BAB II PENGKODEAN 2.1 Sistem Komunikasi...
-
Upload
nguyenlien -
Category
Documents
-
view
237 -
download
3
Transcript of BAB II PENGKODEAN 2.1 Sistem Komunikasi...
BAB II
PENGKODEAN
2.1 Sistem Komunikasi Digital
Dalam sistem telekomunikasi digital tedapat dua jenis sistem telekomunikasi, yaitu
sistem komunikasi analog dan sistem komunikasi digital. Perbedaan keduanya adalah pada sinyal
yang digunakan untuk melakukan hubungan komunikasi. Pada sistem komunikasi analog, sinyal
yang dikirimkan berupa sinyal yang bervariasi dan tidak tetap, sedangkan pada sistem
komunikasi digital, sinyal yang dikirimkan adalah sinyal tertentu yang sudah tetap bentuknya.
Sinyal digital merupakan sinyal data dalam bentuk pulsa yang dapat mengalami
perubahan yang tiba–tiba dan mempunyai besaran 0 dan 1. Sinyal digital, seperti Gambar 2.1
hanya memiliki dua keadaan, yaitu 0 dan 1, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh derau, tetapi
transmisi dengan sinyal digital hanya mencapai jarak jangkau pengiriman data yang relatif dekat.
Biasanya sinyal ini juga dikenal dengan sinyal diskret. Sinyal yang mempunyai keadaan ini biasa
disebut dengan bit. Bit merupakan istilah khas pada sinyal digital. Sebuah bit dapat berupa no; (
0 ) atau ( 1 ), sehingga kemungkinan nilai untuk sebuah bit adalah 2 buah ( ). Kemungkinan
nilai untuk 2 bit adalah sebanyak 4 , berupa 00, 01, 10, 11. Secara umum, jumlah
kemungkinan nilai yang terbentuk oleh kombinasi n bit adalah sebesar buah.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Sinyal Digital
Secara universal, sistem komunikasi digital yang baik adalah memiliki standar khusus
yang seyogianya mengatur hubungan inter-koneksi antar entitas, dimana kaidah tersebut
dinamakan protokol. Protokol adalah sebuah aturan yang mendefinisikan beberapa fungsi yang
ada dalam sebuah jaringan komputer, misalnya mengirim pesan, data, informasi dan fungsi lain
yang harus dipenuhi oleh si pengirim dan si penerima agar komunikasi dapat berlangsung benar,
walaupun sistem yang ada dalam jaringan tersebut berbeda sama sekali. Protokol ini mengurusi
perbedaan format data pada kedua sistem hingga pada masalah koneksi listrik. Untuk ini,
terdapat standar protokol yang terkenal yaitu OSI ( Open System Interconnecting ) yang
ditentukan oleh ISO ( International Standard Organization ) [1].
Sistem komunikasi digital yang baik adalah suatu sistem yang mampu mengantisipasi
nilai kerusakan yang memungkinkan terjadi dalam proses pengiriman bit informasi, kemampuan
penanganan sedini mungkin, dan dapat mengurangi dampak kesalahan bias yang dapat saja
muncul seperti gangguan yang ada (noise). Meskipun demikian ada beberapa hal yang masih
menerapkan sejumlah metode dari sistem komunikasi analog, karena sebelum perkembangannya
yang begitu pesat, sistem komunikasi digital masih memerlukan metode yang memang harus
mengadopsi sedikit perancangannya dari teknologi analog.
Universitas Sumatera Utara
Pada kenyataannya, kita dapat melihat bahwa perkembangan teknologi sistem
komunikasi digital lebih banyak mengalami kemajuan bila dibandingkan dengan teknologi
analog, hal ini jelas saja terjadi karena kebanyakan dari perangkat sistem komunikasi digital
lebih menggunakan teknologi yang lebih maju dan banyak melibatkan kinerja dari
mikroprosessor dan mikrokontroller, sehingga akan lebih efisien dalam pengoperasiannya.
Seiring dengan semakin cepatnya kebutuhan akan kecepatan pengiriman data dan kebutuhan
sarana dan prasarana yang dapat menunjang aktivitas dan kinerja sistem yang baik.
Untuk itu ada beberapa pertimbangan yang tentang teknologi digital dibandingkan
dengan analog, antara lain:
1. Sinyal digital mudah untuk dilakukan rekonstruksi menjadi bentuk yang semula,
dibandingkan dengan sinyal analog.
2. Tingkat distorsi dan interferensi pada sistem komunikasi digital lebih rendah
dibandingkan dengan teknologi analog.
3. Dari segi ekonomis, rangkaian digital lebih murah dan gampang untuk dijumpai di
pasaran, karena ketersediaan supply alat–alat maupun perangkat digital yang memadai.
4. Perangkat digital lebih mudah untuk dilakukan reassembly dengan perangkat lain bila
dibandingkan dengan perangkat analog.
2.1.1 Komponen Dasar Sistem Komunikasi Digital
Kinerja suatu sistem akan berjalan dengan baik jika didukung oleh beberapa elemen–
elemen yang dapat bekerja sama satu dengan yang lain dan melakukan tugasnya masing–masing,
sehingga membentuk satu blok diagram sistem komunikasi yang konkret dan memiliki nilai
utilitas yang baik dan performansi yang handal pula. Untuk itu ada baiknya kita harus
mengetahui terlebih dahulu komponen apa saja yang berkaitan dengan sistem komunikasi digital
Kanal enkoding
Digital modulator
Sumber enkoder
Pusat informasi dan perangkat
Universitas Sumatera Utara
yang sederhana, dan dapat dilihat dari blok diagram sistem komunikasi digital ( Gambar 2.2 )
[2].
[ 1 ] [ 2 ] [ 3 ]
[ 4 ]
[ 5 ]
[ 9 ] [ 8 ] [ 7 ] [ 6 ]
Gambar 2.2 Bagan Komponen Dasar Sistem Komunikasi Digital
Komponen dasar sistem komunikasi dapat dillihat dari blok Gambar 2.2 diatas, dimana
blok tersebut diatas memperlihatkan proses transmisi data yang terjadi dalam suatu sistem
komunikasi digital. Blok diagram yang pertama [ 1 ] adalah dapur untuk proses inputan
(masukan) data yang akan dikirimkan, dimana data tersebut berisikan pesan yang ingin
disampaikan oleh si pengirim. Inputan dari sistem tersebut adalah berupa sinyal analog maupun
sinyal digital. Untuk ini, dalam sistem komunikasi digital, maka yang digunakan adalah sinyal
digital. Adapun sinyal inputan yang masih berupa bentuk sinyal masukan analog, harus terlebih
dahulu diubah ke dalam bentuk sinyal digital, tentunya dengan menggunakan perangkat
tambahan yang disebut dengan ADC ( Analog to Digital Converter). Selain itu, sinyal digital
juga perlu untuk dikompresi atau diminimalisasikan ukuran bit informasinya. Hal ini dilakukan
untuk melakukan penyesuaian dengan Bandwidth transmisi yang tersedia. Proses konversi dan
Digital demodulator
Digital decoder
Digital encoder
Destinasi ( tujuan)
kanal
Universitas Sumatera Utara
kompresi ini disebut juga source coding atau data compression, pada blok diatas terlihat pada
blok [2] dimana terdapat perangkat source encoder.
Segera setelah diproses pada blok kedua tersebut, akan dihasilkan suatu deretan digit
biner yang disebut sebagai deretan bit informasi. Deretan inilah yang selanjutnya kemudian
diarahkan menuju blok [3] yaitu channel encoder, dimana di blok ini akan terjadi proses
mengkodekan sinyal agar pada sisi penerima dapat melakukan penterjemahan kembali atau
decoding untuk melakukan pendeteksian terhadap error dan meminimalisasikan kemungkinan
adanya error yang muncul. Selanjutnya, sinyal yang telah dikodekan tersebut dimodulasi pada
blok [4] dengan menggunakan sebuah perangkat digital modulator, yaitu sebuah perangkat yang
berfungsi untuk mengubah bentuk sinyal informasi dalam bentuk analog menjadi bentuk sinyal
digital, didalamnya termasuk proses kuantisasi sinyal. Adapun tujuan dari fungsi modulasi
digital tersebut adalah untuk melakukan penyesuaian dengan kondisi dari kanal yang digunakan.
Dapat kita lihat pada kanal transmisi yang ditunjukkan pada blok [5], sinyal yang
dikirimkan akan dipengaruhi oleh adanya kehadiran beberapa gangguan ( noise) ataupun
interferensi. Kemudian pada sisi pengirim sinyal akan terjadi proses untuk memodulasikan
kembali (demodulasi) oleh digital demodulator, seperti yang ditampilkan pada blok [6].
Selanjutnya, setelah sinyal tersebut didemodulasikan, sinyal tersebut mengalami proses
didekodekan sesuai dengan teknik yang dipakai ataupun diaplikasikan pada encoder pada sisi
pengirim untuk dilakukan pemeriksaan dan dideteksi error yang kemungkinan muncul.
Kemudian sinyal didekodekan kembali oleh source decoder yang disesuaikan dengan teknik
yang diaplikasikan oleh source encoder pada sisi pengirim untuk mendapatkan sinyal informasi
yang asli dan sesuai yang diinginkan oleh perangkat receiver.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Komunikasi Data
Proses komunikasi pada jaringan yang telah memiliki bentuk topologi yang saling
bersesuaian antara pihak – pihak yang terlibat dalam proses pentransmisian data memiliki sifat
fleksibilitas dan visibilitas yang sangat baik didalam melakukan fungsi dan tugas yang
seharusnya dilakukan. Dalam hal ini, komunikasi data adalah suatu pemrosesan dalam
pentransmisian data yang telah di-encode dengan perantaraan melalui media transmisi, baik
bersifat media fisik, seperti kabel twisted pair, kabel opened wire, fiber optik ataupun media non
fisik seperti gelombang elektromagnetik, radio, satelit dan sebagainya [3].
Utamanya, komunikasi adalah merupakan bagian dari telekomunikasi yang secara khusus
berkenaan dengan transmisi atau pemindahan data dan informasi diantara komputer–komputer
dan piranti–piranti yang lain dalam bentuk digital yang dikirimkan melalui media komunikasi
data [4]. Data berarti informasi yang disajikan oleh isyarat digital. Komunikasi data merupakan
bagian virtual dari suatu masyarakat informasi karena sistem ini menyediakan infrastruktur yang
memungkinkan komputer–komputer dapat berkomunikasi satu sama lain.
Pada komunikasi data, kita mengenal adanya suatu protokol yang bertindak sebagai
glandmaster yang bertanggung jawab untuk memberlakukan suatu aturan agar sistem
komunikasi yang terjalin dapat berjalan sebagaimana baiknya dan memiliki relibilitas yang
mencakup [1]:
1. Tingkat kemudahan untuk melakukan konfigurasi ( kompatibilitas ) dengan peralatan lain
yang setara.
2. Kemampuan untuk memberikan pelayanan dengan akurasi kemampuan yang berbeda
pula.
Universitas Sumatera Utara
3. Kemudahan untuk diteliti, dipelajari, dan diamati lebih lanjut untuk pengkajian yang
lebih baik lagi dalam memecahkan masalah komunikasi.
4. Kemampuan dalam memberikan alternatif pilihan kepada para user yang ingin melakukan
koneksi yang kompeherensif dan progresif yang handal.
2.2.1 Komponen Komunikasi Data
Seperti yang terlihat pada Gambar 2.3, adapun beberapa entitas yang tergolong sebagai
komponen komunikasi data dan harus ada dalam suatu kesatuan sistem yang membentuk suatu
hubungan jaringan komunikasi yang baik antara lain [1]:
1.Media Pengirim, adalah piranti yang berkenaan dengan proses pengiriman data yang
dikirimkan oleh si pengirim ( user ).
2. Media Penerima, adalah piranti yang berkenaan dengan proses penerimaan data yang
akan diterima oleh user receiver.
3. Data, adalah paket informasi baik berupa data, suara ataupun gambar yang akan
dipindahkan.
4. Media Pengiriman, adalah piranti atau saluran yang dijadikan sebagai media saluran
pengiriman data.
5. Protokol, adalah suatu aturan atau kaidah yang berfungsi utnuk menyelaraskan
hubungan antar entitas.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Gambar Blok Sederhana Komunikasi Data
2.2.2 Noise transmisi.
Pada tingkat komunikasi data yang baik, kadangkala permasalahan yang paling riskan
yang sering dihadapi adalah Noise pada proses transmisi, terutama dalam lalu lintas komunikasi
data antara perangkat fisik pada transmitter, media transmisi atau biasanya pada perangkat
receiver. Adapun noise atau kendala dalam sistem transmisi data yang sering dialami antara lain
interferensi, derau, distorsi, atenuasi dan sebagainya.
2.2.3 Derau
Dalam suatu proses transmisi data, adapun sinyal yang diterima oleh perangkat receiver
memungkinkan telah mengalami penambahan sejumlah sinyal-sinyal tambahan yang tidak
dikehendaki keberadaannya, namun hal tersebut justru selalu terjadi. Baik yang telah mengalami
sedikit perubahan pada susunan bit informasinya akibat pengaruh distorsi ataupun berkat
pengaruh yang lain.
2.2.4 Distorsi
Pada sistem transmisi media guided yang memiliki daerah spektrum frekuensi tersendiri,
terkadang dipandang tidak selalu seimbang dengan kecepatan transmisi sinyal yang berjalan
dalam media transmisi tersebut. Pada kenyataannya, signal band terbatasi, kecepatannya sangat
Universitas Sumatera Utara
tinggi mendekati pusat frekuensi dan akan turun mengarah pada kedua sisi band. Pada saat
frekuensi sinyal yang berlainan terhadap konstanta waktu, hal ini mengakibatkan fasenya akan
berubah diantara daerah frekuensi yang berbeda–beda pula.
2.2.5 Atenuasi
Masalah atenuasi atau penyimpangan akibat berbagai faktor yang menghalangi proses
pengiriman dalam media transmisi sebenarnya dapat diatasi dengan pemilihan metode yang tepat
untuk mengatasinya. Biasanya dalam perhitungannya dapat dinyatakan dalam jumlah desibel
konstan per satuan unit jarak. Fungsi yang lebih kompleks dari jarak inilah yang seharusnya
mendapat perhatian yang serius untuk memperoleh pertimbangan yang baik dalam membangun
suatu sistem transmisi.
2.3 Konsep Dasar Teori Pengkodean
Konsep dari sebuah teori dasar pengkodean adalah untuk mengurangi dampak kesalahan
( error ) yang bisa diakibatkan oleh masalah pengamanan dari informasi digital terhadap
kesalahan yang kerap muncul karena pada saat proses transmisi tersebut, justru mengakibatkan
sistem menjadi salah pengertian dalam melakukan interpretasi tehadap simbol data–data yang
akan diterjemahkan untuk kemudian diproses menjadi sebuah pesan. Hal ini merupakan kendala
yang serius terutama dalam proses penyimpanan data. Perlu mendapat perhatian yang serius pula
dari seorang insinyur telekomunikasi agar pengontrolan terhadap kesalahan sehingga dapat
dilakukan rekonstruksi informasi dan data yang diterima akan memiliki kehandalan dan aktual.
Universitas Sumatera Utara
Untuk itu, dalam mengatasi masalah kesalahan yang tentunya tidak diinginkan tersebut,
diperlukanlah suatu sistem pengkodean. Secara sederhana dapat kita lihat pada blok diagram
pada Gambar 2.4:
pesan
sinyal Tx sinyal Rx
Gambar 2.4 Gambaran Umum Model Komunikasi
Gambar 2.4 diatas mendeskripsikan bahwa kesatuan sistem komunikasi yang baik
adalah suatu sistem yang mampu melakukan tingkat akurasi penyampaian sinyal informasi,
dengan meminimalisasikan tingkat kesalahan ( error) data yang dikirimkan oleh si pengirim data
melalui perangkat Transmitter, dan dalam proses transmisi data melalui media baik fisik maupun
non fisik adalah sangat dijaga kompleksitas kebenaran pengkodean datanya [3].
Kesalahan ( error ) adalah masalah yang paling sering dihadapi dalam sistem
komunikasi, sebab selain dapat mengurangi kinerja dari suatu sistem, juga dapat mengakibatkan
kehandalan suatu sistem dalam enkripsi data menjadi berkurang. Untuk mengatasi masalah
tersebut, diperlukan suatu sistem yang dapat mengoreksi error, dimana solusinya adalah dengan
metode penanganan error dalam pemeriksaan bit. Adapun metode yang dapat dilakukan ada dua,
yaitu [4]:
1.Backward Error Control ( BEC )
Sumber Informasi
Transmiter ( Pengirim ) (P i i )
Receiver ( Penerima )
Sumber Noise
Tujuan
Universitas Sumatera Utara
Yaitu metode dimana perangkat pada sisi penerima akan segera mengirimkan sinyal
kepada perangkat pengirim untuk melakukan pengiriman ulang jika pada data yang diterima
terjadi kesalahan.
2. Forward Error Control ( FEC )
Yaitu metode dimana sebelum proses pengiriman data dilakukan, data tersebut
terlebih dahulu dikodekan dengan suatu pembangkit kode ( encoder ), kemudian dikirimkan ke
perangkat penerima. Pada sisi penerima tersebut, telah tersedia sebuah penerjemah kode (
decoder ) yang mengkodekan data tersebut, dan apabila terjadi error pada data akan dilakukan
pengkoreksian data. Selanjutnya, bit dari sumber data akan masuk ke encoder untuk dikodekan,
selanjutnya bit yang telah dikodekan tesebut dikirimkan melalui kanal, langkah akhirnya akan
kembali dikodekan oleh decoder dan data tersebut dikirimkan ke user.
2.4 Teknik Pengkodean Hamming
Teknik pengkodean Hamming memiliki beberapa keunggulan dimana dapat tepat
mengoreksi satu kesalahan bit yang timbul. Selain itu masih memiliki keunggulan lainnya yaitu
sebagai berikut[5]:
1. Mendeteksi semua kesalahan bit tunggal dan ganda yang dilakukan dengan
membandingkan codeword hasil enkoding dengan codeword hasil deteksi decoding,
dimana kemampuan untuk mendeteksi error pada kode Hamming dapat dinyatakan
dengan rumus = - 1.
2. Mengoreksi semua kesalahan bit tunggal. Jika terdeteksi adanya kesalahan bit dalam blok
codeword pada proses decoding, maka dengan operasi XOR akan diperbaiki sebanyak 1
Universitas Sumatera Utara
bit error yang terdeteksi. Kemampuan koreksi error Hamming dinyatakan dengan rumus :
=
Untuk menentukan matriks generator dari kode Hamming yaitu pertama dengan
menentukan nilai jumlah bit blok codeword ( anggap sebagai variabel n ) dan Jumlah bit
informasinya ( misalkan sebagai variabel k ).
Setelah diperoleh nilai (n) dan (k) tersebut, selanjutnya menentukan nilai polinomials
sesuai dengan Tabel 2.1 Polinomial Galois Field GF (2) :
Tabel 2.1 Tabel Polinomial Galois Field (GF) 2
Jumlah Bit Parity ( m ) Polynomials 3 1 1 0 1 4 1 1 0 0 1 5 1 0 1 0 0 1 6 1 1 0 0 0 0 1 7 1 0 0 1 0 0 0 1
Setelah diketahui nilai dari polynomial sesuai dengan Tabel 2.1 diatas lalu
disusun matriksnya dengan susunan sebagai berikut, misalkan generator Hamming dengan parity
(m) = 3
N = - 1 = 7
K = - 1 – m = 4
Maka langkah pengerjaannya adalah sebagai berikut :
1. Gunakan polinomials dalam Tabel 2.1 diatas sebagai baris pertama dan menambahkan
nilai 0 hingga n dengan nama g(x), dimana nilai g (x) = 1 1 0 1 0 0 0
Universitas Sumatera Utara
2. Membuat baris kedua dengan menggeser baris pertama ke kanan, prosesnya x.g(x),
dimana nilai x.g(x) = 0 1 1 0 1 0 0.
3. Membuat baris ketiga dengan menggeser baris kedua ke kanan dengan proses .g(x),
dan baris tersebut diteruskan selanjutnya hingga sejumlah nilai k. Setelah
meneruskannya hingga mencapai nilai k tertentu,maka akan terbentuk matriks
generator seperti berikut
g (x) 1 1 0 1 0 0 0 x.g(x) 0 1 1 0 1 0 0
.g(x) = 0 0 1 1 0 1 0
.g(x) 0 0 0 1 1 0 1 Terlihat pada matriks generator diatas, generator yang terbentuk adalah generator non
sistematik. Maka untuk mengubahnya menjadi sistematik diperlukan teknik tertentu yang baik
dan efisien dilakukan adalah dengan operasi baris elementer. Matriks dari G sistematik
merupakan generator dari kode Hamming (7,4).
Adapun laju aliran data bit dari sumber data yang masuk ke encoder akan dikodekan
dengan menggunakan suatu generator. Oleh karena itu dalam proses pengkodean Kode
Hamming diperlukan suatu generator matriks untuk mengubah sejumlah susunan bit stream data
yang diterima sebelum dilakukan pengkodean kembali untuk kemudian dikirimkan ke sisi
penerima.
Generator matriks dari Kode Hamming yang dipilih adalah generator matriks Kode
hamming yang sistematik, dimana hal ini diperoleh dari hasil multiplikasi antara bit stream
dengan generator matriks Kode Hamming. Kode Hamming hasil perkalian tersebut selanjutnya
disimpan dalam bentuk matriks array 2 dimensi. Sebagai contoh kode Hamming (7,4) yang
mengkodekan 4 bit stream menjadi 7 bit kode yang akan dikirimkan menjadi sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
G =
Matriks dari generator diatas dapat diperoleh dari operasi sebagai berikut:
Jika kita misalkan bahwa n1, n2, n3 adalah bit parity dari Kode Hamming dan m1,
m2, m3 dan m4 adalah bit data yang akan ditransmisikan maka akan diperoleh suatu hubungan
antara bit pariti dan bit datanya. Secara eksplisit dapat diterangkan bahwa bit pariti n1
melakukan suatu pengoperasian dan pengecekan terhadap bit data m2, m3, m4, bit pariti n2
melakukan pengoperasian dan pengecekan terhadap bit data m1, m3, m4 dan bit parity n3 juga
melakukan demikian pengoperasian dan pengecekan terhadap bit data m1, m2, m4, sehingga
proses operasi bitnya sebagai berikut :
n1 = m2 + m3 + m4
n2 = m1 + m3 + m4
n3 = m1 + m2 + m4
untuk mencari bit–bit pariti dari data tersebut, maka dapat dilakukan dengan
memisalkan data yang dikirimkan adalah
m1 = m2 = m3 = m4 =
Maka dapat diperoleh nilai matriks untuk masing–masing nilai n1, n2, dan n3 adalah
sebagai berikut:
n1 = = n2 = =
Universitas Sumatera Utara
n3 = =
Sehingga dari pariti diatas dapat kita bentuk suatu matriks generator yang sistematis
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
G = [ N | M ] …………………………………………….. 2.1 )
Dimana G adalah matriks generator, N adalah matriks kolom pariti yang sudah dibuat diatas, dan
M adalah matriks identitas.
2.5 Pengdekodean pada Sistem Pengkodean Hamming
Pengdekodean pada sistem pengkodean Hamming dapat dilakukan dengan cara
menghitung sindrom yang dihasilkan dengan cara melakukan perkalian antara bit Kode
Hamming yang diterima dengan matriks cek pariti yang disesuaikan dengan generator Kode
Hamming yang digunakan pada sisi penerima. Contohnya, jika matriks cek pariti yang
bersesuaian dengan contoh generator matriks untuk Kode hamming (7,4) diatas adalah sebagai
berikut :
H =
Matriks untuk cek pariti diatas dapat diperoleh dari rumus sebagai berikut :
H = [ M | ……………………………………………… 2.2 )
Dimana H merupakan matriks cek parity, M merupakan matriks identitas dan
merupakan hasil transpose dari matriks pariti N. Dari matriks pariti diatas dapat dihitung sindrom
dengan rumus :
S = r . …………………………………………………… 2.3)
Universitas Sumatera Utara
Dimana : S = sindrom
r = bit kode hamming yang diterima
= transposisi dari matriks cek pariti
Adapun untuk metode dan langkah tertentu dalam pengoperasian dengan
menggunakan Kode Hamming ini, khususnya untuk operasi penjumlahan maka gunakanlah
Tabel 2.2 GF ( )
Tabel 2.2 Tabel Galois Field ( ) untuk Generator Polinomial Hamming
Setelah diperoleh sindromnya, maka dapat diketahui apakah kode yang diterima
terdapat kesalahan ( error ) atau tidak dan dicari dimana letak kesalahan yang terjadi bila ada.
Jika sindrom yang dihasilkan adalah bernilai 0, artinya tidak terjadi kesalahan, selain itu, berarti
ada terjadi kesalahan, sehingga metode yang dipakai untuk mengetahui letak kesalahan tersebut
harus disesuaikan dengan matriks , dan bila sindrom tersebut sesuai dengan salah satu kode
pada matriks maka dapat disimpulkan bahwa pada posisi tesebut terjadi kesalahan. Kemudian
Universitas Sumatera Utara
ubahlah posisi yang salah tesebut dengan melakukan invertasi dari kode yang diterima, dan
mengambil 4 bit dari susunan kode yang terakhir sebagai bit data.
2.6 Teknik Pengkodean BCH
Metode pengkodean BCH merupakan salah satu dari sekian cara yang digunakan
untuk mendeteksi dan mengoreksi kesalahan yang terjadi secara random yang mampu untuk
mengoreksi beberapa kesalahan ( multiple error ) sekaligus merupakan pengembangan dari
metode Hamming Code. Metode ini sendiri ditemukan oleh Bose dan Ray-Chaudhuri pada tahun
1960 dan secara terpisah juga mengalami invensi yang mendalam oleh Hocquenghem pada 1959.
Pada awalnya, metode ini diterapkan untuk beberapa nilai m pada kode biner dengan panjang
- 1. Kemudian metode ini dikembangkan lebih modern lagi oleh Gorenstein dan Zierler pada
tahun 1961 dengan menggunakan simbol dari Galois Field ( GF ) [6].
Adapun metode ini dapat diimplementasikan untuk nilai m ≥ 3 dan t < dan
memiliki keterangan sebagai berikut :
Panjang blok yang dikirimkan : n = – 1 …………………… 2.4)
Bit informasi : k
Jumlah error maksimal : t
Checkbit : c = mt dengan ketentuan n – k ≤ mt
2.7 Proses Enkoding Sistem Pengkodean BCH
Merupakan proses pembentukan kumpulan checkbit yang akan dikirimkan bersama
informasi yang diproses. Langkah – langkahnya sebagai berikut :
i. Bentuk Galois Field, GF ( )
Universitas Sumatera Utara
ii. Tentukan nilai 2t – 1 buah minimal Polinomial, karena bilangan polinomial pangkat
genap adalah penggandaan dari polinomial pangkat ganjil, maka polinomial
pangkat ganjil saja yang diambil.
iii. Bentuk generator polinomial yang merupakan kelipatan persekutuan terkecil (
KPK ) dari hasil multiplikasi semua minimal Polinomial yang dipilih.
iv. Bubuhkan bit 0 pada belakang bit biner dari pesan dengan panjang sebesar
derajat dari generator polinomial.
v. Lakukan operasi pembagian biner terhadap gabungan dari pesan dan bit 0
dengan generator polinomial.
vi. Sisa bagi dari operasi pembagian biner tersebut diatas merupakan checkbit.
vii. Bit informasi + checkbit dikirimkan.
2.8 Proses Pengdekodean pada teknik pengkodean BCH
Sedikit memiliki perbedaan dengan pengdekodean pada teknik pengkodean Hamming,
pada metode BCH yaitu proses pendeteksian dan pengoreksian kesalahan apabila ditemukan
kesalahan. Adapun prosedur pendeteksian kesalahan pada proses dekoding adalah sebagai
berikut [10] :
a. Prosedur pendeteksian kesalahan ( error detection ).
i. Lakukan operasi pembagian tehadap gabungan dari bit informasi dan checkbit
dengan generator polinomial.
ii. Jika sisa pembagian = 0, berarti tidak dideteksi adanya kesalahan.
iii. Jika tidak, berarti ditemukan adanya kesalahan.
a. Prosedur pengkoreksian kesalahan ( error correction ).
Universitas Sumatera Utara
i. Tentukan 2t buah minimal polinomial.
ii. Hitung sindrom ( …. ) dari codeword ( bit informasi + checkbit) yang
diterima. Dalam hal ini, terdapat 2t komponen dalam vektor.
iii. Bentuk tabel BCH dengan menggunakan algoritma Peterson-berlekamp
berikut :
1. Set nilai awal dari beberapa variabel berikut:
= 0
2. jika , maka
…….. 2.5)
3. Jika , maka carilah sebelum sedemikian rupa
sehingga , 1 ≤ m ≤ n, dan nilai m - akan mempunyai nilai
yagn maksimum, dimana kemudian dapat digunakan untuk menghitung
nilai berikut:
= max [ , .
iv. Untuk setiap atau , maka variansi dari berikutnya menjadi:
Universitas Sumatera Utara
……….. 2.6)
Dimana adalah koefisien ke-I dari dan memenuhi syarat 1 ≤ I ≤
.
v. Hasil akhir merupakan polynomial pendeteksi lokasi ditemukannya
kesalahan.
vi. Setelah proses tersebut diatas selesai lalu akan dicari akar dari persamaan
polynomial tersebut dengan metode trial and error, yaitu dengan mencoba
semua nilai elemen dari GF (2m). Nilai tersebut merupakan akar apabila hasil
proses perhitungan polynomial = 0.
vii. Kemudian carilah nilai kebalikan dari akar – akar tersebut. Nilai ini
merupakan posisi bit error.
Untuk menghitung nilai probabilitas kesalahan yang dinilai pada Error Rate
Calculation setelah melewati kanal noise, maka secara matematis dapat dihitung sebagai berikut
:
= erfc …………………………2.7)
Dimana : = Probabilitas kesalahan bit tidak dikode
,tidak dikode = 1- = 4 dimana << 1
Untuk nilai perbandingan dari Eb/No berdasarkan blok kode [7,4] tidak efektif memperbaiki
kesalahan hingga = atau kurang, maka digunakanlah kode yang panjang untuk
memperbaiki kesalahan cukup besar.
Universitas Sumatera Utara