BAB II LANDASAN TEORI -...

23
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003) mendefinisikan keterlibatan kerja (Job Involvement) sebagai internalisasi nilai-nilai tentang kebaikan pekerjaan atau pentingnya pekerjaan bagi keberhargaan seseorang. Keterlibatan kerja sebagai tingkat sampai sejauh mana performansi kerja seseorang mempengaruhi harga dirinya dan tingkat sampai sejauh mana seseorang secara psikologis mengidentifikasikan diri terhadap pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan dalam gambaran diri totalnya. Individu yang memiliki keterlibatan yang tinggi lebih mengidentifikasikan dirinya pada pekerjaannya dan menganggap pekerjaan sebagai hal yang sangat penting dalam kehidupannya. Brown (dalam Muchinsky, 2003) mengatakan bahwa keterlibatan kerja (Job Involvement) merujuk pada tingkat dimana seseorang secara psikologis memihak kepada organisasinya dan pentingnya pekerjaan bagi gambaran dirinya. Ia menegaskan bahwa seseorang yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi dapat terstimulasi oleh pekerjaannya dan tenggelam dalam pekerjaannya. Robbins menambahkan bahwa karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan. Seseorang yang memiliki Job Involvement yang tinggi akan melebur dalam pekerjaan yang sedang ia lakukan. Tingkat keterlibatan kerja yang

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI -...

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Pengertian Job Involvement

Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003) mendefinisikan keterlibatan kerja

(Job Involvement) sebagai internalisasi nilai-nilai tentang kebaikan pekerjaan atau

pentingnya pekerjaan bagi keberhargaan seseorang. Keterlibatan kerja sebagai

tingkat sampai sejauh mana performansi kerja seseorang mempengaruhi harga

dirinya dan tingkat sampai sejauh mana seseorang secara psikologis

mengidentifikasikan diri terhadap pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan dalam

gambaran diri totalnya. Individu yang memiliki keterlibatan yang tinggi lebih

mengidentifikasikan dirinya pada pekerjaannya dan menganggap pekerjaan sebagai

hal yang sangat penting dalam kehidupannya.

Brown (dalam Muchinsky, 2003) mengatakan bahwa keterlibatan kerja (Job

Involvement) merujuk pada tingkat dimana seseorang secara psikologis memihak

kepada organisasinya dan pentingnya pekerjaan bagi gambaran dirinya. Ia

menegaskan bahwa seseorang yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi dapat

terstimulasi oleh pekerjaannya dan tenggelam dalam pekerjaannya.

Robbins menambahkan bahwa karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan

yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang

mereka lakukan. Seseorang yang memiliki Job Involvement yang tinggi akan

melebur dalam pekerjaan yang sedang ia lakukan. Tingkat keterlibatan kerja yang

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

tinggi berhubungan dengan Organizational Citizenship Behavior dan performansi

kerja. Sebagai tambahan, tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dapat menurunkan

jumlah ketidakhadiran karyawan (Robbins, 2009: 306).

Hiriyappa (2009) mendefinisikan keterlibatan kerja (Job Involvement)

sebagai tingkat sampai sejauh mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan

pekerjaannya, secara aktif berpartisipasi di dalamnya, dan menganggap performansi

yang dilakukannya penting untuk keberhargaan dirinya. Tingkat keterlibatan kerja

yang tinggi akan menurunkan tingkat ketidakhadiran dan pengunduran diri karyawan

dalam suatu organisasi. Sedangkan tingkat keterlibatan kerja yang rendah akan

meningkatkan ketidakhadiran dan angka pengunduran diri yang lebih tinggi dalam

suatu organisasi.

Patchen (dalam Srivastava, 2005) menyatakan bahwa seseorang yang

memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement) yang tinggi akan menunjukkan

perasaan solidaritas yang tinggi terhadap perusahaan dan mempunyai motivasi kerja

internal yang tinggi. Individu akan memiliki keterlibatan kerja yang rendah jika ia

memiliki motivasi kerja yang rendah dan merasa menyesal dengan pekerjaannya.

Artinya, individu yang memiliki keterlibatan kerja yang rendah adalah individu yang

memandang pekerjaan sebagai bagian yang tidak penting dalam hidupnya, memiliki

rasa kurang bangga terhadap perusahaan, dan kurang berpartisipasi dan kurang puas

dengan pekerjaannya.

Berdasarkan dari definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa

keterlibatan kerja (Job Involvement) merupakan komitmen seorang karyawan

terhadap pekerjaannya yang ditandai dengan karyawan memiliki kepedulian yang

tinggi terhadap pekerjaan dalam lingkungan kerjanya, serta keterlibatan kerja

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

berhubungan langsung dengan Organizational Citizenship Behavior dalam

menentukan kinerja. Dengan adanya perasaan terikat secara psikologis terhadap

pekerjaan yang ia lakukan, maka karyawan akan merasa bahwa pekerjaanya sangat

penting dalam kehidupan kerja dan mempunyai keyakinan kuat akan kemampuan

dalam menyelesaikan masalah.

2.1.1.1 Karakteristik Job Involvement

Ada beberapa karakteristik dari karyawan yang memiliki keterlibatan kerja

(Job Involvement) yang tinggi dan yang rendah (Cohen, 2003), antara lain:

a. Karakteristik karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi:

1) Menghabiskan waktu untuk bekerja

2) Memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan dan perusahaan

3) Puas dengan pekerjaannya

4) Memiliki komitmen yang tinggi terhadap karier, profesi, dan organisasi

5) Memberikan usaha-usaha yang terbaik untuk perusahaan

6) Tingkat absen dan intensi turnover rendah

7) Memiliki motivasi yang tinggi

b. Karakteristik karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang rendah:

1) Tidak mau berusaha keras untuk kemajuan perusahaan

2) Tidak peduli dengan pekerjaan maupun perusahaan

3) Tidak puas dengan pekerjaan

4) Tidak memiliki komitmen terhadap pekerjaan maupun perusahaan

5) Tingkat absen dan intensi turnover tinggi

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

6) Memiliki motivasi kerja yang rendah

7) Tingkat pengunduran diri yang tinggi

8) Merasa kurang bangga dengan pekerjaan dan perusahaan

2.1.1.2 Dimensi Job Involvement

Menurut Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003), Job Involvement memiliki

dua dimensi, yaitu:

a. Performance self-esteem contingency

Keterlibatan kerja merefleksikan tingkat dimana rasa harga diri seseorang

dipengaruhi oleh performansi kerjanya. Aspek ini mencakup tentang seberapa jauh

hasil kerja seorang karyawan (performance) dapat mempengaruhi harga dirinya (self-

esteem). Harga diri didefinisikan sebagai suatu indikasi dari tingkat dimana individu

mempercayai dirinya mampu, cukup, dan berharga.

b. Pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri total individu

Dimensi ini merujuk pada tingkat sejauh mana seseorang

mengidentifikasikan dirinya secara psikologis pada pekerjaannya atau pentingnya

pekerjaan bagi gambaran diri totalnya. Dubin (dalam Cohen, 2003) mengatakan

bahwa orang yang memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement) adalah orang yang

menganggap pekerjaan sebagai bagian yang paling penting dalam hidupnya. Ini

berarti bahwa dengan bekerja, ia dapat mengekspresikan diri dan menganggap bahwa

pekerjaan merupakan aktivitas yang menjadi pusat kehidupannya. Karyawan yang

memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli

dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan (Robbins, 2009:303).

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

2.1.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Job Involvement

Keterlibatan kerja (Job Involvement) dapat dipengaruhi oleh dua variabel,

yaitu variabel personal dan variabel situasional.

a. Variabel personal

Variabel personal yang dapat mempengaruhi keterlibatan kerja meliputi

variabel demografi dan psikologis. Variabel demografi mencakup usia, pendidikan,

jenis kelamin, status pernikahan, jabatan, dan senioritas.

Moynihan dan Pandey (2007) juga menemukan bahwa usia memiliki

hubungan yang positif dan signifikan dengan keterlibatan kerja, dimana karyawan

yang usianya lebih tua cenderung lebih puas dan terlibat dengan pekerjaan mereka,

sedangkan karyawan yang usianya lebih muda kurang tertarik dan puas dengan

pekerjaan mereka. Hickling (2002) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk

mengukur pengaruh variabel demografi dan status karyawan (part-time atau full-

time) menemukan bahwa variabel demografi dan status karyawan memiliki

hubungan dengan keterlibatan kerja. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa

karyawan full-time dan part-time berbeda dalam karakteristik demografi, dimana

wanita memiliki tingkat absen yang lebih tinggi daripada pria, yang mengindikasikan

bahwa wanita memiliki keterlibatan kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan

pria. Ia juga menemukan bahwa karyawan yang bekerja full-time lebih terlibat dalam

pekerjaannya dibandingkan dengan karyawan yang bekerja part-time. Westhuizen

(2008) dalam penelitiannya menambahkan bahwa variabel-variabel demografi

lainnya seperti gaji memiliki hubungan dengan keterlibatan kerja (Job Involvement).

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

Sedangkan variabel psikologis mencakup intrinsic/extrinsic need strength,

nilai-nilai kerja, locus of control, kepuasan terhadap karakteristik/hasil kerja, usaha

kerja, performansi kerja, absensi, dan intensi turnover.

Bazionelos (2004) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara trait

kepribadian dengan keterlibatan kerja pada manajer menemukan bahwa ada

hubungan antara trait kepribadian dengan keterlibatan kerja ditinjau dari teori 5

Faktor, dimana tipe kepribadian extraversion, openness, agreeableness berhubungan

dengan keterlibatan kerja. Ia menemukan bahwa manajer yang memiliki karakteristik

aggreableness yang rendah menunjukkan keterlibatan kerja yang tinggi. Selain itu, ia

juga menemukan bahwa ada hubungan yang negatif antara extraversion dan

openness dengan keterlibatan kerja.

b. Variabel situasional

Variabel situasional yang dapat mempengaruhi keterlibatan kerja mencakup

pekerjaan, organisasi, dan lingkungan sosial budaya. Variabel pekerjaan mencakup

karakteristik/hasil kerja, variasi, otonomi, identitas tugas, feedback, level pekerjaan

(status formal dalam organisasi), level gaji, kondisi pekerjaan (work condition), job

security, supervisi, dan iklim interpersonal. Mehta (dalam Srivastava, 2005)

mengatakan bahwa faktor-faktor seperti otonomi, hubungan pertemanan, perilaku

pengawas, kepercayaan, dan dukungan menuntun pada keterlibatan kerja yang pada

gilirannya meningkatkan produktivitas.

Irawan (2010) dalam penelitiannya tentang hubungan antara gaya

kepemimpinan demokratis dengan keterlibatan kerja juga menemukan bahwa ada

hubungan positif yang signifikan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

keterlibatan kerja. Artinya, apabila persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan

demokratis positif, maka keterlibatan kerja karyawan tinggi.

Variabel organisasi mencakup iklim organisasi (partisipatif/mekanistik),

ukuran organisasi (besar/kecil), struktur organisasi (tall/flat), dan sistem kontrol

organisasi (jelas/tidak jelas). Karia dan Asaari (2003) mengatakan bahwa praktek

continuous improvement dan pencegahan terhadap masalah secara signifikan

berkorelasi positif dengan keterlibatan kerja, kepuasan kerja, kepuasan karir, dan

komitmen organisasi.

Ada beberapa penelitian lainnya yang dilakukan mengenai keterlibatan kerja

(Job Involvement). Penelitian mengenai kepuasan kerja dan keterlibatan kerja

menunjukkan hubungan positif antara keduanya. Makvana (2008) menemukan

bahwa karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan kerja yang tinggi menunjukkan

tingkat kepuasan kerja yang tinggi. Brown (dalam Mantler & Murphy, 2005) juga

menambahkan bahwa orang-orang dengan keterlibatan kerja yang tinggi cenderung

puas dengan pekerjaannya dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap karier,

profesi, dan organisasi mereka.

2.1.2 Pengertian Work Centrality

Menurut Paullay, Alliger, & Stone-Romero (1994) dalam Blakely,

Srivastava, Moorman (2005, p103) Work Centrality atau sentralitas kerja adalah

tingkat pentingnya pekerjaan dalam kehidupan seseorang. Menurut Diefendorff,

Brown, Kamin, and Lord (2002, p96) ditemukan dukungan untuk hubungan langsung

antara sentralitas kerja dan OCB. Dalam studi mereka tentang hubungan antara Job

Involvement dan OCB, termasuk sentralitas kerja sebagai variabel kontrol.

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

Menurut Konungo (1982) dalam K Praveen dan Cullen (2003, p137) Work

Centrality mengacu pada pentingnya pekerjaan umum dalam kehidupan seorang

individu dibandingkan dengan kegiatan lain seperti rekreasi, menghabiskan waktu

bersama teman, atau keluarga. Work Centrality yang tinggi berarti bahwa karyawan

dapat mengidentifikasi peran pekerjaan seseorang, dan melihat pekerjaan sebagai

aspek penting kehidupan (Diefendorff, Brown, Kamin, & Lord, 2002, p96). Dengan

demikian, individu dengan Work Centrality yang tinggi melampirkan lebih penting

untuk peran kerja dalam hidup daripada individu yang mendapat skor rendah pada

sentralitas kerja. Selanjutnya, secara umum mengakui bahwa Work Centrality adalah

sikap relatif stabil terhadap pekerjaan yang tidak sangat sensitif terhadap kondisi

lingkungan kerja tertentu.

Work Centrality terutama diturunkan dari nilai-nilai dasar. Menurut Kanungo

(1982) dalam Basak Ucanok (2009), Work Centrality adalah keyakinan normatif

tentang nilai dan pentingnya pekerjaan dalam konfigurasi kehidupan seseorang, dan

itu merupakan fungsi dari keadaan masa lalu, budaya seseorang atau sosialisasi.

Beberapa peneliti (misalnya Kanungo, 1982) dalam Basak Ucanok (2009)

menggunakan istilah Job Involvement (keterlibatan kerja) istilah atau 'keterlibatan

dengan pekerjaan' untuk menentukan Work Centrality. Work Centrality adalah

tingkat pentingnya pekerjaan pada umumnya daripada keterlibatan dalam pekerjaan

ini. Oleh karena itu, Work Centrality berbeda dari konsep-konsep lain seperti,

komitmen organisasi dan keterlibatan kerja. Sebuah studi empiris oleh Paullay et al

(1994) dalam Basak Ucanok (2009) telah menjelaskan perbedaan antara Work

Centrality dan Job Involvement dan telah menunjukkan bahwa kedua konsep ini

sebenarnya tampak dua konstruksi yang berbeda. Dalam studi oleh Paullay et al, Job

Involvement didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang kognitif sibuk dengan,

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

terlibat dalam, dan peduli dengan pekerjaan seseorang, dan Work Centrality

didefinisikan sebagai kepercayaan bahwa orang miliki tentang tingkat kepentingan

kerja memainkan dalam hidup mereka. Meskipun korelasi, moderat positif

ditunjukkan antara instrumen pengukuran Work Centrality dan Job Involvement,

analisis faktor konfirmatori memberikan dukungan untuk hipotesis bahwa Job

Involvement dan Work Centrality adalah dua konstruksi yang berbeda.

Berdasarkan dari definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa

Work Centrality atau sentralitas kerja merupakan sikap dari para karyawan bahwa

pekerjaan yang dia libatkan seberapa besar dan pentingnya dalam kepercayaan

seseorang terhadap pentingnya pekerjaan tersebut.

2.1.2.1 Dimensi Work Centrality

Dalam studi MOW menurut Ucanok (2011) terdapat 2 Dimensi Work Centrality :

• Orientasi nilai (identifikasi dengan pekerjaan, komitmen untuk bekerja)

• Orientasi keputusan (Kepentingan hidup, perilaku pengaturan, dan hubungan

interpersonal.

2.1.3 Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan kontribusi individu

yang dalam melebihi tuntutan peran di tempat kerja dan di-reward oleh perolehan

kinerja tugas. OCB ini melibatkan beberapa perilaku meliputi perilaku menolong

orang lain, menjadi volunter untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan

dan prosedur-prosedur di tempat kerja. Perilaku-perilaku ini menggambarkan “nilai

tambah karyawan.”

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

Organizational Citizenship Behavior (OCB) atau kewarganegaraan

organisasional sangat terkenal dalam perilaku organisasi saat pertama kali

diperkenalkan sekitar 20 tahun yang lalu dengan dasar teori disposisi/ kepribadian

dan sikap kerja. Dasar kepribadian untuk OCB merefleksikan ciri/trait predisposes

karyawan yang kooperatif, suka menolong, perhatian, dan sungguh-sungguh.

Sedangkan dasar sikap mengindikasikan bahwa karyawan terlibat dalam OCB untuk

membalas tindakan organisasi (Luthans, 2006:251).

Sehingga berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa OCB

merupakan perilaku organisasi yang dapat membuat karyawan benar-benar merasa

terlibat seperti bagian di dalam organisasi tersebut dan berperilaku untuk bekerja

lebih dari tuntutan pekerjaan yang diberikan perusahaan.

2.1.3.1 Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Dimensi OCB menurut Organ (Purba dan Seniati, 2004:106) adalah sebagai berikut :

a. Altruism

Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerjanya yang mengalami

kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai tugas dalam organisasi

maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah kepada memberi

pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya.

b. Conscientiousness

Perilaku yang ditunjukkan dengan berusaha melebihi yang diharapkan

perusahaan. Perilaku sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas

karyawan. Dimensi ini menjangkau jauh diatas dan jauh ke depan dari panggilan

tugas.

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

c. Sportmanship

Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal

dalam organiasi tanpa mengajukan keberatan-keberatan. Seseorang yang mempunyai

tingkatan yang tinggi dalam sportsmanship akan meningkatkan iklim yang positif

diantara karyawan, karyawan akan lebih sopan dan bekerja sama dengan yang lain

sehingga akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih menyenangkan.

d. Courtessy

Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalah-

masalah interpersonal. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang

menghargai dan memperhatikan orang lain.

e. Civic Virtue

Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi

(mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk

merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur-prosedur organisasi dapat

diperbaiki, dan melindungi sumber-sumber yang dimiliki oleh organisasi). Dimensi

ini mengarah pada tanggung jawab yang diberikan organisasi kepada seseorang

untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni.

2.1.3.2 Motif yang Mendasari OCB

Seperti halnya sebagian besar perilaku yang lain, OCB ditentukan oleh

banyak hal, artinya tidak banyak penyebab tunggal dalam OCB. Sesuatu yang masuk

akal bila kita menerapkan OCB secara rasional. Salah satu pendektan motif dalam

perilaku organisasi berasal dari kajian McClelland dan rekan-rekannya, Menurut

McClelland, manusia memiliki tiga tingkatan motif (Hardaningtyas, 2005:14) :

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

• Motif berprestasi, mendorong orang untuk menunjukkan suatu standard

keistimewaan (excellence), mencari prestasi dari tugas, kesempatan atau

kompetisi.

• Motif afiliasi, mendorong orang untuk mewujudkan, memelihara, dan

memperbaiki hubungan dengan orang lain.

• Motif kekuasaan, mendorong orang untuk mencari situasi di mana mereka

dapat mengontrol pekerjaan atau tindakan orang lain.

Kerangka motif berprestasi, afiliasi, dan kekuasaan telah diterapkan untuk

memahami OCB guna memahami orang menunjukkan OCB. Gambar 2.1

menunjukkan model OCB yang didasari oleh suatu motif.

Gambar 2.1 Motif OCB

OCB

Motif Afiliasi Dengan OCB berarti:

• Pembentukan dan pemeliharaan relasi

• Penerimaan dan persetujuan

Motif Berprestasi Dengan OCB berarti :

• Kesempurnaan tugas • Kesuksesan organisasi

Motif Kekuasaan Dengan OCB berarti :

• Mendapat kekuasaan dan status • Menunjukkan kesan positif

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

2.1.3.3 Manfaat OCB dalam Perusahaan

Dari hasil-hasil penelitian mengenai OCB, dapat disimpulkan hasil manfaat

OCB, Sebagai berikut (Hardaningtyas, 2005):

1. OCB meningkatkan produktivitas rekan kerja

• Karyawan yang menolong rekan kerja akan mempercepat penyelesaian

tugas rekan kerjanya, dan pada gilirannya meningkatkan produktivitas

rekan tersebut.

• Seiring berjalannya waktu, perilaku membantu yang ditunjukkan

karyawan akan membantu menyebarkan best practice ke seluruh unit

kerja atau kelompok.

2. OCB meningkatkan produktivitas manajer

• Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan membantu

manajer mendapatkan saran dan umpan balik yang berharga dari

karyawan tersebut untuk meningkatkan efektivitas unit kerja.

• Karyawan yang sopan dan menghindari konflik dengan rekan kerja akan

menolong manajer terhindar dari krisis manajemen.

3. OCB menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi

secara keseluruhan

• Jika karyawan saling tolong-menolong dalam menyelesaikan masalah

dalam suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer.

Konsekuensinya manajer dapat memakai waktunya untuk melakukan

tugas lain, seperti membuat perencanaan bagi organisasi.

• Karyawan yang menampilkan conscentioussness yang tinggi hanya

membutuhkan pengawasan minimal dari manajer dapat mendelegasikan

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

tanggung jawab yang lebih besar kepada mereka, ini berarti lebih banyak

waktu yang diperoleh manajer untuk melakukan tugas yang lebih penting.

• Karyawan lama membantu karyawan baru dalam pelatihan dan

melakukan orientasi kerja akan membantu organisasi mengurangi biaya

untuk keperluan tersebut.

• Karyawan yang menampilkan perilaku sportsmanship akan sangat

menolong manajer tidak menghabiskan waktu terlalu banyak untuk

berurusan dengan keluhan-keluhan kecil karyawan.

4. OCB membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk

memelihara fungsi kelompok

• Keuntungan dari perilaku menolong adalah meningkatkan semangat,

moril (morale) dan keretakan (cohesiveness) kelompok, sehingga anggota

kelompok (atau manajer) tidak perlu menghabiskan energi untuk

pemeliharaan fungsi kelompok.

• Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy terhadap rekan kerja akan

mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang dihabiskan

untuk menyelesaikan konflik manajemen terbuang.

5. OCB dapat menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasikan kegiatan-

kegiatan kelompok kerja.

• Menampilkan perilaku civic virtue (seperti menghadiri dan berpartisipasi

aktif dalam peremuan di unit kerjanya) akan membantu koordinasi di

antara anggota keompok, yang akhirnya secara potensial meningkatkan

efektivitas dan efisiensi kelompok.

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

• Menampilkan perilaku courtesy (misalnya saling memberi informasi

tentang pekerjaan dengan anggota tim lain) akan menghindari munculnya

masalah yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk diselesaikan.

6. OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan

mempertahankan karyawan terbaik.

• Perilaku menolong dapat meningkatkan moril dan keretakan serta

perasaan saling memiliki di antara anggota kelompok, sehingga akan

meningkatkan kinerja organisasi dan membantu organisasi menarik dan

mempertahankan karyawan yang baik.

• Memberi contoh pada karyawan lain dengan menampilkan perilaku

sportsmanship (misalnya tidak mengeluh karena permasalahan-

permasalahan kecil) akan menumbuhkan loyalitas dan komitmen pada

organisasi.

7. OCB meningkatkan stabilitas kinerja organisasi

• Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja atau yang

mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan stabilitas (dengan cara

mengurangi variabilitas) dari kinerja unit kerja.

• Karyawan yang conscientiuous cenderung mempertahankan tingkat

kinerja yang tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi variabilitas

pada kinerja unit kerja.

8. OCB meningkatkan kemampuan organiasi untuk beradaptasi dengan

perubahan lingkungan

• Karyawan yang mempunyai hubungan uang dekat dengan pasar dengan

sukarela memberi informasi tentang bagaimana merespon perubahan

tersebut, sehingga organisasi dapat beradaptasi dengan cepat.

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

• Karyawan yang secara aktif hadir dan berpartisipasi pada pertemuan-

pertemuan di organisasi akan membantu menyebabkan informasi yang

penting dan harus diketahui oleh organisasi.

• Karyawan yang menampilkan perilaku conscientiousness (misalnya

kesediaan untuk memikul tanggung jawab baru dan mempelejari keahlian

baru) akan meningkatkan organisasi beradaptasi dengan perubahan yang

terjadi di lingkungannya.

2.1.4 Pengertian Kinerja

Kinerja (performance) pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak

dilakukan oleh karyawan (Mathis, 2006, p378). Sedangkan menurut Mangkunegara

(2002, p67), kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance yang

artinya hasil kerja secara kualitas yang dicapai seorang pegawai dalam melaksanakan

tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Menurut Mathis (2006, p113-114), kinerja para karyawan individual adalah

faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu organisasi. Selain karyawan dapat

menjadi keunggulan bersaing, mereka juga dapat menjadi liabilitas atau penghambat.

Ketika karyawan terus menerus meninggalkan perusahaan dan ketika karyawan

bekerja namun tidak efektif, maka sumber daya menempatkan organisasi dalam

keadaan merugi. Kinerja individu, motivasi, retensi karyawan merupakan faktor

utama bagi organisasi untuk memaksimalkan efektivitas sumber daya manusia.

Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan individual –

kemampuannya, usaha yang dicurahkan, dan dukungan organisasi yang diterimanya.

Sebagian unit SDM dalam organisasi ada untuk menganalisis dan memnyampaikan

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

bidang ini. Peran yang sebenarnya dari unit SDM dalam organisasi “seharusnya”

tergantung pada apa yang diharapkan oleh manajemen atas. Sehubungan dengan

fungsi manajemen mana pun, aktivitas manajemen SDM harus dikembangkan,

dievaluasi, dan diubah bila perlu sehingga mereka dapat meberikan kontribusi pada

kinerja kompetitif organisasi dan individu di tempat kinerja.

Dengan demikian, dari beberapa pengertian diatas menyimpulkan bahwa

kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu

dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti

yang diharapkan. Dan pengertian lain dari Performance atau kinerja adalah hasil

kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu

perusahaan sesuai wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya

pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak

bertentangan dengan moral atau etika.

2.1.4.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Menurut Mathis (2006, p113-114), tiga faktor utama yang memengaruhi

bagaimana individu bekerja adalah sebagai berikut :

1. Kemampuan individual untuk melakukan pekerjaan tersebut, yaitu

• Bakat

• Minat

• Faktor kepribadian

2. Tingkat usaha yang dicurahkan, yaitu

• Motivasi

• Etika kerja

• Kehadiran

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

• Rancangan tugas

3. Dukungan organisasional

• Pelatihan dan pengembangan

• Peralatan dan teknologi

• Standar kinerja

• Manajemen dan rekan kerja

2.1.4.2 Unsur-unsur Evaluasi Kinerja

Menurut Mathis (2006, p378), kinerja karyawan yang umum untuk

kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut:

• Kuantitas dari hasil

Pencapaian sasaran atau target dalam kuantitas dapat diukur secara absolut,

dalam persentase atau indeks.

• Kualitas dari hasil

Kualitas bersifat relatif, sehingga tidak mudah diukur, dan sangat tergantung

pada selera individu. Kualitas dapat dirahasiakan, dilihat, atau diraba.

• Waktu dan kecepatan dari hasil

Setiap pelaksanaan tugas selalu membutuhkan waktu sebagai masukkan.

Waktu merupakan sumber daya yang mahal, karena dia terbatas, tidak dapat

disimpan atau ditunda. Oleh karena itu setiap waktu harus digunakan secepat

mungkin dan secara optimal. Penundaan penggunaan waktu dapat

menimbulkan berbagai konsekuensi biaya besar dan kerugian.

• Kehadiran atau absensi

• Kemampuan bekerja sama

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

• Rasa dapat dipercaya

Hal tersebut hampir sama dengan yang diungkapkan Agus Dharma dalam

bukunya Manajemen Supervisi (2003, p355) yang mengatakan bahwa hampir semua

cara pengukuran kinerja mempertimbangkan hal-hal sebagai tersebut :

1) Kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran

kuantitatif melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan

kegiatan. Ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan.

2) Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif

keluaran mencerminkan pengukuran tingkat kepuasan”, yaitu seberapa baik

penyelesaiannya. Ini berkaitan dengan bentuk keluaran.

3) Ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang direncanakan.

Pengukuran ketepatan waktu merupakan jenis khusus dari pengukuran kuantitatif

yang menentukan ketepatan waktu penyelesaian suatu kegiatan.

2.1.4.3 Manfaat Evaluasi Kinerja

Werther dan Davis dalam (Sirait, 2006, p129) menyebutkan manfaat atau

kegunaan penilaian kinerja, sebagai berikut :

1) Memperbaiki prestasi kerja.

Prestasi yang sudah baik harus ditingkatkan lagi dan prestasi yang buruk

harus segera diperbaiki. Umpan balik pelaksanaan kerja memungkinkan

karyawan dapat memperbaiki prestasi kerja mereka.

2) Dapat melakukan penyesuaian kompensasi.

Kompensasi tidak boleh statis, tetapi harus bersifat dinamis, yaitu dinamis

dalam pengertian menurut harga pasar dan kontingensi (dihubungkan

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

dengan prestasi karyawan masing-masing). Pembayaran akan memotivasi

karyawan, jika pembayaran tersebut sesuai dengan prestasi kerjanya.

3) Bahan pertimbangan penempatan.

Promosi, transfer dan demosi biasanya didasarkan pada prestasi kerja

masa lalu dan antisipasinya. Promosi sering merupakan bentuk

penghargaan terhadap prestasi kerja masa lalu.

4) Menetapkan kebutuhan latihan dan pengembangan.

Melalui penilaian prestasi kerja, perusahaan dapat menetapkan materi

latihan dan pengembangan.

5) Membantu perencanaan dan pengembangan karir karyawan.

Umpan balik prestasi mengarahkan keputusan-keputusan karir, yaitu

tentang jalur karir tertentu.

6) Dapat mengetahui kekurangan dalam proses penempatan staf.

Prestasi kerja yang baik atau buruk mencerminkan kekuatan atau

kelemahan prosedur staffing.

7) Dijadikan patokan dalam menganalisis informasi analisis jabatan.

Uraian jabatan belum tentu baik, jadi dengan penilaian prestasi kerja,

perusahaan dapat menganalisis uraian jabatan yang telah disusun.

8) Mendiagnosis kesalahan-kesalahan rancangan jabatan.

Prestasi kerja yang buruk mungkin merupakan pertanda kesalahan dalam

desain pekerjaan.

9) Mencegah adanya diskriminasi.

Penilaian prestasi kerja secara akurat akan menjamin keputusan-

keputusan penempatan internal dapat diambil tanpa diskriminasi.

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

2.1.5 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Berikut ini adalah hasil penelitian terdahulu yang dianggap relevan, dengan

penelitian yang akan dilakukan penulis :

1. Penelitian oleh Diefendorff, Michael M., Brown, Douglas J., Kamin, Allen

M., & Lord, Robert G. (2002). tentang “Examining the roles of job

involvement and work centrality in predicting organizational citizenship

behaviors and job performance”. Studi yang mereka lakukan menunjukkan

bahwa, Job Involvement berpotensi penting menentukan kinerja

karyawan/individu. Dan Job involvement merupakan indikator berguna bagi

OCB. bukti lebih lanjut dari kebutuhan untuk membedakan antara Job

Involvement dan Work Centrality. Juga diketahui bahwa Job Involvement

memiliki pengaruh yang signifikan dan korelasi positif terhadap OCB.

Sementara Job Involvement dengan Work Centrality berhubungan dengan

kinerja karyawan. Selanjutnya antara Job Involvement memiliki hasil

pengaruh. Peran dalam grup. Job Involvement memiliki pengaruh negatif

yang signifikan pada pria dan pada grup wanita memiliki pengaruh positif

yang signifikan.

2. Penelitian oleh Aamir, Chughtai (2008) yang berjudul “ Impact of job

involvement on in-role Job Performance and Organizational Behaviours”.

Hasil dari penelitian tersebut adalah mempelajari pengaruh Job Involvement

terhadap kinerja peran. Umumnya studi berusaha untuk mengungkap

hubungan positif antara Job Involvement dan kinerja telah bertemu dengan

keberhasilan yang terbatas. Studi ini menambah literatur empiris

menunjukkan bahwa dengan Job Involvement juga mengarah ke sikap yang

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

lebih positif dan perilaku seperti Organizational Citizenship Behavior

meningkat. sehingga mendorong tingginya tingkat Job Involvement karyawan

dapat menjadi strategi yang efektif untuk meningkatkan baik bentuk kinerja

dan untuk mengembangkan sikap yang lebih positif dan perilaku OCB

kesejahteraan. Oleh karena itu investasi dalam kondisi, yang membantu untuk

membuat karyawan lebih terlibat dalam pekerjaan mereka, kemungkinan

akan menjadi penting untuk pertumbuhan dan profitabilitas organisasi.

2.2 Kerangka Pemikiran

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

Job Involvement (X1)

1. Performance self-esteem

contingency

2. Kepentingan pekerjaan

Work Centrality (X2)

1. Orientasi nilai

2. Orientasi keputusan

Organizational Citizenship

Behavior (Y)

1. Altruism

2. Courtesy

3. Sportsmanship

4. Civic Virtue

5. Conscientiousness

Kinerja Karyawan (Z)

1. Kemampuan

individual

2. Tingkat usaha yang

dicurahkan

3. Dukungan organisasi

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00112-MN Bab2001.pdf2.1.1 Pengertian Job Involvement Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)

Keterangan :

Menggambarkan pengaruh secara simultan

Menggambarkan pengaruh secara parsial

2.3 Hipotesis

a. Untuk T-1

Ho = Job Involvement (X1) dan Work Centrality (X2) tidak memiliki

kontribusi yang signifikan secara parsial maupun simultan terhadap

Organizational Citizenship Behavior (Y) pada PT. Ms. Aishah

Mandiri.

Ha = Job Involvement (X1) dan Work Centrality (X2) memiliki kontribusi

yang signifikan secara parsial maupun simultan terhadap

Organizational Citizenship Behavior (Y) pada PT. Ms. Aishah

Mandiri.

b. Untuk T-2

Ho = Job Involvement (X1), Work Centrality (X2) dan Organizational

Citizenship Behavior (Y) tidak memiliki kontribusi yang signifikan

secara parsial maupun simultan terhadap Kinerja Karyawan (Z) pada

PT. Ms. Aishah Mandiri.

Ha = Job Involvement (X1), Work Centrality (X2) dan Organizational

Citizenship Behavior (Y) memiliki kontribusi yang signifikan secara

parsial maupun simultan terhadap Kinerja Karyawan (Z) pada PT. Ms.

Aishah Mandiri.