BAB II TA'WIL DALAM PERSPEKTIF MAINSTREAM...
Transcript of BAB II TA'WIL DALAM PERSPEKTIF MAINSTREAM...
BAB II
TA'WIL DALAM PERSPEKTIF MAINSTREAM ULAMA
A. Pengertian dan Makna Ta'wil
1. Kerangka Epistemologis
Pengertian ta'wil secara bahasa berasal dari kata aul yang berarti
kembali pada asalnya.1 Sebagian ulama yang berpendapat bahwa
pengertian ta'wil muradif dengan pengertian tafsir dalam kebanyakan
maknanya yaitu menerangkan (al-bayan) dan juga berarti menjelaskan
sesuatu (al-idhah).2
Di antara firman Allah SWT. yang mengemukakan kata ta'wil
ialah:
محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات هـو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات وابتغاء تأويله وما يعلم يف قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة فأمـا الذيـن
يذكر إال في العلم يقولون آمنا به كل من عند ربنا وما أويلـه إال اللـه والراسخون ت أولوا األلباب
Artinya: Dia-lah yang menurunkan Al Kitab kepada kamu. Di antara nya
ada ayat-ayat yang muhkamaat , itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain mu-tasyaabihaat . Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
1 Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi 'Ulumil Qur'an, Terj. Litera Antar Nusa "Studi
Ilmu-Ilmu Qur'an", Bogor: Litera Antar Nusa, cet. ke-4, 2001, hlm. 257. 2 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur-an, Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, cet ke-2, 2002, hlm. 210.
ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang berakal.
(Q.S. Ali Imran ayat 7)3 Adapun menurut mutaqaddimin (ulama terdahulu) ta'wil artinya
tafsir. Karena itu, bila dikatakan tafsir al-Qur'an atau ta'wil al-Qur'an maka
artinya sama.
Sedangkan mujahid mengatakan, "Bahwasanya ulama mengetahui
ta'wil al-Qur'an maksudnya mengetahui tafsir maknanya. Sekelompok
ulama berpendapat bahwa antara tafsir dan ta'wil mempunyai perbedaan
yang jelas, dan hal ini telah populer dikalangan ulama mutaakhirin
(ulama terkemudian). Al-Alusi mendefinisikan tafsir adalah sebagai
penjelasan makna al-Qur'an yang zahir (nyata) sedangkan ta'wil adalah
penjelasan para ulama dari ayat yang maknanya tersirat, serta rahasia-
rahasia ketuhanan yang terkandung dalam ayat al-Qur'an.4
Menurut Mana'ul Quthan lafadz ta'wil itu dikembalikan pada tiga
arti: Pertama, memalingkan lafadz dari ihtimal (predikat penderita) yang
kuat kepada ihtimal yang dikuatkan bagi dalil yang berkaitan dengannya.
Kedua, ta'wil dengan tafsir. Ketiga, takwil, yaitu hakekat yang dita'wilkan
3 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV.
ALWAAH, 1993, hlm. 76. 4 Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, At-tibyaan Fii Uluumil Quran, Terj. CV Pustka Setia
"Studi Ilmu Al-Qur'an", Bandung: CV Pustka Setia, cet. ke-1, 2001, hlm. 246-247.
oleh kata-kata kepadanya. Dan kecenderungan ulama mutaakhirin itu
menggunakan yang pertama.5
Sedangkan menurut Abu Zayd, makna bahasa dari kata ta'wil
terdapat dua dimensi yang tampak kontradiksi, namun sebenarnya saling
melengkapi. Dimensi pertama tercermin dalam makna dari bentuk kata
kerja tiga huruf (tsulasi) ala dan derivasi-derivasinya, yang artinya adalah
"kembali" (al-udah dan al-ruju'). Di dalam kamus Lisan Al-Arab
disebutkan: ala asy-syi'uya'ulu aulan wa ma'alan: artinya raja'a
(kembali). Dari makna ini makna ta'wil adalah mengembalikan sesuatu
atau fenomena sebagai objek kajian pada sebab-sebab pertama dan
aslinya.6
Sementara itu Pengertian ta'wil menurut istilah mufassirin,
memalingkan nash-nash al-Qur’an dalam as-Sunnah yang mutasyabihah,
dari maknanya yang dhahir, kepada makna-makna yang sesuai dari
kesucian Allah dari yang menyerupai mahluk, yang berlainan dengan
makna yang diberikan oleh ulama-ulama salaf, yaitu menyerahkan
pengertian-pengertian nash itu, kepada Allah sendiri tanpa menentukan
sesuatu makna.7
5 Mana'ul Qathan, Mabahits fi 'Ulumil Qur'an, Terj. PT. Rineka Cipta "Pemabahasan
Ilmu Al-Qur'an 2, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995, hlm. 7. 6 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-khithab ad Dini, Terj. LkiS "Kritik Wacana Agama",
Yogyakarta: LkiS, cet. ke-1, 2003, hlm. 116-117. 7 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op., cit., hlm. 211.
Ulama al-Qur’an bersikap toleran terhadap ta'wil-ta'wil sebagian
ulama sufi atas dasar bahwa ta'wil tersebut merupakan isyarat-isyarat dan
ekstase-ekstase (mawajid) yang tidak bertentangan dengan makna-makna
aslinya. Tidak disangsikan lagi di samping menolak ta'wil-ta'wil Syi'ah
tetapi menerima sebagian ta'wil-ta'wil kaum sufi sementara sebagian yang
lain ditolak, tersirat sikap idiologis yang mendukung kekuasaan. Akan
tetapi, secara epistemologis prinsip yang mendasari pembedaan yang
mereka lakukan antara yang diterima dan yang dibenci dalam wilayah
ta'wil tetap valid (shahih) dan tepat.8 Dan konsep implisit yang kita
diskusikan ini diharapkan dapat terkuak melalui analisis dari kata ta'wil itu
sendiri yang merupakan sisi lain dari teks dengan perangkat bahasa dalam
pemahaman kita sekarang. Ini dari satu segi, dan segi yang lainnya,
kemunculan kata ta'wil dalam Al-Qur’an teks Arab yang tertua dan
terpercaya validitasnya itu.9
Jadi jelas bahwa tafsir ialah pengertian lahiriah dari ayat al-Qur'an
yang pengertiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki
Allah Azza wa jalla. Sedangkan ta'wil adalah pengertian-pengertian
tersirat yang diistinbatkan (diproses) dari ayat-ayat al-Qur'an yang
8 Op., cit., hlm. 117-118 9 Nasr Hamid Abu Zayd, An- Nash, As-Shulthoh, Al-Haqiqoh. terjm LkiS "Teks Otoritas
Kebenaran", Yogyakarta: LkiS, 2003, hlm. 192.
memerlukan perenungan dan pemikiran serta merupakan sarana pembuka
tabir.
Tafsir dan ta'wil, secara umum, dimengerti sebagai penafsiran atau
penjelasan. Akan tetapi, ta'wil lebih merupakan interpretasi yang
mendalam (esoteric exegese) yang berkaitan dengan makna batin teks dan
penafsiran metaforis terhadap al-Quran, sementara tafsir berkaitan dengan
makna eksternal teks (Exoteric exegese) (Esack 1997:61). Jika dalam
tipologi yang terakkhir terdapat pemilahan metode penafsiran rasional (bi
al-'aqla) dan penafsiran dengan bantuan dalil teks (bi an-naql), maka
dalam ta'wil juga di kenal istilah tafsir al-isyari dan tafsir bathin.
Secara tradisional, tafsir memang dibedakan dengan ta'wil. Setelah
menimbang-nimbang pelbagai sumber pembentukan kata (musytaqqat al-
kalam) dan penggunaannya dalam berbagai konteks (siyaq al-kalam)
dalam literatur bahasa Arab dan keilmuan Islam,10 maupun dalam al-
Qur’an sendiri, Abu Zayd menyimpulkan bahwa arti kata tafsir pada
hakikatnya adalah upaya "menyingkap sesuatu yang samar-samar dan
tersembunyi melalui mediator".
10 Yaitu tradisi Islam yang mencakup segala hal yang secara asasi berkaitan dengan aspek
pemikiran dalam segala peradaban Islam, mulai dari doktrinal, syari'at bahasa, sastra, seni, teologi, filsafat dan tasawuf. Lihat M. Kholidul Adib Ach, Justisia, Fiqih Progresif, "Epistemologi Islam Progresif", Semarang, Edisi 24, 2003, hal. 8. (dari Mohammed Abid al-jabiry, at-urats wa al-dirasah wa al-Munaqasah, Bairut, Markaz Tsaqafah al-Arabi, 1991, hal. 8., juga dari Post Tradisionalisme, ter. Ahmad Baso, Yogyakarta: LkiS, 2000, hlm. 16.)
Kesimpulan ini berasal dari pengertian kata tafsir yang merupakan
turunan dari kata fassara dan safara. Verba fassara di nominalkan (ism
al-masdar) oleh kata al-fasr dan tafsirah yang masing-masing berarti
pengamatan dokter terhadap air (al-fasr) dan urine yang di gunakan
sebagai indikator penyakit (tafsirah). Kedua kata tersebut menunjukkan
dua entitas yang saling berhubungan: materi yang berfungsi sebagai
medium yang diamati dokter untuk mengamati penyakit, dan tindakan
dalam diagnosa penyakit.11
2. Konteks Historis
Sebagaimana setiap teks adalah sebuah fenomena historis dengan
konteks khasnya sendiri, dan prinsip ini dapat dipakai untuk al-Qur’an
sebagai sebuah teks dan interpretasinya sebagai sebuah fenomena historis
juga, maka konteks di mana al-Qur’an dikaji di dalam berbagai aliran
penafsiran pun juga harus diteliti.12 Seperti telah dijelaskan bahwa
historisitas al-Qur’an sebagai sebuah teks tidaklah berarti, dan tidak mesti,
bahwa ia adalah teks manusia. Teks historis13 ini adalah subyek
11 Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Menurut Imam
Hasan Hanafi, Bandung: TERAJU, cet., ke-1, 2002, hlm. 57. 12 Bahwa otentisitas teks hanya dapat dibuktikan melalui kritik sejarah. Kritik ini harus
terbebas dari hal-hal yang semata-mata berbau, teologis, filosofis, mistik, spiritual, atau bahkan fenomenologi. (Lihat Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Menurut Imam Hasan, hlm. 115).
13 Karena al-Qur’an adalah wahyu dan/atau manifestasi firman Tuhan pada waktu dan tempat tertentu, maka apa yang diwahyukan pada Nabi Muhammad dalam bahasa Arab pada abad ke-7 adalah sebuh teks sejarah. Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an Hermeneutik Dan Kekuasaan, Bandung: RqiS (Risearch for Quranic Studies), 2003, hlm. 93.
pemahaman dan interpretasi, sedangkan firman tuhan berada dalam
wilayah melampaui pengetahuan manusia.
Sehingga analisis sosio historis dan metodologi linguistik modern
diperlukan untuk memahami dan melakukan interpretasi.14 Hingga kini
hanya pendekatan filologi yang diterima; sedangkan analisis sosio-historis
secara mutlak ditolak tidak hanya dalam bidang interpretsi teks tetapi juga
dalam bidang keilmuan Islam. Konsep yang mengatakan bahwa teks-teks
agama meskipun suci dan diwahyukan oleh tuhan tetapi secara historis ia
telah dibentuk dan secara kultura dibangun, bukan hanya ditolak tetapi
juga dihukumi sebagai atheis. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa
konsep al-Qur’an sebagai perkataan internal tuhan yang abadi (eternal),
yang merupakan bagian dari sebuah aliran pemikiran teologi klasik
tertentu, telah menjadi dogma Islam yang diterima oleh Sunni. Para ulama
hanya tahu bahwa ada aliran teologi lain yang menyatakan bahwa al-
Qur’an diciptakan sehingga tak mungkin bisa abadi namun hanya sedikit
ulama yang menerima pendapat tersebut. Seringkali dalam sejarah Islam
semua posisi teologi ini secara sempit disosialisasikan dengan posisi sosio
politis. Sekalipun demikian, semua posisi ini diambil dalam wacana Islam
14 Lihat pula pada M. Kholidul Adib Ach, Justisia, Fiqih Progresif, "Epistemologi Islam
Progresif", op. cit., hlm. 8. Bahwa dalam proyek kritik tradisi, al-Jabiry berupaya membangunkan nalar Arab(termasuk Islam) dalam berpijak dari tradisi (culture history). Pembaruan versi al-Jabiry yang bukan memotong tradisi. Dn ini dipandang banyak kalangan sangat signifikan untuk membuat masa depan Arab (dan Islam) lebih cerah.
modern, dianalisis dan dievaluasi menurut kategori benar atau salah, asli
atau palsu.
Persoalan ini diberikan dengan sederhana; kalau al-Qur’an tidak
abadi, lalu ia diciptakan dalam konteks tertentu dan pesan yang
dikandungnya pun mesti dipahami dalam konteks tersebut. Pandangan ini
meninggalkan ruang bagi reinterpretsi hukum agama, karena bahasa tuhan
harus dipahami menurut semangatnya bukan tulisannya. Konsekuensi
finalnya adalah bahwa otoritas publik dan/atau masyarakat berhak untuk
mengungulkan diri dalam menginterpretasikan dan mengimplikasikan
hukum. Jika firman tuhan di satu sisi abadi, tidak tercipta dan tetap/abadi,
maka gagasan reinterpretasi di dalam sebuah situasi barupun menjadi
haram/terkutuk; jadi kalau demikian, maka tak ada lagi perbedaan antara
aksara dan semangat hukum tuhan sehingga kaum teologilah yang berhak
memelihara dan melindunginya. Dengan kata lain, otoritas Islam seperti
halnya Gereja Kristen menjadi diperlukan, dan ini terjadi dalam sosio
politik dan kultur sejarah Islam sejak abad ke-9 masehi ketika gagasan
keabadian al-Qur’an dengan segenap implikasinya ditegaskan melalui
otoritas politik sebagai keimanan "sebenarnya".
Untuk mengilustrasikan pentingnya hal tersebut, atau
kompleksitas problem teks ketuhanan ini dalam pemikiran Islam modern,
seorang intelektual reformis Mesir yang sangat terkenal pada abad 19,
Muhammad Abduh. Dalam risalahnya Risalat al-Tauhid, risalah modern
pertama tentang teologi Islam, Abduh memutuskan untuk memilih wacana
teologi klasik yang dianggap paling baik dan berguna bagi kaum Muslim
modern. Karenanya, dia mengkombinasikan berbagai dogma dari berbagai
aliran teologi yang berbeda dan menghadirkannya sebagai sebuah sintesis.
Dalam edisi pertama bukunya, Abduh mengadopsi konsep al-Qur’an
sebagai wahyu yang diciptakan, tetapi mundur pada edisi kadua dengan
gagasan yang sebaliknya. Apakah hal ini disebabkan oleh ketakutan atas
hasutan mayoritas ulama al-Azhar yang paling berpengaruh? Ataukah
pendirian sang imam yang telah berubah? Tidak ada kepastian tentang hal
ini.15
Islam adalah pesan yang diwahyukan, sedangkan wahyu itu
sendiri menurut Hanafi merupakan firman tuhan yang diberikan kepada
Nabi in vebatim dan harus disampaikan secara in verbatim pula kepada
manusia. al-Qur’an sangat jelas memberikan keterangan tentang hal itu.
Sebuah pesan yang mewakili hubungan komunikatif antara pengirim
(sender) dan penerima (receiver) melalui alat sistem kode atau linguistik.
Karena pengirim al-Qur’an tidak bisa menjadi obyek studi ilmiah, maka
wajar kalau pengantar ilmiah dalam analisis teks al-Qur’an muncul
melalui realitas kontekstual dan realitas budaya bisa mendefinisikan
15 Ilham B. Saenong, op. cit., hlm. 92-94.
kondisi sosio-politik orang-orang yang diajak bicara oleh teks, dan
penerima pertama yakni Nabi dan Rasulullah. Pada sisi lain, budaya dapat
didefinisikan sebagai dunia konsepsi yang dibentuk dalam bahasa al-
Qur’an. Dalam pengertian ini, memulai sebuah analisis teks al-Qur’an
dengan realitas budaya kontekstualnya,16 sebenarnya adalah memulai
dengan sejarah fakta-fakta empirik. Melalui analisis fakta-fakta semacam
itu, maka pemahaman ilmiah terhadap al-Qur’an bisa dilakukan.
Pemahaman ilmiah harus jelas dan memerlukan landasan yang utama
bahwa al-Qur’an adalah produk budaya. Bagaimanapun, persoalan
tersebut lebih rumit karena menjadi sebuah produk budaya hanyalah satu
sisi dari teks tersebut, yakni sisi kemunculannya sebagai sebuah teks. Sisi
lainnya bahwa al-Qur’an menjadi sebuah penghasil budaya baru. Dengan
kata lain, al-Qur’an pertama kali muncul sebagai sebuah teks di dalam
sebuah realitas sosio-kultur yang spesifik yang terwujud dalam sebuah
sistem linguistik tertentu, bahasa Arab; dan kedua, sebuah kultur baru
muncul keluar secara bertahap. Kenyataan bahwa teks al-Qur’an bisa
16 Jadi jelas bahwa kontekstualisasi Al-Qur'an sangat penting. karena pembangunan
manusia yang selalu menjanjikan kesejahteraan, bahkan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat merupakan proses interaksi dari serangkaian kegiatan yang mengarah pada perbaikan kualitas hidup manusia dari segala aspek kehidupan. Dalam hal ini Al-qur'an sebagai sumber motivasi, diletakkan sebagai penyeimbang aqidah, syari'ah dan akhlaq karimah. (Lihat Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial: Kontekstualisasi Al-Qur'an, Yogyakarta: LkiS dan Bekerjasama dengan Pustka Pelajar, 1994, hlm. 59).
dipahami dan mampu memberi semangat merupakan konsekuensi yang tak
dapat diubah lagi budayanya.17
B. Ta'wil sebagai Sebuah Pendekatan, Kekurangan dan Kelebihan
1. Ta’wil sebuah Pendekatan
Menurut Abu Zahrah ta’wil adalah “mengeluarkan lafadz dari
lahir maknanya kepada makna lain yang ada kemungkinan untuk itu."
Dengan bahasa lain: Pertama, Lafadz itu tidak lagi difahami menurut arti
lahir. Kedua, Arti yang dipahami dari lafadz itu adalah arti lain yang
secara umum juga dijangkau oleh arti zahir lafadz itu. Ketiga, Peralihan
dari arti zahir kepada arti lain itu menyandarkan kepada petunjuk dalil
yang ada.18
Dan ta'wil ini akan merubah pemahaman literal terhadap teks ayat
al-Quran, yang mana pemahaman literal itu tidak jarang menimbulkan
problem atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran, apalagi ketika
pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah,
atau keagamaan.
Dahulu, sebagian ulama merasa puas dengan menyatakan bahwa
"Allahu a'lam bi muradihi" (Allah yang mengetahui maksud-Nya). Tetapi,
ini tentunya tidak memuaskan banyak pihak, apalagi dewasa ini. Karena
17 Op. cit., hlm. 94-95. 18 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, Jilid II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, hlm. 40
itu, sedikit demi sedikit sikap seperti itu berubah dan para mufasir
akhirnya beralih pandangan dengan jalan menggunakan ta'wil, tamsil, atau
metafora. Memang, literalisme seringkali mempersempit makna, berbeda
dengan pen-ta'wil-an yang memperluas makna sekaligus tidak
menyimpang darinya.
Al-Jahiz (w. 225 H/868 M), seorang ulama beraliran rasional
dalam bidang teologi, dinilai sebagai tokoh pertama dalam bidang
penafsiran metaforis. Ia tampil dengan gigih memperkenalkan makna-
makna metaforis pada ayat-ayat al-Qur’an. Dan, dalam hal ini, harus
diakui bahwa dia telah menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sangat
mengagumkan, sehingga mampu menyelesaikan sekian banyak problem
pemahaman keagamaan atau ganjalan-ganjalan yang sebelumnya dihadapi
itu.
Tokoh lain dalam bidang ini adalah murid Al-Jahiz, yakni Ibnu
Qutaibah (w. 276 H/889 M). Tokoh ini bukanlah penganut aliran rasional
(Mu'tazilah) dan bahkan dinilai sebagai "juru bicara Ahl Al-Sunnah".
Namun, dia menempuh cara-cara gurunya dan mengembangkannya dalam
rangka memahami teks-teks keagamaan.19
Tentunya kita tidak dapat menggunakan ta'wil tanpa didukung
oleh syarat-syarat tertentu. Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok
19 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Bandung, Mizan, cet. ke-13, 1996, hlm. 90-91.
bagi pen-ta'wil-an ayat-ayat al-Quran: Pertama, makna yang dipilih sesuai
dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki
otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik.
Syarat yang dikemukakan ini, lebih longgar dari syarat kelompok
al-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus
telah dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal.
Dalam syarat Al-Syathibi di atas, terbaca bahwa popularitas arti
kosakata tidak disinggung lagi. Bahkan lebih jauh Al-Syathibi
menegaskan bahwa kata-kata yang bersifat ambigus/musytarak
(mempunyai lebih dari satu makna) yang kesemua maknanya dapat
digunakan bagi pengertian teks tersebut selama tidak bertentangan satu
dengan lainnya.
Aliran tafsir Muhammad 'Abduh mengembangkan lagi syarat pen-ta'wil-
an, sehingga ia lebih banyak mengandalkan akal, sedangkan faktor
kebahasaan dicukupkannya selama ada kaitan makna penta'wil-an dengan
kata yang di-ta'wil-kan. Karena itu, kata Jin yang berarti "sesuatu yang
tertutup", diartikan oleh muridnya Rasyid Ridha sebagai kuman yang
tertutup (tidak terlihat oleh pandangan mata). Pendapat ini mirip dengan
pendapat Bint Al-Syathi' yang secara tegas menyatakan bahwa
"Pengertian kata Jin tidak harus dipahami terbatas pada apa yang biasa
dipahami tentang makhluk-makhluk halus yang 'tampak' pada saat
ketakutan seseorang di waktu malam atau dalam ilusinya. Tetapi,
pengertiannya dapat mencakup segala jenis yang bukan manusia yang
hidup di alam-alam yang tidak terlihat, tidak terjangkau, dan yang berada
di luar alam manusia di mana kita berada.20 Dualisme bentuk dan makna
dapat diungkapkan dengan dualisme-dualisme lain, seperti bayangan dan
ruh, kongkret dan abstrak, tanda dan petanda, nyata dalam gaib, dan
seterusnya. Akan tetapi, dualisme utama yang mendasari seluruh sistem
pemikiran ini adalah dualisme dunia dan akhirat. Dunia merupakan alam
gambar, bayangan, kongkret, nyata dan tanda, sementara akhirat
merupakan alam ide, ruh, dan petanda, yaitu alam gaib. Jika segala
sesuatu di kehidupan dunia ini akan lenyap dan fana maka segala sesuatu
yag berkaitan dengannya tidak memiliki nilai dan signifikansi. Yang
penting bukan gambar tapi maknanya. Bayangan pada dasarnya tak
penting, tetapi ruhnya yang penting. Tanda memiliki nilai hanya karena ia
menunjuk pada petanda.21
Jika hubungan antar ide dan bayangan berifat mutualisme, pada
kehidupan dunia yang tampak adalah bayangan, sementara pada
kehidupan akhirat yang tampak adalah ide, maka wajara jika upaya
20 Op. cit., hlm. 21 Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah fil Ulum al-Qur'an), Terj. LkiS
"Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur'an" Yogyakarta: LkiS, 2002, hlm. 243.
muawwil membedah agar dapat masuk ke kulit inti, dari tanda ke petanda.
Ia menjalani perjalanan yang tak kalah sulitnya dengan mi'raj sufi dalam
upaya mendapatkan hakekat, hanya saja, sufi mendapatkannya dalam
tataran ma'rifat, sedangkan mu'awwil mengusahakannya melalui teks.
Dan memang teks dari yang jelas menjadi misteri atau sebaliknya
sehingga membutuhkan upaya besar untuk membedah agar segala yang
tertutup menjadi terbuka, dan segala misteri dan kandungannya dapat
tersingkapkan. Misteri itu sendiri menjadi kode khusus yang tak dapat
didekati oleh menusia biasa-yang menjadi sasaran wahyu dan syari'at-
kecuali dengan susah payah.22
2. Ta’wil: Sisi Lain dari Majaz
Ta’wil merupakan sisi lain dari majaz. Di dalam pemikiran Abdul Qahir
al-Jurjani, "ta’wil" berubah menjadi konsep kategoris yang pada dasarnya
membatasi berbagai perbedaan yang mendetail dari tipe-tipe retorika
(balaghoh). Perbedaan antara isti'aroh tahqiqiyyah dan isti'aroh
takhyiliyyah-misalnya-merupakan perbedaan tingkat ta’wil yang dituntut
pada masing-masing metafora untuk mencapai makna. Di dalam isti'aroh
tahqiqiyyah sebutan dari musta'ar menunjukkan pada denotatum yang
tetap dan maklum yang dikenainya, sebagaimana sifat terhadap yang
22 Ibid, hlm. 247-248.
disifatinya (maushuf), sebagaimana kata Abdul Qahir; Seperti perkataan:
"aku melihat singa" sedang yang Anda maksudkan adalah orang yang
pemberani,"seekor kijang betina menngis pada kami" sedang yang Anda
maksudkan adalah seorang perempuan, "aku perlihatkan secercah sinar"
sedang yang Anda maksudkan adalah petunjuk, penjelasan, dan
argumentasi, dan sebagainya. Semua nama ini-sebagaimana Anda lihat-
mendapatkan sesuatu yang telah maklum yang bisa dijelaskan atasnya
sehingga dikatakan bahwa yang dimaksud adalah nama dan dijadikannya
sebagai julukan, dan diambil dari nama aslinya. Kemudian nama tersebut
diladikan sebagai nama baginya melalui metafora dan mubalaghoh
(melebih-lebihkan) di dalam penyerupaan. Itu berarti bahwa di dalam
isti'aroh tahqiqiyyah kita tidak perlu bersusah payah dan tenggelam di
dalam "ta’wil" untuk sampai pada makna, karena ia tidak berlandaskan
pada hubungan keserupaan langsung di dalam melahirkan maknanya.
Sebaliknya, isti'aroh takhyiliyyah tidak berlandaskan pada
hubungan keserupaan langsung, dan sebutan terhadap musta'ar di
dalamnya tidak menunjukkan pada denotatum yang tetap dan maklum.
Karena itu penerimanya harus bersusah payah dan menfungsikan
pemikiran dan tenggelam di dalam ta’wil. Kata yadd di dalam ucapan
Lubaid:
Wa ghadat rihin qad kasyaftu waqqarratin Idz ashbahat biyadi asy-syamali zimamuha (telah kusibak biji angin pagi dan biji mata ketika tapal batasnya berada di sisi kiri)
Tidak menunjukkan sasaran yang telah di ketahui: "mungkin
tangan diberlakukan padanya, sebagaimana Anda memperlakukan singa
dan pedang pada laki-laki di dalam perkataan Anda: singa yang mengaum
menguasaiku, dan aku menghunuskan pedang pada musuh yang
lari…karena di dalam semua ini pada diri Anda ada materi yang
ditegaskan. Anda melihat posisinya di dalam jiwa sekalipun Anda tidak
menemukan tuturannya di dalam kata-kata. Anda tidak memiliki apapun
dari hal itu di dalam bait puisi Lubaid, bahkan anda tak lebih dari
menghayalkan diri sendiri bahwa sisi kiri di waktu pagi menyingsing
menurut kebiasaannya, bagaikan orang yang mengatur apa yang ada pada
kekuasaannya dengan tangannya. Itu tidak membutuhkan khayalan, ilusi
dan persangkaan di dalam hati. Perlunya khayalan dan ilusi dan perlunya
ta'wil mempertegas bahwa sisi keserupaan di dalam sisi isti'arah
tahqiqiyyah: sesungguhnya tampak bagimu keserupaan setelah mengoyak
tutupnya, dan memikirkan dan merenungkan, dan setelah engkau berubah
cara, dan keluar dari langkah pertama.
Kesimpulan yang hendak dicapai Abdul Qahir adalah bahwa
standar perbedaan antara kedua tipe metafora di dalam nama adalah
"ta'wil" yang dipandang suatu mekanisme untuk mengungkap makna tipe
kedua (isti'arah takhliyyah) sedangkan tipe pertama (isti'arah tahqiqiyyah)
tidak memerlukannya.23 Hal ini tiada lain menunjukkan bahwa tidak
adanya kesadaran terhadap perbedaan ini mendorong untuk berpegangan
pada sisi lahiriah teks-teks yang memerlukan ta'wil, sesuatu yang
mengakibatkan kesesatan keagamaan.
3. Metode Ta’wil
Ilmu bahasa yang harus diketahui mufassir terlebih dahulu berawal
dari ilmu tentang bentuk-bentuk morfologis dan semantiknya, kemudian
ilmu tentang hubungan kata-kata dengan petandanya, setelah itu, ilmu
tentang proses derivasi dan perubahn (konjugasinya). Setelah itu, ia harus
mnegkajikaidah-kaidah nahwu dan i'rab. Termasuk dalam ilmu-ilmu
bahasa yang harus diketahui oleh ufassir adalah ilmu-ilmu balaghah
dengan tiga pembagiannya secara tradisional, yaitu ilmu ma'ani, bayan,
dan badi'. Sehingga pembaca akan mampu menyingkapkan makna teks.
Dan dengan ilmu tersebut ia dapat beralih dari tingkatan pembaca menjadi
seorang mufassir.
Namun, dalam teks tetap ada dimensi-dimensi semantik yang lebih
dalam dan memerlukan gerak "mental inteletual" atau "nalar" dalam
menghadapi teks. Dimensi-dimensi tersebut memerlukan gerak ta’wil
23 Nasr Hamid Abu Zaid, An- Nash, op., cit, hlm. 220-222.
setelah mufassir dengan segala perangkat ilmiahnya menguras
kemungkinan makna yang dapat diungkapkan melalui ilmu-ilmu tersebut.
Hal ini mengingatkan kita perbedaan secara bahasa antara tafsir
dan ta’wil, di mana yang pertama membutuhkan medium atau tafsirah,
sementara medium tidak menjadi keharusan bagi yang kedua. Tafsirah di
sini adalah adalah ilmu-ilmu agama dan bahasa yang dibutuhkan oleh
mufassir untuk menguak makna teks, yaitu makna yang enjadi titik tolak
mu'awwil dalam menyelami kedalaman teks melalui gerak "mental
intelektual" atau ijtihad.24
4. Kekurangan dan Kelebihan Ta’wil
a. Kelebihan
1. Mempunyai ruang lingkup yang luas
Karena ta'wil yang masuk pada tafsir bi al-ra'yi sehingga dia dapat
dikembangkan dalam berbagai corak sesuai dengan keahlian
masing-masing penafsir. Ahli bahasa, mendapat peluang yang luas
untuk menafsirka al-Qur’an dari segi kebahasaan, seperti tafsir al-
nasafi karangan Abu al-Su'ud, ahli qiraat seperti Abu Hayyan,
menjadikan qiraat sebagai titik tolak penafsirannya. Dan dapat
menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya menafsirka al-
Qur’an.
24 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum, op. cit., hlm. 299-300.
2. Memuat berbagai ide
penafsir relatif mempunyaikebebasan dalam memajukan ide-ide
dan gagasan gagasan baru dalam penafsiran al-Qur’an.
b. Kekurangan
1. Menjadikan petunjuk al-Qur’an menjadi parsial
Yaitu al-Qur’an terasa seakan-akan memberikan pedoman yang
tidak utuhdan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan
pada ayat-ayat lain yang sama dengan lainnya. Yang biasanya
dikarenakan oleh si penafsir itu sendiri yang urang memperhatikan
ayat-ayat yang mirip atau sama karena memang tidak diharuskan
memperhatikan pada ayat-ayat yang lain.
2. Melahirkan penafsiran subyektif
Dari pemberian peluang yang luas pada mufassir untuk
mengemukakan ide-ide atau pemikiranya. Sehingga kadang-
kadang mufassir tidak sadar bahwa dia telah menafsirkan secara
subyektif dan juga menafsirkan sesuai dengan hawa nafsunya tanpa
mengindahkan norma-norma yang berlaku.
3. Masuk pemikiran isra'iliat
Dikarenakan tidak membatasi mufssir dalam mengemukakan ide-
idenya, sehingga berbagai pemikiran dapat masuk kedalaman,
seperti pemikiran isra'iliat.25
C. Contoh Implementasi Ta’wil dalam Al-Qur’an
1. Tentang Poligini
ما طاب لكم من النساء مثنى وثالث وإن خفـتم أال تقسطوا في اليتامى فانكحوا
أال تعولوا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنىأال ورباع فإن خفتم
Artinya: "Jika kalian takut akan tidak bisa berlaku adik terhadap
perempian yatim, maka nikahilah perempuan-peremuan yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat; namun jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adail, maka satu saja, atau ‘yang dimiliki tangan kananmu (budak perempuan atau tawanan perang). Yang demikian itu 0adalah lebih dekat kepada perbuatan yang tidak anaiaya."
(QS Al-Nisa’: ayat; 3)26
Muhammad Abduh berargumen bahwa poligini adalah tradisi tua yang
tidak berakhir ketika Islam muncul di semenanjung Arab pada abad ke-37.
perempuan diperlakukan sebagai suatu antara manusia dan hewan.
Menurut Abduh terdapat penghinaan yang kuat terhadap perempuan
dalam bidang poligini. Islam datang untuk memberdayakan perempuan
dan untuk memberikan hak dan keadilan kepada mereka al-Qur'an datang
25 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset, cet. ke-1, 2000, hlm. 53-60 26 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 115.
memberi batasan maksimum empat isteri dengan syarat-syarat sang suami
dapat berlaku adil pada mereka, namun kemudian al-Qur'an mengatakan
bahwa tidak seorangpun dapat berlaku adil kendatipun dia ingin sekali
melakukannya (QS : An-Nisa' ayat 129). Abduh beragumen bahwa
semangat pernikahan dalam al-Qur'an adalah monogami (satu isteri titik).
Memeliki lebih dari satu isteri diperkenankan hanya dengan satu syarat,
yaitu bahwa isteri pertama terbukti tidak bisa memberikan keturunan. Itu
disebabkan karena tujuan pernikah dalam Islam yang menurut Abduh
adalah untuk mempunyai keturunan.
Sedangkan Fazlur Rahman berdasakan atas distingsi antara aspek
legal dan citamoral al-Qur'an. Dia yakin hanya melalaui distingsi ini kaum
muslim tidak hanya dapat memahami: orientasi yang sejati al-Qur'an,
namun juga dapat memecahkan problem-problem kompleks tertentu yang
berkaitan dengan pembaharuan perempuan dan dia berkesimpulan
sebagaimana dikutip Moch Nur Ichwan:
"diizinkannya poligami adalah pada taraf legal, sementara sangsi-sangsi yang diberikan kepadanya kepada hakekatnya adalah sebuah cita moral yang mana masyarakat diarahkan bergerak kearahnya, karena tidaklah mungkin untuk menghapuskan poligami secara legal sekaligus." (Rahman, Major, hlm. 47).27
Ta'wil yang diajukan baik Abduh atau Fazlur Rahman di atas dapat
saling melengkapi dalam formulasi hukum poligini. Dan interpretasi
seperti inilah yang dibutuhkan, karena ada pengorekan ayat secara
mendalam dan berdasar kepentingan orang banyak.
2. Tentang Perbudakan Antara 'Ubudiyyah dan 'Ibadiyyah
Islamisis memahami kata ubudiyyah dalam pengertiannya yang
literal (al dalalah al harfiyah). Tuhan direpresentasikan sebagai tuan dan
manusia sebagai budaknya. Tuhan juga didiskripsikan sebagai raja yang
memiliki singgasana, kursi, bala tentara, dan sebagainya. Penekanan pada
hubungan 'ubudiyyah ini menuntun manusia kepada konsep tentang
kekuasaan Allah (hakimiyyah Allah).28 Seperti Sayyid Qutb dalam
menginterpretasikan (QS. Yusuf ayat 40 dan 67):
أنتم وآبآؤكم ما أنزل الله بها من سلطان إن ما تعبدون من دونه إال أسماء سميتموها القيم ولـكن أكثر الناس ال يعلمون ر أال تعبدوا إال إياه ذلك الدينإال لله أم الحكم
Artinya: "Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya nama-
nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
(QS. Yusuf ayat 40)29
27 Moch Nur Ichwan, op. cit., hlm. 138-139.
28 Ibid, hlm. 138. 29 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 354.
ال وادخلوا من أبواب متفرقة وما أغني يا بني ال تدخلوا من باب واحدوق
ن ه م ن الل نكم م يه ع ت وعل يه توآل ه عل م إال لل يء إن الحك توآل ش فلي
المتوآلونArtinya: "Dan Ya'qub berkata: "Hai anak-anakku janganlah kamu masuk
dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada Allah. Keputusan menetapkan hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri".
(QS. Yusuf ayat 67)30
Sayyid Qutb menganggap bahwa Tuhan direpresentasikan sebagai
tuan dan manusia sebagai budaknya. Tuhan juga didiskripsikan sebagai
raja yang memiliki singgasana, kursi, bala tentara, dan sebagainya.
Penekanan pada hubungan 'ubudiyyah ini menuntun manusia kepada
konsep tentang kekuasaan Allah (hakimiyyah Allah), sekaligus sebagai
kekuasaan manusia yang merupakan kepanjangan tangan langsung dari
Allah. Kata hukum dalam QS. Yusuf ayat 40 dan 67 (ini al-hukm illa
lillah) diterjemahkan sebagai peraturan (rule) bukannya keputusan
(judgement). Jadi ayat itu dipahami sebagai: "peraturan itu hanyalah milik
Allah". Oleh karena itu Sayyid Qutb menafsirkan QS Al-Maidah ayat 44,
45 dan 47 sebagai berikut: "Barangsiapa yang tidak menerapkan
peraturan berdasarkan wahyu Allah maka mereka adalah orang-orang
30 ibid, hlm.
kafir" (al-kafirun) (Q.S Al-Maidah ayat 44) /penindas (al-zhalimun) (Q.S
Al-Maidah ayat 45) /fasik (al-fasiqun) (Q.S Al-Maidah 47).31
Kata 'ubudiyyah masih dipergunakan secara keagamaan maupun
secara kultural dan kata-kata yang menunjuk kepada perbudakan, seperti
yamin, jariyah, amat, raqabah dan riqq, secara linguistik masih
dipergunakan dan masih kita jumpai dalam buku-buku fiqh Islam yang
terbit dewasa ini.32 Bahkan dalam dataran praktis masih banyak yang
mengaplikasikannya tanpa merasa berdosa.
Jika interpretasi dipakai hanya untuk segelintir kelompok yang
memperalatnya untuk status quonya misalnya, kiranya sangat
menyedihkan. Semoga ada banyak pembaharuan sistem penafsiran
khususnya dalam pen-ta'wilan, yang tentunya arahnya nanti dapat
memperbaharui hukum-hukum yang sudah 'basi'.
31 loc. cit. hlm 32 Ibid, hlm. 131.. 32.