BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2128/3/BAB II.pdf · work engagement memiliki...

21
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engangement 1. Pengertian Work Engagement Work engagement merupakan isu terkini dalam pengelolaan sumber daya manusia (SDM). Menurut Bakker (2011) keterikatan kerja (work engagement) pertama kali dicetuskan oleh William Khan pada tahun 1990. Work engagement merupakan gambaran yang memanfaatkan anggota organisasi, seseorang yang sepenuhnya secara fisik, kognitif, dan emosi terhubung dengan pekerjaannya. Work engagement dalam pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksanakan peran kerjanya, bekerja dan mengekspresikan dirinya secara fisik, kognitif dan emosional selama bekerja. Work engagement yang demikian itu sangat diperlukan untuk mendorong timbulnya semangat kerja karyawan (Khan, 1990) Menurut Bakker (2011) work engagement adalah karyawan yang terlibat dalam pekerjaan, yang sepenuhnya terhubung dengan peran pekerjaan dan tanggung jawab yang di tugaskan pada karyawan tersebut. Karyawan penuh dengan energi yang di dedikasikan untuk pekerjaan perusahaan, sehingga dalam bekerja karyawan pun tenggelam dalam aktifitas untuk menyelesaikan tugas perusahaan tersebut. Bakker, dkk. (2012) mendefinisikan work engagement sebagai suatu hal yang positif untuk memenuhi kebutuhan di tempat kerja yang berhubungan dengan pemikiran para pekerja yang ditandai dengan semangat,

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2128/3/BAB II.pdf · work engagement memiliki...

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Work Engangement

1. Pengertian Work Engagement

Work engagement merupakan isu terkini dalam pengelolaan sumber daya

manusia (SDM). Menurut Bakker (2011) keterikatan kerja (work engagement)

pertama kali dicetuskan oleh William Khan pada tahun 1990. Work engagement

merupakan gambaran yang memanfaatkan anggota organisasi, seseorang yang

sepenuhnya secara fisik, kognitif, dan emosi terhubung dengan pekerjaannya. Work

engagement dalam pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang

melaksanakan peran kerjanya, bekerja dan mengekspresikan dirinya secara fisik,

kognitif dan emosional selama bekerja. Work engagement yang demikian itu sangat

diperlukan untuk mendorong timbulnya semangat kerja karyawan (Khan, 1990)

Menurut Bakker (2011) work engagement adalah karyawan yang terlibat

dalam pekerjaan, yang sepenuhnya terhubung dengan peran pekerjaan dan

tanggung jawab yang di tugaskan pada karyawan tersebut. Karyawan penuh dengan

energi yang di dedikasikan untuk pekerjaan perusahaan, sehingga dalam bekerja

karyawan pun tenggelam dalam aktifitas untuk menyelesaikan tugas perusahaan

tersebut. Bakker, dkk. (2012) mendefinisikan work engagement sebagai suatu hal

yang positif untuk memenuhi kebutuhan di tempat kerja yang berhubungan dengan

pemikiran para pekerja yang ditandai dengan semangat,

15

dedikasi, serta penyerapan pada pekerjaan yang dijalani. Dalam hal ini vigor

ditandai oleh tingginya tingkat energi dan ketahanan mental saat karyawan bekerja,

berdedikasi yang ditandai dengan terlibat penuh dalam pekerjaan dan mengalami

perasaan penting dan antusiasme, penyerapan yang ditandai dengan sepenuhnya

konsentrasi karyawan pada pekerjaan dengan senang hati bekerja sehingga terasa

asyik dalam pekerjaan yang dijalani karyawan.

Schaufeli dan Bekker (2004) sebagai peneliti yang meneruskan

perkembangan teori mengenai work engagement yang mengungkapkan bahwa

work engagement memiliki hubungan terhadap pekerjaan yang aktif dan positif

yang ditandai dengan semangat, dedikasi, dan penyerapan. Semangat mengacuh

pada tingkat energi yang tinggi dan resiliensi mental pada saat bekerja, sedangkan

dedikasi mengacuh pada ketahanan dalam bekerja meliputi sikap antusias dan

menyukai tantangan. Kemudian penyerapan ditandai dengan sepenuhnya

berkonsentrasi, bangga, dan bahagia dalam bekerja, seperti waktu yang berlalu

dengan cepat.

Bakker & Leiter (2010) mendefinisikan work engagement sebagai sikap

positif dan memuaskan pada individu dalam kondisi afektif-motivasi dari pekerjaan

berhubungan dengan kesejahteraan yang dapat dilihat sebagai kebalikan dari

kelelahan bekerja. Selanjutnya, Institute of Employee Studies (dalam Endres &

Mancheno-Smoak, 2008) mendefinisikan work engagement sebagai suatu sikap

yang positif dari karyawan terhadap sikap organisasi di kerja. Karyawan atau

pegawai yang terpacu akan peduli terhadap bisnis organisasi dan bekerja dengan

tim untuk meningkatkan performa organisasi. Work engagement lebih dari pada

16

keadaan sesaat dan spesifik, mengacu ke keadaan yang begerak tetap meliputi aspek

kognitif dan afektif yang tidak fokus pada objek, peristiwa, individu atau perilaku

tertentu (Schaufeli, dkk. 2002).

Secara lebih spesifik menurut Schaufeli, dkk. (2002) mendefinisikan work

engagement sebagai positifitas, pemenuhan kerja dari pusat pikiran yang

dikarakteristikan. Lebih lanjut, work engagement sebuah motivasi dan pusat

pemikiran positif yang berhubugan dengan pekerjaan yang dicirikan sebagai vigor

yang merupakan energi individu didalam pekerjaannya, dedikasi yang merupakan

kebermaknaan individu dalam pekerjaan serta individual yang penuh konsen dalam

pekerjaan sehingga tidak mudah dalam melepaskan pekerjaannya didalam

keseharian yang dicerminkan melalui absorption.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa work engagement

diartikan sebagai perilaku karyawan dalam bekerja dengan mengekspresikan

dirinya secara total baik secara fisik, kognitif, afektif dan emosional pada karyawan

untuk menemukan arti dalam bekerja serta kebanggaan telah menjadi bagian dari

perusahaan dan bekerja untuk mencapai visi dan misi keseluruhan sebuah

perusahaan dengan begitu karyawan akan bekerja ekstra dan mengupayakan

sesuatu untuk pekerjaan di atas apa yang diharapkan baik dalam waktu dan energi

yang dikeluarkan oleh karyawan tersebut.

2. Aspek-Aspek Work Engagement

Schaufeli, dkk. (2002) work engagement merupakan hal positif, yang terkait

dengan keadaan pikiran yang ditandai dengan semangat, dedikasi dan absorsi,

17

kemudian dijabarkan lebih lanjut mengenai dimensi yang terdapat dalam work

engagement, yaitu:

a. Vigor

Merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja,

keberanian untuk berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu

pekerjaan dan tekun dalam menghadapi kesulitan kerja, Juga kemauan

untuk menginventasikan segala upaya dalam suatu pekerjaan, dan tetap

bertahan meskipun menghadapi kesulitan. Biasanya orang-orang yang

memiliki skor vigor yang tinggi memiliki energi, gelora semangat, dan

stamina yang tinggi ketika bekerja, sementara yang memiliki skor yang

rendah pada vigor memiliki energi, semangat dan stamina yang rendah

selama bekerja.

b. Dedication

Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa

kebermaknaan, antusias, kebanggaan, inspirasi dan tantangan. Kewajiban

yang mengharuskan untuk tidak menguntungkan diri sendiri, baik secara

langsung maupun tidak langsung dan berkaitan dengan kepentingan pihak

ketiga. Orang orang yang memiliki skor dedication yang tinggi secara kuat

mengidentifikasi diri dengan pekerjaan karena menjadikannya pengalaman

berharga, menginspirasi dan menantang. Di samping itu, karyawan biasanya

merasa antusias dan bangga terhadap pekerjaan. Sedangkan skor rendah

pada dedication berarti karyawan mengidentifikasi diri dengan pekerjaan

karena tidak memiliki pengalaman bermakna, menginspirasi atau

18

menantang, terlebih lagi merasa tidak antusias dan bangga terhadap

pekerjaan.

c. Absorption

Karyawan dalam bekerja selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu

pekerjaan. Dalam bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan

kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan. Orang-orang yang

memiliki skor tinggi pada absorption biasanya merasa senang perhatiannya

tersita oleh pekerjaan, merasa tenggelam dalam pekerjaan dan memiliki

kesulitan untuk memisahkan diri dari pekerjaan. Akibatnya, apapun di

sekelilingnya terlupakan dan waktu terasa berlalu cepat. Sebaliknya orang

dengan skor absorption yang rendah tidak tertarik dan tidak tenggelam

dalam pekerjaan, tidak memiliki kesulitan untuk berpisah dari pekerjaan dan

tidak lupa segala sesuatu di lingkungannya, termasuk waktu.

Menurut Macey dan Schneider (2008) work engagement mencakup 2

dimensi penting, yaitu:

a. Work engagement sebagai energi psikis. Di mana pekerjaan merasakan

pengalaman puncak (peak experience) dengan berada di dalam pekerjaan

dan arus yang terdapat di dalam pekerjaan tersebut. Work Engagement

merupakaan keterlibatan fisik dari pemenuhan diri dalam pekerjaan

(immersion), perjuanagan dalam pekerjaan (striving), penyerapan

(absorption), fokus (focus) dan juga keterlibatan (involvement).

b. Work engagement sebagai energi tingkah laku: bagaimana work

engagement terlihat oleh orang lain. Work engagement terlihat oleh orang

19

lain dalam bentuk tingkah laku yang berupa hasil. Tingkah laku yang terlihat

dalam pekerjaan berupa:

1) Pekerja akan berfikir dan bekerja secara proaktif, akan mengantisipasi

kesempatan untuk mengambil tindakan dengan cara yang sesuai dengan

tujuan organisasi.

2) Pekerja yang terikat tidak terpaku pada “job description”, karyawan

fokus pada tujuan dan mencoba mencapai secara konsisten mengenai

kesuksesan organisasi.

3) Pekerja secara aktif mencari jalan untuk dapat memperluas kemampuan

yang dimiliki dengan jalan yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan.

4) Pekerja pantang menyerah walau dihadapkan dengan rintangan atau

situasi yang membingungkan.

Berdasarkan uraian tentang dimensi work engagement di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa work engagement terdiri dari vigor, dedication, absorption.

Work engagement sebagai energi psikis, dan work engagemen sebagai energi

tingkah laku. Dalam penelitian ini, peneliti memilih dimensi work engagement dari

teori Schaufeli, dkk. (2002) yaitu dimensi vigor, dedication, dan absorption. Alasan

peneliti menggunakan dimensi tersebut karena teori yang diungkapkan tersebut

dirasa paling tepat dan cocok untuk mengungkap work engagement pada karyawan

Purnama Putra Sehati dan juga akan digunakan sebagai landasan dalam pembuatan

alat ukur.

20

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work Engagement

Faktor yang mempengaruhi work engagement menurut Bekker dan

Demerouti (2008), antara lain:

a. Job Demands (Tuntutan Kerja). Tuntutan kerja merupakan aspek-aspek

fisik, sosial, maupun organisasi dari pekerjaan yang membutuhkan usaha

terus-menerus baik secara fisik maupun psikologis demi mencapai atau

mempertahankannya. Tuntutan kerja meliputi empat faktor, yaitu: beban

kerja yang berlebihan (work overload), tuntutan emosi (emotional

demands), ketidaksesuaian emosi (emotional dissonance), dan perubahan

terkait organisasi (organizational changes).

b. Job Resources (Sumber Daya Pekerjaan). Work engagement juga dapat

dipengaruhi oleh sumber daya pekerjaan, yaitu aspek-aspek fisik, sosial,

maupun organisasi yang berfungsi sebagai media untuk mencapai tujuan

pekerjaan, mengurangi tuntutan pekerjaan dan harga, baik secara fisiologis

maupun psikologis yang harus dikeluarkan, serta menstimulasi

pertumbuhan dan perkembangan personal individu. Sumber daya pekerjaan

meliputi empat faktor yaitu: otonomi (autonomy), dukungan sosial (social

support), bimbingan dari atasan (supervisory coaching), dan kesempatan

untuk berkembang secara profesional (opportunities for professional

development).

c. Personal Resources (Sumber Daya Pribadi). Sumber daya pribadi

merupakan aspek diri yang pada umumnya dihubungkan dengan

kegembiraan dan perasaan bahwa diri mampu memanipulasi, mengontrol

21

dan memberikan dampak pada lingkungan sesuai dengan keinginan dan

kemampuannya. Beberapa tipikal sumber daya pribadi yaitu: Self-efficacy

(keyakinan diri) merupakan persepsi individu terhadap kemampuan dirinya

untuk melaksanakan dan menyelesaikan suatu tugas atau tuntutan dalam

berbagai konteks. Organizational-based self-esteem didefinisikan sebagai

tingkat keyakinan anggota organisasi bahwa karyawan dapat memuaskan

kebutuhan dengan berpartisipasi dan mengambil peran atau tugas dalam

suatu organisasi. Optimism (optimisme) terkait dengan bagaimana

seseorang meyakini bahwa dirinya mempunyai potensi untuk berhasil dan

sukses dalam hidupnya.

d. Personality (Kepribadian). Kepribadian berhubungan erat dengan work

engagement yang juga dapat di karakteristikkan dengan watak,

menggunakan dimensi aktivasi dan kesenangan sebagai suatu kerangka

kerja.

Bakker (2011) mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi work

engagement adalah :

a. Job demands atau tuntutan pekerjaan adalah sebuah tekanan kerja yang

tinggi, tuntutan emosional, dan ambiguitas peran yang dapat menyebabkan

masalah tidur, kelelahan dan gangguan kesehatan. Sedangkan

b. job recources seperti dukungan sosial, umpan balik kinerja, dan otonomi

dapat memicu proses motivasi yang mengarah ke pekerjaan yang

berhubungan dengan pembelajaran, work engagement dan komitmen

organisasi.

22

c. Personal resources merupakan evaluasi diri positif yang terkait dengan

ketahanan mental individu serta mengacu pula pada perasaan individu

terhadap kemampuan dirinya untuk berhasil dalam mengontrol dan

mempengaruhi lingkungannya.

Berdasarkan dari uraian faktor-faktor yang mempengaruhi work

engagement di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor work engagement

adalah job demands (work overload, emotional demands, emotional dissonarce,

organizational changes), job resources (autonomi, social support, supervisory

coaching, opportunities for development), personal resources (self-efficacy,

organizational-based self-esteem, optimism), personality, job demands, job

resources, personal resources. Peneliti memilih menggunakan faktor-faktor yang

mempengaruhi work engagement dari Bakker dan Demerouti yaitu, job demands

(work overload, emotional demands, emotional dissonarce, organizational

changes), job resources (autonomi, social support, supervisory coaching,

opportunities for development), personal resources (self-efficacy, organizational-

based self-esteem, optimism), personality. Self-efficacy merupakan bagian dari

personal resources dan salah satu faktor yang mempengaruhi work engagement.

Hal ini dapat dibuktikan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Libano, dkk. (2012) menemukan bahwa self-efficacy berpengaruh positif terhadap

work engagement. Self-efficacy dapat membuat seseorang lebih berusaha dalam

aktifitasnya dan gigih sehingga memungkinkan seseorang lebih terlibat dalam

pekerjaannya. Selanjutnya penelitian dilakukan oleh Xanthopoulou, dkk. (2009)

menunjukan bahwa self efficacy memiliki hubungan yang positif terhadap work

23

engagement. Hal ini sesuai dengan pendapat Hobfoll (2002) bahwa self efficacy

cenderung meningkatkan keyakinan akan kemampuan yang dimiliki karyawan

terhadap suatu tugas yang di terima dan dapat menyelesaikan tugas tersebut dengan

baik.

B. Self Efficacy

1. Pengertian Self-Efficacy

Self-efficacy diperkenalkan pertama kali oleh Bandura yang menyajikan

satu aspek dari teori kognitif sosial. Bandura (1997) Self-efficacy adalah sebagai

evaluasi seseorang terhadap kemampuan atau kompetensi untuk melakukan tugas,

mencapai tujuan atau mengatasi hambatan. Selain itu efikasi diri berfokus pada

kemampuan yang dimiliki individu dan apa yang diyakini individu itu sendir

mengenai apa yang mampu dilakukan dalam sebuah situasi atau keadaan yang

sebenarnya. Selanjutnya Baron dan Byrne (dalam Ghufron, 2011) mendefinisikan

self efficacy sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi

dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan dan mengatasi hambatan.

Efikasi diri menurut Santrock (dalam Julianda, 2012) sebagai keyakinan

individu terhadap kemampuan dirinya untuk menguasai situasi serta menghasilkan

sesuatu yang positif. Efikasi diri berfungsi untuk menciptakan perbedaan fase

sebelum tindakan dilakukan. Seseorang dengan efikasi yang tinggi akan

membayangkan skenario kesuksesan, mengantisipasi kemungkinan hasil yang

berbeda dari harapan dengan mengambil inisiatif untuk mencoba kembali.

24

Sedangkan seseorang dengan efikasi yang rendah, akan membayangkan yang gagal,

menyembunyikan keragu-raguan, dan cenderung menunda untuk bertindak.

Robbins (1998) menjelaskan bahwa self-efficacy merupakan kepercayaan

seseorang terhadap kemampuannya untuk dapat melaksanakan tugas dengan baik.

Semakin seseorang mempunyai self-efficacy yang tinggi, maka individu tersebut

semakin mempunyai kepercayaan diri yang tinggi terhadap kemampuannya untuk

dapat menyelesaikan tugas dengan baik begitu pula sebaliknya. Lebih lanjut, self

efficacy menurut Alwisol (dalam Adicondro dan Purnamasari., 2012) dapat

diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan melalui salah satu atau kombinasi

empat sumber, yakni pengalaman menguasai sesuatu prestasi (performance

accomplishment), pengalaman vikarius (vicarious experiences), persuasi sosial

(social persuation) dan pembangkit anemosi (emotional/physiological states).

Pengalaman performansi adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa yang telah

lalu. Pengalaman vikarius diperoleh melalui model sosial. Persuasi sosial adalah

rasa percaya kepada pemberi persuasi, dan sifat realistik dari apa yang

dipersuasikan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa self efficacy adalah

keyakinan seseorang akan kemampuan dirinya dalam mencapai tujuan yang

diinginkan serta menjadikan sebuah evaluasi diri terhadap kemampuannya atau

kompetensi dirinya untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan serta

mengatasi hambatan.

25

2. Aspek-Aspek Self-Efficacy

Self-efficacy yang dimiliki individu itu berbeda-beda, dapat dilihat

berdasarkan beberapa aspek yang mempunyai implikasi penting pada perilaku.

Menurut Bandura (1997) self-efficacy terdiri dari beberapa aspek, yaitu:

a. Level/magnitude

Aspek ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika individu merasa

mampu untuk melakukannya. Apabila individu dihadapkan pada tugas-

tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, maka self efficacy

individu mungkin akan terbatas pada tugas-tugas yang mudah, sedang atau

bahkan meliputi tugas-tugas yang sulit, sesuai dengan batas kemampuan

yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan pada

masing-masing tingkat. Aspek ini memiliki implikasi terhadap pemilihan

tingkah laku yang akan dicoba atau dihindari. Individu akan mencoba

tingkah laku yang dirasa mampu dilakukannya dan menghindari tingkah

laku yang berada di luar batas kemampuan yang dirasakannya.

b. Generality

Aspek ini berkaitan dengan luas bidang tingkah laku yang mana individu

merasa yakin akan kemampuannya. Individu dapat merasa yakin terhadap

kemampuan dirinya. Apakah terbatas pada suatu aktivitas dan situasi

tertentu atau pada serangkaian aktivitas dan situasi yang bervariasi.

c. Strength

Aspek yang berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau

pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengaharapan yang lemah

26

mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung.

Sebaliknya, pengharapan yang mantap mendorong individu tetap bertahan

dalam usahanya, meskipun ditemukan pengalaman yang kurang

menunjang. Aspek ini berkaitan langsung dengan aspek level, yaitu apabila

semakin tinggi taraf kesulitan tugas maka semakin lemah keyakinan yang

dirasakan untuk menyelesaikannya.

Menurut Feist dan Feist (dalam Julianda, 2012) self-efficacy terbagi menjadi

tiga aspek yaitu outcome expectancy, efficacy expectancy, dan outcome value.

Penjabaran dari aspek outcome expectancy, efficacy expectancy, dan outcome value

sebagai berikut;

a. Outcome expentancy

Outcome expentancy adalah harapan berupa pandang seseorang tentang suatu

hasil ingin didapatkan.

b. Efficacy expentancy

Efficacy expentancy adalah harapan individu mempu mengerjakan tugas untuk

bisa mencapai hasil maksimal.

c. Outcome value

Outcome value adalah kebermaknaan hasil yang telah diperoleh atas keyakinan

seseorang dengan kemampuannya saat melakukan sesuatu.

Berdasarkan uraian tentang aspek-aspek self-efficacy di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa aspek self-efficacy terdiri dari : level/magnitude, generality,

strength, outcome expentancy, efficacy expentancy, outcome value. dalam

penelitian ini, peneliti memilih aspek self-efficacy dari Bandura (1997) yaitu, :

27

level/magnitude, generality, strength alasan peneliti menggunakan aspek tersebut

karena teori yang diungkapkan oleh Bandura (1997) yang dirasa paling tepat dan

cocok untuk mengungkap self-efficacy pada karyawan di Purnama Putra Sehati dan

aspek dari Bandura (1997) juga akan digunakan sebagai landasan pembuatan alat

ukur.

C. Hubungan Antara Self-Efficacy dengan Work Engagement

Hubungan self-efficacy dengan work engagement sering diasumsikan

sebagai hubungan yang relatif baik. Namun seorang karyawan memiliki self-

efficacy yang rendah, akan mengakibatkan pengaruh yang besar terhadap pekerjaan

karyawan tersebut. Self-efficacy yang rendah dapat mengakibatkan individu

tersebut semakin mempunyai kepercayaan diri yang rendah terhadap

kemampuannya dalam menyelesaikan tugas dan dapat menurunkan bahkan tidak

akan ada keterikatan individu didalam pekerjaan yang digeluti. Hal tersebut senada

dengan penyataan (Bandura, 1997) self-efficacy sebagai keyakinan sesorang

terhadap kemampuan diri sendiri untuk dapat meningkatkan kinerja dan

menghasilkan suatu penyelesaian masalah yang dapat mempengaruhi kehidupan

individu, termasuk didalam lingkungan pekerjaan. Dengan efikasi diri yang rendah

pada karyawan akan memengaruhi rendahnya semangat, dedikasi dan penghayatan,

yang kemudian dapat mengakibatkan rendahnya work engagement. Dengan hal

tersebut jika efikasi diri pada karyawan itu rendah maka karyawan tidak akan

merasa engaged dengan pekerjaan yang digelutinya karena tidak percaya akan

kemampuan dalam menyelesaikan suatu tugas dengan baik. Hal tersebut senada

28

dengan pernyataan Robbins, (1998) yang mengatakan bahwa self-efficacy

merupakan kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya untuk melaksanakan

tugas dengan baik. Semakin seorang mempunyai self-efficacy yang tinggi, maka

individu tersebut semakin mempunyai kepercayaan yang tinggi terhadap

kemampuannya untuk dapat menyelesaikan tugas dengan baik dan semakin seorang

mempunyai self-eficacy yang rendah, maka individu tersebut semakin mempunyai

kepercayaan diri yang rendah terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan tugas.

Bandura (1997) menyatakan ada tiga aspek self-efficacy yang pertama

level/magnitude, kedua generality, dan yang ketiga strength. Bakker dan Demerouti

(2008) menegaskan bahwa personal resources berhubungan dengan work

engagement. Menurut (Demerouti, dkk., 2001) Sumber daya pribadi (personal

resources) selain tuntutan kerja dan sumber daya pekerjaan, work engagement juga

dapat dipengaruhi oleh personal resources yang merupakan aspek diri dan pada

umumnya dihubungkan dengan kegembiraan dan perasaan bahwa diri mampu

memanipulasi dampak pada lingkungan sesuai dengan keinginan serta

kamampuannya. Hal ini didukung oleh pernyataan Bakker dan Demerouti (2008)

menyatakan bahwa self-efficacy merupakan bagian dari sumber daya personal

(personal resources) yang menjadi salah satu yang mempengaruhi work

engagement. Schaufeli, dkk., (2002) menjelaskan dimensi dari work engagement

ada tiga yaitu, pertama Vigor, kedua Dedication,dan yang ketiga adalah Absorption

Berdasarkan aspek pertama dari self efficacy yaitu level, aspek level

merupakan tingkat kesulitan tugas yang harus diselesaikan seseorang dari tuntutan

sederhana, moderat sampai yang membutuhkan performasi maksimal (sulit) (dalam

29

Nurlaila, 2011), level berkaitan dengan kesulitan tugas di mana individu akan

memilih tugas berdasarkan tingkat kesulitannya (Bandura, 1997). Selanjutnya,

individu yang memiliki tingkat self efficacy tinggi akan mempunyai keyakinan yang

tinggi terhadap kemampuan yang dimiliki dalam mengerjakan tugas yaitu,

keyakinan bahwa dalam setiap pekerjaan yang dikerjakan akan sukses dan

sebaliknya, individu yang memiliki self efficacy yang rendah akan mempunyai

keyakinan yang rendah pula tentang usaha yang dilakukannya sehingga self efficacy

dapat ditunjukan dengan tingkat beban individu terhadap tantangan dengan tingkat

yang berbeda dalam rangka memajukan keberhasilan. Individu akan mencoba

tingkah laku yang dirasa mampu dilakukannya dan menghindari tingkah laku yang

dirasa di luar kemampuannya.

Seorang karyawan dengan aspek level yang tinggi, memiliki motivasi serta

optimis dalam menjalani pekerjaan, karyawan akan berusaha dalam bekerja dan

menyelesaikan pekerjaanya dengan maksimal (Mathiew dan Farr, 1991). Semakin

tinggi aspek level yang dimiliki seorang karyawan maka semakin tinggi work

engagement pada karyawan. Karyawan yang memiliki work engagement mampu

meminimalisir pekerjaan yang sulit dan akan memberikan performa yang maksimal

dalam peran pekerjaannya (Bakker & Leiter, 2010). Pekerjaan yang sulit dapat

berupa masalah yang berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas, karyawan yang

memiliki tingkat energi yang tinggi dan mental yang kuat akan berusaha secara

maksimal dalam menjalankan tugas dengan tingkatan tugas yang sulit (Schaufeli &

Bakker, 2004). Pekerja yang engaged akan berusaha dalam menghadapi hambatan,

kesulitan dan berusaha maksimal untuk bertahan pada pekerjaannya, serta mampu

30

melakukan hal-hal yang lebih dari pada yang diharapkan, hal tersebut mendorong

pekerja untuk sepenuhnya terlibat dengan pekerjaan (Bakker & Demerouti, 2007).

Individu yang memiliki self efficacy pada situasi tertentu, akan

mencurahkan semua usaha dan perhatiannya terhadap tuntuntan pekerjaan untuk

mencapai tujuan organisasi dan berusaha memberikan kinerja yang baik dengan

mengatasi tingkat kesulitan pekerjaaan yang dihadapi (Lee & Bobko dalam Engko,

2006). Namun, individu yang tidak mempunyai keyakinan yang kuat terhadap

kemampuan diri, lebih cenderung mudah menyerah terhadap tugas yang

dibebankan dan tidak melakukan suatu usaha dalam mengatasi kesulitan tersebut

(Bandura, 1997), individu mempunyai kepercayaan diri yang rendah terhadap

kemampuanya dalam menyelesaikan pekerjaan dan memilih mengindar dari tugas

pekerjaan (Robbins, 1998).

Karyawan yang kurang optimis dan motivasi dalam menghadapi tugas yang

sulit dapat menyebabkan penurunan hasil kerja dan berdampak buruk pada

organisasi (Makikangas & Kinnunen, 2003). Karyawan yang memiliki personal

resources yang rendah, cenderung tidak memiliki suatu usaha dalam mengatasi

segala hambatan yang meliputi tugas pekerjaan dan dapat memicu kelelahan kerja

serta stres kerja yang diakibatkan banyaknya tuntuntan pekerjaan yang dijalani

karyawan tersebut (Hobfoll, 2002).

Generality merupakan sejauh mana individu yakin akan kemampuannya

dalam melakukan situasi tugas yang bermacam-macam (Bandura, 1997).

Keyakinan terhadap kemampuan merupakan potensi yang ada pada setiap individu,

individu dalam hal ini dihadapkan pada suatu tugas pekerjaan memiliki

31

kepercayaan diri untuk mampu menyelesaikan suatu tugas pekerjaan dengan baik

dengan kapasitas yang dimiliki individu (Robbins, 1998). Setiap individu memiliki

perbedaan pada tingkat keyakinan diri terhadap kemampuan yang dimiliki sesuai

dengan perbedaan tugas-tugas yang dihadapi, semakin tinggi self efficacy yang

dimiliki individu maka semakin tinggi pula kemampuan yang dimiliki, sehingga

saat individu dihadapkan pada tugas yang bermacam-macam maka individu dapat

menyelesaikan tugas tersebut dengan baik.

Ketika karyawan memiliki keyakinan diri yang kuat, otomatis karyawan

tersebut akan memenuhi tugas dan tanggung jawab dengan maksimal walaupun

dalam tekanan kerja dan tugas-tugas pekerjaan yang kompleks (Xanthopoulou,

2007). Ketertarikan individu terhadap pekerjaannya membuat individu tersebut

mencurahkan seluruh kemampuan yang dimiliki dan berusaha untuk menyesuaikan

diri terhadap tugas yang kompleks, dan berusaha untuk meyakinkan diri bahwa

tugas itu akan selesai dengan baik (Hakanen, dkk., 2006). Namun, tuntutan

pekerjaan yang banyak, membuat karyawan mencurahkan energi yang berlebihan,

sehingga mengarah ke kelelahan dan ganguan kesehatan yang dapat memicu

terjadinya stres pada karyawan (Schaufeli & Bakker, 2004). Pekerjaan yang terlalu

banyak dan komplek akan membuat keryawan menjadi kelelahan dan motivasi pada

pekerjaan dapat menurun sehingga dapat menyebabkan penurunan kinerja (Bakker,

dkk., 2005).

Strenght berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kemantapan individu atas

kemampuannya (Bandura, 1997). Keyakinan individu yang memiliki penilaian kuat

lemahnya untuk menyelesaikan suatu tugas tertentu dengan kemampuan yang

32

dimiliki (Colquitt dalam Pertiwi, 2014). Keyakinan atau pengharapan yang lemah

mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung.

Sebaliknya, keyakinan atau pengharapan yang mantap mendorong individu tetap

bertahan dalam usahanya, meskipun ditemukan pengalaman yang kurang

menunjang. Semakin komplek dan sulit tugas maka semakin besar keraguan

terhadap kemampuannya.

Ketika karyawan memiliki keyakinan pada diri cenderung akan bekerja

dengan penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu pekerjaan serta terlibat penuh

dengan pekerjaannya sehingga karyawan menemukan kesulitan untuk memisahkan

diri dari pekerjaan (Schaufeli, dkk., 2002). Individu yang memiliki self efficacy

yang tinggi dan harapan hasil kerja yang sesuai cenderung akan bekerja keras dan

bertahan dalam mengerjakan tugas sampai selesai (Alwisol dalam Suseno, 2017).

Namun sebaliknya, apabila karyawan memiliki keyakinan diri yang rendah

terhadap kemampuannya maka karyawan tersebut cenderung menghindar dari

tugas dan tidak melibatkan diri dengan pekerjaan (Schaufeli & Bakker, 2004).

Rendahnya keterikatan kerja pada karyawan ditandai dengan perilaku

memboroskan waktu kerja untuk kegiatan yang tidak berhubungan dengan

pencapaian sasaran kerja organisasi yang berdampak pada penurunan pencapaian

kinerja (Wedhalaksmi, 2013).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ayu, dkk., (2015) yang meneliti

tentang personal resources terhadap work engagement yang, menunjukan bahwa

personal resources berpengaruh positif terhadap work engagement pada karyawan

sehingga dapat mendorong meningkatkan work engagement di perusahaan.

33

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan Indrianti dan Hedi (2012) yang meneliti

tentang hubungan antara model psikologi dengan keterikatan kerja pada karyawan

yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara model

psikologis dengan keterikatan kerja karyawan. Lebih lanjut, penelitian yang

dilakukan Hayuningtyas dan Helmi (2015) menunjukan bahwa self efficacy

memiliki korelasi yang signifikan dengan work engagement pada karyawan.

Menurut Bakker (2011) meneliti tentang personal resources dengan work

engagement dengan hasilnya yang menunjukan bahwa personal resources

memberikan dampak yang positif dan dapat meningkatkan work engagement pada

karyawan. Demikian dapat disimpulkan bahwa self-efficacy pada karyawan akan

berdampak positif maupun negatif terhadap work engagement pada perusahaan

Purnama Putra Sehati bila perusahaan meningkatkan efikasi diri pada masing-

masing karyawan maka akan rasa keterikatan dalam bekerja akan meningkat dan

sebaliknya apabila efikasi diri pada karyawan itu rendah maka rasa keterikatan

dalam bekerja akan menurun.

34

D. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka hipotesis yang diajukan untuk

diuji dalam penelitian ini adalah: ada hubungan yang positif antara self-efficacy

dengan work engagement. Semakin tinggi self-efficacy maka semakin tinggi work

engagement pada karyawan CV Purnama Putra Sehati, sebaliknya semakin rendah

self efficacy maka semakin rendah work engagement pada karyawan CV Purnama

Putra Sehati.