BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam...

76
33 BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM TRADISI PERKAWINAN LORO PANGKON Penelitian yang dilakukan ini adalah tentang “Tradisi Perkawinan Loro Pangkon (Studi Budaya Masyarakat Muslim Jawa di Mojokerto Jawa Timur)”. Dengan demikian sebagai kerangka teoretik yang dijelaskan dalam bagian ini adalah mengenai: Islam, antropologi, sosiologi (interaksionisme simbolik), akulturasi, pertunjukan wayang dan historisitasnya, dan konsep budaya Jawa. A. Islam Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti feodalistik, mencintai kebersihan, megutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan sikap- sikap positif lainnya. 1 Sebagai agama yang memiliki banyak dimensi, Islam banyak memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kehidupan manusia dalam menjalankan tugasnya sehingga diharapkan dapat menyelamatkan sebagaimana makna Islam yang dapat dipegang sebagai jenjang menuju keselamatan. Selain itu, agama Islam dengan berbagai dimensinya, seperti sejarah, fikih, pemikiran dan lain sebagainya 1 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 1.

Transcript of BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam...

Page 1: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

33

BAB II

PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM TRADISI

PERKAWINAN LORO PANGKON

Penelitian yang dilakukan ini adalah tentang “Tradisi Perkawinan Loro

Pangkon (Studi Budaya Masyarakat Muslim Jawa di Mojokerto Jawa Timur)”.

Dengan demikian sebagai kerangka teoretik yang dijelaskan dalam bagian ini

adalah mengenai: Islam, antropologi, sosiologi (interaksionisme simbolik),

akulturasi, pertunjukan wayang dan historisitasnya, dan konsep budaya Jawa.

A. Islam

Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai

akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap

seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spritual, senantiasa

mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka,

demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti feodalistik,

mencintai kebersihan, megutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan sikap-

sikap positif lainnya.1

Sebagai agama yang memiliki banyak dimensi, Islam banyak memberikan

kontribusi yang sangat besar bagi kehidupan manusia dalam menjalankan

tugasnya sehingga diharapkan dapat menyelamatkan sebagaimana makna Islam

yang dapat dipegang sebagai jenjang menuju keselamatan. Selain itu, agama Islam

dengan berbagai dimensinya, seperti sejarah, fikih, pemikiran dan lain sebagainya

1Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 1.

Page 2: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

34

telah menjelma sebagai salah satu objek besar dalam dunia ilmu pengetahuan

manusia. Islam memberikan jalan kajian bagi para peneliti untuk dapat menggali

potensi dengan mengkaji Islam dalam tiga tingkatannya. Islam sebagai wahyu,

Islam dalam pemikiran dan pemahaman, serta Islam dalam pengamalan.

Islam sebagai objek, kajian-kajian ke-Islaman membutuhkan aturan dalam

pengkajiannya, tidak bisa lantas peneliti menyimpulkan sesuatu tentang Islam

dengan jalan atau metode yang tidak benar. Metode, pendekatan dan perangkat

lainnya dalam mengkaji Islam akan sangat berperan esensial dan berpengaruh

dalam mengantar pengkaji-pengkaji ke-Islaman untuk sampai pada kesimpulan

yang benar.

Ada dua cara yang dapat dipergunakan dalam melihat apakah makna

Islam, etimologi dan terminologi. Secara etimologi (bahasa) Islam berasal dari

bahasa Arab, dengan akar kata salima yang berarti selamat, sentosa dan damai.

Dari kata salima ini kemudian diubah menjadi kata aslama yang berarti berserah

diri dan masuk dalam kedamaian.2 Kata Islam itu sendiri merupakan bentuk

mashdar dari kata aslama, yang berarti memelihara dalam keadaan selamat,

menyerahkan, menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat. Kemudian bentuk subjek

dari kata kerja aslama ini adalah muslim yang berarti orang yang tunduk, yang

patuh, yang menyerahkan diri.3

Harun Nasution berpendapat bahwa makna Islam ditinjau dari segi

kebahasaan berdekatan artinya dengan agama, yaitu menguasai, menundukkan, 2Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), 655. Lihat juga Nashruddin Razak, Dien al-Islam (Bandung: al-Ma’rif, 1977), 56. 3Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1980), 2.

Page 3: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

35

patuh, hutang, balasan dan kebiasaan.4 Senada dengan itu, Nurcholish Madjid

berkesimpulan bahwa sikap pasrah kepada Tuhan merupakan hakikat dari

pengertian Islam.5

Islam menurut terminologi adalah agama yang ajaran-ajarannya

diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Muhammad. Islam pada hakikatnya

tidak hanya mengatur satu sisi kehidupan manusia akan tetapi berbagai sisi dalam

kehidupan manusia tersebut.6 Adapun Arkoun, seorang guru besar studi Islam,

membantah pemaknaan Islam yang diinterpretasikan oleh banyak kalangan

dengan mengambil terjemahan kedalam bahasa Prancis dengan arti “tunduk dan

patuh”. Menurutnya ada hal lain yang tidak hanya tunduk dan patuh yang harus

dimuat oleh kata Islam secara terminologi, tetapi juga merasakan getaran cinta

kepada Allah swt. dan rasa ingin menyandarkan diri kepada semua yang

diperintahkanNya.7

Bila Islam dipahami dari segi ontologi, maka hakekat Islam adalah

seperangkat ajaran yang bersumber dari Allah swt. Ajaran ini kemudian

berimplikasi kepada munculnya perintah dan larangan yang harus ditaati oleh

pengikutnya. Sedangkan Islam menurut kaca mata epistemologi adalah Islam

sebagai ilmu. Islam memang mempunyai banyak aspek yang bisa melahirkan

disiplin ilmu berbeda, seperti hukum, seni, dan sebagainya. Dari aspek-aspek

inilah kemudian muncul beberapa institusi ataupun aplikasi Islam dalam

4Harun Nasution, Islam Ditijnau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 2001), 3. 5Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan Dan Kemodernan (Jakarta: Paramdina: 1992), 426. 6Harun, Islam Ditinjau, 7. 7Suadi Putro, Muhammad Arkoun Tentang Islam Dan Modernitas (Jakarta: Paramadina, 1998), 30.

Page 4: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

36

kehidupan sehari-hari, atau yang disebut Islam aksiologi. Beberapa contoh dari

Islam aksiologi adalah sepeti bank syari’ah, kaligrafi dan lain sebagainya.

Pelaku dari Islam, yakni muslim, secara etimologis berarti orang Islam

atau penganut agama Islam.8 Sementara Arkoun memaknai muslim secara

etimologis adalah orang yang menyerahkan dirinya. Sedangkan secara

terminologis, menurutnya adalah orang yang melakukan penyerahan diri dan

komitmen wujudnya kepada Tuhan dan nabiNya secara sukarela.9

Hal yang menyangkut dengan sifat ke-Islaman adalah Islami artinya

adalah hal yang telah disifatkan dengan Islam dan menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dengan istilah tersebut baik dalam pelaksanaan kehidupan sehari-hari

ataupun dalam dunia ilmu pengetahuan.

Menurut Marshall Hodgson, bahwa akan banyak terjadi kekeliruan dengan

menggunakan kata Islami secara bebas dan luas. Oleh karena itu menurutnya,

bahwa kata yang bersifat Islam yakni Islami haruslah hal-hal yang berbau agama

Islam itu sendiri, sedangkan hal-hal yang bercorak ke-Islaman tidak bisa

dikatakan sebagai Islami, karena penggunaan term ini dalam kajian yang krusial

akan membawa pada kesimpulan yang kurang benar. Beliau menyajikan dua

istilah berbeda untuk menghindari kesalahan yang sering dilakukan oleh para

sarjanawan, Islami, Islamis (Islamic) dan Islamicate yang berarti bercorak ke-

Islaman.10 Seperti dalam studi sastra, istilah “sastra Islam, sastra Islami”

menunjukkan sastra itu berisi pesan-pesan religius seperti yang terdapat pada

banyak karya Jalaluddin Rumi, sedangkan sastra seperti Laila Majnun haruslah 8Pius A. Partanto dan M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 2001), 30. 9Putro, Muhammad Arkoun,30. 10Marshall Hodgson, The Venture of Islam Jilid I (Chicago: Chicago University Press, 1974), 23.

Page 5: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

37

diistilahkan dengan sastra bercorak Islam (Islamicate Literature), karena

kandungannya hanyalah cerita percintaan romantis Laila, tapi karena novel ini

ditulis oleh orang muslim jadilah ia bernama sastra bercorak Islam.

Memang memahami dan merumuskan makna Islam dalam kajian ilmiah

sangatlah penting. Para sarjanawan Eropa seperti yang dicatat oleh Marshall

Hodgson telah melakukan kesalahan yang sangat fatal dalam kajian mereka, yang

semuanya berangkat dari kesalahan merumuskan apakah itu Islam. Sebagai

contohnya saja, para sarjanawan Eropa pada abad sebelum 18, banyak

merumuskan Islam seperti yang terdapat di Istanbul saja, ada yang merumuskan

Islam seperti pengamalan di India saja, ada yang merumuskan Islam sebagai

budaya Arab dan lain sebagainya.11

Dunia Islam pada era awal abad ke-dua puluh mengalami masa-masa yang

sangat tragis dengan ditandai oleh kemajuan yang dicapai dunia Barat yang nota-

bene mayoritas penduduknya adalah non-muslim, kemajuan ini khususnya dalam

bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Masa tragis ini mencapai puncaknya

ketika dunia Eropa melakukan penjajahan kebeberapa negara, termasuk negara-

negara muslim. Negara-negara Barat tidak hanya menjajah fisik, tapi juga bidang

intelektual. Dari fakta inilah kemudian para generasi penerus bangsa-bangsa

muslim mencoba bangkit dengan mencari sebab-sebabnya, terutama

ketertinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perpecahan

antar sesama muslim.

11Ibid.

Page 6: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

38

Untuk tujuan tersebut, muncul ide dan gagasan dari berbagai pakar untuk

mengislamisasikan ilmu pengetahuan yang diasumsikan berasal dari Barat.

Namun pertentangan terjadi di sekitar soal apakah ilmu pengetahuan itu dapat di-

Islamisasikan? mengingat antara ilmu pengetahuan yang berlaku di Barat sangat

berbeda paradigma dengan Islam. Secara umum, ilmu pengetahuan dikenal

bersifat objektif, spekulatif, empiris, rasional, sedangkan agama bersifat mutlak,

subjektif, tidak terbatas, keyakinan, normatif dan serba pasti. Pertanyaan yang

mendasar yang muncul kemudian adalah “apakah mungkin menyatukan dua

paradigma yang berbeda tersebut?”.

Muhammad Arkoun mengatakan bahwa keinginan para cendikiawan

muslim untuk meng-Islamisasikan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah suatu

kesalahan besar, sebab hal tersebut akan menjebak kita dalam ide bahwa Islam

hanyalah semata-semata sebuah ideologi.12 Senada dengan itu Usep Fathuddin

berpendapat bahwa Islamisasi ilmu bukanlah kerja ilmiah, sebab yang dibutuhkan

oleh ummat adalah menguasai ilmu dan mengembangkannya, sedangkan

Islamisasi hanyalah sebuah kerja kreatif atas karya orang lain.13

Sementara itu ada juga kelompok ilmuwan yang mendukung gagasan

Islamisasi ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah Mulyanto yang berbendapat

bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan adalah penerapan etika-etika Islam dalam

ilmu pengetahuan tersebut. Dengan kata lain Islam hanya berlaku sebagai etika-

etika keagamaan di luar struktur ilmu pengetahuan. Asumsi dasarnya adalah ilmu

12Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), 5. 13Usef Fathuddin, Perlukah Islamisasi Ilmu? (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000),51.

Page 7: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

39

pengetahuan adalah bebas, maka konsekuensi logisnya adalah mustahil muncul

ilmu pengetahuan Islami.14

Terlepas dari pro dan kontra pendapat para ilmuwan tentang Islamisasi

ilmu pengetahuan, sebagai seorang peneliti muslim yang hidup pada masa

sekarang hendaklah bisa menampilkan realitas keilmuan yang ideal, yakni dengan

memahami Islam secara komprehensif, melalui metode penerapan dan tekhnik

studi Islam yang aplikatif.

Dalam penelitian tradisi perkawinan loro pangkon di masyarakat muslim

Mojokerto, peneliti mengkaji dari sudut pandang studi Islam yang asumsi

dasarnya adalah ilmu pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran Islam yang

dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia, sedangkan pengetahuan

agama adalah pengetahuan yang diklaim sepenuhnya diambil dari ajara-ajaran

agama, seperti tentang aqidah, ibadah dan lain sebagainya.15 Dapat dikatakan

bahwa ajaran Islam yang berupa tuntunan pernikahan merupakan studi Islam

sebagaimana yang diterjemahkan dan direalisasikan masyarakat muslim

Mojokerto. Dalam pelaksanaannya di lapangan, mereka melakukan pernikahan

melalui berbagai modifikasi budaya, di antaranya dengan memasukkan tradisi-

tradisi budaya Jawa di dalam pelaksanaannya.

Sebagaimana pendapat Jacques Wardenburg bahwa studi Islam di

antaranya adalah studi non-normatif tetang aspek Islam dari kebudayaan dan

masyarakat muslim. Makna yang lebih luas dari studi ini tidak berhubungan

dengan Islam saja. Dalam konteks lebih luas lagi butuh kepada pertimbangan,

14Mulyanto, Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), 51. 15Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 152.

Page 8: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

40

suatu pendekatan Islam dari sudut pandang sejarah dan literatur atau sudut

antropologi budaya.16

Dengan kata lain bahwa studi Islam itu adalah segala kajian yang tidak

terlepas dari unsur Islam, baik sebagai objek langsung dalam kajian tersebut atau

objek tidak langsung. Studi Islam itu meliputi segala kajian tentang Islam pada

tiga tingkatan yakni Islam sebagai wahyu, Islam sebagai pemikiran atau

pemahaman dan Islam sebagai pengamalan. Dalam konteks ini, tradisi

perkawinan loro pangkon, tinjauannya menitik beratkan kepada studi Islam yang

mengarah kepada Islam sebagai pengamalan masyarakat muslim Mojokerto dalam

menjalankan salah satu unsur ajaran Islam yang berupa perkawinan yang tidak

lepas pula adanya unsur budaya setempat.

Di antara ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang pernikahan

sebagaimana dijelaskan dalam surat an-Nisaa’ ayat 3:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat, kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”17

16Nur A. Fadhil Lubis, Introductory Readings on Islamic Studies (Median, IAIN Press, 1998), 2. 17al-Qur’an, 4:3. Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Depag RI, 1999), 115.

Page 9: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

41

Demikian pula dalam hadits Nabi juga diterangkan adanya anjuran

menikah bagi seorang pemuda yang mampu menafkahi dalam kehidupan rumah

tangga, dan apabila masih belum mampu dianjurkan untuk berpuasa, karena hal

itu dapat menjaga pandangan dan kemaluannya. Sebagaimana hadits Nabi

Muhammad saw. berikut:

فإنھ , م الباءة فلیتزوجیا معشر الشباب من استطاع منك

أغض للبصر وأحصن للفرج، ومن لم یستطع فعلیھ بالصوم فإنھ لھ وجاء

“Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa. Karena itu bisa menjadi tameng syahwat baginya.”18

B. Antropologi

Secara etimologi, istilah antropologi berasal dari dua buah kata, yakni kata

“anthropos” artinya manusia (bahasa Romawi), dan kata “logos” artinya ilmu

(bahasa Yunani)19. Jadi, singkatnya antropologi bermakna ilmu tentang manusia

dalam bermasyarakat, berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun

masyarakat itu sendiri. Objek dari antropologi adalah manusia di dalam suatu

masyarakat suku bangsa, kebudayaan, dan perilakunya.20

18Hadits Riwayat Bukhari 5065 dan Muslim 1400. 19Koentjaraningrat, dkk., Kamus Istilah Antropologi, (Jakarta: Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan & Kebudayaan, 1984), 45. 20Soerjono soekanto, Sosial suatu Pengantar (Jakarta; CV. Rajawali, 1982),13.

Page 10: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

42

Di satu sisi, Antropologi adalah suatu ilmu yang memahami sifat-sifat

semua jenis manusia secara lebih komprehensif.21 Antropologi pertama kali

dipergunakan oleh kaum misionaris dalam rangka penyebaran agama Nasrani dan

bersamaan dengan itu pula berlangsung sistem penjajahan terhadap negara-negara

di luar Eropa. Pada era dewasa ini, antropologi dipergunakan sebagai suatu hal

untuk kepentingan kemanusiaan yang lebih luas. Studi antropologi selain untuk

kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri, di negara-negara yang masuk dalam

kategori negara ketiga (negara berkembang) sangat urgen sebagai “pisau analisis”

untuk pengambilan kebijakan (policy) dalam rangka pembangunan dan

pengembangan masyarakat.

Menurut Achmad Fedyani Saifuddin,22 antropologi bisa saja didudukkan

sebagai salah satu disiplin ilmu dari cabang ilmu pengetahuan sosial, hanya saja

antropologi sejatinya adalah suatu perspektif ilmiah, karena sukarnya tercapai

kesepakatan di kalangan antropolog mengenai kualifikasi antropologi apakah

sebagai suatu ilmu pengetahuan (science) ataukah bukan. Persoalan manusia

memang merupakan persoalan yang menarik untuk dikaji dan diperdebatkan,

sebab dari persoalan tersebut banyak sisi yang dapat dibicarakan, mulai dari

membicarakan manusia secara fisik sampai pada perilaku manusia sendiri, banyak

hal yang bisa dipelajari dari persoalan manusia.

Salah satu dari persoalan manusia di antaranya adalah perilaku dalam

beragama. Keberagamaan manusia atau masyarakat pendukungnya dapat 21Williiam A. Haviland. Antropologi, terj. RG Soekarjo.( Jakarta: Erlangga. 1988), 3. 22Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006),11.

Page 11: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

43

dijadikan sebagai objek kajian dengan berbagai pendekatan. Dalam memahami

agama pendekatan antropologi dapat diterapkan. Abuddin Nata mengatakan

pendekatan antropologi yaitu pendekatan kebudayaan; artinya, pendekatan

antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya

memahami agama dengan cara melihat wujud praktik dan sistem keagamaan yang

tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sebagai suatu sistem ide, wujud

ataupun nilai dan norma yang dimiliki oleh anggota masyarakat yang mengikat

seluruh anggota masyarakat.23

Salah satu contoh kongkret di Indonesia terjadinya pertemuan budaya

mulai dari zaman prasejarah, Hindu, Budha, dan Islam dalam kehidupan

beragama. Masing-masing agama memiliki suatu tata cara beribadah menurut

kepercayaan mereka sendiri. Misalnya istilah “sembahyang” berasal dari

terminologi Hindu, dalam terminologi Islam adalah shalat, dan istilah-istilah

lainnya. Inti dari ajaran beribadah dalam beragama adalah untuk menyembah

kepada Sang Khalik, sebagai sesuatu yang sakral. Dari sinilah bagaimana

mengkaji agama terhadap perilaku keagamaan penganutnya, seperti orang Islam

dalam menjalankan ibadah puasa, demikian pula bagaimana perilaku puasa orang

Hindu, dan masing-masing agama memiliki cara tersendiri.

Melalui pendekatan antropologi, agama tampak akrab dan dekat dengan

masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan

memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan

23Abuddin Nata, Metodologi Study Islam (Jakarta,Raja Grafindo, 2008), 35.

Page 12: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

44

dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula

untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini, lebih mengutamakan

pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.24

Secara umum, obyek kajian antropologi dapat dibagi menjadi dua bidang,

yaitu antropologi fisik yang mengkaji makhluk manusia sebagai organisme

biologis, dan antropologi budaya dengan tiga cabangnya: arkeologi, linguistik dan

etnografi. Meskipun antropologi fisik menyibukan diri dalam usahanya melacak

asal usul nenek moyang manusia serta memusatkan studi terhadap variasi umat

manusia, tetapi pekerjaan para ahli di bidang ini sesungguhnya menyediakan

kerangka yang diperlukan oleh antropologi budaya, sebab tidak ada kebudayaan

tanpa manusia.25

Jika kebudayaan tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang

dipelajari adalah agama sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama yang

datang dari Allah. Antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama dan

segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang

sakral,26 wilayah antropologi hanya terbatas pada kajian terhadap fenomena yang

muncul. Menurut Atho Mudzhar,27 ada lima fenomena agama yang dapat dikaji,

yaitu pertama, scripture atau naskah atau sumber ajaran, perkembangan pemikiran

keagamaan dan simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin atau pemuka

24Ibid., 36. 25Amin Abdullah, dkk., Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), 62. 26Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006), 18. 27Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 15.

Page 13: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

45

agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus,

lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris. Keempat,

alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya. Kelima, organisasi

keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti

Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syi’ah dan lain-lain.

Kelima obyek di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologi, karena

kelima obyek tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi

manusia. Pendekatan antropologi tidak menjawab bagaimana seharusnya

beragama menurut kitab suci, tetapi bagaimana menurut penganutnya.

Sebagaimana dalam kitab suci adalah das sollen, bagaimana seharusnya,

sedangkan bagaimana menurut umatnya adalah empirik, yang dialami oleh

manusia, baik yang diyakininya, dikerjakannya, maupun yang dirasakannya.

Dengan demikian, yang diyakini suatu masyarakat beragama dapat saja gaib, tidak

dapat diteliti. Akan tetapi, keyakinan masyarakat dalam bentuk kepercayaan

kepada yang gaib bersifat empirik, dialami oleh manusia, sehingga dapat

dijadikan objek kajian ilmiah. Tetapi manusia percaya kepada Tuhan, bagaimana

sifat Tuhan yang dipercayainya, hubungan dengan Tuhan tersebut dan lainnya

yang mereka alami adalah empirik, kenyataan hidup yang dapat diteliti secara

ilmiah.

Antropologi memakai pendekatan dari dalam atau pendekatan verstehen.

Fenomena budaya yang dihasilkan oleh agama dipahami menurut interpertasi

pemeluknya sendiri, tidak menurut kacamata peneliti. Untuk memahami makna

Page 14: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

46

suatu simbol keagamaan, ditanyakan kepada masyarakat penganutnya sendiri.

Sebagai kajian antropologis, keberagamaan manusia ingin dipelajari secara

mendalam, sampai dasar-dasar fundamental dari kehidupan beragama dan asal-

usul manusia beragama. Pendekatan ini tidaklah objektif apabila pemahaman

masalahnya harus disesuaikan dengan keyakinan dan nilai-nilai yang dianut

peneliti dan dipaksakan tanpa didukung oleh bukti yang dapat dipertanggung

jawabkan secara ilmiah.28

Agama sebagai sasaran studi antropologi dapat disimpulkan dalam dua

hal. Pertama, antropologi yang merupakan bagian dari kebudayaan dan menjadi

salah satu sasaran kajian yang penting sehingga menghasilkan kajian cabang

tersendiri yang disebut dengan antropologi agama. Kedua, semua cabang-cabang

antropologi sebenarnya masih ada pada satu rumpun kajian yang bisa saling

berhubungan yaitu antropologis. Karena itu pendekatan antropologi identik

dengan pendekatan kebudayaan.29 Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan

kepercayaan terhadap keyakinan adannya kekuatan gaib, luar biasa atau

supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat,

bahkan terhadap segala gejala alam. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku

tertentu, seperti berdoa, memuja dan lainnya, serta menimbulkan sikap tertentu,

seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah dan lainnya dari individu dan masyarakat

yang mempercayainya.30 Oleh karena itu, keinginan, petunjuk dan ketentuaan-

ketentuan gaib harus dipatuhi kalau manusia dan masyarakat ingin kehidupan ini 28William A. Haviland, Antropologi (Jakarta: Erlangga, 1988),59. 29Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: ACAdeMia+Tazzafa, 2009),218. 30Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 155.

Page 15: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

47

berjalan dengan baik dan selamat. Kepercayaan beragama yang bertolak dari

kekuatan gaib ini tampak aneh, tidak alamiah dan tidak rasional dalam pandangan

individu dan masyarakat modern yang terlalu dipengaruhi oleh pandangan bahwa

sesuatu diyakini ada kalau konkret, rasional, alamiah atau terbukti secara empirik

dan ilmiah.

Penelitian antropologi yang grounded research, yakni penelitian yang

penelitinya terlibat dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Seorang peneliti

datang ke lapangan tanpa ada prakonsepsi apapun terhadap fenomena keagamaan

yang akan diamatinya. Fenomena-fenomena tersebut selanjutnya diinterpretasi

dengan menggunakan kerangka teori tertentu. Misalnya seperti penelitian yang

dilakukan oleh Geertz tentang struktur-struktur sosial di Jawa yang berlainan.

Struktur-struktur sosial yang di maksud adalah Abangan (yang intinya

berpusat dipedesaan), Santri (yang intinya berpusat di tempat perdagangan atau

pasar), dan Priyayi (yang intinya berpusat di kantor pemerintahan di kota).

Adanya tiga struktur sosial yang berlainan ini menunjukkan bahwa di balik kesan

yang didapat dari pernyataan bahwa penduduk Mojokuto itu sembilan puluh

persen beragama Islam. Tiga lingkungan yang berbeda itu berkaitan dengan

masuknya agama serta peradaban Hindu dan Islam di Jawa yang telah

mewujudkan adanya Abangan yang menekankan pentingnya spek-aspek

animistik, santri yang menekankan pentingnya aspek-aspek Islam dan priyayi

yang menekankan aspek-aspek Hindu.31

31Ibid., 395-397

Page 16: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

48

Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis

sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai

‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya

posisi manusia dalam Islam. Posisi penting manusia dalam Islam juga

mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama

Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami

manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan

dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan

keagamaannya.32

Islam mengajarkan kepada kita untuk berhubungan dengan persoalan-

persoalan utama manusia yang berkaitan dengan lingkungan. Di samping itu

individu dengan masyarakat, baik individu maupun kelompok adalah sifat utama

dari lingkungan. Islam sesungguhnya adalah agama sosial, implikasinya terhadap

umat Islam terlihat jelas. Islam adalah bagian dari ummah, masyarakat, yang

kepadanya harus diberikan kesetiaan dan menyediakan untuknya identitas sosial.

Secara ideal, Islam sebagai agama memiliki bagian kelompoknya, kelompok yang

lebih besar dari ummah.33

Dalam penelitian tradisi perkawinan loro pangkon di masyarakat muslim

Mojokerto, peneliti berusaha menangkap fenomena keagamaan yang terjadi pada

acara pernikahan tersebut. Masyarakat muslim Mojokerto dalam melaksanakan

perkawinan, yang merupakan salah satu unsur dari ajaran Islam, mereka dalam

32Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet. IV, 22. 33Rosihon Anwar, dkk, Pengantar Studi Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia), 131.

Page 17: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

49

pelaksanaannya melibatkan praktik-praktik tertentu. Berangkat dari pengamalan

agama yang dilaksanakan masyarakat muslim yaitu perkawinan, peneliti berusaha

memahami agama yang dipraktikkan, yakni dapat diartikan sebagai salah satu

upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang

tumbuh dan berkembang dalam masyarakat muslim Mojokerto, yakni perkawinan

loro pangkon. Dalam pendekatan antropologi ini peneliti lebih mengutamakan

pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Fenomena budaya yang

dihasilkan oleh agama dipahami menurut interpertasi pemeluknya sendiri, tidak

menurut kacamata peneliti.

C. Sosiologi (Interaksionisme Simbolik)

Dalam keilmuan sosiologi terdapat beberapa perbedaan paradigma,

utamanya pada dimensi obyek kajian atau what is the subject matter of sociology.

Dengan adanya perbedaan pandangan ini, Geoger Ritzer menilai bahwa sosiologi

merupakan ilmu yang mempunyai beberapa paradigma (multiple paradigm).

Setiap paradigma memiliki obyek kajian, teori, metode analisa yang berbeda.

Meskipun masih banyak terjadi perdebatan penggolongan paradigma dalam ilmu

sosiologi, namun menurut George Ritzer,34 secara garis besar ada tiga paradigma

yang mendominasi dalam keilmuan sosiologi, yakni pertama, paradigma fakta

34George Ritzer, Teori Sosiologi Modern (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010), 697.

Page 18: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

50

sosial dengan didukung beberapa teori yaitu teroi fungsionalisme struktural, dan

teori konflik.

Kedua, paradigma definisi sosial dengan didukung beberapa teori yaitu

teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi, dan teori

etnometodologi. Ketiga, paradigma perilaku sosial dengan didukung teori

behavioral sociology yang merupakan implementasi dari perpaduan obyek kajian

psikologi perilaku ke dalam sosiologi, dan didukung oleh teori pertukaran

(exchange). Di samping itu terdapat pula paradigma integratif atau multi

paradigma yang dapat juga dikatakan sebagai paradigma “jalan tengah”.

Paradigma integratif ini berusaha menawarkan perpaduan berbagai paradigma

sesuai dengan tingkat kebutuhan analisis dari ilmuwan sosial tersebut. Paradigma

integratif ini didukung oleh teori konstruksi sosial dan teori strukturasi.

Dalam penelitian tradisi perkawinan loro pangkon, peneliti menggunakan

paradigma definisi sosial yang lebih mengarah pada teori interaksionisme

simbolik. Suwardi Endraswara berpendapat interaksionisme simbolik adalah salah

satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap realitas perilaku

manusia. Falsafah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi. Namun,

dibanding penelitian naturalistik dan etnografi yang juga memanfaatkan

fenomenologi, interaksionisme simbolik memiliki paradigma penelitian tersendiri.

Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih

mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah berhubungan

dengan aspek masyarakat dan atau kelompok. Karena itu bukan mustahil kalau

Page 19: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

51

awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnya

juga diminati oleh peneliti budaya.35 Perspektif interaksi simbolik berusaha

memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi.

Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi budaya sebuah

komunitas. Makna esensial akan tercermin melalui komunikasi budaya antar

warga setempat. Pada saat berkomunikasi jelas banyak menampilkan simbol yang

bermakna, karenanya tugas peneliti menemukan makna tersebut.

Blomer mengemukakan ada beberapa premis interaksionisme simbolik

yang perlu dipahami peneliti budaya. Pertama, manusia melakukan berbagai hal

atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Misalkan,

para polisi, mobil polisi, penjual minum, tipe orang, dan sebagainya dalam suatu

kerumunan memiliki simbol yang bermakna khusus. Kedua, dasar interaksionisme

simbolik adalah makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi

sosial seorang dengan orang lain. Kebudayaan sebagai suatu sistem makna yang

dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefinisikan dalam

konteks orang yang berinteraksi. Ketiga, dari interaksionisme simbolik bahwa

makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang

digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dia hadapi.

Seorang polisi juga menggunakan kebudayaan untuk menginterpretasikan

situasi.36

35Suwardi Endraswara, “Interaksionisme Simbolik, Grounded Theory, & Cross Cultural Studies”, Metodologi Riset Budaya (Yogyakarta: UGM Press, 2012), 1. 36James P. Spradley, Metode Etnografi, terj. Misbah Zulfa Elizabeth (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), 7.

Page 20: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

52

Di samping tiga premis tersebut, Muhadjir menambahkan lagi tujuh

proposisi. Tujuh proposisi tersebut terkait dengan para tokoh-tokoh penemu

pendahulunya. Pertama, perilaku manusia itu mempunyai makna di balik yang

menggejala. Kedua, pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya ke dalam

interaksi sosial. Ketiga, komunitas manusia itu merupakan proses yang

berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga. Keempat,

pemaknaan berlaku menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan

tujuan, maksud, dan bukan berdasarkan mekanik. Kelima, konsep mental manusia

berkembang secara dialektik. Keenam, perilaku manusia itu wajar, konstruktif,

dan kreatif, bukan elementer-reaktif. Ketujuh, perlu menggunakan metode

introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap

makna.37

Demikian pula dalam penelitian tradisi perkawinan loro pangkon, peneliti

berupaya mengungkap makna yang ditangkap oleh masyarakat pendukung budaya

tersebut. Pertama, dalam setiap langkah, individu maupun kelompok melakukan

suatu perbuatan yang memiliki makna dibalik yang terungkap, begitu pula dalam

tradisi perkawinan loro pangkon, tindakan dan perilaku masyarakat budaya

tersebut dengan menggunakan berbagai media, benda-benda yang ada di alam,

kesemuanya memiliki makna.

Kedua, bahwa makna dari berbagai hal yang muncul ke permukaan

diakibatkan adanya interaksi sosial dengan orang lain atau sekelilingnya. Dalam

37Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), 184-185.

Page 21: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

53

tradisi perkawinan loro pangkon berbagai makna yang muncul, mulai dari

pemaknaan media boneka jago yang dipergunakannya, pernak-pernik yang

dipakai dalam upacara perkawinan, semua itu akibat adanya interaksi sosial

dengan orang lain atau lingkungan sekitarnya. Ketiga, makna yang sudah muncul

akan terus berkembang dan dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran sesuai

dengan yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dia

hadapi. Demikian pula ketika tradisi perkawinan loro pangkon dilaksanakan oleh

masyarakat pendukungnya, pemaknaan terhadap tradisi tersebut terus

disempurnakan sesuai dengan keadaan yang berkembang saat ini. Misalnya awal

mula dalam tradisi tersebut hanya memakai musik kebogiroan dalam menyambut

kedatangan mempelai putra, saat ini dapat dijumpai dengan memodifikasi dengan

ditambah syrakalan (shalawatan), hal ini bisa saja akan terus ada modifikasi-

modifikasi tertentu.

D. Akulturasi Budaya

Islam menjadi berkembang mulai abad VII sampai dewasa ini, terkait

dengan perkembangan wilayah maupun berbagai kawasan, antara budaya

masyarakat Indonesia dengan Islam mengalami beberapa perubahan dan

modifikasi. Terjadilah proses akulturasi, hubungan timbal balik antara Islam

dengan masyarakat setempat, terjalinlah komunikasi dan transaksi saling

menerima dan memberi. Menurut Koentjaraningrat,38 akulturasi adalah suatu

proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan

38Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), 202.

Page 22: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

54

tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan

sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima

dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya

kepribadian kebudayaan itu sendiri.

Berbagai ahli mengemukakan tentang teori proses akulturasi, di antaranya

Kroeber,39 yang mengajukan teori principle of integration atau prinsip integrasi

yang memandang dari sudut kebudayaan asli, dengan mengemukakan bahwa

suatu unsur kebudayaan asli sulit tergantikan apabila unsur tersebut telah

diintegrasikan dan diolah menjadi kesatuan. Misalnya penggunaan kembar

mayang oleh masyarakat Jawa yang pada zaman Hindu dikenal sebagai

kalpadruma (the tree of the dream) atau dikenal dengan nama pohon impian atau

kalpawreksa yaitu pohon yang menjaga atau merawat. Dalam istilah Jawa pohon

impian tersebut dikenal dengan kayon (gunungan). Kayon atau gunungan

melambangkan kehidupan, kalpataru yang bercabang delapan sebagai lambang

awal dan akhir. Oleh karena itu gunungan wayang juga membawakan lambang

konsep mitos Jawa; sangkan paraning dumadi.40 Menurut Kempers,41 dalam

kepercayaan masyarakat Jawa gunung dianggap keramat sebagai tempat

bersemayamnya roh leluhur yang telah meninggal. Di Jawa Timur tinggalan

arkeologi yang menunjukkan adanya hubungan antara bangunan suci dengan

39Lihat Koentjaraningrat, Metode-Metode Antropologi Dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Penerbitan Universitas, 1958), 449-450. 40Tim Penulis Sena Wangi, Ensiklopedi Wayang Indonesia, Jilid 2 (Jakarta: Sena Wangi, 1999), 611. 41A.J. Bernet Kempers, Ancient Indonesian Art (Cambridge: Harvard University Press, 1959), 65-67.

Page 23: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

55

gunung, tampak jelas. Di gunung Penanggungan banyak ditemukan bangunan suci

berbentuk teras berundak yang memanfaatkan kemiringan lereng atau gua-gua

pertapaan. Bangunan-bangunan suci tersebut berasal dari sekitar abad ke 10-11.

Beberapa bangunan suci di lereng gunung dan gunung itu sendiri erat kaitannya

dengan konsep pelepasan menuju alam kedewaan.

Kemudian R. K. Merton,42 mengajukan teori principle of function atau

prinsip fungsi sebagai prinsip terpenting, misalnya dapat dilihat dalam

kepercayaan animisme dan dinamisme di masyarakat Jawa. Mereka percaya

adanya benda-benda tertentu yang terdapat di alam, apakah berupa pohon,

matahari, keris, akik memiliki daya kekuatan magis yang dapat membantu

kehidupan manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat al-Qur’an bahwa

Tuhan menyuruh manusia mempelajari cosmos dan kekuatannya yang merupakan

kumpulan alam semesta yang menggambarkan adanya kesatuan di balik

penampilan yang beragam sehingga dapat dipergunakan sebaik-baiknya dalam

menyimpulkan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur. Untuk

memudahkan manusia menarik kesimpulan, maka al-Qur’an mengungkapkannya

dengan cara yang komunikatif dan dialogis. Perhatikan surat An Naml ayat 60

berikut.

42Lihat Koentjaraningrat, Metode-Metode Antropologi Dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Penerbitan Universitas, 1958), 449-450.

Page 24: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

56

“Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)? bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran).”43

Demikian pula penggunaan simbol berupa tanaman seperti pohon pisang

yang sudah berbuah yang diletakkan di sebelah kiri dan kanan pintu gerbang teras

atau terop rumah mempelai pengantin wanita dalam perkawinan. Penggunaan

simbol tanaman tentunya memiliki makna filosofi sebagaimana pohon pisang

yang memiliki banyak fungsi dapat memberikan kesejahteraan bagi kehidupan

manusia, diharapkan dalam perkawinan kedua mempelai dapat menghasilkan

keturunan dan akan terus merawat kehidupannya sebelum menghasilkan sesuatu

buah kehidupan atau anak keturunan (sambung tuwuh).

Bruner mengajukan teori principle of early learning,44 yakni unsur

kebudayaan yang lebih dahulu dipelajari akan sulit tergantikan oleh kebudayaan

asing. Kebudayaan yang terbentuk pertamakali akan menjadi pelajaran bagi

penganutnya dan akan menjadi kebiasaan untuk dikerjakan dalam kehidupan

43al-Qur’an, 27:60. Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Depag RI, 1999), 601. 44Lihat Koentjaraningrat, Metode-Metode Antropologi Dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Penerbitan Universitas, 1958), 449-450.

Page 25: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

57

mereka. Seperti hubungan biologis laki-laki dan perempuan dapat dipelajari oleh

manusia pada awalnya melalui kehidupan alam dengan melihat perjodohan

kehidupan sepasang binatang. Sejak zaman prasejarah hubungan laki-laki dan

perempuan merupakan hubungan yang sakral, melalui berbagai cara mereka

melakukannya dengan menyelenggaraakan upacara-upacara tertentu yang

sesungguhnya merupakan simbol-simbol kehidupan, seperti dalam upacara

pengantin Jawa menggunakan pecah telur atau disebut wiji dadi dan sebagainya.

Sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an surat Al Furqaan berikut.

“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”45

Selanjutnya hampir semua ahli mengemukakan principle of utility yang

mengemukakan bahwa unsur asli berupa keyakinan atau kepercayaan akan sulit

tergantikan, dan unsur baru akan mudah diterima apabila unsur-unsur itu memiliki

kegunaan, dapat diartikan antara unsur yang asli dan baru saling memanfaatkan.

Unsur kebudayaan lama yang tidak bertentangan dengan unsur budaya baru yang

datang akan terus dilestarikan secara nyata. Misalnya unsur budaya lama seperti

selamatan merupakan kelanjutan atau identik dengan sodaqoh dalam Islam (unsur

baru), budaya nyekar dalam masyarakat Jawa identik dengan ziarah kubur (Islam),

45al-Qur’an, 25:74. Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Depag RI, 1999), 569.

Page 26: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

58

kirab dalam perkawinan dianalogikan dengan walimah, penggunaan instrumen

flora seperti tebu, pisang dan sebagainya masih tetap dipertahankan dalam

masyarakat Jawa.

Terdapat pula teori principle of concreteness atau unsur-unsur yang

konkret lebih mudah hilang diganti dengan unsur asing.46 Teori principle of utility

ini, erat kaitannya dengan teori principle of concreteness, baik tradisi yang

terdapat dalam unsur-unsur perkawinan dari kebudayaan lama dan baru, keduanya

dapat difungsikan dan dapat diintegrasikan melalui personifikasi dalam siklus

daur kehidupan manusia. Misalnya penggunaan “kendi” dalam upacara kematian

dapat digantikan dengan barang baru yang sejenisnya misalnya “cerek”, yang

memiliki kegunaan yang hampir sama sebagai peralatan tempat air untuk minum,

makna filosofinya dalam kehidupan bahwa manusia hidup di dunia itu hanya

sementara untuk sejenak singgah minum air (sakdermo mampir ngombe), oleh

karena itu di dalam kehidupan manusia hendaknya berhati-hati dan menyiapkan

perbekalan yang cukup menuju kehidupan yang kekal abadi. Demikian pula

wayang, ditinjau dari teori principle of concreteness merupakan barang yang

kongkret. Wayang sesungguhnya memiliki sakralitas, dalam pertunjukan wayang

dapat dikatakan sebagai visualisasi dan personifikasi perjuangan nenek moyang,

perjuangan antara kebaikan dan keburukan, keadilan dan keangkaramurkaan.

Adanya kepercayaan sakralitas dan yang ghaib sebagaimana dalam pertunjukan

46Lihat Koentjaraningrat, Metode-Metode Antropologi Dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Penerbitan Universitas, 1958), 449-450.

Page 27: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

59

wayang merupakan salah satu bentuk simbolik yang dimanfaatkan dalam kegiatan

upacara perkawinan masyarakat Jawa.

Dalam proses akulturasi ada dua pendekatan mengenai bagaimana cara

yang ditempuh supaya nilai-nilai Islam dapat diserap menjadi bagian dari

kebudayaan Jawa, pertama melalui Islamisasi kultur. Pendekatan Islamisasi kultur

mengacu terhadap budaya Jawa diupayakan agar tampak bercorak Islam, baik

secara formal maupun secara substansial yang ditandai dengan penggunaan

istilah-istilah Islam, nama-nama Islam, pengambilan peran tokoh Islam pada

berbagai cerita lama, sampai kepada penerapan hukum-hukum, norma-norma

Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Kedua, melalui Jawanisasi Islam, yaitu

sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan nilai

Islam dalam budaya Jawa. Dengan kata lain, meskipun istilah dan nama Jawa

tetap dipakai, tetapi nilai yang dikandungnya adalah nilai Islam sehingga Islam

menjadi menjawa. Berbagai kenyataan menunjukkan bahwa produk-produk

budaya orang Jawa Islam cenderung mengarah kepada polarisasi Islam kejawaan

atau Jawa yang keislaman sehingga timbul istilah Jawa atau Islam kejawen.47

Setiap agama memiliki aspek fundamental yaitu aspek kepercayaan dan

memiliki keyakinan, terutama kepercayaan terhadap suatu yang sakral, yang suci

atau yang ghaib. Dalam agama Islam aspek fundamental terumuskan dalam

aqidah atau keimanan sehingga terdapatlah rukun iman yang harus dipercaya oleh

orang Islam. Kemudian dalam budaya Jawa pra Islam yang bersumberkan ajaran

47Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta:Gama Media, 2000),119.

Page 28: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

60

Hindu terdapat kepercayan adanya pulau dewata, terhadap kitab-kitab suci.

Selanjutnya terdapat keyakinan terhadap roh-roh jahat, lingkaran penderitaan

(samsara), hukum karma dan hidup hukum abadi (muksa). Dalam agama Budha

terdapat kepercayaan mengenai empat kebenaran abadi (kesunyatan), yakni dukha

(penderitaan), samudaya (sebuah penderitaan), nirodha (pemadam keinginan) dan

morga (jalan kelepasan). Pada agama primitif sebagian orang Jawa sebelum

kedatangan Hindu atau Budha terdapat kepercayaan animisme dan dinamisme.

Kepercayaan dari agama Hindu, Budha maupun animisme dan dinamisme

ini dalam proses pengembangan Islam terjadi interaksi dalam kepercayaan agama

Islam, meliputi aspek ketuhanan, dengan demikian prinsip ajaran Islam telah

tercampur dalam berbagai unsur kepercayaan Hindu, dan Budha. Contohnya

seperti sebutan Allah swt., orang kejawen biasa menyebutnya Gusti Allah.

Berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme, kepercayaan

mengesakan Allah itu sering menjadi tidak murni oleh karena tercampur dengan

penuhanan terhadap benda-benda yang dianggap keramat, baik benda mati

maupun benda hidup. Arti keramat di sini bukan berarti mulia terhormat, tetapi

memiliki daya magis, sesuatu yang sakral bersifat Ilahiyat. Dalam tradisi Jawa

terdapat berbagai jenis barang yang digunakan. Ada yang disebut azimat pusaka,

dalam bentuk tombak, keris, ikat kepala, cincin, batu, akik dan sebagainya.

Mistik kejawen sesungguhnya merupakan manisfestasi agama Jawa.

Agama Jawa adalah akumulasi praktik religi masyarakat Jawa. Dalam pandangan

Geertz, agama Jawa memiliki tiga variasi yaitu Jawa abangan, santri, dan priyayi.

Page 29: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

61

Dalam praktik religi tersebut sebagian orang meyakini terhadap pengaruh

sinkretik dengan agama lain, sedikitnya agama Hindu, Budha dan Islam.

Sebaliknya ada yang meyakini secara puritan bahwa mistik kejawen adalah milik

masyarakat Jawa yang ada sebelum pengaruh lain. Masing-masing asumsi

memiliki alasan yang masuk akal. Esensi agama Jawa adalah pemujaan pada

nenek moyang atau leluhur. Pemujaan tersebut diwujudkan melalui sikap mistik

dan selamatan. Meskipun secara lahiriyah mereka memuja para roh, esensinya

tetap terpusat pada Tuhan. Jadi, agama Jawa yang dilandasi sikap dan perilaku

mistik tetap tersentral kepada Tuhan.48

Wirid Hidayat Jati mengajarkan paham antara manusia dengan Tuhan.

Paham ini mengajarkan bahwa manusia berasal dari Tuhan, oleh karena itu

manusia harus bersatu kembali dengan Tuhan. Kesatuan kembali antara manusia

dengan Tuhan di dunia bisa dicapai dengan penghayatan mistik, seperti pada

umumnya dalam ajaran mistik. Akan tetapi, kesatuan yang sempurna antara

manusia dengan Tuhan menurut Wirid Hidayat Jati sesudah datangnya ajal atau

maut, istilah kawulo Gusti yang terdapat dalam Wirid Hiayat Jati kaitannya

dengan istilah ‘abdun dan rabbun’ (hamba dan Tuhan) dalam Islam.49

Kepercayaan terhadap makhluk jahat tidak saja pada agama Islam, tetapi

ada juga dalam agama Hindu maupun kepercayaan primitif dan tampaknya telah

saling mengisi. Namun setan, jin (Islam) dan raksa (Hindu) telah dikategorikan

sebagai jenis makhluk atau roh jahat penggoda manusia dan dapat menjelma

48Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen (Yogyakarta:Narasi, 2006),75. 49Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Rangga Warsita (Jakarta:UI-Press, 1998),278.

Page 30: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

62

seperti manusia atau hewan. Terdapat pula sejumlah makhluk halus, serta setan-

setan berkelamin pria dan bermuka buruk seperti setan dharat, setan mbisu, setan

mbelis, memedi, dan lain-lain. Adapun setan yang sejenis kelamin wanita seperti

wewe, kuntilanak, sundel bolong, demikian pula setan yang menyerupai anak

kecil atau kerdil adalah tuyul.

Menurut keyakinan orang Islam, orang yang sudah meninggal dunia

ruhnya tetap hidup dan tinggal sementara di alam kubur atau alam barzah, sebagai

alam antara sebelum memasuki akhirat tanpa kecuali, apakah orang tua ataupun

anak-anak. Menurut orang Jawa, arwah-arwah orang tua sebagai nenek moyang

yang telah meninggal dunia berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya, atau sebagai

arwah leluhur menetap di makam. Dari sinilah kemudian timbul upacara bersih

desa, termasuk membersihkan makam-makam disertai dengan kenduren maupun

sesaji, dengan maksud agar sang dhanyang akan selalu memberikan perlindungan,

di sisi lain atas dasar kepercayaan Islam bahwa orang yang meninggal dunia perlu

dikirimi do’a.

Ritual atau ritualistik adalah kegiatan yanng meliputi berbagai bentuk

ibadah sebagaimana yang terdapat dalam rukun Islam yaitu syahadat, sholat,

zakat, puasa, dan haji. Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya supaya

melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik di atas. Dalam ritual sholat dan puasa,

selain terdapat sholat wajib lima waktu dan puasa wajib di bulan Ramadhan,

terdapat pula sholat dan puasa sunnah. Intisari dari sholat adalah do’a yang

ditujukan kepada Allah SWT., sedangkan puasa adalah suatu bentuk pengendalian

nafsu dalam rangka penyucian rohani.

Page 31: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

63

Dalam do’a dan puasa mempunyai pengaruh yang sangat luas, mewarnai

berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa. Bagi orang Jawa, hidup ini penuh

dengan upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari

keadaannya dalam perut ibu, lahir, anak-anak, remaja, dewasa, sampai

kematiannya.

Dalam kepercayaan lama upacara dilakukan dengan mengadakan sesaji

atau semacam korban yang disajikan kepada daya-daya kekuatan ghaib tertentu

yang bertujuan supaya kehidupannya senantiasa dalam keadaan selamat. Setelah

Islam datang, secara luwes Islam memberikan warna baru dalam kepercayaan itu

dengan sebutan kenduren atau selamatan. Dalam upacara selamatan ini yang

pokok adalah yang dipimpin oleh kiai. Dalam selamatan ini terdapat seperangkat

makanan yang dihidangkan pada peserta selamatan, serta makanan yang dibawa

ke rumah seperti berkat.

Berkaitan dengan lingkaran hidup orang Jawa, Koentjaraningrat

mengemukakan bahwa jenis upacara yang dilakukan orang Jawa di antaranya,

pertama yaitu upacara tingkeban atau mitoni, upacara ini dilakukan pada saat

janin berusia 7 bulan dalam perut ibu. Dalam tradisi santri, pada upacara

tingkeban ini seperti dilakukan di daerah Bagelen dibacakan nyanyian berjanjen

dengan alat musik tamburin kecil. Kedua, upacara kelahiran, upacara ini

dilakukan pada saaat anak diberi nama dan pemotongan rambut pada bayi

berumur 7 hari atau sepasaran. Karena itu selamatan ini disebut juga selamatan

nyepasari. Ketiga, upacara sunatan, upacara ini dilakukan pada saat anak laki-laki

dikhitan. Namun pada usia berapa anak itu dikhitan, pada berbagai masyarakat

Page 32: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

64

berberbeda-beda. Keempat, upacara perkawinan, upacara ini dilakukan pada saat

muda-mudi akan memasuki jenjang berumah tangga. Selamatan yang dilakukan

berkaitan dengan upacara perkawinan sering dilaksanakan dalam beberapa tahap,

yakni pada tahap sebelum akad nikah, pada tahap akad nikah dan sesudah akad

nikah. Kelima, upacara kematian, upacara ini dilakukan pada saat persiapan

penguburan orang mati yang ditandai dengan memandikan, mengkafani,

mensholati dan pada akhirnya menguburkan.50

E. Pertunjukan Wayang, Historisitas, dan Maknanya

Masyarakat Jawa dalam beragama pada umumnya menganut agama yang

sesuai dengan agama yang dianut baik oleh orang tuanya maupun penguasa atau

raja. Menilik dari sejarah perkembangan kepercayaan agama orang Jawa, bahwa

kepercayaan mereka adalah penyembahan terhadap leluhur atau nenek moyang

mereka yang sudah meninggal. Pementasan atau pertunjukan wayang pada

mulanya merupakan simbol terhadap bayang-bayang dari arwah nenek moyang

yang sudah tiada. Sebelum bentuk dan wujud wayang purwa seperti sekarang ini,

pada awalnya pertunjukan wayang dimaksudkan bukan sebagai media hiburan.

Pertunjukan wayang awal mulanya lebih mengarah sebagai media ritual atau

upacara penyembahan terhadap para leluhur atau nenek moyang yang sudah

meninggal. Oleh karena itu sebelum pementasan wayang ditampilkan biasanya

didahului dengan sesajen-sesajen khusus untuk menghormati arwah para nenek

moyangnya. Seiring dengan perkembangan zaman pementasan wayang memiliki

50Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta:Gama Media, 2000), 119.

Page 33: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

65

lebih banyak fungsi, apakah sebagai media penyembahan terhadap leluhur

maupun ketika para wali untuk menyebarkan Islam sebagai media dakwah, dan

dapat pula dijadikan sebagai media hiburan.51 Jadi, pementasan wayang untuk saat

ini memiliki banyak fungsi tergantung dari sisi mana wayang itu dipentaskan,

bahkan dapat dijadikan sebagai media politik dan sebagainya.

Pertunjukan wayang purwa cerita Ramayana dan Mahabarata, di kalangan

masyarakat Jawa biasa disebut dengan istilah pakeliran. Pertunjukan wayang

purwa tersebut bentuknya tradisi, setidak-tidaknya sudah ada sejak jaman

Airlangga abat XI. Hal ini bisa dibuktikan dari prasasti yang ada:

“Hanonton ringgit manangis asekel muda hidepan, huwus wruh tuwin yan walulang unikir molah angucap, hatur neng wang tresnaning wisaya malaha tan wihikana, ri tat wan ya maya sahana hananing bawa siluman”.

“Orang melihat wayang menangis, dan tertawa, heran, kagum, meskipun sudah tahu bahwa yang dilihat itu hanyalah kulit dipahat berbentuk manusia bisa bergerak dan bicara. Yang melihat wayang demikian, seumpama orang bernafsu atas keduniawian, sehingga menjadikan diri lupa dan tidak tahu bahwa semua itu hanyalah bayangan yang keluarnya seperti siluman setan atau seperti sulapan belaka”.52

Jenis wayang dalam masyarakat Jawa sebenarnya sangat banyak, setidak-

tidaknya terdapat wayang purwa (kulit), menak, gedhog, madya, suluh, golek,

klitik, dan beber, tetapi wayang-wayang tersebut sekarang sudah tidak praktis

bahkan bisa dikatakan menghadapi kepunahan. Soetarno menjelaskan terhadap

punahnya wayang-wayang tersebut, selain wayang purwa ada beberapa alasan,

51Sri Mulyono, Wayang; Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya (Jakarta: BP Alda, 1975), 59. 52Lihat Soetarno, Pertunjukan Wayang dan Makna Simbolik (Surakarta: STSI Press, 2005), 30.

Page 34: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

66

karena cerita repertoarnya kurang menarik, susah dikembangkan hingga tidak lagi

sesuai dengan kehidupan masyarakat sekarang. Hal ini lain dengan cerita wayang

kulit purwa Ramayana dan Mahabarta, repertoarnya sangat kompleks, mudah

untuk dikembangkan sesuai dengan kehidupan masyarakat sekarang, dan nilai

yang terkandung cocok dengan falsafat masyarakat Jawa hingga menjadikan

wayang kulit purwa eksis sampai dengan sekarang ini.53

Epos Ramayana dan Mahabarata sebagai cerita yang disajikan dalam

pakeliran berasal dari India, tetapi wujud wayangnya merupakan salah satu unsur

budaya Indonesia asli, dalam hal ini Jawa.54 Para ahli yang menyatakan dari India

adalah Krom, selanjutnya bisa di lihat dalam Geschiedenis van Nederlands

Indie.55 Ahli yang menyatakan dari Cina adalah Gosling dalam bukunya De

Wayang Op Java Op Bali, sedang yang menyatakan dari Indonesia dalam hal ini

Jawa adalah Hazeu dan Kruyt.56 Bahkan lebih jelas lagi dikatakan oleh Zarkasi

Effendi bahwa wayang itu dari Jawa ciptaan para Wali (pernyataan tersebut hanya

untuk memberikan targhib atau semangat agar orang Islam Jawa mau

melestarikan budaya wayang) sebagai media dakwah.57

Pernyataan wayang dari Jawa ciptaan para wali seperti di katakan Zarkasi

Effendi tersebut, menurut hipotesis Sedyawati sesungguhnya merupakan mitos

53Lihat Soetarno dan kawan-kawan, Estetika Pedalangan(Surakarta: Institut Seni Indonesia Surakarta Bekerjasama dengan CV. Adji Surakarta, 2007), 50. 54Lihat, Koentjaraningrat, Metode-Metode Antropologi Dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat Dan Kebudayaan Di Indonesia (Jakarta: Penerbitan Universitas, 1958), 455. 55Lihat Soetarno, Pertunjukan Wayang dan Makna Simbolik (Surakarta: STSI Press, 2005), 34. 56Lihat Soetarno, Wayang Kulit Jawa (Surakarta: CV Cendrawasih, 1995), 5. 57Zarkasi Effendi, Unsur-Unsur Islam dalam Pewayangan (Yogyakarta: PT. Al-Ma’arif, 1978), 46.

Page 35: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

67

saja, artinya tidak didukung oleh fakta dan sejarah yang benar. Fakta dan sejarah

yang benar, wayang telah ada berabad-abad sebelum para wali. Keterangan lebih

lanjut, penguasa yang arif dulu pada zaman para wali memang sengaja membuat

pernyataan dalam bentuk spektrum “wayang ciptaan para wali” digunakan untuk

dakwah, selebihnya dibuat sedemikian rupa miring agar tidak bertentangan

dengan syariat dan berisi ajaran-ajaran agama Islam terutama kalimat laa ilaaha

illallaah (iman). Ajaran kalimat laa ilaaha illallaah ini terdapat dalam berbagai

cerita carangan seperti: Jamus Kalimasada, Petruk Dadi Ratu, dan Mustakaweni

Maling.58 Sedyawati selanjutnya menegaskan, bahwa pernyataan pendahulu

“wayang ciptaan para wali” tersebut sesungguhnya bukan dimaksudkan untuk

merusak sejarah, tetapi semata-mata untuk menyelamatkan wayang yang sudah di

ambang kepunahan di tengah-tengah masyarakat yang sedang bergerak menuju

perubahan keislaman. Dengan kebijakan budaya demikian, selanjutnya

diharapkan agar wayang dapat menjadi legitimasi bagi orang-orang Jawa hingga

sah atas perkembangannya di tengah-tengah alam ke-Islaman.59

Perkembangan wayang selanjutnya, sebagian masyarakat menyatakan

bahwa “wayang ciptaan para wali” itu diyakini atas kebenarannya bukan sebagai

mitos, tetapi sebagai sejarah faktual dengan mengajukan sejumlah bukti-bukti

yang ada seperti bonekanya dulu methok kemudian dibuat miring, Tokoh Dewa

58Edy Sedyawati, 1996 “Transformasi Budaya Jawa” (Makalah disampaikan dalam Konggres Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional), 10. 59Ibid., 11. Lihat pula Aminuddin Kasdi, Kepurbakalaan Sunan Giri; Sosok Akulturasi Kebudayaan Indonesia Asli, Hindu-Budha dan Islam Abad 15-16 (Surabaya: Unesa University Press, 2005), 43.

Page 36: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

68

dulu dikultuskan kemudian dibuat sejajar dengan manusia keturunan Nabi Adam,

lalu ada cerita senjata Jamus Kalimasada yang paling ampuh, yang sebelumnya

paling ampuh adalah senjata Pasupati, di samping itu terdapat pula cerita Petruk

Dadi Ratu, dan Mustakaweni Maling sebagaimana pendapat Sutiyono dari Bakdi

Sumanto.60 Dalam masyarakat terdapat tradisi lisan yang menyatakan bahwa Serat

Jamus Kalimasada adalah nama sebuah pusaka dalam dunia pewayangan yang

dimiliki oleh Prabu Puntadewa (alias Yudistira), pemimpin para Pandawa. Pusaka

ini berwujud kitab, dan merupakan benda yang sangat dikeramatkan dalam

kerajaan Amarta. Prabu Darmakusuma alias prabu Yudistira dari negara Amarta,

setelah semua saudaranya (Pandawa) meninggal, beliau mengembara ke segala

penjuru dunia. Beliau tidak dapat meninggal dunia selama beliau menggenggam

jimat pusaka “Jamus Kalimasada”, kemudian beliau mencari seseorang yang

dapat membaca dan menjelaskan makna jimat pusaka miliknya. Sampai akhirnya

beliau mengembara ke tanah Jawa. Di satu pihak, Sunan Kalijaga mengetahui dari

kejauhan, ada sinar putih menjulang tinggi ke angkasa. Karena tertarik ia mencari

pemilik atau sumber sinar putih putih tersebut. Akhirnya ditemukanlah sumber

sinar putih yang menjulang tinggi ke angkasa tersebut, yang berasal dari tubuh

Prabu Yudistira yang bertapa di salah satu tempat di selatan pulau Jawa. Maka,

terjadilah dialog antara keduanya, sehingga Prabu Yudistira meminta Sunan

Kalijaga untuk bisa menerangkan makna jimat pusaka Jamus Kalimasada. Setelah

dibaca ternyata, jimat ini adalah kalimat syahadat. Setelah dibaca oleh kanjeng 60Lihat, Muh. Mukti, “Wayang Kulit Purwa Lakon “Cupu Manik Astagina” Sajian Dalang Enthus Susmono Dalam Perspektif Etika Syeikh Maulana Ilyas: Relevansinya Terhadap Usaha Perbaikan Umat Dan Pelestarian Wayang Islam” (Disertasi UGM Yogyakarta, 2011), 2.

Page 37: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

69

Sunan dan Yudistira menirukannya, maka wafatlah Prabu Yudistira. Zarkasi

Effendi berpendapat terhadap hal itu, kemudian mengatakan, jika ada orang yang

berani mengatakan bahwa wayang bukan gubahan para wali tetapi ciptaan orang-

orang Hindu, Jamus Kalimasada asalnya bukan dari Jimat Kalimat Syahadat laa

ilaaha illallaah tetapi Jimat Sapulidi yang lima” dimungkinkan yang dimaksud

adalah Jimat Kalima usada seperti yang disampaikan Nartasabda dalam banyak

kaset pakelirannya, sungguh orang itu tidak tahu sejarah wayang.61

Wayang sebagai gubahan para wali itu mitos atau sejarah, yang perlu

ditegaskan adalah adanya keyakinan di kalangan masyarakat Jawa khususnya

yang beragama Islam secara mantap terhadap peran para wali dalam

menggunakan wayang untuk dakwah. Keyakinan tersebut kemudian dijadikan

sebagai rujukan untuk melestarikan wayang sekarang ini, hingga khususnya para

dalang muslim kemudian menggunakan wayang juga untuk dakwah sebagaimana

para wali seperti pendapat Hadi Wijoyo ketika memainkan lewat adegan

Tikbrasara lakon Dewaruci, dan Enthus Susmono ketika di selter Kepuh Harjo

lewat adegan Limbuk-Cangik lakon Semar mBangun Kayangan. Karena para

dalang muslim menggunakan wayang juga untuk dakwah sebagaimana dilakukan

para wali, maka banyak wayang berisi ajaran-ajaran agama Islam seperti yang

61Zarkasi Effendi, Unsur-Unsur Islam dalam Pewayangan (Yogyakarta: PT. Al-Ma’arif, 1978), 175.

Page 38: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

70

disajikan oleh Enthus Susmono lakon Ruwatan Rajamala, Syukron lakon Rabine

Irawan, dan Anom Suroto lakon Bangun Taman Maerakaca.62

Wayang yang disajikan oleh Enthus Susmono lakon Ruwatan Rajamala,

berisi ajaran agama Islam di antaranya tentang pentingnya: iman kepada Allah,

mengeluarkan shadaqah, menepati janji, menegakkan shalat, menjaga farji, dan

menggunakan pakaian sunnah, yang disampaikan dalam dialog antara Matswapati

dengan Kencakarupa.63 Demikian pula wayang yang disajikan oleh Haji Syukron

lakon Rabine Irawan, berisi ajaran agama Islam di antaranya tentang pentingnya

shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shalih disampaikan

dalam dialog Jayeng Sabda dan Jayeng Resmi. Wayang yang disajikan oleh Haji

Anom Soeroto lakon Bangun Taman Maerakaca, juga berisi ajaran agama Islam

di antarnya tentang pentingnya syukur kepada Allah disampaikan dalam dialog

antara Dursasana dengan Sengkuni dalam adegan Paseban Jawi.64

Wayang digunakan untuk dakwah dengan cara menyampaikan ajaran-

ajaran agama Islam seperti dilakukan oleh dalang-dalang muslim tersebut di atas,

dalam pandangan tabligh yakni orang-orang Islam yang mengambil usaha

dakwah, sangatlah tepat. Tepatnya karena pandangan atau pemikiran tabligh

terhadap apa pun sebuah tuntunan yang dalam hal ini berarti termasuk juga

wayang, filosofinya adalah dakwah (mengajak manusia taat kepada Allah), bukan

62Lihat, Muh. Mukti, “Wayang Kulit Purwa Lakon “Cupu Manik Astagina” Sajian Dalang Enthus Susmono Dalam Perspektif Etika Syeikh Maulana Ilyas: Relevansinya Terhadap Usaha Perbaikan Umat Dan Pelestarian Wayang Islam” (Disertasi—UGM, Yogyakarta, 2011), 5. 63Ibid. 64Ibid.

Page 39: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

71

ibadah (amal agama).65 Sebagai tuntunan, dalam hal ini wayang tersebut

filosofinya adalah dakwah, sebab dakwah itu dasarnya harus hikmah atau

bijaksana sesuai dengan kekuatan yang diajak, hingga syariatnya bergerak mulai

dari adanya larangan sampai dengan kebenaran sesuai dengan al-Qur’an dan

Hadits.

Wayang sebagai tuntunan yang digunakan untuk dakwah dengan cara

menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam seperti dilakukan oleh dalang-dalang

muslim di atas, kenyataannya bercampur dengan ajaran agama Hindu, Budha,

budaya atau kebatinan. Adanya cerita para dewa, laku yogabrata, brahmacari,

dan sebagainya, juga tempat-tempat ibadah seperti candi Saptarga, Saptarengga

dan sebagainya, jelas merupakan ajaran dari agama Hindu. Lakon Murwakala,

Sudamala, dan lakon-lakon ruwatan lain dengan segala penerapannya dalam

kehidupan masyarakat, bahkan bisa dikatakan sebagai ajaran agama Hindu yang

sempurna sesuai dengan ajaran yang ada. Kunjara Karna yang dilakukan oleh

dalang Ki Sutrisna adalah sebuah lakon versi ajaran agama Budha di dalamnya

bisa dirasakan secara langsung, karena setelah Kunjarakarna bisa diruwat oleh

Budha Wairucana kemudian masuk agama Budha. Bahkan dapat dikatakan

wayang mengandung semua ajaran agama, tetapi tersirat tidak mlaha dan tidak

ngguroni (tidak vulgar dan tidak menggurui).66

65Lihat Zakariyya, Fadhilah Amal (diterjemahkan oleh Supriyanto Abdullah): (Yogyakarta: Ash-shaf, 2000). 66Lihat, Muh. Mukti, “Wayang Kulit Purwa Lakon “Cupu Manik Astagina” Sajian Dalang Enthus Susmono Dalam Perspektif Etika Syeikh Maulana Ilyas: Relevansinya Terhadap Usaha Perbaikan Umat Dan Pelestarian Wayang Islam” (Disertasi UGM, Yogyakarta, 2011), 4.

Page 40: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

72

Ajaran agama Hindu, Budha, Islam yang terdapat dalam pertunjukan

wayang seperti telah disebutkan itulah kemudian menjadi saling berbenturan,

bahkan karena dalam perjalannannya wayang ternyata tidak bisa melepaskan diri

dari ajaran-ajaran agamanya yang sangat kompleks tersebut untuk menjadi ajaran

agama secara tunggal, maka dalam pertunjukannya kemudian wayang kulit tidak

menyampaikan ajaran agama Islam, Hindu, atau Budha, tetapi secara samar-samar

wayang sebagai ajaran sinkretis.

Pergumulan dari ketiga ajaran agama Hindu, Budha, dan Islam yang tidak

bisa dipisah-pisahkan itulah, kemudian menjadikan wayang sebagai tuntunan

budaya atau kebatinan yang memang sumbernya dari ketiga ajaran agama

tersebut.67 Apalagi mulai dari orde lama, orde baru sampai dengan sekarang ini

dengan undang-undangnya (pasal 29 UUD 45) (lihat UUD 1945, edisi terbaru,

2009-2014) yang secara tidak sengaja sekan-akan telah memberi peluang atas

disahkannya kebatinan sebagai salah satu alternatif dari keyakinan bangsa, maka

wayang sebagai tuntunan atau ajaran kebatinan secara tidak langsung semakin

diakui di tengah-tengah masyarakat pendukung budaya Jawa.

Menurut Suminto sehubungan dengan adanya ajaran kebatinan yang

terdapat dalam wayang tersebut mengatakan: “agama yang lebih cocok untuk

orang-orang Jawa memang sebenarnya wayang, Nabinya Semar”. Maksudnya

wayang secara keseluruhan nilai-nilai yang ada merupakan gambaran dari

manifestasi kekuasaan dan sifat Tuhan, sedang Semar menjadi panutan atau

67As-Salawi Abdul Karim, Titik Persimpangan Tasawuf dan Kebatinan (Pekalongan: Bahagia Batang, 1986), 96.

Page 41: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

73

tuntunan bagi setiap orang yang bercita-cita mistik untuk mewujudkan ajaran

“sepi ing pamrih rame ing gawe”, dan memayu hayuning bawana”, untuk menuju

pada manunggaling kawula lan Gusti.68

Kenyataan wayang sekarang ini tersebut, setidak-tidaknya ada empat

ajaran yang terdapat di dalamnya, yakni Hindu, Budha, Islam, dan kebatinan. Ke

empat ajaran tersebut, kadang menyatu kadang terpisah. Menyatu, maksudnya ada

ajaran yang bisa diterima oleh semua agama baik Hindu, Budha, Islam, maupun

kebatinan, terpisah maksdunya hanya bisa diterima oleh salah satu agama saja.

Seperti wayang gambar miring misalnya, bisa diterima oleh semua agama paling

tidak Hindu, dan Islam, tetapi pada penyebutan “hong ilaheng awignam mastu

namassisidam” sebagai do’a hanya bisa diterima oleh agama Hindu saja, atau

tidak bisa diterima oleh agama Islam, karena akan termasuk tasabuh atau meniru

kaum Hindu.

Wayang purwa Jawa yang semula Hindu kemudian dijadikan sedemikian

rupa seni Islami yang setengah-setengah tidak secara keseluruhan, hanya ruhnya

saja, itulah mungkin akibat dari tidak adanya keinginanan orang-orang Islam

untuk menggerus budaya yang tengah dihayati dan dirawat oleh bangsa Indonesia,

karena memang mereka datang bukan sebagai imperialis budaya.69 Akulturasi

atau campuran dari berbagai ajaran agama yang terdapat dalam pertunjukan

wayang purwa tersebut, akibatnya menimbulkan perbedaan pendapat di antara 68Lihat, Muh. Mukti, “Wayang Kulit Purwa Lakon “Cupu Manik Astagina” Sajian Dalang Enthus Susmono Dalam Perspektif Etika Syeikh Maulana Ilyas: Relevansinya Terhadap Usaha Perbaikan Umat Dan Pelestarian Wayang Islam” (Disertasi--UGM, Yogyakarta, 2011), 4. 69Irawanto, 1987, Pluralitas Budaya, Potret Sebuah Masjid di Desa (Makalah disajikan dalam rangka Seminar Budaya Universitas Gadjahmada Yogyakarta).

Page 42: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

74

umat muslim. Salah satu ayat al-Qur’an yang dijadikan landasan untuk menolak

pertunjukan wayang purwa sebagai media dakwah seperti dalam Surat An Nahl

ayat 125 menyatakan:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”70

Ajaran wayang purwa yang dilihat dengan dasar Al-Qur’an itulah

kemudian mengantarkan sampai pada hukum berbeda, ada yang memperbolehkan,

ada yang tidak. Mereka yang memperbolehkan karena wayang purwa

mengandung nilai-nilai ajaran agama Islam yang sangat fundamental, yang dahulu

juga dilakukan oleh para wali untuk menyebarkan agama Islam, sedang mereka

yang tidak memperbolehkan, karena bagaimanapun wayang, ajaranya tidak murni

atau campur baur dengan agama lain. Ada suatu kelompok agama di Indonesia

yang memiliki banyak pengikut, dengan keras menolak atas sikapnya terhadap

wayang, yakni takhayul (percaya kepada barang gaib yang tidak di ajarkan dalam

agama), bid’ah (melakukan ibadah yang tidak ada tuntunannya dalam agama),

khurafat (percaya pada kekuatan suatu benda), bahkan musrik (mensekutukan

70al-Qur’an, 16: 125, Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1999), 421

Page 43: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

75

Tuhan) hingga harus diberantas sesuai dengan ideologinya TBC: takhayul, bid’ah

dan khurafat yang harus dienyahkan selama ini.71 Lepas dari perbedaan pendapat

atau khilafiyah para alim ulama terhadap hukum wayang tersebut, yang jelas

sampai dengan sekarang wayang kulit purwa masih tetap dilestarikan, dan tanda-

tanda digunakannya untuk dakwah berisi ajaran-ajaran agama Islam masih

dilakukan.

Berbagai lakon dalam pertunjukan wayang kulit memiliki makna simbolik

misalnya untuk do’a kelahiran yaitu lakon lahirnya Gatutkaca, lahirnya Arjuna,

dan lain-lain. Untuk kepentingan perkawinan dapat ditampilkan melalui

pertunjukan dengan lakon rabine atau perkawinan Arjuna, perkawinan Krisna,

dan perkawinan Bima. Tidak akan ada wayang dengan lakon “patine Gatutkaca”

misalnya ditampilkan dalam acara perkawinan. Dengan demikian lakon atau tema

yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang tentunya disesuaikan dengan

keperluan yang ada.

F. Konsep Budaya Jawa

Dalam studi budaya dikenal beberapa istilah menurut para ahli, sehingga

untuk memahami pengertian budaya dapat menyebabkan pemahaman yang

berbeda-beda antara satu orang dengan yang lainnya. Istilah-istilah tersebut antara

lain; budaya, kebudayaan (culture), peradaban (civilization), dan warisan budaya.

71Lihat, Sutiono “Puritan Versus Sinkretisme di Trucuk Klaten Jawa Tengah” (Disertasi-- Universitas Airlangga, Surabaya, 2009).

Page 44: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

76

Untuk memperjelas istilah-istilah tersebut, penulis memaparkan terlebih dahulu

pengertian-pengertian tersebut agar memperjelas kajian ini, mulai dari pengertian

budaya secara bahasa dan secara istilah para ahli budaya. Berikut ini penulis

memaparkan istilah-istilah di atas agar dapat memberikan kejelasan makna

tentang penggunaan istilah-istilah yang dimaksudkan.

Secara bahasa kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayyah,

yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”, sehingga

kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”.72

Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia, budaya berarti pikiran, atau akal

budi, sedangkan kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal

budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian, adat, dan lain-lain.73 Oleh karena

itu budaya secara harfiyah berarti hal-hal yang berkaitan dengan fikiran dan hasil

dari tenaga fikiran tersebut.74 Terdapat para ahli lain mengkaji kata budaya

sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi-daya, yang berarti “daya dan

budi”. Karena itu mereka membedakan “budaya” dan “kebudayaan”, yaitu

“budaya” adalah “daya dan budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Namun

dalam istilah “antropologi budaya” perbedaan itu ditiadakan. Kata “budaya”

hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari “kebudayaan” dengan arti yang

sama.75

72Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 146. 73Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), 243. 74Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu (Jakarta: Pustaka Antara, 1963), 49. Lihat juga Khadziq, Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta: Teras, 2009), 28. 75Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 146.

Page 45: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

77

Istilah culture adalah kata asing yang memiliki arti sama dengan

“kebudayaan”. Kata culture berasal dari kata Latin colore yang berarti “mengolah,

mengerjakan,” terutama mengolah tanah atau bertani. Berangkat dari arti tersebut

berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk

mengolah tanah (pertanian) dan mengubah alam.”76

Demikian pula kata kebudayaan sering disetarakan atau berdekatan dengan

kata peradaban. Padanan kata peradaban dalam bahasa Inggris adalah civilization

yang berakar kata civic, artinya yang berhubungan dengan hak dan kewajiban

warga negara. Oleh karena itu civilisasi berarti menjadikan seorang warga negara

hidup lebih baik, teratur, tertib, sopan dan berkemajuan. Ciri-ciri masyarakat

seperti itu adalah masyarakat yang beradab. Hal ini sesuai dengan asal kata

peradaban, yaitu (adab: Arab) yang berarti sopan santun.77

Penjelasan lain mengenai kata peradaban ada yang mengacu pada

masyarakat klasik. Peradaban (civilation), sebuah kata turunan dari kata bahasa

Latin civis, adalah sebuah istilah yang menggambarkan sebuah keadaan di mana

manusia menjadi bagian dari sebuah kolektivitas yang mewujudkan kualitas-

kualitas tertentu. Betapapun semua kualitas itu dipilihnya sendiri, yang

membedakan kolektivitas itu dari ‘massa’ atau keadaan keberadaan (state of

being) yang lebih rendah yang biasa dikaitkan dengan keadaan manusia-manusia

‘barbar’. Konsep semacam ini adalah pengertian Yunani dan Romawi Kuno untuk

76Ibid., 146. 77Khadziq, Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta: Teras, 2009), 34.

Page 46: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

78

mengidentifikasi entitas bangsa (nation) dan negara (state).78 Sedangkan makna

peradaban secara leksikal menurut kamus Bahasa Indonesia adalah kecerdasan

lahir batin, dan tingkat kehidupan yang lebih maju, baik secara moral maupun

material.79 Koenjaraningrat menegaskan bahwa peradaban biasa dipakai untuk

menyebut bagian dan unsur dari kebudayaan yang halus, maju, dan indah,

misalnya kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan-santun pergaulan, kepandaian

menulis, organisasi kenegaraan dan sebagainya.80

Beberapa ahli mendefinisikan tentang kebudayaan diantaranya Sir Edward

Taylor bahwa kebudayaan adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan,

keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan

kebiasaan yang lain yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat.81

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikemukakan bahwa kebudayaan adalah

segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota

suatu masyarakat.

Hal tersebut dipertegas oleh pendapat Soekanto yang menyatakan bahwa

budaya terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang

normatif, yang mencakup segala cara atau pola-pola berfikir, merasakan dan

78Chris Jenks, Culture Studi Kebudayaan, terj. Erika Setyawati (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 3. 79Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), 27. 80Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 146. 81Harsojo, Pengantar Antropologi (Bandung: Binacipta, 1988), 92. Lihat pula Paul B Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi (Jakarta: Erlangga, 1996), 58. Lihat juga Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), 172.

Page 47: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

79

bertindak.82 Menurut Ki Hadjar Dewantara bahwa budaya berarti buah budi

manusia hasil perjuangan terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam

yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi bagaimana

rintangan dan kesukaran dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai

keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.83

Di sisi lain, Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan adalah

keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan

masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.84 Definisi tersebut

menegaskan bahwa kebudayaan mensyaratkan terjadinya proses belajar untuk

mampu memunculkan ide atau gagasan dan karya yang selanjutnya menjadi

kebiasaan. Pembiasaan yang dilakukan melalui proses belajar itu berlangsung

secara terus menerus dari satu generasi kepada generasi berikutnya.

Koenjaraningrat menambahkan bahwa hampir seluruh tindakan manusia

adalah “kebudayaan” karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan

masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya beberapa

tindakan naluri, beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau

kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tindakan manusia yang merupakan

82Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), 173. 83Eko A. Meinarno, dkk., Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), 90. Ki Hadjar Dewantara menjelaskan bahwa budaya atau kebudayaan adalah buah budi manusia yang berasal dari perkataan cultura, asal bahasa Latin colore berarti, memelihara, memajukan dan, memuja-muja. Arti kata budi pada pokoknya terdiri dari tiga kekuatan jiwa manusia yakni, pikiran, rasa dan, kemauan (cipta, rasa, karsa). Dengan kata lain, kebudayaan adalah hasil perjuangan manusia dalam melawan segala kekuatan alam dan pengaruh-pengaruh zaman yang dirintangi kemajuannya, kemajuan ke arah hidup yang selamat dan bahagia. Perlawanan yang terus menerus ada antara hidup manusia dengan alamnya dan zamannya atau masyarakatnya. Lihat Ki Hadjar Dewantara, Karya KHD Bagian IIA : Kebudayaan(Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1967), 10. 84Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 145.

Page 48: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

80

kemampuan naluri yang terbawa dalam gen bersama kelahirannya (seperti makan,

minum, atau, berjalan dengan kedua kakinya), juga dirombak olehnya menjadi

tindakan kebudayaan.85 Definisi yang menganggap bahwa “kebudayaan” dan

“tindakan kebudayaan” itu adalah segala tindakan yang harus dibiasakan oleh

manusia dengan belajar (learned behavior), juga diajukan oleh beberapa ahli

antropologi terkenal seperti C. Wissler, C. Kluckhohn, A. Davis, dan A. Hoebel.86

James Spradley nampaknya hampir sependapat dengan Koentjaraningrat.

Ia mengatakan budaya merupakan sistem pengetahuan yang diperoleh manusia

melalui proses belajar, yang kemudian mereka gunakan untuk

menginterpretasikan dunia sekelilingnya, sekaligus untuk menyusun strategi

perilaku dalam menghadapi dunia sekitar.87 Sementara itu, dengan mempelajari

beberapa rumusan kebudayaan yang disampaikan para ahli, Harsojo sampai pada

kesimpulan bahwa kebudayaan meliputi seluruh kelakuan dan hasil kelakuan

manusia, yang teratur oleh tata kelakuan, yang harus didapatkannya dengan

belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.88

Dari berbagai pendapat para ahli tentang rumusan kebudayaan, sehingga

dapat dijadikan rujukan bahwa kebudayaan dapat digunakan untuk memahami

agama yang terdapat pada tataran empirs atau agama yang tampil dalam bentuk

formal yang menggejala dalam masyarakat. Sebab pengamalan agama yang

85Ibid., 145. 86Lihat Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 145. Lihat pula A. Hoebel, Man in the Primitive World. An Introduction to Anthropology (New York: Mc Graw Hill, 1958), 152-153. 87James P. Spradley, Metode Etnografi, terj. Misbah Zulfa Elizabeth (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), 6. 88Harsojo, Pengantar Antropologi (Bandung: Binacipta, 1988), 93.

Page 49: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

81

terdapat di masyarakat tersebut sudah melewati proses penalaran, yaitu penalaran

atas sumber agama (wahyu), dan kitab-kitag fiqh. Dengan pendekatan

kebudayaan seseorang dapat memilah-milah antara ajaran agama yang

sesungguhnya (murni wahyu Tuhan/ Al –Qur’an) dengan praktik keagamaan yang

sudah bercampur dengan kebudayaan masyarakat setempat.89

Van Peursen pernah menjelaskan tentang hakekat kebudayaan,

sebenarnya sama dengan pertanyaan mengenai hakekat manusia, jika ditulis

dalam buku tidak akan ada habis-habisnya. Kebudayaan pada dasarnya

merupakan endapan dari kegiatan dan karya manusia.90 Geertz menjelaskan pula,

kebudayaan adalah susunan dinamis dari ide-ide dan aktivitas-aktivitas yang

saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain secara terus

menerus.91

Kaitannya pemahaman tentang budaya tersebut dengan budaya Jawa,

menurut Gunawan S, para ahli kebudayaan, baik dari luar Indonesia maupun yang

ada di dalam negeri,92 pada prinsipnya mereka memiliki kesamaan dalam

memandang central concepts (intisari konsep) nilai-nilai budaya Jawa “yang

diidealkan” atau “budaya Jawa yang dipikirkan” khususnya untuk daerah Solo dan

89Abuddin Nata, Metodologi Study Islam (Jakarta,Raja Grafindo, 2008), 49. 90C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan,terj. Dick Hartoko (Yogyakarta: Kanisius, 1976),9. 91Clifford Geertz,”The Impact of the Concept of Culture on the Concept of Man”, dalam John R. Platt (ed.), New Views of the Nature of Man (Chicago: The University of Chicago Press, 1965),93-95. 92Gunawan S menyebutkan beberapa ahli dari luar Indonesia seperti, Niels Mulder, Clifford Geertz, Ben Anderson, William Liddle, maupun yang ada di dalam negeri seperti Franz Magnis Suseno (dia juga berasal dari Jerman), Mochtar Lubis, Koentjaraningrat, sampai dengan Sri Sultan Hamengkubuwana X. Gunawan Sumodiningrat, “Budaya Jawa dan Integrasi Nasional”, dalam: Leila Retna Kumala (Ket. Pan.), Keraton Surakarta dan Perubahan Masyarakat, Membumikan Nilai-nilai Tradisional (Surakarta: Team Simposium Nasional, 2003), 8.

Page 50: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

82

Yogyakarta. Kesamaan pandangannya bisa ditarik sebagai central concepts nilai-

nilai budaya Jawa pada umumnya yang terdiri dari tiga hal.

1. Budaya Jawa mendasarkan diri kepada “harmonis”.

Biasanya disebutkan bahwa budaya Jawa93 adalah senantiasa

menghindari konflik karena menurut idealnya bahwa dunia ini harus ditata

secara harmonis, antara jagad cilik (jiwa, pikiran, hati nurani manusia)

maupun jagad gede (komunitas, masyarakat). Berbagai cara untuk

menjaga atau menuju keharmonisan, terutama dengan sikap toleransi.94

Budaya Jawa termasuk budaya yang paling memberi tempat bagi

perbedaan, dan menerima perbedaan sebagai kekayaan yang harus dipupuk

bersama.

Selain itu, karakteristik pandangan yang harmonis dimaksudkan

agar dapat menciptakan dan menjaga kesesuaian atau keselarasan

hubungan antara manusia dengan sesama manusia, masyarakat95 dengan

93Bagi orang Jawa, budaya bukanlah suatu pengertian antropologi yang kabur. Budaya mengandung makna menjadi beradab, dengan kata lain bijaksana: menyadari diri dan orang lain. Agar berbudaya berarti harus “lulus” dari durung Jawa (belum Jawa) menuju wis Jawa (sudah Jawa). Lihat,Niels Mulder,Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, terj. Noor Cholis, (Yogyakarta : LkiS, 2001), 96. 94Toleransi dalam bahasa Inggris: tolerance, dari bahasa Latin: tolerare (tahan, bersabar). Toleransi adalah sikap seseorang yang bersabar terhadap keyakinan filosofis dan moral orang lain yang dianggap berbeda, dapat disanggah, atau bahkan keliru. Dengan sikap itu ia juga tidak mencoba memberangus ungkapan-ungkapan yang syah dari keyakinan-keyakinan orang lain tersebut. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2000), 1111. 95Dalam hubungannya antara manusia dengan masyarakat, Niels Mulder memahami pandangan Jawa mengenai “filosofi sosial: kesatuan dan harmoni” ideal mistik tentang kesatuan dan harmoni antara manusia dengan “Tuhan” hadir sebagai model bagi hubungan antara manusia dengan masyarakat. Upaya mencapai keselarasan dan pemeliharaan ketertiban adalah anasir yang menonjol. Gagasan kesatuan menyiratkan keteraturan. Hasrat, ambisi, dan nafsu pribadi dianggap mengancam harmoni, sampai-sampai timbul pemikiran bahwa “berkorban demi harmoni sosial akan mengantarkan

Page 51: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

83

alam. Ketiganya merupakan satu sistem yang disebutkan “pandangan

dunia Jawa”. Tolok ukur arti pandangan dunia bagi orang Jawa adalah

nilai pragmatisnya agar mencapai suatu keadaan psikis tertentu:

ketenangan, ketentraman dan, keseimbangan batin. Karenanya, maksud

pandangan dunia Jawa ini tidak terbatas bagi agama-agama formal dan

mitos, melainkan seperti dimaksud istilah kejawen.96

Niels Mulder menjelaskan, kejawen merupakan suatu cap

deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa atau sebagai kategori yang

khas Jawa.97 Kejawen bukanlah kategori keagamaan (religius), namun ia

lebih menunjuk pada sebuah etika dan gaya hidup yang diilhami oleh

pemikiran Jawa. Kejawen pada dasarnya merupakan “suatu sikap khas”

terhadap kehidupan sebagai sikap mental untuk mengatasi perbedaan

agama.98 Sikap mental kejawen antara lain condong pada “sinkretisme dan

toleransi”,99 merupakan dasar sikap baik yang dapat menciptakan sikap

hormat terhadap berbagai ungkapan religius (agama formal) mewujudkan

pada pahala tertinggi”. Seseorang lebih baik mengalah kepada masyarakat dari pada mencoba memaksakan kehendaknya. Niels Mulder, Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, terj. Noor Cholis, (Yogyakarta: LKiS, 2001), 96. 96Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa,(Jakarta: Gramedia, 2001), 82. 97Niels Mulder, Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java, Cultural Persistence and Change, (Singapore : Singapore University Press, 1978), 17. 98Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa, (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), 17. 99Sinkretisme adalah penyatuan atau upaya penyatuan ideologi-ideologi yang bertentangan ke dalam suatu kesatuan pikiran dan atau ke dalam suatu hubungan sosial yang harmonis, saling kerja sama. Toleransi adalah sikap seseorang yang bersabar terhadap keyakinan-keyakinan filosofis dan moral orang lain yang dianggap berbeda, dapat disanggah, atau bahkan keliru maka toleransi lebih sebagai sikap hormat terhadap adanya keanekaragaman ideologi itu dan terhadap martabat manusia yang bebas. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia,2000), 1012 dan 111.

Page 52: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

84

kesatuan hidup Jawa.100 Para pengkaji luar negeri dan orang-orang Jawa

yang terdidik semakin bersepaham akan sebutan sinkretisme dan

meresapnya sikap toleransi bagi masyarakat Jawa ini.101

Menurut Niels Mulder, sikap sinkretis dan toleran kejawen ini, di

satu pihak merupakan produk dari penundukan kerajaan-kerajaan Jawa

oleh kongsi dagang Belanda (VOC), dan di lain pihak sebagai hasil dari

pertemuan kolonial antara orang Jawa dan Belanda. Akibat adanya

pencampuradukan dan gesekan-gesekan dari berbagai macam sosial

budaya, nilai atau ideologi tersebut, orang Jawa sebaiknya merasa wajib

memikirkan kembali jati dirinya sebagai sebuah identitas budaya Jawa

yang sesuai pada masanya.102

Menurut Anderson, orang Jawa memilki cara mengungkapkan

sikapnya yang sinkretis dan toleran yang sebenarnya, maupun simbol

penting sebagai acuan identifikasi pemikiran tentang cara hidupnya. Salah

satu caranya, seperti secara mendalam yang diungkapkan melalui mitologi

dalam pementasan wayang.103 Mencermati pendapat Anderson, searah

dengan apa yang dilakukan masyarakat muslim Mojokerto, salah satu yang

mereka lakukan adalah melalui tradisi perkawinan loro pangkon, mereka

yang memiliki hajat (tuan rumah) tidak ketinggalan pula dengan 100Niels Mulder, Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, terj. Noor Cholis, (Yogyakarta: LKiS, 2001), 10. 101Benedict R.O’G. Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, terj. Revianto B.S., (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), 2. 102Niels Mulder, Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, terj. Noor Cholis (Yogyakarta: LKiS, 2001), 11. 103Lihat, Franz Magnis Suseno, Etika Jawa dalam Tantangan (Yogyakarta : Kanisius, 1983), 56.

Page 53: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

85

memberikan hiburan lewat pementasan wayang. Menurut Soemarsaid

Moertono, wayang104 adalah cermin kehidupan orang Jawa. Lakon wayang

selain melukiskan suatu kehidupan kenegaraan yang diidamkan, juga

kebijaksanaan dan kebiasaannya.105

Menurut S. Margana, dalam Tripama salah satu karya sastra Sri

Mangkunegara IV, dikisahkan tiga contoh perjuangan dan pengabdian

yang dilakukan oleh tiga tokoh dalam wayang yang terkenal dan sangat

digemari oleh masyarakat Jawa pada umumnya.106 Menurut Suseno,

sumber dasar tiga kisah itu berasal dari India.107 Pertama, paparan yang

diambil dari kisah perjuangan Sumantri, ketika nyuwita atau ngenger

(mengabdi) kepada raja Prabu Arjuna Sasrabahu di kerajaan Mahespati.

Kisah tersebut sebagai pendahuluan kisah kepahlawanan dalam 104Secara etimologi wayang bervariasi dengan kata “bayang” berarti “bayang-bayang” atau “bayangan”, yang memiliki nuansa menerawang, samar-samar, atau remang-remang; dalam arti harfiah wayang merupakan bayang-bayang yang dihasilkan oleh “boneka-boneka wayang” di dalam teatrikalnya. Boneka-boneka wayang mendapat cahaya dari lampu minyak (blencong) kemudian menimbulkan bayangan, ditangkaplah bayangan itu pada layar (kelir), dari balik layar tampaklah bayangan; bayangan ini disebut wayang;Wayang berasal dari kata “hyang”, berarti “dewa”, “roh”, atau “sukma”. Partikel wa pada kata wayang tidak memiliki arti, seperti halnya kata wahiri yang berarti (h) iri; ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa wayang merupakan perkembangan dari sebuah upacara pemujaan kepada roh nenek moyang/ leluhur bangsa Indonesia pada masa lampau (prasejarah). Pemujaan kepada para leluhur. Di samping itu makna secara filosofis, wayang merupakan bayangan, gambaran atau lukisan mengenai kehidupan alam semesta. Di dalam wayang digambarkan bukan hanya mengenai manusia, namun kehidupan manusia dalam kaitannya dengan manusia lain, alam, dan Tuhan. Alam semesta merupakan satu kesatuan yang serasi, tidak lepas satu dengan yang lain dan senantiasa berhubungan. Unsur yang satu dengan yang lain di dalam alam semesta berusaha keras ke arah keseimbangan. Kalau salah satu goncang maka goncanglah keseluruhan alam sebagai suatu keutuhan (sistem kesejagadan). Lihat Darmoko, dkk., Pedoman Pewayangan Berperspektif Perlindungan Saksi dan Korban (Jakarta: LPSK, 2010), 10-11. 105Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau (Jakarta : YOI, 1985), 13. 106S. Margana, Pujangga Jawa dan Bayang Bayang Kolonial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 234.. 107Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 160.

Page 54: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

86

Ramayana. Berkat keluhuran budi atau keutamaan dan keberhasilannya

dalam menjalankan berbagai tugas dari rajanya dia diangkat sebagai

pejabat tertinggi setelah raja yaitu, patih dan bernama Patih Suwanda.

Kedua, paparan dari kisah kepahlawanan Kumbakarno adalah seorang

kesatria raksasa dari kerajaan Alengka, sebagai kisah dalam Ramayana.

Inti motivasi kepahlawanannya bukan membela raja Rahwana yang

terkenal berwatak angkara murka, melainkan berdasarkan kesadaran budi

luhurnya atau sifat keutamaannya sebagai kesatria berkewajiban menjaga

dan membela negera Alengka.

Ketiga, paparan kisah dalam Mahabharata tentang kepahlawanan

Adipati Karno dari pihak Kurawa yang gugur melawan Arjuna dari

Pandawa. Adipati Karno sebenarnya kakak seibu lain ayah dengan Ajuna.

Adipati Karno nyuwita (mengabdi) kepada Prabu Suyudana (raja Kurawa)

diberi kerajaan Ngawangga maka ia merasa berhutang budi padanya.

Motivasi kepahlawanannya di pihak Kurawa demi membalas budi itulah

yang memberikan nilai dirinya sebagai orang yang utama atau berbudi

luhur.108

Harmanto Bratasiswara menjelaskan asal-usul tiga tokoh tersebut

dalam “Paparan Ringkas Tripama Piwulang Budi Luhur”. Pertama, tokoh

Sumantri putra Resi Suwandagni di desa Jatisarana.109 Kedua,

108Ibid., 162. 109Harmanto Bratasiswara (Kabid. Kebudayaan dan Pendidikan Himpunan Kerabat Mangkunegaran Suryasumirat (Kabid. KPHKMS), Paparan Ringkas Tripama Piwulang Budi

Page 55: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

87

Kumbakarna adalah putra kedua dari empat bersaudara buah perkawinan

antara begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi di kerajaan Alengka.110

Ketiga, Adipati Karno dilahirkan melalui perkawinan gaib antara Kunti

dengan Bathara Surya (Dewa Matahari). Karenanya, dia juga bernama

Suryatmaja (anak dewa matahari).111 Kunti merasa malu, maka

dibuangnya ke sungai dan diambil Nyi Nanda dan Ki Adirata. Ki Adirata,

seperti dijelaskan Anderson, adalah sais atau sopir kereta raja Suyudana,

berkat kepandaiannya terutama di bidang keprajuritan, maka diangkat

panglima perang dan adipati (Gubernur sekarang) di Ngawangga.112

Berbagai penjelasan tentang sumber dan asal usul tiga tokoh sekaligus dari

tiga lakon wayang tersebut sebagai acuan analisa dan pemahaman tentang

nilai-nilai moral budaya Jawa.

Dalam mencermati lakon pewayangan tersebut tentunya dapat

dijadikan rujukan oleh masyarakat Jawa, langkah seperti apakah yang

semestinya mereka perbuat. Bila mencermati kaitannya dengan asal-usul

yang melatarbelakangi tokoh wayang Sumantri dan Adipati Karno, kedua

tokoh ini asal-usulnya berangkat dari golongan rakyat kecil (wong cilik)

atau masyarakat desa, sedang bentuk Kumbakarna adalah raksasa. Adipati

LuhurKarya KGPAA Mangkunegara IV, (Surakarta: Kantor Reksa Pustaka Pura Mangkunegaran, 1998), 37-38. 110Putra pertama, bernama Dasamuka atau Rahwana berparas raksasa dan berwatak angkara, yang ketiga Gunawan Wibisana berparas satria dan berwatak satria-pinandhita dan, yang ketiga Sarpakenaka berparas raksasa dan berwatak serba tidak menentu (amorven). Ibid., 45. 111Ibid.,51-55. 112Benedict R.O’G. Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, terj. Revianto B.S., (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), 37.

Page 56: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

88

Karno selain pekerjaan ayahnya hanya sebagai sopir113 kereta, dia

berpihak kepada Kurawa. Orang Kurawa, dijelaskan F.M. Suseno, bagi

pandangan hidup orang Jawa pada umumnya, dinilai sebagai lambang

orang yang bermoral jelek atau tidak baik. Mereka itu rakus dan haus

kuasa, tidak dapat mengontrol diri dan kasar dalam pergaulan, mereka

dinilai buta terhadap tanda-tanda nasib. Pandangan masyarakat Jawa

sebagai lambangnya raksasa (buta).114

Tokoh pewayangan berikutnya yang perlu juga dicermati dapat

dialamatkan kepada yang dialami tokoh Kumbakarna. Anderson

menjelaskan, dia raksasa, wayang yang terbesar. Wajahnya merah brutal,

gigi bertaring seperti serigala. Kumbakarna melambangkan manusia

dengan ciri-ciri badaniah yang sering menjijikan bagi pandangan dunia

atau hidup orang Jawa pada umumnya.115 Menurut Suseno, figur raksasa

(buta) pada dasarnya bagi orang Jawa sebagai “makhluk dari seberang”

atau “orang luar” yang bukan manusiawi. Raksasa, karena di samping

sebagai figur yang tidak manusiawi, maka juga tidak bisa menjadi model

113Dengan masuknya pengaruh Eropa bagi masyarakat Jawa, kerja dinilai pada pembagiannya menjadi: alus, sedheng, dan kasar (halus, sedang dan, kasar). Pekerjaan sebagai sopir termasuk jenis kerja sedheng (sedang atau sebagai orang menengah). Sartono Kartodirdjo dkk., Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta : UGM Press, 1993), 140-141. 114Para raksasa (buta) tidak terdapat dalam Mahabarata India, jadi kiranya mereka diciptakan di Jawa dan peranan mereka yang terbesar justru bukan sebagai tokoh utama dalam lakon wayang. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 166. 115Benedict R.O’G. Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, terj. Revianto B.S., (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), 42.

Page 57: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

89

identifikasi bagi orang Jawa pada umumnya.116 Istilah “makhluk dari

seberang” atau “orang luar” bisa berarti orang yang tidak termasuk di satu

lingkungan pekerjaan masyarakat, bangsa117 atau budaya Jawa.

Masalah yang cukup penting untuk dicermati kaitannya dengan

sikap masyarakat Jawa, selain memiliki kecondongan sikap integrasi,

sikap mereka merupakan suatu tatanan yang egaliter118 terhadap berbagai

pihak. Termasuk melepaskan perbedaan identitas ras mereka.119

“Keutamaan” masyarakat Jawa hal ini dapat dilihat melalui refleksi simbol

tiga tokoh wayang yang dijadikan contoh. Namun watak tersebut tidak

sepenuhnya mutlak harus dilaksanakan. Masalah tersebut disebabkan, di

satu pihak mereka sebagai para kesatria dengan “keutamaan” Jawa,

demikian pula dalam kisah perjalanan kehidupan mereka memiliki

berbagai sifat dan tingkah laku yang salah atau tidak baik pada pihak

lainnya.120

116Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 167. 117Orang luar berarti orang yang tidak termasuk di satu lingkungan (golongan, pekerjaan, dan sebagainya). Orang Barat berarti orang yang berasal dari belahan bumi sebelah barat, terutama orang Eropa dan Amirika (orang kulit putih). Hasan Alwi (Pim. Red.), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2001), 180. 118Sikap egaliter berarti sikap memberikan penilaian terhadap semua manusia adalah sama dan seharusnya diperlakukan secara sama dalam hal kemerdekaan, hak, kehormatan, penerimaan dan, kesempatan. Ali Mudhofir, Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Yogyakarta: UGM Press, 1996), 54. 119Ras merupakan klasifikasi sosial adas dasar keturunan dengan ciri-ciri tertentu seperti warna kulit, tekstur tubuh, bahasa, dan lain-lain. Ruth Benedict, Race and Racism (London: Routledge & Kegan Paul, 1983), 6. 120Sumantri sebagai orang yang tidak tahu diri karena adiknya yang membantunya justru dibunuhnya hanya karena malu terhadap rupa adiknya yang jelek memaksa ingin ikut suwita (mengabdi) kepada raja Arjuna Sasrabahu. Bagi Kumbakarna, ragu-ragu atau tidak gigih setelah gagal mengingatkan Rahwana tentang kemurkaannya, dia memilih bertapa membisu tidak mau tahu keadaan serta, dia juga egois. Adipati Karna ditunjukkan, tinggi hati dan gila hormat,

Page 58: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

90

Kisah perjuangan dan pengabdian tiga tokoh tersebut menurut

ceritera pewayangan, hanya Sumantri yang ketika ngenger pada raja

Arjuna Sasrabahu selalu di-emong (diasuh) atau dalam momongan

Semar.121 Namun nampaknya dia lupa atau menyepelekan peranan

punakawan122 Semar, adalah suara batin setiap kesatria atau manusia.123

Mencermati kekurangbaikan sifat atau kesalahan yang dilakukan oleh tiga

tokoh yaitu Sumantri, Kumbakarna, dan Adipati Karna. Ketiga tokoh itu

dalam bertindak hanya menyesuaikan pada norma-norma yang berlaku

secara umum. Bedanya di antara mereka bertiga adalah, Sumantri

gambaran tokoh dengan kemandirian moral dan keberanian moral yang

cenderung pada guilt societies (perilaku yang berbeda dengan pandangan

masyarakat), maka sikap moralnya condong ke arah individualisme.

Adipati Karno dan Kumbakarna gambaran tokoh dengan etosnya yang

shame societies (perilaku yang tidak menyalahi pandangan masyarakat),

maka sikap moral keduanya condong ke arah kolektivisme. Franz Magnis

pendendam dan pahlawan kebencian serta, kesetiaan membuta. Harmanto Bratasiswara (Kabid. Kebudayaan dan Pendidikan Himpunan Kerabat Mangkunegaran Suryasumirat (Kabid. KPHKMS), Paparan Ringkas Tripama Piwulang Budi LuhurKarya KGPAA Mangkunegara IV (Surakarta: Kantor Reksa Pustaka Pura Mangkunegaran, 1998), 43, 50, dan 63. 121Semar mengasuh (momong) para tokoh Pandawa dalam siklus Mahabarata, melainkan juga Sumantri dalam siklus Arjuna Sasrabahu dan Hanoman dalam Ramayana. Mereka dianggap berasal dari Jawa dan tidak ada dalam epos-epos India asli. Peodjawijatna, Filsafat Sana-Sini (Yogyakarta: Kanisius, 1975), 56. Lihat juga Sri Mulyono, Apa dan Siapa Semar (Jakarta: Gunung Agung, 1978), 115. 122Punakawan adalah orang kepercayaan yang memiliki kepekaan dan atau ketajaman batin. Ibid., 68. 123Tokoh Semar adalah lambang suara batin manusia. Tuti Sumukti, Semar Dunia Batin Orang Jawa, terjemahan dari disertasinya berjudul The Power of Semar Based on Selected Javanese Shadowply Stories (Yogyakarta: Galang Press, 2005), 49-50.

Page 59: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

91

Suseno menjelaskan, perbedaan guilt societies dan shame societies tidak

mutlak.124

Cara hidup dan sikap-sikap yang diperlihatkan oleh para tokoh

dalam wayang, sebagaimana dikutip dari F.M. Suseno, merupakan acuan

identifikasi pemikiran orang Jawa sejak kecil. Masyarakat Jawa memiliki

sejumlah besar kemungkinan identifikasi moral dari padanya, mereka juga

bisa memilih suatu model yang cocok, yang dapat diharapkan juga

diterima dalam masyarakatnya.125 Identifikasi cara hidup dengan sikap-

sikapnya menunjukkan nilai-nilai dasarnya etika Jawa yang tetap akan

menjadi landasan kuat bagi pengembangan etika Jawa saat ini atau yang

sesuai dengan tantangan-tantangan moral pada masanya.126

Berbagai penjelasan tentang wayang tersebut, di satu pihak sebagai

acuan analisa untuk mengkaji sikap masyarakat muslim Mojokerto

terhadap apa saja dan siapa saja sesuai dengan tradisi masyarakat Jawa,

salah satunya yang diungkapkan dalam tradisi perkawinan loro pangkon

serta pertunjukan wayang. Sikap tersebut di lain pihak, juga sebagai

refleksi sosial tindakan moral yang eksistensinya berada pada dataran

124Dalam sosiologi dibedakan antara guilt societies dan shame societies. Perbedaan itu sama dengan perbedaan antara orang yang lebih “ego-oriented” dan yang lebih “superego-oriented”. Yang pertama condong ke arah individualisme, mencari prestasi dan tidak begitu perduli akan pendapat (dan kadang-kadang: perasaan) orang lain. Yang kedua condong ke arah kolektivisme, bertahan pada yang lama dan menomorsatukan kesepakatan dibanding dengan prestasi. Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 66-67. 125Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 164. 126Franz Magni Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1991), 95-96.

Page 60: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

92

pemikiran masyarakat muslim Jawa Mojokerto terhadap martabat manusia

atau pihak-pihak yang berkepentingan. Bisa juga dikatakan, etika Jawa

masyarakat muslim Jawa Mojokerto tersebut tidak hanya ditujukan bagi

kemandirian dan keberanian moral yang ditunjukkan dan diraih oleh satu

atau sekelompok orang dengan statusnya sosialnya saja. Melainkan etika

Jawa juga sebagai acuan dasar ketekadan batin dan kekuatan moral yang

terefleksikan dalam berbagai hal.

2. Budaya Jawa dalam konteks modern (penyesuaian; adaptasi) sebagai paradigma “Struktural Fungsional”.

Pemahaman yang dimaksudkan dengan paradigma “struktural

fungsional” adalah dengan asumsi bahwa setiap orang atau lembaga

memiliki tempatnya masing-masing dan ia harus berperilaku atau bekerja

sesuai dengan tempat keberadaannya tersebut. Pemahaman tentang

“tempat” dalam hal ini bukanlah pemahaman mati atau mutlak, melainkan

sebagai sesuatu yang kondisional dan atau relatif.

Pemahaman itu termasuk tentang nilai-nilai moral budaya Jawa

sebagaimana yang diidealkan atau yang dipikirkan oleh para cendikiawan

Jawa (pujangga Jawa) yang tertuang dan tersebar dalam berbagai karya

sastranya. Sebutan bagi kesusastraan Jawa tersebut antara lain, suluk,

wirid, primbon, serat, dan lain-lain. Mencermati penjelasan tersebut, maka

istilah “struktural fungsional” bukan dimaksudkan struktur dalam arti

sebagai stratifikasi sosial masyarakat Jawa seperti dalam pemikiran Geertz

Page 61: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

93

yang menafsirkan menjadi priyayi, santri, dan abangan. Struktural

fungsional yang dimaksudkan tersebut yaitu sebagai struktur sosial127

tentang nilai-nilai moral (keutamaan) Jawa. Maksudnya, “struktur” di satu

pihak sebagai bangunan ide para pujangga tentang nilai-nilai moral Jawa,

dan cara memfungsikan atau pemberdayaannya sebagai konsep hubungan

antar individu dalam kehidupan bermasyarakat dan merupakan pedoman

ajaran moral bagi tingkah laku atau perilaku lahiriah individu pada pihak

lainnya.

Menurut Muchtarom, pembagian orang Jawa menjadi priyayi,

santri, dan abangan atas penafsiran Geertz, mengkacaukan dan

menyesatkan, sebab pembagian seperti itu tidak didasarkan pada kriteria

yang konsekuen. Ia telah mengkacaukan dua pembagian yang termasuk

susunan yang berlainan, serta mencampuradukkan antara pembagian

horisontal (sebagai hubungan antar sesamanya) dan vertikal (sebagai

hubungan manusia kepada Tuhan).128

Harsaja W. Bachtiar lebih menjelaskan, priyayi merupakan status

sosial atau golongan sosial dalam komunitas Jawa dan tidak menunjukkan

salah satu tradisi keagamaan khusus. Seorang atau para priyayi dapat

termasuk muslim saleh dan muslim statistik (santri dan abangan dalam

127Struktur sosial artinya, konsep perumusan asas hubungan antar individu dalam kehidupan masyarakat yang merupakan pedoman bagi tingkah laku individu. Hasan Alwi (Pim. Red.), Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), 1092. 128Zaini Muchtarom, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), 17.

Page 62: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

94

istilah Geertz) sekaligus, sebagaimana mereka juga dapat termasuk orang

Hindu-Budha atau Kristen.129

Berbagai paham tersebut, dijelaskan Fachry Ali, merupakan

sumber ajaran moral budaya Jawa yang difungsikan sebagai ideologi

terutama, bagi corak hidup seluruh kalangan bangsawan (priyayi) juga

dapat memberikan arah cara bersikap kepada seluruh rakyat Jawa.130

Identifikasi pengetahuan esoterik tersebut dasar pengetahuan dan

pemahaman awalnya bersumber pada nilai-nilai moral budaya Jawa yang

pertama dengan karakteristiknya harmonis seperti telah dijelaskan di

muka. Hal itu sebagaimana dijelaskan F.M. Suseno, bahwa pemahaman

awal tentang karakteristik harmonis bagi pandangan dunia Jawa (kejawen)

ini adalah sikapnya terhadap dunia luar (alam, masyarakat dan, alam

adikodrati) dialami sebagai satu kesatuan “numinus” atau Yang Ilahi131

adalah pengalaman khas religius (pengalaman keagamaan Jawa).

Salah satu karya Sunan Paku Buwana IV yaitu Serat Wulangreh

juga memuat bait-bait yang menguraikan berbagai ajaran moral bagi

priyayi ketika baru ngenger (mengabdi) kepada raja. Dia harus dengan

ikhlas lahir batin mengikuti segala perintah raja. Ia tidak boleh ragu, dan

harus mengumpamakan dirinya seperti: “sarah munggeng jaladri, darma

129Harsaja W. Bachtiar, “The Religion of Java A Commentary”, dalam Indonesian Journal of Cultural Studies, No. 1, Vol. V, (Januari 1973), 90. 130Fachry Ali, Refleksi paham “Kekuasaan Jawa” dalam Indonesia modern (Jakarta: Gramedia, 1986), 153-155. 131Istilah“numinus” (dari Latin, numen, cahaya; Inggris, numinous) menunjuk pada pengalaman khas religius, dapat diterjemahkan dengan “Yang Ilahi “, “Yang Adikodrati” dan sebagainya. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 84.

Page 63: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

95

lumaku sapakon”, artinya sebagai sampah di laut, wajib berjalan menurut

perintahnya. Dia harus mantep dan madhep, artinya mantap dan tidak

gentar menghadapi kesukaran. Dia harus memelihara milik raja dengan

gemi (tidak boros), terhadap perintahnya ia harus nastiti (memperhatikan

dengan cermat) dan, ngati-ati yang artinya hati-hati dalam menjaga

tuannya atau rajanya siang dan malam.132 Sikapnya ketika di paseban,

harus datang lebih dahulu daripada rajanya, dan wajib secara tertib

menghadap di paseban pada hari-hari tertentu, sekalipun raja tidak keluar

dari kedhaton.133

Searah dengan maksud tersebut, Kitab Nitisruti, yang menyebut

nama patih Koja Jajahan dari Mesir, mengemukakan bahwa seorang yang

ngawula dikatakan baik, jika ia dapat membuat dirinya seperti bayangan di

dalam kaca yang mengikuti kemauan tuannya.134 Serat Raja Kapakapa

melambangkan abdi dalem (priyayi) sebagai kuda, curiga, dan wanita

(kuda, keris, dan wanita). Kuda melambangkan aspek sepak terjangnya,

jika ia dikasih tahu tentang rahasia rajanya, ia harus pandai dan awas akan

isyarat, seperti tajamnya curiga (keris). Tingkah laku dan atau sopan

santunnya, cara bersikap dan sebagainya harus seperti wanita, tidak

merasa dirinya sebagai pria.135

132Resodidjojo (peny.), Terjemahan Serat Wulangreh Karya Sunan Paku Buwana IV (Semarang: G.C.T. Van Dorp & Co., 1929), 17-19. 133Ibid., 21-22. 134Padmosudihardjo (peny.),Kitab Nitisruti, sajian R.Ng. Dr. Poerbatjaraka (Jakarta: Depdikbud., 1978), 41. 135Tanpa nama pengarang, Serat Raja Kapakapa, Manuskrip nomor 302 (Surakarta: Reksa Pustaka Mangkuneagaran, 1911), 3.

Page 64: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

96

Demikian pula dalam tradisi perkawinan loro pangkon,

penyesuaian dengan hal-hal yang modern dilakukan oleh masyarakat

muslim Jawa Mojokerto. Mereka memiliki sikap kreatif berusaha mencari

inovasi-inovasi baru disesuaikan dengan perkembangan zaman, agar

tradisi yang dilakukannya dapat menyesuaikan diri dan mampu bertahan di

tengah-tengah arus budaya asing yang gencar saling mempengaruhi

kehidupan masyarakat. Berangkat dari hal tersebut, bahwa budaya Jawa

tentunya dapat dijadikan sebagai kerangka teoretik untuk mengkaji

pelaksanaan perkawinan yang terjadi di masyarakat muslim Jawa

Mojokerto. Dalam pelaksanaan perkawinan di masyarakat muslim Jawa

Mojokerto, mereka melakukannya tidak hanya sebatas pada acara

seremoni belaka tentang adanya syarat dan rukunnya pernikahan. Lebih

dari itu, proses yang dilakukannya juga tidak lepas dari tradisi setempat

yang telah dilakukannya dari para pendahulunya dan disesuaikan dengan

keadaan saat ini.

3. Budaya Jawa menghargai hal-hal atau “nilai-nilai yang bersifat transendental”.

Hal-hal atau nilai-nilai yang bersifat transendental dimaksudkan

adalah sesuatu yang berhubungan dengan yang transenden, yang bukan

dunia material, tetapi sebagaimana dalam filsafat yaitu sesuatu yang

metafisika atau numinus (Yang Ilahi). Nilai yang transendental ini dalam

budaya Jawa, seperti yang disebut sebagai kejawen (mistik Jawa),

kebatinan yang dalam sastra Jawa disebut suluk, wirid, primbon, serat,

Page 65: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

97

serta istilah lain yang sejenisnya. Sifat transendental itu dilatarbelakangi

oleh keyakinan bahwa hidup selalu kepadaNya, Tuhan Yang Maha

Kuasa.136

Beberapa makna yang berkaitan dengan kata “transendetal” adalah

sesuatu secara kualitas teratas, atau di luar apa yang diberikan oleh

pengalaman manusia. Kehidupan mengarah ke dalam yang transendental

berarti, sebagai yang mampu mengungkapkan seluruh realitas obyektif

yang sedang dikerjakan dan mengungkapkan secara total sampai pada

makna-makna hidup yang paling final.137 Penjelasan makna kata

“tansendental” itu secara implisit dapat mengacu kepada Panembahan

Senapati bagi identifikasi tokoh yang diidealkan (dicita-citakan) bagi

masyarakat Jawa. Panembahan Senapati dianggap sebagai raja Jawa telah

merasakan atau memperoleh rasa sejati adalah wahyu (anugerah Tuhan)

sebagai semacam “iklim” penghayatan budi luhur138 atau alam hakiki

disebut ngelmu mistik139 merupakan eksistensi pengalaman kegamaan

(Islam) Jawa.

136Gunawan Sumodiningrat, “Budaya Jawa dan Integrasi Nasional”, dalam: Leila Retna Kumala (Ket. Pan.), Keraton Surakarta dan Perubahan Masyarakat, Membumikan Nilai-nilai Tradisional (Surakarta: Team Simposium Nasional, 2003),11-13. 137Lihat Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 34. 138Dimaksud kata rasa sejati dalam Serat Wedhatama bukan sesuatu yang organis melainkan semacam “iklim” penghayatan budi luhur. Y.A. Surohardjo, Mistisisme Suatu Introduksidi dalam Usaha Memahami Gejala Mistik termasuk yang Ada di Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), 62. 139Menurut C. Geertz, dikutip F.M. Suseno, kata rahsa sejati atau rasa sejati disebut sebagai “alam hakiki” adalah ngelmu yang berarti tiga hal sekaigus yaitu ilmu pengetahuan, pengertian mistis dan, kekuatan gaib sebagai salah satu bentuk kemampuan yang lebih menyolok untuk bertindak tepat. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa dalam Tantangan (Yogyakarta: Kanisius, 1983), 106.

Page 66: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

98

Penjelasan tersebut bukan hanya dimaksudkan dalam rasa sejati

sebagai pengalaman keagamaan hanya bagi kalangan priyayi (elit

kerajaan), melainkan merupakan dasar kehendak dengan eksistensi nilai-

nilainya harus dikembangkan atau diberdayakan setiap manusia. Maksud

penjelasan tersebut bahwa rasa sejati (wahyu atau anugerah Tuhan) di satu

sisi eksistensinya milik atau hak siapa saja, yang bersedia memberdayakan

dan atau mengembangkannya melalui “sembah catur (empat sembah)”140

yaitu sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa pada sisi lainnya sebagaimana

termuat dalam Serat Wedhatama sebagai berikut:

“Samengko ingsun tutur sembah, sembah catur supaya lumuntur, dhihin: raga, cipta, jiwa, rasa, kaki, ing kono lamun tinemu,...Sumusuping rasa jati…Sajatine kang mangkana…Sapa ntuk wahyuning Allah…Nulada laku utama, tumraping wong tanah Jawi, wong-Agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senapati, kapati amarsudi, sudaning hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siang ratri, amamangun karyenak tyasing sasama”.

Terjemahan bebas: “Sekarang saya akan bertutur akan empat macam sembah, agar

supaya dianut, yaitu: sembah: raga, cipta, jiwa, dan rasa. Bilamana hal itu dapat dikuasai serta dilaksanakan dengan sungguh-sungguh maka,…Walau belum berusia lanjut dan atau orang yang tak berarti (wong cilik: rakyat biasa),…Datanglah menyusup RASA SEJATI ke dalam kalbunya...Bila orang sudah mengalami demikian, artinya telah mendapatkan anugerah Tuhan (wahyu),…Orang yang telah demikian itu antara lain ialah mendiang Panembahan Senapati dari Mataram. Bagi orang-orang di tanah Jawa perlu mencontoh tapabarata (sikap-laku) utama Sang Panembahan itu. Bahwasannya siang maupun malam yang beliau usahakan ialah memadamkan berkobarnya hawa nafsu yang tujuannya untuk membangun watak cinta kasih sesama

140Empat tigkat sembah atau “sembah catur” merupakan inti ajaran kerokhanian (mistik) dalam Serat Wedhatama yaitu sebagai jalan mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan. Simuh, Sufisme Jawa:Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Bentang, 1999), 256.

Page 67: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

99

atau memberikan kesenangan dan kesejahteraan kepada sesama manusia”.141

Karkono Kamajaya Partokusumo (Kamajaya) menjelaskan

kalimat: “amamangun karyenak tyasing sasama” sebagai tujuan laku

(tapabrata) Panembahan Senapati ini untuk membangun watak cinta kasih

bagi sesama dan atau menciptakan suasana yang mensejahterakan

kehidupan sesama manusia. Pembangunan itu merupakan karakteristik

budaya pendidikan kekuasaan Jawa bahwa berbuat baik kepada sesama

amatlah didambakan.142

Karakteristik budaya Jawa yang lain, sebagai paham

tradisionalisme tentang laku dalam arti tapabrata identifikasi sumbernya

dijelaskan C.C. Berg. Menurutnya, tidak terbilang banyaknya ceritera-

cerita Jawa yang mengkisahkan tentang makhluk-makhluk (tidak hanya

manusia) karena bertapa (laku) lama sekali memperoleh kekuatan

sedemikian rupa, sehingga mampu menakhlukkan seluruh dunia bahkan

para dewa takut padanya. Hal itu sudah menjadi ciri khas bagi pandangan

dunia dan hidup sebagaimana tersebar dalam berbagai karya sastra Jawa.

Karenanya, orang-orang Jawa sudah sejak zaman kuno (dahulu) sampai

141S.Z. Hadisutjipto, Terjemahan Wedhatama Karya K.G.P.A.A. Mangkunagoro IV Surakarta Hadiningrat (Jakarta : Pradnya Paramita, 1979), 31-38. 142H. Karkono Kamajaya Partokusumo, “Kebudayaan Jawa dan Proses Demokratisasi”, dalam Agus R. Sarjono, Pembebasan Budaya-Budaya Kita: Sejumlah gagasan di tengah Taman Ismail Marzuki (Jakarta: Gramedia, 1999), 218.

Page 68: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

100

dengan sekarang memiliki kepercayaan bahwa terdapat hubungan yang

sangat kuat atau mesra antara laku (bertapa) dengan prestasi.143

Koentjaraningrat menunjukkan berbagai jenis tradisi laku tersebut

seperti, mutih maksudnya pantang makan selain nasi, pati geni seperti

puasa dalam suatu ruangan yang pekat tidak tembus cahaya. Ngalong yaitu

dengan menggantung terbalik, kedua kaki diikat di dahan pohon, ngluwat

maksudya bertapa di kuburan seseorang dalam jangka tertentu. Bolot

adalah tidak mandi dalam jangka waktu tertentu, ngrambang artinya,

menyendiri dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan, dan lain-

lain.144 Misalnya, raja Erlangga bertahun-tahun lamanya hidup dalam

hutan bersama-sama dengan para pandita bertapa (semadi) supaya

memperoleh ilmu gaib dan atau daya-daya magis.145

Terdapat kemungkinan terdorong untuk melanjutkan tradisi laku

tersebut seperti yang pernah dilakukan pihak Mangkunegaran yaitu

Mangkunegara I, sedang dari Kasunanan Surakarta oleh R. Ng.

Ranggawarsita sewaktu masih bernama Bagus Burhan sedang berguru di

pondok pesantren Tegalsari. Terdapat keanehan hubungan antara pola

kekeluargaan dengan budaya pendidikan mondhok dan laku-nya elit

kerajaan Kasunanan Surakarta itu nampak kurang mengembangkan

kemampuannya dalam bidang-bidang kehidupan praktis, politik dan

143C.C. Berg, Penulisan Sejarah Jawa (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1985), 22. 144Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa(Jakarta: Balai Pustaka, 1994),372. 145Bernard H.M. Vlekke, Nusantara, A History of Indonesia(Bandung: Whollyrevised edition The Hague, 1959), 36.

Page 69: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

101

ekonomi misalnya. Keanehan penting lainnya dalam kemampuannya juga

seperti kurang bisa mendukung atau tidak diberdayakan, di satu pihak bagi

kemajuan yang sesuai dengan kondisi masa itu, ke dalam kemajuan yang

manusiawi di pihak lainnya. Masalah itu bisa dicermati dalam

bandingannya dengan pola budaya pendidikan pihak Mangkunegaran

menyatu dalam pola kekeluargaan keraton.

Eksistensi pemikiran sebagai acuan teoretis tentang laku, menurut

F.M. Suseno terkait erat dengan pandangan dunia dan hidup orang Jawa

tentang, di satu pihak sebagai prestasi dan kekuasaan pada pihak lainnya.

Dua pandangan itu pada dasarnya sama baik menurut wong cilik (rakyat

biasa) atau priyayi. Keduanya dalam pemikiran keagamaan (Islam) oleh

para ahli disebut kaum abangan.146 Bagi pihak pertama “kekuasaan”

ditentukan oleh kegiatan berbagai kekuatan yang tidak kelihatan yang

personifikasinya sebagai roh atau makhluk halus seperti dhanyang,

memedi, dhemit, thuyul, dan lain-lain.147 Bagi pihak kedua “kekuasaan”

bersifat lebih halus atau lebih spekulatif sebagai dasar sikap dalam hidup,

namun keduanya sama-sama kaum abangan bertolak ke dalam Yang Ilahi,

adikodrati, nominus, transendental atau lain-lain sebutan.148 Identifikasi

146Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: The University of Chicago Press, 1960), 16. Lihat juga Darsiti Suratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939 (Yogyakarta: Penerbit Tamansiswa, 1989), 45. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 10. Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Bentang, 1999), 25. 147Clifford Geertz,The Religion of Java (Chicago: The University of Chicago Press, 1960), 16-20. 148Identifkasi ungkapan pandangan dunia dan hidup kaum priyayi bersifat spekulatif kaitannya dengan laku untuk memperoleh ngelmu diungkap dalam salah satu kata-katanya: manunggaling

Page 70: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

102

yang dimaksudkan dengan wong cilik dalam hal itu ditunjukkan melalui

slametan.

Slametan merupakan ritus religius terpenting dalam masyarakat

Jawa yang dimengerti sebagai ritus pemulihan keadaan slamet.149 Bagi

kaum priyayi, laku (tapabarata) teori atau jalan memperoleh ngelmu

(kawruh) itu ditunjukkan dalam keberhasilannya merealisasikan kenyataan

kekuasaannya sendiri yang sebenarnya bersatu dengan Yang Ilahi.150

Persatuan itulah tujuan mistik Jawa yang diistilahkan sebagai “persatuan

hamba dengan Tuhan” dengan berbagai sebutannya seperti, pamore,

manunggaling atau, jumbuhing kawula Gusti.151

Menurut Suseno, dalam pandangan banyak orang Jawa lakon

Dewa Ruci memuat intisari kebijaksanaan Jawa.152 Acuan isi singkat kisah

itu dijelaskan Soebardi dalam disertasinya The Book of Cabolek,

menjelaskan, bahwa Bima berguru kepada Drona (Durna) agar

menemukan air hidup (tirta prawita sari atau manunggaling kawula

Gusti). Bima disuruh masuk ke adalam gua Condrodimuka yang terletak di

tengah hutan Tirkrasara. Dia mengobrak-abriknya, sehingga dua raksasa

kawula lan Gusti. Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau (Jakarta : YOI, 1985), 8. 149Koentjaraningrat,”The Javanese of Soulth Central Java”, dalam George Peter Murdock (ed.), Social Structure in Southeast Asia (Chicago: Quadrangle Books, 1971), 95-97. 150Franz Magnis Suseno,Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 119. 151Petrus Josephus Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti (Jakarta: Gramdeia, 1990), 204-208. Lihat juga Franz Magnis Suseno,Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: Gramedia, 2001), 120. 152Franz Magnis Suseno, Etika Jawa dalam Tantangan (Yogyakarta : Kanisius, 1983), 112.

Page 71: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

103

(Rukmuka dan Rukmala) sebagai penunggunya marah. Perkelahian seru

terjadi dan setelah keduanya mati ternyata dewa Indra dan Bayu kena

kutukan menjadi raksasa. Walaupun begitu, ‘air kehidupan’ belum

diketemukan dan bertanya kepada Durna. Gurunya Bima ini menjawab,

‘air kehidupan’ itu berada di dasar samudera selatan. Tanpa menghiraukan

tangis ratapan adik-adik keluarganya Pandawa, Bima menceburkan diri ke

dalam gelombang samudera. Bima di dalam samudera diserang naga

raksasa yaitu, Nemburnawa. Berkat kesaktian kukunya, naga dirobek-

robek sehingga mati. Bima merasa lelah dan membiarkan diri didorong

terombang-ambing ombak samudera.153

Saat itulah muncul wujud kecil mirip dengan Bima,

memperkenalkan diri bernama Dewaruci yang menyuruh memasuki

batinnya melalui telinga kirinya. Bima merasa agak ragu tetapi dengan

mudah masuk ke batin Dewaruci. Ia pada awalnya memasuki ruang

kekosongan (awang-uwung) tanpa batas dan kehilangan orientasi. Bima

melihat matahari, bintang-bintang, gunung-gunung dan laut. Pendek kata,

seluruh alam lahir seperti terbalik (jagad walikan). Dewaruci

menerangkan sekarang seluruh dunia diliputi olehnya.154 Bima juga

153S. Soebardi, The Book of Cabolek (The Hague: Nijhoff, 1975), 64-65. Lihat juga T.E. Behrend dan Titik Pudjiastuti (Peny.) Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3-A Fakultas Sastra UI (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), 336. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 115. Franz Magnis Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1991), 50. 154S. Soebardi, The Book of Cabolek (The Hague: Nijhoff, 1975), 67. Lihat juga Franz Magnis Suseno,Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 117.

Page 72: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

104

melihat empat warna, tiga dari padanya adalah kuning, merah dan hitam

melambangkan nafsu-nafsu berbahaya untuk dijauhi, sedang yang keempat

warna putih melambangkan ketenangan hati. Ia juga melihat boneka

gading kecil disebut pramana adalah prinsip hidup Ilahi yang berada

dalam dirinya sendiri serta memberi hidup. Oleh karena itu, Bima

menyadari hakikat dirinya yang paling mendalam adalah manunggaling

kawula lan gusti (kesatuan hamba dengan Tuhan).155

Melalui kesatuan itu manusia mencapai apa yang oleh orang Jawa

disebut “kawruh sangkan paraning dumadi”, pengetahuan (kawruh)

tentang asal (sangkan) dan tujuan (paran) segala yang diciptakan

(dumadi). Ini berarti Bima menjadi penguasa atas seluruh bumi atau alam

semesta tertampung olehnya (wus kawengku ameng sira jagad kabeh).

Bima dalam kehidupannya telah mati dan ia hidup dalam kematiannya

(wus mati sajroning urip lan urip sajroning mati). Artinya ia telah mati

bagi alam luar dan mencapai hidup yang benar dalam Yang Ilahi atau

transendental.156

Keberhasilan Bima tersebut menjadikan dirinya memiliki kekuatan

yang takterkalahkan (kasekten). Pertemuan Bima dengan Dewa Ruci,

akhirnya Bima berhasil memperoleh ketentraman batin (ketentremaning

manah). Ia pulang kepada kakak-adiknya disambut dengan gembira.

155S. Soebardi, The Book of Cabolek (The Hague: Nijhoff, 1975), 68. Lihat juga Ibid., 118. 156S. Soebardi, The Book of Cabolek (The Hague: Nijhoff, 1975), 69. Lihat juga Ibid., 120. BandingkanFranz Magnis Suseno,Wayang dan Panggilan Manusia (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1991), 51.

Page 73: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

105

Keberhasilan dalam kekuasaan dan atau kekuatan (kasekten) Bima, berkat

pertemuannya dengan Dewa Ruci sebagai mencapai manunggaling kawula

Gusti menemukan tirta prawita sari sama dengan mulih mula-mulanira

dan kawruh sangkan paraning dumadi157 juga mendapat pesan penting.

Pentingnya pesan Dewa Ruci ditegaskan pada Bima tentang dua

sikap moral bagi tindakan moralnya dalam hidup bermasyarakat kaitannya

dengan identifikasi pengetahuan esoterik (rahasia) tersebut. Pertama,

kesadaran mistik ini harus dirahasiakan dan tidak diperlihatkan kepada

orang-orang lain. Kedua, setiap orang yang telah memperoleh realisasi

dari persatuan dengan Tuhan, terutama harus tetap dalam keadaan bersikap

jujur, waspada (eling) serta hati-hati agar terhindar dari berbagai hawa

nafsu seperti sikap sombong (bangga diri) atau congkak dan lain-lain.158

Ini berarti, tirta prawita sari sebagai nilai-nilai moral (keutamaan), suatu

nilai dari Yang Ilahi, adikodrati. Sesuatu yang transendental telah diterima

Bima, secara implisit dimaksudkan bahwa di satu sisi sebagai manusia

baru (insan kamil) dan telah terbentuk atau memiliki perilaku lahiriah etis

yang spiritual terutama sebagai yang manusiawi itu sendiri.159 Namun, di

157S. Soebardi, The Book of Cabolek (The Hague: Nijhoff, 1975), 70. Lihat juga Ibid., 121. Bandingkan Franz Magnis Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia, (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1991), 53. 158Dua pesan tersebut secara implisit dalam ungkapan berikut: “Jangan engkau membicarakannya / dengan sesamamu / yang belum dikaruniai keanugerahan Ilahiah ini / …dalam membicarakan ajaran rahasia ini / lebih baik mengalah /Janganlah mulutmu terdorong banyak / jangan tinggi hati / …Dalam hal demikian hati-hatilah…/ jauhkan dari kesenangan hawa nafsu / jujur dan waspadalah / …janganlah bangga, dan bicaralah dengan hati-hati / (karena) ini adalah ajaran rahasia. S. Soebardi, The Book of Cabolek (The Hague: Nijhoff, 1975), 102. 159Dimaksud spiritual terutama dalam arti yang manusiawi adalah, yang non material seperti keindahan, kebaikan, cinta, kebenaran, belaskasihan, kejujuran dan, kesucian, mengacu ke

Page 74: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

106

sisi lainnya eksistensi manusiawi sebagai identifikasi perilaku Bima

tersebut tidak sepenuhnya dimiliki atau belum semua sebagai identitas

spiritualitasnya dalam kehidupan bermasyarakat seperti dijelaskan

Anderson berikut ini:

Bima (Werkudara) adalah satria yang paling ditakuti. Dia tidak mau kemegahan dan basa-basi. Kepada siapapun tidak mau menunjukkan sikap hormat (dengan membungkuk misalnya) bahkan kepada dewapun bicaranya tidak dengan bahasa halus melainkan ngoko (bentuk bahasa Jawa untuk bercakap-cakap dengan teman akrab atau berkedudukan rendah). Tidak belas kasih pada musuhnya, bertubuh sebesar raksasa, kasar, berotot dan berbulu, dengan mata melotot dan suara mengguntur. Tetapi bagaimanapun, kejujurannya yang teguh, kesetiaannya, kegigihannya, kemampuan militernya menjadikannya di antara sosok yang paling disegani di jagat wayang.160

Secara kritis Franz Magnis Suseno mempertanyakan, dengan

begitu apakah betul laku (semedi) sudah pasti mencapai persatuan dengan

Yang Ilahi? Menurutnya, berbagai bentuk semedi dalam budaya Jawa

tradisional sebetulnya salah arah, sebab kekuatan batinnya itu mesti

mengalami ambivalensi161 jika berhadapan dengan berbagai kekuasaan

perasaan dan emosi-emosi religius dan, estetik. Selain itu perilaku lahiriah etis yang spiritual dapat pula dimaksudkan dengan pola pemikiran yang artinya, sesuatu yang diterima seseorang dan dipakai sebagai pedoman sebagaimana diterimanya dari masyarakat sekelilingnya. Hasan Alwi (Pemred.), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2001), 885. Lihat juga Franz Magnis Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1991), 82. 160Benedict R.O’G. Anderson, Mythology and Tolerance in the Javanese, (Ithaca N.Y. : Conell University, 1965), 28-29. 161Ambivalensi berarti, perasaan tidak sadar yang saling bertentangan terhadap situasi yang sama atau terhadap seseorang pada waktu yang sama. Hasan Alwi (Pim. Red.), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2001), 37. Dimaksud ambivalensi dalam laku (bertapa) atau semedi yang bentuknya matiraga atau penyangkalan diri seperti dalam kisah Dewa Ruci, kekuasaan dan usaha Bima untuk memperolehnya justru mudah dirusak oleh pamrih. Misalnya, kemampuan atau keampuannya itu akan dipergunakan demi kemajuan masyarakat. Franz Magnis Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1991), 55-57.

Page 75: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

107

sebagaimana ciri khas budaya Jawa sekarang.162 Motivasi semedi Bima

memang suci, yaitu demi tirta prawita sari seluruh keluarganya bahkan

nyawanya sendiri tidak dipertimbangkan. Namun dalam kehidupan nyata

sekarang sulit sekali untuk memastikan apakah penggunaan kekuasaan

atau kekuatan yang dikandung dalam tirta prawita sari atau sebagai

ngelmu (pengetahuan esoterik, mistik) adalah betul-betul sepi ing pamrih ?

Dijelaskan selanjutnya, sebenarnya kekuatan-batin seseorang

sebagai kemampuan konsentrasi sangat relatif artinya atau mudah

mengalami masalah dalam makna positifnya. Nilai terdalamnya memang

bisa untuk “penertiban diri sendiri”, jadi “dangkal” dan sering lebih

cenderung membentuk sikap egois atau individualis, misalnya

“sombong”.163

Pendapat para ahli tersebut tentunya dapat dipakai sebagai latar

belakang pemahaman atau landasan teoretik untuk menganalisa dan

memahami “fungsi” nilai-nilai moral budaya Jawa dalam tradisi

perkawinan loro pangkon (Studi Budaya Masyarakat Muslim Jawa di

Mojokerto Jawa Timur) dan “hubungannya” pemahaman masyarakat

setempat mengenai tradisi tersebut. Maksudnya kata “fungsi” di sini,

selain menunjukkan kepada pengaruhnya bagi tiga sistem nilai-nilai moral

Lihat juga Franz Magnis Suseno, Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 172. 162Ciri khas kebudayaan Jawa sekarang terletak dalam kemampuan luar biasanya untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Hinduisme dan Budhisme serta Agama Islam dirangkul dan semakin menemukan identitasnya sendiri. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 1. 163Franz Magnis Suseno,Wayang dan Panggilan Manusia (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1991), 64. Lihat juga Ibid., 117.

Page 76: BAB II PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/Bab 2.pdfIslam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui

108

budaya Jawa, tetapi juga terutama dalam suatu hubungan tertentu

memperoleh arti dan maknanya.164 Maksud dari “hubungan”, selain

menganalisa dan memahami dalam arti pengaruhnya juga bentuk lainnya

dari tradisi perkawinan loro pangkon (Studi Budaya Masyarakat Muslim

Jawa di Mojokerto Jawa Timur) bagi sistem nilai-nilai moral budaya Jawa

tersebut.165

164Mengacu kepada pendapat Van Peursen, kata ‘fungsi’ selalu menunjukkan pengaruh terhadap sesuatu yang lain dan khususnya dalam suatu hubungan tertentu memperoleh arti dan maknanya. C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan,terj. Dick Hartoko (Yogyakarta: Kanisius, 1976), 85. 165Mengacu pada penjelasan Jujun S Suriasumantri, studi mengenai ‘hubungan’, dapat berupa ‘pengaruh’ atau bentuk lainya dari suatu gagasan orang lain atau kejadian. Jujun S. Suriasumantri, “Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan, dan Keagamaan Mencari Paradigma Kebersamaan”, dalam Deden Ridwan (ed.), Tradisi Penelitian Agama Islam Tinjauan Antardisiplin Ilmu (Bandung: Nuansa, 2001), 70.