

3 SQ

. 24

Page 25: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

50

Perlu diketengahkan pula, bahwa untuk gambar wayang beber ‘Jaka Kembang Kuning’

yang berupa gulungan-gulungan, keseluruhannya berjumlah 1 sampai dengan 6, dan yang

ditampilkan adalah gulungan ke 6, merupakan repro dari transparasi milik Primadi

Tabrani yang diambil dari data karya R.A Kern 1909: 338-356. Sedangkan untuk

penyusunan Ringkasan Cerita ‘Jaka Kembang Kuning’ hasil penelitian menggunakan

foto-foto yang diambil dari hasil repro Gambar-gambar Kalender ASTRA 1983 (Tabrani,

P. 1982).

Ringkasan Cerita Jaka Kembang Kuning Hasil Penelitian3

Melalui hasil penelitian jangka panjang tersebut umumnya, khususnya mengenai lakon

‘Jaka Kembang Kuning’, studi identifikasi tokoh-tokoh, studi ringkasan cerita, studi

pergelaran dalang Ki Sarnen Gunacarita di tahun 1981, serta studi bahasa rupa dan tabel

cara bahasa rupa Jaka Kembang Kuning di atas sebagai pedoman. Untuk contoh ‘cara

baca’ pada ringkasan cerita Jaka Kembang Kuning, digunakan gulungan ke 6, yang

merupakan episode terakhir yang paling menarik (sequen 21 – 24), karena berakhir

bahagia. Dapat disimpulkan ringkasan cerita hasil penelitian ‘Jaka Kembang Kuning’,

sebagai berikut,

SQ. 21, ‘Gandarepa Berunding Dengan Jaka Kembang Kuning’

Wanita-wanita Klana yang diboyong dibawa Gandarepa (tamu = belahan kanan)

menghadap ke Jaka Kembang Kuning (tuan rumah = di belahan kiri) di perkemahannya.

3 Ringkasan cerita Jaka Kembang Kuning hasil penelitian, tabel, cerita gulungan 6, SQ 21-24 ditulis kembali untuk penelitian ini dari buku karya Primadi Tabrani (2005).

Page 26: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

51

Foto 2.6. Jaka Kembang Kuning, Sequence 21

Di belahan kanan selain Gandarepa, Naladerma, dan Tawang Alun, ada patih Arya Deksa

Negara. Gesture di SQ ini menarik. Jaka Kembang Kuning ditempatkan di ujung paling

kiri dan para wanita boyongan memenuhi SQ ini dan gesturenya seakan berebutan

menyembah Jaka Kembang Kuning. Retno Tegaron kembali berada paling depan

langsung berhadapan dengan Jaka Kembang Kuning.

SQ. 22‘Persidangan di Istana Kediri’

Tampak di belahan kiri (lebih berpangkat, tuan rumah) raja Kediri (di latar tengah)

duduk di singgasana. Di Latar Belakang tampak para pengiring, sedang di latar muka

tampak Gandarepa. Di Belahan kanan (tamu, pihak yang kalah, baru datang), di latar

belakang tampak patih Arya Deksa Negara paling depan, di ikuti para perwira. Di latar

muka paling depan tampak Retno Tegaron sedang menyembah, selanjutnya antara lain

Jaka Kembang Kuning, Tawang Alun dan Naladerma. Artinya, Raja dan pengiringnya

masuk lebih dulu (dari sebelah kiri), kemudian patih dan para perwira (dari sebelah

kanan) yang melaporkan terlebih dulu bahwa para wanita rampasan perang akan

dihadapkan ke baginda. Gandarepa yang sebenarnya datang bersama rombongan,

segera menyelinap ke dalam istana dan muncul kembali dari dalam istana (dari sebelah

kiri) kali ini dengan atribut bangsawan lengkap sebagai putra raja: bermahkota,

sumping keemasan, hiasan leher dan kumis (hanya di SQ ini Gandarepa memakai

kumis!) Gandarepa tampak duduk di latar depan langsung berhadapan dengan Retno

Tegaron.

Page 27: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

52

Foto 2.7. Jaka Kembang Kuning, Sequence 22

Rupanya tafsiran ada asmara antara ke duanya diperkuat lagi di SQ – 22 ini. Jaka

Kembang Kuning kemudian melaporkan hasil perang besar, pihak Klana kalah, Klana

tewas dan wanita-wanita Klana, telah diboyong di hadapan baginda. Raja Kediri gembira

mendengar hal itu dan menepati janjinya untuk menjodohkan Sekartaji dengan pria yang

berhasil menemukannya. Raja memerintahkan agar pesta pernikahan Sekartaji dan Jaka

Kembang Kuning segera disiapkan.

SQ. 23. ‘Persiapan Perkawinan’

Di belahan kiri (tuan rumah) tampak di latar belakang Sekartaji paling depan diikuti Kili

Suci, dukun pengantin yang adalah kakak Raja Kediri; di latar muka para dayang. Di

belahan kanan (tamu) tampak Gandarepa di latar belakang dengan pengiringnya di latar

muka. Walaupun dirias sebagai pengantin kerajaan, namun Sekartaji tetap tidak memakai

mahkota, sumping keemasan dan hiasan leher. Namun dukun pengantin Kili Suci berhasil

memunculkan kecantikan alami Sekartaji dengan rambut terurai. Kepala mengenakan

jaring rambut (haarnet) dihiasi bintang-bintang, begitu pula rambutnya yang menjuntai

kebawah.

Page 28: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

53

Foto 2.8. Jaka Kembang Kuning, Sequence 23

Yang menarik adalah apa gerangan yang dibicarakan Gandarepa dengan Sekartaji dan

Kili Suci? Apakah sekedar menasehati adiknya yang segera menikah, ataukah ada

hubungannya dengan yang terjadi di SQ-21, dan SQ-22. Tampak kedua pengiring

Gandarepa gesturenya seakan bingung.

SQ. 24, ‘Perkawinan Jaka Kembang Kuning – Sekartaji’

Di belahan kiri tampak Jaka Kembang Kuning (Tamu – menantu) di latar belakang, jadi

seharusnya di belahan kanan. Di belahan kanan tampak Kili Suci dan Sekartaji (tuan

rumah) seharusnya di belahan kiri. Setidaknya ada dua latar: latar belakang di Istana

Kediri, dan latar depan (terjadi kemudian) di Istana Jenggala, Jaka Kembang Kuning tuan

rumah, agar efisien, maka Jaka Kembang Kuning di SQ-24 ini, ditempatkan di belahan

kiri. Di latar belakang (yang terjadi lebih dulu) tampak upacara temon di istana Kediri

dipimpin dukun pengantin Kili Suci.

Page 29: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

54

Foto 2.9. Jaka Kembang Kuning, Sequence 24

Setelah sekian lama di keluarga pengantin wanita di Kediri, maka setelah saatnya tiba,

pada hari yang baik Sekartaji diboyong Jaka Kembang Kuning ke Jenggala.

Di latar muka (di Jenggala) tampak Tawang Alun, Naladerma, dan para dayang Jenggala

di belahan kiri (tuan rumah) sedang para dayang Sekartaji yang dibawa dari Kediri

berada di belahan kanan di latar muka. Sekartaji sendiri yang bisa dikenali dengan kepala

yang menunduk, sikap malu-malu (memalingkan muka) dan kedua kaki bersilang, kali ini

memakai sumping keemasan dan hiasan leher seperti layaknya wanita bangsawan, berdiri

di tengah sedang menggendong naga-nagaan yang melambangkan ia sedang

mengandung…

Kemudian pada akhir penjelasannya, Primadi menuliskan pada bukunya, bahwa para

penyungging wayang di masa lalu begitu ahli membuat gesture, hingga para dalang yang

jeli juga bisa merasakannya dalam dialog-dialog dan narasi-narasi cerita. Sehingga

dengan ‘cara’ yang demikianlah wayang beber dapat di ‘baca’ melalui bahasa rupanya.

Page 30: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

55

Bahasa rupa seni hias lampion Damarkurung.

Bungkus Lampion apabila dibuka, terdapat 4 bidang gambar, dan masing-masing gambar

memiliki cerita yang kadang berurutan, kadang juga berbeda-beda, dengan arah lihat

berkeliling. Lampion tersebut umumnya digantungkan di teras rumah usai senja. Tetapi

ada kemungkinan lain, dengan cukup diletakkan begitu saja di atas meja, karena lampion

tersebut memiliki kaki untuk diletakkan di meja sebagai penghias ruang atau sebagai

penerang ruang. Ukuran benda beragam, yang paling besar, tingginya 40 cm, dengan

masing-masing sisi berukuran sekitar 20 cm. Sedangkan yang paling kecil tinggi sekitar

20 cm, dengan sisi-sisinya berukuran 15 cm.

Menurut asumsi masyarakat setempat, awal keberadaan lampion ini menggunakan kertas

singkong, yang juga dipergunakan anak-anak untuk main layang-layang, karena jenis

kertasnya sangat ringan. Kemudian pada perkembangannya digunakan kertas HVS,

seperti yang terdapat pada lampion yang ada di tulisan ini, adalah karya mbah

Masmundari di tahun 1970an berasal dari Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Untuk lebih

jelasnya dapat dipelajari dari gambar-gambar berikut,

Diputar dari kiri ke kanan (Prasawya)

Gambar motif Damarkurung ini terdapat pada lampion berkerangka bambu dengan

menggunakan media kertas berbentuk segi empat. Mengamati gambar-gambarnya dengan

Foto 2.10. Lampion Damarkurung Bungkus lampion terbuat dari kertas.

Page 31: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

56

cara diputar. Karena gambar pada lampion terdapat jenis cerita sakral, maka arah lihatnya

dari atas – ke bawah dan diputar dari kiri ke kanan (Prasawya). (Repro gambar &

penjelasan: Ismoerdijahwati. 2001).

1 2 3 4

dari atas ke bawah

Membaca ceritanya dari kiri – ke kanan (prasawya) Foto 2.11. Penutup lampion dibuka, sehingga tampak keseluruhan gambar.

Cara membaca lampion ini,

Dimulai dengan melihat dari gambar 1 (atas dan bawah), pada manusia, badan

dan kaki tampak samping, sekaligus ‘gesture’nya. Gambar dibuat dengan tampak

khas, sehingga mudah dikenali kegiatannya. Pada gambar 2 (atas – bawah), cara

penggambaran dengan sinar X, terdapat gambar atap, yang menyatakan bahwa

kegiatan-kegiatan tersebut ada di dalam rumah (indoor). Gambar 3 bagian atas,

ada gambar-gambar tanaman di stilasi yang menyatakan penting dan bermakna

simbolis. Gambar 3 bagian bawah, kegiatan ada di luar rumah (outdoor). Pada

gambar 4 (atas – bawah), cara penggambaran dengan sinar X, terdapat gambar

atap. Gambar atas terdapat gambar lauk karena dianggap penting, maka cara

penggambarannya digeser ke atas, supaya dapat diceritakan dibalik tumpeng ada

ikan di piring (Ismoerdiahwati. 2001). Gambar bawah, kesibukan di dapur, dan

kesibukan di kamar tuan rumah.

Page 32: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

57

Untuk mempermudah pemahaman tentang membaca bahasa rupa lampion ada beberapa

tabel yang perlu diketahui antara lain,

Tabel 2.10. klasifikasi tema cerita berdasarkan jenis ceritanya yang diamati dari rekaman video.

Jenis cerita Tema cerita Sakral Profan

- Hari Raya Idul - Pengajian - Ikan Duyung - Lelang Bandeng - Pertunjukan ‘Rajamina’ - Syukuran - Kegiatan seputar rumah - Kegiatan di pasar - Pasar Malam (terdapat kegiatan

permainan anak-anak di sini)

Tabel 2.11. urutan cerita berdasarkan jenis cerita, setelah proses menggambar selesai, yang diamati dari rekaman video. Jenis Cerita Pada Damarkurung

Cara Wimba Arah Lihat Tata Ungkapan Dalam Menyatakan Penting

Sakral Profan

Atas – Bawah Kiri - kanan Urutan Bercerita Kanan – Kiri Raja, Tuan rumah, pemilik, penjual, petugas, penunggu. Tamu, pengunjung, pembeli Pergi / keluar (hadap dari kanan – kiri) Datang / masuk (hadap dari kiri – kanan) Bawah – Atas Kanan – Kiri Urutan Bercerita Dari arah mana saja Dimulai dari mana saja

Prasawya Posisi kanan Posisi kiri Posisi Kanan - kiri Posisi Kiri - kanan Pradaksina Dream Time

Page 33: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

58

Tabel 2.12. ciri-ciri khusus obyek seni hias Damar Kurung Masmundari

Isi Wimba Cara Wimba Tata Ungkapan Menyatakan Gerak

Cara Baca Bahasa Rupa Masmundari

Manusia Pohon Titik-titik Tanda-panah Garis zigzag

Stilasi Stilasi Ekspresif Ekspresif ekspresif

Naturalis stilasi Naturalis stilasi - Menyatakan gerak Menyatakan gelap

- - Kesan mengungkapkan suasana perasaan/suara Kesan mengungkapkan Suasana gerak/angin/udara Kesan mengungkapkan perbedaan waktu

Ada yang spesifik dari karya seni hias Damarkurung untuk mengungkapkan suasana,

misalnya suara/bunyi, keriuhan orang yang bergerak kesana-kemari bercakap-cakap, atau

suara udara/angin yang menderu atau berdesir. Yang diwujudkan dalam bentuk gambar-

gambar visual, misalnya tanda panah, titik-titik, garis-garis zigzag.

Bahasa rupa gambar-gambar 2 dimensi dengan sistem menggambar NPM

(Naturalis-Perspektif-Momenopname).

Penelitian-penelitian di atas terbukti bahwa gambar-gambar 2 dimensi ‘diam’ ataupun

‘dinamis’ semuanya merupakan gambar-gambar yang bercerita. Kemudian pembahasan

berikutnya adalah, membahas gambar-gambar dengan sistem menggambar

NPM. Sebabnya adalah perbendaharaan bahasa rupa yang telah diketemukan, juga

mengacu pada asal kata istilah perbendaharaan bahasa rupa gambar-gambar 2 dimensi

dengan sistem menggambar NPM (Naturalis-Perspektif-Momenopname). Gambar-

gambar dengan sistem NPM, merupakan gambar Naturalis dengan sistem perspektif, dan

merupakan gambar ‘mati’. Artinya, memiliki dimensi ruang, tapi tidak memiliki dimensi

waktu. Itulah sebabnya gambar-gambar tersebut dikenal dengan sebutan “still picture”,

yang ditampilkan dalam bentuk, lukisan, foto dan gambar, seperti yang tercantum di

bawah ini.

Page 34: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

59

Foto. 2.12. Merupakan contoh lukisan asli karya Winslow Homer (Repro: www. Gallery Primitive Art -Prints)

Foto 2.13. Contoh Foto ‘still picture’.

(Repro: www.cookies.common.js)

Foto. 2.14. Contoh ilustrasi komik karya Scott Mc Cloud.

(Repro: Scott Mc Cloud; 2001)

Page 35: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

60

Setelah diperoleh perbendaharaan bahasa rupa 2 dimensi gabungan melalui penelitian-

penelitian sebelumnya, maka pembahasan dilanjutkan dengan bahasa rupa gambar-

gambar RWD + Gerak dan bahasa rupa gambar-gambar NPM + Gerak. Kedua jenis

gambar-gambar ini, masih merupakan gambar 2 dimensi, tetapi ditambah dengan unsur

‘gerak’ dalam adegan-adegan yang ‘bergerak’. Bahasa rupa gambar-gambar RWD +

Gerak, adalah gambar-gambar bayangan dari wayang kulit pada saat dipagelarkan,

dengan menggunakan kelir melalui lampu blencong. Sedangkan bahasa rupa gambar-

gambar NPM + gerak, adalah gambar-gambar dari film, TV dan Video.

Pada gambar-gambar dari film, TV dan video mempunyai aturan yang sama pada dasar

pengambilan gambar dengan kamera. Lima ukuran pengambilan 1) Close Up, 2) Medium

Close Up, 3) Medium Shot, 4) Knee Shot, 5) Full Shot (Herbert 1969).

Gambar 2.1. Lima ukuran pengambilan dengan camera

(Herbert Read, 1969)

Kemudian terdapat pula posisi dasar camera yang berbeda menurut karakteristik dari

gambar yang dihasilkan yaitu sudut pengambilan 1) High Angle, 2) Straight Angle, 3).

Low Angle, akan memberikan efek gambar yang berbeda (Yoichi, N. 1986)

3 4

5

Page 36: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

61

Gambar 2.2. Posisi dasar kamera dengan sudut pengambilan berbeda

menurut karakteristik gambar yang dihasilkan (Yoichi, N. 1986)

Pada penjelasan lebih lanjut dalam adegan drama dikenal dengan shot angle, yang dalam

penayangannya biasa disebut: sudut atas, sudut normal, dan sudut bawah, dengan hasil

gambar dari ketiga posisi kamera yang berbeda. Perhatikan efek kesan masing-masing

gambar: Gambar diambil dari cuplikan film-film (Stanley Reed, 1952).

Istilah-istilah film di atas dipakai oleh Primadi untuk penelitian Wayang Kulit di TV

tahun 1997-1998. Pada penelitian ini khusus membahas tentang aspek pagelaran Wayang

Foto. 2.15. Contoh gambar yang dihasilkan dari tiga posisi dasar camera (Stanley Reed, 1952)

Page 37: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

62

Kulit yang ditinjau dari segi penayangan televisinya, dan belum sampai pada aspek

‘gerak’ bayangan wayang kulit.

Tabel yang telah disusun dari hasil penelitian tersebut (Primadi. 2005: 92), digunakan

pula sebagai parameter dan bahan kajian perbandingan bahasa rupa antara penelitian

pergelaran dalam (melalui TV) dan penelitian pergelaran luar wayang kulit dari aspek

‘gerak’ (sabetan) bayangan yang belum sempat terbahas,

Tabel 2.13. Perbandingan Teknologi dan Bahasa Rupa4

Teknologi dan Bahasa Rupa

Penayangan TV Pagelaran W. Kulit “Luar”

Pagelaran W. Kulit “Dalam’

Jamak/ satu arah Sejumlah kamera Penonton di satu tempat duduk

Penonton di satu tempat duduk

Lihat Aneka arah/jarak/sudut

Penonton dari satu arah/sudut/waktu

Penonton dari satu arah/sudut/waktu

Gerak Kamera Pan, tilt, zi, zo, dsb. Dalang tetap di tempat

Dalang tetap di tempat

Blocking Sesuai skrip, dibantu basic shot & shot angel

Kiri=baik, pangkat tinggi (+). Kanan = jahat, pangkat rendah (-)

Kanan=baik, pangkat tinggi (+). Kiri = jahat, pangkat rendah (-)

Basic Shot - dikenali - dalam ruang

Cu, mcu, ms, mls, dsbnya. Mengutamakan cu & mimik wajah Alam nyata: Naturalis, perspektif (NPM dinamis) bukan bayangan

Debog atas: mis (berdiri). Debog bawah: mis (duduk) Mengutamakan gesture teater bayangan ke kelir besar & kabur Di kelir: aslinya & Tajam. Di kelir: aslinya tanpa bayangan

Debok atas: mis (berdiri) Debok bawah: mis (duduk) Mengutamakan gesture teater boneka + bayangan kabur

Shot angle Aneka sudut: atas, normal, bawah, tampak burung

Sudut bawah: kabur Sudut normal: tajam

Sudut bawah: boneka + bayangan kabur Sudut normal: tajam

4 Periksa dalam daftar istilah dari disertasi ini untuk peristilahan-peristilahan dan singkatan yang terdapat dalam daftar tabel 2.13: Perbandingan Teknologi dan Bahasa Rupa. Keterangan kode dalam tabel: + (ditambah), = (sama dengan), (+) pangkat tinggi, tokoh baik/protagonist, (-) pangkat rendah, tokoh jahat/antagonis.

Page 38: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

63

Kesan ruang Tiga dimensi Dua lapis latar - dikelir: tajam - ke kelir: kabur

Tanpa bayangan Tiga dimensi Terbatas (ruang setara jangkauan tangan dalang dan kelir)

Fx (peralihan) FI, cut, dissolve, Mix, FO, dsb.

FI, dissolve, mix, FO Adegan: continuous shot; alih adegan/sekuen; saat kepyak; alih bagian: dengan gunungan pada saat suluk, janturan, sinden, gerungan.

Pra produksi Naskah, kerangka, skrip, eksterior, studio, properti

Tak selalu ada pakem, magang, turun temurun. Pentas, proporti.

Produksi (musik lagu)

Pemain, sutradara, Scenario Shooting, editing, remix

Dalang Latihan (gamelan, sinden, gerungan)

Pasca produksi Rush copy pagelaran

Perhatikan tabel tersebut, ada beberapa penjelasan tentang pagelaran wayang kulit “luar”

dan pagelaran wayang kulit “dalam”. Menurut penjelasan dari penelitian “Pagelaran

Wayang Kulit dengan Penayangan Televisi” (1998) antara lain, aslinya pagelaran wayang

kulit disebut permainan bayangan, dengan kelir (layar merupakan ‘jagad’ penayangan

dan ditempatkan di antara pendapa dengan pringgitan. Jadi pergelaran wayang kulit

(WK) bisa ditonton dari belakang dalang dengan warna kulit tampak jelas, atau

permainan sabetan gerak siluet wayang yang ditonton dalam bentuk bayangan. Pada saat

pagelaran ini direkam, kebanyakan penonton di pendapa menyaksikan pertunjukan

bayangan, sedang tamu pembesar lelaki ditempatkan di pringgitan di belakang dalang dan

para nayaga. Itulah sebabnya dalam pagelaran wayang kulit ada istilah ‘dalam’ yaitu

penonton dari tamu pembesar yang di dalam (pringgitan) dan ‘luar’ yaitu penonton dari

masyarakat banyak yang menonton di pendapa.

Sehubungan dengan itu Wayang Kulit yang diteliti sekarang ini, adalah pagelaran

wayang kulit ‘luar’ karena dilihat dari bayangannya, dimana permainan sabetan gerak

siluet wayang yang ditonton. Oleh karena itu untuk kepentingan penelitian dari tabel

tersebut yang bisa dipakai sebagai panduan adalah pada kolom pagelaran wayang kulit

Page 39: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

64

“luar”. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa, pagelaran wayang kulit dari arah

bayangan masih perlu diteliti lebih lanjut dalam bentuk rekaman pagelaran ‘luar’ yang

masih terbatas, daripada bentuk rekaman pagelaran ‘dalam’, yang lebih banyak dan

sering dijumpai (kemasan tayangan TV, Video ataupun film).

2.1.3. Gerak dan Karakterisasi Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta

Kemudian untuk memperoleh data tentang sabetan wayang kulit purwa gaya Yogyakarta,

didapat dari buku “Javanese Shadow Theater. Movement and Characterization in

Ngayogyakarta Wayang Kulit”. Buku ini ditulis oleh Roger Long (1979), yang menulis

tentang gerak-gerak dan karakterisasi wayang kulit purwa Yogyakarta. Tulisan ini,

merupakan keingintahuan penelitinya, mengenai istilah wayang kulit, dan wayang kulit

sebagai model gaya panggung, yang terdiri dari pertunjukan, boneka dan peran. Berikut

kemampuan dalang dalam menggerakkan wayang ke arah layar, baik dari pertunjukan

‘luar’ (tontonan dalam bentuk bayangan wayang) maupun pertunjukan ‘dalam’ (warna

kulit dan bentuk wayang tampak jelas). Tulisan ini dibatasi pada menguji aspek gerak-

gerak pada wayang kulit, yang berhubungan dengan tipe-tipe peran. Gerak-gerak

standard yang digunakan (khusus pada gerak-gerak baku diambil secara general,

misalnya, gerak berputar, gerak masuk, gerak keluar – tanpa menyinggung atau

mempengaruhi karakter atau kepribadian tertentu) adalah merupakan penggambaran

umum. Sedangkan pertunjukan wayang kulit gaya Ngayogyakarta, dipelajari dari

Pendidikan Dalang Habirandha, yang merupakan perguruan pedalangan khusus gaya

Ngayogyakarta, sebagai bahan pembahasan tentang suatu model dari gerak-gerak wayang

kulit.

Pembahasan tentang literatur-literatur, unsur dramatik, musik-musik gamelan, tembang-

tembang yang dilagukan para nayaga, gaya narasi dan aspek lain dari pertunjukan

wayang kulit, tidak dibahas secara khusus, dan pembahasannya hanya sebagai latar

belakang dalam bab performance ’Milieu’ (Chapter 1). Kajian ini juga meniadakan

pembahasan tentang fungsi wayang bagi kehidupan sosial masyarakat Jawa dan fungsi

dalang sebagai penghibur, pendidik dan “gudang” dari kekuatan spiritual.

Page 40: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

65

Deskripsi dari gerak dan tipe-tipe peran wayang kulit sangat memerlukan bantuan dari

terminologi Jawa, sebab tidak mungkin peneliti menggunakan terminologi Inggris, untuk

petunjuk-petunjuk yang aslinya menggunakan terminologi Jawa.

Selama penelitian di Yogyakarta telah dibantu oleh perguruan pedhalangan Habirandha

(di bawah naungan keraton), Yogyakarta dan bantuan kerjasama dengan Kasidi

Hadiprayitno yang juga sebagai salah satu narasumbernya. Pada buku ini diperoleh secara

rinci gerakan wayang yang dimainkan oleh dalang dengan teknik gapit dan tuding5 yang

dilakukan dalang dalam hal memanipulasi gerakan wayang pada saat di pagelarkan.

2.1.3.1. Teknik memainkan gerak wayang.

Teknik dalam memainkan gerak wayang, merupakan prinsip dasar dari kemampuan

seorang dalang. Kemampuan pokok dalang adalah memiliki kekuatan, ketangkasan,

penguasaan dan mengenal baik pengetahuan tentang kharakter dan tipe karakter wayang.

Seorang dalang harus mempunyai, tangan, lengan dan bahu yang kuat untuk memainkan

wayang, karena rata-rata wayang memiliki berat sekitar 5 kilogram. Seorang dalang rata-

rata memainkan satu karakter atau satu tipe karakter wayang, kurang lebih 20 menit dari

keseluruhan waktu pergelaran selama 9 jam non-stop tanpa berhenti, dan harus bermain

dengan stabilitas tinggi terus menerus selama pergelaran berlangsung sepanjang malam.

Ketangkasan itu sangat penting, karena wayang-wayang itu dimainkan secara bergiliran,

berputar, jungkir balik, dan sekali waktu dilempar ke udara, dan kesemuanya itu

dilakukan dengan penuh penguasaan, dan harus selalu dalam posisi stabil. Jadi dalang,

selain harus mengontrol jalannya cerita, juga mengontrol seluruh gerak dari wayang-

wayang tersebut. Khusus pada adegan perang, diperlukan kemampuan lebih pada

ketangkasan memainkan pengulangan-pengulangan gerak wayang, termasuk ketrampilan

dan kecepatan permainan telapak tangan dalam memainkan ’gapit’ (tangkai pengontrol

wayang sebagai penjepit badan) dan ’tuding’ (tangkai pengontrol wayang untuk

menggerakkan lengan).

5 Gapit dan Tuding adalah teknik dalang dalam hal memegang wayang melalui permainan menggerakkan wayang. Ada beberapa teknik disini, yang dijelaskan lebih lanjut pada bab 3 dari penelitian ini.

Page 41: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

66

Foto 2.16.Tokoh Antareja, anak dari tokoh Bima yang merupakan Salah satu

anggota keluarga Pandawa,versi Yogyakarta ( foto: Lordly Shades.1984)

Ketangkasan-ketangkasan ini meliputi kemampuan melakukan adegan penyerangan

dengan menggunakan tangan, kaki, pisau, keris, alat-alat pemukul dan anak panah, yang

kesemuanya itu dioperasikan dalang dengan sempurna selama 9 jam pertunjukan.

Kejelasan dan efektifitas gerak merupakan syarat mutlak dan menunjukkan akan

ketelitian dalang dalam mengontrol gerak-gerak tokoh wayang-wayang tersebut sehingga

benar-benar terkesan hidup dan penuh vitalitas.

Karakter-karakter wayang yang dimainkan sepenuhnya bersifat imajinasi, suatu karakter

untuk adegan perang diperlukan kemampuan imajinatif untuk memanipulasi gerakan-

gerakan supaya tampak dramatis. Gerakan ke muka, ke belakang, jungkir balik, dan

secara bergantian menggunakan pisau panjang, belati atau keris. Memainkan anak panah

dan sekaligus semburan anak panah dari beberapa tokoh wayang, semuanya dikerjakan

dengan kecepatan tangan yang luar biasa, yang tentu saja dibantu dengan beberapa teknik

cara memegang wayang-wayang tersebut.

Gapit

Tuding

Page 42: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

67

Cara memegang wayang kulit

Pada pedalangan Jawa dalam memainkan wayang, ada empat aturan pokok cara

memegang wayang, dengan menggunakan gapit dan tuding untuk mengontrol gerak

wayang, agar dapat bergerak dengan tepat. Ke empat aturan tersebut, disesuaikan dengan

identitas dan besar kecilnya wayang dengan memegang gapit wayang. Empat macam

aturan pokok tersebut adalah: mucuk, magak, ngepok, dan njagal.

lengkeh

Mucuk merupakan teknik memegang gapit khusus pada wayang-wayang karakter halus,

lembut, kecil, dan memiliki jarak kaki dekat. Telunjuk tangan tepat dibagian lengkeh,

pada gapit (foto 2.17), misalnya tokoh wayang putri atau tokoh wayang putra sejenis

Arjuna. Selain itu posisi mucuk juga digunakan untuk memegang gapit gunungan (foto

2.18). Karena dari posisi mucuk diharapkan memperoleh gerakan-gerakan halus, dalam

memutar, bergetar, dan bergeser dari kiri ke kanan atau dari kanan ke kiri, juga naik turun

gunungan yang sedang dimainkan.

Foto 2.17. Mucuk (foto pribadi)

Page 43: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

68

Foto 2.18. Posisi mucuk untuk gunungan

(foto pribadi)

genuk Foto 2.19. Magak

(foto pribadi)

Untuk figur-figur ukuran cukup besar, digunakan teknik memegang gapit yang disebut

magak. Artinya, ibu jari terletak persis dibawah genuk (foto 2.19), dengan posisi tangan

demikian, cukup kokoh dan membuat stabil dalam menggerakkan wayang yang cukup

besar, misalnya: tokoh Baladewa. Melalui posisi magak, secara sekaligus diperoleh

fleksibilitas dan kontrol dalam memainkan tokoh wayang, sebab, seringkali dalang

mengalami kesulitan menggerakkan wayang yang berukuran cukup besar tersebut bila

menggunakan teknik mucuk, kurang stabil dan kesulitan untuk bergerak bebas.

Page 44: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

69

picisan Foto 2.20 Ngepok (foto pribadi)

Posisi yang ke tiga, yakni posisi ngepok, cara yang digunakan dalang untuk wayang-

wayang besar, dengan posisi ibu jari dan ke empat jari yang lain menekan bagian

dekorasi gapit yang disebut picisan, yang posisinya di atas genuk (foto 2.20). Posisi

ngepok ini digunakan untuk memegang gapit dari tokoh-tokoh wayang raksasa, sehingga

stabilitas, fleksibilitas dan kontrol dalam memainkan wayang-wayang besar dapat terjaga

selalu dalam posisi stabil. Tetapi sesekali untuk memainkan wayang-wayang besar

digunakan pula teknik kombinasi magak dan ngepok secara variatif untuk memperoleh

gerak yang lebih fleksibel, terutama untuk adegan-adegan perang.

Foto. 2.21. Njagal

(foto pribadi)

Page 45: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

70

Posisi memegang gapit dengan menggenggam keseluruhan fungsi gapit dan ibu jari

berada di atas picisan, biasa disebut njagal (foto 2.21). Cara memegang dengan posisi

njagal digunakan untuk memegang gapit wayang-wayang tokoh binatang atau raksasa

yang lebih besar lagi, kereta yang ditarik oleh kuda (foto 2.22). Posisi njagal ini

merupakan posisi yang dirancang untuk memperoleh stabilitas dalam memainkan

wayang-wayang besar dan memerlukan tenaga lebih dari dalang, terutama kekuatan

pergelangan tangan. Karena memerlukan waktu 3 sampai 5 menit untuk memegang

masing-masing tokoh atau wayang besar yang lain dengan posisi 180 derajat. Selain

pergelangan tangan yang kuat, juga diperlukan kekuatan ibu jari untuk menahan wayang

sehingga stabil dalam posisi 180 derajat tersebut dan sekaligus bebas memainkan dan

menggerakkanya

Foto 2.22. Posisi njagal untuk binatang, tokoh wayang yang besar,

atau kereta yang ditarik kuda. (foto pribadi)

Tuding merupakan cara memegang tangkai lengan dari tokoh wayang sehingga dapat

berputar 360 derajat melalui permainan tangan dalang. Posisi gerakan lengan, dengan

adanya tuding, dapat direncanakan secara tepat, melalui posisi lengan untuk karakter dan

gerakan yang digunakan. Ketika satu tuding yang digunakan, maka posisi tokoh

diperjelas dengan letak lengan dan posisi tangan sedemikian rupa sehingga diketahui

karakternya. Tapi begitu ke dua tuding digunakan, maka karakter wayang diperjelas lagi

dari cara tokoh itu bergerak berdasarkan tipenya.

Page 46: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

71

2.1.3.2. Ragam Jenis Gerak Wayang

Ragam jenis gerak wayang, sangat menentukan tipe karaktenya dan kepribadian para

tokoh-tokoh wayangnya. Dikelompokkan dalam tiga bagian penting: gesture (bahasa

tubuh), transisi (peralihan satu gerakan ke gerakan berikutnya) dan perang (adegan

perang).

Bahasa tubuh/gesture

Bahasa tubuh yang digunakan, biasanya yang diperlihatkan rata-rata disetiap adegan

adalah bahasa tubuh formal. Posisi standar yang biasa digunakan dalang, pada wayang

dalam posisi diam dengan gapit ditancapkan pada debog pisang. Pada posisi ini yang

bergerak hanya lengan yang digerakkan melalui tuding oleh dalang. Pada gerakan-

gerakan tersebut, dalam diam ditancapkan di debog, terdapat beberapa jenis tancap,

yakni: tancep 0 (tancap di simping), tancap jejer (tancap pada awal adegan), dan tancap

adegan. Pada tancap adegan ini, gerakan-gerakan lengan di saat diam (tancap pada

debog) juga menentukan tipe karakter dari para tokoh wayang. Pada posisi

angapurancang hingga mathentheng C, merupakan tancep jejer, sedangkan posisi

malang kadhak A dan malang kadhak B merupakan tancep adegan. Malangkerik A,

hingga gerakan makidhupuh dan kingkin, merupakan bentuk sabetan. Lihat pada contoh

gambar-gambar posisi standar dalam keadaan diam (gambar, 2.3. ragam posisi diam

ditancapkan, hal. 69)

Posisi lengan angapurancang, merupakan posisi lengan pada tipe karakter yang lebih

tenang. Posisi tuding dan gapit berada pada satu tangan genggaman dalang. Biasanya bila

dimainkan, gapit berada ditancapkan pada batang pisang yang direbahkan sebagai

panggung, dan tuding (berupa 2 tangkai kiri dan kanan) dimainkan secara bergantian

untuk menunjukkan karakter tokohnya atau sekaligus bersama gapit ditancapkan pada

batang pisang (debog) sebagai panggung.

Posisi lengan anjujur merupakan posisi lengan yang serupa dengan angapurancang tetapi

posisi lengan ini, lebih bebas dari posisi angapurancang. Pada posisi lengan anjujur

berada lurus kebawah, pada posisi anjujur ke dua tangkai tuding tidak dalam posisi di

Page 47: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

72

tancapkan. Posisi dua tangkai tuding lebih bebas digerakkan oleh dalang untuk

menunjukkan karakter tokohnya.

Posisi mathentheng A (gambar 2.3, hal. 69) merupakan posisi pada salah satu lengan

berada di lekuk pinggul, dengan gapit ditancapkan pada debog. Bahasa tubuh ini

digunakan oleh semua tipe karakter tokoh wayang, baik tokoh berwatak halus, berwatak

gagah atau tokoh berwatak kasar. Pada kasus tertentu, lengan yang di depan diletakkan di

pinggul (mathentheng B) Variasi dari posisi-posisi ini biasanya digunakan untuk yang

memiliki karakter keras kepala atau karakter-karakter yang sulit diajak kompromi. Untuk

versi yang lain (mathentheng C), merupakan gerakan dasar untuk memulai berjalan atau

bersiap-siap untuk terbang.

Posisi malang kadhak (A dan B, gambar 2.3. hal. 73) merupakan posisi dasar yang

diperlukan untuk gerakan berlari, berjalan, terbang atau perkelahian.

Posisi malang kerik (gambar 2.3. hal 69) merupakan bahasa tubuh untuk menyatakan

sikap melawan, atau posisi tangan dalam keadaan terbang (malang kerik A) sedangkan

variasi yang lain (malang kerik B) kedua tangan diletakkan di pinggang, merupakan sikap

bahasa tubuh untuk bersiap-siap menyerang. Pada posisi malang kerik ini, dalang

menggunakan tuding untuk menggerakkan lengan-lengan tersebut dengan satu tangan,

dan menggenggam gapit pada tangan yang lain. Posisi ini juga merupakan posisi untuk

siap berkelahi, berjalan atau terbang dalam gerakan yang lebih cepat.

Posisi makidhupuh (gambar 2.3. hal. 73) merupakan bahasa tubuh yang unik untuk posisi

boneka wayang kulit duduk bersimpuh atau duduk bersimpuh sambil berjalan. Posisi siku

depan dan siku belakang berada segaris dengan dasar panggung, tuding dan gapit berada

dalam tangan yang terpisah dari dalang. Misalnya, tuding digerakkan di satu tangan dan

gapit berada di genggaman tangan yang lain. Terutama bila tokoh tersebut dalam posisi

bergerak (bersimpuh sambil berjalan) atau posisi makidhupuh sambil menyembah.

Posisi kingkin (gambar 2.3, hal. 73) merupakan bahasa tubuh yang menyampaikan pesan

bahwa karakter tertentu sedang dalam keadaan gelisah, kebingungan atau kesusahan.

Tangan diletakkan dibahu atau kadang kala pada variasi tertentu, posisi tangan diletakkan

di atas perut. Misalnya, tokoh tersebut kehilangan saudaranya di waktu perang, atau

terbunuh pada perkelahian yang seru.

Page 48: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

73

Gambar 2.3. Contoh-contoh dari bahasa tubuh (Roger Long. 1979)

Tancep adegan

Tancep jejer

Cepengan/ sabetan

Page 49: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

74

Bahasa tubuh formal pada suatu karakter untuk menunjukkan rasa hormat dan loyalitas

pada seorang raja, biasa disebut sembah. Pada umumnya bahasa tubuh sembah ini untuk

segala macam karakter wayang, dengan mengarahkan tangkuban tangan ke hidung atau

ke dahi. Ada lima macam gerak sembah yang biasanya digunakan untuk membina

hubungan relasi terhadap raja, teman dan keluarga, yakni sembah ratu, sembah karna,

sembah jaya, sembah suwunan, sembah biasa. Umumnya, yang sering digunakan adalah

sembah ratu dan sembah karna, karena ke dua gaya sembah ini sering digunakan dalang

pada pentas pagelarannya.

Sembah ratu (foto 2.23) adalah gerakan sembah yang ditujukan kepada raja, dengan

posisi bersimpuh, tangan ditangkupkan kearah hidung atau dahi, merupakan karakter dan

sekaligus menunjukkan kepribadian untuk rasa hormat kepada raja. Bahasa tubuh ini

lazim digunakan keluarga yang lebih muda kedudukan dan usia dari pada raja, para

bawahan, atau tamu yang lebih muda usianya.

Foto 2.23. Memperlihatkan bahasa tubuh sembah ratu, terhadap raja yang diposisikan sebelah kiri kelir

Disebelah kanan kelir yang melakukan sembah, yang baru datang , keluarga yang lebih muda, atau kedudukan lebih rendah. (Video/sequence ke 5 dari transkrip Parta Krama)

Sembah ratu

Page 50: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

75

Satu gaya lain, yakni bahasa tubuh sembah karna (foto 2.24), yang dilakukan oleh tamu

raja yang lebih tua, atau sesama raja. Misalnya, biasa dilakukan oleh saudara tua Kresna,

Prabu Baladewa, atau beberapa karakter dari keluarga Kurawa, salah satunya adalah

adipati Karna. Posisi tubuh tetap berdiri, tidak perlu duduk bersimpuh, satu tangan

digerakkan ke atas, dan tangan yang lain dalam posisi lengan di pinggang atau lurus ke

bawah.

Foto 2.24. Bahasa tubuh dari sembah karna, yang digunakan oleh tamu dari raja

Posisi tamu sebelah kanan kelir, tapi karena tamunya adalah sesama raja dan saudara tua, Maka cukup dengan menggunakan sembah karna. (Video.sequence. ke 6 transkripsi Parta Krama).

Ada bentuk salam yang lain selain sembah karna untuk para raja, yakni salam saling

berjabat tangan (foto 2.25). Untuk salam yang saling berjabat tangan, hanya digunakan

oleh sedikit karakter dari para tokoh wayang. Meskipun gerak wayang kulit

menggunakan latar budaya tradisional, tapi semangatnya merupakan semangat sepanjang

jaman.

Sembah karna

Page 51: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

76

Foto: 2.25 bahasa tubuh yang lain selain sembah karna, yakni berjabat tangan.

Hanya sedikit para tokoh yang menggunakan bahasa tubuh untuk memberikan salam dengan cara berjabat tangan. Karena hanya para raja yang menggunakan bahasa tubuh untuk salam seperti ini. (Video, sequence ke 6, transkrip Parta Krama).

Biasanya sang raja merespons dengan bahasa tubuh yang bervariasi. Biasanya pula sang

raja hanya menggerakkan tangan kedepan hanya beberapa centimeter dengan menutup

jari-jari tangannya, kecuali ibu jari yang menonjol (foto 2.26). Bahasa tubuh ini

merupakan bahasa tubuh yang biasa digunakan dalam budaya Jawa. Pada wayang kulit,

memang tidak terlihat ibu jari seperti pada umumnya ibu jari manusia, tetapi gerakan dari

bahasa tubuh ini merupakan gerakan yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk

memberi salam kepada sesamanya.

Berjabat tangan

Salam penghargaan raja

Foto 2.26 Bahasa tubuh dari salam penghargaan raja terhadap tamunya. Salam ini merupakan gerakan tubuh yang biasa terdapat pada masyarakat Jawa, bila membalas salam dari teman, kerabat dan keluarganya. (Video, sequence ke 6, transkrip Parta Krama)

Page 52: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

77

Ketika terjadi dialog antara tokoh satu dengan yang lain, terdapat beberapa bahasa tubuh

yang biasa digunakan para tokohnya berdasarkan karakternya. Gerakan baku umumnya,

dengan menggerakkan tangan ke depan, hanya perbedaannya terletak pada posisi lengan

yang digerakkannya. Untuk menggerakkan posisi lengan tersebut, biasanya disertai cara

berbicara para tokohnya. Bila berbicara cepat, tangan dan lenganpun bergerak dengan

cepat. Bila berbicara lambat atau berbicara lembut, gerakan tangan dan lengan juga

cenderung melambat. Untuk gerak lengan yang tinggi atau cepat, begitu pula sebaliknya,

menunjukkan tipe kepribadian para tokohnya dan juga situasi yang dihadapi. Untuk para

tokoh yang berkepribadian lembut, hanya menggerakkan tangannya, sejauh tiga atau

empat centimeter dari tubuhnya (foto 2.27). Tetapi untuk karakter yang lebih agresif,

dapat mengangkat tangannya setinggi tubuhnya dan dengan gerakan cepat, dan

kadangkala pergelangan tanganpun ikut bergerak cepat (foto 2.28)

Foto 2.27. Bila terjadi dialog, bahasa tubuh untuk tokoh yang halus, hanya menggerakkan tangan seperlunya. Pada foto ini sang raja Kresna (kiri kelir) menggerakkan tangan sedikit ketika berdialog dengan tetamunya. (Video, sequence ke 7, transkripsi Parta Krama)

Foto 2.28 Menggambarkan situasi kemarahan yang terjadi pada Prabu Baladewa (ke dua dari kiri kelir) terhadap Gathotkaca (ke dua dari kanan kelir) yang datang bertamu. (Video, sequence ke 10, transkripsi Parta Krama).

Page 53: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

78

Bahasa tubuh karakter agresif, pada adegan tertentu bisa menimbulkan perang. Bahasa

tubuh ini terkesan dinamis dan keras sekaligus kasar, dan biasanya disertai dengan

bentakan-bentakan keras atau disertai pula dengan goncangan pada wajah atau tubuhnya.

Terlebih pada para raksasa, bahasa tubuh mereka lebih cepat, keras dan lebih kasar.

Gerakan-gerakan transisi.

Ketika seorang tokoh sedang bergerak di layar, dia akan melakukan aktivitas, misalnya

dari satu ruang ke ruang yang lain atau dari suatu tempat ke tempat yang lain dari suatu

negara atau suatu kerajaan atau suatu peristiwa perang. Bila seorang tokoh keluar atau

masuk dari/ke layar, terdapat kelanjutan gerak dari suatu ruang misalnya dari kiri layar

atau kanan layar menuju ke layar berikut dengan tanda ’jeda’ sebelum melakukan

aktivitas lagi.

Standar gerak dari satu ruang ke ruang yang lain adalah, berjalan, berlari, terbang dan

naik kendaraan (pada adegan ’Parta Krama’ tidak terdapat adegan tokoh naik kendaraan,

misalnya berkuda atau berkereta, sehingga tidak dapat diberikan contoh dari adegan

tersebut). Kemudian kesaktian tokoh dapat diketahui dari bagaimana sang tokoh

bergerak, bersikap dan bertingkah-laku. Kemudian pada saat adegan perang, terdapat

adegan jungkir-balik yang dilakukan pada saat berperang atau perkelahian yang

dilakukan secara berkelompok atau satu lawan satu.

Berjalan.

Terdapat beberapa gaya pada gaya berjalan dari wayang kulit gaya Yogyakarta, seperti

pada contoh-contoh gambar di bawah ini. Ke dua gambar di bawah merupakan contoh

dari gaya berjalan halus, yang biasa dilakukan oleh tokoh puteri atau satria berkarakter

halus. Gambar di bawah merupakan cara berjalan dua putri yang ada di suatu kerajaan

(foto 2.29 dan 2.30)

Page 54: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

79

Contoh gaya berjalan yang lebih bebas, yang biasanya dilakukan pada para tokoh satria

yang lebih gagah. Gerakan yang lebih cepat daripada gerakan gaya berjalan halus dengan

jarak langkah antara 5 sampai 10 centimeter (foto 2.31 dan 2.32)

Foto. 2.29 Kedua putri berjalan halus dari posisi kiri layar. Merupakan contoh dari gaya berjalan halus (Video, sequence ke 3, transkripsi Parta Krama).

Foto. 2.30 Contoh cara berjalan halus, lengan dan tangan tidak banyak bergerak. (Video, sequence ke 3, transkripsi Parta Krama)

Foto 2.31 Contoh cara berjalan yang lebih bebas. Biasa dilakukan oleh tokoh yang berkarakter gagah.Muncul dari kiri kelir (Video, sequence ke 20, transkripsi Parta Krama)

Page 55: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

80

Untuk gerakan bahasa tubuh dengan gaya berjalan yang lebih kasar, biasanya lebih sering

dipakai oleh para raksasa atau sering dipakai oleh keluarga Kurawa, misalnya patih

Sengkuni.

Gerak yang pelan sekali dengan posisi jongkok.

Gerak yang pelan sekali dengan posisi jongkok dalam istilah wayang kulit disebut

lampahan dhodhok. Posisi ini dilakukan bila berhadapan sekaligus berjalan di depan raja.

Posisi ini menggunakan ke dua tangan untuk bergerak dengan lutut segaris dengan lantai

panggung. Dalang memainkan dengan cara badan wayang bergerak ke depan terlebih

dahulu, kemudian kedua tangan, lalu bagian kaki (gambar 2.4).

Gambar 2.4. Posisi lampah dhodhok dengan menggunakan 2 tangan (Roger Long. 1979)

Berjalan jongkok dengan satu tangan juga dilakukan oleh beberapa tokoh yang lain

sebagai variasi. Berjalan jongkok dengan satu tangan biasanya dipakai diakhir

perkelahian atau perang, sebagai pernyataan ampun dari pihak yang kalah kepada pihak

Foto 2.32 Gaya berjalan ini, merupakan bahasa tubuh berjalan yang lebih aktif (Video, sequence ke 20, transkripsi Parta Krama)

Page 56: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

81

yang menang, dan juga sebagai variasi pula dari berjalan secara normal. Dalang

memainkannya dengan badan dan tangan yang digerakkan terlebih dahulu, kemudian

bagian kaki wayang (gambar 2.5)

Gambar 2.5. Variasi lampah dhodhok dengan menggunakan satu tangan (Roger Long. 1979)

Menari

Sebagian besar tarian dasar dalam wayang kulit merupakan gerakan-gerakan yang

berlebihan, yang dalam gerakan itu disesuaikan dengan musik gamelan terutama ketukan

drumnya. Gerakan-gerakan tari ini bisa merupakan gerakan yang berputar-putar, atau

gerakan-gerakan yang menyentak naik turun dan semuanya itu dilakukan di satu ruang.

Gerakan-gerakan ini juga ada yang menunjukkan secara jelas, merupakan gerakan-

gerakan melawak, seperti tarian Cangik (nama salah seorang punakawan), pada jejer satu

adegan Limbukan, lakon Parta Krama.

Foto. 2.33. Adegan Cangik Menari Transkripsi Lakon Parta Krama Sequence ke 26

Page 57: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

82

Terbang

Karakter-karakter tertentu mempunyai kemampuan untuk terbang. Mereka dari tanah

dengan menghentakkan kakinya bisa langsung terbang ke udara. Posisi tangan dalam

keadaan malang kerik A (gambar 2.3. hal 69). Rata-rata ketinggian jarak terbang, yang

paling tinggi kurang lebih tujuh puluh lima centimeter dari atas tanah/ dasar panggung.

Meskipun tidak menggunakan sayap, tetapi dengan hentakan kaki yang kuat, mereka

dapat terbang tinggi di angkasa. Karakter dari tokoh yang paling terkenal dengan

kemampuan terbangnya yang luar biasa adalah Gathotkaca.

Foto. 2.34. Adegan Cangik Menari Transkripsi Lakon Parta Krama Sequence ke 26

Foto. 2.35. Adegan Cangik menari Transkripsi Lakon Parta Krama Sequence ke 26

Foto 2.36 Gathotkaca sedang terbang rendah disaat perang dengan Kurawa. Sequence 34 transkripsi Parta Krama.

Page 58: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

83

Perang

Pada skenario yang dibuat oleh sekolah pedhalangan Habirandha, mayoritas terdapat tiga

puluh dua gerakan perang gaya wayang kulit Yogyakarta. Gerakan-gerakan tubuh itu

meliputi, gerakan sergapan/terjangan, lemparan, tikaman, pembunuhan dan gerakan-

gerakan jatuh, yang biasa terjadi pada peristiwa perang. Gerakan-gerakan dikelompokkan

dalam pengelompokan umum, yakni gerakan menyerang, gerakan menghindar dan

gerakan jatuh, dan ini berlaku untuk semua karakter atau semua individu.

Penyerangan

Setelah terjadi konfrontasi verbal antara pihak lawan biasanya diikuti dengan gerakan

penyerangan dalam suatu perang. Beberapa tipe gerakan menahan dan menyerang dengan

menggunakan genggaman tangan (nyepeng). Melakukan penyerangan dengan menahan

kepala (sirah)(foto 2.38), tangan atau badan (jaya), setelah menahan biasanya mereka

menyerang dengan memutar-mutarkannya. Ada gerakan yang digunakan untuk menahan

serangan dengan menahan tubuh lawan yang disebut nyikep (foto 2.37). Bahasa tubuh ini,

biasanya digunakan untuk menahan gerakan lawan yang lebih agresif. Gerakan-gerakan

menahan ini merupakan suatu upaya untuk menahan atau menghentikan gerakan lawan

Foto 2.37. Gerakan nyikep

sequence 11, transkripsi Parta Krama

Page 59: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

84

Beberapa karakter memiliki kemampuan untuk mengangkat lawan ke udara disebut

njunjung (foto 2.39 dan foto 2.40) , setelah itu di jatuhkan dengan keras ke tanah disebut

mbanting (foto 2.41), dan kemudian dilempar, gerakan melempar disebut mbucal (foto

2.42).

Foto 2.38. Gerakan Nyepeng sirah dalam perang ampyak, sequence 43, transkripsi Parta Krama

Foto 2.39 dan foto 2.40 Gerakan njunjung/ngangkat dalam perang ampyak, sequence 43, transkripsi Parta Krama

Page 60: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

85

Kalau terdapat gerakan membanting beberapa kali, disebut gerakan mbanting binanting.

Kemudian ada gerakan yang lain yang biasanya berupa sentakan yang disebut cangklet-

cengkah. Atau menghantamkan kepala dengan wajah kearah tanah atau lutut yang disebut

nglarak.

Diantara gerakan-gerakan paling agresif di saat perang, ketika seorang tokoh menyerang

ke pihak lawan, dengan menggunakan pukulan tangan yang kuat, gerakannya yang cukup

agresif ini mirip pencak silat atau karate dan tai chi, disebut ngantem. Pukulan ini

menggunakan tangan dengan kaki yang terangkat ke atas untuk memperlihatkan dan

menambah kesan adanya kekuatan dan kekerasan. Gerakan yang disebut nyaut, adalah

gerakan yang dipakai untuk membebaskan lengan bawah, dan ngepruk merupakan

gerakan untuk membebaskan kedua lengan.

Foto 2.42. Gerakan mbucal Dalam adegan perang ampyak, sequence 43, transkripsi Parta Krama

Foto 2.41. Gerakan mbanting dalam perang ampyak, sequence 43, transkripsi Parta Krama

Page 61: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

86

Mungkin sebagian terbesar dari keseluruhan adegan indah dan penuh intrik dalam

peristiwa perang tradisional antara para pahlawan muda dengan para raksasa dengan

teknik permainan yang luar biasa mempesona terdapat pada adegan perang. Di

Ngajogyakarta, biasa disebut dengan perang begal ( merupakan bagian dari pathet sanga,

perang antara para pahlawan dan para raksasa, kejadian biasanya di hutan).

Dalam ketentuan perang ini untuk bergerak ke depan dan ke belakang, berputar maju dan

mundur, dengan kecepatan gerak yang luar biasa, penyebab adanya gerakan-gerakan

dramatis adalah tangkai tuding yang bergerak berputar-putar, dengan kemampuan

imajinasi, menghasilkan gerak-gerak dramatis, persis seperti gerak tangan yang akan

menyerang musuh, gerak-gerak dramatis dalam adegan ini biasa disebut perang tuding.

Gambar 2.6. Dua contoh gerak A dan B dari perang tuding (Roger Long. 1979)

Foto 2.43 Gerakan ngantem Dalam adegan perang ampyak , sequence 45 transkripsi Parta Krama

A B

Page 62: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

87

Ada serangan yang tidak terlalu agresif, berupa tamparan yang diarahkan ke wajah

dengan posisi saling berdiri yang disebut nempiling, dan apabila pelakunya wanita yang

sedang sentimen disebut napuk – khusus gerakan ini biasanya dilakukan untuk karakter-

karakter tertentu yang biasa melakukan tindakan berlebihan untuk menyatakan gugatan.

Ada karakter-karakter bila gagal mengalahkan musuhnya, mereka menggunakan

kemampuan lain dengan mengerahkan kekuatan tubuhnya dengan menabrak lawan, yang

disebut nubruk. Gerakan lain yang hampir mirip dengan nubruk adalah, gerakan

melompat tapi langsung mencekal pergelangan tangan lawan disebut melangkah kaping

kalih, ada karakter yang melakukannya dengan melompat dan mencekal tangan dari

belakang punggung lawan.

Bila banyak karakter menyerbu bersama-sama untuk menyerang tokoh lawan, gerakan ini

disebut jeblosan, dan dalam satu gerakan yang spektakuler, dalang dengan ketrampilan

tangannya, memainkan adegan tersebut, dan ketrampilan ini disebut jeblosan linton.

Gerak lemparan ini suatu kerja yang luar biasa, karena posisi-posisi wayang kulit yang

dimainkan harus selalu dalam keadaan stabil.

Dalam wayang kulit, tendangan merupakan bentuk lain dari gerakan melempar, berdiri

atau jatuh, merupakan teknik yang menunjukkan kekuatan dalam perkelahian. Tendangan

yang dikirim dari lantai dasar hingga seolah terbang ke udara. Karena kaki dari wayang

kulit tidak mengenal bahasa, maka kaki wayang kulit ini, dapat menendang sesuka hati,

hingga bisa mencapai setinggi lima puluh lima centimeter dari atas tanah. Gerakan ini

disebut ndugang, sedangkan gerakan kakinya disebut binten termasuk menendang dengan

menggunakan lutut. Sedangkan sebutan nendhang, bila jarak lemparannya pendek.

2.1.4. Berbagai karakter tipe yang menentukan gerak wayang.

Karakter tipe dari figur (bentuk badan) wayang sangat menentukan gerak utama dan

watak tokoh-tokohnya. Selain dari bentuk badan, juga: tatapan mata, cara berdiri, bentuk

hidung, gaya rambut dan perlengkapan atribut yang dikenakan.

Page 63: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

88

Pendidikan Dalang Habirandha mengklasifikasi tipe-tipe karakter wayang dalam tujuh

karakter utama yang menentukan identitas pribadi masing-masing tokoh. Terdapat dua

tipe alus (berbudi halus, beradap, sopan) karakter tokoh; luruh (memiliki kepribadian

dengan sikap hati-hati dan sopan santun), dengan ditandai pada bentuk tubuh posisi

berdiri dengan tatapan mata ke bawah, dan lanyap (memiliki kepribadian mirip luruh,

hanya lebih agresif), dengan ditandai pada bentuk tubuh posisi berdiri dengan tatapan

mata keluar. Karakter yang lain yakni: gagah (memiliki bentuk tubuh berotot), gusen

(memiliki bentuk tubuh berotot, terlihat gusi pada gigi gerahamnya). Danawa (para

raksasa), wanara/rewanda (makhluk-makhluk sebangsa monyet) dan Dhagelan (pelawak

dan para pelayan). Penjelasan sebagai berikut:

Luruh dan lanyap. Pada bentuk tubuh wayang jenis karakter luruh dan lanyap, berukuran

kecil, dibandingkan tokoh-tokoh karakter lain. Batang tubuh ramping dan pinggul sempit,

penampilan terkesan ke-perempuan-an. Bentuk mata tipis dan sempit, serupa dengan biji

padi (gabahan). Bentuk hidung juga tipis, kecil dengan ujung yang tajam (wali miring).

Bentuk bibir atas-bawah sempit saling menekan ringan, dan mulut tertutup rapat

(salitan).

Perbedaan fisik antara luruh dan lanyap, terletak pada kemiringan wajah. Wajah luruh,

memiliki pandangan dan tatapan sopan santun ke arah bawah. Sehingga sikap tubuh

demikian digunakan istilah luruh untuk karakter tipe tersebut. Untuk wajah lanyap,

memiliki pandangan dan tatapan yang berlawanan dengan karakter luruh, karakter

lanyap memiliki tatapan ke depan dan terkesan lebih agresif.

Page 64: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

89

Foto 2.44. (A) dan (B): karakter luruh (A) dan lanyap (B). (foto: pribadi)

Tokoh wayang perempuan, seperti pelawak – pelayan, dan raksasa, memiliki bentuk

tubuh bervariasi, sesuai dengan peran yang disandangnya. Tetapi, semua tokoh wayang

putri, selalu berbadan kecil, ramping pinggang sempit, dengan tatapan luruh atau lanyap.

Foto 2.45. karakter tipe gagah (foto: pribadi)

Gagah. Wayang gagah merupakan nama karakter tipe untuk badan yang berotot. Badan

berukuran sedang atau besar dan mempunyai kekuatan yang sangat sakti. Figur yang

A B

Page 65: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

90

gagah memiliki mata bulat besar (thelengan) dan hidung yang menyerupai kancing

machete kecil (bentulan). Mulut tertutup rapat (salitan), variasi pada tatapan mata selalu

dingin, arah tatapan sedang (tidak ke bawah atau ke atas) atau ke depan.

Gusen. Tokoh karakter tipe gusen, adalah karakter yang secara kejiwaan merupakan tipe

karakter yang agak bodoh dengan senyuman menyeringai meng-expose gusinya yang

terlihat merah (gusen). Bentuk dan ukuran tubuh sedang atau besar, tetapi kulit lebih

tebal, meskipun masih termasuk tipe badan gagah. Karakter gusen memiliki mata

thelengan, dan hidung menyerupai kancing machete yang lebih besar (pangotan). Wajah

mereka miring ke arah langit, dengan arah tatapan seolah-olah maju yang disebut langak.

Foto 2.46. karakter tipe gusen (foto: pribadi)

Danawa. Tokoh-tokoh wayang yang memiliki tubuh besar, memiliki warna kulit yang

bervariasi, hitam, coklat atau putih, dengan rambut panjang hitam. Danawa adalah

bangsa raksasa, maka ia juga berbadan jangkung, penuh lemak. Mata mereka bulat besar

seolah melotot (plelengan). Wajah mengarah ke atas, hidung mereka juga besar, gemuk

dan bulat, mirip sebuah mangga (pelokan). Danawa memiliki mulut yang renggang dan

Page 66: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

91

membuka lebar (prengesan), dengan gigi taring, mirip gigi anjing yang keluar dari

bibirnya.

Foto 2.47. Karakter tipe danawa. (Foto: pribadi)

Foto 2.48. Karakter tipe wanara/rewanda (foto: pribadi)

Wanara/rewanda. Para monyet dengan bangsa yang lain, dapat dibedakan dari dua

keistimewaan yang dimilikinya. Mereka memiliki ekor panjang melingkar di pantat

mereka, dan wajah mereka yang dengan jelas merupakan wajah monyet dengan rahang

Page 67: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

92

yang menonjol dan hidung rata yang kecil. Bentuk mulut serupa dengan para raksasa,

lebar dan memperlihatkan jajaran gigi yang tajam atau bila mulut menutup terlihat gigi

taring yang menonjol keluar dari rahangnya. Mata mereka bundar dan tubuh mereka

berukuran sedang dan termasuk karakter tipe gagah.

Dhagelan. Bagian peran untuk para pesuruh dan pelawak, juga ada dalam pengkategorian

ragam peran dalam wayang kulit. Sebagai pribadi, wayang karakter tipe dhagelan

berbeda dari karakter tipe yang lain. Karena tidak ada satupun bentuk yang menyerupai

manusia atau bukan manusia, meskipun mereka memiliki peran sebagai pesuruh dan

pelawak.

Foto 2.49. Petruk, merupakan salah satu dari karakter tipe dhagelan.

(foto: pribadi)

Pelawak-pelawak aneh ini, merupakan karakter-karakter unik dari wayang-wayang

dhagelan. Setiap tokoh wayang memiliki satu atau lebih karakter yang luar biasa yang

bisa diketahui dari bentuk fisik pembawaannya. Semar, adalah karakter pesuruh dan

pelawak yang sangat dicintai dalam pewayangan, memiliki pantat yang sangat besar dan

berdada perempuan. Anak lelaki tertuanya, Gareng, berjalan pincang, bertangan bengkok,

dengan bentuk hidung bulat semacam granat. Saudara muda Gareng, Petruk, bertubuh

sangat tinggi, dengan gigi depan yang mencuat keluar, dan bentuk hidung yang panjang,

Page 68: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

93

Anak yang termuda, Bagong, memiliki bentuk kepala yang sangat besar, dengan wajah

yang lebar dan hidung yang rata. Karakter pesuruh dan pelawak yang lain, misalnya

demikian pula dengan Togog, Sarawita, Cangik, dan Limbuk mempunyai bentuk tubuh

yang unik dan aneh.

Subyek kajian-kajian pada penelitian pagelaran wayang kulit, menggunakan sejumlah

penelitian pendukung, dan kesemuanya terangkum dalam skema sebagai berikut:

A : gambar-gambar dua dimensi representatif, sebagai landasan teori dari penelitian

pagelaran wayang kulit, untuk menemukan bahasa rupa ’gerak’ wayang kulit

purwa.

B : Topik gambar-gambar dua dimensi representatif, pagelaran wayang kulit dan

bahasa rupa ’gerak’ wayang kulit, merupakan inti bahasan dari penelitian bahasa

rupa wayang kulit tersebut.

C : Pencarian bahasa rupa wayang golek, juga menggunakan landasan teori dari

gambar-gambar dua dimensi representatif, sehingga diketemukan pula bahasa rupa

wayang golek media audiovisual tiga dimensi. Penelitian ini digunakan untuk

membantu analisis pada pagelaran wayang kulit purwa, untuk kepentingan

menemukan bahasa rupa wayang kulit tersebut.

D : Analisis pagelaran wayang kulit purwa juga menggunakan bantuan The grammar

film/TV/Video language, (yang juga merupakan gambar-gambar dua dimensi

representatif) untuk menemukan bahasa rupa wayang kulit purwa tersebut. Kedua

materi yang berupa hasil penelitian bahasa rupa wayang golek purwa, dan The

Grammar of Film/TV/Video languages, merupakan aspek penunjang penting dari

penelitian bahasa rupa wayang kulit purwa yang sedang dilaksanakan ini.

E : Dari sirkulasi kegiatan dalam pencarian teori-teori sebagai landasan teoritik yang

relevan, mengacu pada gambar-gambar dua dimensi representatif dengan melalui

bantuan The Grammar Film / TV Language dan bahasa rupa wayang golek 3dimensi.

Sehingga dapat diketahui, bahwa penelitian bahasa rupa wayang kulit ini, bukan

penelitian yang berdiri sendiri, tetapi merupakan penelitian lanjutan dari penelitian-

penelitian bahasa rupa sebelumnya.

Page 69: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

94

Skema 2.4. Sirkulasi kegiatan penerapan teori-teori penunjang penelitian.

2.2. Kaji Pustaka.

Penelitian yang membicarakan tentang pergelaran wayang kulit, sudah banyak dilakukan

oleh para ahli. Maka dari itu, untuk kepentingan studi ini, diperlukan berbagai penerbitan

baik dari sudut pandang ilmiah maupun yang aktual, yang isinya tentang bahasan

keterangan-keterangan yang diperlukan dan sesuai dengan obyek penelitian. Adapun

buku-buku yang digunakan untuk penelitian pagelaran wayang kulit purwa tradisi gaya

Yogyakarta, dengan lakon “Parta Krama” antara lain;

Mengacu pada tesis Kasidi (1995) yang menulis tentang lakon ‘Palasara Rabi’ dengan

judul ‘Lakon Wayang Kulit Purwa Palasara Rabi Suntingan Teks dan Analisis

Struktural’. Pada tesis ini dapat dipelajari tentang penyajian pertunjukan wayang berupa

pentas wayang kulit, yang merupakan salah satu gaya dan versi lakon wayang dalam

Gambar 2 dimensi representatif

Pergelaran wayang kulit

Bahasa rupa Gerak wayang

kulit

Film/ TV/ Video

Wayang golek 3 dimensi

A

B

C D

Aspek penunjang penelitian bahasa rupa WK

Inti bahasan bahasa rupa

E

Teori Roger long

Page 70: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

95

tradisi pewayangan gaya Yogyakarta. Tesis tersebut diperlukan untuk mengetahui tentang

perlunya memperhatikan hubungan lakon wayang dengan penyangga pertunjukan seperti

bahasa wayang, sulukan dan teknik penyajian (Kasidi. 1995).

Tetapi untuk kepentingan penelitian yang sedang disusun ini adalah dari aspek ‘gerak’

bayangan wayang kulit dari sinar blencong disaat pergelaran, maka yang diutamakan

adalah memperhatikan teknik penyajiannya. Dari tesis Kasidi juga diperoleh rujukan

tentang contoh-contoh analisis terhadap suatu lakon wayang yakni, lakon ‘Karna

Tanding’, yang dilengkapi pula dengan gambar-gambar tokoh wayang gaya Yogyakarta.

Materi ini diperoleh dari buku ‘On Thrones of Gold: Three Javanese Shadow Play

(James Brandon 1970, dalam Kasidi.1995).

Buku penting yang lain, adalah berjudul ‘Pedhalangan Ngayogyakarta Jilid 1’, oleh

Mudjanattistomo, Sangkono Tjiptowardoyo, Radyomardowo, dan Basirun Hadisumarto.

Ditulis dalam bahasa Jawa gaya Yogyakarta, yang isinya tentang berbagai keterangan

yang berharga tentang ‘caking pakeliran’ atau tentang tata cara pelaksanaan pementasan

wayang kulit purwa berdasarkan tradisi pewayangan gaya Yogyakarta.

Dalam tulisan yang lain Kasidi juga membahas tentang estetika seni pedalangan dalam

bukunya yang berjudul ‘Teori Estetika untuk Seni Pedalangan’ (2004) yang menuliskan

secara umum segala hal yang berhubungan dengan estetika dan gaya pedalangan. Tapi

yang dibutuhkan untuk penelitian disertasi ini adalah penjelasan tentang gaya pedalangan

dan sarana pementasan wayang. Kemudian dijelaskan pula bahwa, dalam tulisan tentang

sarana pementasan wayang tersebut, adalah membahas masalah dalam jagad pewayangan

berupa garap lakon yang sangat ditentukan oleh garap bentuk pakem balungan (inti dari

aturan-aturan baku memainkan wayang) atau garap pakeliran padat. Pada buku ini ditulis

juga beberapa contoh naskah pakem balungan, meskipun tidak terdapat naskah balungan

lampahan ‘Parta Krama’ yang jadi perhatian utama dari penelitian, tapi terdapat naskah

balungan lampahan ‘Manikmaya Krama’ (2004). Naskah tersebut dapat dipelajari

bagaimana penyajian sebuah naskah, tentang bangunan lakon wayang secara tepat,

menyatu dengan unsur-unsur penyangga pementasan, meliputi pembagian pathet (bagian

Page 71: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

96

cerita), pembagian bentuk-bentuk jejeran (adegan pertama) atau adegan, dan adegan

perang. Khusus untuk penulisan naskah balungan lampahan ini ditulis dalam bahasa tutur

asli, yakni bahasa Jawa Yogyakarta, dengan penjelasan dari penulisnya, bahwa seseorang

bisa menjadi dalang hanya dengan mempelajari belungan lakon, dan hanya diperlukan

latihan untuk memainkan karakter tokoh, sebelum pentas.

Untuk naskah balungan lampahan ’Parta Krama’ diperoleh dari buku berjudul ‘Serat

Pakeliran Jangkep Lampahan Parta Krama’ (2001) yang ditulis oleh Ki Purwadi, secara

lengkap dalam bahasa Jawa pada umumnya, dari pembagian pathet, pembagian bentuk

jejeran atau adegan, dan adegan perang. Meskipun menggunakan pakeliran gaya

Surakarta, tapi untuk penyampaian materi pakeliran jangkep-nya cukup mewakili jalan

cerita yang dipergelarkan.

Kemudian buku penting lain adalah, buku tentang ‘Pertumbuhan dan Perkembangan

Seni Pertunjukan Wayang’ (2004) yang ditulis oleh Bambang Murtiyoso, Waridi,

Suyanto, Kuwato, Harijadi Tri Putranto, dengan Kundharu Sadhono sebagai editor.

Tulisan ini meskipun mengarah pada bahasan pagelaran pewayangan gaya Surakarta, tapi

banyak juga menjelaskan secara rinci berbagai hal yang berhubungan dengan istilah

pewayangan yang digunakan untuk pentas wayang pada umumnya. Groenendael (1987)

dalam bukunya menyebutkan bahwa tim penulis ini, yakni Bambang Murtiyoso dan

Kuwato adalah yang bertugas membantunya dalam penelitian ‘Dalang Dibalik Wayang’

(1977/1978 di Solo). Sehingga tulisan yang disusun sesuai dengan kebutuhan tentang

pengetahuan mendasar yang berhubungan dengan pertunjukan wayang bagi masyarakat

peminat pertunjukan seni wayang.

Pada buku berjudul “Kalangwan, A survey of Old Javanese Literature” di tulis oleh P.J.

Zoetmulder, dengan buku asli yang diterbitkan Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land- en

Volkenkunde (KITLV), Translation Series 16, Martinus Nijhoff, 1974, Deen Haag.

Page 72: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

97

Kemudian terjemahannya dengan judul buku”Kalangwan6, Sastra Jawa Kuno Selayang

Pandang” diterbitkan oleh Jambatan tahun 1985, dengan penerjemah Dick Hartoko SJ.

Dijelaskan lebih lanjut, berdasarkan tradisi carangan (gubahan) sastra Jawa Kuno, bahwa

lakon carangan7 “Parta Krama” (yang dijadikan obyek kajian) merupakan gubahan dari

lakon pokok Kakawin Sumbadra Wiwaha, yang mengacu dari Sastra Parwa yang

pertama, yakni Adiparwa ( diterjemahkan dari bahasa Jawa Kuno ke bahasa latin oleh

H.H. Juynboll – 1906) Perlu diketahui pula, untuk lakon carangan ”Parta Krama”, di

lingkungan keraton Yogyakarta dan Surakarta, dibuat lakon carangan kadhapur8

(berseri) yakni: Srikandi Belajar Memanah, Abimanyu Lahir, Sembadra Larung.

Perlu dijelaskan secara ringkas, bahwa karya Adiparwa ini, merupakan bentuk prosa dari

syair Mahabharata, yang terdiri 2 bagian, yang pertama, menembangkan epos Bharata,

yang bercerita tentang para korban yang dipersembahkan sebagai sarana magis untuk

memusnahkan para naga, atas perintah raja Janamejaya. Bagian kedua berisi silsilah para

Pandawa dan Korawa, kelahiran sampai masa muda mereka, sampai pernikahan Arjuna

dan Sumbhadra. Kisah pernikahan Arjuna dan Sumbhadra ini dalam lakon pewayangan,

menjadi lakon carangan “Parta Krama”.

Kemudian, ada yang perlu diperhatikan, bahwa dalam sastra Jawa Kuno (dalam arti yang

lebih luas), terdapat dua macam puisi yang berbeda satu dengan yang lain terutama

karena metrumnya9, yaitu jenis kakawin dan kidung. Jenis yang pertama, menggunakan

metrum-metrum dari India, sedangkan yang kedua metrum-metrum asli Jawa atau

Indonesia. Penggunaan bahasanya pun terdapat suatu perbedaan, dalam kakawin dipakai

6 Pada jaman dahulu di pulau Jawa, seni menulis puisi dinamakan kalangwan atau kalangon, yaitu ’keindahan’, karena dengan menciptakan karya-karya satra, orang terangkat keluar dari dirinya sendiri (ekstasi – ’lango’) dan terhanyut dalam mengalami keindahan. 7 Lakon carangan istilah untuk menjelaskan tentang lakon-lakon gubahan dari lakon pokok yang kemudian dikembangkan, sehingga menjadi lakon yang berdiri sendiri. 8 Lakon carangan kadhapur istilah satu lakon yang diurai menjadi banyak cerita. 9 Metrum merupakan istilah untuk bentuk susunan tulisan semacam syair, memiliki perbedaan bahasa, lalu sering muncul pasangan-pasangan varian, akibat perubahan fonetis (misalnya disamping bentuk ’rengo’ yang lebih tua, ada juga bentuk ’rungu’), muncullah sejumlah besar kata yang tidak dipakai dalam kakawin, tapi ada kemungkinan terdapat pada kidung

Page 73: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

98

bahasa Jawa Kuno, sedangkan bahasa pada kidung ialah bahasa Jawa Pertengahan10.

Syair-syair yang digunakan dalam bahasa transkripsi, yakni janturan, kandha dan

carita11, yang digunakan dalam pagelaran lakon”Parta Krama” merupakan bentuk

kidung, yang mengacu pada kakawin Sumbadra Wiwaha.

Menurut buku yang berjudul ” Sastra Jawa, Suatu Tinjauan Umum” terbitan Balai

Pustaka, Jakarta, dengan editorial Edi Sedyawati dkk (2001), memperjelas makna cerita

wayang kulit purwa, bahwa aspek cerita pada lakon merupakan suatu bentuk karya sastra.

Kepiawaian dalang, yang kemudian diteladani oleh sastrawan, adalah dalam menjadikan

tontonannya mengharukan, mendebarkan, membirahikan, dan kocak dengan

menggunakan segala peranti artistik verbal, maupun nonverbal, seperti narasi, diksi,

dialog, dan manipulasi wayang, yang dalam bahasa wayang bisa saja disebut suluk,

janturan, antawacana, dan sabetan. Unsur cerita pada karya sastra (terutama cerita

rekaan yang panjang, harus memiliki unsur mengharukan, mendebarkan, membirahikan,

dan lucu. Wayang Purwa, jenis teater yang paling populer di Jawa, mengandung keempat

unsur itu.

Pentas wayang menyangkut keutuhan yang memuat cerita dan ajaran, musik dan seni

suara, gerak (sabet), dan bentuk wayang/boneka. Unsur itu saling bertautan. Struktur

cerita memuat adegan-adegan dengan tiga bagian pokok yang diikuti modus gamelan

yang sesuai (pathet nem, sanga, dan manyura12). Suara tokoh-tokoh mempunyai nada

dasar tertentu. Jejer13 (adegan pertama, pembuka) diiringi gendhing tertentu sesuai

dengan raja/dewa yang ditampilkan. Ajaran biasa ditempatkan pada adegan pertapaan, 10 Sehingga ada kesimpulan, bahwa bahasa kakawin adalah bahasa Jawa Kuno, dan bahasa kidung adalah bahasa Jawa Pertengahan. Sebetulnya, kalimat ini kurang tepat, karena dalam bahasa Jawa Kuno juga terdapat karya-karya prosa (meskipun tidak banyak), yang memperlihatkan ciri khas bahasa kidung. Tapi untuk sementara, sebelum ada penelitian lebih lanjut, untuk mempermudah memahami ciri-ciri perbedaan kakawin dan kidung, kita gunakan kalimat ini. 11 Janturan, kandha dan carita, merupakan deskripsi cerita dalam bentuk-bentuk kidung yang ada pada masing-masing babak dari suatu lakon. Janturan, merupakan deskripsi cerita adegan lengkap pada babak awal dalam pathet Nem. Kandha merupakan deskripsi adegan tanpa diikuti iringan bunyi ricikan gamelan kecuali gender. Carita adalah pelukisan suasana adegan, tokoh wayang, dan tempat terjadinya suatu peristiwa dengan diiringi bunyi gending gamelan. 12 Penjelasan lebih lanjut mengenai pathet nem, sanga dan manyura, dapat dipelajari pada bab 3, dalam sub bab 3.3. Susunan Lakon Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta. 13 Penjelasan lebih lanjut tentang jejer, gendhing, limbukan dan panakawan, juga dapat dipelajari pada bab 3, dalam sub bab 3.3. Susunan Lakon Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta.

Page 74: Bab. II. TEORI BAHASA RUPA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/553/jbptitbpp-gdl-ismoerdija-27646-3... · Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah,

99

ketika seorang ksatria menghadap seorang pertapa/pendeta untuk mohon kebijaksanaan.

Untuk adegan yang mengetengahkan kelucuan ditampilkan pada adegan limbukan dan

panakawan.

Pada buku ini juga membahas estetika bahasa yang digunakan dalang, tampak dalam

janturan, kandha dan carita14yang sarat dengan perumpamaan dan formula-formula

dengan aliterasi dan asonansi (biasa disebut: purwakanthi). Estetika sabet berpedoman

pada pengertian resik (bersih) dan greget (semangat). Greget ini juga harus dipenuhi

dalam pocapan atau ginem (percakapan). Percakapan antartokoh harus memperhatikan

ragam bahasa sesuai dengan relasi antartokoh itu. Dalam pengolahan cerita ada peluang

bagi dalang untuk memunculkan kreativitasnya, yang disebut sanggit.

14 Bentuk-bentuk contoh Janturan, Kandha dan Carita terdapat pada bab 3, dalam subbab 3.4.Suntingan Teks Lakon Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta ”Parta Krama”