BAB II LANDASAN TEORI - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/4720/9/BAB...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/4720/9/BAB...
15
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori Agensi menyatakan hubungan kontrak antara agen (manajemen
suatu usaha) dan prinsipal (pemilik usaha). Menurut Jensen dan Meckling
(1976) dalam Tommy dan Maria (2013) menyatakan bahwa hubungan
keagenan sebagai kontrak antara satu atau beberapa orang (pemberi kerja atau
prinsipal) yang mempekerjakan orang lain (agen) untuk melakukan sejumlah
jasa dan memberikan wewenang dalam pengambilan keputusan. Tujuan dari
manajer dan pemegang saham seharusnya sama, yaitu meningkatkan nilai
perusahaan melalui peningkatan kemakmuran pemegang saham, tetapi
terkadang manajer memiliki pemikiran lain yang seolah-olah dianggap
bertentangan dengan pemikiran pemegang saham (Mayangsari, 2001 dalam
Nanik dan Selvy, 2018).
Pihak manajemen menginginkan untuk meningkatkan kompensasi atau
bonus yang diterima dengan maksud sebanding dengan kinerja yang
dihasilkan, sedangkan pemilik modal menginginkan return yang optimal.
Adanya perbedaan pemikiran antara manajemen dengan pemilik modal dalam
mengendalikan perusahaan menyebabkan manajemen tidak bertindak sesuai
dengan keinginan prinsipal, sehingga menimbulkan informasi asimetri dan
konflik keagenan (agent conflict). Indikator pengukuran kinerja dapat diamati
16
dari laba yang optimal atau orientasi pada bonus, untuk itu dilakukanlah
upaya-upaya untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu dengan melakukan praktik
earnings management maupun tax avoidance. Dilakukan dengan cara-cara
yang tergolong legal yaitu dengan meratakan laba atau menekan biaya pajak
serendah mungkin.
2.1.2. Teori Akuntansi Positif
Teori Akuntansi Positif adalah berhubungan dengan prediksi yaitu suatu
tindakan pemilihan kebijakan akuntansi oleh perusahaan dan bagaimana
perusahaan akan merespon untuk mengajukan standar akuntansi yang baru.
Watts dan Zimmerman (1986) dalam berpendapat bahwa terdapat tiga
hipotesis dalam teori akuntansi positif, yaitu:
1. Hipotesis program bonus (bonus plan hypothesis)
2. Hipotesis perjanjian hutang (debt covenant hypothesis)
3. Hipotesis biaya politik (political cost hypothesis)
Sebagai contoh bonus plan hypothesis adalah jika perusahaan
merencanakan bonus berdasarkan net income maka perusahaan tersebut akan
memilih prosedur manajemen laba dengan menggeser pelaporan laba masa
datang ke periode sekarang atau sebaliknya. Pemberian fleksibilitas
manajemendalam memilih suatu kumpulan kebijakan akuntansi dengan
membuka kemungkinan perilaku opurtunistik. Manajemen akan memilih
kebijakan akuntansi yang sesuai dengan tujuan mereka. Teori akuntansi positif
menganggap bahwa manajer secara rasional (seperti investor) akan memilih
17
kebijakan akuntansi yang menurut mereka baik. Manajer perusahaan yang
aktif melakukan eksplorasi akan memilih untuk menggunakan manajemen
laba untuk merataan laba dan meningkatkan present value aliran bonus,
sehingga meskipun laba tinggi akan berdampak pada pajak yang tinggi.
2.1.3. Teori Stake Holder
Teori Stake Holder merupakan teori yang menyatakan bahwa
perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri,
namun harus memberikan manfaat kepada seluruh stakeholder-nya, yaitu
pemegang saham, kreditor, supplier, konsumen, pemerintah, masyarakat,
analis, dan pihak lain (Ghazali dan Chariri, 2007). Tujuan utamanya adalah
untuk membantu manajemen perusahaan dalam meningkatkan penciptaan nilai
sebagai dampak dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan dan meminimalkan
kerugian yang mungkin muncul bagi stakeholder. Fokus teori tersebut tertuju
pada cara-cara yang digunakan perusahaan dalam mengatur stakeholder-nya
yang dianggap bermanfaat bagi perusahaan, bahkan dengan mengabaikan
pengaruh masyarakat luas terhadap penyediaan informasi dalam pelaporan
keuangan.
2.1.4. Tax Avoidance
Tax Avoidance didefinisikan sebagai kemampuan untuk membayar
jumlah kas pajak yang rendah / Cash-ETR (sebagai lawan GAAP – beban
pajak yang ada dalam catatan pajak perusahaan) terhadap laba sebelum pajak
18
pada perusahaan (Dryeng et.al., 2008). Menurut Landolf (2016, dalam
Natasya, 2014) penghindaran pajak perusahaan merupakan salah satu tindakan
yang tidak bertanggung jawab sosial oleh perusahaan. karena perusahaan yang
melakukan penghindaran pajak dianggap tidak memberikan kontribusi kepada
pemerintah dalam rangka upaya mencapai kesejahteraan umum.
Suandy (2011) dalam Tommy dan Maria (2013) menyatakan bahwa
penghindaran pajak adalah suatu usaha pengurangan secara legal yang
dilakukan dengan cara memanfaatkan ketentuan-ketentuan di bidang
perpajakan secara optimal seperti, pengecualian dan pemotongan-pemotongan
yang diperkenankan maupun manfaat hal-hal yang belum diatur dan
kelemahan-kelemahan yang ada dalam peraturan- peraturan yang berlaku.
Penghindaran pajak (tax avoidance) tidak melanggar undang-undang
perpajakan karena usaha Wajib Pajak untuk mengurangi, menghindari,
meminimumkan atau meringankan beban pajak dilakukan dengan cara yang
dimungkinkan oleh undang-undang perpajakan.
Menurut Merks (2007) dalam Oktamawati, Mayarisa (2017) ada tiga
cara penghindaran pajak, yaitu:
1. Memindahkan subyek pajak atau obyek pajak ke negara-negara
yang memberikan pajak khusus atau keringanan pajak atas suatu
jenis penghasilan.
2. Usaha penghindaran pajak dengan mempertahankan substansi
ekonomi dari transaksi melalui pemilihan formal yang memberikan
beban pajak yang paling rendah.
19
3. Ketentuan Anti Avoidance atas transaksi transfer pricing, treaty
shopping, dan transaksi yang tidak mempunyai subtansi bisnis.
Dalam PSAK 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan, dijelaskan
bahwa beda temporer atau beda waktu timbul ketika penghasilan atau beban
diakui dalam perhitungan laba akuntansi pada periode yang berbeda dengan
penghasilan atau beban tersebut diakuiu dalam perhitungan kena pajak.
Contoh beda temporer meliputi: pendapatan bunga, penyusutan depresiasi dan
amortisasi. Sedangkan beda tetap timbul karena adanya perbedaan pengakuan
penghasilan dan biaya menurut akuntansi dan menurut pajak, yaitu adanya
penghasilan dan biaya yang diakui menurut akuntansi komersial namun tidak
diakui secara fiskal, atau sebaliknya. Beda tetap mengakibatkan penghasilan
kena pajak berbeda dengan secara tetap penghasilan kena pajak menurut fiskal
(taxable income). Contoh beda tetap meliputi: sumbangan, natura, biaya yang
dikeluarkan untuk pribadi, dsb.
Karena menyangkut perbedaan perlakuan akuntansi menurut komersial
dan menurut fiskal, pengakuan pajak tangguhan berdampak terhadap
berkurangnya rugi bersih. Hal ini menunjukan bahwa tax avoidance
merupakan aktivitas penting, sehingga pemilik perlu merancang insentif dan
pengawasan yang tepat bagi manajemen agar dapat mengambil keputusan
pajak yang efektif dan efisien. Sebagai contoh ketika biaya yang harus
dikeluarkan masih lebih kecil daripada benefit yang akan diterima.
ETR digunakan sebagai pengukuran karena dianggap dapat
merefleksikan perbedaan tetap antara perbedaan laba buku dan laba fiskal.
20
ETR menggambarkan rata-rata tarif pajak per satuan mata uang atau arus kas.
Berdasarkan cara perhitungannya ETR dapat dikelompokkan menjadi 5 yakni,
Cash ETR, Current ETR, Long-run ETR dan ETR Differential. ETR dihitung
dengan menggunakan cara membagi total beban pajak perusahaan dengan laba
sebelum pajak penghasilan.
2.1.5. Tax Amnesty
Menurut UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Pasal 1 ayat (1), Pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapat
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
kemakmuran rakyat. Indonesia menerapkan Self Assessment System yaitu
suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan
besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak terletak pada pihak wajib
pajak yang bersangkutan dalam hal menghitung, menyetor serta melaporkan
pajaknya sendiri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Sistem ini diterapkan
dalam penyampaian SPT Masa PPh dan PPN, serta SPT Tahunan. Sistem
adalah suatu jaringan prosedur yang dibuat menurut pola yang terpadu untuk
melaksanakan kegiatan pokok perusahaan.
Kebijakan tax amnesty ditandai dengan disahkannya Undang-Undang
No.11 Tahun 2016 yaitu tentang Pengampunan Pajak pada tanggal 1 Juli
2016 oleh Presiden Repubik Indonesia Bapak Ir. Joko Widodo. Tax Amnesty
21
adalah program pengampunan pajak yang diberikan oleh pemerintah kepada
wajib pajak meliputi penghapusan pajak yang seharusnya terutang,
penghapusan sanksi administrasi perpajakan, serta penghapusan sanksi pidana
di bidang perpajakan atas harta yang diperoleh pada tahun 2013 atau
sebelumnya yang belum dilaporkan dalam SPT, dengan cara melunasi seluruh
tunggakan pajak yang dimiliki dan membayar uang tebusan.
Kebijakan tax amnesty adalah terobosan kebijakan yang didorong oleh
semakin kecilnya kemungkinan untuk menyembunyikan kekayaan di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena semakin transparannya
sector keuangan global dan mengingkatnya intensitas pertukaran informasi
antar negara. Kebijakan tax amnesty juga tidak akan diberikan secara berkala.
Setidaknya, hingga beberapa puluh tahun kedepan kebijakan tax amnesty
tidak akan diberikan lagi.
Subyek tax amnesty adalah warga negara Indonesia baik yang ber-
NPWP maupun yang tidak, yang memiliki harta lain selain yang telah
dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak (warga negara yang pembayaran
pajaknya selama ini masih belum sesuai dengan kondisi nyata). Obyek tax
amnesty adalah harta yang dimiliki oleh subyek pajak tax amnesty, artinya
yang menjadi sasaran dari pembayaran uang tebusan adalah atas harta baik itu
yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri.
Tujuan tax amnesty menurut chikita (2017) adalah sebagai berikut:
1. Repatriasi atau menarik dana warga negara Indonesia yang ada di luar
negeri
22
2. Meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek
3. Menambah jumlah wajib pajak
4. Mengintegrasikan sektor informal ke dalam sistem perekonomian
5. Memanfaatkan dana yang tidak terpakai
6. Langkah awal kebijakan rezim baru untuk menerapkan sanksi yang lebih
besar
7. Meningkatkan pertumbuhan nasional
8. Meningkatkan basis perpajakan nasional, yaitu aset yang disampaikan
dalam permohonan pengampunan pajak dapat dimanfaatkan untuk
perpajakan yang akan datang.
Periode tax amnesty berlaku sejak disahkan hingga 31 Maret 2017, dan
terbagi dalam 3 (tiga) periode, yaitu:
1. Periode I : tanggal 1 Juli 2016 s.d. 30 September 2016 dengan tarif
2% (repatriasi atau deklarasi dalam negeri), 4% (deklarasi luar negeri),
0,5% dan 2% (UMKM)
2. Periode II : tanggal 1 Oktober 2016 s.d. 31 Desember 2016 dengan
tarif 3% (repatriasi atau deklarasi dalam negeri), 6% (deklarasi luar
negeri), 0,5% dan 2% (UMKM)
3. Periode III : tanggal 1 Januari 2017 s.d. 31 Maret 2017 dengan tarif 5%
(repatriasi atau deklarasi dalam negeri), 10% (deklarasi luar negeri),
0,5% dan 2% (UMKM).
23
2.1.6. Profitability
Profitability Ratio adalah rasio atau perbandingan untuk mengetahui
kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba dari pendapatan terkait
penjualan, aset dan ekuitas berdasarkan dasar pengukuran tertentu. Pofitability
suatu perusahaan mewujudkan perbandingan antara laba dengan aktiva atau
modal yang menghasilkan laba tertentu. Jenis-jenis rasio dipergunakan untuk
memperlihatkan seberapa besar laba atau keuntungan yang diperoleh dari
kinerja suatu perusahaan.
Menurut V. Wiratna Sujarweni (2017: 64-66), ada beberapa jenis
metode pengukuran rasio profitabilitas, diantaranya sebagai berikut:
1. Gross Profit Margin (Margin Laba Kotor)
Merupakan Perbandingan antara penjualan bersih dikurangi dengan
Harga Pokok Penjualan dengan tingkat penjualan. Rasio ini
menggambarkan laba kotor yang dapat dicapai dari jumlah penjualan.
Rumus dari rasio ini yaitu:
𝐺𝑟𝑜𝑠𝑠 𝑃𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡 𝑀𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐾𝑜𝑡𝑜𝑟𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ
2. Net Profit Margin
Merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur laba bersih
sesudah pajak lalu dibandingkan dengan volume penjualan. Rumus untuk
rasio ini sebagai berikut:
𝑁𝑒𝑡 𝑃𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡 𝑀𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 (𝐸𝐴𝑇)𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ
3. Earning Power of Total Investment (Rate of return total asset)
24
Merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan
dari modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk
menghasilkan keuntungan netto. Rumus untuk menghitung rasio ini
sebagai berikut sebagai berikut: 𝐸𝑎𝑟𝑛𝑖𝑛𝑔 𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑜𝑓 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐼𝑛𝑣𝑒𝑠𝑡𝑚𝑒𝑛𝑡 = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑏𝑢𝑛𝑔𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑗𝑎𝑘𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎
4. Rate or Return For The Owners (Rate of return on net worth)
Merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan
dari modal sendiri untuk menghasilkan keuntungan bagi seluruh pemegang
saham, baik saham biasa maupun saham preferen. Rumus untuk
menghitung rasio ini sebagai berikut sebagai berikut:
𝑅𝑒𝑡𝑢𝑟𝑛 𝑜𝑛 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦 = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑆𝑒𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖
5. Operating Income Ratio
Laba operasi sebelum bunga dan pajak yang dihasilkan oleh setiap
rupiah penjualan. Rumus untuk menghitung rasio ini sebagai berikut
sebagai berikut: 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑡𝑖𝑛𝑔 𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜= (𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑁𝑒𝑡𝑡𝑜 − 𝐻𝑃𝑃 − 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝐴𝑑𝑚, 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛, 𝑈𝑚𝑢𝑚)𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑁𝑒𝑡𝑡𝑜
6. Operating Ratio
Biaya operasi per rupiah penjualan. Rumus untuk menghitung
rasio ini sebagai berikut sebagai berikut:
25
𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑡𝑖𝑛𝑔 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 = (𝐻𝑃𝑃 + 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝐴𝑑𝑚, 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛, 𝑈𝑚𝑢𝑚) 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑁𝑒𝑡𝑡𝑜
7. Net Earning Power Ratio ( Rate or Return On Investment/ROI) atau ROA
Kemampuan dari modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan
aktiva untuk menghasilkan keuntungan netto. Rumus untuk menghitung
rasio ini sebagai berikut sebagai berikut: 𝑅𝑎𝑡𝑒 𝑜𝑟 𝑅𝑒𝑡𝑢𝑟𝑛 𝑂𝑛 𝐼𝑛𝑣𝑒𝑠𝑡𝑚𝑒𝑛𝑡= 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎
Return on Asset (ROA) didefinisikan sebagai perbandingan antara laba
bersih dengan total aset pada akhir periode yang digunakan sebagai indikator
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. ROA dinyatakan dalam
presentase. (Prakosa, 2014 dalam Setyawan, 2018). ROA berkaitan dengan
laba bersih dan pengenaan pajak penghasilan untuk perusahaan. Perusahaan
yang memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi memiliki kesempatan untuk
melakukan upaya efisiensi dalam kewajiban pembayaran pajak melalui
perilaku tax avoidance.
2.1.7. Leverage
Menurut V. Wiratna Sujarweni (2017: 61) rasio solvabilitas/Leverage
merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan
untuk memenuhi seluruh kewajibannya baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Dari rasio ini dapat juga diketahui seberapa efektif perusahaan
26
menggunakan sumberdaya yang dimiliki (piutang/modal/aktiva). Leverage
adalah salah satu rasio keuangan yang menggambarkan hubungan antara
hutang perusahaan terhadap modal maupun asset perusahaan. Rasio leverage
menggambarkan sumber dana operasi yang digunakan oleh perusahaan. Rasio
leverage juga menunjukkan risiko yang dihadapi perusahaan. Rasio ini dapat
melihat sejauh mana perusahaan dibiayai oleh hutang atau pihak luar dengan
kemampuan perusahaan yang digambarkan oleh modal. Adapun metode
pengukuran yang ada dalam rasio solvabilitas menurut V. Wiratna Sujarweni
(2017: 61-62) adalah:
1. Total Debt to Equity Ratio (Rasio Hutang terhadap Ekuitas)
Rasio ini merupakan perbandingan antara hutang-hutang dan
ekuitas dalam pendanaan perusahaan dan menunjukkan kemampuan
modal sendiri perusahaan untuk memenuhi seluruh kewajibannya.
Rumus untuk menghitung rasio ini sebagai berikut sebagai berikut:
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐷𝑒𝑏𝑡 𝑡𝑜 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑈𝑡𝑎𝑛𝑔𝐸𝑘𝑢𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑃𝑒𝑚𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚
2. Total Debt to Total Asset Ratio (Rasio Hutang terhadap Total
Aktiva)
Rasio ini merupakan perbandingan antara hutang lancar dan
hutang jangka panjang dan jumlah seluruh aktiva diketahui . Rasio
ini menunjukkan berapa bagian dari total aktiva yang dibelanjai oleh
hutang. Rumus untuk menghitung rasio ini sebagai berikut sebagai
berikut:
27
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐷𝑒𝑏𝑡 𝑡𝑜 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎
3. Long Term Debt to Equity Ratio
Rasio ini merupakan rasio untuk mengetahui bagian dari
setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan untuk hutang
jangka panjang. Rumus untuk menghitung rasio ini sebagai berikut
sebagai berikut:
𝐿𝑜𝑛𝑔 𝑇𝑒𝑟𝑚 𝐷𝑒𝑏𝑡 𝑡𝑜 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 = 𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝐽𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚
4. Tangible Assets Debt Coverage
Rasio ini merupakan rasio untuk mengetahui besarnya
aktiva tetap tangible yang digunakan untuk menjamin utang jangka
panjang setiap rupiahnya. Rumus untuk menghitung rasio ini sebagai
berikut sebagai berikut: 𝑇𝑎𝑛𝑔𝑖𝑏𝑙𝑒 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠 𝐷𝑒𝑏𝑡 𝐶𝑜𝑣𝑒𝑟𝑎𝑔𝑒= 𝐽𝑚𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 − 𝐼𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔𝑖𝑏𝑙𝑒𝑠 − 𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝐽𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔
5. Times Interest Earned Ratio
Rasio ini merupakan rasio untuk mengetahui besarnya
jaminan keuntungan untuk membayar bunga utang jangka panjang.
Rumus untuk menghitung rasio ini sebagai berikut sebagai berikut:
28
𝑇𝑖𝑚𝑒𝑠 𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑒𝑠𝑡 𝐸𝑎𝑟𝑛𝑒𝑑 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜= 𝐸𝑎𝑟𝑛𝑖𝑛𝑔 𝐵𝑒𝑓𝑜𝑟𝑒 𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒 𝑇𝑎𝑥 (𝐸𝐵𝐼𝑇)𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝐽𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑛𝑔
Teory trade off menyatakan bahwa penggunaan utang oleh perusahaan
dapat memberikan manfaat diperolehnya penghematan pajak (Mutamimah &
Rita, 2009). Hal ini dikarenakan penggunaan utang dapat menimbulkan biaya
bunga, dan bunga pinjaman merupakan biaya merupakan biaya yang dapat
dikurangkan (deductible expense) terhadap penghasilan kena pajak. Inilah
yang mendasari bahwa perusahaan melakukan tax planning dengan memiliki
leverage tinggi merupakan salah satu upaya untuk memperkecil nilai
pajaknya.
2.1.8. Size
Ukuran perusahaan merupakan skala yang dapat membagi perusahaan
menjadi perusahaan kecil dan besar menurut bermacam-macam cara seperti
jumlah asset perusahaan, jumlah penjualan, nilai pasar saham dan rata-rata
tingkat penjualan. perusahaan. Ada 3 kategori ukuran perusahaan yaitu small
firm, medium firm, large firm (Machfoedz, 1994 dalam Oktamawati, Mayarisa
2017). Secara umum biasanya ukuran perusahaan diproksi dengan total asset
karena nilai total aset biasanya sangat besar dibandingkan variabel keuangan
lainnya, maka dengan maksud untuk mengurangi peluang heteroskedastis,
variabel aset “diperhalus” menjadi Log (aset) atau Ln (aset) (Asnawi dan
Wijaya, 2005). Adapun kategori ukuran perusahaan yaitu:
29
a. Perusahaan Besar
Perusahaan besar adalah perusahaan yang memiliki kekayaan bersih
lebih besar dari Rp 10 Milyar termasuk tanah dan bangunan. Memiliki
penjualan lebih dari Rp 50 Milyar/tahun.
b. Perusahaan Menengah
Perusahaan menengah adalah perusahaan yang memiliki kekayaan
bersih Rp 1-10 Milyar termasuk tanah dan bangunan. Memiliki hasil
penjualan lebih besar dari Rp 1 Milyar dan kurang dari Rp 50 Milyar
c. Perusahaan Kecil
Perusahaan kecil adalah perusahaan yang memiliki kekayaan bersih
paling banyak Rp 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan dan
memiliki hasil penjualan minimal Rp 1 Milyar/tahun.
Tahap kedewasaan perusahaan ditentukan berdasarkan total aset,
semakin besar total aset menunjukkan bahwa perusahaan memiliki prospek
baik dalam jangka waktu yang relatif panjang (Dharma dan Ardiana, 2013).
Perusahaan yang besar ini tentunya membutuhkan dana yang lebih banyak
dibandingkan dengan perusahaan kecil. Dengan demikian, perusahaan
menginginkan pendapatan yang besar. Sudarmadji dan Sularto (2007) dalam
Ardansyah (2014) menyatakan semakin besar aktiva maka semakin banyak
modal yang ditanam dan semakin besar perputaran uang.
2.1.9. Earnings Management
Scott, (2000) mendefinisikan manajemen laba atau earnings
30
management sebagai “earnings management is the choice by a manager
of accounting policies so aslo achieve some specific objective”, yang artinya
earnings management adalah pilihan yang dilakukan oleh manajemen dalam
menentukan kebijakan akuntansi untuk mencapai beberapa tujuan tertentu.
Menurut pendapat Healy dan Wahlen (1998), manajemen laba tidak hanya
dilakukan untuk mendapatkan bonus, namun manajemen laba juga dapat
dilakukan untuk menjaga citra perusahaan seperti investor, kreditur, dan
regulator.
Menurut Sugiri (1998), defenisi earnings management dibagi dalam
duadefenisi, yaitu:
a. Definisi Sempit
Bahwa earnings management hanya berkaitan dengan pemilihan
metode akuntansi. Selain itu juga diartikan sebagai perilaku manajer untuk
“bermain” dengan komponen discretionary accrual dalam menetukan
earnings.
b. Defenisi Luas
Earnings management merupakan tindakan manajer untuk
meningkatkan atau mengurangi laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit
dimana manajer bertanggung jawab tanpa mengakibatkan peningkatan atau
penurunan profitabilitas ekonomi jangka panjang tersebut.
Pola earnings management yang biasa dilakukan menurut Scott (2000)
yaitu :
1. Taking a Bath
31
Yaitu manajemen mencoba mengalihkan expected future cost ke masa kini
agar memiliki peluang yang lebih besar mendapatkan laba di masa yang
akandatang. Biasanya dilakukan bila perusahaan mengadakan
restrukturisasi atau reorganisasi.
2. Income Minimization
Yaitu manajemen mencoba memindahkan beban ke masa kini agar
memiliki peluang yang lebih besar mendapatkan laba di masa mendatang.
3. Income Maximization
Yaitu manajemen mencoba meningkatkan laba masa kini dengan
memindahkan beban ke masa mendatang. Biasanya dilakukan manajer
dalamrangka memperoleh bonus tahunan.
4. Income Smoothing
Yaitu tindakan dimana manajemen memperhalus fluktuasi laba dari
periode ke periode dengan cara memindahkan laba dari periode yang
memiliki laba tinggi ke periode yang memiliki laba rendah.
Adapun beberapa model empiris untuk mendeteksi manajemen
laba, yaitu:
1. Model Healy (1985)
Yaitu mendeteksi manajemen laba dengan menggunakan total akrual
sebagai proksi manajemen laba, dengan cara mengurangi laba akuntansi
yang diperoleh selama satu periode tertentu dengan arus kas operasi
periode yang bersangkutan.Atau dengan cara membagi rata-rata total
akrual dengan total aktiva periode sebelumnya.
32
2. Model De Angelo (1986)
Yaitu mengukur manajemen laba dengan cara menghitung total akrual
sebagai selisih antara laba akuntansi yang diperoleh suatu perusahaan
selama satu periode dengan arus kas atau dihitung dengan menggunakan
total akrual akhir periode yang di skala dengan total aktiva periode
sebelumnya.
3. Model Jones (1991)
Dalam penelitian Jones menggunakan dasar model Healy (1985),
kemudian Jones mengembangkan model untuk memisahkan discretionary
accruals dari nondiscretionary accruals. Apabila laba dikelola dengan
menggunakan pendapatan discretionary accruals, maka model ini akan
menghapus bagian laba yang dikelola untuk proksi discretionary accruals.
4. Model Friedlan (1994)
Merupakan pengembangan dari model Healy (1985) dan model De Angelo
(1986). Perhitungannya dengan proksi discretionary accruals.
5. Model Modifikasi Jones (Dechow et,al. 1995)
Yaitu memodifikasi dari model Jones yang di sesain untuk mengeliminasi
kecenderungan untuk menggunakan perkiraan yang bias salah dari model
Jones. Kelebihannya adalah model ini memecah total akrual menjadi
empat komponen utama, yaitu discretionary current accrual dan
nondiscretionary current accrual yang berasal dari aktiva lancar,
sedangkan discretionary long term accrual dan nondiscretionary term
accrual yang berasal dari aktiva tidak lancar.
33
2.1.10. Kualitas Audit
Tranparansi terhadap pemegang saham dapat tercapai apabila
perusahaan melaporkan hal yang terkait dengan perpajakan pada pasar modal
dan pada rapat dengan pemegang saham. Peningkatan tranparansi terhadap
pemegang saham dalam perpajakan semakin dituntut oleh publik, karena
sering kali publik beranggapan terhadap perilaku pajak yang agresif.
Menurut SK. Menkeu No.423/KMK.06/2002 tertanggal 30 September
2002 Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah badan usaha yang telah
mendapatkan izin dari Menteri sebagai wadah bagi Akuntan Publik dalam
memberikan jasanya. Jumlah kantor akuntan publik di Indonesia dari tahun ke
tahun semakin bertambah sejalan dengan perkembangan perekonomian dan
bisnis. Per tanggal 28 Februari 2018 terdapat 434 kantor akuntan publik yang
telah memperoleh izin dari kementrian keuangan. Kantor akuntan publik
tersebut dapat digolongkan menjadi kantor akuntan besar, sedang dan kecil.
Auditor Empat Besar (The Big Four Auditors) adalah kelompok empat firma
jasa profesional dan akuntansi internasional terbesar, yang menangani
mayoritas pekerjaan audit untuk perusahaan publik maupun perusahaan
tertutup. Menurut Yuliana dan Aloysia dalam Ani Yulianti (2011) Kantor
Akuntan Publik di Indonesia dibagi menjadi KAP the big four dan Kantor
Akuntan Publik non the big four. Menurut Yuliana dan Aloysia dalam
Nurahman Apriyana (2017) KAP yang masuk the big four di Indonesia
meliputi:
34
1. KAP Price Waterhouse Coopers (PWC), yang bekerja sama dengan KAP
Drs. Hadi Susanto dan rekan, Haryanto Sahari dan rekan.
2. KAP Klynfeld Peat Marwick Goedelar (KPMG), yang bekerja sama
dengan KAP Siddharta dan Widjaja.
3. KAP Ernst and Young (EY), yang bekerja sama dengan KAP Prasetio,
Sarwoko dan Sandjaja.
4. KAP Deloitte Touche Tohmatsu (Deloitte), yang bekerja sama dengan
KAP Drs. Hans Tuanokata dan Mustofa, Osman Ramli Satrio dan rekan.
Kualitas Audit dilihat dengan kualitas auditornya yang diukur lewat
jenis KAP yang digunakan perusahaan dalam memeriksa laporan perusahaan.
KAP mengaudit suatu laporan keuangan berpedoman pada standart
pengendalian mutu kualitas audit oleh Dewan Standar Profesional Akuntan
Publik Institut Akuntan Publik Indonesia (DSPAP IAPI) dan aturan akuntan
publik yang ditetapkan oleh IAPI sehingga dalam pelaksanaannya sudah
didasarkan pada aturan yang ada (Winata, 2014). Kanagaretnam dan Lobo
(2010) menyampaikan bahwa berdasar teori ekonomi, ukuran besaran Kantor
Akuntan Publik (KAP) menjadi proksi yang dapat menunjukan kualitas audit.
2.1.11. Karakter Eksekutif
Menurut Siagian dalam Herawati, Palentina (2013), eksekutif adalah
seseorang yang menduduki jabatan kepemimpinan tertentu dalam suatu
organisasi mempunyai hak dan wewenang menggerakkan orang lain yang
disebut “bawahan” dan para bawahan itulah yang memikul tanggung jawab
35
melaksanakan berbagai kegiatan operasional dalam pencapaian tujuan
organisasi. Low (2006) menyebutkan bahwa dalam menjalankan tugasnya
sebagai pimpinan perusahaan eksekutif memiliki dua karakter yaitu sebagai
risk taker dan risk averse. Eksekutif yang memiliki karakter risk taker lebih
berani dalam mengambil keputusan bisnisnya. Sedangkan eksekutif yang
memiliki risk averse merupakan eksekutif yang tidak berani mengambil
keputusan bisnisnya. Karakter eksekutif tercermin dari resiko perusahaan
(corporate risk), jika risiko perusahaan makin tinggi maka eksekutif
mempunyai karakter risk taker dan sebaliknya.
Menurut Paligorova (2010) dalam Oktamawati, Mayarisa (2017)
mengartikan risiko perusahaan (coroporate risk) merupakan volatilitas
earning perusahaan yang bisa diukur dengan rumus standar deviasi. Karakter
eksekutif diukur menggunakan resiko perusahaan yang dimiliki perusahaan,
yaitu penyimpangan atau standar deviasi dari laba perusahaan baik yang
bersifat kurang direncanakan maupun yang direncanakan. Resiko perusahaan
diukur menggunakan standar deviasi EBITDA (Earning Before Income Tax,
Depreciation, and Amortization) dibagi total aktiva perusahaan. Paligorova
(2010) dalam Oktamawati, Mayarisa (2017). Semakin besar deviasi earning
perusahaan mengindikasikan semakin besar pula resiko perusahaan yang ada.
Semakin tinggi corporate risk maka eksekutif semakin memiliki karakter risk
taker, semakin rendah corporate risk maka eksekutif semakin memiliki
karakter risk averse.
36
2.2. Penelitian Terdahulu
Penelitian ini dilakukan tidak terlepas dari hasil penelitian-penelitian
terdahulu yang pernah dilakukan sebagai bahan perbandingan dan kajian.
Adapun hasil-hasil penelitian yang dijadikan perbandingan tidak terlepas dari
topik penelitian yaitu mengenai Pengaruh Profitability, Leverage, Size,
Earnings Management, Kualitas Audit dan Karakter Eksekutif terhadap Tax
Avoidance. Penelitian-penelitian tersebut akan dipaparkan sebagai berikut:
1) Tommy dan Maria (2013) mengenai Pengaruh Return On Asset,
Leverage, Corporate Governance, Ukuran Perusahaan dan
Kompensasi Rugi Fiskal Terhadap Tax Avoidance. Penelitian
inimengambil sampel pada 72 perusahaan manufaktur dengan uji
hipotesis analisis linear berganda. Hasil penelitian tersebut adalah
Return On Asset, Leverage, dan Corporate Governance tidak
berpengaruh terhadap tax avoidance, sedangkan ukuran perusahaan
dan kompensasi rugi fiskal berpengaruh signifikan terhadap tax
avoidance.
2) Septian Bayu Kristanto (2015) mengenai Dampak Praktek Manajemen
Laba Terhadap Manajemen Pajak Perusahaan. Sampel pada 16
perusahaan manufaktur dengan uji hipotesis analisis linear berganda
dan uji asumsi klasik. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa semakin
besar tingkat manajemen laba yang dilakukan perusahaan, maka
semakin besar perbedaan laba komersial dengan laba fiskal. Praktik
37
manajemen laba berpengaruh positif terhadap manajemen pajak
perusahaan.
3) Dian Mustika Sara (2016) mengenai Pengaruh Leverage dan
Corporate Governance Terhadap Tax Avoidance. Sampel dengan
teknik purposive sampling pada 11 perusahaan manufaktur perbankan
denganuji hipotesis linear berganda. Hasil penelitian tersebut
menyatakan bahwa leverage dan kualitas audit tidak berpengaruh
terhadap tax avoidance, kepemilikan institusional berpengaruh positif,
sedangkan komite audit berpengaruh negatif terhadap tax avoidance.
4) Siti dan Vidya (2017) mengenai Pengaruh Return On Asset, Leverage,
Kepemilikan Institusional, Ukuran Perusahaan, Kompensasi Rugi
Fiskal Terhadap Tax Avoidance.Pengambilan sampel dengan
obeservasi dokumentasi dan purpose sampling pada 56 perusahaan
manufaktur dengan uji asumsi klasik dan statistik deskriptif (SPSS
16). Hasil penelitian ini menyatakan bahwa ROA berpengaruh
terhadap tax avoidance, sedangkan leverage, kepemilikan
institusional, dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap tax
avoidance.
5) Yanuar, Havid dan Yusriati (2017) mengenai Analisis Terhadap
Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) Pada Perusahaan Property dan
Real Estate di Indonesia. Sampel pada 93 perusahaan property dan
real estate dengan analisis regresi panel. Dalam penelitian ini
disimpulkan bahwa ukuran perusahaan, profotabilitas, leverage,
38
kepemilikan institusional, dan kualitas audit secara simultan
berpengaruh terhadap penghindaran pajak. Profitabilitas merupakan
variabel paling berpengaruh terhadap penghindaran pajak.
6) T.Husain (2017) mengenai Pengaruh Tax Avoidance dan Kualitas
Audit Terhadap Manajemen Laba. Teknik pengujian dengan analisis
regresi linear berganda dan SPSS 22 pada 16 perusahaan manufaktur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tax avoidance tidak berpengaruh
terhadap manajemen laba, kualitas audit berpengaruh terhadap
manajemen laba.
7) Sri, Kusmuriyanto, dan Trisni (2017) mengenai Analisis Determinan
Tax Avoidance Pada Perusahaan Manufaktur di Indonesia. Penelitian
ini menggunakan teknik analisis berganda pada 17 perusahaan sampel
dan menunjukan bahwa CSR dan profitabilitas berpengaruh negatif,
leverage berpengaruh positif, namun ukuran perusahaan tidak
berpengaruh terhadap tax avoidance.
8) Mayarisa Oktamawati (2017) mengenai Pengaruh Karakter Eksekutif,
Komite Audit, Ukuran Perusahaan, Leverage, Pertumbuhan
Penjualan, dan Profitabilitas Terhadap Tax Avoidance. Dari purposive
sampling 550 perusahaan manufaktur dengan menggunakan analisis
regresi linear berganda. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
karakter eksekutif, ukuran perusahaan, leverage, pertumbuhan
penjualan, dan profitabilitas berpengaruh positif terhadap tax
avoidance, sedangkan komite audit berpengaruh negatif.
39
9) Amanda, Siti, dan Endang (2017) mengenai Pengaruh Size, Age,
Profitability, Leverage, dan Sales Growth Terhadap Tax Avoidance.
Menggunakan 32 sampel perusahaan manufaktur sektor industri dasar
dan kimia. Adapun pengujian hipotesis menggunakan uji kelayakan
model regresi, model regresi logistik, uji matriks klasifikasi, uji
omnibus, uji wald. Hasil penelitian tersebut adalah size, age,
profitability, leverage, dan sales growth tidak berpengaruh terhadap
tax avoidance. Pemerintah berhasil melakukan melakukan program
tax amnesty yang mempunyai dampak perusahaan tidak melakukan
tax avoidance.
10) Putu dan I Wayan (2017) mengenai Pengaruh Profitabitas, Leverage,
dan Kepemilikan Institusional pada Tax Avoidance. Sampel pada 157
perusahaan manufaktur dengan uji linear berganda untuk
pengujiannya. Adapun hasil penelitiannya manyatakan bahwa
profitabilitas berpengaruh negatif terhadap tax avoidance, sedangkan
leverage dan kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap tax
avoidance.
11) Cahya dan Amrie (2018) mengenai Manajemen Laba, Corporate
Governance, Kualitas Auditor External dan Agresivitas Pajak. Uji
hipotesis menggunakan analisis regresi panel pada 93 sampel
perusahaan manufaktur. Hasil tersebut menunjukan bahwa manajemen
laba berpengaruh positif terhadap agresivitas pajak, sedangkan
40
corporate governance, kualitas auditor external tidak berdampak pada
agresivitas pajak.
12) Fajar Dwiki Setyawan (2018) mengenai Pengarauh Good Corporate
Governance, Profitabilitas, dan Leverage Terhadap Perilaku Tax
Avoidance: Dampak Penerapan Tax Amnesty. Data dianalisis
menggunakan regresi linear berganda dan ujii beda T-Test dengan
sampel berpasangan dari 118 perusahaan sampel. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa proporsi dewan komisaris independen
berpengaruh signifikan terhadap perilaku tax avoidance dengan
koefisien positif dan profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap
perilaku tax avoidance dengan nilai koefisien negatif.
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
No Peneliti dan
Tahun
Judul Jumlah
Sampel dan
Metode
Analisis
Hasil Penelitian
1 Tommy dan
Maria (2013)
Pengaruh
Return On
Asset,
Leverage,
Corporate
Governance,
Sampel 72
perusahaan
manufaktur,
Uji hipotesis
analisis linear
berganda
Return On Asset,
Leverage, dan
Corporate
Governance tidak
berpengaruh
terhadap tax
41
Ukuran
Perusahaan
dan
Kompensasi
Rugi Fiskal
Terhadap Tax
Avoidance
avoidance,
sedangkan
ukuran
perusahaan dan
kompensasi rugi
fiskal
berpengaruh
signifikan
terhadap tax
avoidance.
2 Septian Bayu
Kristanto
(2015)
Dampak
Praktek
Manajemen
Laba Terhadap
Manajemen
Pajak
Perusahaan
Sampel pada
16 perusahaan
manufaktur,
Uji hipotesis
analisis linear
berganda,
Uji asumsi
klasik.
Semakin besar
tingkat
manajemen laba
yang dilakukan
perusahaan,
maka semakin
besar perbedaan
laba komersial
dengan laba
fiskal. Praktik
manajemen laba
berpengaruh
positif terhadap
42
manajemen pajak
perusahaan.
3 Dian Mustika
Sara (2016)
Pengaruh
Leverage dan
Corporate
Governance
Terhadap Tax
Avoidance
Sampel11
perusahaan
manufaktur
perbankan,
Uji hipotesis
linear
berganda.
Hasil penelitian
tersebut
menyatakan
bahwa leverage
dan kualitas audit
tidak
berpengaruh
terhadap
taxavoidance,
kepemilikan
institusional
berpengaruh
positif,
sedangkan
komite audit
berpengaruh
negatif terhadap
tax avoidance.
4 Siti dan Vidya
(2017)
Pengaruh
Return On
Asset,
Sampel 56
perusahaan
manufaktur,
ROA
berpengaruh
terhadap tax
43
Leverage,
Kepemilikan
Institusional,
Ukuran
Perusahaan,
Kompensasi
Rugi Fiskal
Terhadap Tax
Avoidance
Uji asumsi
klasik dan
statistik
deskriptif
(SPSS 16).
avoidance,
leverage,
kepemilikan
institusional, dan
ukuran
perusahaan tidak
berpengaruh
terhadap tax
avoidance.
5 Yanuar, Havid
dan Yusriati
(2017)
Analisis
Terhadap
Penghindaran
Pajak (Tax
Avoidance)
Pada
Perusahaan
Property dan
Real Estate di
Indonesia
Sampel 93
perusahaan
property dan
real estate,
Analisis
regresi panel.
Ukuran
perusahaan,
profotabilitas,
leverage,
kepemilikan
institusional, dan
kualitas audit
secara simultan
berpengaruh
terhadap
penghindaran
pajak.
Profitabilitas
merupakan
44
variabel paling
berpengaruh
terhadap
penghindaran
pajak.
6 T.Husain
(2017)
Pengaruh Tax
Avoidance dan
Kualitas Audit
Terhadap
Manajemen
Laba
Sampel 16
perusahaan
manufaktur,
teknik
pengujian
dengan
analisis regresi
linear
berganda dan
SPSS 22.
Tax avoidance
tidak
berpengaruh
terhadap
manajemen laba,
kualitas audit
berpengaruh
terhadap
manajemen laba.
7 Sri,
Kusmuriyanto,
dan Trisni
(2017)
Analisis
Determinan
Tax Avoidance
Pada
Perusahaan
Manufaktur di
Indonesia
Sampel 17
perusahaan
manufaktur,
Analisis linear
berganda.
CSR dan
profitabilitas
berpengaruh
negatif, leverage
berpengaruh
positif, namun
ukuran
perusahaan tidak
45
berpengaruh
terhadap tax
avoidance.
8 Mayarisa
Oktamawati
(2017)
Pengaruh
Karakter
Eksekutif,
Komite Audit,
Ukuran
Perusahaan,
Leverage,
Pertumbuhan
Penjualan, dan
Profitabilitas
Terhadap Tax
Avoidance
Sampel 550
perusahaan
manufaktur,
Analisis
regresi linear
berganda.
Karakter
eksekutif, ukuran
perusahaan,
leverage,
pertumbuhan
penjualan, dan
profitabilitas
berpengaruh
positif terhadap
tax avoidance,
sedangkan
komite audit
berpengaruh
negatif.
9 Amanda, Siti,
dan Endang
(2017)
Pengaruh Size,
Age,
Profitability,
Leverage, dan
Sales Growth
Terhadap Tax
Sampel
32perusahaan
manufaktur
sektor industri
dasar dan
kimia,
Size, age,
profitability,
leverage, dan
sales growth
tidak
berpengaruh
46
Avoidance Uji kelayakan
model regresi,
model regresi
logistik, uji
matriks
klasifikasi, uji
omnibus, uji
wald
terhadap tax
avoidance.
Pemerintah
berhasil
melakukan
melakukan
program tax
amnesty yang
mempunyai
dampak
perusahaan tidak
melakukan tax
avoidance.
10 Putu dan I
Wayan (2017)
Pengaruh
Profitabitas,
Leverage, dan
Kepemilikan
Institusional
pada Tax
Avoidance
Sampel 157
perusahaan
manufaktur,
Uji linear
berganda.
Profitabilitas
berpengaruh
negatif terhadap
tax avoidance,
leverage dan
kepemilikan
institusional tidak
berpengaruh
terhadap tax
avoidance.
47
11 Cahya dan
Amrie (2018)
Manajemen
Laba,
Corporate
Governance,
Kualitas
Auditor
External dan
Agresivitas
Pajak
Sampel 93
perusahaan
manufaktur,
Analisis
regresi panel.
Manajemen laba
berpengaruh
positif terhadap
agresivitas pajak,
corporate
governance,
kualitas auditor
external tidak
berdampak pada
agresivitas pajak.
12 Fajar Dwiki
Setyawan
(2018)
Pengarauh
Good
Corporate
Governance,
Profitabilitas,
dan Leverage
Terhadap
Perilaku Tax
Avoidance:
Dampak
Penerapan Tax
Amnesty
Sampel 118
perusahaan
manufaktur,
regresi linear
berganda dan
ujii beda T-
Testdengan
sampel
berpasangan.
Proporsi dewan
komisaris
independen
berpengaruh
signifikan
terhadap perilaku
tax avoidance
dengan koefisien
positif dan
profitabilitas
berpengaruh
signifikan
terhadap perilaku
48
tax avoidance
dengan nilai
koefisien negatif.
Sumber: hasil olah data
2.3. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka penelitian ini akan menganalisis indikasi faktor-faktor
yang mempengaruhi praktik tax avoidance pasca penerapan tax amnesty pada
perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Model penelitian yang diajukan
dalam gambar berikut ini merupakan kerangka konseptual dan sebagai alur
pemikiran dalam menguji hipotesis.
49
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
2.4. Pengembangan Hipotesis
2.4.1. Profitability dan Tax Avoidance
Terkait dengan penghindaran pajak, telah banyak dilakukan penelitian
terhadap profitability suatu perusahaan sebagai salah satu faktor yang
paling berpengaruh terhadap tax avoidance, hal tersebut dikemukakan
dalam hasil penelitian Tommy dan Maria (2013); serta Siti dan Vidya
Profitability
H1
Karakter
Eksekutif
H6
Kualitas Audit
H5
Earnings
Management
H4
Size
H3
Leverage
H2
Tax Avoidance
50
(2017). Profitability suatu perusahaan mewujudkan perbandingan antara
laba dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba tertentu. Salah satu
rasio yang digunakan untuk mengukur profitability adalah Return on Asset
(ROA) didefinisikan sebagai perbandingan antara laba bersih dengan total
aset pada akhir periode yang digunakan sebagai indikator kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba. ROA dinyatakan dalam presentase.
(Prakosa, 2014 dalam Setyawan,2018). ROA berkaitan dengan laba bersih
dan pengenaan pajak penghasilan untuk perusahaan. Perusahaan yang
memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi memiliki kesempatan untuk
melakukan upaya efisiensi dalam kewajiban pembayaran pajak melalui
perilaku tax avoidance. Jadi, laba dan beban pajak berbanding lurus,
sehingga semakin tinggi profitability pada suatu perusahaan, maka
semakin tinggi beban pajak yang dibayarkan ke negara. Oleh karena itu,
hipotesis yang diajukan adalah:
H1: Profitability berpengaruh terhadap tax avoidance
2.4.2. Leverage dan Tax Avoidance
Teori trade off menyatakan bahwa penggunaan utang oleh perusahaan
dapat memberikan manfaat diperolehnya penghematan pajak (Mutamimah
& Rita, 2009). Leverage adalah penggunaan dana dari pihak eksternal
berupa hutang untuk membiayai investasi dan aset perusahaan.
Pembiayaan melalui hutang terutama hutang jangka panjang akan
menimbulkan beban bunga yang akan mengurangi beban pajak yang harus
51
dibayar oleh perusahaan (Ngadiman dan Puspitasari, 2014:412). Hal ini
dikarenakan penggunaan utang dapat menimbulkan biaya bunga, dan
bunga pinjaman merupakan biaya merupakan biaya yang dapat
dikurangkan (deductible expense) terhadap penghasilan kena pajak. Jadi
semakin tinggi leverage suatu perusahaan, semakin tinggi beban bunganya
dan semakin tinggi pula tingkat penghindaran pajak dalam suatu
perusahaan. Para peniliti terdahulu membuktikan bahwa leverage
berpengaruh terhadap penghindaran pajak dalam Oktamawati,
Mayarisa(2017); Sri Mulyani, Kusmuriyanto, Trisni Suryarini (2017);
Yanuar, Havid, dan Yusriati (2017); Siti dan Vidya (2017); Tommy dan
Maria, (2013); Sara, Dian Mustika (2016). Oleh karena itu, hipotesis yang
diajukan adalah:
H2: Leverage berpengaruh terhadap tax avoidance
2.4.3. Size dan Tax Avoidance
Ukuran perusahaan merupakan skala yang dapat membagi perusahaan
menjadi perusahaan kecil dan besar menurut bermacam-macam cara
seperti jumlah asset perusahaan, jumlah penjualan, nilai pasar saham dan
rata-rata tingkat penjualan. perusahaan. Ada 3 kategori ukuran perusahaan
yaitu small firm, medium firm, large firm (Machfoedz, 1994 dalam
Oktamawati, Mayarisa 2017). Berdasarkan teori keagenan, sumber daya
yang dimiliki oleh perusahaan dapat digunakan oleh agen untuk
memaksimalkan kompensasi kinerja agen, yaitu dengan cara menekan
52
beban pajak perusahaan untuk memaksimalkan kinerja perusahaan.
Perusahaan dengan laba yang besar lebih cenderung melakukan praktik tax
avoidance, karena laba yang besar menyebabkan pembayaran beban pajak
yang besar pula. Secara empiris, para peniliti terdahulu membuktikan
bahwa size atau ukuran perusahaan memiliki pengaruh terhadap tax
avoidance (Amanda, Siti, Endang, 2017; Oktamawati, Mayarisa, 2017;
Yanuar, Havid, dan Yusriati, 2017; Siti dan Vidya 2017; Tommy dan
Maria, 2013). Oleh karena itu, hipotesis yang diajukan adalah:
H3: Size berpengaruh terhadap tax avoidance
2.4.4. Earnings Management dan Tax Avoidance
Scott, (2000) mendefinisikan manajemen laba atau earnings
management sebagai “earnings management is the choice by a manager of
accounting policies so aslo achieve some specific objective”, yang artinya
earnings management adalah pilihan yang dilakukan oleh manajemen
dalam menentukan kebijakan akuntansi untuk mencapai beberapa tujuan
tertentu. Adanya kesempatan yang diberikan oleh sistem akuntansi,
manajer dapat mengelola labanya dengan pemilihan metode akuntansi
yang masih dalam ranah Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU).
Selain itu, Scott (2000) juga menjelaskan bahwa manajemen laba
merupakan suatu metode dalam dunia bisnis, keuangan, dan akuntansi
yang berwujud tindakan manajer untuk melaporkan laba yang dapat
memaksimalkan kepentingan pribadi atau perusahaan dengan
53
menggunakan kebijakan akuntansi yang dilandasi beberapa motivasi.
Salah satunya adalah taxation motivatioin, yaitu perusahaan cenderung
mengurangi profit (income decreasing) yang dilaporkan untuk mengurangi
pendapatan kena pajak sehingga perusahaan membayar pajak lebih sedikit.
Secara empiris, para peniliti terdahulu membuktikan bahwa manajemen
laba berpengaruh positif terhadap agresivitas pajak(Cahya dan Amrie,
2018) dan manajemen laba berpengaruh terhadap manajemen pajak
perusahaan (Kristanto, Septian Bayu 2015). Oleh karena itu, hipotesis
yang diajukan adalah:
H4: Earnings Management berpengaruh terhadap tax avoidance
2.4.5. Kualitas Audit dan Tax Avoidance
Kualitas audit menjadi salah satu faktor yang penting dalam mengukur
perilaku penghindaran pajak. Dalam teori agensi, manajemen memiliki
informasi lebih mengenai perusahaan daripada principal sehingga principal
melakukan monitoring dengan menyewa pihak ketiga. Sebagai contoh
penggunaan auditor ekternal untuk mengaudit laporan keuangan
perusahaan untuk meningkatkan kepercayaan terhadap pengguna laporan
keuangan. Kanagaretnam dan Lobo (2010) menyampaikan bahwa berdasar
teori ekonomi, ukuran besaran Kantor Akuntan Publik (KAP) menjadi
proksi yang dapat menunjukan kualitas audit. De Angelo (1981)
berargumen bahwa reputasi KAP Big 5 ketika melakukan audit lebih baik
dibandingkan auditor dari KAP lainnya dalam mendeteksi salah saji
54
laporan keuangan karena memadahinya sumber daya manusia, pelatihan
khusus, peer reviews, dan tingginya investasi dalam teknologi informasi.
KAP yang lebih besar diharapkan lebih mampu bersikap obyektif
dalam memberikan opini atas hasil audit dan lebih akurat dalam
mendeteksi kecurangan atau salah saji pada laporan keuangan klien karena
pengalaman administrasi yang memadahi, sehingga dapat menghasilkan
kualitas audit yang jauh lebih tinggi. KAP Big 4 terorganisasi sebagai
national partnership dengan kantor administrasi nasional yang
menetapkan kebijakan secara world-wide dan memberikan dukungan
teknis, memberikan program pelatihan, program audit yang terstandar, dan
pengetahuan perusahaan praktik distribusi informasi yang didukung
teknologi informasi (Rumiyati, 2016). Laporan keuangan perusahaan yang
diaudit oleh KAP Big 4 akan menunjukan kualitas audit yang lebih baik
dari pada perusahaan yang tidak menggunakan jasa dari KAP Big 4. Hal
tersebut menyebabkan manajemen akan bertindak lebih berhati-hati untuk
melakukan praktik tax avoidance. Secara empiris, para peniliti terdahulu
membuktikan bahwa kualitas audit memiliki pengaruh terhadap tax
avoidance (Angela dan Siti, 2017; Cahya dan Amrie, 2018; Yanuar,
Havid, dan Yusriati, 2017; Nanik dan Selvy, 2018). Oleh karena itu,
hipotesis yang diajukan adalah:
H5: Kualitas Audit berpengaruh terhadap tax avoidance
55
2.4.6. Karakter Eksekutif dan Tax Avoidance
Penelitian yang dilakukan oleh Dyreng et al., (2010) adalah ditujukan
untuk menguji apakah individu Top Executive memiliki pengaruh terhadap
penghindaran pajak perusahaan. Low (2006) menyebutkan bahwa dalam
menjalankan tugasnya sebagai pimpinan perusahaan eksekutif memiliki
dua karakter yaitu sebagai risk taker dan risk averse. Eksekutif yang
memiliki karakter risk taker lebih berani dalam mengambil keputusan
bisnisnya. Sedangkan eksekutif yang memiliki risk averse merupakan
eksekutif yang tidak berani mengambil keputusan bisnisnya.Hal tersebut
menyebabkan manajer dengan tipe risk taker akan bertindak lebih agresif
untuk mengambil keputusan, karena umumnya memiliki keinginan untuk
dapat mendatangkan arus kas yang tinggi dari tax saving. Oktamawati,
Mayarisa (2017) membuktikan bahwa karakter eksekutifberpengaruh
positif terhadap tax avoidance. Semakin tinggi risk taking maka semakin
tinggi tax avoidance. Oleh karena itu, hipotesis yang diajukan adalah:
H6: Karakter Eksekutif berpengaruh terhadap tax avoidance