BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2128/3/BAB II.pdf · work engagement memiliki...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2128/3/BAB II.pdf · work engagement memiliki...
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Work Engangement
1. Pengertian Work Engagement
Work engagement merupakan isu terkini dalam pengelolaan sumber daya
manusia (SDM). Menurut Bakker (2011) keterikatan kerja (work engagement)
pertama kali dicetuskan oleh William Khan pada tahun 1990. Work engagement
merupakan gambaran yang memanfaatkan anggota organisasi, seseorang yang
sepenuhnya secara fisik, kognitif, dan emosi terhubung dengan pekerjaannya. Work
engagement dalam pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang
melaksanakan peran kerjanya, bekerja dan mengekspresikan dirinya secara fisik,
kognitif dan emosional selama bekerja. Work engagement yang demikian itu sangat
diperlukan untuk mendorong timbulnya semangat kerja karyawan (Khan, 1990)
Menurut Bakker (2011) work engagement adalah karyawan yang terlibat
dalam pekerjaan, yang sepenuhnya terhubung dengan peran pekerjaan dan
tanggung jawab yang di tugaskan pada karyawan tersebut. Karyawan penuh dengan
energi yang di dedikasikan untuk pekerjaan perusahaan, sehingga dalam bekerja
karyawan pun tenggelam dalam aktifitas untuk menyelesaikan tugas perusahaan
tersebut. Bakker, dkk. (2012) mendefinisikan work engagement sebagai suatu hal
yang positif untuk memenuhi kebutuhan di tempat kerja yang berhubungan dengan
pemikiran para pekerja yang ditandai dengan semangat,
15
dedikasi, serta penyerapan pada pekerjaan yang dijalani. Dalam hal ini vigor
ditandai oleh tingginya tingkat energi dan ketahanan mental saat karyawan bekerja,
berdedikasi yang ditandai dengan terlibat penuh dalam pekerjaan dan mengalami
perasaan penting dan antusiasme, penyerapan yang ditandai dengan sepenuhnya
konsentrasi karyawan pada pekerjaan dengan senang hati bekerja sehingga terasa
asyik dalam pekerjaan yang dijalani karyawan.
Schaufeli dan Bekker (2004) sebagai peneliti yang meneruskan
perkembangan teori mengenai work engagement yang mengungkapkan bahwa
work engagement memiliki hubungan terhadap pekerjaan yang aktif dan positif
yang ditandai dengan semangat, dedikasi, dan penyerapan. Semangat mengacuh
pada tingkat energi yang tinggi dan resiliensi mental pada saat bekerja, sedangkan
dedikasi mengacuh pada ketahanan dalam bekerja meliputi sikap antusias dan
menyukai tantangan. Kemudian penyerapan ditandai dengan sepenuhnya
berkonsentrasi, bangga, dan bahagia dalam bekerja, seperti waktu yang berlalu
dengan cepat.
Bakker & Leiter (2010) mendefinisikan work engagement sebagai sikap
positif dan memuaskan pada individu dalam kondisi afektif-motivasi dari pekerjaan
berhubungan dengan kesejahteraan yang dapat dilihat sebagai kebalikan dari
kelelahan bekerja. Selanjutnya, Institute of Employee Studies (dalam Endres &
Mancheno-Smoak, 2008) mendefinisikan work engagement sebagai suatu sikap
yang positif dari karyawan terhadap sikap organisasi di kerja. Karyawan atau
pegawai yang terpacu akan peduli terhadap bisnis organisasi dan bekerja dengan
tim untuk meningkatkan performa organisasi. Work engagement lebih dari pada
16
keadaan sesaat dan spesifik, mengacu ke keadaan yang begerak tetap meliputi aspek
kognitif dan afektif yang tidak fokus pada objek, peristiwa, individu atau perilaku
tertentu (Schaufeli, dkk. 2002).
Secara lebih spesifik menurut Schaufeli, dkk. (2002) mendefinisikan work
engagement sebagai positifitas, pemenuhan kerja dari pusat pikiran yang
dikarakteristikan. Lebih lanjut, work engagement sebuah motivasi dan pusat
pemikiran positif yang berhubugan dengan pekerjaan yang dicirikan sebagai vigor
yang merupakan energi individu didalam pekerjaannya, dedikasi yang merupakan
kebermaknaan individu dalam pekerjaan serta individual yang penuh konsen dalam
pekerjaan sehingga tidak mudah dalam melepaskan pekerjaannya didalam
keseharian yang dicerminkan melalui absorption.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa work engagement
diartikan sebagai perilaku karyawan dalam bekerja dengan mengekspresikan
dirinya secara total baik secara fisik, kognitif, afektif dan emosional pada karyawan
untuk menemukan arti dalam bekerja serta kebanggaan telah menjadi bagian dari
perusahaan dan bekerja untuk mencapai visi dan misi keseluruhan sebuah
perusahaan dengan begitu karyawan akan bekerja ekstra dan mengupayakan
sesuatu untuk pekerjaan di atas apa yang diharapkan baik dalam waktu dan energi
yang dikeluarkan oleh karyawan tersebut.
2. Aspek-Aspek Work Engagement
Schaufeli, dkk. (2002) work engagement merupakan hal positif, yang terkait
dengan keadaan pikiran yang ditandai dengan semangat, dedikasi dan absorsi,
17
kemudian dijabarkan lebih lanjut mengenai dimensi yang terdapat dalam work
engagement, yaitu:
a. Vigor
Merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja,
keberanian untuk berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu
pekerjaan dan tekun dalam menghadapi kesulitan kerja, Juga kemauan
untuk menginventasikan segala upaya dalam suatu pekerjaan, dan tetap
bertahan meskipun menghadapi kesulitan. Biasanya orang-orang yang
memiliki skor vigor yang tinggi memiliki energi, gelora semangat, dan
stamina yang tinggi ketika bekerja, sementara yang memiliki skor yang
rendah pada vigor memiliki energi, semangat dan stamina yang rendah
selama bekerja.
b. Dedication
Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa
kebermaknaan, antusias, kebanggaan, inspirasi dan tantangan. Kewajiban
yang mengharuskan untuk tidak menguntungkan diri sendiri, baik secara
langsung maupun tidak langsung dan berkaitan dengan kepentingan pihak
ketiga. Orang orang yang memiliki skor dedication yang tinggi secara kuat
mengidentifikasi diri dengan pekerjaan karena menjadikannya pengalaman
berharga, menginspirasi dan menantang. Di samping itu, karyawan biasanya
merasa antusias dan bangga terhadap pekerjaan. Sedangkan skor rendah
pada dedication berarti karyawan mengidentifikasi diri dengan pekerjaan
karena tidak memiliki pengalaman bermakna, menginspirasi atau
18
menantang, terlebih lagi merasa tidak antusias dan bangga terhadap
pekerjaan.
c. Absorption
Karyawan dalam bekerja selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu
pekerjaan. Dalam bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan
kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan. Orang-orang yang
memiliki skor tinggi pada absorption biasanya merasa senang perhatiannya
tersita oleh pekerjaan, merasa tenggelam dalam pekerjaan dan memiliki
kesulitan untuk memisahkan diri dari pekerjaan. Akibatnya, apapun di
sekelilingnya terlupakan dan waktu terasa berlalu cepat. Sebaliknya orang
dengan skor absorption yang rendah tidak tertarik dan tidak tenggelam
dalam pekerjaan, tidak memiliki kesulitan untuk berpisah dari pekerjaan dan
tidak lupa segala sesuatu di lingkungannya, termasuk waktu.
Menurut Macey dan Schneider (2008) work engagement mencakup 2
dimensi penting, yaitu:
a. Work engagement sebagai energi psikis. Di mana pekerjaan merasakan
pengalaman puncak (peak experience) dengan berada di dalam pekerjaan
dan arus yang terdapat di dalam pekerjaan tersebut. Work Engagement
merupakaan keterlibatan fisik dari pemenuhan diri dalam pekerjaan
(immersion), perjuanagan dalam pekerjaan (striving), penyerapan
(absorption), fokus (focus) dan juga keterlibatan (involvement).
b. Work engagement sebagai energi tingkah laku: bagaimana work
engagement terlihat oleh orang lain. Work engagement terlihat oleh orang
19
lain dalam bentuk tingkah laku yang berupa hasil. Tingkah laku yang terlihat
dalam pekerjaan berupa:
1) Pekerja akan berfikir dan bekerja secara proaktif, akan mengantisipasi
kesempatan untuk mengambil tindakan dengan cara yang sesuai dengan
tujuan organisasi.
2) Pekerja yang terikat tidak terpaku pada “job description”, karyawan
fokus pada tujuan dan mencoba mencapai secara konsisten mengenai
kesuksesan organisasi.
3) Pekerja secara aktif mencari jalan untuk dapat memperluas kemampuan
yang dimiliki dengan jalan yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan.
4) Pekerja pantang menyerah walau dihadapkan dengan rintangan atau
situasi yang membingungkan.
Berdasarkan uraian tentang dimensi work engagement di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa work engagement terdiri dari vigor, dedication, absorption.
Work engagement sebagai energi psikis, dan work engagemen sebagai energi
tingkah laku. Dalam penelitian ini, peneliti memilih dimensi work engagement dari
teori Schaufeli, dkk. (2002) yaitu dimensi vigor, dedication, dan absorption. Alasan
peneliti menggunakan dimensi tersebut karena teori yang diungkapkan tersebut
dirasa paling tepat dan cocok untuk mengungkap work engagement pada karyawan
Purnama Putra Sehati dan juga akan digunakan sebagai landasan dalam pembuatan
alat ukur.
20
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work Engagement
Faktor yang mempengaruhi work engagement menurut Bekker dan
Demerouti (2008), antara lain:
a. Job Demands (Tuntutan Kerja). Tuntutan kerja merupakan aspek-aspek
fisik, sosial, maupun organisasi dari pekerjaan yang membutuhkan usaha
terus-menerus baik secara fisik maupun psikologis demi mencapai atau
mempertahankannya. Tuntutan kerja meliputi empat faktor, yaitu: beban
kerja yang berlebihan (work overload), tuntutan emosi (emotional
demands), ketidaksesuaian emosi (emotional dissonance), dan perubahan
terkait organisasi (organizational changes).
b. Job Resources (Sumber Daya Pekerjaan). Work engagement juga dapat
dipengaruhi oleh sumber daya pekerjaan, yaitu aspek-aspek fisik, sosial,
maupun organisasi yang berfungsi sebagai media untuk mencapai tujuan
pekerjaan, mengurangi tuntutan pekerjaan dan harga, baik secara fisiologis
maupun psikologis yang harus dikeluarkan, serta menstimulasi
pertumbuhan dan perkembangan personal individu. Sumber daya pekerjaan
meliputi empat faktor yaitu: otonomi (autonomy), dukungan sosial (social
support), bimbingan dari atasan (supervisory coaching), dan kesempatan
untuk berkembang secara profesional (opportunities for professional
development).
c. Personal Resources (Sumber Daya Pribadi). Sumber daya pribadi
merupakan aspek diri yang pada umumnya dihubungkan dengan
kegembiraan dan perasaan bahwa diri mampu memanipulasi, mengontrol
21
dan memberikan dampak pada lingkungan sesuai dengan keinginan dan
kemampuannya. Beberapa tipikal sumber daya pribadi yaitu: Self-efficacy
(keyakinan diri) merupakan persepsi individu terhadap kemampuan dirinya
untuk melaksanakan dan menyelesaikan suatu tugas atau tuntutan dalam
berbagai konteks. Organizational-based self-esteem didefinisikan sebagai
tingkat keyakinan anggota organisasi bahwa karyawan dapat memuaskan
kebutuhan dengan berpartisipasi dan mengambil peran atau tugas dalam
suatu organisasi. Optimism (optimisme) terkait dengan bagaimana
seseorang meyakini bahwa dirinya mempunyai potensi untuk berhasil dan
sukses dalam hidupnya.
d. Personality (Kepribadian). Kepribadian berhubungan erat dengan work
engagement yang juga dapat di karakteristikkan dengan watak,
menggunakan dimensi aktivasi dan kesenangan sebagai suatu kerangka
kerja.
Bakker (2011) mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi work
engagement adalah :
a. Job demands atau tuntutan pekerjaan adalah sebuah tekanan kerja yang
tinggi, tuntutan emosional, dan ambiguitas peran yang dapat menyebabkan
masalah tidur, kelelahan dan gangguan kesehatan. Sedangkan
b. job recources seperti dukungan sosial, umpan balik kinerja, dan otonomi
dapat memicu proses motivasi yang mengarah ke pekerjaan yang
berhubungan dengan pembelajaran, work engagement dan komitmen
organisasi.
22
c. Personal resources merupakan evaluasi diri positif yang terkait dengan
ketahanan mental individu serta mengacu pula pada perasaan individu
terhadap kemampuan dirinya untuk berhasil dalam mengontrol dan
mempengaruhi lingkungannya.
Berdasarkan dari uraian faktor-faktor yang mempengaruhi work
engagement di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor work engagement
adalah job demands (work overload, emotional demands, emotional dissonarce,
organizational changes), job resources (autonomi, social support, supervisory
coaching, opportunities for development), personal resources (self-efficacy,
organizational-based self-esteem, optimism), personality, job demands, job
resources, personal resources. Peneliti memilih menggunakan faktor-faktor yang
mempengaruhi work engagement dari Bakker dan Demerouti yaitu, job demands
(work overload, emotional demands, emotional dissonarce, organizational
changes), job resources (autonomi, social support, supervisory coaching,
opportunities for development), personal resources (self-efficacy, organizational-
based self-esteem, optimism), personality. Self-efficacy merupakan bagian dari
personal resources dan salah satu faktor yang mempengaruhi work engagement.
Hal ini dapat dibuktikan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Libano, dkk. (2012) menemukan bahwa self-efficacy berpengaruh positif terhadap
work engagement. Self-efficacy dapat membuat seseorang lebih berusaha dalam
aktifitasnya dan gigih sehingga memungkinkan seseorang lebih terlibat dalam
pekerjaannya. Selanjutnya penelitian dilakukan oleh Xanthopoulou, dkk. (2009)
menunjukan bahwa self efficacy memiliki hubungan yang positif terhadap work
23
engagement. Hal ini sesuai dengan pendapat Hobfoll (2002) bahwa self efficacy
cenderung meningkatkan keyakinan akan kemampuan yang dimiliki karyawan
terhadap suatu tugas yang di terima dan dapat menyelesaikan tugas tersebut dengan
baik.
B. Self Efficacy
1. Pengertian Self-Efficacy
Self-efficacy diperkenalkan pertama kali oleh Bandura yang menyajikan
satu aspek dari teori kognitif sosial. Bandura (1997) Self-efficacy adalah sebagai
evaluasi seseorang terhadap kemampuan atau kompetensi untuk melakukan tugas,
mencapai tujuan atau mengatasi hambatan. Selain itu efikasi diri berfokus pada
kemampuan yang dimiliki individu dan apa yang diyakini individu itu sendir
mengenai apa yang mampu dilakukan dalam sebuah situasi atau keadaan yang
sebenarnya. Selanjutnya Baron dan Byrne (dalam Ghufron, 2011) mendefinisikan
self efficacy sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi
dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan dan mengatasi hambatan.
Efikasi diri menurut Santrock (dalam Julianda, 2012) sebagai keyakinan
individu terhadap kemampuan dirinya untuk menguasai situasi serta menghasilkan
sesuatu yang positif. Efikasi diri berfungsi untuk menciptakan perbedaan fase
sebelum tindakan dilakukan. Seseorang dengan efikasi yang tinggi akan
membayangkan skenario kesuksesan, mengantisipasi kemungkinan hasil yang
berbeda dari harapan dengan mengambil inisiatif untuk mencoba kembali.
24
Sedangkan seseorang dengan efikasi yang rendah, akan membayangkan yang gagal,
menyembunyikan keragu-raguan, dan cenderung menunda untuk bertindak.
Robbins (1998) menjelaskan bahwa self-efficacy merupakan kepercayaan
seseorang terhadap kemampuannya untuk dapat melaksanakan tugas dengan baik.
Semakin seseorang mempunyai self-efficacy yang tinggi, maka individu tersebut
semakin mempunyai kepercayaan diri yang tinggi terhadap kemampuannya untuk
dapat menyelesaikan tugas dengan baik begitu pula sebaliknya. Lebih lanjut, self
efficacy menurut Alwisol (dalam Adicondro dan Purnamasari., 2012) dapat
diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan melalui salah satu atau kombinasi
empat sumber, yakni pengalaman menguasai sesuatu prestasi (performance
accomplishment), pengalaman vikarius (vicarious experiences), persuasi sosial
(social persuation) dan pembangkit anemosi (emotional/physiological states).
Pengalaman performansi adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa yang telah
lalu. Pengalaman vikarius diperoleh melalui model sosial. Persuasi sosial adalah
rasa percaya kepada pemberi persuasi, dan sifat realistik dari apa yang
dipersuasikan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa self efficacy adalah
keyakinan seseorang akan kemampuan dirinya dalam mencapai tujuan yang
diinginkan serta menjadikan sebuah evaluasi diri terhadap kemampuannya atau
kompetensi dirinya untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan serta
mengatasi hambatan.
25
2. Aspek-Aspek Self-Efficacy
Self-efficacy yang dimiliki individu itu berbeda-beda, dapat dilihat
berdasarkan beberapa aspek yang mempunyai implikasi penting pada perilaku.
Menurut Bandura (1997) self-efficacy terdiri dari beberapa aspek, yaitu:
a. Level/magnitude
Aspek ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika individu merasa
mampu untuk melakukannya. Apabila individu dihadapkan pada tugas-
tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, maka self efficacy
individu mungkin akan terbatas pada tugas-tugas yang mudah, sedang atau
bahkan meliputi tugas-tugas yang sulit, sesuai dengan batas kemampuan
yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan pada
masing-masing tingkat. Aspek ini memiliki implikasi terhadap pemilihan
tingkah laku yang akan dicoba atau dihindari. Individu akan mencoba
tingkah laku yang dirasa mampu dilakukannya dan menghindari tingkah
laku yang berada di luar batas kemampuan yang dirasakannya.
b. Generality
Aspek ini berkaitan dengan luas bidang tingkah laku yang mana individu
merasa yakin akan kemampuannya. Individu dapat merasa yakin terhadap
kemampuan dirinya. Apakah terbatas pada suatu aktivitas dan situasi
tertentu atau pada serangkaian aktivitas dan situasi yang bervariasi.
c. Strength
Aspek yang berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau
pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengaharapan yang lemah
26
mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung.
Sebaliknya, pengharapan yang mantap mendorong individu tetap bertahan
dalam usahanya, meskipun ditemukan pengalaman yang kurang
menunjang. Aspek ini berkaitan langsung dengan aspek level, yaitu apabila
semakin tinggi taraf kesulitan tugas maka semakin lemah keyakinan yang
dirasakan untuk menyelesaikannya.
Menurut Feist dan Feist (dalam Julianda, 2012) self-efficacy terbagi menjadi
tiga aspek yaitu outcome expectancy, efficacy expectancy, dan outcome value.
Penjabaran dari aspek outcome expectancy, efficacy expectancy, dan outcome value
sebagai berikut;
a. Outcome expentancy
Outcome expentancy adalah harapan berupa pandang seseorang tentang suatu
hasil ingin didapatkan.
b. Efficacy expentancy
Efficacy expentancy adalah harapan individu mempu mengerjakan tugas untuk
bisa mencapai hasil maksimal.
c. Outcome value
Outcome value adalah kebermaknaan hasil yang telah diperoleh atas keyakinan
seseorang dengan kemampuannya saat melakukan sesuatu.
Berdasarkan uraian tentang aspek-aspek self-efficacy di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa aspek self-efficacy terdiri dari : level/magnitude, generality,
strength, outcome expentancy, efficacy expentancy, outcome value. dalam
penelitian ini, peneliti memilih aspek self-efficacy dari Bandura (1997) yaitu, :
27
level/magnitude, generality, strength alasan peneliti menggunakan aspek tersebut
karena teori yang diungkapkan oleh Bandura (1997) yang dirasa paling tepat dan
cocok untuk mengungkap self-efficacy pada karyawan di Purnama Putra Sehati dan
aspek dari Bandura (1997) juga akan digunakan sebagai landasan pembuatan alat
ukur.
C. Hubungan Antara Self-Efficacy dengan Work Engagement
Hubungan self-efficacy dengan work engagement sering diasumsikan
sebagai hubungan yang relatif baik. Namun seorang karyawan memiliki self-
efficacy yang rendah, akan mengakibatkan pengaruh yang besar terhadap pekerjaan
karyawan tersebut. Self-efficacy yang rendah dapat mengakibatkan individu
tersebut semakin mempunyai kepercayaan diri yang rendah terhadap
kemampuannya dalam menyelesaikan tugas dan dapat menurunkan bahkan tidak
akan ada keterikatan individu didalam pekerjaan yang digeluti. Hal tersebut senada
dengan penyataan (Bandura, 1997) self-efficacy sebagai keyakinan sesorang
terhadap kemampuan diri sendiri untuk dapat meningkatkan kinerja dan
menghasilkan suatu penyelesaian masalah yang dapat mempengaruhi kehidupan
individu, termasuk didalam lingkungan pekerjaan. Dengan efikasi diri yang rendah
pada karyawan akan memengaruhi rendahnya semangat, dedikasi dan penghayatan,
yang kemudian dapat mengakibatkan rendahnya work engagement. Dengan hal
tersebut jika efikasi diri pada karyawan itu rendah maka karyawan tidak akan
merasa engaged dengan pekerjaan yang digelutinya karena tidak percaya akan
kemampuan dalam menyelesaikan suatu tugas dengan baik. Hal tersebut senada
28
dengan pernyataan Robbins, (1998) yang mengatakan bahwa self-efficacy
merupakan kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya untuk melaksanakan
tugas dengan baik. Semakin seorang mempunyai self-efficacy yang tinggi, maka
individu tersebut semakin mempunyai kepercayaan yang tinggi terhadap
kemampuannya untuk dapat menyelesaikan tugas dengan baik dan semakin seorang
mempunyai self-eficacy yang rendah, maka individu tersebut semakin mempunyai
kepercayaan diri yang rendah terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan tugas.
Bandura (1997) menyatakan ada tiga aspek self-efficacy yang pertama
level/magnitude, kedua generality, dan yang ketiga strength. Bakker dan Demerouti
(2008) menegaskan bahwa personal resources berhubungan dengan work
engagement. Menurut (Demerouti, dkk., 2001) Sumber daya pribadi (personal
resources) selain tuntutan kerja dan sumber daya pekerjaan, work engagement juga
dapat dipengaruhi oleh personal resources yang merupakan aspek diri dan pada
umumnya dihubungkan dengan kegembiraan dan perasaan bahwa diri mampu
memanipulasi dampak pada lingkungan sesuai dengan keinginan serta
kamampuannya. Hal ini didukung oleh pernyataan Bakker dan Demerouti (2008)
menyatakan bahwa self-efficacy merupakan bagian dari sumber daya personal
(personal resources) yang menjadi salah satu yang mempengaruhi work
engagement. Schaufeli, dkk., (2002) menjelaskan dimensi dari work engagement
ada tiga yaitu, pertama Vigor, kedua Dedication,dan yang ketiga adalah Absorption
Berdasarkan aspek pertama dari self efficacy yaitu level, aspek level
merupakan tingkat kesulitan tugas yang harus diselesaikan seseorang dari tuntutan
sederhana, moderat sampai yang membutuhkan performasi maksimal (sulit) (dalam
29
Nurlaila, 2011), level berkaitan dengan kesulitan tugas di mana individu akan
memilih tugas berdasarkan tingkat kesulitannya (Bandura, 1997). Selanjutnya,
individu yang memiliki tingkat self efficacy tinggi akan mempunyai keyakinan yang
tinggi terhadap kemampuan yang dimiliki dalam mengerjakan tugas yaitu,
keyakinan bahwa dalam setiap pekerjaan yang dikerjakan akan sukses dan
sebaliknya, individu yang memiliki self efficacy yang rendah akan mempunyai
keyakinan yang rendah pula tentang usaha yang dilakukannya sehingga self efficacy
dapat ditunjukan dengan tingkat beban individu terhadap tantangan dengan tingkat
yang berbeda dalam rangka memajukan keberhasilan. Individu akan mencoba
tingkah laku yang dirasa mampu dilakukannya dan menghindari tingkah laku yang
dirasa di luar kemampuannya.
Seorang karyawan dengan aspek level yang tinggi, memiliki motivasi serta
optimis dalam menjalani pekerjaan, karyawan akan berusaha dalam bekerja dan
menyelesaikan pekerjaanya dengan maksimal (Mathiew dan Farr, 1991). Semakin
tinggi aspek level yang dimiliki seorang karyawan maka semakin tinggi work
engagement pada karyawan. Karyawan yang memiliki work engagement mampu
meminimalisir pekerjaan yang sulit dan akan memberikan performa yang maksimal
dalam peran pekerjaannya (Bakker & Leiter, 2010). Pekerjaan yang sulit dapat
berupa masalah yang berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas, karyawan yang
memiliki tingkat energi yang tinggi dan mental yang kuat akan berusaha secara
maksimal dalam menjalankan tugas dengan tingkatan tugas yang sulit (Schaufeli &
Bakker, 2004). Pekerja yang engaged akan berusaha dalam menghadapi hambatan,
kesulitan dan berusaha maksimal untuk bertahan pada pekerjaannya, serta mampu
30
melakukan hal-hal yang lebih dari pada yang diharapkan, hal tersebut mendorong
pekerja untuk sepenuhnya terlibat dengan pekerjaan (Bakker & Demerouti, 2007).
Individu yang memiliki self efficacy pada situasi tertentu, akan
mencurahkan semua usaha dan perhatiannya terhadap tuntuntan pekerjaan untuk
mencapai tujuan organisasi dan berusaha memberikan kinerja yang baik dengan
mengatasi tingkat kesulitan pekerjaaan yang dihadapi (Lee & Bobko dalam Engko,
2006). Namun, individu yang tidak mempunyai keyakinan yang kuat terhadap
kemampuan diri, lebih cenderung mudah menyerah terhadap tugas yang
dibebankan dan tidak melakukan suatu usaha dalam mengatasi kesulitan tersebut
(Bandura, 1997), individu mempunyai kepercayaan diri yang rendah terhadap
kemampuanya dalam menyelesaikan pekerjaan dan memilih mengindar dari tugas
pekerjaan (Robbins, 1998).
Karyawan yang kurang optimis dan motivasi dalam menghadapi tugas yang
sulit dapat menyebabkan penurunan hasil kerja dan berdampak buruk pada
organisasi (Makikangas & Kinnunen, 2003). Karyawan yang memiliki personal
resources yang rendah, cenderung tidak memiliki suatu usaha dalam mengatasi
segala hambatan yang meliputi tugas pekerjaan dan dapat memicu kelelahan kerja
serta stres kerja yang diakibatkan banyaknya tuntuntan pekerjaan yang dijalani
karyawan tersebut (Hobfoll, 2002).
Generality merupakan sejauh mana individu yakin akan kemampuannya
dalam melakukan situasi tugas yang bermacam-macam (Bandura, 1997).
Keyakinan terhadap kemampuan merupakan potensi yang ada pada setiap individu,
individu dalam hal ini dihadapkan pada suatu tugas pekerjaan memiliki
31
kepercayaan diri untuk mampu menyelesaikan suatu tugas pekerjaan dengan baik
dengan kapasitas yang dimiliki individu (Robbins, 1998). Setiap individu memiliki
perbedaan pada tingkat keyakinan diri terhadap kemampuan yang dimiliki sesuai
dengan perbedaan tugas-tugas yang dihadapi, semakin tinggi self efficacy yang
dimiliki individu maka semakin tinggi pula kemampuan yang dimiliki, sehingga
saat individu dihadapkan pada tugas yang bermacam-macam maka individu dapat
menyelesaikan tugas tersebut dengan baik.
Ketika karyawan memiliki keyakinan diri yang kuat, otomatis karyawan
tersebut akan memenuhi tugas dan tanggung jawab dengan maksimal walaupun
dalam tekanan kerja dan tugas-tugas pekerjaan yang kompleks (Xanthopoulou,
2007). Ketertarikan individu terhadap pekerjaannya membuat individu tersebut
mencurahkan seluruh kemampuan yang dimiliki dan berusaha untuk menyesuaikan
diri terhadap tugas yang kompleks, dan berusaha untuk meyakinkan diri bahwa
tugas itu akan selesai dengan baik (Hakanen, dkk., 2006). Namun, tuntutan
pekerjaan yang banyak, membuat karyawan mencurahkan energi yang berlebihan,
sehingga mengarah ke kelelahan dan ganguan kesehatan yang dapat memicu
terjadinya stres pada karyawan (Schaufeli & Bakker, 2004). Pekerjaan yang terlalu
banyak dan komplek akan membuat keryawan menjadi kelelahan dan motivasi pada
pekerjaan dapat menurun sehingga dapat menyebabkan penurunan kinerja (Bakker,
dkk., 2005).
Strenght berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kemantapan individu atas
kemampuannya (Bandura, 1997). Keyakinan individu yang memiliki penilaian kuat
lemahnya untuk menyelesaikan suatu tugas tertentu dengan kemampuan yang
32
dimiliki (Colquitt dalam Pertiwi, 2014). Keyakinan atau pengharapan yang lemah
mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung.
Sebaliknya, keyakinan atau pengharapan yang mantap mendorong individu tetap
bertahan dalam usahanya, meskipun ditemukan pengalaman yang kurang
menunjang. Semakin komplek dan sulit tugas maka semakin besar keraguan
terhadap kemampuannya.
Ketika karyawan memiliki keyakinan pada diri cenderung akan bekerja
dengan penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu pekerjaan serta terlibat penuh
dengan pekerjaannya sehingga karyawan menemukan kesulitan untuk memisahkan
diri dari pekerjaan (Schaufeli, dkk., 2002). Individu yang memiliki self efficacy
yang tinggi dan harapan hasil kerja yang sesuai cenderung akan bekerja keras dan
bertahan dalam mengerjakan tugas sampai selesai (Alwisol dalam Suseno, 2017).
Namun sebaliknya, apabila karyawan memiliki keyakinan diri yang rendah
terhadap kemampuannya maka karyawan tersebut cenderung menghindar dari
tugas dan tidak melibatkan diri dengan pekerjaan (Schaufeli & Bakker, 2004).
Rendahnya keterikatan kerja pada karyawan ditandai dengan perilaku
memboroskan waktu kerja untuk kegiatan yang tidak berhubungan dengan
pencapaian sasaran kerja organisasi yang berdampak pada penurunan pencapaian
kinerja (Wedhalaksmi, 2013).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ayu, dkk., (2015) yang meneliti
tentang personal resources terhadap work engagement yang, menunjukan bahwa
personal resources berpengaruh positif terhadap work engagement pada karyawan
sehingga dapat mendorong meningkatkan work engagement di perusahaan.
33
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan Indrianti dan Hedi (2012) yang meneliti
tentang hubungan antara model psikologi dengan keterikatan kerja pada karyawan
yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara model
psikologis dengan keterikatan kerja karyawan. Lebih lanjut, penelitian yang
dilakukan Hayuningtyas dan Helmi (2015) menunjukan bahwa self efficacy
memiliki korelasi yang signifikan dengan work engagement pada karyawan.
Menurut Bakker (2011) meneliti tentang personal resources dengan work
engagement dengan hasilnya yang menunjukan bahwa personal resources
memberikan dampak yang positif dan dapat meningkatkan work engagement pada
karyawan. Demikian dapat disimpulkan bahwa self-efficacy pada karyawan akan
berdampak positif maupun negatif terhadap work engagement pada perusahaan
Purnama Putra Sehati bila perusahaan meningkatkan efikasi diri pada masing-
masing karyawan maka akan rasa keterikatan dalam bekerja akan meningkat dan
sebaliknya apabila efikasi diri pada karyawan itu rendah maka rasa keterikatan
dalam bekerja akan menurun.
34
D. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka hipotesis yang diajukan untuk
diuji dalam penelitian ini adalah: ada hubungan yang positif antara self-efficacy
dengan work engagement. Semakin tinggi self-efficacy maka semakin tinggi work
engagement pada karyawan CV Purnama Putra Sehati, sebaliknya semakin rendah
self efficacy maka semakin rendah work engagement pada karyawan CV Purnama
Putra Sehati.