Bab ii pembel

70
11 BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN A. Kajian Teori 1. Hakikat Kemampuan Mengapresiasi Puisi Kontemporer Sebelum membahas lebih lanjut tentang kemampuan mengapresiasi puisi kontemporer, pada kajian teori ini secara beturut-turut akan dijelaskan tentang: a) hakikat kemampuan; b) hakikat apresiasi; c) hakikat puisi; d) hakikat puisi kontemporer, dan e) hakikat kemampuan mengapresiasi puisi kontemporer. a. Pengertian Kemampuan Menurut Atkinson, dkk. (hal. 669) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Psikologi yang dimaksud dengan ability (kemampuan) adalah pengetahuan atau kecakapan yang terlihat. Kemampuan mencakup pula bakat dan prestasi”. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa bakat adalah kapasitas untuk belajar. Sementara itu achievement (prestasi) merupakan kemampuan yang didapatkan, seperti kemampuan mengeja di sekolah. Sementara itu, Chaplin (1989: 1) berpendapat bahwa ability (kemampuan, kecakapan, ketangkasan, bakat, kesanggupan) merupakan daya kekuatan untuk melakukan suatu perbuatan. Kemampuan merupakan kesanggupan bawaan sejak lahir atau merupakan hasil latihan atau praktik. Kemampuan menunjukkan suatu kegiatan yang dapat dilakukan sekarang, sedang aptitude menunjuk perlunya adanya latihan atau pendidikan sebelum suatu perbuatan dapat dilakukan pada

Transcript of Bab ii pembel

Page 1: Bab ii pembel

11

BAB II

KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, KERANGKA

BERPIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN

A. Kajian Teori

1. Hakikat Kemampuan Mengapresiasi Puisi Kontemporer

Sebelum membahas lebih lanjut tentang kemampuan mengapresiasi puisi

kontemporer, pada kajian teori ini secara beturut-turut akan dijelaskan tentang: a)

hakikat kemampuan; b) hakikat apresiasi; c) hakikat puisi; d) hakikat puisi

kontemporer, dan e) hakikat kemampuan mengapresiasi puisi kontemporer.

a. Pengertian Kemampuan

Menurut Atkinson, dkk. (hal. 669) dalam bukunya yang berjudul

Pengantar Psikologi yang dimaksud dengan “ability (kemampuan) adalah

pengetahuan atau kecakapan yang terlihat. Kemampuan mencakup pula bakat dan

prestasi”. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa bakat adalah kapasitas untuk

belajar. Sementara itu achievement (prestasi) merupakan kemampuan yang

didapatkan, seperti kemampuan mengeja di sekolah.

Sementara itu, Chaplin (1989: 1) berpendapat bahwa ability (kemampuan,

kecakapan, ketangkasan, bakat, kesanggupan) merupakan daya kekuatan untuk

melakukan suatu perbuatan. Kemampuan merupakan kesanggupan bawaan sejak

lahir atau merupakan hasil latihan atau praktik. Kemampuan menunjukkan suatu

kegiatan yang dapat dilakukan sekarang, sedang aptitude menunjuk perlunya

adanya latihan atau pendidikan sebelum suatu perbuatan dapat dilakukan pada

Page 2: Bab ii pembel

12

waktu-waktu mendatang. Kapasitas (capacity) menyangkut suatu kemampuan

yang sepenuhnya bisa dikembangakn dimasa mendatang asalkan disertai dengan

pengkondisian secara optimal.

Konsep tentang kemampuan telah banyak dipaparkan oleh para ilmuwan,

meskipun dengan cara pengungkapan yang berbeda. Menurut Ubaidillah

kemampuan adalah keterampilan untuk mengeluarkan semua sumber daya

internal, keunggulan, dan bakat agar bisa mendatangkan manfaat bagi diri sendiri

maupun orang lain. Keterampilan diartikan sebagai kemampuan melakukan

sesuatu dengan tepat dan mahir (http:www.epsikologi.com/pengembangan

/050603.html).

Senada dengan itu, ahli lain berpendapat bahwa kemampuan (ability)

adalah kekuatan siswa dalam menunjukkan tindakan responsif, termasuk gerakan-

gerakan terkoordinasi yang bersifat kompleks dan pemecahan problem mental

(Warren, 1994: 1). Pendapat yang lain mendefinisikan kemampuan sebagai

penampilan maksimum (maximum performance) yang dilakukan seseorang dalam

beberapa pekerjaan. Apabila penampilan maksimal tersebut diukur, orang ada

yang berkecenderungan untuk melakukan pekerjaan itu sebaik-baiknya dengan

harapan akan mencapai hasil yang paling besar.

Sejalan dengan pendapat tersebut Sternberg (1994: 3) mengemukakan

kemampuan (ability) adalah suatu kekuatan untuk menunjukkan suatu tindakan

khusus atau tugas khusus, baik secara fisik maupun mental. Sementara itu, ahli

lain mengemukakan bahwa kemampuan diartikan sebagai suatu kecakapan,

ketangkasan, bakat, kesanggupan, tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu

Page 3: Bab ii pembel

13

perbuatan. Kemampuan bisa merupakan kesanggupan bawaan sejak lahir, atau

merupakan hasil latihan atau praktik.

Kemampuan merupakan suatu kekuatan untuk menunjukkan suatu

tindakan khusus atau tugas khusus, baik secara fisik maupun mental. Tentu saja

tugas yang berbeda menuntut kemampuan yang berbeda juga. Selain itu,

kemampuan juga dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk menunjukkan tindakan

responsif, termasuk gerakan-gerakan terkoordinasi, kompleks, dan pemecahan

problem mental.

Berdasarkan pemaparan para ahli seperti tersebut di atas, dapat

disimpulkan bahwa kemampuan adalah kesanggupan individu untuk melakukan

suatu kegiatan secara maksimal dalam rangka mencapai hasil yang maksimal.

Akan tetapi, tidak semua kemampuan seseorang itu dapat ditampilkan secara

maksimal pada setiap melakukan suatu aktivitas. Banyak faktor yang

mempengaruhi penampilan kemampuan tersebut tergantung bagaimana seseorang

menyikapi masalah tersebut.

b. Pengertian Apresiasi

Menurut Novia Rahayu kata apresiasi berasal dari bahasa Inggris

appreciation yang berarti penghargaan. Dalam bahasa Prancis appresier

(appretiare) yang berasal dari kata berbahasa Latin pretium berarti price atau

harga. Dengan demikian secara harfiah apresiasi dapat diartikan sebagai

penghargaan terhadap karya sastra http://noviarahayu.wordpress.com/2008/04

/0/apresiasipuisi.

Page 4: Bab ii pembel

14

Sejalan dengan itu, Maman S. Mahayana mengatakan “Apresiasi puisi atau

apresiasi sastra merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap karya sastra

(puisi)”. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa apresiasi berhubungan dengan

persoalan argumentasi yang logis atau tidak logis. (http://mahadewama

hadewa.blogspot.com/2008/10/sejumlah-masalah-dalam-apresiasipuisi.html).

Dick Hartoko dalam Herman J. Waluyo (2008: 31) mengartikan apresiasi

sebagai penghargaan. Apresiasi sastra adalah penghargaan karya sastra. Dalam hal

ini seseorang langsung “menukiki” karya sastra, berusaha menerima karya sastra

sebagai karya seni yang mengandung nilai-nilai sastra sebagai sesuatu yang benar.

Gove dan Aminudin mengemukkakan bahwa istilah apresiasi mengandung

makna: pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin, dan pemahaman serta

pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang.

Rumusan pengertian tersebut sejalan dengan S. Effendi dalam Tengsoe

Tjahjono (1988: 17) yang berpendapat bahwa “apresiasi sastra adalah kegiatan

mengakrabi cipta sastra dengan sunggu-sungguh hingga tumbuh pengertian,

penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan yang terhadap terhadap karya

sastra”. Untuk memahami dan atau mengerti karya sastra diperlukan analisis

terhadap bagian-bagian struktur.

Mengapresiasi karya sastra berarti mengenali, memahami, dan menikmati

pengalaman dan menikmati bahasa yang menjadi jelmaan pengalaman tersebut

dalam struktur keseluruhan yang terbentuk itu. Karya sastra diciptakan untuk

dibaca dan dinikmati sebagai suatu perwujudan kebutuhan aktualisasi diri dan

Page 5: Bab ii pembel

15

ekstetik. Jika si pembaca tidak mengerti dengan baik karya sastra tersebut, tentu

manfaat dan kenikmatan karya sastra yang dihadapinya menjadi berkurang.

Sementara itu, ahli yang lain berpendapat bahwa apresiasi sastra adalah

kualitas karya sastra serta pemberian nilai wajar kepadanya berdasarkan

pengamatan dan pengalaman yang sadar secara kritis. Bekal awal yang harus

dimiliki oleh apresiator adalah: 1) kepekaan emosi atau perasaan sehingga

pembaca mampu memahami dan menikmati unsur-unsur keindahan yang terdapat

karya sastra, 2) pemilikan pengetahuan dan pengalaman yang berubungan dengan

masalah kehidupan dan kemanusiaan, baik lewat penghayatan ini secara intensif

kotemplatif maupun dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan

kehumanitas, 3) pemahaman tehadap aspek kebiasaan, 4) pemahaman terhadap

unsur-unsur intrinsik cipta sastra yang akan diapresiasi dengan telah teori satra.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa

apresiasi adalah kegiatan yang dilakukan melalui tahap-tahap dimulai dari yang

sederhana menuju yang rumit untuk tujuan akhir, yakni menghargai karya sastra.

Secara lebih nyata, wujud dari kegiatan apresiasi berupa membaca untuk

memahami dan memberikan makna karya sastra, menulis karya sastra,

membacakan karya sastra, mendramakan karya sastra, serta mendokumentasikan

karya sastra.

c. Pengertian Apresiasi Puisi

Abdul Rozak Zaidan dalam Herman J. Waluyo membatasi pengertian

apresiasi puisi seperti berikut ini. “Apresiasi puisi sebagai penghargaan atas puisi

Page 6: Bab ii pembel

16

sebagai hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan, dan penikmatan

atas karya tersebut yang didukung oleh kepekaan batin terhadap nilai-nilai yang

terkandung dalam puisi itu” (Herman J. Waluyo, 2002: 44).

Tengsoe Tjahjono mengemukakan bahwa apresiasi dapat diartikan sebagai

upaya memberikan penghargaan terhadap karya sastra dengan cara membaca

karya sastra, memahami, memberikan tafsiran yang logis, menghayati, dan

menikmati karya tersebut. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa menghargai puisi berarti

memandang puisi sebagai sesuatu yang bernilai, bukan sesuatu yang tidak

berguna. Dalam rangkaian kegiatan apresiasi puisi, menghargai puisi merupakan

ranah yang paling tinggi. Sebelum seseorang menyentuh ranah menghargai, dia

mesti melalui ranah mengenali, menikmati, dan memahami (Tengsoe Tjahjono,

1988: 13).

Selanjutnya, beliau membuat definisi yang lebih jelas mengenai apresiasi

puisi, yakni aktivitas menggeluti puisi yang melibatkan unsur pikiran, perasaan

bahkan fisik melalui langkah-langkah mengenali, menikmati, dan memahami

sehingga tumbuh penghargaan terhadap keindahan dan makna yang terkandung

dalam puisi.

Dengan demikian, mengapresiasi puisi lebih memberi peluang pada

terjadinya penafsiran yang beragam jika dibandingkan dengan mengapresiasi

terhadap novel, cerpen atau drama, karena bahasa puisi lebih padat, langsung,

lugas, dan tidak memerlukan deskripsi panjang lebar. Oleh karena itu, pada

umumnya bahasa dalam puisi bersifat sugestif (penyaranan), asosiatif (pertalian),

dan imajis/ pembayangan (Maman S. Mahayana, 2005: 264). Senada dengan itu,

Page 7: Bab ii pembel

17

Riffaterre (1972: 2) dalam Rachmat Djoko Pradopo (2007: 148) berpendapat ada

ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense di dalam puisi.

Puisi yang baik lazimnya menawarkan serangkaian makna kepada

pembacanya. Untuk menangkap rangkaian makna itu, tentu saja pembaca perlu

masuk ke dalamnya dan mencoba memberi penafsiran terhadapnya. Adapun

langkah dasar yang dapat dilakukan untuk pemahaman itu adalah ikhtiar untuk

mencari tahu makna teks. Sebagai sebuah teks, puisi menyodorkan makna

eksplisit dan implisit. Makna eksplisit dapat kita tarik dari perwujudan teks itu

sendiri; pilihan katanya, rangkaian sintaksisnya, dan makna semantisnya. Pilihan

kata atau diksi menyodorkan kekayaan nuansa makna; rangkaian sintaksis berhu-

bungan dengan maksud yang hendak disampaikan, logika yang digunakan

berkaitan dengan pemikiran atau ekspresi yang ditawarkan; makna semantis

berkaitan dengan kedalaman makna setiap kata dan acuan-acuan yang

disarankannya. Adapun makna implisit berkaitan dengan interpretasi dan makna

yang menyertai di belakang puisi yang bersangkutan.

Apapun jenis puisi yang menjadi objek apresiasi atau kajian kritis

terhadapnya, langkah-langkah sebagai usaha pemahaman itu sangat mungkin

dapat membantu pembaca menyelam ke dalam dunia puisi yang bersangkutan dan

kemudian muncul kembali dengan membawa pemahaman tekstual dan

kontekstualnya. Pemahaman tekstual atau makna teks tersurat dapat dilakukan

lewat dua tahapan. Sebelum kita memasuki langkah-langkah apresiasi puisi, perlu

kiranya kita memahami dahulu pengertian apresiasi itu sendiri, agar tidak terjadi

pencampuradukan antara apresiasi puisi dan pengetahuan tentang puisi.

Page 8: Bab ii pembel

18

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa

apresiasi puisi adalah kegiatan yang dilakukan melalui tahap-tahap dimulai dari

yang sederhana menuju yang rumit untuk tujuan akhir, yakni menghargai puisi.

Secara lebih nyata, wujud dari kegiatan apresiasi puisi berupa membaca untuk

memahami dan memaknai puisi, menulis puisi, membacakan puisi, mendramakan

puisi, musikalisasi puisi, serta mendokumentasikan puisi

d. Kegiatan Apresiasi

Menurut Tengsoe Tjahjono (1988: 17) kegiatan mengapresiasi sastra

(puisi) dapat dilakukan melalui beberapa macam, yakni: kegiatan langsung,

kegiatan tidak langsung, kegiatan kreatif, dan kegiatan dokumentatif.

Kegiatan langsung dapat berupa membaca teks sastra dan melalui

performansi (penampilan). Kegiatan apresiasi secara tidak langsung berupa:

kegiatan mempelajari teori sastra, kegiatan mempelajari kritik sastra, dan kegiatan

mempelajari sejarah sastra. Sementara itu, kegiatan kreatif dapat berupa membuat/

menciptakan puisi secara langsung. Kegiatan dokumentatif dapat berupa

mengumpulkan dan penyusunan naskah.

Sementara itu, Novia Rahayu berpendapat bahwa menghargai puisi berarti

memandang puisi sebagai sesuatu yang bernilai, bukan sesuatu yang tiada

berguna. Dalam rangkaian kegiatan apresiasi puisi, menghargai puisi merupakan

ranah yang paling tinggi. Sebelum seseorang menyentuh ranah menghargai dia

mesti melalui ranah mengenali, menikmati, dan memahami.

http://noviarahayu.wordpress.com/ 2008/04/02/apresiasi-puisi.

Page 9: Bab ii pembel

19

Maman S. Mahayana berpendapat sebagai wujud penghargaan terhadap

karya sastra, langkah pertama adalah pembacaan teks sastra (puisi) itu sendiri.

Langkah kedua adalah penyisihan teori-teori atau konsep-konsep baku mengenai

pengertian, rumusan atau definisi. Apresiasi justru penghargaan terhadap wujud

konkret karyanya itu sendiri. http://mahadewamahadewa.blogspot.com/2008/

10/sejumlah-masalah-dalamapresiasipuisi.html.

Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa apresiasi puisi atau apresiasi

sastra pada umumnya merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap karya

sastra (puisi). Sebagai penghargaan, langkah pertama yang mesti dilakukan adalah

pembacaan teks sastra (puisi) itu sendiri (http://mahadewamahadewa.blogspot.

Com/2008/10/sejumlah-masalah-dalam -apresiasi-puisi.html)

Menurut Aminudin dalam Tengsoe Tjahjono (1988: 22) bekal awal

seorang apresiator adalah: 1) kepekaan emosi; 2) pengetahuan dan pengalaman

yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan kemanusiaan; 3) pemahaman

terhadap aspek kebahasaan; dan 4) pemahaman terhadap unsure intrinsik karya

sastra. Dengan demikian seorang apresiator puisi hendaknya mempunyai hal-hal

seperti tersebut di atas.

Pertama, seorang apresiator hendaknya peka terhadap puisi yang

dibacanya. Hal ini berarti seorang apresiator cepat tanggap terhadap permasalahan

yang diangkat dalam puisi. Hal ini bisa diketahui kalau seorang apresiator

memiliki kepekaan emosi yang cukup tinggi terutama pesan yang akan

disampaikan oleh pengarang dalam puisinya.

Page 10: Bab ii pembel

20

Kedua, pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah

kehidupan dan kemanusiaan. Seorang apresiator hendaknya memiliki pengalaman

yang luas terutama yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan

kemanusiaan. Hal ini memang sangat dibutuhkan pengalaman tersebut akan dapat

membantu menghubungkan antara puisi yang dibaca dengan kenyataan yang ada.

Dengan pengalaman yang luas, seorang apresiator akan dapat menghubungkan

antara isi puisi yang dibaca dengan kehidupan nyata.

Ketiga, pemahaman terhadap aspek kebahasaan. Pemahaman terhadap

aspek kebahasaan sangat diperlukan, mengingat puisi cenderung memiliki aneka

makna. Bahkan, ada puisi yang didalamnya terdapat kata yang sebenarnya tidak

mempunyai makna (kata-kata nonsense). Akan tetapi, oleh pengarang kata-kata

tersebut sengaja dibuat seperti itu dan diberikan makna tersendiri.

Keempat, pemahaman terhadap unsur intrinsik puisi. Seorang apresiator

puisi perlu mengetahui unsur-unsur intrinsik puisi. Unsur intrinsik puisi meliputi:

tema (sence), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap

pembaca (tone), dan amanat (intention).

Berdasarkan pendapat di atas, dapat ditarik simpulan bahwa kegiatan

apresiasi dapat berupa menikmati, memahami, memaknai puisi, menilai,

menghasilkan, serta mendokumentasikan. Kegiatan apresiasi dapat dilaksanakan

dengan baik apabila seorang apresiator mempunyai bekal awal seperti: kepekaan

emosi, pengetahuan dan pengalaman masalah kehidupan dan kemanusiaan,

pemahaman aspek kebahasaan, dan pemahaman unsur intrinsik karya sastra.

Page 11: Bab ii pembel

21

e. Pengertian Puisi

Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poeima

yang artinya berati membuat, poeisis yang berarti pembuatan, atau poeites yang

berarti pembuat, pembangun, atau pembentuk. Dalam bahasa Inggris, padanan

kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan poet dan poem yang artinya tidak

jauh dari to make atau to create. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti

orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir

menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang

berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan,

guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.

Herman J. Waluyo (2008: 29) berpendapat bahwa “puisi adalah bentuk

karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif

dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan

pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Sementara itu, Jasin dalam

Tengsoe Tjahjono (1988: 45) mengatakan puisi adalah pengucapan dengan

perasaan, sedangkan prosa adalah pengucapan dengan pikiran.

Senada dengan hal tersebut, Hudson dalam Sutejo (2008: 2) berpendapat

bahwa puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai

medium penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi seperti halnya

lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan

pelukisnya.

Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 2007: 6) mengumpulkan definisi dari

penyair romantik Inggris sebagai berikut. Samuel Taylor Coleridge

Page 12: Bab ii pembel

22

mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan

terindah. Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat

musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu

seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi. Wordsworth

mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif,

yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan

bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-

baur. Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling

indah dalam hidup.

Herman J. Waluyo (2008: 25-26) mengemukakan definisi puisi dari

beberapa ahli seperti berikut ini. Slamet Muljana menyatakan bahwa puisi

merupakan bentuk kesusasteraan yang menggunakan pengulangan suara sebagai

ciri khasnya. James Reeves menyatakan bahwa puisi adalah ekspresi bahasa yang

kaya dan penuh daya pikat. (3) Clive Sansom mengemukakan puisi sebagai

bentuk pengucapan bahasa yang ritmis, yang mengungkapkan pengalaman

intelektual yang bersifat imajinatif dan emosional.

Demikian juga dengan Emily Dickinson dalam Kennedy, X.J. yang

mendefinisikan puisi seperti berikut ini. “If I read a book and it makes my whole

body so cold no fire can ever warm me, I know that is poetry. If I feel physically

as if the top of my head were taken off, I know that is poetry” (Kennedy, 1991:

331).

Sementara itu, Atkin Graham (1995: 121) menjelaskan puisi seperti

berikut ini. “What is poetry? For poetry makes nothing happen, it survives. In the

Page 13: Bab ii pembel

23

valley of its making where executives. Would never want to tamper, flows on

south. From ranches of isolation and the busy griefs. Row towns that we believe

and die in, it survives. A way of happening, a mouth”?

Menurut Slamet (2002: 15) hakikat puisi terdiri dari empat hal pokok

yaitu: sense, feeling, tone, dan, intention. Sense atau tema adalah pokok persoalan

(subyek matter) yang dikemukakan oleh pengarang melalui puisinya baik secara

langsung maupun secara tidak langsung. Feeling/ rasa adalah sikap penyair

terhadap pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya. Tone/ nada adalah

sikap penyair (rendah hati, angkuh, persuatif, sugestif) terhadap pembaca pada

umumnya. Intention/ tujuan adalah tujuan penyair dalam menciptakan puisi

tersebut. Tujuan ini bergantung pada pekerjaan, cita-cita, pandangan hidup, dan

keyakinan yang dianut penyair.

Berdasarkan beberapa definisi puisi seperti yang telah disebutkan di atas,

dapat disimpulkan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mementingkan

pemilihan diksi yang kaya dan penuh daya pikat, mengungkapkan pikiran dan

perasaan penyair secara imajinatif, serta merupakan kata-kata yang terindah dalam

susunan terindah.

f. Struktur Puisi

Puisi terbentuk dari dua lapis, yaitu lapis bentuk atau struktur puisi dan

lapis makna dalam puisi. Senada dengan hal tersebut Rachmat (2007b: 14)

berpendapat bahwa puisi merupakan sebuah struktur yang kompleks artinya puisi

dibangun oleh beberapa bagian yang memiliki jaringan secara nyata.

Page 14: Bab ii pembel

24

1) Struktur Fisik Puisi

Menurut Herman J. Waluyo (2008: 82) unsur-unsur bentuk atau struktur

fisik puisi dapat diuraikan dalam metode puisi. Unsur-unsur tersebut merupakan

satu kesatuan yang utuh, akan tetapi dapat ditelaah secara sendiri-sendiri/ secara

terpisah. Unsur-unsur itu adalah: diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa

figuratif/ majas, versifikasi, dan tata wajah puisi. Selanjutnya, beliau mengatakan

bahwa unsur yang lain dalam puisi adalah struktur batin puisi yang meliputi

perasaan penyair serta suasana jiwa penyair.

Senada dengan hal tersebut Tengsoe Tjahjono (1988: 50) berpendapat

bahwa struktur fisik atau lapis bentuk puisi ada beberapa macam. Lapis bentuk

puisi tersebut meliputi bunyi dan irama dalam puisi, diksi/ pemilihan kata dalam

puisi, baris dalam puisi, enjambemen dalam puisi, bait dalam puisi, serta tipografi

dalam puisi.

Metode-metode dalam pembelajaran puisi meliputi: diksi, imageri, kata

konkret, majas/ bahasa figuratif, versifikasi, dan tatawajah.

2) Diksi/ Pemilihan Kata

Diksi adalah pilihan atau pemilihan kata yang biasanya diusahakan oleh

penyair dengan secermat mungkin. Penyair mencoba menyeleksi kata-kata baik

kata yang bermakna denotatif maupun konotatif. Tentu saja kata-kata/ diksi

tersebut berkaitan dengan perbendaharaan kata penyair, penggunaan urutan kata,

sera daya sugesti kata-kata oleh penyair.

Page 15: Bab ii pembel

25

3) Pengimajian/ Imageri

Imageri adalah kemampuan kata-kata yang dipakai pengarang dalam

mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan

oleh penyair. Ada beberapa macam imaji/ citraan yang dihasilkan oleh indera

penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan, dan penciuman. Oleh karena

itu, ada beberapa macam imaji/ citraan, yaitu: citra penglihatan, citra

pendengaran, citra penciuman, citra intelektual, citra gerak, citra lingkungan, dan

citra kesedihan (Rachmat Djoko Pradopo, 2007b: 81).

Citra penglihatan (visual imagery), yaitu citraan yang timbul oleh

penglihatan atau berhubungan dengan indra penglihatan. Citra penglihatan ini

merupakan jenis yang paling sering digunakan oleh penyair apabila dibandingkan

dengan jenis citraan yang lain. Citra pendengaran, yaitu citraan yang timbul oleh

pendengaran atau berhubungan dengan indra pendengaran. Citra penciuman dan

pencecapan, yaitu citraan yang timbul oleh penciuman dan pencecapan. Citra

intelektual, yaitu citraan yang timbul oleh asosiasi intelektual/ pemikiran. Citra

gerak, yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yang sebetulnya tidak bergerak

tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak. Citra lingkungan, yaitu citraan yang

menggunakan gambaran-gambaran selingkungan. Citra kesedihan, yaitu citraan

yang menggunakan gambaran-gambaran kesedihan.

4) Kata Konkret

Kata konkret merupakan kata yang perlu mendapatkan perhatian bagi

penyair untuk menimbulkan/ membangkitkan imaji/ daya bayang. Kata yang

Page 16: Bab ii pembel

26

diperkonkret ini erat hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang. Jika

penyair mampu mengkonkretkan kata-kata dengan baik, pembaca seolah-olah

dapat melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan oleh penyair. Tentu

saja kata-kata konkret sangat dibutuhkan dalam memahami isi puisi, lebih-lebih

apabila puisi tersebut banyak menggunakan kiasan dan lambang dalam pemilihan

kata.

5) Majas/ Bahasa Figurasi

Majas/ bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan penyair untuk

mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa. Bahasa figuratif ini disajikan

dengan bahasa yang bersusun-susun serta berpigura artinya dengan penggunaan

bahasa figuratif puisi dapat menjadi prismatik yakni memancarkan banyak makna/

kaya akan makna (Herman J. Waluyo, 2008: 96).

Ada beberapa macam majas/ bahasa figuratif/ gaya bahasa yang digunakan

dalam puisi, yaitu majas: perbandingan (simile), metafora, perumpamaan epos

(epic simile), personifikasi, metonimi, sinekdoki (synecdoche), dan alegori

(Rachmat Djoko Pradopo, 2007b: 62).

Gaya bahasa perbandingan (simile), yaitu bahasa kiasan yang

menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata

pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, umpama, laksana, dan

lain-lain. Gaya bahasa metafora, yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal

dengan hal lain tanpa mempergunakan kata-kata pembanding. Gaya bahasa

perumpamaan epik (epic simile), yaitu perbandingan yang dilanjutkan atau

diperpanjang dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya dalam kalimat

Page 17: Bab ii pembel

27

berturut-turut. Gaya bahasa personifikasi ialah kiasan yang mempersamakan

benda dengan manusia (benda mati dapat berbuat dan berpikir seperti manusia).

Gaya bahasa metonimia yaitu kiasan pengganti nama. Gaya bahasa sinekdoke

yaitu bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting untuk benda itu

sendiri. Gaya bahasa alegori ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan.

6) Versifikasi (Rima, Ritma, dan Metrum)

Istilah versifikasi menggantikan rima, ritma, dan metrum. Ketiganya

merupakan akibat dari pemakaian bunyi yang padu. Rima berarti persamaan bunyi

atau pengulangan bunyi. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Herman J.

Waluyo (2008: 105) yang menyatakan bahwa rima adalah pengulangan bunyi

dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Rima dapat berupa

pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembutnya ucapan bunyi bahasa

dengan teratur. Dalam rima dikenal perulangan bunyi yang cerah, ringan, yang

mampu menciptakan suasana kegembiraan serta kesenangan. Bunyi semacam ini

disebut euphony. Sebaliknya, ada pula bunyi-bunyi yang berat, menekan, yang

membawa suasana kesedihan. Bunyi semacam ini disebut cacophony.

Berdasarkan jenisnya, persajakan dibedakan menjadi beberapa macam. 1)

Rima sempurna, yaitu persama bunyi pada suku-suku kata terakhir; 2) Rima tak

sempurna, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir;

3) Rima mutlak, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada dua kata atau lebih

secara mutlak (suku kata sebunyi); 4) Rima terbuka, yaitu persamaan bunyi yang

terdapat pada suku akhir terbuka atau dengan vokal sama; 5) Rima tertutup, yaitu

persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata tertutup (konsonan); 6) Rima

Page 18: Bab ii pembel

28

aliterasi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris

yang sama atau baris yang berlainan; 7) Rima asonansi, yaitu persamaan bunyi

yang terdapat pada asonansi vokal tengah kata; 8) Rima disonansi, yaitu

persamaan bunyi yang terdapaat pada huruf-huruf mati/ konsonan.

Berdasarkan letaknya, rima dibedakan menjadi beberapa macam. 1) Rima

awal, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada awal baris pada tiap bait puisi; 2)

Rima tengah, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di tengah baris pada bait puisi;

3) Rima akhir, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di akhir baris pada tiap bait

puisi; 4) Rima tegak, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bait-bait puisi

yang dilihat secara vertikal; 5) Rima datar yaitu persamaan bunyi yang terdapat

pada baris puisi secara horizontal; 6) Rima sejajar, yaitu persamaan bunyi yang

berbentuk sebuah kata yang dipakai berulang-ulang pada larik puisi yang

mengandung kesejajaran maksud; 7) Rima berpeluk, yaitu persamaan bunyi yang

tersusun sama antara akhir larik pertama dan larik keempat, larik kedua dengan

larik ketiga (ab-ba); 8) Rima bersilang, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama

antara akhir larik pertama dengan larik ketiga dan larik kedua dengan larik

keempat (ab-ab); 9) Rima rangkai/ rima rata, yaitu persamaan bunyi yang tersusun

sama pada akhir semua larik (aaaa); 10) Rima kembar/ berpasangan, yaitu

persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir dua larik puisi (aa-bb); 11) Rima

patah, yaitu persamaan bunyi yang tersusun tidak menentu pada akhir larik-larik

puisi (a-b-c-d).

Slamet Muljana dalam Herman J. Waluyo (1987: 94) berpendapat ritma

berarti pertentangan bunyi: keras/ lemah, tinggi/ rendah, panjang/ pendek, yang

Page 19: Bab ii pembel

29

mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan.

Variasi itu mirip gelombang yang teratur, sehingga puisi menjadi enak dibaca dan

merdu apabila didengarkan.

Metrum/ mantra adalah pengulangan tekanan kata yang tetap dalam

sebuah puisi. Metrum bersifat statis dan hanya diucapkan oleh orang-orang

tertentu saja. Ada dua macam metrum, yaitu: 1) irama yang tetap, menurut pola

tertentu dan 2) ritme, yaitu irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian

bunyi tinggi rendah secara teratur. Irama menyebabkan aliran perasaan atau

pikiran tidak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan

(imaji) yang jelas dan hidup. Irama diwujudkan dalam bentuk tekanan-tekanan

pada kata (dinamik, nada, dan tempo).

7) Tata Wajah (Tipografi)

Tipografi adalah bentuk puisi yang dapat dengan mudah membedakan

antara prosa dan puisi. Larik-larik dalam puisi tidak membentuk paragraf tetapi

membentuk bait. Baris puisi tidak harus bermula dari tepi kiri ke tepi kanan. Baris

puisi dapat dimulai dari tepi kiri, tengah, tepi kanan, dan lain-lain. Lebih-lebih

sejenis puisi kontemporer yang sangat mementingkan tipografi daripada makna

kata-kata. Hal seperti ini banyak dilakukan oleh tokoh puisi kontemporer yaitu

Sutardji Calzoum Bachri.

8) Struktur Batin Puisi

Adapun struktur batin puisi meliputi: tema/ makna (sense); rasa (feeling),

nada (tone), dan amanat/ tujuan/ maksud (itention). Tema (sense) yaitu media

puisi bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi

Page 20: Bab ii pembel

30

harus bermakna dalam setiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan. Rasa

(feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam

puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial

dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin,

dan lain-lain. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi

suatu masalah bergantung pada kemampuan penyair memilih kata-kata, rima,

gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, serta bergantung pada wawasan, pengetahuan,

pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan

psikologisnya. Nada (tone) yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga

berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan

nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan

masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada

sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dan lain-lain. Amanat/ tujuan/

maksud (itention) yaitu sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair

menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan

puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya http://endonesa.wordpress

.com/lentera-sastra/puisi.

g. Jenis-jenis Puisi

Jenis-jenis puisi perlu diketahui oleh pembaca agar mereka (pembaca)

mampu memahami dan menghayati puisi itu dengan baik. Berikut beberapa jenis

puisi menurut beberap ahli. Menurut Tengsoe Tjahjono (1988) puisi dibedakan/

Page 21: Bab ii pembel

31

dikelompokkan menjadi beberapa macam: yakni: puisi epik, puisi naratif, puisi

dramatik, puisi lirik, puisi epigram, puisi didaktis, puisi satirik, romans, dan elegi.

Sementara itu, Herman J. Waluyo (2008: 166) berpendapat bahwa ragam

puisi dibedakan menjadi beberapa macam, 1) puisi naratif, lirik, dan deskriptif; 2)

puisi kamar dan puisi auditorium; 3) puisi fisikal, platonik, dan metafisik; 4) puisi

subjektif dan puisi objektif; 5) puisi konkret; 6) puisi diafan, gelap, dan prismatis;

7) puisi parnasian dan puisi inspiratif; 8) stansa; 9) puisi demonstrasi dan pamflet;

10) alegori.

Senada dengan hal tersebut, Sutejo (2008: 3-41) berpendapat bahwa ragam

puisi ditinjau dari segi bentuk maupun isinya ada beberapa macam. Menurut

beliau ragam puisi tersebut adalah: 1) puisi elegi, yaitu puisi yang berisi tentang

ratapan dan kepedihan penyair; 2) puisi romance, yaitu puisi yang merupakan

luapan batin penyair terhadap sang pujaan/ kekasih; 3) puisi dramatik, yaitu puisi

yang merupakan penggambaran dari perilaku seseorang melalui dialog, monolog;

4) puisi satirik yaitu puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang

kepincangan yang terjadi; 5) puisi didaktik, yaitu puisi yang mengandung nilai-

nilai edukatif; 6) puisi lirik, yaitu puisi yang berisi luapan batin penyair atas

pengalaman batinnya; 7) puisi naratif, yaitu puisi yang berisi tentang cerita

(balada); 8) puisi epik, yaitu puisi yang berisi tentang kepahlawanan; 9) puisi

fabel, yaitu puisi yang bercerita tentang kehidupan binatang; 10) puisi deskriptif,

yaitu puisi yang menekankan pada impresi penyair atas realita benda, peristiwa,

keadaan, atau suasana; 11) puisi kamar; 12) puisi hukla/ auditorium, yaitu puisi

yang cocok untuk dipanggungkan; 13) puisi fisikal, yaitu puisi yang

Page 22: Bab ii pembel

32

menggambarkan suatu realita dengan apa adanya; 14) puisi platonik, yaitu puisi

yang sepenuhnya berisi tentang hal-hal yang bersifat spiritual atau kejiwaan; 15)

puisi metafisikal, yaitu puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca untuk

merenung tentang kehidupan untuk menemukan tuhannya ; 16) puisi konkret,

yaitu puisi yang mengandalkan visualisasi konkret, bentuk tipografinya sebagai

sarana dalam menyampaikan pesan; 17) puisi objektif, yaitu puisi yang

mengungkapkan hal-hal di luar penyair; 18) puisi subjektif, yaitu puisi yang

mengungkapkan gagasan, ide, pikiran, perasaan, dan suasana batin penyair; 19)

puisi prismatis, yaitu puisi yang menyelaraskan kemampuan menciptakan majas,

versifikasi, diksi, dan pengimajian sehingga sulit untuk menafsirkan makna yang

terkandung; 20) puisi diafan/ puisi polos; 21) puisi gelap, yaitu puisi yang sangat

sulit ditafsirkan maknanya; 22) puisi parnasian, yaitu puisi yang banyak

mengandung nilai keilmuan; 23) puisi passion/ inspiratif, yaitu puisi yang mampu

melukiskan suasana, peristiwa, dan keadaan secara memikat; 24) puisi pamflet,

yaitu puisi yang biasanya digunakan untuk kepentingan demonstrasi; 25) puisi

kontemporer; 26) puisi efektif, yaitu puisi lirik yang menekankan akan pentingnya

mempengaruhi pembaca; 27) puisi kognitif, yaitu puisi lirik yang menekankan isi

gagasan penyairnya; 28) puisi ekspresif, yaitu puisi lirik yang menonjolkan

ekspresi pribadi penyairnya; 29) himne, yaitu puisi lirik yang berisi pujian

terhadap tuhannya; 30) ode, yaitu puisi lirik yang berisi pujian terhadap seorang

pahlawan; 31) epigram, yaitu puisi lirik yang berisi ajaran kehidupan, sifatnya

menggurui; 32) puisi humor; 33) idyl, yaitu puisi lirik yang berisi nyanyian

tentang kehidupan di pedesaan; 34) parodi, yaitu puisi lirik yang berisi ejekan

Page 23: Bab ii pembel

33

yang ditujuan terhadap karya seni; dan 35) pastoral, yaitu puisi lirik yang berisi

penggambaran kehidupan petani di sawah-sawah.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa puisi mempunyai

jenis yang banyak ragamnya. Meskipun demikian, puisi yang beragam tersebut

pada hakikatnya tetap sama, yaitu ekspresi seseorang yang dituangkan dalam

bentuk tulisan yang indah. Tulisan yang indah tersebut mempunyai isi/ pesan

tertentu yang disampaikan kepada pembaca.

h. Pengertian Puisi Kontemporer

Istilah puisi kontemporer diperkenalkan oleh Tengsoe Tjahjono (1988: 88-

89) Menurut beliau, “puisi kontemporer adalah bentuk puisi yang berusaha lari

dari ikatan konvensional puisi itu sendiri. Puisi tersebut ditandai dengan adanya

bentuk yang aneh dan ganjil”. Menurut ukuran orang Indonesia puisi kontemporer

merupakan bentuk puisi yang berusaha lari dari ikatan konvensional puisi itu

sendiri. Puisi-puisi yang sejenis itu dipelopori oleh Sutardji Calzoum Bahri sekitar

tahun 1973-an.

Menurut Suparni istilah kontemporer berasal dari bahasa Perancis

contemporain yang berarti dari zaman yang sama. Berangkat dari pengertian

tersebut, puisi kontemporer dapat diartikan sebagai puisi yang sesuai dengan

zaman kini, mutakhir. Yang dimaksud zaman mutakhir di sini adalah puisi hasil

suatu pembaharuan dari puisi-puisi yang ada sebelumnya (Suparni, 1988: 79).

Penyair lain yang sejalan dengan Sutardji yang cenderung berbentuk aneh

dan ganjil adalah Danarto. Beliau justru memulai membuat puisi dengan kekuatan

Page 24: Bab ii pembel

34

garis dalam menciptakan puisinya. Penyair yang senada dengan Sutardji dan

Danarto yang mencanangkan bentuk aneh dan ganjil antara lain: Ibrahim Sattah,

Hamid Jabbar, Husni Jamaluddin, Noorca Marendra, Jiehan, F. Rahadi, dan

sebagainya.

Puisi yang aneh dan ganjil seperti tersebut di atas oleh Herman J. Waluyo

(2002: 122) diberi istilah puisi konkret dan puisi mantra. Dalam hal ini puisi

dikembalikan pada kodratnya yang paling awal yaitu sebagai mantra yang

mengandalkan kata sebagai kekuatan bunyi. Sementara itu, bentuk konkret yang

digunakan, menurut Pradopo, untuk mendukung makna yang ada dalam puisi

tersebut.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa puisi kontemporer

adalah puisi yang aneh dan ganjil yang merupakan pembaruan puisi sebelumnya

dengan mementingkan tipografi sebagai pendukung arti puisi.

i. Macam-macam Puisi Kontemporer

Istilah puisi kontemporer diperkenalkan oleh Tjahjono dalam bukunya

yang berjudul Sastra Indonesia (1988: 88). Menurut beliau puisi kontemporer

terdiri dari sembilan macam, yakni: puisi mbeling/ puisi lugu, puisi tipografi, puisi

yang menentang idiom-idiom konvensional, puisi yang membolak-balikkan

struktur kata, puisi yang lebih mengutamakan unsur bunyi, puisi yang

mengkombinasikan bahasa Indonesia dengan bahasa asing, puisi yang banyak

menggunakan simbol daripada kata, puisi yang lebih menonjolkan unsur garis-

garis, dan puisi konkret (Tengsoe Tjahjono, 1988: 89-97).

Page 25: Bab ii pembel

35

Sementara itu, Zaidan Hendy (1993: 206) dalam bukunya yang berjudul

Kesusastraan Indonesia 2 menyebut istilah puisi kontemporer dengan sebutan

bentuk puisi yang menyimpang. Menurut beliau puisi menyimpang dapat

dibedakan menjadi enam macam, yakni: puisi absurd, puisi hermetis, puisi

konkret, puisi makaroni, puisi mantra, dan puisi rhopalis. Lain halnya dengan

Herman J. Waluyo (2002: 122), beliau menyebut puisi kontemporer dengan

sebutan puisi konkret dan puisi mantra.

Para ahli menyebut istilah puisi kontemporer dengan sebutan yang

berbeda-beda. Namun demikian, hakikat dari puisi kontemporer itu tetap sama

yakni puisi yang berusaha lari dari ikatan konvensional puisi itu sendiri. Puisi

tersebut lebih menonjolkan tipografi/ bentuk serta banyak menggunakan kata-

kata nonsense. Puisi tersebut ditandai dengan adanya bentuk yang aneh dan ganjil.

Menurut ukuran orang Indonesia puisi kontemporer merupakan bentuk puisi yang

berusaha lari dari ikatan konvensional puisi itu sendiri. Puisi kontemporer

dipelopori oleh Sutardji Calzoum Bahri sekitar tahun 1973-an.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, puisi kontemporer dapat

dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu puisi mbeling/ puisi lugu, puisi

konkret/ tipografi, puisi absurd/ puisi inkonvensional, dan puisi mantra.

a. Puisi Mbeling/ Puisi Lugu

Puisi mbeling adalah puisi yang tidak mendapatkan tempat pada majalah

sastra. Hal ini disebabkan puisi tersebut menggunakan ungkapan yang blak-

blakan/ fulgar tanpa menghiraukan diksi konvensional ataupun bunga-bunga

bahasa. Biasanya mengungkapkan kritik pada kehidupan masyarakat, tetapi

Page 26: Bab ii pembel

36

dengan cara yang lucu. Hal inilah yang menyebabkan jenis puisi ini tidak diterima

dalam majalah sastra.

Contoh 1

Sajak Tentang Sebuah Mimpi

Seorang anak yang malangMimpi ketemu Sinterklas, tadi malamKatanya: “Sorga ada di bawah telapak kaki ibu … “

Pagi-pagi sekali anak yang malang ituMenangis di depan ibunyaYang telah terputus kedua kakinya

Adegan ini, sesungguhnya agak mengharukanTetapi kalau nasib menghendakinya begituKita mau apa lagi?

(Noorca Marendra)

Contoh 2Belajar Membaca

kakiku luka

luka kakiku

kakikau lukakah

lukakah kakikau

kalau kakikau luka

lukakukah kaki kau

kakiku luka

lukakah kakikau

kalau lukaku lukakau

kakiku kakikaukah

kakikaukah kakiku

kakiku luka kaku

kalau lukaku lukakau

lukakakukakiku lukakakukakikaukah

lukakakukakikaukah lukakakukakiku

(Oleh Sutardji Calzoum Bachri)

Page 27: Bab ii pembel

37

b. Puisi Konkret/ Puisi Tipografi

Puisi konkret/ puisi tipografi adalah puisi yang mementingkan

gambaran visual dengan menonjolkan bentuk/ tata wajah yang disusun mirip

dengan gambar Dalam puisi konkret/ puisi tipografi seorang penyair berusaha

mengekspresikan gejolak hatinya dengan lebih menonjolkan lukisan bentuk

daripada puisinya.

Perhatikan contoh puisi di bawah ini!

Contoh 1

Di

DiBetul

kau pastisedang menghitung

berapa nasib lagi tinggalsebelum fajar terakhir kau tutup

tanpa seorang pun tahu siapa kau dan

dikau

maka kinilengkaplah sudah

perhitungan di luar akaldan angan-angan di dalam hati kita

tentang sesuatu yang tak bias siapa punmenerangkatakan pada saat itu kau mungkin sedang

diBetulkan?

(Noorca Marendra)

Page 28: Bab ii pembel

38

Contoh 2

Tragedi Winka & Sihkha

kawinkawin

kawinkawin

kawinKa

winka

winka

winka

winka

winkawinka

winkawinka

winkawinka

sihka

sihka

sihka

sihka

sihka

sihsih

sihsih

sihsih

kaKu

(Sutardji Calzoum Bachri)

Page 29: Bab ii pembel

39

Contoh 3

A B R A C A D A B R A

A B R A C A D A B R

A B R A C A D A B

A B R A C A D A

A B R A C A D

A B R A C A

A B R A C

A B R A

A B R

A B

A

(Oleh Danarto)

Contoh 4

V V V V V V V V V V V V V V V V V

V V V V V V V V V V V V V V V V V

V V V V V V V V V V V V V V V V V

V V V V V V V V V V V V V V V V V

V V V V V V V V V V V V V V V V V

V V V V V V V V V V V V V V V V V

V V V V V V V V V V V V V V V V V

V V V V V V V V V V V V V V V V V

V

VIVA PANCASILA !

(Oleh Jeihan)

Page 30: Bab ii pembel

40

Contoh 5

Sajak Transmigran II

dia selalu singkong

dan terus menerus singkong

hari ini singkong

tadi malam singkong

besuk mungkin singkong

besuknya lagi juga singkong

di rumah sepotong singkong

di ladang seikat singkong

di pasar segerobak singkong

di rumah tetangga sepiring singkong

enam bulan lagi tetap singkong

setahun lagi tetap singkong

sepuluh tahun masih singkong

dua puluh tahun makan singkong

dan lima puluh tahun kemudian

transmigran berubah

sakit-sakitan

mati

lalu dikubur di ladang singkong

(F. Rahardi)

c. Puisi Absurd/ Puisi Inkonvensional

Puisi absurd adalah bentuk puisi yang dianggap menyimpang dari

kriteria puisi yang lazim (Zaidan Hendi, 1993: 206). Dalam hal ini, penyimpangan

dapat terjadi dalam berbagai dimensi. Menurut Rachmad Djoko Pradopo (2007:

106) Sutardji C.B. banyak melakukan penyimpangan dalam sajak-sajaknya untuk

Page 31: Bab ii pembel

41

mendapatkan arti baru. Penyimpangan itu terjadi dalam hal penghapusan tanda

baca, pemutusan kata, pembalikan kata, penggandengan dua kata atau lebih,

penghilangan imbuhan. Penyimpangan yang dilakukan oleh Sutardji itulah yang

banyak menghasilkan puisi yang bersifat absurd.

Contoh

Sepisaupi

sepisau luka sepisau duri

sepikul dosa sepukau sepi

sepisau duka serisau diri

sepisau sepi sepisau nyanyi

sepisaupa sepisaupi

sepisaupanya sepikausepi

sepisaupa sepisaupi

sepikul diri keranjang diri

sepisaupa sepisaupi

sepisaupa sepisaupi

sepisaupa sepisaupi

sampai pisau-Nya ke dalam nyanyi

(Sutardji Calzoum Bachri)

d. Puisi Mantra

Banyak orang meyakini bahwa bentuk puisi tertua adalah mantra yang

merupakan bagian penting ritual-ritual masa lampau (Melani, 2008: 58). Lebih

lanjut beliau mengatakan bahwa kekhasan mantra terletak pada pengulangan-

pengulangan bunyi serta efek yang dihasilkannya pada pendengar. Mantra

Page 32: Bab ii pembel

42

mempunyai fungsi magis, yaitu mampu menyembuhkan penyakit, mengusir roh

jahat atau bala, dan menghubungkan manusia dengan alam supranatural.

Puisi mantra ialah puisi yang kata-kata/ kalimatnya mengandung suatu

magi (menimbulkan kekuatan gaib) seperti pada mantra. Dalam hal ini

pengulangan kata dan sekaligus pengulangan bunyi dirasakan menimbulkan

kekuatan khusus seperti pada mantra (Zaidan Hendy, 1993: 209).

Contoh

Sejak

sejak kapan sungai dipanggil sungai

sejak kapan tanah dipanggil tanah

sejak kapan derai dipanggil derai

sejak kapan resah dipanggil resah

sejak kapan kapan dipanggil kapan

sejak kapan kapan dipanggil lalu

sejak kapan akan dipanggil akan

sejak kapan akan dipanggil rindu

sejak kapan ya dipanggil tak

sejak kapan tak dipanggil mau

sejak kapan tuhan dipanggil tak

sejak kapan tak dipanggil rindu

(Sutardji Calzoum Bachri)

j. Pelopor Puisi Kontemporer

Sutardji Calzoum Bachri terkenal sebagai pelopor puisi kontemporer.

Beliau dilahirkan pada tanggal 24 Juni 1943 di Rengat, Indragiri Hulu, Riau.

Page 33: Bab ii pembel

43

Setelah lulus SMA, ia melanjutkan pendidikannya sampai tingkat doktoral,

Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Sosial Universitas Padjadjaran, Bandung.

Sutardji adalah anak kelima dari sebelas saudara dari pasangan

Mohammad Bachri (dari Prembun, Kutoarjo, Jawa Tengah) dan May Calzoum

(dari Tanbelan, Riau). Dia menikah dengan Mariham Linda (1982) dikaruniai

seorang anak perempuan bernama Mila Seraiwangi. Kariernya di bidang

kesastraan dirintis sejak mahasiswa yang diawali dengan menulis dalam surat

kabar mingguan di Bandung.

Selanjutnya, ia mengirimkan sajak-sajak dan esainya ke media massa di

Jakarta, seperti Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, majalah bulanan Horison,

dan Budaya Jaya. Di samping itu, ia mengirimkan sajak-sajaknya ke surat kabar

lokal, seperti Pikiran Rakyat di Bandung dan Haluan di Padang. Sejak itu, Sutardji

Calzoum Bachri diperhitungkan sebagai seorang penyair.

Pada tahun 2000-2002 Sutardji Calzoum Bachri menjadi penjaga ruangan

seni “Bentara”, khususnya menangani puisi pada harian Kompas setelah berhenti

menjadi redaktur majalah Horison. Sutardji Calzoum Bachri selain menulis juga

aktif dalam berbagai kegiatan, misalnya mengikuti International Poetry Reading

di Rotterdam, Belanda (1974), mengikuti International Writing Program di

Universitas Iowa, Iowa City, USA (Oktober 1974—April 1975), bersama Kiai

Haji Mustofa Bisri dan taufiq Ismail.

Ia pernah diundang ke Pertemuan International Para Pelajar di Bagdad,

Irak, pernah diundang Menteri keuangan Malaysia, Dato Anwar Ibrahim, untuk

membacakan puisinya di Departemen Keuangan Malaysia, mengikuti berbagai

Page 34: Bab ii pembel

44

pertemuan Sastrawan ASEAN, Pertemuan Sastrawan Nusantara di Singapura,

malaysia, dan Brunei Darussalam, serta pada tahun 1997 Sutardji membaca puisi

di Festival Puisi International Medellin, Columbia.

Sutardji dengan “Kredo Puisi”nya menarik perhatian dunia sastra di

Indonesia. Beberapa karyanya adalah O (Kumpulan Puisi, 1973), Amuk

(Kumpulan Puisi, 1977), dan Kapak (Kumpulan Puisi, 1979). Kumpulan puisnya,

Amuk, pada tahun 1976/1977 mendapat Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta

(DKJ). Kemudian pada tahun 1981 ketiga buku kumpulan pusinya itu

digabungkan dengan judul O, Amuk, Kapak yang diterbitkan oleh Sinar Harapan.

Selain itu, puisi-puisinya juga dimuat dalam berbagai antologi, antara lain Arjuna

in Meditation (Calcutta, India, 1976), Writing from The Word (USA), Westerly

Review (Australia), Dchters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststechting, 1975), Ik

Wil Nogdulzendjaar Leven, Negh Moderne Indonesische Dichter (1979), Laut

Biru, Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977), Parade Puisi Indonesia (1990),

majalah Tenggara, Journal of Southeast Asean Lietrature 36 dan 37 (1997), dan

Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2002).

Sutardji selain menulis puisi juga menulis esai dan cerpen. Kumpulan

cerpennya yang sudah dipublikasikan adalah Hujan Menulis Ayam (Magelang,

Indonesia Tera:2001). Sementara itu, esainya berjudul Gerak Esai dan Ombak

Sajak Anno 2001 dan Hujan Kelon dan Puisi 2002 mengantar kumpulan puisi

“Bentara”. Sutardji juga menulis kajian sastra untuk keperluan seminar. Sekarang

sedang dipersiapkan kumpulan esai lengkap dengan judul “Memo Sutardji”

Penghargaan yang pernah diraihnya adalah Hadiah Sastra Asean (SEA Write

Page 35: Bab ii pembel

45

Award) dari Kerajaan Thailand (1997), Anugrah Seni Pemerintah Republik

Indonesia (1993), Penghargaan Sastra Chairil Anwar (1998), dan dianugrahi gelar

Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Daerah Riau (2001).

Dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul “O Amuk Kapak” beliau

menyatakan: “Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat

untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan

pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian”

http://www.geocities.com/Paris/7229/suta....

k. Kemampuan Mengapresiasi Puisi Kontemporer

Kemampuan mengapresiasi puisi merupakan kesanggupan individu untuk

melakukan kegiatan secara maksimal dalam rangka mencapai hasil yang

maksimal. Adapun indikator yang digunakan dalam mengukur kemampuan

seseorang mengapresiasi puisi kontemporer meliputi: 1) Memahami isi puisi

kontemporer; 2) Menghubungkan antara puisi kontemporer dengan pengarangnya;

3) Memberikan penilaian terhadap puisi kontemporer; 4) Menulis puisi

kontemporer (Jakob Sumardjo: 1986: 131).

1) Memahami Isi Puisi Kontemporer

Untuk memahami sebuah puisi, pembaca terlebih dahulu mengetahui

teori-teori yang berkaitan dengan puisi kontemporer yang meliputi unsure-unsur

intrinsik puisi dan unsur-unsur ekstrinsik puisi. Unsur-unsur instrinsik puisi

kontemporer meliputi: tema, tipografi/ tata wajah, penggunaan kata-kata

nonsense, ciri-ciri puisi kontemporer, majas, dan enjambemen. Adapun unsur-

Page 36: Bab ii pembel

46

unsur ekstrinsik puisi kontemporer meliputi: riwayat hidup pembuat puisi,

pendidikan penyair, serta lingkungan penyair tinggal.

2) Menghubungkan antara Puisi Kontemporer dengan Pengarangnya

Untuk mengapresiasi puisi kontemporer, pembaca perlu membaca puisi

kontemporer, memahami isi puisi kontemporer yang dibaca, menghubungkan

antara penyair dengan puisi yang dibuatnya. Hal ini dapat dilihat dengan

memperhatikan beberapa hal, antara mencari jawaban mengapa judul puisi

penyair seperti itu, bagaimanakah tipografi puisi itu, mencari hubungan antara

baris yang satu dengan baris yang lain untuk dihubungkan dengan tipografi. Pada

prinsipnya pembaca perlu mengkaji secara mendalam/ menganalisis puisi yang

dibacanya.

3) Memberikan Penilaian terhadap Puisi Kontemporer

Untuk memberikan penilaian terhadap sebuah puisi kontemporer,

pembaca terlebih dahulu mengetahui teori-teori yang berkaitan dengan puisi

kontemporer yang meliputi unsur-unsur intrinsik dan unsur-unsur ekstrinsik puisi

kontemporer. Selain itu, pengetahuan terhadap sejarah puisi kontemporer juga

perlu diketahuinya.

Kemampuan menguasai isi puisi kontemporer merupakan hal penting bagi

seorang penilai. Dalam memberikan penilaian (kritik), seseorang perlu bersikap

secara objektif, artinya menilai sesuatu itu baik kalau keadaannya memang baik

dan menilai sesuatu itu jelek kalau memang kenyataannya kurang. Selain

memberikan penilaian secara objektif seorang penilai perlu mencantumkan

kutipan-kutipan pada baris-baris yang ada dalam puisi yang dinilainya.

Page 37: Bab ii pembel

47

Memberikan penilaian ini pada dasarnya memberikan gambaran serta

penjelasan tentang isi puisi kontemporer yang dinilai. Penilaian ini akan

bermanfaat bagi penulis puisi maupun bagi pembaca/ penikmat puisi

kontemporer.

4) Menulis Puisi Kontemporer

Menulis puisi kontemporer merupakan kegiatan yang membutuhkan

pemikiran serta konsentrasi khusus untuk terciptanya sebuah ide. Ide yang sudah

ada kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan. Tulisan yang akan dibuat perlu

diperhatikan tipografinya sekaligus pemberian makna tipografi yang berhubungan

dengan isi puisi.

Menurut Sutejo dan Kasnadi (2008: 49-50) ada beberapa langkah dalam

menulis puisi. Langkah-langkah terssebut antara lain adalah: 1) perlunya

memahami aliran; 2) perlunya memahami tema; 3) perlunya imajinasi; 4)

perlunya menemukan ide; 5) perlunya mengeramkan ide; 6) pilihlah sikap

terhadap persoalan yang terjadi; 7) memilih jenis puisi; 8) memilih larik-larik

yang menarik; 9) tuangkan aspek psikologi ke dalam puisi secara memikat; 10)

pilihlah tipografi yang sesuai; 11) pilihlah judul puisi yang memikat; 12)

manfaatkan gaya bahasa/ majas. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa langkah-

langkah tersebut pada dasarnya dapat dilakukan secara acak (tidak urut).

Langkah-langkah itu hanya dimaksudkan untuk memudahkan dalam penulisan

puisi kontemporer.

Page 38: Bab ii pembel

48

2. Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)

Sebelum membahas lebih lanjut tentang pendekatan Contextual Teaching

and Learning (CTL), pada kajian teori ini, secara beturut-turut akan dijelaskan

hakikat dan penerapan pendekatan CTL. Hakikat pendekatan Contextual Teaching

and Learning (CTL) meliputi: pengertian Contextual Teaching and Learning

(CTL), komponen dalam Contextual Teaching and Learning (CTL), pembelajaran

Contextual Teaching and Learning (CTL). Sementara itu, penerapan pendekatan

Contextual Teaching and Learning (CTL) dihubungkan dengan pembelajaran

apresiasi puisi kontemporer.

a. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL)

Kontekstual merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang

berorientasi pada konstruktivistik. Menurut Nur dalam Trianto (2007: 13-14)

pembelajaran konstruktivistik ini berpegang pada prinsip bahwa guru tidak hanya

sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi guru juga memberikan

kemudahan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan ide-

ide mereka. Selain itu, guru memberikan kepada siswa berupa anak tangga yang

membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi.

Menurut Johnson (2002) dalam Herman J. Waluyo (2006: 26-27) “The

CTL system is an educational process that aims to help student see meaning in the

academic material. They are studying by connecting academic subjects with the

context of their daily lives, that is, with the context of their personal, social, and

the circumstances.

Page 39: Bab ii pembel

49

Sementara itu, Mundiarto (2004: 70) berpendapat bahwa pendekatan

kontekstual adalah pendekatan yang mengaitkan antara materi pembelajaran

dengan konteks kehidupan dan kebutuhan siswa. Hubungan yang padu ini akan

meningkatkan motivasi belajar siswa serta akan menjadikan proses belajar

mengajar akan lebih efisien dan efektif. Senada dengan hal tersebut, Sugiyanto

berpendapat bahwa proses pembelajaran CTL diharapkan berlangsung alamiah.

Siswa bekerja dan mengalami bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.

Menurut beliau “strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil” (2008:

20).

Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL))

merupakan konsep belajar yang membantu guru dalam mengaitkan antara materi

yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa. Dalam hal ini guru

mendorong siswa untuk menghubungkan antara ilmu/ pengetahuan yang

dimilikinya untuk diterapkan dalam kehidupan nyata. Dengan konsep seperti itu,

hasil pembelajaran diharapkan akan dapat lebih bermakna bagi siswa. Proses

pembelajaran berlangsung secara alamiah. Siswa bekerja dan mengalami bukan

sekadar mentransfer ilmu dari gurunya. Dalam hal ini strategi pembelajaran lebih

dipentingkan daripada hasil (Depdiknas, 2003: 1). Lebih lanjut Johnson (2008:

65) mendefinisikan CTL seperti berikut ini.

“CTL adalah sebuah sistem yang menyeluruh. CTL terdiri dari bagian-

bagian yang saling terhubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu sama

lain, maka akan dihasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang diberikan

bagian-bagiannya secara terpisah. Setiap bagian CTL yang berbeda-beda

ini memberikan sumbangan dalam menolong siswa memahami tugas

sekolah. Secara bersama-sama, mereka membentuk suatu system yang

Page 40: Bab ii pembel

50

memungkinkan para siswa melihat makna di dalamnya dan mengingat

materi akademik”.

Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa siswa belajar lebih

bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah,

tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami. Pembelajaran tidak

hanya berorientasi target penguasaan materi, yang akan gagal dalam membekali

siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Dengan demikian proses

pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil belajar, sehingga guru dituntut

untuk merencanakan strategi pembelajaran yang variatif dengan prinsip

membelajarkan memberdayakan siswa, bukan mengajar siswa.

Dalam hal ini pengetahuan bukan lagi seperangkat fakta, konsep, dan

aturan yang siap diterima siswa, melainkan harus dikontruksi (dibangun) sendiri

oleh siswa dengan fasilitasi dari guru. Siswa belajar dengan mengalami sendiri,

mengkontruksi pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan itu.

Siswa harus tahu makna belajar dan menyadarinya, sehingga pengetahuan dan

ketrampilan yang diperolehnya dapat dipergunakan untuk bekal kehidupannya. Di

sinilah tugas guru untuk mengatur strategi pembelajaran dengan membantu

menghubungkan pengetahuan lama dengan yang baru dan memanfaatkannya.

Siswa menjadi subjek belajar sebagai pemain dan guru berperan sebagai pengatur

kegiatan pembelajaran (sutradara) dan fasilitator.

Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah pendekatan

yang dilakukan dengan cara guru memulai pembelajarani dengan mengaitkan

dunia nyata yaitu diawali dengan bercerita atau tanya-jawab lisan tentang kondisi

Page 41: Bab ii pembel

51

aktual dalam kehidupan siswa (daily life), kemudian diarahkan melalui modeling

agar siswa termotivasi, questioning agar siswa berpikir, constructivism agar siswa

membangun pengertian, inquiry agar siswa bisa menemukan konsep dengan

bimbingan guru, learning community agar siswa bisa berbagi pengetahuan dan

pengalaman serta terbiasa berkolaborasi, reflection agar siswa bisa mereview

kembali pengalaman belajarnya, serta authentic assessment agar penilaian yang

diberikan menjadi sangat objektif.

Menurut Atik Suryati pembelajaran dalam sebuah kelas dikatakan

menggunakan pendekatan kontekstual jika menerapkan ketujuh komponen

tersebut di atas, ini tidak sulit kalau sudah terbiasa, yang penting ada kemauan

kuat untuk mengubah dan meningkatkan kualitas diri. Kurikulum berbasis

kompetensi menuntut pelaksanaan pembelajaran model CTL tersebut, karena

orientasinya pada proses sehingga siswa memiliki kompetensi, kemampuan tidak

sekedar mengetahui dan memahami. Jangan lupa bahwa kondisi emosional

individu akan mempengaruhi pemikiran dan perilaku siswa. Oleh karena itu, CTL

akan terlaksana dengan optimal jika guru mampu menciptakan suasana belajar

yang kondusif, nyaman dan menyenangkan. (http://www.sman1btg.sch.

id/index.php?option=comcontent&ta=view&id=39&Itemid=1).

Tugas guru dalam pembelajaran dengan pendekatan CTL adalah

membantu siswa mencapai tujuan. Oleh karena itu, guru perlu lebih banyak

menemukan strategi mengajar daripada memberikan informasi. Tugas guru dalam

CTL adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang mampu bekerja sama untuk

Page 42: Bab ii pembel

52

menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelompoknya. Sesuatu yang baru

datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru (Depdiknas, 2003: 2).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian

Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sebuah sistem yang terdiri dari

bagian-bagian yang saling terhubung yang terjalin erat satu sama yang lain dan

membentuk satu kesatuan yang menyeluruh. CTL ini memberikan arahan pada

siswa dapat menemukan dan mengalaminya sendiri. Guru lebih banyak berfungsi

sebagai pendesain strategi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan,

sedangkan siswa sebagai subjek didik harus banyak terlibat secara langsung serta

mengalaminya dalam proses belajar.

b. Komponen dalam Contextual Teaching and Learning (CTL)

Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) mempunyai tujuh

komponen utama (Depdiknas, 2003: 10). Ketujuh komponen tersebut meliputi

“konstruktivisme (Constructivism), inquiri (inquiry), bertanya (Questioning),

masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi

(Reflection), dan penilaian autentik (Authentic Assesment)”. http://ipotes.

wordpress.com/2008/05/13/pendekatan-kontekstualatau-contextual-teaching-

and-learning-ctl/. Menurut Trianto (2007: 106) kelas dinamakan menggunakan

pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) apabila ketujuh komponen

itu dapat dilaksanakan semua dalam proses pembelajaran.

Page 43: Bab ii pembel

53

Tujuh komponen dalam Contextual Teaching and Learning (CTL)

1) Konstruktivisme (Constructivism)

Konstruktivisme merupakan landasan berpikir CTL yang menekankan

bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi

merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental

membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuan yang

dimilikinya. Ritawati Mahyuddin (2002: 187) dalam Jurnal Penelitian

Kependidikan mengemukakan “guru dalam pembelajaran ini perlu menciptakan

kebebasan dan demokratisasi dalam belajar. Belajar bebas sesuai dengan karakter

masing-masing individu merupakan ciri penggunaan pendekatan

konstruktivisme”.

Senada dengan hal tersebut, Arends (1997: 285) berpendapat bahwa

“(constructivism) is a perspective of teaching and learning in which a learner

constructs meaning from experience and interaction with athers, and the

teacher’s role is to provide meaningful experiences for students.

Trianto (2007: 106) berpendapat bahwa pendekatan konstruktivisme pada

dasarnya menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka

lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar lebih

diwarnai pada student centered daripada teacher centered. Proses belajar

mengajar sebagian besar waktunya digunakan oleh siswa untuk melakukan

aktivitas.

Menurut Depdiknas konstruktivisme merupakan landasan berfikir

(filosofi). “Filosofi konstruktivisme: pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit

Page 44: Bab ii pembel

54

demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan

tidak sekonyong-konyong” (Depdiknas, 2003:11). Selanjutnya dalam pandangan

konstruktivis strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa

banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.

Sementara itu, Sugiyanto (2008: 21) berpendapat bahwa “konstruktivisme

adalah proses membangun dan menyusun pengetahuan baru dalam struktur

kognitif siswa berdasarkan pengalaman”. Menurut konstruktivisme pengetahuan

berasal dari luar akan tetapi pengalaman tersebut dikonstruksi dalam diri

seseorang. Oleh karena itu, pengalaman dibentuk dari dua faktor yaitu objek yang

menjadi pengamatan dan kemampuan serta subjek untuk menginterpretasi objek

tersebut.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut di atas, dapat disimpulkan

bahwa konstruktivisme merupakan salah satu komponen dalam Contextual

Teaching and Learning (CTL) yang dapat mendorong siswa dapat mengkonstruksi

pengetahuan yang diperolehnya melalui proses pengamatan dan pengalaman nyata

yang dibangun dalam pembelajaran.

2) Inkuiri (inquiry)

Menurut Arends (1997: 286) yang dimaksud dengan proses inquiri

“(inquiry process) is a thinking process or method associated with inquiry in

sciences or social sciences”. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa “Inquiry

Based Learning and Problem Based Learning is strategy of CTL which based of

student centered”.

Page 45: Bab ii pembel

55

Kata kunci dari strategi inkuiri adalah “siswa menemukan sendiri”

(Depdiknas, 2003: 12). Sementara itu, Gulo dalam Trianto (2007: 135)

berpendapat bahwa strategi inkuiri merupakan suatu rangkaian kegiatan belajar

yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan

menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat

merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.

Menemukan (inkuiri) merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran

berbasis kontekstual. Karena itu, pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh

siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari

menemukan sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus

yang terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan

dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan

(conclusion).

Dalam pengertian inkuiri, prinsip ini mempunyai seperangkat siklus, yaitu:

observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis),

mengumpulkan data (data gathering), dan menyimpulkan conclusion)

(Depdiknas, 2003: 12). Sebagai sebuah model pembelajaran, prinsip inkuiri sangat

tepat bagi penanaman konsep yang membutuhkan kerja eksplorasi dalam bentuk

induktif seperti bahasa Indonesia. Kesulitan muncul tatkala dihadapkan pada

penyampaian konsep beraroma deduktif.

Adapun langkah-langkah kegiatan dalam inkuiri adalah: 1) merumuskan

masalah; 2) mengamati atau melakukan observasi; 3) menganalisis dan

menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, table, dan karya lainnya;

Page 46: Bab ii pembel

56

dan 4) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman

sekelas, guru, atau audien yang lain.

3) Bertanya (Questioning)

Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya.

Bertanya merupakan strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan

bertanya berguna untuk : 1) menggali informasi, 2) menggali pemahaman siswa,

3) membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana

keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6)

memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan

lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa untuk menyegarkan kembali pengetahuan

siswa.

Menurut Depdiknas (2003: 14) kegiatan bertanya dapat diterapkan dalam

semua aktivitas belajar. Bertanya (questioning) dapat diterapkan: antara siswa

dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa

dengan orang lain yang didatangkan ke kelas, dan sebagainya. Dalam bentuk

formalnya bertanya merupakan salah satu kegiatan dalam mengawali,

menguatkan, dan menyimpulkan sebuah konsep. Kegiatan seperti ini sangatlah

menunjang setiap aktivitas belajar. Prinsip ini sangat berguna dalam setiap

aktivitas belajar.

Page 47: Bab ii pembel

57

4) Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari

hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari ‘sharing’ antar teman,

antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu. Dalam hal ini , yang

menjadi mayarakat belajar adalah orang-orang yang berada di ruang ini, di kelas

ini, di sekitar sini, dan juga orang-orang yang ada di luar sana “semua adalah

anggota masyarakat belajar”.

Menurut Depdiknas (2003: 15) dalam kelas Contextual Teaching and

Learning (CTL) guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam

kelompok-kelompok belajar”. Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok yang

anggotanya heterogen artinya dalam kelompok itu terdapat siswa yang

dikategorikan pandai, sedang, dan kurang pandai. Siswa yang pandai dapat

membantu siswa yang kurang pandai. Kelompok siswa dapat bervariasi

bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan dapat melibatkan siswa di kelas

atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang ahli ke

dalam kelas. Kegiatan belajar seperti dapat terjadi apabila tidak ada pihak yang

mendominasi dalam berkomunikasi, tidak ada siswa yang malu bertanya, tidak

ada siswa yang mengganggap paling tahu, dan semua siswa mau saling mendengarkan.

Pembelajaran dengan cara seperti ini sangat membatu dalam proses

pembelajaran di kelas. Adapun praktik pembelajaran yang berdasarkan pada

Learning Community dapat berupa: 1) terbentuknya kelompok-kelompok kecil; 2)

terbentuknya kelompok-kelompok besar; 3) mendatangkan ahli ke dalam kelas; 4)

Page 48: Bab ii pembel

58

bekerja dengan kelas sederajat; 5) bekerja kelompok dengan kelas di atasnya; dan

6) bekerja dengan masyarakat.

5) Pemodelan (Modeling)

Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan,

mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan

malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam

pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang

dengan melibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar.

Menurut Depdiknas (2003: 17) dalam pendekatan Contextual Teaching

and Learning (CTL) “guru bukan satu-satunya model”. Model dapat dirancang

dengan melibatkan siswa. Siswa yang pernah berhasil meraih juara membaca puisi

dapat dijadikan sebagai model dalam pembacaan puisi. Seorang siswa yang

berhasil meraih juara dalam pembuatan resensi buku, hasil karya tersebut dapat

dijadikan sebagai contoh dalam menulis resensi, begitu pula dengan siswa yang

lain yang pernah menjadi juara dalam mengikuti perlombaan. Tentu saja siswa

yang dijadikan sebagai model dalam pembelajaran disesuaikan dengan materi

yang dibahas dalam pembelajaran.

Hal tersebut senada dengan pendapat Sudrajad. Beliau mengatakan bahwa

pemodelan merupakan primadona dalam pendekatan CTL apabila dibandingkan

dengan komponen yang lain. Menurutnya guru bukan satu-satunya model,

melainkan sebagai fasilitator suatu model, bagaimana cara belajar baik yang

Page 49: Bab ii pembel

59

dilakukan oleh siswa maupun oleh guru sendiri dalam pembelajaran.

(http://rbaryans .wordpress.com).

6) Refleksi (Reflection)

Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru

dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu.

Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa

melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh

hari itu. Guru mengkoreksi dirinya, siswa dikoreksi oleh gurunya. Nilai hakiki

dari prinsip ini adalah semangat introspeksi untuk perbaikan pada kegiatan

pembelajaran berikutnya. Menurut Sudrajad refleksi ini merupakan satu-satunya

model belajar yang mengembangkan kegiatan berbau introspeksi

(http://rbaryans.wordpress.com).

Menurut Arends (1997: 288) yang dimaksud dengan refleksi “(reflection) is

careful and analytical thought teachers about what they are doing and effects of

their behavior on their instruction on student learning”.

Senada dengan hal tersebut Depdiknas (2003: 18) menyebutkan bahwa

refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke

belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa yang lalu. Refleksi

merupakan respon kejadian terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang

baru diterima. Respon tersebut akan dapat mengoreksi dirinya untuk perbaikan

yang akan datang.

Page 50: Bab ii pembel

60

Pada bagian akhir pembelajaran, guru menyisihkan waktu sejenak untuk

merefleksi kegiatan yang baru dilaksanakan. Adapun realisasi dalam refleksi

dapat berupa: 1) pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu;

2) catatan atau jurnal di buku siswa; 3) kesan dan saran siswa mengenai

pembelajaran hari itu; 4) diskusi; dan 5) hasil karya (Trianto: 2007: 113).

7) Penilaian Autentik (Authentic Assesment)

Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi

gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis

CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa

memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian

adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian

dilakukan terhadap proses maupun hasil.

Istilah autentik berarti hasil kerja siswa dan sesuai dengan dunia nyata

(sesuai dengan kenyataannya). Menurut Arends (1997: 284) yang dimaksud

dengan penilaian autentik “(Authentic Assesment) is assessment procedures that

have students demonstrate their abilities the perform particular tasks in real life

situations”.

Senada dengan itu, Undang Rosidin (2008) berpendapat penilaian autentik

lebih difokuskan pada proses siswa bekerja dalam menyelesaikan tugas berupa

lembar tugas siswa (LTS). Saat seluruh siswa mengerjakan LTS secara

berkelompok, guru mengamati terhadap kinerja siswa per individu dengan

Page 51: Bab ii pembel

61

menggunakan pedoman lembar observasi (http://www.lampungpost.com/cetak/

berita.php?id=2008060414312030).

Sementara itu, Sudrajad mengemukakan penilaian autentik memandang

bahwa kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melulu hasil akhir dan bukan

dengan berbagai cara. Tes hanyalah salah satunya. Itulah hakikat penilaian

autentik. (http://rbaryans.wordpress.com).

Menurut Mundiarto (2004: 78) dalam Jurnal Ilmiah Pendidikan kemajuan

belajar siswa dalam pembelajaran dapat dilihat melalui penilaian autentik seperti

berikut ini. Pertama, adanya partisipasi siswa dalam kerja kelompok. Kedua,

adanya lembar pengumpulan data eksperimen. Ketiga, adanya laporan hasil

eksperimen secara tertulis. Keempat, cara siswa menyampaikan hasil eksperimen

secara lisan

Dalam kenyataannya selama ini bentuk tes hanya cenderung menekankan

pada pengujian produk bukan proses. Hal ini terjadi karena sistem dan aturan yang

dikembangkan menuntut untuk melakukan tes hanya produk saja. Tetapi, apakah

benar-benar efektif bahwa tes autentik sebagai perangkat tes yang dapat

dikembangkan dalam banyak mata pelajaran. Ini perlu kajian yang lebih

mendalam.

Terlalu dini jika pembuat kebijakan mengharuskan guru menyusun format

tes autentik untuk para siswanya tanpa didampingi oleh suatu ilustrasi/ contoh/

apa saja namanya tentang tes autentik. Perlu mendapat pertimbangan para

pengembang CTL bahwa ada penelitian tentang portofolio sebagai salah satu

Page 52: Bab ii pembel

62

bentuk tes autentik yang menyimpulkan bentuk tes ini kurang efektif untuk

beberapa mata pelajaran di Indonesia.

Untuk mengetahui apa yang telah diketahui oleh siswa dan apa yang dapat

dilakukannya, pengajar melakukan penilaian terhadap proses pembelajaran yang

tengah berlangsung. Karena salah satu tujuan pembelajaran kontekstual adalah

membangun pengetahuan dan keterampilan dengan cara yang bermakna melalui

pengikutsertaan siswa ke dalam kehidupan nyata. Bentuk penilaian yang

digunakanpun hendaknya didasarkan pada metode dan tujuan pembelajaran itu

sendiri, yaitu penilaian autentik. Pembelajaran kontekstual memerlukan penilaian

interdisiplin yang dapat mengukur pengetahuan dan ketrampilan lebih dalam dan

dengan cara yang bervariasi.

Pengajar dapat mengkombinasikan berbagai strategi penilaian

sebagaimana telah disebutkan di muka, yaitu: (1) penilaian kinerja, (2) observasi

sistematik, (3) portofolio, dan (4) jurnal sains (Depdiknas, 2003). Penggunaan

strategi penilaian tersebut hendaknya disesuaikan dengan tujuan dan jenis materi

pembelajaran.

Untuk memudahkan pengajar melihat apakah proses pembelajaran

kontekstual yang dilaksanakannya telah sesuai dengan kriteria strategi

pembelajaran kontekstual, pengajar dapat membuat model evaluasi yang antara

lain berisi indikator pelaksanaan pembelajaran berikut: (1) konsep baru disajikan

dalam situasi dan pengalaman nyata, (2) konsep dalam contoh-contoh dan latihan

disajikan dalam konteks yang digunakan oleh siswa, (3) konsep baru disajikan

berdasarkan pengalaman siswa sebelumnya, (4) latihan dan contoh berisi situasi

Page 53: Bab ii pembel

63

nyata dan situasi yang diyakini berisi pemecahan masalah yang bermanfaat bagi

siswa saat ini dan di masa mendatang, (5) contoh-contoh dapat mengembangkan

sikap positif siswa, (6) siswa mengumpulkan dan menganalisis data mereka

sendiri seperti ketika mereka dibimbing oleh pengajar dalam menemukan konsep,

(7) siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan dan menganalisis data untuk

pembelajaran dan pengembangan, (8) aktivitas pembelajaran mendorong siswa

menerapkan konsep dan informasi dalam konteks yang bermanfaat untuk masa

depan mereka, (9) siswa berpartisipasi dalam diskusi kelompok dengan cara saling

berkomunikasi dan menanggapi konsep dan keputusan, dan (10) siswa berlatih

meningkatkan keterampilan dalam berkomunikasi (Muhaiban, 2002).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian

autentik adalah penilaian yang berdasarkan atas kemajuan belajar anak melalui

proses siswa menyelesaiakan tugas-tugas yang disertai dengan pengamatan guru

terhadap kinerja siswa dengan menggunakan lembar pengamatan yang sudah

disiapkan.

c. Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)

Dalam buku Penelitian Tindakan Kelas (Depdiknas, 2004: 22) disebutkan

bahwa belajar adalah perilaku yang relatif permanen dan merupakan hasil dari

pelatihan yang mendapat penguatan. Mengajar adalah membantu seseorang

(siswa) untuk belajar mengerjakan sesuatu, memberikan pengajaran, membimbing

pembelajaran, memberikan pengetahuan agar mengetahui atau memahami.

Landasan filosofis pembelajaran kontekstual adalah kontruktivisme, yaitu filosofi

Page 54: Bab ii pembel

64

belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal tetapi

merekontruksikan atau membangun pengetahuan dan ketrampilan baru lewat

fakta-fakta atau proporsi yang mereka alami dalam kehidupannya .

Sementara itu, menurut Syah seperti yang dikutip oleh Sukestiyarno,

ketrampilan proses pembelajaran merupakan kemampuan melakukan pola-pola

tingkah laku proses aktif yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan

sesuai dengan keadaan strategi pembelajaran yang disusun untuk mencapai hasil

tertentu. Keterampilan bukan hanya meliputi gerakan motorik saja melainkan juga

pengejawantahan fungsi mental yang bersifat produk.

Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual menekankan pada keaktifan

siswa. Menurut Sunaryo, seperti yang dikutip Sukestiyarno keaktivan dalam

pembelajaran adalah suatu respon yang diberikan oleh seseorang akibat adanya

suatu aksi. Untuk mencapai aktivitas maksimal belajar siswa, dalam pembelajaran

harus ada aksi untuk berkomunikasi yang jelas antara guru dengan siswa,

sehingga kegiatan belajar oleh siswa dapat berdaya guna dalam mencapai tujuan

pembelajaran.

Aktivitas siswa dalam pembelajaran bisa positif maupun negatif. Aktivitas

siswa yang positif misalnya: mengajukan pendapat atau gagasan, mengerjakan

tugas atau soal, komunikasi dengan guru secara aktif dalam pembelajaran dan

komunikasi dengan sesama siswa sehingga dapat memecahkan suatu

permasalahan yang sedang dihadapi, sedangkan aktivitas siswa yang negatif,

misalnya mengganggu sesama siswa pada saat proses belajar mengajar di kelas,

Page 55: Bab ii pembel

65

melakukan kegiatan lain yang tidak sesuai dengan pelajaran yang sedang

diajarkan guru.

Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual memiliki karakteristik

sebagai berikut: 1) Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu

pembelajaran yang diarahkan pada ketercapaian ketrampilan dalam konteks

kehidupan nyata atau pembelajaran yang dilakukan dalam lingkungan alamiah; 2)

Pembelajaran memberikan kesempatan pada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas

yang bermakna; 3) Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman

yang bermakna kepada siswa; 4) Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja

kelompok, berdiskusi, saling mengoreksi antar teman; 5) Pembelajaran

memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan, bekerja sama dan

saling memahami antara satu dengan yang lain secara mendalam; 6) Pembelajaran

dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan mementingkan kerja sama; dan

7) Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan. Secara

sederhana karakteristik pembelajaran kontekstual dapat dideskripsikan dengan

menderetkan sepuluh kata kunci yaitu: 1) kerja sama, 2) saling menunjang; 3)

menyenangkan, tidak membosankan; 4) belajar dengan gairah; 5) pembelajaran

terintegrasi; 6) menggunakan berbagai sumber; 7) siswa aktif; 8) sharing dengan

teman; 9) siswa kritis; 10) guru kreatif (muslikah)

Dalam melaksanakan pembelajaran berbasis kontekstual guru harus selalu

ingat bahwa hakikatnya belajar adalah real–word learning, yaitu belajar dari

kenyataan yang bisa diamati, dipraktekkan, dirasakan dan diuji coba. Belajar

adalah mengutamakan pengalaman nyata, bukan pengalaman yang hanya diangan-

Page 56: Bab ii pembel

66

angankan saja, yang tidak bisa dibuktikan secara empiris. Belajar adalah berpikir

tingkat tinggi, yaitu berpikir kritis yang mengedepankan siklus inquiry; kegiatan

belajar berpusat pada siswa, yaitu pembelajaran yang memberikan kondisi yang

memungkinkan siswa melakukan serangkaian kegiatan secara maksimal; kegiatan

pembelajaran memberikan kesempatan siswa untuk aktif, kritis dan kreatif.

Kegiatan pembelajaran menghasilkan pengetahuan bermakna dalam kehidupan

siswa. Kegiatan pembelajaran harus dekat dengan kehidupan nyata; kegiatan

pembelajaran harus bisa menunjukkan perubahan perilaku yang diinginkan.

Kegiatan pembelajaran diarahkan pada siswa praktek, bukan menghafal.

Pembelajaran bisa menciptakan siswa belajar bukan guru mengajar. Sasaran

pembelajaran adalah pendidikan bukan pengajaran. Pembelajaran diarahkan pada

pembentukan perilaku manusia yang berbudaya. Strategi pembelajaran diarahkan

pada pemecahan masalah sehingga siswa lebih berpikir kritis. Situasi

pembelajaran dikondisikan agar siswa lebih banyak bertindak, sedang guru hanya

mengarahkan. Hasil belajar diukur dengan berbagai cara, bukan hanya dengan tes.

Proses pembelajaran pada hakikatnya untuk mengembangkan dan aktivitas

dan kreativitas peserta didik melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar.

Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk

meningkatkan tujuan hidupnya secara optimal. Guru harus berperan dalam

pembelajaran dengan memberikan kemudahan belajar bagi peserta didik agar

mengembangkan potensinya secara optimal .

Kegiatan pembelajaran yang diterapkan guru berarti penyediaan

pengalaman bagi siswa, maka guru perlu memahami modus atau pola pengalaman

Page 57: Bab ii pembel

67

belajar siswa dan kemungkinan hasil belajar yang dicapainya. Guru harus mampu

memaknai pembelajaran serta menjadikan pembelajaran sebagai ajang

pembentukan kompetensi dan perbaikan kualitas pribadi peserta didik .

Adapun langkah-langkah penerapan CTL di dalam kelas menurut dapat

dilaksanakan seperti berikut ini. 1) Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan

belajar lebih bermakna apabila mereka bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan

mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya; 2) Melaksanakan

sebanyak mungkin kegiatan inkuiri; 3) Mengembangkan sikap ingin tahu siswa

dengan cara bertanya; 4) Menciptakan masyarakat belajar (belajar dalam

kelompok), 5) Menghadirkan model sebagai contoh; 6) Melakukan refleksi di

akhir petemuan; serta 7) Melakukan penilaian autentik.

Dalam pengajaran kontekstual terdapat lima bentuk belajar yang penting,

yaitu mengaitkan (relating), mengalami (experiencing), menerapkan (applying),

bekerjasama (cooperating) dan mentransfer (transferring). Adapun kelima bentuk

belajar tersebut dapat dilihat seperti berikut ini. 1) Mengaitkan adalah strategi

yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Guru menggunakan

strategi ini ketika ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal

siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan

informasi baru; 2) Mengalami merupakan inti belajar kontekstual dimana

mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengalaman maupun

pengetahuan sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat

memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang

aktif; 3) Menerapkan yaitu guru menerapkan suatu konsep ketika siswa

Page 58: Bab ii pembel

68

melakukan kegiatan pemecahan masalah. Guru dapat memotivasi siswa dengan

memberikam latihan yang realistic dan relevan; 4) Kerjasama yaitu siswa yang

bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang kompleks dengan

sedikit bantuan jika dibandingkan belajar secara individu.; 5) Mentransfer yaitu

guru membuat bermacam-macam pengalaman belajar dengan focus pada

pemahaman bukan hapalan.

d. Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam

Pembelajaran Apresiasi Puisi Kontemporer

1) Tujuan Pembelajaran Apresiasi Puisi

Pembelajaran sastra di sekolah bertujuan untuk meningkatkan kemampuan

siswa dalam menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra. Pengetahuan

tentang sastra hanyalah sebagai penunjang dalam mengapresiasi karya sastra

(Depdiknas, 2003: 11). Oleh karena itu, pembelajaran karya sastra khususnya

puisi perlu diarahkan sampai pada tingkat apresiasi puisi.

Senada dengan hal tersebut, dalam panduan penyusunan Laporan Hasil

Belajar Peserta Didik (LHBP) SMA disebutkan bahwa aspek penilaian yang

dominan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia meliputi pengetahuan, praktik,

dan sikap. Aspek pengetahuan yang dinilai mencakup kemampuan menyimak,

membaca, dan kebahasaan (tatabahasa dan kosa kata) serta apresiasi sastra.

Sementara itu, Jakob Sumardjo (1986: 130-131) mengatakan bahwa

langkah-langkah apresiasi puisi meliputi tiga macam, yaitu: keterlibatan jiwa,

Page 59: Bab ii pembel

69

hubungan antara penyair dengan unsur-unsur bahasa, dan hubungan antara makna

puisi dengan kehidupan yang ada di masyarakat.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat ditarik simpulan bahwa

tujuan pembelajaran apresiasi puisi di sekolah seperti tersebut di bawah ini.

a) Memberikan kesempatan pada siswa untuk dapat menikmati puisi yang

dibacanya. Untuk itu, siswa didorong mau terlibat secara langsung dalam puisi

yang dibaca/ didengar. Keterlibatan jiwa oleh siswa secara langsung dapat

dilakukan dengan ikut memikirkan, merasakan, dan membayangkan kembali

apa yang pernah terpikir, terasa, dan terbayangkan oleh penyair.

b) Memberikan kesempatan pada siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir

dalam memahami isi puisi. Dalam hal ini siswa perlu menghubungkan antara

pikiran-pikiran penyair, perasan penyair, khayalan penyair dengan unsur-unsur

bahasa, seperti: citra dan lambang yang digunakan, irama dan bunyi yang

dipilih, tipografi yang digunakan, serta susunan baris puisi dengan judul puisi.

c) Memberikan kesempatan pada siswa untuk menghayati puisi. Puisi perlu

direnungkan, dihayati, diambil pesan/ amanat yang ingin disampaikan penyair,

serta menghubungkannya dengan kehidupan yang ada di masyarakat.

2) Pembelajaran Apresiasi Puisi

Kegiatan mengapresiasi adalah suatu kegiatan yang melibatkan berbagai

aspek. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya mengapresiasi puisi tidak

hanya sekedar membaca puisi, tetapi lebih jauh dari itu mengapresiasi berarti

membaca, memahami isinya, menghubungkan antara isi dan penyair, memberikan

Page 60: Bab ii pembel

70

penilaian baik buruknya suatu puisi serta menciptakan puisi. Dalam hal ini yang

terpenting adalah siswa benar-benar menggeluti puisi yang dibacanya serta

menjadikan karya sastra puisi itu seolah-olah sebagai hasil karyanya.

Sementara itu Rahmanto (1992: 43) berpendapat bahwa cara penyajian

yang perlu dipertimbangkan oleh setiap guru dalam mengajarkan sastra termasuk

puisi melalui beberapa tahapan. Menurut beliau tahapan-tahapan tersebut

meliputi: 1) pelacakan pendahuluan; 2) penentuan sikap praktis; 3) introduksi; 4)

penyajian; 5) diskusi; dan 6) pengukuhan (tes).

a) Pelacakan pendahuluan

Pada tahap pelacakan pendahuluan ini, guru perlu mempelajari terlebih

dahulu tentang puisi yang akan disampaikan. Pemahaman ini sangat penting untuk

dapat menentukan strategi yang cocok/ tepat, aspek-aspek yang perlu mendapat

perhatian.

Hal yang terpenting dalam tahap ini adalah menemukan cara yang tepat

dengan mempertimbangkan beberapa pertanyaan seperti berikut ini. 1) Siapakah

yang menjadi sasaran yang akan dituju oleh penyair? (pribadi tertentu atau

manusia pada umumnya); 2) Bagaimanakah penyair menyajikan puisi tersebut?

(dengan dialog atau monolog); dan 3) Apakah secara keseluruhan puisi tersebut

lebih bermakna tersirat atau hanya tersurat? Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu

diajukan untuk mengetahui pemahaman awal terhadap sebuah puisi.

b) Penentuan sikap praktis

Puisi yang akan disajikan hendaklah puisi yang tidak terlalu panjang. Hal

ini bertujuan agar penyampaian puisi dapat selesai sampai tuntas. Selain itu, guru

Page 61: Bab ii pembel

71

perlu mengetahui secara lebih awal informasi apa saja yang dapat disampaikan

kepada siswa dalam puisi tersebut. Keterangan awal yang diberikan hendaknya

jelas dan seperlunya saja. Guru juga perlu mempertimbangkan kapan teks puisi

perlu dibagikan.

c) Introduksi

Introduksi ini sangat tergantung dari kondisi guru selaku pengajar, siswa

selaku orang yang belajar, serta karakter puisi yang akan disajikan. Introduksi ini

perlu disampaikan di depan kelas dengan ekspresi yang tepat. Contoh: Selamat

pagi anak-anak, apa kabar? Kurang menggembirakan ya? Mengapa? Belajar itu

menyusahkan ya? O, tidak. Belajar teori memang memusingkan, tetapi pagi ini

Bapak akan membicarakan sebuah puisi. Kita akan bersama-sama mengapresiasi

sebuah puisi.

d) Penyajian

Pada dasarnya puisi merupakan sastra lisan. Pesan dan kesan akan

menyentuh gerak hati apabila puisi itu dibacakan. Siswa akan merasa lebih mudah

mengenal puisi yang dibacakan oleh guru daripada membacanya sendiri. Untuk

keperluan itulah pembacaan puisi yang dilakukan oleh sastrawan-sastrawan perlu

direkam untuk dapat dijadikan model oleh guru atau diputar di dalam kelas.

Guru sastra harus mempunyai keyakinan bahwa dirinya mampu

membacakan puisi di depan kelas dengan baik. Oleh karena itu, guru perlu

memiliki semacam koleksi pembacaan puisi yang baik agar dapat dijadikan

sebagai contoh dalam pembelajaran puisi di kelas. Guru dapat membacakan puisi

satu kali atau lebih agar siswa dapat mengerti maksud puisi.

Page 62: Bab ii pembel

72

e) Diskusi

Pada tahap ini, kegiatan diskusi dapat dilaksanakan dengan mengikuti

urutan diskusi seperti berikut ini. Pertama, kesan awal maksudnya siswa (dengan

bantuan guru) perlu mendiskusikan secara sekilas tentang puisi yang sedang

dibahas. Hal-hal yang didiskusikan meliputi: Siapakah tokoh yang berbicara

dalam puisi itu? Untuk siapakah pesan puisi itu diungkapkan? Bagaimanakah

situasinya? Apa yang dilakukan oleh si tokoh? Apa yang dipikirkannya?

Bagaimanakah perasaan tokoh itu (senang, cemas, takut, ingin tahu, dan

sebagainya).

Kedua, khusus (rinci) maksudnya siswa mendiskusikan secara lebih lanjut

tentang hal-hal yang bersifat khusus dan secara lebih rinci yang dihubungkan

dengan pemikiran secara global. Contoh: Bagaimanakah pengembangan ide dalam

puisi itu? Kapan dan bagaimanakah penyair mengubah pemikirannya? Dimanakah

letak klimaks puisi itu? Pada tahap ini guru hendaklah menyadari bahwa puisi

memang memiliki banyak tafsir. Oleh karena itu, apabila terjadi penyimpangan-

penyimpangan dari siswa boleh saja asal tetap/ masih relevan.

Ketiga, kesimpulan maksudnya siswa menyimpulkan hasil diskusi yang

telah dilakukan pada tahap sebelumnya.

f) Pengukuran (tes)

Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk menghubungkan puisi

yang sudah didiskusikan dengan berbagai aktivitas yang lain seperti menulis.

Guru dapat memberikan tugas kepada siswa untuk menulis puisi yang sesuai

dengan apa yang ada dalam diri siswa.

Page 63: Bab ii pembel

73

3) Pembelajaran Apresiasi Puisi dengan Pendekatan Contextual Teaching

and Learning (CTL)

Penerapan pembelajaran apresiasi puisi kontemporer dengan pendekatan

Contextual Teaching and Learning (CTL) perlu diupayakan adanya paradigma

baru yang ada pada diri guru dan siswa. Paradigma yang dimaksudkan antara lain:

1) perlu mengubah kebiasaan siswa dari yang pasif menjadi siswa yang aktif; 2)

perlu memotivasi siswa agar mau bertanya, memberikan tanggapan, serta berperan

secara aktif di dalam kelas; 3) guru benar-benar merencanakan strategi yang

matang serta mengelola waktu dengan sebaik-baiknya (misalnya pada saat

berdiskusi, menyampaikan hasil diskusi).

Penerapan pembelajaran apresiasi puisi kontemporer dengan pendekatan

Contextual Teaching and Learning (CTL) secara garis besar dapat dilaksanakan

dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1) Mengembangkan pemikiran bahwa

anak akan belajar lebih bermakna apabila mereka bekerja sendiri, menemukan

sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya; 2)

Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua kelompok; 3)

Mengembangkan sikap ingin tahu siswa dengan cara memberikan pertanyaan; 4)

Berusaha menciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok);

5) Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran; 6) Melakukan refleksi pada

akhir pertemuan; dan 7) Melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai

macam cara (Depdiknas, 2003: 10).

Page 64: Bab ii pembel

74

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat ditarik simpulan bahwa

pembelajaran apresiasi puisi dengan pendekatan Contextual Teaching and

Learning (CTL) dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah berikut ini.

1. Guru membagikan puisi/ menampilkan puisi yang sudah disiapkan, kemudian

mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada gambaran puisi

secara keseluruhan. Dalam hal ini siswa diajak berpikir, belajar, bekerja

sendiri, menemukan sendiri (inquiri), dan mengkonstruksi (konstruktivisme)

sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.

2. Kelas dibagi menjadi beberapa kelompok (setiap kelompok terdiri dari 4-6

siswa). Setiap kelompok diberi tugas mendiskusikan (masyarakat belajar) dan

menemukan puisi (isi/ makna, amanat, gaya bahasa). Dengan cara seperti ini

siswa melakukan kegiatan masyarakat belajar dan inkuiri dalam kelompok.

3. Sambil berkeliling, guru memberikan pertanyaan-pertanyaan (questioning)

untuk memancing keingintahuan siswa tentang puisi yang didiskusikannya.

4. Guru berusaha menciptakan masyarakat belajar dengan cara berdiskusi dalam

kelompok-kelompok

5. Guru menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran

6. Guru, siswa, dan peneliti melakukan refleksi pada akhir pertemuan

7. Guru melakukan penilaian autentik (penilaian proses, penilaian kinerja,

penilaian akhir).

Page 65: Bab ii pembel

75

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian ini mempunyai relevansi dengan penelitian yang berhubungan

dengan masalah puisi. Hal ini dapat dilihat dalam penelitian yang dilakukan oleh

Widada dalam tesisnya yang berjudul “Peningkatan Kemampuan Apresiasi Puisi

dengan Strategi Pembelajaran Cooperative Learning pada Siswa Kelas VII SMP

Negeri 2 Boyolali” pada tahun 2007. Pada penelitian tersebut disimpulkan bahwa

kemampuan apresiasi puisi pada siswa dengan menerapkan strategi pembelajaran

cooperative learning terdapat peningkatan. Relevansi dengan penelitian yang

peneliti laksanakan yaitu sama-sama membahasan tentang kemampuan

mengapresiasi puisi. Perbedaannya dengan penelitian yang peneliti laksanakan

yaitu strategi pembelajaran yang digunakan.

Sejalan dengan itu, Sunardi dalam tesisnya yang berjudul “Pengaruh

Media Pembelajaran VCD dan Minat Membaca Karya Sastra terhadap

Kemampuan Apresiasi Puisi Siswa SMP Negeri 1 Sukoharjo” pada tahun 2007

menyimpulkan adanya perbedaan yang signifikan antara kemampuan apresiasi

puisi siswa yang diberi pelajaran menggunakan media pembelajaran VCD dengan

siswa yang diberi pelajaran menggunakan media pembelajaran audio. Relevansi

dengan penelitian yang peneliti laksanakan yaitu sama-sama membahas tentang

kemampuan mengapresiasi puisi. Perbedaannya dengan penelitian yang peneliti

laksanakan yaitu penggunaan media pembelajaran yang digunakan.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Sumiyati. Dalam tesisnya yang

berjudul “Puisi-puisi Karya Penyair Periode 2000: Analisis Wacana dengan

Pendekatan Kritik Holistik” tahun 2006, disimpulkan bahwa ada kesinkronan

Page 66: Bab ii pembel

76

antara hasil analisis peneliti, tanggapan pembaca, dan pernyataan penyair sendiri

tentang pemahaman makna puisi karya penyair periode 2000. Relevansi dengan

penelitian yang peneliti laksanakan yaitu sama-sama membahasan tentang puisi.

Perbedaannya dengan penelitian yang peneliti laksanakan yaitu pendekatan

pembelajaran yang digunakan.

Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Hartono, Retno Winarni, Endang

Sri Markamah, dan Tri Budiarto tahun 2007 yang berjudul “Upaya Meningkatkan

Keterampilan Menulis pada Mahasiswa S1 PGSD FKIP UNS Surakarta dengan

Pendekatan Kontekstual” dalam Laporan Hasil Penelitian Hibah Pembelajaran PGSD

UNS menyimpulkan bahwa penggunaan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan

keterampilan menulis mahasiswa kelas B Program Studi S1 PGSD FKIP UNS Surakarta.

Penelitian ini relevan dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu sama-sama

menggunakan pendekatan kontekstual. Perbedaannya dengan penelitian yang peneliti

laksanakan yaitu materi pembelajaran yang digunakan

C. Kerangka Berpikir

Sebagian besar siswa menganggap bahwa materi puisi kontemporer

merupakan materi sastra yang sulit untuk dipahami dan dipelajari. Hal itu

dikarenakan diksi dalam puisi kontemporer yang memiliki makna ganda/ banyak

penafsiran dan sulit dimengerti maksudnya. Selain itu, tipografi serta kata-kata

nonsense dalam puisi juga memerlukan kecermatan tersendiri untuk dapat

mengetahui isi puisi kontemporer.

Selain materi yang telah disebutkan di atas, cara guru mengajarkan puisi

menurut siswa sering kurang menarik dan membosankan. Di sisi lain, dari pihak

Page 67: Bab ii pembel

77

guru sendiri juga mengalami kesulitan dalam mengajarkan puisi kontemporer

kepada siswa dikarenakan beberapa hal, salah satunya adalah kemampuan guru

dalam menguasai materi serta cara pembelajaran yang kurang menarik. Hal ini

menyebabkan siswa kurang aktif dalam proses pembelajaran. Akibatnya,

kemampuan siswa dalam mengapresiasi puisi kontemporer juga rendah/ kurang.

Melihat kenyataan seperti itu, peneliti berusaha untuk mencari solusi atau

jalan keluar yang dapat digunakan untuk mengajarkan puisi kontemporer kepada

siswa di sekolah agar siswa menjadi tertarik untuk mengikuti dan bersemangat

dalam proses pembelajaran keterampilan berbahasa di dalam kelas. Selain itu

peneliti akan bekerja sama dengan guru bahasa Indonesia yang lain untuk mencari

cara yang tepat yang dapat digunakan dalam mengajarakan puisi kontemporer

kepada siswa di sekolah.

Cara atau solusi yang dipilih yaitu dengan melakukan pendekatan

Contextual Teaching and Learning (CTL). Cara ini dipilih dengan pertimbangan

bahwa kemampuan siswa dalam mengapresiasi puisi kontemporer akan

mengalami peningkatan apabila siswa mau terlibat secara aktif dalam kegiatan

belajar di kelas. Dalam CTL terdapat tujuh komponen yang perlu dilalui dalam

proses belajar mengajar. Ketujuh komponen tersebut meliputi “konstruktivisme

(Constructivism), inquiri (inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat belajar

(Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection), dan

penilaian autentik (Authentic Assesment)”.

Pemilihan pendekatan CTL ini dengan mempertimbangkan bahwa

pendekatan CTL merupakan pendekatan yang menyeluruh, bagian-bagian yang

Page 68: Bab ii pembel

78

ada saling terhubung. Hal ini dilakukan dalam rangka upaya membantu siswa

untuk memahami isi serta mengapresiasi puisi kontemporer. Dengan pendekatan

CTL ini, anak mengkonstruksi, menemukan, bertanya, menciptakan masyarakat

belajar, berdiskusi, serta merefleksi diri. Dengan demikian anak secara langsung

diajak untuk mengamati, mencermati, menganalisis, mengumpulkan banyak

informasi dan pada akhirnya anak sendirilah yang akan memberikan penilaian dan

menarik kesimpulan tentang tema dan ciri puisi kontemporer yang dipelajarinya.

Selain itu, kegiatan pembelajaran di dalam kelas dengan penerapan

pendekatan CTL akan mewujudkan adanya hubungan timbal balik serta suasana

belajar yang mengutamakan kerja sama, saling menunjang, menyenangkan, tidak

membosankan, belajar dengan penuh gairah, pembelajaran terpadu, menggunakan

berbagai sarana dan berbagai sumber, siswa aktif, menciptakan siswa kritis dan

guru berkreatif. Pembelajaran dalam CTL berlangsung secara alamiah dalam

bentuk siswa bekerja dan mengalaminya sendiri, bukan sekedar mentransfer

pengetahuan dari gurunya. Siswa berusaha mengkonstruksikan sendiri

pengetahuannya, menemukan sendiri konsep-konsep puisi kontemporer yang

dihadapi. Siswa lebih banyak diberi kesempatan untuk mengapresiasi puisi

kontemporer dengan cara membaca puisi, memahami isi puisi, memberikan

penilaian terhadap puisi, serta membuat puisi kontemporer.

Pada akhir pembelajaran, siswa dapat merefleksi tehadap segala sesuatu

yang telah dipelajarinya. Hal ini bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan

siswa dalam mengapresiasi puisi kontemporer.

Page 69: Bab ii pembel

79

Adapun kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar

di bawah ini.

Gambar 1. Alur Berpikir PembelaPen

Proses pembelajaranbelum direncanakan

secara maksimalmeko

Pemp

maksimal

berm

mekonte

Kemampuanngapresiasi puisi

jaran Apresiasi Puisi Kontempordekatan CTL

ntemporer rendah

belajaran denganendekatan CTL

Pembelajaranakna bagi siswa

Kemampuanngapresiasi puisimporer meningkat

Pembelajaranberpusat pada

guru

Proses Pembelajarandirencanakan secara

e

Pembelajaranberpusat pada

r dengan

siswa

Page 70: Bab ii pembel

80

D. Hipotesis Tindakan

Sesuai dengan permasalahan yang telah ada, dapat dirumuskan

hipotesis tindakan, yaitu penerapan pendekatan Contextual Teaching and

Learning (CTL) dapat meningkatkan kemampuan mengapresiasi puisi

kontemporer.