BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Keuangan Negarathesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00121-AK Bab...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Keuangan Negarathesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00121-AK Bab...
1
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Pemahaman Keuangan Negara
II.1.1 Definisi Keuangan Negara
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara :
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
denga uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Pendekatan dalam perumusan pengertian Keuangan Negara Pendekatan yang
dipakai dalam merumuskan keuangan dilihat dari beberapa beberapa sisi, yaitu :
Objek, yaitu semua hak, kewajiban, negara yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan
kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut.
Subjek, yaitu seluruh objek keuangan diatas yang dimiliki negara dan/atau
dikuasai Pemerintah Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan
keuangan negara.
Proses , yaitu seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan
obyek tersebut diatas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan
sampai dengan pertanggungjawaban
2
Tujuan, seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan
dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek dalam rangka.
II.1.2 Lingkup Keuangan Negara
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara, ruang lingkup Keuangan Negara adalah :
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang dan
melakukan pinjaman
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga
c. Penerimaan Negara
d. Pengeluaran Negara
e. Penerimaan Daerah
f. Pengeluaran Daerah
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat
dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/perusahaan daerah
h. Kekayaan lain yang dikuasai pemerintah dengan rangka penyelenggaraan
tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah
3
II.2 Pemahaman Pajak
II.2.1 Definisi Pajak
Rochmat Soemitro. (Hukum Pajak edisi 4 : 08) menyatakan: “Pajak adalah
iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang – undang (yang dapat di paksakan)
dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontra-prestasi), yang langsung dapat di
tunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengelluaran umum.”
Dari pengertian pajak di atas, dapat di simpulkan bahwa ada lima unsur yang
melekat dalam pengertian pajak, yaitu :
1. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang;
2. Sifatnya dapat dipaksakan;
3. Tidak ada kontra prestasi (imbalan) yang langsung dapat di rasakan oleh
pembayar pajak;
4. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat
maupun daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta); dan
5. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah
(rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.
II.2.2 Fungsi Pajak
Fungsi Budgeter adalah fungsi yang terletak di sektor publik, yaitu fungsi untuk
mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang berlaku
yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara,
yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dan bila ada sisa (surplus) akan
digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk investasi pemerintah.
4
Fungsi Regulerend adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan
digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di
luar bidang keuangan.
Fungsi Demokrasi adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan
atau wujud sistem gotong royong, termasuk kegiatan pemerintah dan pembangunan
demi kemashalatan manusia. Fungsi demokrasi pada masa sekarang ini sering dikaitkan
dengan hak seseorang apabila akan memperoleh pelayanan dari pemerintah.
Fungsi Redistribusi adalah fungsi yang lebih menekankan pada unsur
pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Hal ini dapat di terlihat misalnya dengan
adanya tarif progresif yang mengenakan oajak lebih besar kepada masyarakat yang
mempunyai penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil kepada masyarakat yang
mempunyai penghasilan lebih sedikit (kecil)
5
II.2.3 Kedudukan Hukum Pajak dalam Tata Hukum Nasional
Sistematika dasar selalu digunakan dalam mempelajar ilmu hukum, tanpa
terlepas dari bagaimana tata hukum yang ada di dalam ilmu hukum itu sendiri.
Sistematika umum yang digunakan adalah sebagai berikut :
Gambar II.1
Kedudukan Hukum Pajak Pada Hukum di Indonesia
Melihat sistematika dasar tata hukum di atas, maka letak Hukum Pajak berada
dalam tata hukum nasional kita. Dalam literatur, ternyata Hukum Pajak merupakan
bagian dari Hukum Administrasi Negara, yang merupakan segenap peraturan hukum
Hukum
HukumPerdata Material
Hk. Adm Negara
Hukum Pidana
Hukum Perdata
Hukum Negara
Hukum Pidana Material
Hukum Dagang (W.V.K)
Hukum Pidana Formal
Hukum Perdata (B.W)
Hk. Tata Negara
Hukum Perdata Formal
Hukum Pajak
6
yang mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan serta wewenang dari lembaga-
lembaga negara serta aparaturnya dalam melaksanakan tugas administrasi negara.
II.2.4 Penggolongan Jenis Pajak
Jenis-jenis pajak yang dapat dikenakan dapat digolongkan dalam 3 (tiga)
golongan yaitu menurut sifatnya, sasarannya/objeknya, dan lembaga pemungutnya.
Jenis-jenis pajak menurut sifatnya dapat di bagi dua, yaitu pajak langsung dan
pajak tidak langsung
• Pajak langsung adalah pajak-pajak yang bebannya harus dipikul sendiri
oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta
dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu, misalnya pajak
penghasilan.
• Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dilimahkan kepada
orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-
peristiwa tertentu saja, misalnya Pajak Pertambahan Nilai.
Jenis-jenis pajak menurut sasarannya dapat dibagi dua, yaitu pajak subjektif dan
pajak objektif.
• Pajak Subjektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama
memerhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (subjeknya). Setelah diketahui
barulah diperhatikan keadaan objektifnya sesuai gaya pikul, apakah dapat
dikenakan pajak atau tidak.
• Pajak Objektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama
memerhatikan / melihat objeknya baik berupa keadaan perbuatan atau
peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah
7
diketahui objeknya barulah dicari subjeknya yang mempunyai hubungan
hukum dengan objek yang telah diketahui.
Menurut lembaga pemungutnya, jenis pajak dapat di bagi dua, yaitu jenis pajak
yang dipungut oleh pemerintah pusat dan jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah
daerah, yangsering disebut pajak daerah.
• Pajak Pusat adalah jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang
dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan c. Direktorat
Jenderal Pajak. Hasil pemungutan pajak pusat dikumpulkan dan dimasukan
sebagai bagian dari pemerintah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN)
• Pajak Daerah adalah jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
yang dalam pelaksanaannya sehari-hari dilakukan oleh Dinas Pendapatan
Daerah (Dipenda). Hasil dari pemungutan pajak daerah dikumpulkan dan
dimasukan sebagai bagian dari pnerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).
II.2.5 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan dibagi menjadai 4 (empat) macam, yaitu:
• Official assesment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan
besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang
8
• Semiself assesment system adalah suatu sistem pemungut pajak yang
memberi wewenang pada fiskus dan Wajib Pajak untuk menentukan
besarnya pajak seseorang yang terutang.
• Self assesment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan,
menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak.
• Witholding system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang pada pihak ketiga untuk memotong / memungut besarnya pajak
yang terutang.
II.2.6 Cara Pengenaan Utang Pajak
Terdapat tiga cara pengenaan pajak yang dapat yang dapat di lakukan, yaitu cara
penegenaan di depan (stelsel fisik), cara penegnaan di belakang (stelsel riil), dan cara
campuran (kombinasi antara stelsel fisik dan stelsel riil)
• Pengenaan di depan (stelsel fisik) merupakan suatu cara pengenaan pajak
yang di dasarkan atas suatu anggapan (fiksi) dan anggapan tersebut
bergantung pada ketentuan bunyi undang-undang.
• Pengenaan di belakang (Stelsel riil) merupakan suatu cara pengenaan pajak
yang didasarkan pada keadaan yang sesungguhnya (riil) atau nyata, yang di
peroleh dalam suatu tahun pajak.
• Pengenaan Campuran merupakan suatu cara pengenaan pajak yang
mendasar pada kedua cara pengenaan pajak diatas (fiksi dan riil). Pada awal
tahun pajak, fiskus akan mengenakan pajak berdasarkan anggapan yang
9
ditentukan dalam undang-undang, yang selanjutnya setelah berakhirnya
tahun pajak dilakukan pengenaan pajak berdasarkan keadaan yang
sesungguhnya (riil).
II.2.7 Syarat – Syarat Pembuatan Undang – Undang Pajak
Menurut Erly Suandy (Hukum Pajak : 2008), agar suatu undang-undang pajak
dipandang adil, maka syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan peraturan pajak
adalah sebagai berikut :
• Syarat Keadlilan yaitu dikenakan kepada Orang Pribadi sebanding dengan
kemampuannya untuk membayar (ability to pay) pajak tersebut, dan sesuai
dengan manfaat yang diterimanya. Keadilan di sini meliputi keadilan dalam
prinsip mengenai peraturan perundang-undangan maupun dalam praktik
sehari-hari.
• Syarat Yuridis yaitu pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang
karena bersifat dapat memaksa, serta hak dan kewajiban Wajib Pajak
maupun petugas pajak harus diatur di dalamnya. Pembayaran pajak harus
seimbang dengan kekuatan / kemampuan membayar Wajib Pajak.
• Syarat Ekonomis yaitu pungutan pajak harus menjaga keseimbangan
kehidupan ekonomis dan janganlah mengganggu kehidupan ekonomis dari
Wajib Pajak. Jangan sampai akibat pemungutan pajak terhadapa seseorang,
maka orang itu jadi melarat.
• Syarat Finansial , sesuai dengan fungsi pajak sebagai sumber penerimaan
negara, maka biaya pemungutan pajak tidak boleh terlalu besar. Dalam hal
10
ini diartikan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pemunguta/penetapan
pajak hendaknya lebih kecil dari penerimaan pajak supaya ada penerimaan
yang masuk ke kas negara/daerah.
II.2.8 Jenis Tarif Pajak
Salah satu syarat pemungutan pajak adalah keadilan, baik keadilan dalam prinsip
maupun keadilan dalam pelaksanaannya. Penentuan tarif pajak merupakan salah satu
cara untuk mencapai keadilan. Tarif yang dikenal dan diterapkan selama ini dapat di
bedakan menjadi :
• Tarif Tetap adalah tarif pajak yang jumlah nominalnya tetap walaupun
dasar pengenaan pajaknya berbeda/berubah, sehingga jumlah pajak yang
terutang selalu tetap.
• Tarif Proporsional atau Sebanding adalah tarif pajak yang merupakan
presentase yang tetap, tetapi jumlah pajak yang terutang akan berubah
secara proporsional/sebanding dengan dasar pengenaan pajaknya.
• Tarif Progresif adalah tarif pajak yang presentasenya semakin besar jika
dasar pengenaan pajaknya menigkat. Jumlah pajak yang terutang akan
berubah sesuai dengan perubahan tarif dan perubahan dasar penegenaan
pajaknya.
• Tarif Degresif adalah tarif pajak yang presentasenya semakin kecil jika
dasar pengenaan pajaknya meningkat. Jumlah pajak yang terutang akan
berubah sesuai dengan perubahan tarif dan perubahan dasar pengenaan
pajaknya.
11
II.3 Pajak Penghasilan
II.3.1 Pengertian Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak orang pribadi dan
Wajib Pajak badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh selama
satu tahun pajak.
II.3.2 Reformasi Pada Pajak Penghasilan
Menurut Gunadi (Reformasi Administrasi Pepajakan : 2006) : “Pajak ini
mengikuti fenomena kehidupan social ekonomi masyarakat. Di setiap perubahan
kehidupan sosial perekonomian masyarakat maka sudah sepantasnyalah bahwa pajak
harus mengadakan reformasi”
Perpajakan di Indonesia khususnya Pajak Penghasilan sudah beberapa kali
mengalami perubahan undang-undang sejak dikeluarkannya pertama kali Undang –
undang Nomor 7 Tahun 1983 sampai yang terakhir adalah Undang-undang Nomor 36
Tahun 2008. Berikut adalah proses perubahan yang terjadi pada Undang-undang PPh di
Indonesia :
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
2. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994
3. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000
4. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
12
II.3.3 Subjek Pajak Penghasilan
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat
Atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan diatur
mengenai Subjek pajak Penghasilan, berikut isi dari Pasal 2, yaitu :
(1) Yang menjadi subjek pajak adalah:
a. 1.orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak;
b. badan; dan
c. bentuk usaha tetap.
(1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan subjek pajak badan.
(2) Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar
negeri.
(3) Subjek pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu
tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia;
13
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
a) pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b) pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
c) penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah; dan
d) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara;
dan
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
(4) Subjek pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
14
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gundang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan;
15
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa,
atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan
kegiatan usaha melalui internet.
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat
Atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan diatur
mengenai Subjek pajak Penghasilan, berikut isi dari Pasal 3, yaitu :
(1) Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. kantor perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain
dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang
bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat
bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta
negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
16
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan
2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud
pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak
menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
(2) Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat
Atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan diatur
mengenai Objek pajak Penghasilan, berikut isi dari Pasal 4, yaitu :
II.3.4 Tarif Pajak
Dalam sejarah pajak di Indonesia, Pajak Penghasilan telah mengalami beberapa
kali perubahan, yaitu :
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat
Atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan diatur
mengenai Tarif Pajak Penghasilan, berikut isi dari Pasal 17, yaitu Wajib Pajak badan
dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen).
17
II.4 Wajib Pajak
II.4.1 Pengertian Wajib Pajak
Menurut Undang-undang no 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan pasal 1, Wajib Pajak adalah :
Orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi,
dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau
memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
Bendaharawan Pemerintah adalah Bendaharawan Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah, Lembaga Negara lainnya dan Kedutaan
18
Besar Republik Indonesia di Luar Negeri, yang membayar gaji, upah, tunjangan,
hororarium dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan,
jasa atau kegiatan.
II.4.2 Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Apa yang dimaksud dengan NPWP di jelaskan pada Pasal 2 ayat 1 Undang-
Undang KUP yaitu :
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan seubjektif dan objektif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan
diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok
Wajib Pajak.
Fungsi dari NPWP adalah :
1. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah suatu sarana dalam administrasi
perrpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas
Wajib Pajak, oleh karena itu kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu
Nomor Pokok Wajib Pajak.
2. Nomor Pokok wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban
dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan.
Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak
diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya.
19
II.4.3 Pengukuhan Pengusaha Wajib Pajak
Apa yang dimaksud dengan NPWP di jelaskan pada Pasal 2 ayat 1 Undang-
Undang KUP yaitu :
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya
pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
atau tempat kedudukan Pengasaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
II.5 Pemahaman tentang Fasilitas Pajak 17 ayat 2b
II.5.1 Peraturan Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 17 ayat 2b
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Pajak Penghasilan, peraturan yang berlaku adalah :
Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentukperseroan terbuka yang paling
sedikit 40% (empatpuluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya
dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif
sebagaimana dimaksud padaayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
20
II.6 Pemahaman Penanaman Modal
II.6.1 Pengertian Penanaman Modal
Menurut Undang-Undang 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Bab1 Pasal
1 ayat 1:
Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh
penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di
wilayah negara Republik Indonesia.
II.6.2 Asas dan Tujuan
Menurut Undang-Undang 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 3,
yaitu :
(1) Penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas:
a. kepastian hukum;
b. keterbukaan;
c. akuntabilitas;
d. perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara;
e. kebersamaan;
f. efisiensi berkeadilan;
g. berkelanjutan;
h. berwawasan lingkungan;
i. kemandirian; dan
j. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(2) Tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain untuk:
21
a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
b. menciptakan lapangan kerja;
c. meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;
d. meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;
e. meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;
f. mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;
g. mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan
menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar
negeri; dan
h. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
II.6.3 Bentuk Badan Usaha dan Kedudukan
Menurut Undang-Undang 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 5,
yaitu :
(1) Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha
yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha
perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan
hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik
Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
(3) Penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal
dalam bentuk perseoran terbatas dilakukan dengan:
a. mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas;
22
b. membeli saham; dan
c. melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
II.6.4 Kebijakan Dasar Penanaman Modal
Menurut Undang-Undang 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 4,
yaitu :
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk:
a. mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi
penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional;
dan
b. mempercepat peningkatan penanaman modal.
(2) Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah:
a. memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan
penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional;
b. menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha
bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan
berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
c. membuka kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan
kepada usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
(3) Kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diwujudkan dalam bentuk Rencana Umum Penanaman Modal.