BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

31
11 BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work Engagement Konsep engagement pertama sekali dikemukakan oleh Kahn (1990), yang berpendapat bahwa karyawan yang engaged adalah orang yang secara fisik, kognitif dan emosional terhubung dengan pekerjaan mereka dan orang lain. Ketiga aspek tersebut memiliki pengertian yang berbeda-beda. Aspek fisik yaitu energi fisik yang dikerahkan oleh karyawan dalam melaksanakan perannya dalam pekerjaan. Aspek kognitif mengacu pada keyakinan karyawan terhadap organisasi, kepemimpinan dan kondisi pekerjaan. Sedangkan aspek emosional lebih mengacu kepada bagaimana perasaan karyawan apakah merasakan hal positif atau negatif terhadap organisasi dan kepemimpinan yang ada. Kahn (1992) kemudian mengembangkan konsep ini dengan menekankan pada pentingnya ―kehadiran psikologis‖. Pada intinya, ia berpendapat bahwa karyawan yang engaged memiliki kehadiran psikologis yang mencakup atribut seperti perhatian, keterhubungan, integrasi dan fokus. Maslach, Schaufeli dan Leiter (2001) mengkonseptualisasikan work engagement sebagai lawan dari burnout dan mendefinisikan work engagement sebagai keadaan emosional yang persisten, dikarakteristikkan dengan adanya level yang tinggi dalam aktivasi dan kesenangan. Selanjutnya, work engagement dan burnout membentuk kutub-kutub yang berlawanan dalam suatu kontinum kerja yang berkaitan dengan kesejahteraan, dimana burnout sebagai kutub negatif dan

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

11

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Work Engagement

1. Definisi Work Engagement

Konsep engagement pertama sekali dikemukakan oleh Kahn (1990), yang

berpendapat bahwa karyawan yang engaged adalah orang yang secara fisik, kognitif

dan emosional terhubung dengan pekerjaan mereka dan orang lain. Ketiga aspek

tersebut memiliki pengertian yang berbeda-beda. Aspek fisik yaitu energi fisik yang

dikerahkan oleh karyawan dalam melaksanakan perannya dalam pekerjaan. Aspek

kognitif mengacu pada keyakinan karyawan terhadap organisasi, kepemimpinan dan

kondisi pekerjaan. Sedangkan aspek emosional lebih mengacu kepada bagaimana

perasaan karyawan apakah merasakan hal positif atau negatif terhadap organisasi

dan kepemimpinan yang ada. Kahn (1992) kemudian mengembangkan konsep ini

dengan menekankan pada pentingnya ―kehadiran psikologis‖. Pada intinya, ia

berpendapat bahwa karyawan yang engaged memiliki kehadiran psikologis yang

mencakup atribut seperti perhatian, keterhubungan, integrasi dan fokus.

Maslach, Schaufeli dan Leiter (2001) mengkonseptualisasikan work

engagement sebagai lawan dari burnout dan mendefinisikan work engagement

sebagai keadaan emosional yang persisten, dikarakteristikkan dengan adanya level

yang tinggi dalam aktivasi dan kesenangan. Selanjutnya, work engagement dan

burnout membentuk kutub-kutub yang berlawanan dalam suatu kontinum kerja

yang berkaitan dengan kesejahteraan, dimana burnout sebagai kutub negatif dan

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

12

work engagement sebagai kutub positif (Maslach et.al., 2001; Schaufeli & Bakker,

2004).

Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma dan Bakker (2002) mendefinisikan

work engagement sebagai keadaan positif, pemenuhan, pandangan terhadap kondisi

kerja dikarakteristikkan dengan adanya vigor, dedication dan absorption. Vigor

dikarakteristikkan dengan tingkat energi yang tinggi, resiliensi, keinginan untuk

berusaha, dan tidak menyerah dalam menghadapi tantangan. Dedication ditandai

dengan merasa bernilai, antusias, inspirasi, berharga dan menantang, dan yang

terakhir absorption ditandai dengan konsentrasi penuh terhadap suatu tugas.

Wellins dan Concelman (2005) menyatakan bahwa work engagement adalah

kekuatan yang dapat memotivasi karyawan untuk dapat meningkatkan kinerja pada

level yang lebih tinggi, energi ini berupa komitmen terhadap organisasi, rasa

memiliki pekerjaan dan kebanggaan, usaha yang lebih (waktu dan energi), semangat

dan ketertarikan, komitmen dalam melaksanakan pekerjaan.

Vazirani (2007) menyatakan bahwa engagement sebagai tingkat komitmen

dan keterlibatan yang karyawan miliki terhadap organisasinya dan nilai-nilai yang

ada di dalamnya yang terlihat dalam sikap positif karyawan terhadap organisasi dan

nilai-nilai yang ada di dalamnya.

Bakker, Schaufeli, Leiter dan Taris (2008) menyatakan bahwa work

engagement adalah motivasi positif, pemenuhan dan afektif karyawan dalam

bekerja terkait dengan kesejahteraan yang merupakan kutub yang berlawanan dari

burnout. Karyawan yang engaged dikarakteristikkan dengan tingginya level energi

dan secara antusias terlibat dalam pekerjaan mereka.

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

13

Macey dan Schneider (2008) mengelompokkan istilah employee engagement

dalam beberapa tipe engagement yaitu trait engagement (proactive personality),

state engagement (involvement), behavioral engagement (organizational citizenship

behavior).

Bakker & Leiter (2010) mendefinisikan work engagement sebagai konsep

motivasi, dimana karyawan yang engaged merasa terdorong untuk berjuang

menghadapi tantangan kerja. Karyawan berkomitmen untuk mencapai tujuan, secara

antusias mengerahkan seluruh energinya untuk pekerjaan mereka.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa work engagement

menggambarkan keadaan psikologis yang positif dan pemenuhan diri untuk

berkontribusi bagi keberhasilan organisasi yang dikarakteristikkan dengan adanya

vigor (kekuatan), dedication (dedikasi), dan absorption (absorpsi).

2. Karakteristik Work Engagement

Karyawan yang memiliki work engagement terhadap organisasi/perusahaan

memiliki karakteristik tertentu. Berbagai pendapat mengenai karakteristik karyawan

yang memiliki work engagement yang tinggi banyak dikemukakan dalam berbagai

literatur, diantaranya Federman (2009) mengemukakan bahwa karyawan yang

memiliki work engagement yang tinggi dicirikan sebagai berikut:

1. Fokus dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan juga pada pekerjaan yang

berikutnya.

2. Merasakan diri adalah bagian dari sebuah tim dan sesuatu yang lebih besar

daripada diri mereka sendiri.

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

14

3. Merasa mampu dan tidak merasakan sebuah tekanan dalam membuat sebuah

lompatan dalam pekerjaan.

4. Bekerja dengan perubahan dan mendekati tantangan dengan tingkah laku

yang dewasa.

Karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi akan secara

konsisten mendemonstrasikan tiga perilaku umum (Hewitt, 2008; Schaufeli &

Bakker, 2010), yaitu:

1. Say – secara konsisten bebicara positif mengenai organisasi dimana ia bekerja

kepada rekan sekerja, calon karyawan yang potensial dan juga kepada pelanggan.

2. Stay – Memiliki keinginan untuk menjadi anggota organisasi dimana ia bekerja

dibandingkan kesempatan bekerja di organisasi lain.

3. Strive – Memberikan waktu yang lebih, tenaga dan inisiatif untuk dapat

berkontribusi pada kesuksesan bisnis organisasi

Menurut Gallup the Consulting Organization (Vazirani, 2007), ada beberapa

tipe engagement karyawan yang berbeda, yaitu:

- Engaged—karyawan "engaged" adalah pembangun (builders). Mereka ingin tahu

harapan yang diinginkan dalam peran mereka sehingga bisa sesuai dan bahkan

melebihi harapan tersebut. Mereka secara alami ingin tahu tentang perusahaan

mereka dan tempat mereka di dalamnya. Mereka bekerja secara konsisten pada

level tinggi. Mereka ingin menggunakan talenta dan kekuatan mereka dalam

bekerja setiap hari. Mereka bekerja dengan sungguh-sungguh dan mereka

mendorong inovasi serta menggerakkan organisasi mereka ke depan.

- Not Engaged--- karyawan yang tidak engaged cenderung berkonsentrasi pada

tugas dibandingkan konsentrasi pada sasaran dan hasil yang diharapkan

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

15

perusahaan untuk mereka capai. Mereka hanya melakukan apa yang disuruh dan

melaporkan jika sudah selesai. Mereka fokus untuk mencapai tugas dibanding

mencapai suatu hasil. Karyawan yang tidak engaged cenderung merasa

kontribusi mereka diabaikan dan potensi mereka tidak dipedulikan. Mereka

kadangkala merasakan hal ini karena mereka tidak memiliki hubungan yang

produktif dengan manajer mereka atau dengan mitra kerja mereka.

- Actively Disengaged—Karyawan yang tergolong "actively disengaged" dapat

dikatakan sebagai "para penghuni gua." Mereka secara konsisten melawan segala

sesuatu secara nyata. Mereka tidak hanya tidak bahagia dalam bekerja; mereka

juga sibuk menunjukkan ketidakbahagiaan mereka. Mereka menanam benih

negativitas di setiap ada kesempatan. Setiap hari, para pekerja yang secara aktif

tidak engaged, mengacaukan pencapaian rekan kerja mereka yang engaged.

Karena para pekerja semakin bergantung satu sama lain untuk menghasilkan

produk dan jasa, permasalahan dan tegangan yang dimunculkan oleh para pekerja

yang actively disengaged bisa menyebabkan kerusakan besar bagi fungsi

organisasi.

Schaufeli, Taris & Rhenen (2008) menyatakan bahwa karyawan yang

engaged juga mempunyai level energi yang tinggi dan secara antusias terlibat dalam

pekerjaannya. Menurut Bakker dan Leiter (2010), ketika karyawan engaged, mereka

merasa terdorong untuk berusaha maju menuju tujuan yang menantang, mereka

menginginkan kesuksesan. Lebih lanjut, work engagement merefleksikan energi

karyawan yang dibawa dalam pekerjaan.

Berdasarkan uraian di atas, ciri-ciri karyawan yang engaged tidak hanya

mempunyai kapasitas untuk menjadi energik, tetapi mereka secara antusias

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

16

mengaplikasikan energi yang dimiliki pada pekerjaan mereka. Work engagement

juga merefleksikan keterlibatan yang intensif dalam bekerja, karyawan yang

memilikinya memiliki perhatian yang lebih terhadap perusahaan, memikirkan detail

penting, tenggelam dalam pekerjaannya, merasakan pengalaman untuk hanyut

dalam pekerjaaan sehingga melupakan waktu dan mengurangi segala macam

gangguan dalam pekerjaan.

3. Aspek-Aspek Work Engagement

Work engagement merupakan hal positif, yang terkait dengan keadaan

pikiran yang ditandai dengan semangat, dedikasi dan absorpsi (Schaufeli, dkk,

2002). Vigor atau semangat mencerminkan kesiapan untuk mengabdikan upaya

dalam pekerjaan seseorang, sebuah usaha untuk terus energik saat bekerja dan

kecenderungan untuk tetap berusaha dalam menghadapi tugas kesulitan atau

kegagalan. Dedikasi mengacu pada identifikasi yang kuat dengan pekerjaan

seseorang dan mencakup perasaan antusiasme, inspirasi, kebanggaan, dan

tantangan. Dimensi ketiga dari work engagement adalah penyerapan atau absorpsi.

Absorpsi ditandai dimana seseorang menjadi benar-benar tenggelam dalam

pekerjaan, dengan waktu tertentu ia akan merasa sulit untuk melepaskan diri dari

pekerjaannya. Beberapa studi telah divalidasi secara empiris melalui kuesioner yang

memang untuk mengukur keterlibatan kerja (work engagement), Utrecht Work

Engagement Scale (UWES) (Schaufeli & Bakker, 2003). Seorang karyawan yang

tergolong memiliki work engagement dengan kata lain dapat didefinisikan dengan

melakukan pekerjaan pikiran yang ditandai dengan semangat, dedikasi dan

penyerapan dalam menyelesaikan semua penugasannya.

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

17

Secara ringkas Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, & Bakker, (2002)

menjelaskan mengenai dimensi yang terdapat dalam work engagement, yaitu:

a. Vigor

Merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian untuk

berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan tekun dalam

menghadapi kesulitan kerja. Juga kemauan untuk menginvestasikan segala upaya

dalam suatu pekerjaan dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan.

b. Dedication

Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa

kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi dan tantangan. Kewajiban yang

mengharuskan untuk tidak menguntungkan diri sendiri, baik secara langsung

maupun tidak langsung dan berkaitan dengan kepentingan pihak ketiga, hal ini

dapat diukur dengan: arti pekerjaan bagi seseorang, antusias terhadap pekerjaan,

selalu ingin bekerja, dapat bekerja dalam waktu yang lama, bangga dengan

pekerjaan.

c. Absorption

Dalam bekerja karyawan selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu

pekerjaan. Dalam bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan

kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan. Perasaan seseorang terhadap

pekerjaannya terkait dengan waktu yang dirasakannya ketika bekerja, apakah

pekerjaan menjadi inspirasinya dan apakah pekerjaan menarik baginya.

Pada penelitian ini, peneliti mengambil 3 dimensi work engagement menurut

Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma & Bakker, (2002) yaitu: vigor, dedication,

absorption sebagai acuan dalam menggunakan skala peneltian.

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

18

4. Faktor- Faktor yang mempengaruhi Engagement

Xanthopoulou, Bakker, Hevven, Demerouti & Schaufelli (2008) menyatakan

bahwa engagement ditentukan oleh faktor individual dan lingkungan. Faktor

lingkungan terkait dengan aspek organisasi dan atau psikologis, sosial dan fisik

pekerjaan, seperti: otonomi, dukungan sosial, coaching atasan, umpan balik kinerja

dan peluang pengembangan keahlian. Sedangkan faktor individu mengacu pada

evaluasi diri yang positif yang berkaitan dengan resiliency dan rasa mampu untuk

mengendalikan dan mempengaruhi lingkungan mereka dengan sukses.

Menurut Robinson, Perryman & Hayday (2004), faktor kunci pendorong

dari engagement karyawan adalah dimana apabila karyawan dapat merasa dihargai

dan dilibatkan (feeling valued and involved), yang mempengaruhi hal ini adalah:

1. Karyawan dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

2. Karyawan dapat menyalurkan ide/ suara sehingga mereka dapat merasa berharga.

3. Kesempatan untuk mengembangkan pekerjaan.

4. Organisasi memperhatikan akan keberadaan dan kesehatan karyawan.

Penggerak employee engagement akan berbeda di tiap jenis pekerjaan dan

organisasi. Hewitt (2008) mengemukakan bahwa engagement dipengaruhi oleh

beberapa faktor, diantaranya adalah: penghargaan (total rewards), kondisi

perusahaan (company practices), kualitas kehidupan (quality of life), kesempatan

(opportunities), aktivitas pekerjaan yang dihadapi (work) dan orang lain di sekitar

pekerjaan (people). Apabila keenam faktor tersebut terpenuhi maka akan dicapai

high level of engagement dan keenam faktor tersebut merupakan faktor yang saling

berhubungan.

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

19

Bakker dan Demerouti (2007) menyebutkan bahwa terdapat 3 faktor yang

menjadi penyebab utama work engagement, yakni:

1. Job Resources

Merujuk pada aspek fisik, sosial, maupun organisasional dari pekerjaan yang

memungkinkan individu untuk : mengurangi tuntutan pekerjaan dan biaya

psikologis maupun fisiologis yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut,

mencapai target pekerjaan, dan menstimulasi pertumbuhan, perkembangan, dan

perkembangan personal.

2. Salience of Job Resources

Faktor ini merujuk pada seberapa penting atau bergunanya sumber daya pekerjaan

yang dimiliki oleh individu.

3. Personal Resources

Merujuk pada karakteristik yang dimiliki oleh karyawan seperti kepribadian, sifat,

usia dan lain-lain. Karyawan yang engaged akan memiliki karakteristik personal

yang berbeda dengan karyawan lainnya karena memiliki skor extraversion dan

concientiousness yang lebih tinggi serta memiliki skor neuoriticism yang lebih

rendah.

B. Work-Family Conflict

1. Definisi Work-Family Conflict

Work-family conflict adalah salah satu dari bentuk interrole conflict yaitu

tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran di pekerjaan dengan peran

didalam keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985). Jam kerja yang panjang dan beban

kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya work-family conflict,

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

20

dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan dipakai untuk bekerja mengakibatkan

kurangnya waktu dan energy yang bisa digunakan untuk melakukan aktivitas-

aktivitas keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985).

Gutek, Searle dan Klepa (1991) menyebutkan bahwa work-family conflict

mempunyai dua komponen, yaitu urusan keluarga mencampuri pekerjaan (family

interference with work) dan urusan pekerjaan mencampuri keluarga (work

interference with family). Work-family conflict dapat timbul dikarenakan urusan

pekerjaan mencampuri urusan keluarga seperti banyaknya waktu yang dicurahkan

untuk menjalankan pekerjaan menghalangi seseorang untuk menjalankan

kewajibannya di rumah, atau urusan keluarga mencampuri urusan pekerjaan, seperti

merawat anak yang sakit akan menghalangi seseorang untuk datang ke kantor.

Frone, Russel & Cooper (1992) mendefinisikan work-family conflict sebagai

konflik peran yang terjadi pada karyawan, satu sisi karyawan harus melakukan

pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga secara utuh,

sehingga sulit membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga

mengganggu pekerjaan. Frone, et. al. (1992) menjelaskan lebih lanjut bahwa work-

family conflict terjadi karena karyawan berusaha untuk menyeimbangkan antara

permintaan dan tekanan yang timbul, baik dari keluarga maupun dari pekerjaannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa work-family

conflict merupakan salah satu bentuk dari konflik peran dimana muncul stimulus

dari dua tekanan peran yang menyebabkan salah satu peran kesulitan dalam

memenuhi tuntutan peran yang lain. Sehingga mengakibatkan individu sulit

membagi waktu dan sulit untuk melaksanakan salah satu peran karena hadirnya

peran yang lain.

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

21

2. Dimensi Work-Family Conflict

Greenhaus & Beutell (1985) menjelaskan bahwa terdapat tiga dimensi

konflik pekerjaan-keluarga, yaitu :

1. Time-based conflict, merupakan konflik yang terjadi ketika waktu yang tersedia

untuk memenuhi peran di pekerjaan (keluarga) tidak dapat digunakan untuk

memenuhi peran di keluarga (pekerjaan) dengan kata lain pada waktu yang sama

seorang yang mengalami work-family conflict tidak akan bisa melakukan dua atau

lebih peran sekaligus. Misalnya jam kerja yang panjang, waktu kerja yang tidak

fleksibel dan lembur membuat individu kekurangan waktu dalam memenuhi

tuntutan keluarga secara maksimal (Byron, 2005).

2. Strain-based conflict, merupakan ketegangan yang disebabkan oleh salah satu

peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan perannya yang lain.

Misalnya, seorang karyawan yang seharian bekerja akan merasakan kelelahan dan

menyebabkannya kesulitan dalam melakukan pekerjaan di rumah. Konflik

ketegangan ini bisa memicu tekanan darah meningkat, kecemasan, kelelahan, cepat

marah dan depresi

3. Behavior-based conflict, merupakan konflik yang muncul ketika pola dari suatu

perilaku pada peran yang sedang dijalankan tidak sesuai dengan harapan perilaku

pada peran yang lainnya. Sebagai contoh seorang manajer saat bekerja diharapkan

memiliki kepercayaan diri, emosi yang stabil dan objektif, sedangkan ketika berada

di rumah mungkin diharapkan menjadi orang yang hangat, melindungi dan

emosional. Jika seseorang tidak bisa menyesuaikan perilakunya dengan berbagai

peran yang berbeda, maka akan mengalami konflik antar peran-peran tersebut.

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

22

3. Dampak dari Work-Family Conflict

Berdasarkan beberapa penelitian, work-family conflict berhubungan dengan

pekerjaan seperti kepuasan kerja, komitmen kerja dan sebagainya, berhubungan

dengan non pekerjaan seperti kepuasan pernikahan dan sebagainya, serta

berhubungan dengan stress seperti depresi, burnout dan sebagainya (Allen, Herst,

Bruck, & Sutton, 2000; Netemeyer, et al., 1996).

Sejumlah besar penelitian telah mencatat hubungan work-family conflict

dengan kondisi psikologis terutama dengan kesehatan mental (Netemeyer et al.,

1996; Thomas & Ganster, 1995; Frone 2000; McEwen & Barling, 1994; Geurts et

al., 2003; Rijwizk, Bakker, Rutte, & Croon 2004; Noor, 2002; Madsen, John, &

Miller, 2005; Kinnunen et. al., 2006; Hibah, Elisa, & Donaldson, 2001).

Oomens, Geurts dan Scheepers (2007) telah melaporkan bahwa work-family

conflict berhubungan negatif dengan kesehatan mental. Misalnya, jika karyawan

sering menjalani lembur, maka ini membatasi waktu yang tersedia di rumah, yang

mungkin bertentangan dengan tuntutan keluarga atau, jika anaknya sakit yang

menuntut perhatiannya, dapat menjadi tekanan bagi pekerjaan.

Dalam sebuah penelitian Madsen et sangat baru. al., (2005) melaporkan

bahwa work-family conflict terkait dengan rendahnya kesehatan mental. Demikian

pula Frone (2003) telah meneliti bahwa kedua arah work-family conflict

berhubungan dengan kesehatan mental, fisik kesehatan dan perilaku kesehatan yang

terkait dengan karyawan.

Netemeyer et al. (1996) melaporkan bahwa work-family conflict

berhubungan negatif dengan kinerja. Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa

work-family conflict terkait dengan berkurangnya konsentrasi dan perhatian pada

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

23

pekerjaan, absensi, keterlibatan kerja yang rendah dan pada akhirnya mengurangi

keseluruhan kinerja (Ahmad, 2008; Burley, 1989; Eagle, Miles, & Iconagle, 1997;

Thompson & Werner, 1997; Karatepe & Sokmen, 2006; Witt & Carlson, 2006).

Work-family conflict juga umumnya berhubungan negatif dengan berbagai

kepuasan seperti kepuasan hidup, kepuasan pernikahan, kepuasan keluarga dan

kepuasan kerja. Studi meta analisis yang dilakukan Allen et al. (2000) dan Kossek

dan Ozeki (1998) menemukan hubungan negatif antara work-family conflict dan

kepuasan pernikahan, kepuasan keluarga dan kepuasan hidup.

C. Kepribadian

1. Definisi Kepribadian

Menurut Allport (1961), kepribadian adalah organisasi dinamis dari sistem-

sistem psikofisik individu yang menentukan caranya yang khas untuk menyesuaikan

diri dengan lingkungannya. Definisi yang komprehensif dari Allport menyatakan

bahwa kepribadian adalah produk dan proses dari manusia yang telah terstruktur,

namun pada saat yang bersamaan memiliki kapabilitas untuk berubah. Kepribadian

mencakup sistem fisik dan psikologis; meliputi perilaku yang terlihat dan pikiran

yang tidak terlihat, serta tidak hanya merupakan sesuatu, tetapi melakukan sesuatu.

Kepribadian adalah substansi dan perubahan, produk dan proses serta struktur dan

perkembangan.

Feist dan Feist (2008) menyimpulkan bahwa kepribadian adalah pola dari

trait dan karakteristik yang unik dan relatif menetap sehingga perilaku seseorang

sangat individual dan konsisten. Trait menunjukkan perbedaan individu dalam

perilaku, konsistensi perilaku dari waktu ke waktu dan stabilitas perilaku pada

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

24

seluruh situasi. Trait dapat menjadi unik, umum untuk beberapa kelompok, atau

dapat berbagi bersama beberapa kelompok, tetapi pola mereka berbeda untuk setiap

individu. Sehingga setiap orang memiliki kepribadian yang unik. Karakteristik

adalah kualitas yang unik dari individu yang meliputi atribut seperti temperamen,

fisik dan kecerdasan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepribadian

adalah karakteristik dari individu yang unik/khas yang menentukan perbedaan

tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap individu dalam menyesuaikan diri dan

berinteraksi dengan lingkungannya.

2. Pendekatan Trait dalam Kepribadian

Psikologi kepribadian memerlukan model deskriptif atau taksonomi

mengenai kepribadian itu sendiri. Salah satu tujuan utama taksonomi dalam ilmu

pengetahuan adalah untuk menyederhanakan definisi yang saling tumpang-tindih.

Oleh karena itu, dalam psikologi kepribadian, suatu taksonomi akan mempermudah

para peneliti untuk meneliti sumber utama karakteristik kepribadian daripada hanya

memeriksa ribuan atribut yang berbeda-beda yang membuat setiap individu berbeda

dan unik (John & Srivastava, 1999).

Setelah beberapa dekade, cabang psikologi kepribadian memperoleh suatu

pendekatan taksonomi kepribadian yang dapat diterima secara umum yaitu dimensi

―Kepribadian Big 5‖. Dimensi Big 5 pertama kali diperkenalkan oleh Goldberg pada

tahun 1981. Dimensi ini tidak mencerminkan perspektif teoritis tertentu, tetapi

merupakan hasil dari analisis bahasa alami manusia dalam menjelaskan dirinya

sendiri dan orang lain. Taksonomi Big 5 bukan bertujuan untuk mengganti sistem

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

25

yang terdahulu, melainkan sebagai penyatu karena dapat memberikan penjelasan

sistem kepribadian secara umum (John & Srivastava, 1999; Sulistyawati, 2014).

Big 5 disusun bukan untuk menggolongkan individu ke dalam satu

kepribadian tertentu, melainkan untuk menggambarkan sifat-sifat kepribadian yang

disadari oleh individu itu sendiri dalam kehidupannya sehari-hari. Pendekatan ini

disebut Goldberg sebagai Fundamental Lexical (Language) Hypothesis; perbedaan

individu yang paling mendasar digambarkan hanya dengan satu istilah yang terdapat

pada setiap bahasa (Pervin, 2005).

Costa dan Mc Crae (1999) mengembangkan teori kepribadian big five. Teori

ini didasarkan pada model five factors personality sebagai representasi struktur trait

yang merupakan dimensi utama dari kepribadian. Trait kepribadian merupakan

dimensi dari kepribadian yang merupakan kecenderungan emosional, kognitif dan

tingkah laku yang bersifat menetap dan ditampilkan individu sebagai respons

terhadap berbagai situasi lingkungan (Westen, 1999; Sulistyawati, 2014).

Taksonomi kepribadian big 5 merupakan asesmen yang komprehensif dari

kepribadian dimana individu mempersepsikan bagaimana dirinya sendiri serta

bagaimana hubungan dirinya dengan orang lain. Penilaian dalam kepribadian big 5

tidak menghasilkan satu trait tunggal yang dominan, tetapi menunjukkan seberapa

kuat setiap trait dalam diri seseorang. Kelima trait kepribadian tersebut adalah:

neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness serta

conscientiousness (Pervin, Cervone, John, 2005; Sulistyawati, 2014).

Selanjutnya, Pervin, Cervone dan John (2005) mengilustrasikan arti dari

faktor-faktor tersebut. Dalam tabel berikut dipaparkan mengenai daftar sifat

seseorang yang merupakan skor tinggi secara individual dan rendah pada faktor

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

26

lain. Kepekaan emosi yang merupakan neuroticism dengan sisi lain dari perasaan

negatif termasuk kecemasan, sedih, mudah tersinggung dan gugup. Faktor openness

to experience digambarkan dengan luasnya, kedalaman dan kompleksitas dari

mental individu dalam pengalaman hidup. Khusus faktor extraversion dan

agreeableness, kedua sifat tersebut lebih bersifat interpersonal, yang berarti

perbuatan seseorang dalam kaitannya dengan orang lain. Faktor conscientiousness

diterangkan awal mula adalah berkaitan dengan tugas dan perilaku sebagai tujuan

akhir dan pengendalian diri sebagai faktor sosial (Sulistyawati, 2014).

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

27

Tabel 2.1

Faktor Kepribadian Big 5 dan Skala Ilustratif

Karakteristik Skor

Tinggi

Skala Sifat Karakteristik Skor

Rendah

Cemas, takut, emosional,

tidak aman, tidak

sebanding, murung

Neuroticism Mengukur emosi yang tidak

stabil. Identifikasi rata-rata

individu penyebab stress

psikologis, ide-ide yang

tidak realistis, dorongan hati

dan mengatasi respon-

respon penyesuaian yang

buruk

Kalem, relaks, tidak

emosional, keras, pasti,

kepuasan diri

Sosial, aktif, banyak

bicara, orientasi personal,

optimis, senang bercinta,

pengasihan

Extraversion Mengukur kuantitas dan

intensitas dari interaksi

interpersonal, level aktivitas,

kebutuhan untuk stimulasi

dan kapasitas kesenangan

Segan, sederhana, tidak

mewah, diam, menarik

diri

Ingin tahu, tertarik

sesuatu hal di luar,

kreatif, keaslian, penuh

imajinatif, tidak

tradisional

Openness to Experience Mengukur secara proaktif,

apresiatif terhadap

pengalaman untuk

pencarian, toleransi untuk

eksplorasi terhadap sesuatu

yang belum dikenal

Konvensional, kembali

ke masa lalu, tidak

memiliki ketertarikan,

tidak artistic, tidak

bersifat analitik

Lembut, alamiah,

kepercayaan, senang

membantu, pemaaf,

mudah dibohongi, tulus

hati

Agreeableness

Mengukur kualitas

interpersonal yang

berorientasi secara

berkelanjutan dari belas

kasihan hingga antagonis

dalam pikiran-pikiran,

perasaan-perasaan dan

langkah-langkah

Sinis, kasar, curiga,

tidak kooperatif,

menaruh dendam, tidak

kenal belas kasihan,

mudah tersinggung,

manipulative

Mengorganisasi, dapat

dipercaya, pekerja keras,

disiplin diri, teliti,

seksama, tertib, ambisius,

tekun dalam berusaha

Conscientiousness Mengukur pendidikan

seseorang dalam organisasi,

keras hati, motivasi diri

dalam mencapai tujuan,

ketergantungan yang

berbeda, memilih orang-

orang dengan sentimental

Tidak bertujuan, tidak

percaya, malas, teledor,

kemauan rendah

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

28

3. Dimensi-Dimensi Kepribadian Big 5

Menurut Costa & Mc Crae (1999), setiap dimensi dari kepribadian Big 5 terdiri dari

6 (enam) faset atau sub faktor. Faset-faset tersebut adalah:

a. Extraversion (E) terdiri dari :

1. Gregariousness (suka berkumpul): skor tinggi terlihat pada individu yang

senang hidup dalam kelompok. Skor rendah pada mereka yang ingin

menyendiri atau menolak untuk berkelompok atau tidak mencari aktivitas

sosial.

2. Activity Level (level aktivitas): skor tinggi terlihat pada individu yang

memiliki banyak aktivitas, enerjik, sibuk. Skor rendah dimiliki individu

yang kurang beraktivitas, banyak waktu luang, relaks.

3. Assertiveness (asertif): skor tinggi bagi individu yang dominan, berpengaruh

sosial, berbicara apa adanya dan selalu menjadi pimpinan kelompok. Skor

rendah bagi individu yang tidak berani mengemukakan sesuatu atau

pendapat.

4. Excitement Seeking (mencari kesenangan): skor tinggi pada individu yang

senang memotivasi. Individu tersebut berpengalaman dan memiliki

rangsangan keakraban sebagai aspek pencarian sensasi. Skor rendah bagi

individu yang merasa sedikit dibutuhkan yang akhirnya menemukan suatu

kebosanan.

5. Positif Emotions (emosi yang positif): faset ini merefleksi tendensi

pengalaman emosi stabil seperti senang, bahagia, cinta dan kegembiraan.

Skor tinggi pada emosi stabil dan selalu tertawa. Skor rendah apabila mereka

tidak bahagia, selalu tidak bersemangat dan tidak bergairah.

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

29

6. Warmth (kehangatan): skor tinggi terlihat pada individu yang mudah bergaul

dengan orang lain, identik dengan keramahtamahan dengan tulus. Skor

rendah adalah sifat bermusuhan atau iba, tetapi lebih formalnya adalah

enggan untuk bergaul.

b. Agreeableness (A) terdiri dari :

1. Straightforwardness (berterusterang): skor tinggi terlihat pada individu yang

terbuka, murni dan terus terang. Skor rendah pada faset ini adalah keinginan

untuk terus memanipulasi seperti membujuk, tidak tulus.

2. Trust (kepercayaan): skor tinggi apabila individu percaya bahwa orang lain

memiliki ketulusan dan perhatian. Skor rendah pada skala kecenderungan

menjadi sinis dan skeptic dan berasumsi bahwa yang lain mungkin tidak

tulus atau berbahaya.

3. Altruism (mendahulukan kepentingan orang lain); skor tinggi pada

konsentrasi aktif untuk kesejahteraan orang lain yang diperlihatkan dalam

bermurah hati, pertimbangan lain dan kemauan untuk menolong orang lain

yang membutuhkan bantuan. Skor rendah pada orang yang agak egois dan

enggan untuk terlibat dalam permasalahan orang lain.

4. Modesty (rendah hati): skor tinggi pada rendah hati, tidak mempedulikan

diri. Skor rendah apabila individu merasa superior, sombong, arogan

terhadap yang lain.

5. Tendermindedness (berhati lembut): skor tinggi adalah tergerak akan

dibutuhkan orang lain dan mengutamakan sisi kemanusiaan pada kebijakan

sosial. Skor rendah lebih pada keras atau kurang iba. Realitas akan

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

30

dipertimbangkan yang membuat keputusan rasional dengan mendasarkan

logika minim.

6. Compliance (kerelaan): skor tinggi cenderung pada individu yang

menghormati orang lain dan memaafkan. Skor rendah terlihat pada individu

yang suka menyerang, lebih suka untuk bersaing dibandingkan bergabung

dan mudah mengekspresikan sikap marah ketika memaksa.

c. Conscientiousness (C) terdiri dari :

1. Self discipline (disiplin): skor tinggi terlihat pada individu yang menilai

bahwa suatu tugas dapat memotivasi dirinya untuk segera mengerjakan.

Skor rendah pada memperlambat untuk memulai, mudah dihalangi serta

disiplin rendah.

2. Dutifulness (patuh): skor tinggi pada skala ini adalah taat sekali pada prinsip

etikanya dan obligasi moralnya sangat tinggi. Skor rendah adalah lebih pada

kebetulan tentang sesuatu hal dan mungkin agak tidak bergantung dan tidak

reliable.

3. Competence (kompetensi): pada faset ini perhatian pada kecakapan,

sensibilitas, hati-hati dan efektif. Skor tinggi akan rasa untuk perbaikan

dalam hidup. Skor rendah bila memiliki pendapat rendah pada kecakapan-

kecakapan dan selalu tidak memperbaiki.

4. Order (teratur): skor tinggi adalah rapi dan dikoordinir dengan baik. Mereka

menempatkan sesuatu dalam tempat yang sebenarnya. Skor rendah adalah

tidak terkoordinasi dengan baik dan tanpa metodologi.

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

31

5. Deliberation (pertimbangan): skor tinggi pada hati-hati dan

mempertimbangkan. Skor rendah bila buru-buru, berbicara tanpa

mempertimbangkan konsekuensi, spontanitas.

6. Achievement striving (pencapaian prestasi): skor tinggi pada level aspirasi

tinggi dan kerja keras untuk mencapai tujuan. Skor rendah bila sentimental

dan malas, tidak terdorong untuk sukses, tidak punya ambisi.

d. Neuroticism (N) terdiri dari :

1. Anxiety (kecemasan): skor tinggi pada individu yang khawatir, ketakutan,

cenderung takut, cemas, tegang, gelisah atau gugup. Skor rendah adalah

kalem dan relaks.

2. Self consciousness (kesadaran diri): skor tinggi pada individu yang tidak

mudah diganggu oleh situasi-situasi sosial yang kaku. Skor rendah pada

individu yang bersifat memaksa, memiliki ketenangan atau sosialisasi yang

baik.

3. Depression (depresi): skor tinggi pada kecenderungan rasa bersalah, sedih

dan merasa sendiri serta sangat mudah putus asa. Skor rendah pada individu

yang terbuka.

4. Vulnerability (mudah tersinggung): skor tinggi pada individu yang cepat

tersinggung, tidak mampu menghadapi stress, tergantung, tidak berdaya atau

panic ketika menghadapi situasi darurat. Skor rendah pada individu yang

memiliki kemampuan untuk mengatasi sistuasi.

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

32

5. Impulsiveness (menuruti kata hati): skor tinggi pada individu yang

menunjukkan ketidakmampuan mengontrol dorongan. Skor rendah

ditemukan pada individu yang mudah melawan godaan.

6. Angry hostility (amarah): skor tinggi menggambarkan suatu tendensi

bermusuhan dalam kondisi marah dan dihubungkan dengan keadaan

frustrasi dan dendam. Skor rendah pada individu yang tidak mudah marah.

e. Openness to experience (O) terdiri dari :

1. Fantasy (khayalan): skor tinggi pada individu yang terbuka untuk berfantasi,

memiliki imajinasi dan semangat. Skor rendah adalah lebih memilih pada

apa yang dikehendaki.

2. Aesthetics (keindahan): skor tinggi pada individu yang memiliki apresiasi

dalam seni dan keindahan. Skor rendah pada individu yang tidak tertarik

pada seni dan keindahan.

3. Feelings (perasaan): skor tinggi pada kedalaman pengalaman dan

perbandingan emosi dengan orang lain. Skor rendah pada individu yang

memiliki afek-afek yang agak tidak jelas dan tidak percaya bahwa

kedudukan perasaan adalah lebih penting.

4. Ideas (ide): sifat ini terlihat tidak hanya dalam suatu pengejaran aktivitas

pada kemampuan intelektual untuk kepentingannya, tetapi juga dalam

ketidakpahaman dan suatu kesukaan pertimbangan baru, mungkin ide-ide

yang tidak konvensional.

5. Actions (tindakan): skor tinggi pada individu yang memilih hal baru dan

variasi dari yang biasa atau rutin. Skor rendah pada individu yang

mengalami kesulitan untuk berubah, serta memiliki keinginan terbatas.

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

33

6. Values (nilai-nilai): skor tinggi pada individu yang menunjukkan kesiapan

untuk nilai sosial, politik dan religius.

D. Peran Work-family Conflict terhadap Work Engagement

Penelitian tentang dampak work-family conflict terhadap work engagement

sangat sedikit. Salah satu penelitian berkaitan hal tersebut, dilakukan oleh Opie &

Henn (2013) yang menemukan bahwa work-family conflict merupakan prediktor

yang signifikan dari work engagement, dimana tingginya level work-family conflict

berhubungan dengan rendahnya level work engagement. Penemuan ini sejalan

dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan hubungan negatif antara work-

family conflict dengan berbagai hasil organisasi seperti kepuasan kerja, komitmen

organisasi dan kinerja (Allen, Herbst, Bruck & Sutton, 2000; Hassan et al, 2010.;

Streich et al., 2008; Opie & Henn, 2013).

Penelitian Srivastava dan Srivastava (2012) menemukan bahwa karyawan

dengan level work-family conflict yang tinggi menunjukkan level kesehatan mental,

kinerja dan kepuasan pernikahan yang rendah. Work-family conflict juga dapat

mengurangi konsentrasi dan perhatian terhadap pekerjaan, tingginya ketidakhadiran

bekerja, kurangnya keterlibatan kerja dan mengurangi organizational citizenship

sehingga dapat mengurangi kinerja karyawan (Ahmad, 2008; Burley, 1989; Eagle,

Miles & Iconagle, 1998, Thompson & Werner, 1997; Karatepe & Sokmen, 2006;

Witt & Carlson, 2006; Srivastava & Srivastava, 2012). Zhang (2010) menemukan

bahwa work-family conflict berhubungan positif dengan kecenderungan untuk

berhenti dari pekerjaan. Faktor ketidakhadiran, keterlibatan, konsentrasi dan

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

34

organizational citizenship serta kecenderungan untuk berhenti dari pekerjaan

merupakan konsekuensi dari employee engagement (Saks, 2005).

Selain itu, penelitian lain telah menemukan hubungan yang signifikan antara

work-family conflict dengan burnout (Ahmad, 2010; Opie & Henn, 2013). Temuan

ini sangat relevan dimana burnout secara negatif berhubungan dengan work

engagement (Schaufeli et al., 2002; Opie & Henn, 2013).

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, karyawan yang engaged ditandai

dengan tingkat energy yang tinggi, antusias terhadap pekerjaan, komitmen, dedikasi

dan konsentrasi penuh (Bakker & Demerouti, 2008; De Braine & Roodt, 2011;

Rothmann & Rothmann, 2010; Opie & Henn, 2013). Oleh karena itu, apabila

karyawan mengalami konflik sebagai akibat dari adanya tuntutan yang tidak sesuai

antara pekerjaan dan keluarga, maka dapat menyebabkan berkurangnya engaged

mereka terhadap pekerjaan.

Berdasarkan hasil penelitian Opie & Henn (2013), dapat disimpulkan bahwa

stress berhubungan dengan work-family conflict dapat mencegah karyawan untuk

dapat konsentrasi dan mendedikasikan waktu dan energy mereka untuk pekerjaan.

Pada dasarnya, work-family conflict mungkin dapat mengurangi karyawan engaged

pada pekerjaan mereka.

E. Peran Kepribadian Big 5 terhadap Work Engagement

Beberapa studi telah meneliti hubungan antara kepribadian dengan work

engagement. Penelitian Langelaan, Bakker, Van Doornen & Schaufeli (2006)

mengevaluasi tingkat engagement dan burnout individu yang dihubungkan dengan

trait kepribadian neuroticism dan extraversion. Mereka mengukur apakah

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

35

engagement dan burnout dapat dibedakan atas trait neuroticism dan extraversion

pada sampel karyawan Belanda. Karyawan yang burnout ditemukan memiliki

tingkat neuroticism yang tinggi. Namun, mereka tidak dikarakteristikkan dengan

rendahnya tingkat extraversion. Leiter & Maslach (1999) menjelaskan bahwa

engagement adalah kutub yang berlawanan dengan burnout yang ditandai dengan

energi, keterlibatan dan efektifitas yang tinggi. Level yang rendah dari ketiga

dimensi ini menunjukkan karyawan mengalami burnout dan level yang tinggi

menunjukkan karyawan engaged terhadap pekerjaannya.

Hallberg, Johansson & Schaufeli (2007) telah meneliti hubungan antara

engagement dan burnout pada Type A Behavior. Type A Behavior dibedakan

menjadi dua faktor: dorongan berprestasi yang ditandai dengan energik, cepat, kuat,

giat, antusias, ambisius, bersemangat untuk membahas, suka berbicara, extravert

dan kuat; dan mudah tersinggung/ tidak sabaran ditandai dengan agresif, tegang,

mudah kesal, menonjolkan diri, mudah tersinggung dan keras. Penelitian ini

menunjukkan bahwa engagement terkait dengan aspek dorongan berprestasi dari

Type A Behavior.

Kim, Shin & Swanger (2009) menemukan hubungan negatif antara

neuroticism dan work engagement dan conscientiousness berhubungan positif,

sedangkan extraversion tidak berhubungan dengan dimensi-dimensi dari

engagement pada sampel karyawan restoran cepat saji. Selanjutnya, Liao, Yang,

Wang, Drown dan Shi (2013) meneliti tentang peran kepribadian dalam hubungan

antara Team-member Exchange dengan work engagement. Mereka menemukan

bahwa extraversion dan neuroticism memoderasi hubungan antara team-member

exchange dengan work engagement, sementara conscientiousness tidak

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

36

menunjukkan peran sebagai moderator dalam hubungan antara team-member

exchange dengan work engagement.

Zaidi, Wajid, Zaidi, Zaidi & Zaidi (2013) meneliti hubungan antara trait big

five personality dengan work engagement pada dosen perguruan tinggi negeri di

Lahore. Mereka menemukan bahwa extraversion, agreeableness, conscientiousness

dan openness to experience berhubungan positif dengan work engagement,

sedangkan neuroticism berhubungan negatif dengan work engagement. Ini berarti

bahwa dosen yang engaged menunjukkan keinginan untuk suka berteman, penuh

kasih, percaya kepada orang lain, terorganisir, puas, kreatif dan tidak konvensional .

Li, Zhong, Chen, Xie & Mao (2014) meneliti tentang efek moderasi dari

proactive kepribadian terhadap work engagement. Li, et.al (2014) menemukan

bahwa karyawan dengan proaktif yang tinggi cenderung untuk meningkatkan

kinerjanya dengan usaha sendiri, seperti meningkatkan komunikasi atau mencari

feedback dengan atasan atau koleganya. Mereka akan lebih engaged bila didukung

oleh lingkungan kerja yang tepat dan work-family conflict yang rendah.

Handa & Gulati (2014) menemukan bahwa kepribadian merupakan

prediktor yang signifikan dari employee engagement pada karyawan frontliner. Ada

hubungan positif antara trait extraversion dan conscientiousness dengan employee

engagement.

F. Peran Work-Family Conflict dan Kepribadian Big 5 terhadap Work

Engagement

Mauno, Kinnunen & Ruokolainen (2006) menggunakan Job-Demand

Resources Model (JD-R) dalam melakukan penelitian tentang pekerjaan dan sumber

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

37

daya sebagai moderator dari work-family conflict, well being dan job attitude. Work-

family conflict dikonseptualisasikan sebagai job demand sebagai perluasan model

JD-R dari Demerouti et al. (2001) (Bakker, Van Veldhoven & Xanthopoulou, 2010;

Mauno et al., 2006; Opie & Henn, 2013).

Penelitian Opie & Henn (2013) juga menggunakan model JD-R untuk

menjelaskan hubungan work-family conflict dengan work engagement dan

kepribadian sebagai moderator. Opie & Henn (2013) mengkonseptualisasikan work-

family conflict sebagai demand dan dampaknya terhadap work engagement,

kepribadian dikonseptualisasikan sebagai personal resources.

Baltes, Zhdanova & Clark (2011) berpendapat bahwa variabel kepribadian

mempengaruhi cara bagaimana individu menerima, menginterpretasikan dan

menanggapi lingkungan sesuai karakteristiknya yang berbeda. Dari penelitiannya,

Baltes et. al. (2011) menemukan bahwa kepribadian berhubungan dengan coping

strategy yang dipilih individu dalam menyelesaikan konfliknya.

Sejalan dengan hal tersebut, hasil penelitian Malekiha, Abedi & Baghban

(2012) menyatakan bahwa individu dengan level conscientiousness yang tinggi

lebih sedikit kemungkinan mengalami work-family conflict. Neuroticism

berhubungan positif dengan work-family conflict, sedangkan agreeableness

berhubungan negatif dengan work-family conflict. Dan tidak ada hubungan antara

work-family conflict dengan trait extraversion dan openness to experience.

Opie & Henn (2013) menemukan bahwa conscientiousness merupakan

prediktor yang signifikan terhadap work engagement. Hal ini sejalan dengan

beberapa penelitian yang menemukan bahwa kepribadian mempengaruhi karyawan

untuk engaged terhadap pekerjaan mereka (Langelaan, Bakker, van Doornen &

Page 28: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

38

Schaufeli, 2006) dan conscientiousness secara signifikan memprediksi work

engagement (Jeong, Hyun & Swanger, 2009;. Mostert & Rothmann, 2006).

Halbesleben, Harvey & Bolino (2009) menemukan bahwa conscientiousness

menjadi moderator dalam hubungan work-family conflict dengan work engagement.

Karyawan dengan level conscientiousness yang tinggi ditandai dengan disiplin,

dapat diandalkan, dapat mengendalikan diri, tertib, teratur dan berkemauan keras

(Digman, 1990; Taylor & De Bruin, 2006) dapat efektif dalam mengelola waktu

dan stress (Westerman & Simmons, 2007). Sejalan dengan penelitian sebelumnya,

Opie & Henn (2013) menemukan bahwa dalam hal efek interaksi, conscientiousness

mendukung hubungan antara work-family conflict dengan work engagement.

Namun, Opie & Henn (2013) menemukan bahwa semakin tinggi work-family

conflict, semakin kuat penurunan work engagement terutama pada partisipan yang

memiliki level conscientiousness yang tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian Witt

& Carlson (2006), yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara work-

family conflict dengan work engagement dan lebih menonjol pada individu yang

memiliki level conscientiousness yang tinggi.

Pada trait neuroticism, Opie & Henn (2013) menemukan bahwa neuroticism

menjadi prediktor negatif terhadap work engagement. Hal ini sejalan dengan

penelitian Jeong et. al. (2009) yang menemukan bahwa work engagement

berhubungan dengan rendahnya neuroticism. Dalam hal efek interaksi, penelitian

Opie & Henn (2013) menemukan bahwa tidak ada dukungan untuk peran moderator

neuroticism pada hubungan antara work-family conflict dan work engagement.

Penemuan ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Van Den Berg & Feij (2003)

yang menyatakan bahwa neuroticism yang rendah menjadi moderator dalam

Page 29: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

39

hubungan antara karakteristik jabatan (tuntutan dan sumber daya) dan perilaku kerja

(seperti stress kerja dan kepuasan kerja).

Penelitian Reggie (2014) menemukan bahwa extraversion secara signifikan

menjadi prediktor terhadap work engagement. Penemuan ini sejalan dengan

penelitian Michel et. al. (2011) yang menemukan hubungan positif antara

extraversion dengan positive work-nonwork spillover dan berhubungan negatif

antara extraversion dengan negative work-nonwork spillover. Reggie (2014) tidak

menemukan efek interaksi dari extraversion pada hubungan work-family conflict

dengan work engagement. Karyawan dengan level extraversion yang tinggi

menerima masalah dengan positif dan menggunakan strategi pemecahan masalah

ketika dihadapkan pada satu tantangan (Bakker et.al., 2006; Michel et. al., 2011).

Pada trait agreeableness, Reggie (2014) menemukan bahwa agreeableness

secara signifikan menjadi prediktor terhadap work engagement. Hal ini sejalan

dengan beberapa penelitian yang menemukan bahwa ada hubungan negatif antara

agreeableness dengan depersonalization (komponen dari burnout) (Bakker et. al.,

2006; Deary, Watson & Hogston, 2003). Hal ini relevan sejak burnout

dikonseptualisasikan sebagai lawan dari work engagement. Reggie (2014) tidak

menemukan peran agreeableness sebagai moderator dalam hubungan antara work-

family conflict dengan work engagement. Penemuan ini tidak sejalan dengan

penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan

antara agreeableness dengan work-family conflict (Baltes et. al., 2010; Grzywacz &

Marks, 2000; Noor, 2002; Wayne et. al., 2004). Karyawan dengan level

agreeableness yang tinggi cenderung untuk mengimplementasikan pendekatan

Page 30: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

40

coping dalam menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga yang akan mempengaruhi

munculnya work-family conflict (Baltes et. al., 2010).

Penelitian tentang trait openness to experience sangat terbatas. Penelitian

Malekiha et. al. (2012) menemukan bahwa openness to experience tidak

berhubungan dengan work-family conflict. Sementara penelitian Khan et. al. (2011),

menemukan bahwa openness to experience secara signifikan terlibat dalam

problem-focused coping. Hal ini menunjukkan bahwa karyawan dengan trait

openness to experience yang ditandai dengan keingintahuan, tertarik sesuatu hal di

luar, kreatif, keaslian, penuh imajinatif dapat lebih mudah menemukan penyelesaian

work-family conflict, sehingga dapat lebih engaged dalam pekerjaannya.

G. Skema Hubungan antar Variabel

Peran work-family conflict dan kepribadian big 5 terhadap work engagement

dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1 Skema Peran Work-Family Conflict dan Kepribadian Big 5

terhadap Work Engagement

Page 31: BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement 1. Definisi Work ...

41

H. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini adalah :

Ha 1 : Work-family conflict berpengaruh negatif terhadap work engagement.

Ha 2 : Extraversion berpengaruh positif terhadap work engagement.

Ha 3 : Agreeableness berpengaruh positif terhadap work engagement.

Ha 4 : Neuroticism berpengaruh negatif terhadap work engagement.

Ha 5 : Openness to experience berpengaruh positif terhadap work engagement.

Ha 6 : Conscientiousness berpengaruh positif terhadap work engagement.