BAB II LANDASAN TEORI II.A. Pengasuhanrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34210/3/Chapter...

27
BAB II LANDASAN TEORI II.A. Pengasuhan Pengasuhan erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga atau rumah tangga dan komunitas dalam hal memberikan perhatian, waktu dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan serta bagi anggota keluarga lainnya (Engel, 1997). Orangtua dalam pengasuhan memiliki beberapa definisi yaitu ibu, ayah, atau seseorang yang akan membimbing dalam kehidupan baru, seorang penjaga, maupun seorang pelindung. Orangtua adalah seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat, melindungi, mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahapan perkembangannya (Brooks, 2001). Brooks (2001) juga mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses yang merujuk pada serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan orangtua untuk mendukung perkembangan anak. Proses pengasuhan bukanlah sebuah hubungan satu arah yang mana orangtua mempengaruhi anak namun lebih dari itu, pengasuhan merupakan proses interaksi antara orangtua dan anak yang dipengaruhi oleh budaya dan kelembagaan sosial dimana anak dibesarkan. Pengasuhan merupakan proses yang panjang, maka proses pengasuhan akan mencakup 1) interaksi antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya, 2) penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya, 3) pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak, Universitas Sumatera Utara

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI II.A. Pengasuhanrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34210/3/Chapter...

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Pengasuhan

Pengasuhan erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga atau rumah

tangga dan komunitas dalam hal memberikan perhatian, waktu dan dukungan

untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial anak-anak yang sedang

dalam masa pertumbuhan serta bagi anggota keluarga lainnya (Engel, 1997).

Orangtua dalam pengasuhan memiliki beberapa definisi yaitu ibu, ayah, atau

seseorang yang akan membimbing dalam kehidupan baru, seorang penjaga,

maupun seorang pelindung. Orangtua adalah seseorang yang mendampingi dan

membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat, melindungi,

mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahapan perkembangannya

(Brooks, 2001).

Brooks (2001) juga mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses

yang merujuk pada serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan orangtua untuk

mendukung perkembangan anak. Proses pengasuhan bukanlah sebuah hubungan

satu arah yang mana orangtua mempengaruhi anak namun lebih dari itu,

pengasuhan merupakan proses interaksi antara orangtua dan anak yang

dipengaruhi oleh budaya dan kelembagaan sosial dimana anak dibesarkan.

Pengasuhan merupakan proses yang panjang, maka proses pengasuhan akan

mencakup 1) interaksi antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya, 2)

penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya, 3)

pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak,

Universitas Sumatera Utara

4) proses mendukung dan menolak keberadaan anak dan orang tua, serta 5) proses

mengurangi resiko dan perlindungan tehadap individu dan lingkungan sosialnya

(Berns 1997).

Hoghughi (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan mencakup beragam

aktifitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat

bertahan hidup dengan baik. Prinsip pengasuhan menurut Hoghughi tidak

menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada aktifitas dari

perkembangan dan pendidikan anak. Oleh karenanya pengasuhan meliputi

pengasuhan fisik, pengasuhan emosi dan pengasuhan sosial.

Beberapa definisi tentang pengasuhan tersebut menunjukkan bahwa

pengasuhan merupakan sebuah proses interaksi yang terus menerus antara

orangtua dengan anak yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan

perkembangan anak secara optimal, baik secara fisik, mental maupun sosial,

sebagai sebuah proses interaksi dan sosialisasi yang tidak bisa dilepaskan dari

sosial budaya dimana anak dibesarkan.

II.B. Pola Asuh Orangtua

II.B.1.Definisi Pola Asuh Orangtua

Pola asuh orangtua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang

terjadi antara orangtua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam

keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak

(Baumrind dalam Irmawati, 2002). Menurut Darling, (1999), pola asuh adalah

Universitas Sumatera Utara

aktivitas kompleks yang melibatkan banyak perilaku spesifik yang bekerja secara

individual dan bersama-sama untuk mempengaruhi anak.

Hubungan baik yang tercipta antara anak dan orangtua akan menimbulkan

perasaan aman dan kebahagiaan dalam diri anak. Sebaliknya hubungan yang

buruk akan mendatangkan akibat yang sangat buruk pula, perasaan aman dan

kebahagiaan yang seharusnya dirasakan anak tidak lagi dapat terbentuk, anak akan

mengalami trauma emosional yang kemudian dapat ditampilkan anak dalam

berbagai bentuk tingkah laku seperti menarik diri dari lingkungan, bersedih hati,

pemurung, dan sebagainya. Pola asuh orangtua merupakan pola interaksi antara

anak dengan orangtua bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan,

minum, dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang,

dan lain-lain), tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat

agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan (Hurlock, 1994). Pola asuh

adalah suatu cara orangtua menjalankan peranan yang penting bagi perkembangan

anak selanjutnya, dengan memberi bimbingan dan pengalaman serta memberikan

pengawasan agar anak dapat menghadapi kehidupan yang akan datang dengan

sukses, sebab di dalam keluarga yang merupakan kelompok sosial dalam

kehidupan individu, anak akan belajar dan menyatakan dirinya sebagai manusia

sosial dalam hubungan dan interaksi dengan kelompok (Meuler, 1987 dalam

Iswantini, 2002).

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh

orangtua adalah cara yang dipakai oleh orangtua dalam mendidik dan memberi

bimbingan dan pengalaman serta memberikan pengawasan kepada anak-anaknya

Universitas Sumatera Utara

agar kelak menjadi orang yang berguna, serta tidak hanya memenuhi kebutuhan

fisik dan psikis melainkan juga menanamkan norma-norma yang berlaku dalam

masyarakat yang akan menjadi faktor penentu bagi anak-anaknya dalam

menginterpretasikan, menilai dan mendeskripsikan kemudian memberikan

tanggapan dan menentukan sikap maupun berperilaku.

II.B.2. Dimensi pola asuh

Menurut (Baumrind, 1983) ada dua dimensi besar pola asuh yang menjadi

dasar dari kecenderungan jenis kegiatan pengasuhan anak, yaitu :

a. Responsiveness atau Responsifitas

Dimensi ini berkenaan dengan sikap orangtua yang penuh kasih sayang,

memahami dan berorientasi pada kebutuhan anak. Sikap hangat yang ditunjukkan

orangtua pada anak sangat berperan penting dalam proses sosialisasi antara

orangtua dengan anak. Diskusi sering terjadi pada keluarga yang orangtuanya

responsif terhadap anak – anak mereka, selain itu juga sering terjadi proses

memberi dan menerima secara verbal diantara kedua belah pihak. Namun pada

orangtua yang tidak responsif terhadap anak – anaknya, orangtua bersikap

membenci, menolak atau mengabaikan anak. Orangtua dengan sikap tersebut

sering menjadi penyebab timbulnya berbagai masalah yang dihadapi anak seperti

kesulitan akademis, ketidakseimbangan hubungan dengan orang dewasa dan

teman sebaya sampai dengan masalah delikuensi.

Universitas Sumatera Utara

Menurut (Baumrind, 1983 dalam Berk, 2000) responsiveness atau

responsifitas terdiri atas :

1) Clarity of communication (menuntut anak berkomunikasi secara jelas), yaitu

orangtua meminta pendapat anak yang disertai alasan yang jelas ketika anak

menuntut pemenuhan kebutuhannya, menunjukkan kesadaran orangtua untuk

medengarkan atau menampung pendapat, keinginan atau keluhan anak, dan juga

kesadaran orangtua dalam memberikan hukuman kepada anak bila diperlukan.

2) Nurturance (upaya pengasuhan), yaitu orangtua menunjukkan ekspresi

kehangatan dan kasih sayang serta keterlibatan orangtua terhadap kesejahteraan

dan kebahagiaan anak dan menunjukkan rasa bangga akan prestasi yang diperoleh

anak. Orangtua mampu mengekspresikan cinta dan kasih sayang melalui tindakan

dan sikap yang mengekspresikan kebanggaan dan rasa senang atas keberhasilan

yang dicapai anak-anaknya.

b. Demandingness atau tuntutan

Untuk mengarahkan perkembangan sosial anak secara positif, kasih

sayang dari orangtua belumlah cukup. Kontrol dari orangtua dibutuhkan untuk

mengembangkan anak agar anak menjadi individu yang kompeten baik secara

intelektual maupun sosial.

Menurut (Baumrind, 1983 dalam Berk, 2000) demandingness atau tuntutan

terdiri atas :

1) Demand for maturity (menuntut anak bersikap dewasa), yaitu orangtua

menekankan pada anak untuk mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi

Universitas Sumatera Utara

lebih dewasa dalam segala hal. Orangtua memberikan tekanan terhadap anak

untuk dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam aspek sosial, intelektual

dan emosional. Orangtua pun menuntut kemandirian yang meliputi pemberian

kesempatan kepada anak-anaknya untuk membuat keputusannya sendiri.

2) Control (kontrol), yaitu menunjukkan upaya orangtua dalam menerapkan

kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan orangtua yang kaku yang sudah di

buat sebelumnya. Orangtua juga terlihat berusaha untuk membatasi kebebasan,

inisiatif dan tingkah laku anaknya. Orangtua memiliki kemampuan untuk

menahan tekanan dari anak, dan konsisten dalam menjalankan aturan. Mengontrol

tindakan didefinisikan sebagai upaya orangtua untuk memodifikasi ekspresi

ketergantungan anak, agresivitas atau perilaku bermain di samping untuk

meningkatkan internalisasi anak terhadap standar yang dimiliki orangtua terhadap

anak.

II.B.3.Gaya Pola Asuh Orangtua

Gaya pola asuh adalah kumpulan dari sikap, praktek dan ekspresi

nonverbal orangtua yang bercirikan kealamian dari interaksi orangtua kepada anak

sepanjang situasi yang berkembang (Darling & Steinberg, 1999). Gaya konseptual

pola asuh Baumrind didasarkan pada pendekatan tipologis pada studi praktek

sosialisasi keluarga. Pendekatan ini berfokus pada konfigurasi dari praktek pola

asuh yang berbeda dan asumsi bahwa akibat dari salah satu praktek tersebut

tergantung sebagian pada pengaturan kesemuanya. Variasi dari konfigurasi

elemen utama pola asuh (seperti kehangatan, keterlibatan, tuntutan kematangan,

Universitas Sumatera Utara

dan supervisi) menghasilkan variasi dalam bagaimana seorang anak merespon

pengaruh orangtua. Dari perspektif ini, gaya pola asuh dipandang sebagai

karakteristik orangtua yang membedakan keefektifan dari praktek sosialisasi

keluarga dan penerimaan anak pada praktek tersebut (Darling & Steinberg, 1999).

Tipologi gaya pola asuh Baumrind (1971) mengidentifikasi tiga pola yang

berbeda secara kualitatif pada otoritas orangtua, yaitu authoritarian parenting,

authoritative parenting dan permissive parenting. Menurut (Baumrind, 1971

dalam Berk, 2000), ada tiga tipe pola asuh orangtua:

a. Pola asuh authoritarian, yaitu pola asuh yang penuh pembatasan dan

hukuman (kekerasan) dengan cara orangtua memaksakan kehendaknya,

sehingga orangtua dengan pola asuh authoritarian memegang kendali

penuh dalam mengontrol anak-anaknya. Authoritarian mengandung

demanding dan unresponsive. Yang dicirikan dengan orangtua yang

selalu menuntut anak tanpa memberi kesempatan pada anak untuk

mengemukakan pendapatnya, tanpa disertai dengan komunikasi terbuka

antara orangtua dan anak juga kehangatan dari orangtua. Pola asuh

authoritarian ditandai dengan ciri-ciri sikap orangtua yang kaku dan

keras dalam menerapkan peraturan-peraturan maupun disiplin. Orangtua

bersikap memaksa dengan selalu menuntut kepatuhan anak, agar

bertingkah laku seperti yang dikehendaki oleh orangtuanya. Karena

orangtua tidak mempunyai pegangan mengenai cara bagaimana mereka

harus mendidik, maka timbul berbagai sikap orangtua yang mendidik

menurut apa yang dinggap terbaik oleh mereka sendiri, diantaranya

Universitas Sumatera Utara

adalah dengan hukuman dan sikap acuh tak acuh, sikap ini dapat

menimbulkan ketegangan dan ketidak nyamanan, sehingga

memungkinkan kericuhan di dalam rumah (Baumrind, 1971 dalam Berk,

2000). Menurut Stewart dan Koch (1983), orangtua yang menerapkan

pola asuh otoriter mempunyai ciri sebagai berikut:

1) Kaku

2) Tegas

3) Suka menghukum

4) Kurang ada kasih sayang serta simpatik

5) Orangtua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta

mencoba membentuk lingkah laku sesuai dengan yang orangtua inginkan

serta cenderung mengekang keinginan anak

6) Orangtua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak

untuk mandiri dan jarang memberi pujian

7) Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa.

b. Pola asuh authoritative, yaitu pola asuh yang memberikan dorongan pada

anak untuk mandiri namun tetap menerapkan berbagai batasan yang akan

mengontrol perilaku mereka. Adanya saling memberi dan saling

menerima, mendengarkan dan didengarkan. Pola ini lebih memusatkan

perhatian pada aspek pendidikan daripada aspek hukuman, orangtua

memberikan peraturan yang luas serta memberikan penjelasan tentang

sebab diberikannya hukuman serta imbalan tersebut. Authoritative

mengandung demanding dan responsive dicirikan dengan adanya tuntutan

Universitas Sumatera Utara

dari orang tua yang disertai dengan komunikasi terbuka antara orangtua

dan anak, mengharapkan kematangan perilaku pada anak disertai dengan

adanya kehangatan dari orangtua. Jadi penerapan pola asuh authoritatif

dapat memberikan keleluasaan anak untuk menyampaikan segala

persoalan yang dialaminya tanpa ada perasaan takut, keleluasaan yang

diberikan orangtua tidak bersifat mutlak akan tetapi adanya kontrol dan

pembatasan berdasarkan norma-norma yang ada (Baumrind, 1971 dalam

Berk, 2000). Menurut Stewart dan Koch (1983) menyatakan ciri-cirinya

adalah:

1) Bahwa orangtua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak

antara orangtua dan anak.

2) Secara bertahap orangtua memberikan tanggung jawab bagi anak-

anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka

menjadi dewasa.

3) Mereka selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan

menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anak-

anaknya.

4) Dalam bertindak, mereka selalu memberikan alasannya kepada anak,

mendorong anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas

tetapi hangat dan penuh pengertian.

c. Pola asuh permissive, yaitu pola asuh yang menekankan pada ekspresi diri

dan regulasi diri anak. Mengizinkan anak untuk memonitor aktivitas

mereka sendiri sebanyak mungkin tanapa adanya batasan dari orangtua

Universitas Sumatera Utara

(Baumrind, 1989 dalam Papalia, 2008). Maccoby dan Martin (dalam

Santrock, 2002) membagi pola asuh ini menjadi dua: neglectful parenting

dan indulgent parenting. Pola asuh yang neglectful yaitu bila orangtua

sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak (tidak peduli). Pola asuh ini

menghasilkan anak-anak yang kurang memiliki kompetensi sosial

terutama karena adanya kecenderungan kontrol diri yang kurang. Pola

asuh yang indulgent yaitu bila orangtua sangat terlibat dalam kehidupan

anak, namun hanya memberikan kontrol dan tuntutan yang sangat minim

(selalu menuruti atau terlalu membebaskan) sehingga dapat

mengakibatkan kompetensi sosial yang tidak adekuat karena umumnya

anak kurang mampu untuk melakukan kontrol diri dan menggunakan

kebebasannya tanpa rasa tanggung jawab serta memaksakan kehendaknya.

Permissive mengandung undemanding dan unresponsive (Baumrind, 1971

dalam Berk, 2000). Dicirikan dengan orangtua yang bersikap mengabaikan

dan lebih mengutamakan kebutuhan dan keinginan orangtua daripada

kebutuhan dan keinginan anak, tidak adanya tuntutan larangan ataupun

komunikasi terbuka antara orangtua dan anak. Hurlock (1994) mengatakan

bahwa pola asuhan permisif bercirikan :

1) Adanya kontrol yang kurang

2) Orangtua bersikap longgar atau bebas

3) Bimbingan terhadap anak kurang.

Universitas Sumatera Utara

II.B.4.Faktor–faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua

Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah (Edwards,

2006):

a. Pendidikan orangtua

Pendidikan dan pengalaman orangtua dalam perawatan anak akan

mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara

yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran

pengasuhan antara lain: terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati

segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya

menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga

dan kepercayaan anak (Edwards, 2006). Latar belakang pendidikan orangtua,

informasi yang didapat oleh orangtua tentang cara mengasuh anak, kultur budaya,

kondisi lingkungan sosial, ekonomi akan mempengaruhi bagaimana orangtua

memberikan pengasuhan pada anak-anak mereka (Winengan, 2007). Orangtua

yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan

lebih siap menjalankan peran asuh, selain itu orangtua akan lebih mampu

mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal (Supartini,

2004).

b. Lingkungan

Faktor sosial, ekonomi, lingkungan, budaya dan pendidikan memberikan

kontribusi pada kualitas pengasuhan orangtua (Zevalkinki, 2007). Pengasuhan

merupakan proses yang panjang, maka proses pengasuhan akan mencakup 1)

interaksi antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya, 2) penyesuaian

Universitas Sumatera Utara

kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya, 3) pemenuhan

tanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak, 4) proses

mendukung dan menolak keberadaan anak dan orang tua, serta 5) proses

mengurangi resiko dan perlindungan tehadap individu dan lingkungan sosialnya

(Berns 1997). Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka

tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan

yang diberikan orangtua terhadap anaknya (Edwards, 2006).

c. Budaya

Sering kali orangtua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat

dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam

mengasuh anak, karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak

kearah kematangan (Edwards, 2006). Orangtua mengharapkan kelak anaknya

dapat diterima dimasyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau

kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orangtua

dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya (Anwar,2000).

Budaya yang ada di dalam suatu komunitas menyediakan seperangkat

keyakinan, yang mencakup (a) pentingnya pengasuhan; (b) peran anggota

keluarga (c) tujuan pengasuhan; (d) metode yang digunakan dalam penerapan

disiplin kepada anak; dan (e) peran anak di dalam masyarakat(Brooks, 2001).

Oleh karenanya, bila budaya yang ada mengandung seperangkat keyakinan yang

dapat melindungi perkembangan anak, maka nilai-nilai pengasuhan yang

diperoleh orangtua kemungkinan juga akan berdampak positif terhadap

perkembangan anak. Sebaliknya, bila ternyata seperangkat keyakinan yang ada

Universitas Sumatera Utara

dalam budaya masyarakat setempat justru memperbesar munculnya faktor resiko

maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua pun akan menyebabkan

perkembangan yang negatif pada anak (Suhartono, 2007).

II.C.Gaya Pengasuhan Ibu dan Ayah Berbeda

Orangtua mungkin tidak menyadari, sebenarnya gaya pengasuhan antara

ayah dan ibu berbeda. Hal ini dikarenakan, pada dasarnya gender laki-laki dan

perempuan berbeda, baik dalam pola kehidupan, latar belakang maupun

pekerjaannya. Perbedaan pada gaya ayah dan ibu sangat wajar, mengingat pada

bapak-bapak, secara fisik memang lebih kuat dari ibu-ibu. Selain itu, secara

umum bapak-bapak adalah breadwinners (pencari nafkah, Red.) dalam keluarga.

Namun begitu, keduanya tetap harus sinergis dalam membangun kehidupan anak.

ayah dan ibu tetap memiliki peranan yang sama besarnya dalam membangun

anak. Kalau ayah lebih kepada membangun visi dan misi, dan menumuhkan

kompetensi dan percaya diri. Ibu lebih kepada memberikan kasih sayang,

sentuhan, memeluk, memberikan contoh kasih sayang, ataupun mengajak anak

ngobrol (Verauli, 2012). Secara umum, ayah dan ibu memiliki peran yang sama

dalam pengasuhan anak-anaknya. Namun ada sedikit perbedaan sentuhan dari apa

yang ditampilkan oleh ayah dan ibu (Verauli, 2009).

a. Peran ibu

1. Menumbuhkan perasaan mencintai dan mengasihi pada anak melalui interaksi

yang jauh melibatkan sentuhan fisik dan kasih sayang.

Universitas Sumatera Utara

2. Menumbuhkan kemampuan berbahasa pada anak melalui kegiatan-kegiatan

bercerita dan mendongeng, serta melalui kegiatan yang lebih dekat dengan anak,

yakni berbicara dari hati ke hati kepada anak.

3. Mengajarkan tentang peran jenis kelamin perempuan, tentang bagaimana harus

bertindak sebagai perempuan, dan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial

dari seorang perempuan.

b. Peran ayah

1. Menumbuhkan rasa percaya diri dan kompeten pada anak melalui kegiatan

bermain yang lebih kasar dan melibatkan fisik baik di dalam maupun di luar

ruang.

2. Menumbuhkan kebutuhan akan hasrat berprestasi pada anak melalui kegiatan

mengenalkan anak tentang berbagai kisah tentang cita-cita.

3. Mengajarkan tentang peran jenis kelamin laki-laki, tentang bagaimana harus

bertindak sebagai laki-laki, dan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial dari

laki-laki.

Peran orangtua dalam pengasuhan anak berubah seiring pertumbuhan dan

perkembangan anak. Karenanya, diharapkan orangtua bisa memahami fase-fase

perkembangan anak dan mengimbanginya. Menurut pakar psikologi

perkembangan Jean Piaget, anak perlu melakukan aksi tertentu atas

lingkungannya untuk dapat mengembangkan cara pandang yang kompleks dan

cerdas atas setiap pengalamannya. Sudah menjadi tugas orangtua untuk memberi

anak pengalaman yang dibutuhkan anak agar kecerdasannya berkembang

sempurna (Verauli, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Erik Erikson (dalam Verauli, 2012) selaku pelopor dunia psikologi anak juga

menegaskan bahwa cinta seorang ayah dan kasih seorang ibu berbeda secara

kualitatif. Berikut ini keterlibatan seorang ayah membuat perbedaan positif dalam

kehidupan anak:

1. Gaya komunikasi berbeda

Ayah memiliki gaya komunikasi berbeda. Anak akan lebih berpengalaman, lebih

luas interaksi relasional.

2. Gaya bermain berbeda

Ayah mengajarkan melempar, menggelitik, menendang, bergulat untuk

pengendalian diri.

3. Membangun rasa percaya diri

Meski gaya pengasuhan sendiri dapat membahayakan tubuh, namun ayah

mengambil risiko untuk membangun kemandirian dan kepercayaan diri.

Sementara anak tetap aman namun memperluas pengalaman dan meningkatkan

kepercayaan diri mereka.

4. Gaya disiplin unik

Ayah cenderung mengamati dan menegakkan aturan secara sistematis dan tegas.

Mengajar

anak-anak konsekuensi dari benar dan salah.

5. Persiapkan anak untuk dunia nyata

Ayah terlibat membantu anak menyikapi perilaku. Misalnya ayah lebih mungkin

dibandingkan ibu untuk memberitahu anak-anak tentang persiapan realitas dan

kerasnya dunia.

Universitas Sumatera Utara

Masing-masing orangtua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam

mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang

pendidikan orangtua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat

istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh orangtua petani tidak sama

dengan pedagang. Demikian pula pola asuh orangtua berpendidikan rendah

berbeda dengan pola asuh orangtua yang berpendidikan tinggi. Ada yang

menerapkan dengan pola yang keras/kejam, kasar, dan tidak berperasaan. Namun,

ada pula yang memakai pola lemah lembut, dan kasih sayang. Ada pula yang

memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi

hukuman dan tindakan tegas yang biasa disebut pola otoriter (Clemes, 2001).

Kedekatan hubungan ibu dan anak sama pentignya dengan ayah dan anak

walaupun secara kodrati akan ada perbedaan. Didalam rumah tangga ayah dapat

melibatkan dirinya melakukan peran pengasuhan kepada anaknya. Seorang ayah

tidak saja bertanggung jawab dalam memberikan nafkah tetapi dapat pula bekerja

sama dengan ibu dalam melakuan perawatan anak. Gaya pengasuhan anak

merupakan seluruh interaksi antara subjek dan objek berupa bimbingan,

pengarahan dan pengawasan terhadap aktivitas objek sehari-hari yang

berlangsung secara rutin sehingga membentuk suatu pola dan merupakan usaha

yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan si pendidik

atau pengasuh. Peran ibu adalah sebagai pelindung dan pengasuh. Seorang ibu,

tua maupun muda, kaya atau miskin secara naluriah tahu tentang garis-garis besar

dan fungsinya sehari-hari dalam keluarga. Ibu adalah pendidik pertama dan utama

dalam keluarga, khususnya bagi anak-anak yang berusia dini. Oleh karena itu

Universitas Sumatera Utara

keterlibatan ibu dalam mengasuh dan membesarkan anak sejak masih bayi dapat

membawa pengaruh positif maupun negatif bagi perkembangan anak di masa

yang akan datang (Berk, 2000).

II.D. Perkembangan Pada Masa Anak-anak Akhir

Pembentukan kualitas seorang individu dapat dimulai dari masa anak-

anak, terutama pada usia dini. Anak-anak adalah generasi penerus bangsa,

merekalah para pengganti dan penyempurna generasi sebelumnya. Pada masa ini

seorang anak mulai belajar untuk semua hal yang ada di dunia. Masa anak-anak

ini terbagi dalam dua bagian yaitu masa anak-anak awal yang berlangsung dari

usia 2-6 tahun dan masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia 6-13 tahun

pada anak perempuan dan 14 tahun pada anak laki-laki (Hurlock, 1994). Periode

ini dimulai ketika anak mulai memasuki Sekolah Dasar dan berakhir ketika anak

mengalami kematangan seksual. Periode ini juga disebut sebagai periode anak

usia Sekolah Dasar, karena pada masa ini anak mulai memasuki sekolah formal

(Hurlock, 1994).

Anak usia sekolah telah menginternalisasi rasa malu dan bangga serta

dapat memahami dan mengontrol emosi negatif lebih baik. Anak usia sekolah

menjadi lebih empati dan lebih condong kepada perilaku prososial, anak prososial

cendrung bertindak sesuai dengan situasi sosial, relatif bebas dari emosi negatif

dan menghadapi masalah secara konstruktif. Anak usia sekolah lebih sedikit

menghabiskan waktunya dengan orangtua, namun hubungannya dengan orangtua

tetap sangat penting. (Papalia, 2008)

Universitas Sumatera Utara

II.E. Praktek Pengasuhan Pada Anak-anak Akhir

Orangtua dari anak yang berprestasi menciptakan lingkungan untuk belajar.

Mereka menyediakan tempat untuk belajar, menyimpan buku serta berbagai

peralatan, mereka menentukan waktu makan, tidur, dan pekerjaan rumah, mereka

memonitor seberapa banyak acara televisi yang ditonton anak mereka dan apa

yang dilakukan anak mereka setelah sekolah dan mereka menunjukkan

ketertarikan kepada kehidupan anak mereka dengan berbincang-bincang tentang

sekolah dan terlibat dalam aktivitas sekolah (Cooper dkk, 1998 dalam Papalia,

2008) .

Orangtua memotivasi anaknya dengan cara ekstrinsik maupun intrinsik.

Orangtua yang menggunakan cara ekstrinsik yaitu dengan cara memberikan uang

atau barang apabila sang anak mendapatkan peringkat yang bagus atau

menghukumnya apabila peringkat sang anak buruk. Orangtua yang menggunakan

cara intrinsik yaitu dengan cara memuji kemampuan ataukerja keras mereka.

Motivasi intrinsik akan lebih efektif untuk pembelajaran sang anak (Miserandino,

1996 dalam Papalia, 2008).

Gaya pengasuhan akan mempengaruhi motivasi. Dalam sebuah studi

penelitian anak kelas lima, hasil menunjukkan bahwa orangtua otoritarian, selalu

mengurung anak agar mengerjakan pekerjaan rumah mereka, mengawasi dengan

ketat, dan menyandarkan diiri kepada motivasi ekstrinsik cendrung memiliki anak

berprestasi rendah. Begitu pula dengan orangtua yang permissive yang lepas

tangan tidak tampak peduli dengan yang dilakukan sang anak di sekolah.

Orangtua yang autoritative cendrung memiliki anak yang bersikap terbuka pada

Universitas Sumatera Utara

orangtuanya, orangtua memberikan kesempatan bagi anak-anaknya namun tidak

lepas dari pengawasan (Bronstein & Ginsburg, 1996 dalam Papalia, 2008).

II.F. Masyarakat Pesisir

II.F.1. Definisi Masyarakat Pesisir

Pengertian masyarakat pesisir tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat

itu sendiri. Maka dari itu sebelum membicarakan tentang masyarakat pesisir

terlebih dahulu kita memahami tentang definisi masyarakat. Masyarakat

merupakan sekelompok manusia yang telah hidup lama dan bekerja sama

sehingga mereka dapat mengatur diri dan menganggap diri mereka sebagai

kesatuan sosial dengan batas tertentu yang diharuskan dengan jelas. Pada

hakikatnya pengertian masyarakat mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: (a).

Adanya sejumlah manusia yang hidup bersama (b). Bercampur atau bersama-

sama untuk waktu yang cukup lama (c). Menyadari bahwa mereka merupakan

satu kesatuan (d). Menyadari bahwa mereka bersama-sama di ikat oleh perasaan

anggota yang satu dengan yang lainnya (e). Menghasilkan suatu kebudayaan

tertentu (Audiyahira, 2011).

Masyarakat pesisir dapat didefinisikan sebagai kelompok orang atau suatu

komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya

bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir.

Mereka terdiri dari nelayan, buruh nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan,

pengolah ikan, sarana produksi perikanan (Mudjahirin, 2009). Masyarakat pesisir

yang identik dengan nelayan merupakan bagian dari masyarakat terpinggirkan

Universitas Sumatera Utara

yang masih terus bergulat dengan berbagai persoalan kehidupan, baik ekonomi,

sosial, pendidikan, kesehatan, maupun budaya. Kondisi kehidupan mereka selalu

dalam kondisi yang memprihatinkan, terutama secara ekonomi. Dengan

penghasilan yang selalu tergantung pada kondisi alam (Winengan, 2007). Masalah

kompleks yang dihadapi masyarakat pesisir adalah kemiskinan, keterbatasan

pengetahuan serta dunia pendidikan dan teknologi yang berkembang (Nikijuluw,

2001).

II.F.2.Karakteristik Masyarakat Pesisir

Masyarakat di pesisir pantai secara umum mempunyai karakteristik yaitu

sebagian besar mrupakan nelayan tradisional dengan penghasilan pas-pasan, dan

tergolong keluarga miskin yang disebabkan oleh faktor alamiah, yaitu semata-

mata bergantung pada hasil tangkapan dan bersifat musiman, serta faktor non

alamiah berupa keterbatasan teknologi alat penangkap ikan, sehingga berpengaruh

terhadap pendapatan keluarga. Rendahya pendapatan keluarga berdampak

terhadap ketersediaan pangan keluarga, ketersediaan rumah yang layak,

pendidikan yang minimal untuk anak-anaknya. (Kusnadi 2003).

Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang memiliki tempramental dan

karakter watak yang keras dan tidak mudah di atur. Realitas pendidikan di

masyarakat pesisir adalah pendidikan yang mengalami “Dehumanisasi”, dikatakan

demikian karena pendidikan mengalami proses kemundurun dengan terkikisnya

nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Dengan pendidikan seperti itu maka

Universitas Sumatera Utara

anak-anak menjadi putus sekolah dan lebih memilih bekerja sebagai nelayan

untuk mencari nafkah (Audiyahira, 2011).

Lingkungan alam sekitar akan membentuk sifat dan perilaku masyarakat.

Lingkungan fisik dan biologi mempengaruhi interaksi sosial, distribusi peran

sosial, karakteristik nilai, norma sosial, sikap serta persepsi yang melembaga

dalam masyarakat. Perubahan lingkungan dapat merubah konsep keluarga. Nilai-

nilai sosial yang berkembang dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi

lingkungan dapat memacu perubahan sosial (Usman, 2003).

Karateristik sosial ekonomi masyarakat pesisir dapat dilihat dari faktor

mata pencaharian dan lingkungan pemukiman. Mata pencaharian sebagian besar

penduduk di wilayah pesisir adalah di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan

(marine resources base), seperti nelayan, petani ikan (budidaya tambak dan laut),

penambangan pasir, kayu mangrove dan lain-lain. Sebagian besar penduduk

wilayah pesisir memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Lingkungan

pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum tertata dengan

baik dan terkesan kumuh (Fakhrudin, 2008).

Keterbatasan penghasilan atau kemiskinan menjadi karakteristik utama

masyarakat pesisir, mereka tidak jarang membuat sang isteri ikut terlibat mencari

nafkah tambahan guna memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan tidak mentup

kemungkinan sang anak juga ikut terlibat dalam proses mencari nafkah yaitu

dengan cara melaut. Pada umumnya isteri-isteri nelayan menjual hasl tangkapan

suaminya. Dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, peranan isteri sangat cukup

dominan, secara hati-hati isteri mengatur sepenuhnya pengeluaran rumah tangga

Universitas Sumatera Utara

sehari-hari berdasarkan tingkat kebutuhan konsumsi jumlah anggota rumah

tangganya. Selain itu gambaran umum yang pertama kali yang bisa dilihat dari

kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi dalam kehidupan masyarakat

pesisir adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman.

Kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah

hunian mereka. Rumah-rumah yang sangat sederhana, berdinding anyaman

bamboo, berlantai tanah pasir, beratap daun rimba, dan keterbatasan pemilikan

perabotan rumah tangga adalah tempat tinggal para nelayan buruh atau nelayan

tradisional (Kusnadi, 2003).

Selain gambaran fisik tersebut, untuk mengidentifikasi kehidupan nelayan

miskin dapat dilihat dari tingkat pendidikan anak-anak, pola konsumsi sehari-hari

dan tingkat pendapatan mereka. Karena tingkat pendapatan mereka rendah, maka

adalah logis jika tingkat pendidikan anak-anak mereka juga rendah. Banyak anak

yang harus berhenti sebelum lulus sekolah dasar atau kalaupun lulus, mereka tidak

akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah pertama. Disamping itu,

kebutuhan hidup yang paling mendasar bagi rumah tangga nelayan miskin adalah

pemenuhan kebutuhan pangan. Kebutuhan dasar yang lain, seperti kelayakan

perumahan dan sandang dijadikan sebagai kebutuhan sekunder. Kebutuhan akan

pangan merupakan prasyarat utama agar rumah tangga nelayan dapat bertahan

hidup (Kusnadi, 2003).

Universitas Sumatera Utara

II.G. Gambaran Pola asuh Pada Masyarakat Pesisir Pantai

Penduduk komunitas pantai yang disebut dengan masyarakat pesisir

hampir sebagian besar bekerja sebagai nelayan tradisional umumnya mempunyai

ciri yang sama yaitu kurang berpendidikan. Artinya, karena pekerjaan sebagai

nelayan sedikit -banyak merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak

mengandalkan otot dan pengalaman, maka setinggi apa pun tingkat pendidikan

masyarakat pesisir tersebut tidaklah akan mempengaruhi kecakapan mereka

melaut (Sudarso, 2005). Masyarakat pesisir sangat tergantung dengan lam,

sehingga ada waktu-waktu tertentu mereka memperoleh ikan dan ada waktu-

waktu tertentu mereka tidak melaut. Oleh karena itu tidak jarang ditemukan

masyarakat pesisir yang berhutang pada penjual atau warung yang bera di sekitar

tempat tinggalnya. Hal ini adalah salah satu cara mereka untuk memenuhi

kebutuhan hidup (Kusnadi, 2003).

Masyarakat pesisir yang identik dengan nelayan merupakan bagian dari

masyarakat terpinggirkan yang masih terus bergulat dengan berbagai persoalan

kehidupan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, maupun budaya. Kondisi

kehidupan mereka selalu dalam kondisi yang memprihatinkan, terutama secara

ekonomi. Dengan penghasilan yang selalu tergantung pada kondisi alam. Kondisi

alam tersebut yang membuat sulit bagi mereka untuk merubah kehidupannya

menjadi lebih baik. Kondisi yang memprihatinkan tersebut yang menyebabkan

rendahnya kemampuan dan ketrampilan masyarakat pesisir sehingga membuat

mereka hidup dalam kemiskinan (Winengan, 2007). Keterbatasan penghasilan

atau kemiskinan yang dialami oleh masyarakat pesisir tidak jarang membuat isteri

Universitas Sumatera Utara

ikut terlibat mencari nafkah tambahan guna memenuhi kebutuhan keluarga.

Bahkan tidak menutup kemungkinan anak-anak mereka juga ikut terlibat dalam

proses mencari nafkah seperti anak lelaki yang ikut melaut bersama ayah mereka

(Kusnadi, 2003).

Kemiskinan yang melanda rumah tangga masyarakat pesisir telah

mempersulit mereka dalam membentuk kehidupan generasi berikutnya yang lebih

baik dari keadaan mereka saat ini (Fathul, 2002). Karena mereka selalu hidup

dalam kemiskinan, bagi mereka menikah dalam usia yang mungkin belum terlalu

matang ini tidaklah menjadi soal. Masalah yang sesungguhnya biasanya baru

mulai terasa jika keluarga-keluarga nelayan tradisional miskin itu mulai dikaruniai

anak (Sudarso, 2005). Orangtua yang hidup dalam rumah kumuh, yang

kehilangan pekerjaan, yang susah cari makan, dan yang merasa tidak dapat

mengontrol kehidupan cendrung menjadi cemas, tertekan dan lekas marah.

Orangtua akan menjadi kurang mengasihi anak-anaknya, kurang responsif, kasar

yang berlebihan. Mereka juga cendrung mengabaikan perilaku yang baik dan

hanya memperhatikan perilaku yang salah. Dampaknya, sang anak akan tertekan,

kesulitan bermain dengan teman sabayanya, kurang percaya diri, memiliki

masalah perilaku, dan terlibat dalam tindakan antisosial (Brooks-Gunn et al, 1998

dalam Papalia, 2008).

Keluarga yang berada dalam kesulitan ekonomi memiliki kecendrungan

yang lebih rendah dalam mengontrol aktivitas anak-anak mereka, dan kurangnya

memonitor prestasi sekolah dan penyesuaian sosial sang anak (Bolger dkk, 1995

dalam Papalia, 2008). Akan tetapi, gambaran suram tersebut tidak baku, ada juga

Universitas Sumatera Utara

orangtua yang mengalami kemiskinan namun ia merawat anaknya dengan baik,

mengasuh anak secara efektif. Maka anak-anaknya akan mudah beradaptasi

dengan lingkungan baru, anak-anak mereka juga akan lebih mudah untuk

mencapai kesuksesan yang mereka inginkan (Ackerman dkk, 1999 dalam Papalia,

2008).

Secara sosial-psikologis, kehadiran seorang anak bagi sebuah keluarga

memang akan menjadi pelengkap kebahagiaan dan sudah sewajarnya jika

disambut dengan gembira. Tetapi, bagi keluarga miskin kehadiran anak adalah

sebagai beban mereka, karena mereka harus membiayai hidup dan sekolahnya.

Anak-anak mereka harus menerima kenyataan untuk mengenyam tingkat

pendidikan yang rendah. Karena ketidakmampuan ekonomi orang tuanya (Fathul,

2002).

Fenomena keseharian masyarakat pesisir yang terlihat yaitu anak lelaki

maupun wanita secara lebih dini terlibat dalam proses pekerjaan nelayan dari

mulai persiapan orangtua mereka untuk ke laut sampai dengan menjual hasil

tangkapan. Hal ini tentunya berimplikasi kepada kelangsungan pendidikan anak-

anaknya (Pengemanan, 2002). Pada umumnya rumah tangga nelayan tidak

memiliki perencanaan yang matang untuk pendidikan anak-anaknya. Pendidikan

bagi sebagian besar rumah tangga masyarakat pesisir masih menjadi kebutuhan

nomor sekian dalam rumah tangga. Dapat dikatakan bahwa antusias terhadap

pendidikan di masyarakat nelayan relatif masih rendah (Anggraini, 2000).

Di kalangan keluarga nelayan tradisional, mempekerjakan anak-anak

untuk ikut membantu orang tua mencari nafkah dalam usia dini adalah hal yang

Universitas Sumatera Utara

biasa, sehingga jangan kaget jika anak-anak mereka pun rata-rata tidak sempat

menyelesaikan pendidikan hingga jenjang yang setinggi –tingginya (Sudarso,

2005). Anak-anak di tuntut untuk ikut mencari nafkah, menanggung beban

kehidupan rumah tangga, dan mengurangi beban tanggung jawab orang tuannya

(Fathul, 2002). Di lingkungan komunitas masyarakat pesisir pantai, peran istri dan

anak-anak dalam membantu ekonomi keluarga umumnya besar, dan bahkan tidak

jarang menjadi sumber utama pemasukan keluarga (Sudarso, 2005).

Oleh karenanya, bila budaya yang ada mengandung seperangkat keyakinan

yang dapat melindungi perkembangan anak, maka nilai-nilai pengasuhan yang

diperoleh orangtua kemungkinan juga akan berdampak positif terhadap

perkembangan anak. Sebaliknya, bila ternyata seperangkat keyakinan yang ada

dalam budaya masyarakat setempat justru memperbesar munculnya faktor resiko

maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua pun akan menyebabkan

perkembangan yang negatif pada anak (Suhartono, 2007).

Universitas Sumatera Utara

II.H. Paradigma Berfikir

Karakteristik masyarakat pesisir:

- Memiliki banyak persoalan kehidupan

- Status ekonomi yang rendah

- Wawasan pengetahuan yang sempit

- Tingkat pendidikan yang rendah

Faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua:

- Pendidikan - Lingkungan - Budaya

Pola asuh orangtua : - Authoritarian - Authoritative - Permissive

Pola asuh antara ibu dan ayah berbeda

Universitas Sumatera Utara