BAB II Rekonstruksi Perspektif Terhadap Tindakan ......mengabsahkan kolonialisme dan imperialisme....
Transcript of BAB II Rekonstruksi Perspektif Terhadap Tindakan ......mengabsahkan kolonialisme dan imperialisme....
16
BAB II
Rekonstruksi Perspektif
Terhadap Tindakan Diskriminatif pada Korban Perceraian
2.1 Pendahuluan
Penjabaran perilaku diskriminatif yang dialami oleh para korban perceraian di GMIST
Mahanaim, terkait dengan doktrin perceraian dari Matius19:1-12 merupakan latar belakang
penulisan judul tesis yang telah dibahas pada Bab I. Menganalisis lebih dalam keterkaitan
poskolonial dan diskriminasi terhadap korban perceraian, maka pada Bab II akan diuraikan
sekilas pandang tentang hermeneutik poskolonial dan rekonstruksi perspektif terhadap
perilaku diskriminatif pada korban perceraian.
2.2 Studi Poskolonial
2.2.1 Poskolonial
Studi Poskolonial memiliki dimensi kronologis yang dimulai pada tahun 1960 setelah
runtuhnya kolonialisme Eropa dan berbagai perjuangan kemerdekaan yang dilakukan oleh
orang-orang terjajah.1 Kehadiran studi poskolonial terfokus pada tema sentral mengubah
ketertindasan dari realitas sejarah yang terkait dengan tekstual, artikulasi sejarah, dan budaya
masyarakat karena kehadiran kolonial.2 Pemaknaan kolonial dalam perspektif poskolonial
tidak hanya terbatas pada pemahaman kehadiran penjajah yang menduduki atau merebut
daerah jajahan, atau wacana perlawanan terhadap Imperium Barat, melainkan memiliki
pemaknaan yang lebih luas yaitu setiap bentuk tindakan yang membungkam kemerdekaan
1 R.S Sugirtharajah, Postcolonial Criticism Biblical Interpretation, 3.
2 R.S Sugirtharajah, The Postcolonial Biblical Reader (UK: Blackwell Publishing Ltd, 2006), 7.
17
manusia, sehingga ada perbedaan signifikan antara sistem dominasi kolonial menyejarah
dengan kolonial modern.3
Kolonisasi tidak hanya berhubungan dengan Eropa karena ada bentuk-bentuk kolonisasi
lain baik sebelum maupun sesudah ekspansi Eropa, seperti kolonisasi internal di dalam
bangsa-bangsa yang masih tetap berada dalam pemerintahan kolonial, misalnya penduduk
asli, perempuan serta sejarah budaya mereka telah direnggut dan dihancurkan oleh bangsa
sendiri. Istilah poskolonial bukanlah sesuatu yang sudah tetap, poskolonial bermaksud untuk
memecah antara periode kolonisasi dan periode dekolonisasi. Periode kolonisasi
mengindikasikan periode historis akibat kolonialisme sedangkan periode dekolonisasi lebih
menunjukan wacana perlawanan yang aktif kembali dari yang dijajah, yang memeriksa
dengan kritis sistem pengetahuan dominan untuk memperbaiki masa lampau dari fitnahan
Barat dan keterangan yang salah pada periode kolonial, dan juga berlanjut untuk memeriksa
kecenderungan neokolonialisme setelah deklarasi kemerdekaan. Poskolonial bagi
Sugirtharajah merupakan agenda kolonialisme yang berwujud di dalam literatur kreatif
maupun diskursus politik yang resisten. Bagaimana jenis-jenis itu secara gradual
bermetamorfosis ke dalam dan dibaptiskan di bawah istilah poskolonial yang baru, kedua
jenis itu adalah proses yang panjang dan berkelanjutan.4
Menurut Ania Loomba istilah poskolonial terbagi atas pos dan kolonial. Pos berarti
“kejadian setelah” yang mengarah pada dua pengertian yaitu waktu dan ideologi. Kolonial
3 Kolonialisme dalam sejarah dunia terdapat pada kekaisaran besar seperti kekaisaran Romawi yang
meliputi Armenia sampai Laut Atlantik, Kekaisaran Mongol meliputi Timur Tengah hingga wilayah Cina,
Kerajaan Inca mendominasi suku- suku di benua Amerika, serta kebesaran kekaisaran Cina melampaui
kekaisaran manapun di Eropa. Sistem dominasi pada umumnya terjadi melalui kewajiban daerah koloni untuk
membayar upeti kepada kerajaan pusat. Sistem dominasi kolonial pada zaman kekaisaran yang menyejarah
berbeda dengan kolonialisme modern. Dominasi Kolonial modern memiliki dua ciri: 1. Daerah jajahan
mengalami perombakan dari stuktur perekonomian daerah/negara demi kepentingan negara induk. 2. Daerah
jajahan menjadi pasar yang mengkonsumsi produk-produk negara induk. Keadaan ini mengarah pada sumber
daya manusia ataupun alam lokal mengalirkan keuntungan kepada negara induk. Sistem perekonomian ini dapat
dipahami bahwa sistem perekonomian kolonial berperan aktif dalam pertumbuhan dan pengembangan
kapitalisme dan industri Eropa. Gading Sianipar, “Mendefinisikan Pascakolonialisme” dalam Hermeneutika
Pascakolonial, (ed.), Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 9-10. 4 Sugirtharajah, Postcolonial Criticism Biblical Interpretation, 12-14.
18
menurut Oxford English Dictionary (OED) berasal dari bahasa Romawi yaitu “colonia”
artinya “tanah pertanian”atau “pemukiman”, mengarah pada penduduk Romawi yang tetap
melekat dengan status kewarganegaraannya walaupun berdomisili di negara-negara lain. Atas
dasar itu kolonialisme didefinisikan sebagai tempat bermukim sekumpulan orang dalam
lokalitas baru dengan tetap membawa dan tunduk pada nilai-nilai yang dianut oleh negara
asal mereka. Definisi ini tidak menyiratkan adanya suatu dominasi atau penaklukan dengan
proses yang penuh kekerasan terhadap lokalitas baru. Kolonialisme menurut Ania Loomba
selalu berkaitan dengan relasi-relasi yang kompleks dan traumatik dalam sejarah hidup para
penduduknya. Dengan demikian definisi dari kolonialisme adalah dominasi terhadap tanah
dan harta penduduk lain. Gabungan kedua kata, pos dan kolonial memberikan pengertian
kejadian setelah dominasi yang terjadi atas tanah dan harta penduduk lain.5
Namun menurut Ania Loomba poskolonial tidak menandakan akhir dari dominasi
kolonial tetapi dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap warisan serta nilai-nilai
kolonialisme. Kondisi ini merangkul rakyat yang dipindahkan secara geografis oleh kolonial
sebagai subjek-subjek “poskolonial”, walaupun mereka telah menjadi satu bagian dengan
budaya-budaya metropolitan, seperti orang-orang Amerika keturunan Afrika, Asia, dan
Karibia di Inggris. Perihal pandangan ini memberi peluang bersinerginya sejarah perlawanan
antikolonial dengan perlawanan terhadap imperialisme dan dominasi budaya barat.6
Berhadapan dengan bentukan kolonisasi yang baru maka menurut Ania Loomba yang patut
dilakukan adalah melanjutkan perjuangan anti kolonial dengan menciptakan identitas-
identitas baru bagi penduduk koloni dan menentang kolonialisme pada tingkat politis,
intelektual, serta tingkat emosional. Dalam berbagai konteks, gagasan bangsa adalah wahana
yang kuat untuk menyatukan energi-energi anti kolonial pada semua tingkatan.7
5 Loomba, Colonialism/Postcolonialism (London: Routledge, 1998), 7.
6 Loomba, Colonialism /Postcolonialism, 12.
7 Loomba, Colonialism/Postcolonialism, 185-186.
19
Kehadiran studi poskolonial terkait erat dengan pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh
para tokoh poskolonial. Edward Said seorang tokoh poskolonial dalam bukunya Orientalism,
mengungkapkan orientalisme berkaitan dengan tiga fenomena, yaitu: pertama, kaum
orientalis adalah kaum yang mengklaim bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat
memahami dan memiliki pengetahuan tentang kebudayaan-kebudayaan Timur. Kedua,
orientalisme adalah pandangan yang berdasar pada perbedaan ontologis dan epistemologis
antara Timur dan Barat. Ketiga, orientalisme adalah bentuk upaya Barat untuk mendominasi,
merestrukturisasi serta menguasai Timur.8 Dari pemikiran Said tergambar jelas bahwa kaum
orientalis terhadirkan untuk menggunakan pengetahuan dengan dibekali oleh visi dan misi
politis sebagai media melanggengkan kekuasaan. Hal ini berarti kolonialisme tetap
menunjukkan kekuatannya di wilayah bekas kolonisasi Barat atau yang disebut sebagai
“dunia ketiga.”
Selain Said, salah satu tokoh poskolonial adalah Gayatri Spivak. Spivak menolak setiap
bentuk tekanan dan dominasi kolonial dalam masyarakat yang terpinggirkan. Can The
Subaltern Speak? merupakan judul tulisan Spivak yang menggambarkan kepeduliannya
terhadap mereka yang mengalami tekanan akibat dominasi dan subordinasi yang menjamur
tidak hanya terjadi pada relasi antar negara, etnis tetapi juga dalam relasi gender. Subaltern
merupakan istilah yang digunakan oleh pemikir Italia Antonio Gramsci untuk komunitas
sosial yang inferior yaitu komunitas masyarakat yang berada dalam hegemoni kelas-kelas
penguasa.9
Menurut Spivak, Subaltern adalah komunitas-komunitas tertindas yang tidak mampu
untuk berbicara akibat ulah dan tekanan para penguasa. Penjelasan Spivak tentang eksploitasi
kaum tertindas menggunakan analisis Marxis yaitu eksploitasi yang terjadi disebabkan oleh
8 Edward Said,”Orientalism” in Bill Ashcroft, Gareth Griffiths and Hellen Tiffin (ed.), The Post-
Colonial: Studies Reader (London: Routledge, 2003), 87-91. 9 Neelam Francesca Rashmi Srivastava and Baidik Bhattacharya, The Postcolonial Gramsci (New
York: Routledge, 2012), 9-11.
20
dominasi struktural sebagai akibat dari pembagian kerja internasional. Struktur pembagian
kerja internasional didominasi oleh para komunitas dengan kekuasaan atau status istimewa,
yang muncul karena adanya peluang, pendidikan, kewarganegaraan, kelas, ras, gender.
Fenomena ini disebut Spivak sebagai kekerasan epistemis. Sementara Ranjit Guha yang
adalah sejarawan India mengadopsi pemikiran Gramsci yang dituangkan dalam tulisan
sejarah India. Guha mengungkapkan bahwa kaum subaltern adalah mereka yang tidak
termasuk elite, kaum elit yang dimaksud adalah kelompok dominan baik pribumi atau asing.
Kelompok asing adalah para pemilik industri, pemilik perkebunan, tuan tanah, misionaris,
sementara pribumi adalah para pegawai pribumi yang berada pada jajaran birokrat dan
kelompok dominan dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa penindasan menurut
Guha tidak hanya terjadi diluar komunitas sehingga mengikis dikotomi menindas dan
ditindas, sipil dan militer tetapi dapat terjadi dalam komunitas itu sendiri. Dominasi yang
membalut kaum subaltern membuat mereka tidak dapat menyuarakan pengalaman
penindasan, sehingga menurut Spivak kaum subaltern membutuhkan kaum intelektual
poskolonial sebagai representasi dari subaltern, sehingga peran mereka tidak hanya sekedar
mengklaim bahwa suara mereka adalah suara dari kelompok tertindas untuk mencapai tujuan
pragmatis semata tetapi lebih pada tindakan real berjuang bersama kaum subaltern.10
Uraian pengalaman diskriminatif yang menjadi dasar kajian dan penelitian dari para
tokoh poskolonial menunjukkan bahwa setiap pengalaman diskriminatif memiliki keterkaitan
dengan dominasi dari aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, oleh karena itu dalam
perkembangannya poskolonial tidak hanya berkutat dengan wacana sastra kreatif dan
perkembangan kronologis kolonialisme, melainkan mulai dipahami sebagai kategori
10
Gayatri Spivak,”Can The Subaltern Speak?” in Bill Ashcroft, Gareth Griffiths and Hellen Tiffin
(ed.), The Post-Colonial: Studies Reader, 26-28.
21
metodologis dan praktek kritis. Dalam konteks sebagai metodologi dan praktek kritis, ada dua
aspek dalam poskolonial, yaitu:11
1. Menganalisis berbagai strategi yang digunakan penjajah untuk menjajah.
2. Mempelajari bagaimana mereka yang terjajah memanfaatkan strategi untuk
mengartikulasikan identitas, kelayakan diri dan pemberdayaan hidup mereka.
Menurut Homi Babha, kritik poskolonial yang muncul sebagai bentuk kesaksian
kekuatan representasi budaya yang tidak seimbang dan merata, serta sebagai kesaksian dari
kolonialisme di negara-negara dunia ketiga dan sebagai wacana minoritas dalam divisi
geopolitik “Timur dan Barat, Utara dan Selatan.”12
Istilah dunia ketiga yang digunakan dalam
poskolonial, mengarah pada ketimpangan kekuatan antara yang kuat dan lemah dalam bidang
ekonomi, politik, budaya, sosial dan ketidakmampuan membangun masa depan, karena
keterikatan dengan warisan kolonial serta munculnya neokolonialisme dalam perekonomian.
Kolonialisme adalah fakta yang melekat dalam proses sejarah, dan berkelanjutan
menerapkan dominasi dalam bentuk yang berbeda dikekinian. Bentuk baru kolonialisme
dapat berupa intervensi militer terhadap persoalan teritorial, demokrasi, kemanusiaan dan
pembebasan. Poskolonial secara aktif tetap memainkan perannya selama ada kontinuitas
imperialisme, dominasi, serta tirani.13
2.2.2 Kritik Poskolonial Terhadap Teks-Teks Alkitab
Dari pemaparan tentang poskolonial maka menurut Sugirtharajah kritik poskolonial dapat
diberlakukan terhadap Alkitab. Hal ini karena realitas keberadaan Alkitab terkait dengan:14
1. Alkitab merupakan dokumen yang menggunakan berbagai pengaruh budaya yang
mengabsahkan kolonialisme dan imperialisme.
11
Sugirtharajah, The Postcolonial Biblical Reader, 7. 12
Sugirtharajah, The PostcolonialBiblical Reader, 8. 13
R.S. Sugirtharajah, A Postcolonial Commentary on the New Testament Writing (New York: T&T
Clark, 2009), 455. 14
Yusak B. Setyawan, Postcolonial Hermeneutics An Indonesian Perspective, 9-12.
22
2. Penyebaran Alkitab berkaitan dengan proses kolonisasi negara-negara Barat.
3. Alkitab menjadi simbol budaya Barat yang menunjukkan misi Kristen dan institusi
serta kolonial bersinergi dalam dunia modern dan kolonialisme kontemporer.
Keterlibatan konteks Alkitab dengan imperialisme telah memungkinkan poskolonialisme
menunjukkan persoalan mendasar dari teks Alkitab yang sangat dipengaruhi oleh warisan
dari kolonial.15
Pui lan seorang teolog Asia memakai poskolonial untuk melihat penderitaan perempuan
Kristen di Asia memiliki keterkaitan yang erat dengan sejarah kolonialisme yang menjadi
bagian dari Kitab Suci. Perempuan yang hidup dalam realitas dunia ketiga terikat dengan dua
sumber isu yang sangat signifikan yaitu budaya patriakhi dan pandangan diskriminatif
terhadap perempuan dalam narasi Kitab Suci secara khusus dalam agama Abrahamik.16
Poskolonial menurut Pui lan dapat menjembatani dialog antara warisan budaya dan agama
sehingga dapat menghadirkan pembaharuan terhadap warisan budaya masa lalu yang turut
andil dalam manipulasi dan dehumanisasi yang terjadi terhadap perempuan. Kitab Suci
menurut Pui lan harus diinterpretasikan berdasarkan citra dalam Alkitab dan konteks sejarah
masyarakat setempat.17
Kemunculan pendekatan hermeneutik poskolonial merupakan metode baru dalam
dunia interpretasi teks-teks Alkitab. Salah satu pendekatan yang lebih sering digunakan
adalah pendekatan historis kritis yang melihat makna teks dari balik teks. Pendekatan historis
kritis memiliki perbedaan signifikan dengan pendekatan hermeneutik poskolonial. Menurut
Robert Coote pendekatan historis kritis adalah cara terbaik dalam memahami makna teks
15
Beberapa teks tidak dipilih untuk menjadi bagian kanon karena teks-teks itu mengandung bagian-
bagian yang beresiko bersifat cabul serta menggambarkan kekuatan perempuan yang menentang ketimpangan
gender. Sugirtharajah, A Postcolonial Commentary on the New Testament Writing, 456. 16
Kwok Pui Lan, Dicovering The Bible in the Non-Biblical World, (New York: Orbis Book, 1995),
40-43. 17
Kwok Pui Lan, “Feminist Theology as Intercultural Discourse” in Susan Frank Parson, (ed.), The
Cambridge Companion to Feminist Theology¸ (New York: Cambridge University Press, 2002), 33-37
23
sesuai dengan petunjuk sejarah yang sesungguhnya yaitu mempertanyakan dengan jelas dan
rinci latar belakang teks sesuai dengan masa dan kebudayaan dimana teks hadir.18
Pendekatan
ini bermanfaat untuk memahami teks-teks Alkitab berdasar masa dan kebudayaan teks yang
menyejarah. Sementara hermeneutik poskolonial melihat makna teks dari konteks penafsir
yang berarti menginterpretasikan teks dari konteks kekinian, sehingga dapat mengakomodir
dan menyentuh pergumulan sesuai konteks kekinian secara khusus konteks pergumulan bagi
negara dunia ketiga.19
Dengan demikian pendekatan hermeneutik poskolonial sangat
dibutuhkan untuk melihat urgensi dari teks-teks Alkitab yang menyejarah sesuai dengan
konteks kekinian. Walaupun demikian pendekatan poskolonial juga memerlukan konteks
kesejarahan dari teks untuk melihat latar belakang dominasi yang menyejarah di dalam teks,
sehingga setiap penafsiran teks tidak dilakukan secara bebas tanpa arah sesuai dengan
kehendak para pembaca yang memaksakan pandangan pribadi ke dalam teks. Hal ini jika
dilakukan dalam menafsir akan berdampak negatif karena penafsiran yang dilakukan akan
berpijak pada kepentingan pribadi ataupun golongan tertentu. Kolaborasi antara pendekatan
poskolonial dan kesejarahan dari teks akan memperkaya makna dari teks sehingga mampu
memberikan jawaban yang kontekstual berdasarkan isu-isu kekinian.
Metode dengan menggunakan pendekatan poskolonial dalam menginterpretasikan
teks berpijak pada beberapa hal yaitu konteks dari pembaca, perspektif penafsir serta makna
dari teks. Konteks dari pembaca akan menunjukkan keterlibatan aktif dalam persoalan
hermeneutik. Fondasi utama tidak lagi berdasar pada apa yang dimaksudkan oleh teks
melainkan bagaimana menginterpretasikan teks sesuai dengan situasi sosial pembaca di
kekinian.20
Perspektif penafsir berarti pemahaman awal terbentuk berdasar pada konteks budaya
penafsir. Setiap interpretasi dimulai dengan pandangan awal penafsir yang subjektif sesuai
18 Robert Coote, Demi Membela Revolusi (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 1-2.
19 Setyawan, Postcolonial Hermeneutics an Indonesian Perspective, 21.
20 Setyawan, Postcolonial Hermeneutics An Indonesian Perspective, 23-28.
24
dengan agenda dari proses penafsiran yang melibatkan realita sosial, ekonomi, politik, agama
dalam konteks penafsir. Sementara perspektif awal penafsir yang telah terbentuk bersinergi
dengan komunitas yang membentuknya, oleh sebab itu penafsir perlu mengindentifikasi diri
dan membentuk perspektif dalam proses penafsiran, dan hal ini bermanfaat bagi penafsir
yang telah diabaikan dan termarginalisasi dalam teks Kitab Suci. Penafsir dalam hal ini dapat
menggunakan buah pikirannya dari teks yang dibaca sesuai dengan kebutuhan dalam konteks
penafsir.21
Sementara makna dari teks tidak muncul dari teks dan penulis teks, melainkan
muncul sebagai produk dari konteks penafsir yang membaca teks di kekinian, yang kemudian
bersinergi dengan hermeneutik yang memberikan penekanan pada sejarah dan budaya dari
teks.22
Harapan baru untuk keluar dari dominasi penjajahan dari setiap aturan-aturan yang
lahir dari konteks sosial budaya penulisan teks-teks Alkitab yang seringkali diskriminatif,
dan mengarah pada keadilan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan merupakan
suatu upaya yang real yang ditawarkan dengan model ideologis dari kritik poskolonial
terhadap Alkitab.23
Setelah penjabaran singkat tentang teori poskolonial maka untuk
meninjau doktrin kristen anti perceraian dari perspektif poskolonial diperlukan penjabaran
dari konteks penafsir dalam hal ini berkaitan dengan isu perceraian yang terjadi di GMIST
Mahanaim.
21
Setyawan, Postcolonial Hermeneutics An Indonesian Perspective, 29-30. 22
Setyawan, Postcolonial Hermeneutics An Indonesian Perspective, 31-34. 23
Sugirtharajah, The Postkolonial Biblical Reader, 42.
25
2.3 Konteks Sosial dan Pengalaman-Pengalaman Korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Dan Perceraian Di GMIST Mahanaim
2.3.1. Konteks Sosial GMIST Mahanaim
GMIST (Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud) merupakan Gereja suku yang berpusat
di kepulauan Sangihe Talaud. Sanghie Talaud terletak di bibir barat Samudra Pasifik yang
merupakan daerah kepulauan dan terdiri dari 124 pulau. Terletak antara 2o 3’ sampai dengan
5o 25’ LU dan 125
o 10’ sampai 127
o 12’ BT. Penduduk kepulauan Sangihe Talaud berasal
dari bangsa Austronesia yang sebelumnya menetap di Asia Tenggara kontinental dan
menggunakan bahasa yang berasal dari rumpun bahasa Tagalog. Wilayah kepulauan ini
memiliki luas daratan 2.263,56 Km2 dan luas lautan 44.000 Km
2 itu berarti luas daratan
hanya 5% sementara luas lautan 95%. Keadaan wilayah yang menggambarkan lautan lebih
luas daripada daratan menjadi salah satu penyebab bagi penduduk sangihe memiliki semangat
bahari yang tinggi, tidak heran salah satu pekerjaan yang diminati oleh penduduk sangihe
adalah nelayan atau pelaut. Sementara pekerjaan yang lain berkaitan dengan pertanian dan
perkebunan karena Sangihe Talaud kaya dengan rempah-rempah seperti pala, cengkeh dan
juga kelapa.24
GMIST sebagai lembaga memiliki tata dasar dan peraturan gereja yang bersumber
dari Tata Gereja Calvinis yang dihadirkan Belanda di Indonesia melalui kolonisasi.25
Pada
awal abad 17, Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan di Nusantara oleh VOC yang
mengikuti pola Gereja Gereformeerd di Belanda yang melekat dengan ciri khas Tata Gereja
Calvinis, bahkan dalam tiga dokumen pengakuan Gereja Gereformeerd terdapat ajaran
Calvinis. Dengan demikian aturan-aturan ini mengejawantah dalam ajaran-ajaran di
24
Petrus Mamuko, Mamaghe Djojosuroto, dan Mamaghe Pilongo, Jejak Emas GMIST Mahanaim Dalam
Lintasan Sejarah dan Pelayanannya: Suatu Eksplorasi Awal Dalam Rekonstruksi Naratif (Jakarta: GMIST
Mahanaim, 2007), 23-24. 25
Mamuko, Djojosuroto, & Pilongo, Jejak Emas GMIST Mahanaim Dalam Lintasan Sejarah dan
Pelayanannya: Suatu Eksplorasi Awal Dalam Rekonstruksi Naratif, 15.
26
Nusantara secara khusus Sangihe Talaud,26
sehingga aturan-aturan GMIST secara
keseluruhan mengacu pada tata gereja Calvinis termasuk tentang pernikahan.
Dalam perkembangan penatalayanannya, wilayah pelayanan GMIST tidak hanya di
Sangihe Talaud tetapi meluas sampai ke Minahasa, Bitung, Kota Mubagu, Batam, Makasar,
Medan, Bandung, Surabaya, Depok, Tangerang dan Jakarta. GMIST Mahanaim yang terletak
di ibukota Negara yaitu Jakarta terdiri atas dua konteks masyarakat yang tentunya
mempengaruhi nilai-nilai moral dalam konteks kehidupan berjemaat. Dua konteks yang
dimaksud adalah konteks Jakarta sebagai kota metropolitan dan konteks suku Sangihe. Dua
konteks ini bercampur dan berpengaruh secara signifikan dalam menentukan identitas diri
jemaat Mahanaim dalam penentuan nilai-nilai jemaat dan cara pandang tentang peraturan-
peraturan gereja dalam GMIST, secara khusus aturan tentang pernikahan. Oleh sebab itu
diperlukan pemaparan dari konteks Sangihe pra kolonialisasi-pasca kolonialisasi dan konteks
Jakarta sebagai kota metropolitan yang berkaitan dengan pernikahan.
2.3.2. Praktik Pernikahan Pra Kolonisasi di Sangihe
Proses yang harus dilalui untuk membentuk keluarga pada masyarakat Sangihe adalah
pertunangan dan pernikahan. Dalam pertunangan muncul kesepakatan antara kedua belah
pihak keluarga yang berkomitmen untuk mengadakan pernikahan bagi anak perempuan dan
anak laki-laki mereka. Orang tua dari laki-laki dan perempuan memiliki peran yang
signifikan dalam pernikahan. Orang tua menjadi penentu utama dalam memilih calon suami
atau istri dari anak-anak mereka, sehingga pelaksanaan pernikahan secara utuh diatur oleh
orang tua. Sementara calon mempelai tidak terlibat untuk memilih atau memutuskan
pendamping hidupnya.27
26
Christian De Jonge, Apa Itu Calvinisme (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), 375-376. 27
D. Brilman, Kabar Baik di Bibir Pasifik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), 58.
27
Komitmen itu dimeteraikan dengan pemberian dapat berupa benda atau uang kepada
keluarga perempuan yang kemudian mendapatkan respon dari keluarga perempuan dengan
mengirim berjenis-jenis makanan kepada keluarga laki-laki. Setelah melalui proses
pertunangan maka akan dilanjutkan dengan proses pernikahan. Pada proses pernikahan
dilakukan pemberian kawin dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan
berupa, piring antik, pinggan tembaga, beberapa pohon kelapa dan serumpun pohon sagu.
Pemberian mas kawin ini disesuaikan dengan kedudukan orang tua dalam masyarakat,
sementara itu pihak keluarga perempuan kembali merespon pemberian mas kawin dengan
penyelenggaraan pesta pernikahan. Khusus untuk laki-laki bangsawan mereka dapat
menikahi perempuan lebih dari satu secara sah, sementara perempuan hanya dapat menikah
dengan satu laki-laki. Kemampuan seorang laki-laki menikahi perempuan lebih dari satu
menunjukkan status sosial yang tinggi dalam masyarakat, tidak heran jika pernikahan
poligami menjadi gaya hidup dari laki-laki bangsawan.28
Keluarga dalam masyarakat Sangihe menerapkan pembagian kerja antara suami dan
istri atau perempuan dan laki-laki dalam melaksanakan pekerjaan untuk menopang kehidupan
sehari-hari dalam keluarga Sangihe. Membuka lahan perkebunan, memanjat pohon kelapa,
memancing merupakan tugas yang dilakukan oleh suami atau anak laki-laki sementara untuk
memelihara kebun dan menuai hasil kebun merupakan tugas yang dilakukan oleh istri atau
anak perempuan bahkan tidak jarang perempuan juga dapat bertugas menuai hasil panen
kelapa dengan memanjat pohon kelapa. Tugas perempuan setiap harinya tidak terfokus pada
pekerjaan didalam rumah seperti memelihara perabotan melainkan dominan menjalankan
tugas diluar rumah, jika ada waktu senggang yang tersisa dari tugas di perkebunan maka
seringkali perempuan melakukan tugas kerajinan tangan seperti menenun, membuat
kerawang (salah satu kerajinan tangan dari kain katun halus), menganyam tikar, nyiru, topi,
28
Brilman, Kabar Baik di Bibir Pasifik, 59.
28
seringkali laki-laki turut berpartisipasi dalam menjalankan tugas ini. Perempuan juga
menjahit pakaian sendiri dan anggota rumah tangganya dan sebagian waktunya digunakan
untuk mempersiapkan makanan untuk keluarga.29
Nampaknya pembagian kerja antara suami-
istri lebih memprioritaskan kualitas hasil kerja yang dilakukan secara bersama dibandingkan
dengan terpusatnya perhatian pembagian kerja hanya berdasar pada kemampuan dan
kekuatan dari penilaian jenis kelamin.
Dari gambaran tentang pembagian kerja yang terjadi dalam keluarga pada masa pra-
kolonisasi kontruksi kesetaraan gender telah melekat dalam relasi perempuan dan laki-laki
Sangihe. Perempuan Sangihe menjalani rutinitas tugas dalam keluarga tidak bergantung pada
stereotype kontruksi sosial, bahwa perempuan tidak dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan
“kasar” diluar rumah dan hanya terfokus pada ranah domestik sebagai pengurus rumah
tangga. Dalam konteks keagamaan sebelum kehadiran agama kristen di Sangihe yang dibawa
kolonialisme bangsa Eropa, penduduk Sangihe menganut agama asli yaitu Politheisme.
Dalam ritual-ritual yang dilakukan seperti upacara persembahan kurban, proses upacara di
pimpin oleh seorang imam yang disebut Ampuang bawine (perempuan) atau Ampuang ese
(laki-laki). Ampuang bawine ataupun ese diyakini sebagai orang-orang yang memiliki
hubungan dengan dunia roh dan makhluk halus.30
Tergambar bahwa perempuan saat itu
mendapatkan kedudukan penting dalam konteks keagamaan sebagai pemimpin upacara
keagamaan. Nilai-nilai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki telah dianut dan menjadi
bagian signifikan dalam kehidupan masyarakat Sangihe. Walaupun demikian, disadari masih
ada nilai-nilai bias gender yang lebih mengangkat budaya patriaki dari tradisi budaya Sangihe
yang merugikan perempuan dan menguntungkan laki-laki dalam konsep pernikahan dan
29
Brilman, Kabar Baik di Bibir Pasifik, 49-50. 30
Agama asli penduduk Sangihe memiliki keyakinan bahwa kehidupan ini dikuasai oleh beberapa
penguasa seperti penguasa langit yang disebut Ghenggonalangi yang menguasai seluruh bumi, penguasa darat
disebut Aditinggi yang disembah oleh orang-orang yang tinggal di perbukitan , penguasa laut disebut Mawendo
yang disembah oleh orang-orang yang berada dilaut atau tinggal dipesisir pantai. Brilman, Kabar Baik di Bibir
Pasifik, 75-98.
29
perceraian, namun dalam hal pembagian kerja dan kedudukan penting dalam konteks
keagamaan perempuan mendapatkan peran-peran yang signifikan.
2.3.3 Praktik Pernikahan Pasca Kolonisasi di Sangihe.
Kehadiran imperialisme dan kolonialisme bangsa Eropa di Indonesia memunculkan
praktik-praktik sosial ekonomi. Sumber daya alam dan penduduk Indonesia dijadikan objek
eksploitasi dan juga menjadi komoditi yang diperjualbelikan, sehingga tidak heran pada masa
itu perbudakan menjamur di seluruh Nusantara seperti di Banda, Jawa dan Sulawesi Utara.31
Kekayaan rempah-rempah yang dimiliki oleh Sangihe Talaud tidak luput dari sasaran
eksploitasi para bangsa Eropa yaitu Portugis, Spanyol dan Belanda yang berupaya untuk
menguasai hasil bumi Indonesia.32
Dalam proses pencapaian tujuan menguasai hasil bumi termasuk kepulauan Sangihe
Talaud pemerintah Hindia Belanda pada abad XX menggunakan politik etis. Penggunaan
politik etis merupakan hasil evaluasi dari gagalnya politik konservatif dan liberal yang tidak
mendatangkan keuntungan secara signifikan, sehingga setelah VOC dinyatakan bangkrut
pemerintah Hindia Belanda berupaya menggunakan trik baru untuk mengeksploitasi koloni.
Politik etis menjalankan fungsinya dengan memunculkan metode baru yang terpusat pada
kesejahteraan koloni dengan cara mendirikan sekolah bagi kaum pribumi, mempersiapkan
tenaga-tenaga kerja rendahan yang terikat dengan kontrak, serta menggunakan kegiatan
missionaris yang terarah pada perbaikan moral dan kesejahteraan.33
31
Sri Margana, “Pendahuluan,” dalam Sri Margana dan Widya Fitrianingsih (ed.), Sejarah Indonesia:
Perspektif Lokal dan Global (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2010), 5. 32
Mamuko, Djojosuroto, & Pilongo, Jejak Emas GMIST Mahanaim Dalam Lintasan Sejarah dan
Pelayanannya: Suatu Eksplorasi Awal Dalam Rekonstruksi Naratif, 25. 33
Politik etis menggantikan politik kolonial konservatif dan politik kolonial liberal. Politik kolonial
konservatif menggunakan cara tradisional dengan menempatkan penguasa pribumi untuk mengurus administrasi pemerintah lokal dan pengawas perusahaan perkebunan, namun cara ini menghasilkan penyelewangan yang
dilakukan penguasa pribumi dan para penjajah. Politik kolonial liberal memunculkan ide dengan menggunakan
cara keuntungan dikedua belah pihak yaitu pihak terjajah dan penjajah, namun realita yang ada pihak terjajah
tetap menderita dan terbelakang. Sementara politik etis menggunakan cara meningkatkan harkat kemanusiaan
penduduk koloni karena dengan mengangkat isu kemanusiaan akan menjembatani Timur dan Barat. Suhartono,
30
Kegiatan misionaris menyebarkan agama Kristen merupakan salah satu bentuk politik
etis yang dilakukan oleh zending di kepulauan Sangihe. Masuknya aturan kekristenan
membawa banyak perubahan dalam peraturan adat bagi orang-orang Kristen pribumi di
Sangihe, didalamnya diatur beberapa hal mengenai pernikahan dan kedudukan perempuan.
Kerja sama zending Belanda dan pemerintah Hindia menghasilkan aturan pernikahan adat
tidak lagi diberlakukan dan sebagai gantinya memberlakukan pernikahan berdasar azaz
kekristenan. Aturan pernikahan yang dibawa oleh zending Belanda mengubah beberapa
aturan dalam pernikahan adat.34
Pernikahan pasca kolonisasi, memberikan kebebasan bagi laki-laki atau perempuan
memilih dan menentukan calon pendamping hidup, sehingga peran orang tua tidak terlalu
signifikan dalam mengatur pernikahan untuk anak-anaknya. Bahkan aturan yang
diberlakukan oleh zending Belanda adalah kedua calon mempelai sebelum melangsungkan
pernikahan akan menandatangi surat pernyataan yang menyatakan pernikahan yang
dilaksanakan tidak berdasarkan paksaan dari pihak-pihak lain. Pernikahan yang dilaksanakan
pun tidak lagi menggunakan mas kawin. Selain itu pernikahan berdasarkan asas kekristenan
memberikan penekanan tentang tidak diizinkannya poligami dalam pernikahan.35
Kondisi
awal menerapkan aturan zending Belanda diwarnai dengan banyaknya kasus perceraian dan
perselingkuhan. Namun jika telah terjadi perceraian yang disebabkan oleh perzinahan maka
perempuan ataupun laki-laki yang melakukan perzinahan wajib mengembalikan semua biaya
yang telah digunakan dalam pernikahan dan mendapatkan hukuman penjara beberapa bulan
lamanya.
Dari pemaparan tentang aturan baru pernikahan, nampak pada permukaan Zending
Belanda mengusung hak asasi manusia perihal memilih dan menentukan pendamping hidup,
Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), 11-16. 34
D. Brilman, Kabar Baik di Bibir Pasifik, 60. 35
D. Brilman, Kabar Baik di Bibir Pasifik, 59-62.
31
memberikan pencerahan dan peluang bagi para perempuan untuk tidak mendapatkan
perlakuan semena-mena dalam hal perceraian. Namun kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan dalam rumah tangga yang sempat dialami pada masa pra kolonisasi, terkikis oleh
budaya patriakhi yang melekat pada pengajaran kekristenan sehingga semakin mengangkat
tinggi budaya patriakhi dan menekan kaum perempuan.
Budaya patriakhi merupakan ideologi yang terbentuk secara historis berdasar pada
realitas sosial perbedaan gender dimana laki-laki mendominasi perempuan, sehingga laki-laki
dipandang lebih berkuasa daripada perempuan.36
Dalam tatanan masyarakat yang melekat
dengan budaya patriakhi maka ketidaksetaraan gender dipertahankan bahkan dikembangkan,
seperti: marjinalisasi perempuan yang memberikan penekanan bahwa laki-laki adalah
superior sementara perempuan tetap berada pada wilayah inferior berdampak pada
ketidakadilan terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga dengan memposisikan suami
sebagai penentu tunggal dalam pengambilan keputusan, dalam lingkup kerja melalui
pembedaan upah antara laki-laki dan perempuan, dalam lingkup negara melalui perbedaan
hukum yang dialami oleh perempuan. Selain marjinalisasi ada juga subordinasi, stereotipe,
kekerasan dan beban kerja.37
Budaya patriakhi yang berakar membuat para suami memberlakukan kekuasaan yang
otoriter dalam kehidupan rumah tangga. Sikap dan tindakan para suami apapun bentuknya
merupakan suatu kewajaran yang harus diterima oleh para istri. Keadaan ini berbenturan
dengan kondisi para istri yang sementara menjalani beban ganda dalam keluarga pada satu
sisi harus berkecimpung di sektor publik dengan bekerja, sementara harus memenuhi
kewajiban di sektor domestik atau dalam keluarga.
36
Sandi Siwardi Hasan, Pengantar Cultural Sudies: Sejarah, Pendekatan Konseptual, & Isu Menuju
Studi Budaya Kapitalisme Lanjut (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 234. 37
Hasan, Pengantar Cultural Studies: Sejarah, Pendekatan Konseptua, & Isu Menuju Studi Budaya
Kapitalisem Lanjut, 235-236.
32
Selain itu politik etis yang dilakukan untuk menghambat pemberdayaan perempuan
tergambar dengan misi pendidikan yang diberikan Belanda untuk seluruh wilayah Hindia
Belanda termasuk penduduk pribumi Sangihe. Bahkan pada awalnya Belanda memberikan
batasan kepada penduduk Indonesia untuk mengenyam pendidikan. Pendidikan hanya
dikhususkan bagi pribumi dengan status bangsawan. Sementara para kaum perempuan
diberikan pendidikan yang hanya berkaitan dengan pengetahuan dasar berhitung, baca tulis,
ketrampilan rumah tangga, dan pendidikan guru yang lebih mengarahkan perempuan pada
keahlian melakukan tugas sosial ataupun domestik yaitu mengerjakan ketrampilan praktis
kerumahtanggaan.38
Cara-cara halus dalam politik etis yang digunakan kolonial memiliki tujuan untuk
menguasai penduduk koloni dengan menancapkan ideologi kolonial sehingga mereka
memiliki ketergantungan kepada imperialisme kolonial. Ketergantungan ini akan
berimplikasi pada karakter tunduk terhadap aturan-aturan kolonial dan “kepasrahan” untuk
bekerja sama dengan kolonial, tidak heran upaya yang dilakukan membuahkan hasil bagi
penduduk koloni Indonesia khususnya Sangihe, sehingga nilai-nilai budaya patriakhi pun
menjadi kental dalam lembaga pernikahan yang dianut oleh GMIST.
Warisan kekristenan yang diturunkan oleh kolonialisme berkaitan dengan pernikahan
adalah tidak diizinkannya perceraian, tindakan perceraian dipandang sebagai dosa atau
bentuk pemberontakan terhadap firman Allah.39
Dalam pengajaran tentang pernikahan
GMIST dituangkan dalam tata ibadah pernikahan yang didalamnya berisi tentang hakikat dari
pernikahan Kristen. Pada umumnya penekanan utama dalam percakapan penggembalaan pra
nikah adalah doktrin Kristen anti perceraian. Ajaran ini membentuk perspektif jemaat
tentang perceraian dan sikap terhadap orang yang bercerai, sehingga memunculkan nilai-nilai
yang dipandang baik namun melahirkan tindakan-tindakan diskriminatif.
38 Nukman Firdausie, “Gerakan Perempuan Indonesia Sebelum 1928,“ dalam Mianto N. Agung dkk (ed.),
Perjuangan Perempuan Indonesia: Belajar Dari Sejarah, (Salatiga: Yayasan Bina Dharma, 2007), 8. 39
Brilman, Kabar Baik di Bibir Pasifik, 62.
33
2.3.4 Konteks GMIST Mahanaim di Jakarta
Jakarta sebagai kota pelabuhan telah mengalami proses perubahan dramatis sejak abad
ke 12 sampai saat ini. Peristiwa menyejarah mencatat bahwa Jakarta mula-mula bernama
Sunda kelapa, merupakan pelabuhan kerajaan Hindu-Jawa yang memiliki peran penting
dalam jaringan perdagangan Indonesia. Sebagai kota pelabuhan dengan jaringan perdagangan
maka Sunda Kelapa menjadi tempat bertemunya orang asing dan pengaruh asing, mulai dari
India, Arab, Portugis, Belanda, Inggris, Jepang, Cina.40
Mulai pada abad 15-17 kekuatan
Eropa yaitu Portugis, Belanda, Inggris mulai mendominasi dan berupaya memonopoli
perdagangan wilayah untuk mendatangkan profit bagi negaranya sendiri. Bangsa-bangsa
Eropa memiliki ketertarikan komersial pada rempah-rempah yang dapat memberikan profit
besar bagi Eropa. Jakarta menjadi pusat persaingan dan simbol kemenangan Belanda.41
Pada abad XIX, Jakarta memiliki masyarakat yang telah mengalami perubahan
kebudayaan yang besar karena percampuran dari berbagai kelompok etnis. Walaupun
demikian masyarakat tetap berhadapan dengan klasifikasi kelas berdasar bidang ekonomi.
Tempat pertama yang dominan melekat pada bangsa Eropa dengan posisi administratif serta
mengelola pelabuhan serta perusahaan perdagangan internasional. Kemudian Cina yang
melekat dengan perdagangan dan manufaktur, sementara Indonesia berada dalam posisi
terendah dalam administrasi, menjadi pembantu rumah tangga. Di abad ini pula muncul
kebijakan-kebijakan perkotaan yang didedikasikan untuk proyek-proyek produktif. Sebagai
pusat pemerintahan maka Jakarta diciptakan untuk menjadi kota metropolitan yang dapat
mengangkat standar, prestise bangsa Indonesia. Upaya untuk mencapai tujuan menjadikan
Jakarta sebagai kota metropolitan melalui bidang perekonomian dengan cara menarik
40
Susan Blackburn, Jakarta: Sejarah 400 Tahun (Jakarta: Masup, 2012), 5-8. 41
Blackburn, Jakarta: Sejarah 400 Tahun, 9.
34
investor asing. Upaya yang dilakukan menjadikan Jakarta sebagai kota yang terkait erat
dengan globalisasi sebagai akibat kapitalisme global.42
Sementara kapitalisme global melalui perdagangan bebas menjadi masalah bagi
negara berkembang seperti Indonesia. Produktivitas minim dan tingkat pembangunan yang
rendah menjadi penyebab ketidakmampuan para pemberi kerja untuk menciptakan kondisi
kerja yang baik dan upah yang tinggi. Untuk dapat meningkatkan tingkat kondisi kerja,
standar hidup dan kondisi sosial maka negara berkembang hanya dapat meningkatkannya
melalui kerjasama perdagangan dengan para pemilik modal asing, sementara bekerjasama
dengan para pemilik modal asing sama dengan berada pada situasi yang memunculkan
neokolonialisme.43
Neokolonialisme merupakan sistem penjajahan baru dimana negara-negara maju
mengontrol negara-negara berkembang dan menciptakan ketergantungan dalam sistem
perekonomian dengan cara menguasai sumber daya alam dan memperlemah posisi
pemerintah. Hadirnya neokolonialisme merupakan penjajahan baru bagi perekonomian
negara berkembang. Ketergantungan terhadap negara-negara maju yang menguasai sumber
daya alam negara berkembang mengakibatkan perusahan-perusahaan besar pihak asing
merajai perekonomian negara berkembang. Hal ini berdampak signifikan pada persaingan
antar perusahaan untuk mendapatkan keuntungan besar sehingga menyebabkan kenaikan
harga yang tidak terkendali, dan membawa pengaruh signifikan terhadap kesejahteraan hidup
keluarga. Biaya kebutuhan pokok meningkat, biaya pendidikan dan kesehatan semakin
mahal, rayuan produk berupa iklan melalui beragam media menciptakan gaya hidup
konsumerisme.
Orientasi utama dari sistem ekonomi kapitalis melihat pemenuhan kebutuhan tidak
berdasar asas manfaat tetapi bertujuan mencari keuntungan, terlihat dalam upaya penawaran-
42
Blackburn, Jakarta: Sejarah 400 Tahun 345-353. 43
Johan Norberg, Membela Kapitalisme Global (Jakarta: The Freedom Institute, 2008), 217-224.
35
penawaran produk terbaru melalui media massa berupa iklan yang menampilkan keindahan
hanya untuk mengangkat citra produk.44
Media massa merupakan sarana paling tepat dalam
menunjang pertumbuhan kapitalisme karena media massa memiliki keterkaitan dengan aspek
budaya, politik dan ekonomi.45
Menurut Mosco, ekonomi-politik dapat dibagi atas dua
pengertian yaitu sempit dan luas. Dalam pengertian sempit adalah pengkajian terhadap relasi
sosial kekuasaan yang secara bersama menciptakan produksi, distribusi dan sumber daya.
Produk-produk komunikasi seperti film, surat kabar, video termasuk pada sumber daya.
Sementara dalam pengertian luas adalah pengkajian atas kontrol dan pertahanan kehidupan
sosial.46
Masyarakat kapitalis ditinjau dari pendekatan ekonomi politik terbentuk berdasar
cara-cara dominan dari produksi yang menstrukturkan institusi dan praktik sesuai dengan
logika perluasan perdagangan pasar dan akumulasi modal. Terbentuknya kekuatan-kekuatan
produksi berdasar pada relasi produksi dominan seperti relasi dominasi, profit besar,
pertahanan kontrol hierarkis, oleh sebab itu signifikansi sistem produksi adalah menentukan
artefak-artefak budaya yang akan diproduksi serta cara mengkonsumsi produk-produk
budaya. Dengan demikian pendekatan ekonomi-politik tidak hanya bergelut seputar isu
ekonomi tetapi menyentuh relasi teknologi, budaya dan realitas sosial.47
Dalam pendekatan ekonomi-politik, terlihat peran media sangat besar dalam
mempertahankan dan mengembangkan kekerasan terhadap perempuan. Tema kekerasan
terhadap perempuan muncul dalam program televisi bertujuan untuk mewujudkan hegemoni
dan dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan, selain itu merupakan bagian dari rencana
44
Hasan, Pengantar Cultural Sudies: Sejarah, Pendekatan Konseptual, & Isu Menuju Studi Budaya
Kapitalisme Lanjut, 196-198. 45
Media massa dilihat dari aspek budaya merupakan institusi sosial yang dapat membentuk definisi
dan citra realitas sosial, serta ekspresi identitas yang dihayati secara komunal. Media massa dari aspek politik
dapat memberi ruang bagi diskusi aneka kepentingan berbagai kelompok sosial dalam masyarakat dengan tujuan
menciptakan pendapat umum dari masing-masing kelompok sosial. Media massa dari aspek ekonomi
merupakan bentukan institusi bisnis yang bertujuan mendapatkan profit bagi pendirinya. Sunarto, Televisi,
Kekerasan dan Perempuan (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), 13-14. 46
Kontrol secara khusus dipahami sebagai pengaturan pertahanan individu dan internal anggota
kelompok dengan memproduksi apayang dibutuhkan untuk mereproduksi diri sendiri. Sunarto, Televisi,
Kekerasan dan Perempuan, 14. 47
Sunarto, Televisi, Kekerasan dan Perempuan, 16.
36
yang sistematis melalui interaksi pelaku industri televisi nasional dengan televisi global
dengan tujuan perluasan perdagangan pasar dan homogenisasi kekerasan secara universal.
Tema kekerasan yang ditayangkan akan memberikan profit secara finansial terhadap pemilik
media dan khususnya profit secara politik kultural melalui kontruksi realitas sesuai
kepentingan kelompok dominan yaitu laki-laki pemilik modal. Tema-tema kekerasan yang
dimunculkan dalam televisi menjadi media penyebaran ideologis dominasi laki-laki terhadap
perempuan.48
Media televisi kerapkali menayangkan acara kejahatan seksual terhadap
perempuan yang lebih menonjolkan kesan dramatis tanpa memikirkan perlindungan terhadap
identitas korban. Selain itu tayangan film ataupun sinetron lebih sering menampilkan sosok
perempuan sabar, menampilkan konsep istri yang baik adalah istri yang setia melakukan
tugas pada ranah domestik, menerima takdir atas perselingkuhan suami. Tema kekerasan
yang dimunculkan dalam televisi menjadi media penyebaran ideologis dominasi laki-laki
terhadap perempuan.
Beban kebutuhan yang meningkat merupakan pergumulan signifikan dalam keluarga.
Setiap keluarga yang hidup dalam era globalisasi harus berupaya keras memenuhi kebutuhan
hidupnya. Hal ini pula yang dialami oleh kelima responden dalam kehidupan rumah tangga
mereka. Kelima responden adalah Nina, Tita, Dila, Astri dan Tantri (nama samaran). Kelima
responden, adalah para perempuan yang berdasar garis keturunan berasal dari suku Sangihe
namun lahir dan besar di Jakarta. Mereka dapat dikatakan sebagai orang-orang yang sukses,
secara materi mereka lahir dan bertumbuh dari keluarga yang berkecukupan. Pada umumnya
orang tua mereka menanamkan pola pendidikan dalam keluarga berdasar budaya patriakhi.
Hal ini terlihat dari pandangan dan pendidikan yang diberikan bahwa suami atau orang tua
laki-laki adalah penentu utama dalam setiap pengambilan keputusan dalam keluarga.
Walaupun nilai-nilai yang ditanamkan lebih dominan menunjukkan kentalnya budaya
48
Sunarto, Televisi, Kekerasan dan Perempuan, 19.
37
patriakhi, seperti perempuan harus pandai membersihkan rumah, dapat memasak, dan cukup
ahli mengerjakan pekerjaan rumah tangga tetapi orang tua tetap menghendaki agar anak
perempuan dapat menggapai ilmu setinggi mungkin.49
Perempuan harus membangun
hidupnya melalui tingkat pendidikan untuk memiliki dasar hidup yang kuat, sehingga ketika
menikah tidak bergantung pada suami. Situasi ini menunjukkan bahwa konsep hidup orang
tua mereka dipengaruhi oleh budaya patriakhi dan bersinergi dengan globalisasi yang
membuka peluang terhadap perempuan untuk berkarya. Berikut ini saya paparkan secara
singkat profil dari kelima responden.
Nina, berusia 45 tahun memiliki dua orang anak laki-laki. Ia adalah sosok perempuan
yang periang, berani, ulet, dan pekerja keras. Nina menyelesaikan pendidikan di salah satu
sekolah pelayaran bergengsi di Jakarta, kemudian mengawali karier di salah satu perusahaan
pelayaran. Loyalitas, pengabdian, kerja keras membuatnya mampu menempati posisi sebagai
manager di bagian perkapalan. Tuntutan pekerjaan seringkali mengharuskan Nina
meninggalkan keluarga karena tugas keluar kota atau keluar negeri. Waktu berkumpul
dengan keluarga semakin minim, kondisi ini membuat Nina mengambil keputusan untuk
berhenti bekerja. Setelah satu tahun berhenti Nina memutuskan untuk kembali bekerja, hal ini
disebabkan kondisi keuangan keluarga minim sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan
keluarga secara maksimal.50
Keputusan untuk bekerja kembali tentu memiliki dampak
terhadap kualitas waktu bersama anak-anak, namun kembali memasuki dunia kerja
merupakan cara terbaik untuk mempersiapkan masa depan bagi anak-anak.
Dila, berusia 47 tahun memiliki seorang anak laki-laki. Dila sosok yang tegas,
ramah, dan pintar. Ia bekerja di salah satu perusahaan kontraktor dan menempati jabatan
sebagai kepala proyek. Dila mulai bekerja setelah menyelesaikan studi strata 1 di bidang
ekonomi, namun karena kesepakatan yang dibuat bersama suami bahwa setelah menikah ia
49 Nina, Tita, Dila, Astri & Tantri adalah nama-nama samaran, wawancara, 2-28 Desember 2013.
50 Nina, wawancara, 2 Desember 2013, pkl. 18.00 WIB.
38
harus berhenti bekerja maka setelah menikah Dila berhenti bekerja. Namun setelah 3,5 tahun
menikah dan kebutuhan keluarga semakin meningkat maka Dila memutuskan untuk kembali
bekerja agar dapat menopang perekonomian keluarga. Hal ini sebenarnya berat bagi Dila
karena anaknya masih berusia 2 tahun, tetapi menurutnya hal itu merupakan keputusan
terbaik demi masa depan keluarga.51
Astri sosok perempuan pendiam, tetapi tegas. Ia berusia 34 tahun berprofesi sebagai
dokter dan memiliki satu anak perempuan serta satu anak laki-laki. Astri tetap menjalani
aktivitas sebagai seorang dokter walaupun ia telah menikah. Sebelum menikah aktivitas Astri
sebagai seorang dokter tidak terlalu padat, Astri masih dapat meluangkan waktu untuk
berkumpul bersama keluarga walaupun bekerja di 3 klinik yang ada di Jakarta. Tetapi setelah
menikah aktivitasnya semakin padat bahkan seringkali Astri harus mengambil sift jaga
malam di 5 klinik untuk mendapatkan uang tambahan. Dalam desakan perekonomian Astri
nampaknya melampaui aturan-aturan legalitas praktek seorang dokter yang hanya
diperbolehkan maksimal di 3 klinik. Untuk mengemban tanggung jawab ini Astri seringkali
menitipkan anak-anaknya di rumah orang tua. Hal ini dilakukan Astri agar kehidupan
keluarga dapat terjamin secara khusus masa depan anak-anak mengingat upah suami tidak
mencukupi kebutuhan hidup mereka.52
Tantri seorang sosok perempuan yang tegar, kuat, dan sabar. Ia berusia 40 tahun,
memiliki dua orang anak laki-laki dan berprofesi sebagai guru. Tantri pencari nafkah tunggal
dalam keluarga sejak suami Tantri di PHK berselang 15 bulan setelah menikah. Sejak saat itu
Suami Tantri lebih memilih tinggal di rumah dan lebih sering mengkonsumsi minuman keras.
Hobi sang suami yang mengkonsumsi minuman keras berdampak pada pengalaman tindak
kekerasan yang dialami oleh Tantri, namun mengingat nilai-nilai kekristenan yang
ditanamkan oleh orang tuanya sebagai majelis gereja maka Tantri menganggap bahwa ini
51
Dila, wawancara, 28 Desember 2013, pkl 20.00 WIB. 52
Astri, wawancara, 20 Desember 2013, pkl.19.15 WIB.
39
adalah jalan hidup yang harus ia terima. Oleh sebab itu sekalipun hari-hari hidupnya penuh
dengan tindak kekerasan suami, Tantri tetap menjalani hari dengan mengurus kebutuhan
suami dan anak-anaknya.53
Tita sosok yang periang, pintar, dan pandai bergaul. Berusia 28 tahun memiliki satu
anak laki-laki dan bekerja sebagai manager salah satu hotel bintang lima di Jakarta. Tita
menikah pada usia dini karena telah hamil terlebih dahulu. Kehamilan Tita pada usia muda
memunculkan berbagai masalah psikologis bagi Tita. Perasaan takut, kecewa, menyesal,
rendah diri dan ketidaksiapan mental untuk memiliki anak membelenggu Tita. Walaupun
menghadapi masalah psikologis, namun Tita mengambil langkah untuk menikah.
Menurutnya menikah adalah keputusan terbaik untuk menghadapi masalah yang telah
merusak citra keluarga di mata masyarakat. Ketidaksiapan mental memasuki pernikahan
berdampak pada minimnya tanggung jawab sang suami. Suami Tita lebih sering
menghabiskan waktunya dengan berjudi, bahkan seringkali tidak pulang hanya karena judi.
Kondisi ini membuat Tita mengambil keputusan untuk bekerja walaupun ia sementara
meneruskan pendidikan ke jenjang strata 1. Dalam kondisi yang sarat dengan penderitaan,
Tita mendapatkan dukungan penuh dari keluarganya. Orang tua Tita, menghendaki agar ia
tetap meneruskan kuliah untuk bekal hidup di hari esok.54
Dari pemaparan profil menunjukkan Tita dan Tantri adalah pencari nafkah tunggal
dalam rumah tangga karena suami mereka tidak bekerja, sementara Nina, Dila dan Astri tetap
bekerja agar memperoleh penghasilan tambahan karena upah suami tidak mencukupi untuk
memenuhi seluruh kebutuhan keluarga.. Lima orang responden adalah ibu rumah tangga yang
berupaya dan berjuang memenuhi kebutuhan hidup keluarga dalam tekanan perekonomian
akibat kapitalisme global. Namun perjuangan untuk menciptakan kehidupan keluarga yang
kondusif tidak mendapatkan dukungan dari suami, justru dalam upaya perjuangan yang
53
Tantri, wawancara, 21 Desember 2013, pkl 19.30 WIB 54
Tita, wawancara, 28 Desember 2013, pkl 11.00 WIB.
40
sementara dilakukan mereka harus berhadapan dengan tindak kekerasan yang dilakukan para
suami.
Kekerasan-kekerasan yang dialami ke lima responden dalam rumah tangga nampak
memiliki keterkaitan erat dengan kapitalisme global serta kontruksi dari budaya patriakhi.
Kekerasan sering bersifat simbolik dan halus, sehingga kadang tidak disadari sebagai sebuah
penindasan yang bersifat ideologis maupun kultural. Kekerasan-kekerasan simbolik yang
berbau kolonialisme melalui kapitalisme global dalam kolaborasinya dengan budaya
patriakhi ketika mengkonstruksi tentang kecantikan, dimana wacana kecantikan dimainkan
melalui iklan yang dikonsumsi secara terus menerus melalui media massa. Diceritakan oleh
kelima responden ini berikut: pengadaan alat-alat kosmetik, perawatan tubuh yang rutin,
busana yang sesuai dengan fashion menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi karena tuntutan
tampil menarik untuk tetap terlihat cantik di tempat kerja.”
Kondisi diatas mengharuskan mereka mengeluarkan biaya rutin dalam satu bulan
untuk kebutuhan sehari-hari, pendidikan anak, perawatan kecantikan dengan nominal yang
besar. Nina, Tita, mengeluarkan biaya berkisar 7-8 juta, Dila dan Astri berkisar 6 juta dan
Tantri berkisar 3 Juta. Penambahan biaya juga diakibatkan oleh gaya hidup suami yang kerap
kali meminta uang untuk bermain judi, miras, mengunjungi klub-klub malam yang seringkali
berakhir dengan transaksi bisnis bersama para PSK (Pekerja Seks Komersial).55
Dengan
demikian kapitalisme global memiliki pengaruh signifikan terhadap situasi yang tidak
memberi kesejahteraan dalam kehidupan keluarga, serta situasi yang menciptakan citra diri
perempuan hanya berdasar pada penampilan fisik.
Dominasi suami dialami oleh kelima responden. Dalam upaya untuk memenuhi
tuntutan konsumsi gaya hidup global, para responden ini juga mengalami kekerasan-
kekerasan verbal dan atau fisik dari para suami. Kekerasan dari pihak suami ini mendapatkan
55
Nina, Tita, Dila, Astri, Tantri, wawancara, 2-28 Desember 2013.
41
legitimasi pembenarannya pada klaim kepala keluarga sebagai penguasa yang didalamnya
sangat sarat dan berbau ideologis partriaki.56
Seperti diceritakan oleh Astri salah satu
responden, berikut ini: Astri mengalami kekerasan verbal dan fisik dari suami disebabkan
perencanaan tertunda untuk memiliki rumah pribadi karena dana yang belum memadai.
Suami Astri tetap memaksakan kehendaknya untuk segera mendapatkan uang untuk membeli
rumah, sehingga mereka dapat pindah dari rumah kontrakan.57
Atau yang disampaikan oleh
responden lain yaitu Nina, berikut: kontribusi pemikiran ataupun pendapat yang dinyatakan
oleh para istri dianggap sebagai bentuk pengambilan kekuasaan dalam kehidupan rumah
tangga. Keputusan suami adalah keputusan mutlak dalam keluarga.58
Kekerasan verbal yang dialami oleh Nina berupa penghinaan yang menyetarakan
dirinya dengan hewan, hal ini merendahkan harkat dan martabatnya sebagai seorang
perempuan. Dila, Tita, Astri dan Tantri pun mengalami kekerasan verbal dengan mendengar
kata-kata kasar berupa cacian, umpatan, sumpah serapah bahkan ancaman yang diutarakan
suami mereka.59
Tita mengalami kekerasan secara psikis melalui tindakan suami yang kerap
kali mencuri benda-benda berharga miliknya dan milik orang tua hanya untuk bermain judi.60
Kekerasan fisik turut dialami oleh Nina, Dila dan Astri. Pertengkaran Nina dan
suaminya sering diakhiri dengan tindakan pemukulan terhadap Nina, yang mengakibatkan
lebam di bagian wajah dan perut. Dila, Tantri juga mengalami hal yang sama seperti Nina
mengalami tindakan pemukulan di wajah. Sementara Astri mengalami penganiayaan lebih
tragis, tindakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap Astri tidak hanya memukul tetapi
sampai menyiram air panas ke tubuh Astri. Kekerasan demi kekerasan yang mereka alami
56
Hasan, Pengantar Cultural Sudies: Sejarah, Pendekatan Konseptual, & Isu Menuju Studi Budaya
Kapitalisme Lanjut, 234 57
Astri, wawancara, 20 Desember 2013, pkl.19.15 WIB. 58
Nina, wawancara, 2 Desember 2013, pkl. 18.00 WIB. 59
Nina, Tita, Dila, Astri, Tantri, wawancara, 2-28 Desember 2013. 60
Tita, wawancara, 28 Desember 2013, pukul 11.00 WIB.
42
semakin membulatkan tekad mereka untuk mengambil langkah bercerai.61
Keluarga dalam pola masyarakat agraris akan berhadapan dengan persoalan-persoalan
modernisasi secara khusus industrialisasi, kemunculan industrialisasi dalam masyarakat akan
membawa perubahan dalam peran keluarga. Tidak hanya suami yang dapat bekerja tetapi istri
mendapat kesempatan yang sama untuk bekerja. Era globalisasi telah mengguncang budaya
tradisional, menggeser budaya patriakhi dan membuka harapan bagi perempuan untuk
mengapresiasikan diri sesuai dengan kapasitas dan kompetensi dalam berkarya. Peluang istri
yang bekerja dan mendapatkan penghasilan yang lebih baik dari suami telah menimbulkan
perasaan “bersaing“. Padahal dalam budaya patriakhi nampak secara normatif suami
merupakan kepala keluarga yang memiliki hak lebih tinggi dari pada istri,62
oleh sebab itu
jika perubahan ini tidak diikuti dengan penyesuaian diri dalam keluarga maka akan dianggap
sebagai ancaman terhadap kekuasaan suami. Ketidakmampuan penyesuaian diri terhadap
penetrasi budaya akan berdampak pada ketimpangan pembagian peran antara suami -istri
sehingga dapat menjadi pemicu dari konflik rumah tangga. Kekerasan verbal atau non verbal
terhadap para istri merupakan manifestasi relasi kuasa yang timpang sehingga memunculkan
dominasi serta diskriminasi secara sistematis sebagai upaya memberhentikan pemberdayaan
diri para istri selaku perempuan.63
Pada satu sisi era globalisasi telah memberi ruang kepada perempuan untuk berkarya,
namun disisi yang lain para perempuan harus berhadapan dengan pandangan negatif dan
sikap diskriminatif sebagai akibat peran mereka diranah publik, seperti yang diceritakan Dila:
pihak keluarga suami menghakimi dirinya sebagai seorang istri yang tidak mampu mengurus
rumah tangga karena terlalu sibuk bekerja.64
Tita juga menceritakan: tetangga seringkali
61
Nina, Tita, Dila, Astri, Tantri, wawancara, 2-28 Desember 2013. 62
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam rumah Tangga: Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 77. 63
Fitri Bintang Timur, “Pemerkosaan Perempuan Dalam Konflik,”dalam Ani Soetjipto dan Pande
Trimayuni (ed.), Gender dan Hubungan Internasional: sebuah pengantar, (Jakarta: Jalasutra, 2013), 119-120. 64
Dila, wawancara, 28 Desember 2013, pukul 20.00 WIB.
43
bergosip tentang dirinya yang tidak menyediakan waktu untuk anak dan suami karena
kesibukan pekerjaan dan seringkali pulang larut malam yang tidak sepantasnya dilakukan
oleh seorang perempuan.65
Sikap menyudutkan dari lingkup keluarga ataupun masyarakat sekitar menunjukkan
bahwa parameter sebagian masyarakat modern tentang perempuan masih berdiri pada pijakan
kultur patriakhi yang membenarkan bahwa laki-laki tidak bertanggungjawab terhadap
kebahagiaan keluarga dan pendidikan anak dalam keluarga, tetapi perempuan yang
bertanggung jawab mendidik anak dan menghadirkan situasi kondusif dalam keluarga.
Sehingga ketika seorang perempuan juga harus bekerja di ranah publik maka mereka harus
menjadi perempuan super yang siap berperan ganda. Hal ini disebabkan oleh label yang telah
melekat pada laki-laki yang melambangkan keperkasaan, kekuasaan dan heroism, sementara
perempuan melekat dengan label feminisme yang menyiratkan karakter yang terbentuk penuh
kelembutan dan kepasrahan. Perihal ini merupakan stereotipe yang telah mempertegas aturan
dan nilai sosial yang telah tertanam dalam relasi antara laki-laki dan perempuan.
Parameter yang terbentuk berdasar pada konstruksi kultur patriakhi menjadi salah satu
penyebab dari tindakan-tindakan diskriminatif yang dialami kelima responden pasca
perceraian. Pengabdian istri yang dicurahkan melalui kesiapan diri menjadi tulang punggung
bagi keluarga dalam ranah publik, menjadi tidak berarti saat istri dianggap mengesampingkan
pengabdian dan pelayanan dalam ranah domestik. Sehingga makna pengabdian hanya
terorientasi pada kewajiban istri melayani suami ,bukan kewajiban melayani antara suami-
istri. Kekuatan ideologi patriakhi telah bersifat destruktif dalam perjalanan kehidupan rumah
tangga kelima responden. Suami berada pada posisi superior karena melekat status sebagai
kepala keluarga. Kekuasaan dan kontrol terhadap sumber daya rumah tangga berada di
tangan suami.
65
Tita, wawancara, 28 Desember 2013, pukul 11.00 WIB.
44
Tindakan-tindakan diskriminatif akibat perceraian yang dialami oleh beberapa
perempuan yang adalah anggota jemaat GMIST Mahanaim terjadi dalam konteks keluarga,
gereja dan masyarakat. Dalam konteks keluarga, kekerasan verbal dialami oleh Nina, Tita,
Tantri tidak muncul dari keluarga inti (orang tua, saudara kandung) melainkan dari sanak
saudara yang lain. Nina, Tita, Tantri, mengalami tindakan yang bersifat menghakimi bahwa
perceraian yang terjadi merupakan tindakan pemberontakan terhadap firman Allah yang
berarti mereka telah berbuat dosa, sementara Dila dan Tita mengungkapkan bahwa mereka
mendapatkan dukungan dari seluruh keluarga dengan keputusan bercerai atau berpisah
rumah.66
Kekerasan verbal dalam konteks masyarakat pada umumnya sering mereka temui
melalui tindakan-tindakan teman kantor atau rekan kerja yang memperlakukan mereka seperti
“perempuan murahan”. Godaan dan gurauan yang bersifat melecehkan seringkali mereka
alami, Tita mendapatkan tawaran untuk libur bersama dari partner kerja yang telah beristri
dengan alasan yang diungkapkan secara gamblang bahwa Tita membutuhkan kehangatan
seorang laki-laki.67
Sementara Nina dan Dila pernah mendapatkan klien yang menawarkan
proyek besar dengan syarat bersedia menjadi perempuan simpanan.68
Selain itu dari
lingkungan masyarakat, Tita, Tantri dan Astri mendapatkan pandangan negatif sebagai
seorang ibu rumah tangga yang tidak bertanggung jawab karena telah menelantarkan suami
dan anak.69
Perempuan dibeberapa bagian dunia dipandang sebagai hak milik laki-laki yang dapat
diperlakukan semena-mena, tindakan pelecehan terhadap perempuan semakin marak di
berbagai tempat. Kekerasan berupa pelecehan terhadap mereka tidak terlepas dari afirmasi
pandangan bahwa perempuan dalam budaya patriakhi dan kapitalisme adalah pekerja
66
Nina, Tita, Dila, Astri, Tantri, wawancara, 2-28 Desember 2013. 67
Tita, wawancara, 28 Desember 2013, pukul 11.00 WIB. 68
Nina & Dila, wawancara, 2 & 28 Desember 2013. 69
Astri, Tantri & Tita, wawancara, 20, 21 & 28 Desember 2013.
45
rendahan. Perempuan seringkali di tempatkan pada jabatan yang lebih rendah walaupun
memiliki ijazah yang sama. Diskriminasi bentuk lain dalam pekerjaan yang dialami oleh
perempuan adalah rentannya para perempuan terhadap ketidakpastian kerja dan pemecatan,
bahkan mereka ditempatkan pada posisi paruh waktu dengan tujuan menyingkirkan mereka
dari ranah pemegang kekuasaan dan peluang meningkatkan karier.70
Kedudukan perempuan
tidak berada pada ranah publik (kekuasaan ekonomi atau produksi) tetapi ranah domestik
(rumah tangga, tempat reproduksi) dengan fungsi mengajar, merawat dan melayani oleh
karena itu perempuan tidak dapat memiliki otoritas laki-laki. Bahkan perempuan seringkali
mendapatkan label negatif sebagai makhluk lemah, tidak rasional karena lebih terfokus pada
sifat-sifat emosional. Tidak heran jika terjadi kekerasan berupa pelecehan yang dilakukan
oleh rekan kerja laki-laki sebagai bentuk strategi resistensi yang terorganisir dari dominasi
laki-laki terhadap perempuan yang dapat mengancam posisi sosial dan identitas seksual laki-
laki.71
Dominasi laki-laki yang berperan di berbagai institusi sosial menjadikan sifat-sifat
dan pekerjaan-pekerjaan laki-laki lebih dihargai dan lebih identik dengan karakter mandiri,
agresif, kompetitif yang mengarah pada kesuksesan dalam dunia kerja dan masyarakat,
sehingga laki-laki tetap berada pada posisi yang berkuasa. Sementara perempuan identik
dengan karakter pasif dan tergantung sehingga berdampak pada posisi yang lemah untuk
mendapatkan kekuasaan72
Oleh karena itu kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai
suatu tindakan yang wajar untuk mengingatkan perempuan terhadap struktur patriakhi.
Kekerasan verbal dan psikis yang dialami tidak hanya terjadi dalam lingkup keluarga,
tetapi terjadi juga dalam institusi gereja. Keputusan bercerai yang ditempuh oleh Nina, Tita,
Dila dan pisah rumah yang ditempuh oleh Astri serta Tantri mendapatkan reaksi yang
70
Piere Bourdieu, Dominasi Maskulin (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 129-130. 71
Bourdieu, Dominasi Maskulin, 132-135. 72
Sunarto, Televisi, Kekerasan dan Perempuan, 64-65.
46
diskriminatif dari pihak gereja. Keputusan Astri untuk pisah rumah berdampak pada kegiatan
pelayanan di gereja. Astri yang juga turut aktif dalam pelayanan gereja dan berada dalam
jajaran kemajelisan untuk sementara waktu di non aktifkan dalam pelayanan.73
Perihal yang
sama dialami oleh Dila, akibat dari perceraiannya maka Dila harus meletakkan jabatan
pelayanan selaku salah satu pengurus dalam pelayanan kategorial perempuan. Bahkan
mereka yang bercerai tidak mendapatkan hak untuk dipilih menjadi majelis atau pengurus
pelayanan kategorial.74
Sikap diskriminatif gereja juga nampak melalui ungkapan-ungkapan
menghakimi dari pendeta, majelis, atau pun beberapa anggota jemaat kepada Nina, Tita, Dila,
Tantri dan Astri seperti: “perempuan keras kepala”, “bercerai berarti melakukan dosa”,
“perselingkuhan suami, bisa terjadi karena kesalahan istri”. Dila mendengarkan pernyataan
seorang pendeta: “ dalam pernikahan Kristen tidak diperbolehkan untuk bercerai, jika
perceraian tetap dilakukan maka kita telah melanggar Firman Allah dan itu dosa”, “Tidak
ada gunanya hidup bergelimang harta tetapi berakhir di neraka”.75
Sikap menghakimi dan diskriminatif yang membuat mereka enggan berperan aktif
dalam kegiatan-kegiatan pelayanan gxsereja. Astri dan Tita merasa tidak mudah ketika harus
mendengar seseorang menghakimi dirinya. Perasaan malu, takut dan berdosa kepada Allah
sering mengisi batin namun kekuatan menghadapi gejolak batin ini diterima dari pihak
keluarga yaitu orang tua dan kakak beradik yang mendukung setiap keputusan mereka.
Sikap menghakimi yang diperlihatkan dengan jelas oleh beberapa pemimpin gereja,
semakin memberikan beban psikis kepada mereka. Penderitaan yang mereka alami karena
tindakan suami semakin bertambah dengan justifikasi dari pihak gereja. Reaksi negatif dari
pihak gereja memunculkan pergolakan batin. Pergolakan batin itu pada satu sisi berkaitan
dengan loyalitas terhadap doktrin kristen anti perceraian, sementara di sisi yang lain tidak
menghendaki hidup bersama suami yang tidak bertanggungjawab, sering melakukan tindakan
73
Astri, wawancara, 20 Desember 2013, pkl 19.15 WIB 74
Dila, wawancara, 28 Desember 2013, pkl. 20.00WIB 75
Nina, Tita, Dila, Astri, Tantri, wawancara, 2 - 28 Desember 2013.
47
kekerasan secara fisik dan psikis, tidak memiliki kepedulian kepada istri serta anak, tidak
loyal, hidup berfoya-foya dengan judi dan minuman keras. Prinsip awal mereka terhadap
doktrin Kristen anti perceraian yang terdapat dalam Matius 19:6 merupakan afirmasi terhadap
relasi dua insan yang disatukan dalam pernikahan, sehingga pandangan mereka tentang
perceraian merupakan pelanggaran terhadap doktrin Kristen. Pelanggaran terhadap doktrin
Kristen berarti penyangkalan terhadap kebenaran Alkitab yang adalah Firman Allah. Oleh
sebab itu saat awal memutuskan untuk bercerai atau pisah rumah, mereka didominasi oleh
perasaan takut, bersalah, berdosa kepada Allah karena pernikahan Kristen dibangun atas
dasar perintah Allah “apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia” (Matius
19:6). Namun keyakinan terhadap doktrin Kristen anti perceraian mulai memudar. Keraguan
terhadap doktrin ini disebabkan oleh pengalaman-pengalaman mereka yang berkaitan dengan
kekerasan fisik dan psikis didalam rumah tangga. Salah satu tindakan paling keji di dunia
menurut mereka adalah kekerasan terhadap perempuan, tindakan ini merupakan wujud dari
pembunuhan karakter yang dapat menghentikan pemberdayaan kualitas diri perempuan.
Pengalaman-pengalaman kekerasan memunculkan refleksi pribadi terhadap doktrin Kristen
anti perceraian yang diyakini adalah perintah Allah. Refleksi pribadi memunculkan
pertanyaan-pertanyaan: Apakah Allah akan membiarkan tubuh manusia yang diciptakannya
dengan sangat baik teraniaya karena perlakuan tidak adil, dan tindak kekerasan? Apakah
Allah akan berpihak pada setiap pribadi yang menjadi korban kekerasan dalam rumah
tangga? Apakah Allah yang maha kasih dan maha adil menghendaki manusia untuk
berkompromi atau berkonspirasi dengan tindak kekerasan dan penganiayaan? Apakah firman
Allah mengajarkan kekerasan untuk diterapkan dalam kehidupan rumah tangga?
Pertanyaan-pertanyaan ini mengarahkan refleksi pribadi pada rekonstruksi perspektif
terhadap pengalaman-pengalaman kekerasan yang dialami oleh Nina, Dila, Tita, Astri dan
Tantri. Karakter Allah yang penuh kasih dan maha adil menjadi parameter bahwa Allah akan
48
berpihak dan memberikan pertolongan pada setiap orang yang menjadi korban tindak
kekerasan, sehingga mereka meyakini bahwa Allah tidak pernah berkompromi dan
berkonspirasi dengan tindak kekerasan dan penganiayaan dalam rumah tangga. Bahkan Tita
membandingkan larangan perceraian dengan I Korintus 3:16-17
3:16:“Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah Bait Allah dan bahwa Roh Allah
diam di dalam kamu?
3:17 Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan
dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu.
Tubuh yang mengalami dan merasakan tindak kekerasan adalah hasil ciptaan Allah
bahkan disebut sebagai bait Allah oleh karena itu memelihara, menjaga, menghargai tubuh
merupakan perwujudan iman yang sangat fundamental bagi setiap individu. Saat tubuh
dipandang sebagai alat pelampiasan amarah, ego, benda yang dapat diperjualbelikan maka
Allah akan murka. Perspektif dari ayat ini menunjukkan hal yang kontradiktif dengan
larangan perceraian. Bukankah doktrin kristen anti perceraian berarti memberikan peluang
terhadap perlakuan semena-mena terhadap tubuh?, bagaimana dengan tubuh yang adalah
Bait Allah?, Bukankah menganiaya tubuh sudah termasuk dalam perzinahan? Pertanyaan-
pertanyaan ini menolong Tita mendapatkan jawaban dari pergumulan pelik rumah tangga,
tindak kekerasan merupakan bentuk perzinahan terhadap tubuh dan afirmasi pernikahan.
Menurutnya perceraian yang terjadi sebagai akibat dari tindak kekerasan merupakan tindakan
penyelamatan dan penghargaan terhadap tubuh yang adalah pemberian Allah.76
Dalam
doktrin Kristen anti perceraian di Matius 19:6 tertulis “apa yang dipersatukan Allah tidak
dapat diceraikan manusia”, salah satu unsur penting dalam ayat ini adalah “dipersatukan
Allah”. Menurut mereka jika Allah mempersatukan maka tindakan-tindakan suami dalam
rumah tangga seharusnya sebagai manifestasi kasih dan cinta Allah. Justru ketika tindakan-
76
Tita, wawancara, 28 Desember 2013, pkl 11.00 WIB.
49
tindakan suami berbanding terbalik dengan sifat Allah yang mempersatukan suami-istri
dalam afirmasi pernikahan maka tindakan-tindakan tersebut sebagai manifestasi dari
pemberontakan dan pelanggaran terhadap firman Allah. Selain itu pula menurut Astri doktrin
Kristen anti perceraian dalam Matius 19:6 memberikan penekanan pada model manifestasi
kasih Allah yang wajib diterapkan dalam kehidupan rumah tangga, jika lalai dalam penerapan
itu maka yang muncul adalah bencana dalam kehidupan rumah tangga.77
Atas dasar keyakinan bahwa Allah berpihak pada korban kekerasan maka keputusan
bercerai bukanlah bentuk pemberontakan terhadap firman Allah, dan itu berarti bercerai tidak
dapat disamakan dengan perbuatan dosa. Perceraian atau pisah rumah merupakan suatu
proses yang dilalui atas karya pertolongan Allah bagi mereka yang mengalami kekerasan
dalam rumah tangga. Bukanlah suatu dosa jika mereka menentukan sikap untuk keluar dari
tindakan kekerasan yang berwujud pada akta cerai atau pisah rumah. Nina mengungkapkan
jika bercerai adalah dosa maka berkat Allah tertutup baginya, namun ia merasa berkat Allah
terus mengalir walaupun telah bercerai. Perceraian atau pisah rumah merupakan tindakan
untuk merekonstruksi hidup yang porak-poranda karena tindak kekerasan, meraih
kebahagiaan, mengembalikan esensi jati diri seutuhnya sebagaimana seorang pribadi yang
diciptakan Allah dengan sangat baik. Menurut mereka esensi pernikahan adalah suatu
kesadaran bahwa dengan penyatuan antara dua pribadi akan memunculkan kualitas diri yang
mengarah pada keluarga yang berkualitas untuk maju dan meraih kebahagiaan bersama, oleh
sebab itu jika esensi pernikahan tidak lagi menjadi dasar bentukan rumah tangga melainkan
didasari oleh dominasi kepentingan suami dan kemitraan yang timpang maka pernikahan
hanya menjadi tempat yang subur untuk pertumbuhan tindakan-tindakan eksploitatif
terhadap perempuan. Memilih bercerai tidak berarti kehilangan harapan untuk bahagia tetapi
justru menjadi titik awal untuk meraih kebahagiaan.
77
Astri, wawancara, 20 Desember 2013, pkl 19.15 WIB
50
2.4 Kesimpulan
Pembahasan mengenai studi poskolonial dan rekonstruksi perspektif dari perempuan-
perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga telah memberikan ruang
untuk mendapatkan perspektif dan pemahaman yang baru berdasar konteks dan perspektif
penafsir di kekinian serta melepaskan ikatan dominasi kolonial. Berkaitan dengan perilaku
kekerasan yang menyebabkan perceraian dan perlakuan diskriminatif institusi gereja serta
masyarakat, studi poskolonial membuka langkah untuk mengkaji setiap bentuk kekerasan
yang dialami oleh kelima ibu rumah tangga dengan merekonstruksi perspektif diskriminatif
berdasarkan kajian historis, sosial dan ekonomi. Sehingga setiap tindakan kekerasan dilihat
sebagai rangkaian peristiwa sebab-akibat dari produk dominasi, yang berupaya untuk
mempertahankan kekuasaan.
Pemaparan hasil wawancara menunjukkan berbagai faktor pemicu munculnya
kekerasan dalam rumah tangga baik secara verbal dan non verbal yang berakibat pada
perceraian. Kekerasan menurut Mazhab biososiologis merupakan tindakan kejahatan yang
disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal.78
Kasus-kasus kekerasan yang
dialami oleh lima ibu rumah tangga disebabkan oleh faktor internal dan juga eksternal.
- Faktor internal
Perilaku menyimpang dari suami Astri dan Tantri disebabkan oleh pengalaman masa
kanak-kanak yang pernah mengalami tindakan kekerasan. Pengalaman traumatis
akibat kekerasan pada masa kanak-kanak ini membangun karakter dipenuhi dengan
78
Mazhab biososiologis adalah mazhab yang menggabungkan faktor internal dan eksternal sebagai penyebab
dari tindakan kekerasan. Faktor internal berkaitan dengan representasi pengalaman pribadi seseorang di kekinian
yang telah mengalami kekerasan berdasarkan interaksi dalam keluarga dan lingkungan di masa kecil. Keadaan
yang tidak menyenangkan yang memicu kemarahan serta frustasi akan mengarah pada tindakan kekerasan.
Kekerasan diyakini sebagai tindakan wajar sebagai media untuk mendapatkan solusi dari beragam bentuk
permasalahan. Faktor eksternal berkaitan dengan keadaan yang terjadi diluar diri pelaku kekerasan.Moerti
Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam rumah Tangga: Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis (Jakarta: Sinar
Grafika,2011), 76.
51
amarah, dendam, kebencian yang dapat mengulang pola kekerasan terhadap istri atau
pun anak.
- Faktor eksternal, terdiri dari faktor ekonomi keluarga, faktor penetrasi budaya, faktor
sosial.
Faktor –faktor pendorong tindakan kekerasan ini merupakan produk dari tradisi-
tradisi budaya, serta jaringan kapitalisme global yang telah melekat dan mempengaruhi
individu dalam struktur keluarga dan masyarakat. Dengan demikian penderitaan yang dialami
olel Nina, Tita, Dila, Tantri dan Astri dalam sektor privat sebagai akibat dari dominasi
kolonial yang hadir dalam bentuk kapitalisme global.
Keluarga yang mengalami perpecahan karena kekuatan dominasi kolonial, harus
mengalami lagi hal yang pahit karena tindakan diskriminatif dari masyarakat secara khusus
institusi gereja. Beban penderitaan mereka semakin bertambah, ketidakadilan tetap menjadi
lingkaran yang mengurung kemerdekaan mereka sebagai manusia yang berhak mendapatkan
kebahagiaan. Gereja yang seharusnya menjadi wadah bagi mereka untuk mendapatkan
keuAllah hidup dengan pengharapan setelah mengalami beragam bentuk ketidakadilan, tidak
mampu menjadi penolong dan pendamping setia. Gereja justru menunjukkan sikap
permusuhan dan menambah perlakuan tidak adil terhadap mereka yang telah menjadi korban
kekerasan dalam rumah tangga.
Pengalaman-pengalaman mereka yang telah menjadi korban kekerasan dan refleksi
pribadi atas setiap pengalaman tindak kekerasan, mengarahkan mereka menemukan
perspektif baru terhadap doktrin Kristen anti perceraian. Menurut mereka keputusan untuk
bercerai merupakan bentuk pertolongan Allah terhadap mereka sebagai korban kekerasan dan
berarti keputusan bercerai tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan dosa.
52
Pemaparan perspektif baru dari pengalaman kekerasan dan diskriminasi yang
dialami oleh para korban kekerasan dalam rumah tangga akan mengarahkan penulis dalam
menafsirkan teks Matius 19:1-12, yang diawali dengan pertanyaan-pertanyaan penuntun :
1. Apakah teks Matius 19:1-12 memunculkan konsep Allah yang menyatakan kasihNYa
melalui perceraian?
2. Apakah teks Matius19:1-12 dapat memberikan keadilan dan kemerdekaaan bagi para
korban kekerasan dan diskriminatif dalam rumah tangga, masyarakat dan gereja?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas maka penulis akan memaparkan
konteks dominasi kekuasaan Romawi, konsep pernikahan dan perceraian yang melatar
belakangi kehadiran teks Matius 19:1-12 pada bab III.