BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Patriarkhi -...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Patriarkhi -...
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Patriarkhi
Patriarkhi berasal dari bahasa Yunani, pater yang artinya bapak dan arche yang
artinya kekuasaan. Ebert mendefinisikan patriarkhi sebagai organisasi dan divisi dari
semua praktek dalam pengertian dalam hal gender yang mengistimewakan salah satu
jenis kelamin atas yang lain dengan kontrol laki-laki atas perempuan dalam hal
seksualitas, kesuburan dan tenaga kerja.1 Lebih jauh mengenai patriarkhi akan dibahas
dalam pandangan antropologi, sosiologi dan teologis. Teologis dibatasi dari dalam
Alkitab.
2.1.1. Patriarkhi dari Sudut Pandang Antropologi dan Sosiologi
Kehidupan sosial suatu masyarakat yang menarik tidak dapat diabaikan begitu
saja sehingga kehidupan itu diamati dan dijelaskan dalam ilmu antropologi dan sosiologi.
Sikap yang umum mengenai hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat dapat dijelaskan oleh ilmu sosiologi yang fokusnya pada manusia dalam
hubungan bermasyarakat. Status perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial
dijelaskan oleh ilmu antropologi yang fokusnya pada manusia yang hidup dalam suatu
suku bangsa atau kebudayaan.
Dalam kehidupan sosial manusia terbagi dalam kelas-kelas yang menjelaskan
keberadaan dan status seseorang dalam kehidupan masyarakat. Kelas-kelas bukan hanya
terbagi dalam kelas tertinggi dengan bangsawan/pemilik modal hingga kelas terendah
1 Elisabeth Scüssler Fiorenza, But She Said, Massachusetts: Beacon Press Boston, 1992, 110
dengan para hamba/buruh yang lazim terjadi. Pembagian kelas-kelas ada yang
berdasarkan usia dalam suatu kelompok masyarakat yang disebut masyarakat suku tipe
tak bernegara.2 Meskipun demikian, kelas-kelas yang dimaksudkan dalam pembagian itu
hanya ditujukan untuk mengelompokkan satu jenis kelamin yakni laki-laki.3
Pembagian berdasarkan usia dapat dilihat dari suku-suku aborigin di Australia.
Laki-laki berpindah dari satu tingkat usia ke tingkat lainnya selagi mereka bertumbuh.
Mereka bertransisi dari anak menjadi pemuda, dari pemuda belum menikah menjadi
dewasa menikah dan akhirnya memasuki tua-tua. Tingkat usia ini sedemikian pentingnya
sehingga secara sosial ditandai dengan ritual berurutan dan secara fisik pada tubuh laki-
laki dalam bentuk sayatan-sayatan pada dadanya. Semua ini sekali lagi dikhususkan
untuk laki-laki.4
Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam kelompok masyarakat
sejak sejarah dicatat selalu didominasi laki-laki. Perempuan sepertinya dipisahkan dalam
sebuah status atau kelas sendiri. Posisi perempuan dianggap dalam masyarakat
tergantung pada status sosial ayah atau suaminya.5 Perempuan kurang terwakili secara
sosial dalam membuat keputusan dan diremehkan di tempat mereka berada, baik di
lingkup umum yang kenyataannya dikuasai laki-laki maupun rumah tangga yang
sebenarnya tempat perempuan lebih mendominasi.
2 Peter Worsley et. al (terj.Hartono Hadikusumo), Pengantar Sosiologi: Sebuah Pembanding Jilid 2, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, 132-133
3 ibid, 135
4 ibid, 133
5 ibid, 136
Laki-laki masih memegang peran penting dalam kelompok masyarakat. Meskipun
ada hubungan sosial yang terjalin antara laki-laki dan perempuan, semata-mata karena
perempuan dibagikan sedikit kebebasan oleh laki-laki terdekatnya (ayah atau suami)
untuk berperan dalam masyarakat demi terciptanya hubungan sosial antara laki-laki dan
perempuan. Sampai kemudian hari, gerakan sosial yang dilakukan perempuan untuk
menuntut hubungan sosial yang lebih setara dengan laki-laki berkembang.
Tidak berbeda jauh dari sisi sosiologi, antropologi melihat kekuasaan laki-laki
mendominasi kehidupan sosial masyarakat secara keseluruhan sekarang. Budaya
patriarkhi banyak dianut suku-suku bangsa. Perempuan berada dalam kekuasaan laki-
laki. Masyarakat yang tunduk pada budaya patriarkhi menempatkan perempuan dalam
sektor domestik sedangkan sektor publik sepenuhnya adalah milik laki-laki. Perempuan
diberikan kuasa atas rumah tangga.
Budaya patriarkhi yang mengikat perempuan di sektor domestik menurut
antropologi dikenal sesudah suatu masa. Jauh sebelumnya, masa matriarkhal berkembang
di suku-suku bangsa. Budaya yang membuat perempuan memegang kendali dan
mengambil peran dalam dunia publik atau kemungkinan posisi yang setara antara laki-
laki dan perempuan, sebab meskipun garis keturunan ditelusuri melalui garis ibu
(perempuan), laki-laki yang masih memegang kunci dalam urusan-urusan publik.6
Contohnya, Suku Yao di Malawi meski matrilineal, tetap memberikan kepercayaan
kepada laki-laki tertua dalam garis keturunan untuk mengelola urusan-urusan kelompok
saudari-saudari. Atau peran penting yang dimainkan ibu dan saudar-saudari raja dalam
6 ibid, 137
kerajaan di Afrika dengan memegang jabatan-jabatan kunci untuk menjamin keamanan
raja. Pertimbangannya, sebagai perempuan, saudari-saudari raja tidak dapat
menggulingkan raja dalam suatu perebutan kekuasaan.7
Dari ilmu sosial, diketahui bahwa patriarkhi telah mengakar dalam kehidupan
sosial dan mendarah daging dalam keturunan umat manusia sehingga menguasai seluruh
kehidupan manusia baik laki-laki maupun perempuan dalam menjalani kehidupan sosial.
Baik dalam sosiologi maupun antropologi menunjukkan bahwa kekuasaan laki-laki lebih
diakui dibandingkan kekuasaan perempuan. Perempuan dipandang lemah dan patut
dilindungi keberadaannya oleh laki-laki sehingga pergerakan perempuan dibatasi.
2.1.2. Patriarkhi dari Sudut Pandang Teologis
Peran perempuan dalam masyarakat dipengaruhi oleh Alkitab. Bach dalam
tulisannya Man’s World, Women’s Place: Sexual Politics in the Hebrew Bible
(Introduction) menyatakan bahwa karakter dan sikap yang harus ditunjukkan oleh
perempuan serta status dalam masyarakat Israel terlukis di Alkitab Ibrani ditulis sebagai
sejarah oleh sang pemenang, kelompok dominan: laki-laki. Segala cerita mengenai
perempuan di dunia dibentuk untuk kepentingan laki-laki.8 Alkitab merupakan kitab yang
berisi Firman Tuhan dan wahyu Tuhan yang dibagi atas 39 kitab Perjanjian Lama, hasil
seleksi buku-buku kesustraan Israel Kuno dari Bangsa Israel yang mempunyai sejarah
lebih dari 1000 tahun dan 27 kitab Perjanjian Baru, hasil seleksi kesusastraan agama
Kristen pada abad-abad pertama adanya agama Kristen.9
7 ibid, 137
8Alice Bach (Ed.), Women in The Hebrew Bible: a reader, New York:Routledge, 1999, xiii 9 S.Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009, 17
Ord dan Coote menyatakan bahwa kita harus sadar budaya mempengaruhi
penulisan Alkitab dan citra yang dipakai dalam Alkitab dalam mengungkapkan kenyataan
adalah citra yang bermakna bagi umat di masa Alkitab, misalnya Allah digambarkan
sebagai laki-laki sebab dalam dunia patriarkhal, laki-laki selalu menjadi penguasa.10 Hal
ini dapat dimaklumi karena bangsa Israel sebagaimana sebagian besar bangsa di dunia ini
merupakan bangsa yang menganut budaya patriarkhi. Meskipun demikian, ada ayat-ayat
dalam Alkitab yang sering dilupakan orang dalam menafsirkan Firman Tuhan mengenai
kesetaraan manusia. Kisah penciptaan manusia dalam Kejadian 1:26–27 berbunyi,
“Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Ayat tersebut memberikan pernyataan bahwa Allah menciptakan manusia menurut
gambarNya. Ditegaskan kemudian, manusia yang dimaksudkan ialah laki-laki dan
perempuan. Hal ini berarti sejak awal Allah menciptakan laki-laki dan perempuan secara
bersama, menurut gambar dan rupa Allah. Dengan demikian menegaskan bahwa
manusia, baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dalam waktu yang sama dan
masing-masing menurut gambar dan rupa Allah yang menunjukkan bahwa laki-laki dan
perempuan mempunyai kesamaan derajat dihadapan Allah sejak awal mula diciptakan.
10 David Robert Ord & Robert B.Coote. APAKAH ALKITAB BENAR? Memahami Kebenaran Alkitab Masa Kini, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007, 38-39
Versi penciptaan yang lain dalam Kejadian 2:21-2311 juga menunjukkan bahwa
laki-laki dan perempuan memang diciptakan sepadan untuk saling menolong dalam
kehidupan mereka di sebuah taman di Eden. Barulah setelah peristiwa manusia jatuh
dalam dosa karena melanggar perintah Allah untuk memakan buah dari pohon yang ada
di tengah-tengah taman akibat godaan ular (Kejadian 3:1-5), laki-laki dan perempuan
diberikan hukuman berbeda oleh Allah yang kemudian dijadikan alasan untuk
membedakan pekerjaan perempuan dan laki-laki (Kejadian 3:16-19). Hukuman Allah ini
ditafsirkan sebagai sesuatu yang harus dikerjakan dan dipatuhi. Dalam hukuman ini
dinyatakan bahwa perempuan lebih berperan di rumah sebagai seorang ibu yang akan
melahirkan dengan susah payah dan laki-laki akan berperan di luar rumah sebagai pencari
nafkah dengan susah payah pula. Tafsiran ini menunjukkan secara jelas perbedaan tugas
perempuan dan laki-laki dan membenarkan perilaku laki-laki yang berkuasa atas
perempuan sepanjang masa.
Kejadian 1:27 menunjukkan manusia sebagai gambaran Allah dan manusia sebagai
laki-laki dan perempuan namun penafsiran tradisional mengabaikan poin ini. Evans
mengutip Hanson melihat dominasi dari metafora patriarkhi sebagai produk komunitas
dengan struktur patriarkhal yang menilai ketidaksetaraan seksual dan kemudian merasa
bahwa menggunakan metafora ini struktur yang tidak dapat diterima.12 Contoh yang
paling jelas dan terbawa hingga kini karena pengaruh struktur patriarkhal yang lebih
11 Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki." (TB-LAI)
12 Mary J. Evans, Woman in The Bible, Illinois: Intervarsity Press Downers Grove, 1983, 22
menjunjung laki-laki terdapat dalam Mazmur 68:613 menyebutkan Allah yang disembah
disapa bapak.
Di sisi lain, meskipun struktur patriarkhal lebih banyak menunjukkan sisi maskulin,
Evans mengutip Martin Noth yang berkomentar mengenai Bilangan 11:12 (Akukah yang
mengandung seluruh bangsa ini atau akukah yang melahirkannya, ….”) yang mana Musa
menyatakan bahwa ia bukan ibu bangsa Israel. Noth mengatakan bahwa secara implisit
ini merupakan ide yang tak biasa bahwa Yahweh sendiri adalah ibu bangsa Israel dan
melihat ayat ini secara tidak langsung menghubungkan Yahweh dalam konsep feminin.14
Fakta ini tidak berarti membuat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam
hubungan dengan Allah melainkan mendukung hierarki dalam hubungan satu sama lain
antara laki-laki dan perempuan.15 Laki-laki dapat memandang perempuan sebagai partner
yang setara dalam setiap aspek kehidupan realitas sosial. Pandangan masyarakat bahwa
posisi laki-laki selalu berada di atas perempuan harus ditinjau ulang. Pandangan bahwa
pembagian tugas antara laki-laki dalam sektor publik dan perempuan dalam sektor
domestik perlu diperbaiki.
Manusia yakni laki-laki dan perempuan diciptakan Allah menurut gambar dan
rupaNya yang berarti bahwa laki-laki dan perempuan ini, masing-masing mewakili image
Allah yang sempurna karena itu laki-laki dan perempuan yang mewarisinya perlu
berpartner untuk menghasilkan sesuatu yang sempurna. Dengan kata lain, apa yang
13 Mazmur 68:6 “Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda, itulah Allah di kediaman-Nya yang kudus” (TB-LAI)
14 Mary J. Evans, Woman in The Bible, Illinois: Intervarsity Press Downers Grove, 1983, 22
15 ibid, 22
terjadi dalam masyarakat perlu dibangun pemahaman bahwa perempuan mempunyai hak
yang sama dalam memperoleh peluang-peluang kerja yang diperoleh laki-laki. Jauh
sebelum Musa menyatakan pernyataannya itu, dalam Keluaran 15:2016 telah diakui
peranan perempuan dalam kehidupan kultus bangsa Israel. Miryam, saudara perempuan
Harun dan Musa disebut sebagai nabiah orang Israel. Musa sendiri diakui sebagai nabi
bagi bangsa Israel (Ulangan 34:10)17 dan saudara laki-lakinya Harun dipilih oleh Tuhan
menjadi imam (Keluaran 28:1)18 dikemudian hari dalam Mikha 6:419, lebih jelas
dikemukakan posisi Miryam yang setara dengan kedua saudara laki-lakinya.
Posisi Miryam yang diakui ini menjelaskan kepada kita bahwa pada masa Israel
Kuno, ketika mereka terbentuk menjadi suatu bangsa dan mempunyai pimpinan, laki-laki
dan perempuan diberikan peluang yang sama dan menjadi partner dalam melaksanakan
tugas-tugas publik. Tidak ada perbedaan mencolok yang menyatakan bahwa perempuan
identik dengan pekerjaan domestik dan laki-laki dengan pekerjaan publik. Pandangan
mengenai kerjasama antara laki-laki dan perempuan demi kelangsungan bangsa
sepertinya merupakan hal yang wajar terjadi saat itu. Miryam sebagai perempuan bekerja
sama dengan kedua saudaranya, Musa dan Harun dalam menyatakan kehendak Tuhan
untuk bangsa Israel dengan mengemban tugasnya sebagai seorang nabiah. Miryam diberi
16 Keluaran 15:20 “Lalu Miryam, nabiah itu, saudara perempuan Harun, mengambil rebana di tangannya, dan tampillah semua perempuan mengikutinya memukul rebana serta menari-nari” (TB-LAI)
17 Ulangan 34:10 “Seperti Musa yang dikenal TUHAN dengan berhadapan muka, tidak ada lagi nabi yang bangkit di antara orang Israel” (TB-LAI)
18 Keluaran 28:1 “Engkau harus menyuruh abangmu Harun bersama-sama dengan anak-anaknya datang kepadamu, dari tengah-tengah orang Israel, untuk memegang jabatan imam bagi-Ku — Harun dan anak-anak Harun, yakni Nadab, Abihu, Eleazar dan Itamar.” (TB-LAI) 19 Mikha 6:4 “Sebab Aku telah menuntun engkau keluar dari tanah Mesir dan telah membebaskan engkau dari rumah perbudakan dan telah mengutus Musa dan Harun dan Miryam sebagai penganjurmu” (TB-LAI)
kedudukan yang sejajar dengan saudara laki-lakinya. Pada masa ini kesetaraan antara
perempuan dan laki-laki tidak menjadi masalah karena perempuan dan laki-laki memiliki
kesempatan yang sama meskipun hanya sedikit perempuan yang terlibat dalam kehidupan
publik.
Selain Miryam, tercatat dalam kitab Perjanjian Lama pada saat bangsa Israel
berada di bawah sistem pemerintahan sebagai kerajaan disebut juga nama Hulda, seorang
nabiah yang hidup pada masa pemerintahan raja Yosia (II Raja-raja 22:14). Ia yang
ditemui ketika Yosia ingin meminta petunjuk dari Tuhan atas perkataan yang tertulis
dalam gulungan kitab Taurat yang ditemukan kembali di Bait Allah. Penting dicatat
sekali lagi bahwa perempuan pada masa itu dihargai jabatannya oleh seorang raja yang
berkuasa. Hulda yang seorang nabiah ditemui oleh rekannya seorang imam, imam Hilkia.
Tak cukup hanya seorang imam, panitera dan hamba raja Yehuda juga ikut pergi
meminta pendapat Hulda. Jelas suatu kepercayaan yang besar diberikan kepada
perempuan oleh laki-laki, meskipun sudah ada gulungan kitab yang bisa ditafsirkan
imam. Hulda sebagai perempuan dihargai perannya sebagai nabiah. Hulda dengan yang
bernubuat akan kejatuhan Yehuda dengan malapetaka yang akan menimpa kerajaan itu
dan penduduknya apabila mereka tetap berpaling dari Allah sehingga bangsa Israel
kembali menyembah Allah.
Bukti turut sertanya peran perempuan dalam perjalanan bangsa Israel menimbulkan
spekulasi bahwa budaya patriarkhi pada masa bangsa Israel hidup dalam Perjanjian Lama
tidak mendiskriminasikan perempuan begitu jauh dalam pandangan bahwa perempuan
tidak memiliki bakat dalam melaksanakan tugas publik dan lebih tepat dalam pekerjaan
domestik. Pengakuan ini lebih baik lagi jika kitab Perjanjian Baru ditelusuri dan melihat
peran serta perempuan di dalamnya. Pertama-tama dalam keempat Injil dan surat-surat
Paulus dalam Perjanjian Baru.
Kisah pelayanan Yesus jika ditelusuri juga tak lepas dari peran perempuan. Bahkan
sejak kehadirannya di dunia ini hingga kematian dan berita mengenai kebangkitannya,
peran serta perempuan sangat besar di dalamnya. Di samping ada Yusuf yang berperan
sebagai bapaknya, ada Maria sebagai ibunya yang melahirkan dan merawatnya.
Perempuan-perempuan yang melayani dan mengikutinya dalam pelayanannya seperti
Maria Magdalena, Yohana, Susana dan perempuan lainnya. Mereka ini membantu Yesus
dalam pelayanannya dengan menyerahkan hidup mereka dan juga harta milik mereka
demi pelayanan. Meskipun dalam kitab suci, peran mereka tidak begitu ditonjolkan
sehingga memberi kesan mereka hanya dianggap figuran dan tidak terhitung dalam
jumlah murid Yesus karena yang disebut dan dihitung sebagai murid Yesus hanyalah
duabelas murid laki-lakinya.
Meskipun demikian, hal ini tidak menghalangi perhatian Yesus kepada mereka
karena mereka perempuan. Perempuan-perempuan itupun disebut sebagai pengikut Yesus
dan diperbolehkan mengikuti dan membantu pelayanan.20 Ini menggambarkan bahwa
Yesus menghargai perempuan. Perempuan dipandang sebagai partner yang setara pada
masa pelayanannya di dunia. Yesus memberikan contoh yang baik kepada pengikutnya.
Laki-laki dapat bekerjasama dengan perempuan karena perempuan mampu melaksanakan
tugas yang sama yang dilakukan laki-laki. Tidak ada perbedaan dalam harkat dan
20 Mary J. Evans, Woman in The Bible, Illinois: Intervarsity Press Downers Grove, 1983, 49
martabat seseorang karena orang itu laki-laki atau perempuan. Semuanya mempunyai hak
untuk melakukan apa yang disukainya.
Kemudian pada masa Paulus, dalam surat-surat Paulus tercatat bahwa perempuan
tidak lagi menjadi partner yang mengimbangi laki-laki. Status perempuan turun drastis
dan dianggap kelompok masyarakat kelas rendah. Bukan karena ketidakmampuan
perempuan dalam menangani pekerjaan publik terutama dalam bidang keagamaan tetapi
karena lagi-lagi kebudayaan menjadi faktor utamanya. Budaya patriarkhi yang melekat
pada bangsa-bangsa yang menjadi tempat misi Paulus merupakan alasannya. Perempuan
dikekang kebebasannya berkarya dalam komunitas.
Perempuan, pertama-tama ialah milik ayahnya. Setelah menikah, ia merupakan
milik suaminya.21 Dengan kata lain, perempuan berada di bawah kuasa laki-laki.
Perempuan tidak bebas menentukan pilihannya. Ia harus tunduk pada suaminya. Ini
sesuai dengan pendapat Mies yang menyatakan bahwa meskipun secara harafiah
patriarkhi berarti kekuasaan bapak, sebenarnya melampaui kekuasaan bapak karena
termasuk aturan suami, bos laki-laki, laki-laki yang berkuasa dalam lembaga-lembaga
masyarakat, dalam politik dan ekonomi. Singkatnya, Mies menyebutnya sebagai ’liga
laki-laki’ (the men’s league) atau ’rumah laki-laki’ (men’s house).22
Kita bisa berpendapat bahwa pada zaman Paulus, perempuan begitu direndahkan.
Ini bisa dikatakan sebagai suatu kemerosotan dan ketidakberhasilan Paulus dalam
21 Dien Sumiyatiningsih, “Kedudukan dan Peranan Wanita dalam Pemerintah Gereja di Lingkungan Gereja Kristen Jawa”, Gema, Desember 1986, 38
22 Maria Mies, Patriarchy and Accumaltion on a World Scale : Women in the International Division of Labour, London: Zed Books Ltd, 1986, 37
pelayanan yang dilakukannya. Meskipun Paulus memberitakan Injil yang sama, yang
diberitakan Yesus dan mengikuti panutannya ini namun Paulus tidak berani menembus
kebudayaan komunitas tempat ia memberitakan Injil mengenai kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan. Meski Paulus berhasil memberitakan Injil kepada bangsa non Yahudi
namun kebudayaan mereka belum bisa ditembusnya.23 Kita bisa mengatakan bahwa
Yesus dalam memberitakan Injil juga menekankan bahwa keselamatan Allah berlaku
bagi semua orang. Yesus menembus kebiasaan masyarakat tempatNya memberitakan
Injil dengan tidak membedakan perlakuan antara laki-laki dan perempuan maupun tuan
dan hamba.
Tulisan dalam keempat Injil jelas memberikan laporan bahwa Yesus lebih dekat
dengan orang-orang yang berada di lapisan menengah ke bawah, orang-orang yang
dianggap “sampah” masyarakat. Di lain pihak Paulus bisa dikatakan tergesa-gesa karena
pesan eskatologis24 yang disampaikannya kepada orang-orang yang dijangkaunya
sehingga ia lebih mementingkan Injil yang menjangkau sebanyak mungkin orang tanpa
harus repot-repot memperbaiki budaya yang ada saat itu. Atas kepentingan menjangkau
sebanyak mungkin orang untuk mengenal Injil, Paulus memasukkan aturan komunitas
tempat misinya dalam aturan kultus.
Lebih jauh Paulus menyatakan dalam aturan ibadah dengan mementingkan laki-laki
di atas segalanya dan berkuasa atas perempuan. Laki-laki yang menjadi penatua.
Perempuan dilarang memimpin laki-laki dan berbicara di depan umum meskipun itu
dengan suaminya sendiri. Bagaimana mungkin menjadi pemimpin apabila dilarang 23 Anne Hommes, “Emansipasi Wanita”, Gema, Desember 1986, 12
24 David J.Bosch, Transformasi Misi Kristen”, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011, 205
berbicara di depan umum? Perempuan benar-benar dikekang kebebasannya. Inilah
budaya patriarkhi yang benar-benar mendekati definisinya, kekuasaan bapak/laki-laki
yang mendominasi, mensubordinasi, dan mendiskriminasikan kaum perempuan dalam
segala bidang kehidupan, baik menyangkut badannya, seksualitasnya, pekerjaannya,
maupun statusnya entah dalam keluarga, jemaat atau masyarakat. Segala bidang
kehidupan bersifat androsentris, yaitu berpusat pada laki-laki.25
Paulus tidak bisa mengikuti teladan Yesus yang sangat menjunjung kesetaraan
manusia laki-laki dan manusia perempuan.26 Paulus tidak dapat menembus budaya
komunitas tempatnya memberitakan Injil. Meskipun demikian, ada pandangan Paulus
mengenai kesetaraan yang tersirat dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, “Karena
kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak
ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada
laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus
Yesus”(Galatia 3:27-28).
Mungkin ayat ini dapat dijadikan acuan bahwa sebenarnya Paulus memandang
kesamaderajatan perempuan dan laki-laki namun melakukannya dalam praktek sangat
sulit dilakukan mengingat Paulus menyatakan hal yang bertolak belakang dalam surat-
suratnya kepada jemaat-jemaat yang berbeda, seperti dalam I Korintus 11:7 dan 927, dan
25 M. Nur Widi, Eklesiologi ardas Keuskupan Agung Semarang, Yogyakarta: Kanisius, 2009, 126
26 Dien Sumiyatiningsih, “Kedudukan dan Peranan Wanita dalam Pemerintah Gereja di Lingkungan Gereja Kristen Jawa”, Gema, Desember 1986, 38
27 I Korintus 11:7,9 “Sebab laki-laki tidak perlu menudungi kepalanya: ia menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki; Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan diciptakan karena laki-laki.” (TB LAI)
Titus 2:3-528. Sekali lagi kebudayaan yang dianut komunitas misinya menjadi bahan
pertimbangan Paulus dalam menetapkan aturan dalam kultus yang diperkenalkannya.29
Setidaknya ayat ini memberikan makna baru dalam sikap Paulus membuat aturan-aturan
mengenai laki-laki dan perempuan. Peranan perempuan dan statusnya dalam komunitas
pada masa Paulus ini berkaitan dengan apa yang dikatakan Simone De Beauvoir dalam
tulisannya “The Second Sex”. De Beauvoir menyatakan bahwa secara hakekat perempuan
tidak diciptakan sebagai makhluk inferior tetapi ia menjadi inferior karena struktur
kekuasaan dalam masyarakat berada di tangan laki-laki. Masyarakat melihat segala hal
termasuk perempuan, dengan sudut pandang laki-laki. Laki-laki menciptakan imaji bagi
perempuan dalam kedaulatannya. Imaji tersebut diciptakan sesuai kebutuhan mereka.30
2.2 Kepemimpinan Partnership
Partnership merupakan istilah ketika orang-orang melakukan pekerjaan secara
bersama-sama sebagai sebuah tim dengan semangat kerjasama yang tinggi dan partisipasi
aktif. Semua anggota dari komunitas atau kelompok berbagi kepentingan yang
menguntungkan, kewajiban dan bersama menghadapi tantangan.31 Definisi
kepemimpinan adalah suatu proses yang kompleks di mana seseorang mempengaruhi
28 Titus 2:3-5 “Demikian juga perempuan-perempuan yang tua, hendaklah mereka hidup sebagai orang-orang beribadah, jangan memfitnah, jangan menjadi hamba anggur, tetapi cakap mengajarkan hal-hal yang baik dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya,hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya, agar Firman Allah jangan dihujat orang. (TB-LAI)
29 Dien Sumiyatiningsih, “Kedudukan dan Peranan Wanita dalam Pemerintah Gereja di Lingkungan Gereja Kristen Jawa”, Gema, Desember 1986, 39
30 Eka Warisma Wardani, Belenggu-Belenggu Patriarki: Sebuah Pemikiran Feminisme Psikoanalisis Toni Morrison dalam The Bluest Eye, Semarang: FIB UNDIP, 2009, 36
31 Parnership & Leadership dalam Viewpoint/Spring Vol.9, 2002, 1
orang-orang lain untuk mencapai suatu misi, tugas atau sasaran dan mengarahkan
organisasi dengan cara yang membuatnya lebih kohesif dan masuk akal.32 Definisi yang
lain, kepemimpinan adalah sebuah tindakan melayani komunitas secara keseluruhan.
Sebagai organisasi dan sebagai individual berusaha berada di garis depan menjadi
pelopor jalan baru untuk mempertinggi kehidupan orang dengan perkembangan
ketidakmampuan, keluarga mereka dan komunitas berbagi kita.33
Dari kedua pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan
partnership adalah suatu proses kompleks yang dipengaruhi seseorang atau beberapa
orang dalam suatu komunitas secara keseluruhan dan bersama-sama sebagai suatu tim
yang saling berbagi kewajiban dan menghadapi tantangan secara bersama-sama dengan
keterlibatan semua anggota berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dan menetapkan
arah serta bertanggung jawab atas hasil-hasil dan dampak-dampak dari tindakan
kelompok atau organisasi.
Dalam model kepemimpinan partnership, akan ditemukan sebuah demokratis dan
struktur sosial egalitarian, kemitraan sejajar antara laki-laki dan perempuan.34
Kepemimpinan partnership lahir atas kesadaran bahwa kepemimpinan tidak sepenuhnya
milik kaum yang lebih kuat, dalam hal ini kaum laki-laki melainkan milik semua orang
yang berpotensi untuk melakukan kepemimpinan baik itu laki-laki dan perempuan.
Alasan yang lain ialah bahwa dalam hal kepemimpinan membutuhkan kerjasama yang
32 Bernardine R. Wirjana &Susilo Supardo, Kepemimpinan :Dasar-dasar dan Pengembangannya, Yogyakarta: ANDI, 2005, 3
33 Op.cit
34 Riane Eisler, The Power of Partnership, California: New World Library, 2002, 5
baik antara perempuan dan laki-laki bukan sebagai atasan dan bawahan melainkan
menjadi partner dalam kepemimpinan untuk terselenggaranya keberlangsungan
organisasi atau kelompok yang dipimpin.
Kepemimpinan partnership dalam tulisan ini mengenai kerjasama antara perempuan
dan laki-laki dalam suatu kelompok atau organisasi. Kerjasama yang dilakukan tanpa
memandang satu pihak lebih lemah dari pihak yang lain melainkan kerjasama yang saling
mendukung satu sama lain demi kemajuan komunitas yang dipimpin. Kepemimpinan
tidak didominasi pihak yang dianggap kuat dalam hal ini laki-laki, tetapi memberi
kesempatan kepada perempuan yang mampu melaksanakan tugas memimpin kelompok
dengan bermitra dengan laki-laki.
2.3 Feminis Liberal
Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina yang dalam bahasa Inggris femine
artinya memiliki sifat-sifat sebagai perempuan. Kemudian ditambah akhiran ‘ism’
menjadi feminism yang berarti hal ikhwal mengenai perempuan atau paham mengenai
perempuan. Feminisme adalah sebuah wawasan sosial, yang berakar dalam pengalaman
kaum perempuan menyangkut diskriminasi dan penindasan oleh karena jenis kelamin,
suatu gerakan yang memperjuangkan pembebasan kaum perempuan dari semua bentuk
seksisme dan sebuah metode analisis ilmiah yang digunakan pada hampir semua cabang
ilmu.35
Paham Liberal ialah falsafah yang meletakkan kebebasan individu sebagai nilai
politik tertinggi. Liberalisme menekankan hak-hak pribadi serta kesamarataan peluang.
35 Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, Maumere:Penerbit Ledalero, 2002, 28-29
Dalam pemahaman liberalisme, pelbagai aliran dengan nama “liberal” mungkin
mempunyai dasar dan pandangan yang berlainan, tetapi secara umumnya aliran-aliran ini
bersetuju dengan prinsip-prinsip berikut termasuk kebebasan berfikir dan kebebasan
bersuara, batasan kepada kuasa kerajaan, kedaulatan undang-undang, hak individu atas
harta persendirian, pasaran bebas dan sistem pemerintahan.36
Sejarah Israel yang tertulis dalam Kitab Suci dan menjadi referensi berjuta orang
penganut agama yang berasal dari komunitas ini tidak bisa dipungkiri bahkan dalam
kehidupan sekarang. Namun melihat fakta-fakta yang mencatat bahwa laki-laki dan
perempuan selayaknya berpartner sesuai dengan kehendak awal Sang Pencipta, membuat
perempuan memutuskan untuk tidak tinggal diam pada abad ini. Perempuan
memperjuangkan statusnya untuk kembali menjadi partner yang setara dengan laki-laki
dalam komunitas sekarang dengan mengobarkan paham feminisme.
Ruether menyatakan bahwa feminisme liberal berakar dalam antropologi Alkitab
dan skolastik tetapi merupakan renovasi radikal dari komponen patriarkhal dari tradisi-
tradisi di bawah pengaruh abad ke 18. Liberalisme menolak tradisi klasik yang
mengidentifikasi sifat atau perintah penciptaan dengan patriarkhi.37 Para feminis percaya
bahwa perempuan tidak dapat dirugikan karena jenis kelaminnya oleh karena itu
perempuan harus mendapat pengakuan kemartabatan sebagai manusia yang setara dengan
36 www.isomwebs.com, Liberalisme, diunduh 28 Juni 2012
37 Rosemary R. Ruether, Sexism and God-Talk, Boston: Beacon Press, 1983, 102
laki-laki. Perempuan mempunyai kesempatan untuk hidup seutuhnya dan sebebasnya
sesuai pilihan hidup sendiri.38
Perempuan berjuang untuk bisa kembali mendapat haknya melakukan hal yang
disukainya sama seperti laki-laki. Begitu banyak alasan yang bisa dikemukakan agar
perempuan bisa sebebas laki-laki dalam menentukan pilihan hidupnya namun semuanya
dapat disimpulkan dengan alasan yang sudah jelas ada dan terlupakan sejak berabad-abad
yang lalu, alasan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan setara untuk saling
melengkapi tugas masing-masing oleh karena itu laki-laki dan perempuan mempunyai
hak yang sama dalam melakukan segala sesuatu di dunia ini.
Feminisme liberal merupakan bentuk feminisme yang beranggapan bahwa
subordinasi kaum perempuan berakar dalam kendala-kendala legal yang mengucilkan
atau menghalangi keterlibatan penuh dan setara dari kaum perempuan dalam ajang
publik.39 Feminisme liberal berakar pada perampasan feminis dari tradisi liberal
mengenai persamaan hak yang berakar pada ajaran tentang sifat umum manusia. Feminis
liberal terfokus pada pengecualian bersejarah perempuan dari akses dan hak yang sama
dalam ruang publik dengan berusaha untuk membongkar struktur sejarah hukum
patriarkhi yang menyangkal hak-hak perempuan sebagai orang dewasa yang otonom dan
mencari persamaan penuh perempuan di depan hukum sebagai warganegara.40
Paham ini mungkin menjadi ancaman bagi laki-laki pada masa sekarang yang
begitu terbuai dengan penerimaan komunitas yang besar akan status mereka sebagai laki- 38 Gadis Arivia, Feminis:Sebuah Kata Hati, Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2006, 95
39Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, Maumere : Penerbit Ledalero, 2002, 436 40 Rosemary R. Ruether, Sexism and God-Talk, Boston: Beacon Press, 1983, 102
laki atau bisa jadi menjadi suatu jalan keluar yang baik bagi laki-laki yang merasa
terintimidasi karena harus bertindak selayaknya tuntutan komunitas untuk berperilaku
sebagai laki-laki yang berkuasa sendiri atas semesta alam dengan kembali menjadikan
perempuan partner kerja yang setara.41 Tentu saja ini masih menjadi pilihan yang sulit
dengan patriarkhi yang telah berakar begitu dalam.
Feminisme Liberal ialah teori mengenai kebebasan individual bagi perempuan.
Mary Wollstonecraft mendeskripsikan perempuan sebagai agen rasional yang
‘inferioritasnya’ disebabkan oleh pendidikan yang rendah. Hal ini bisa ditelaah dengan
persamaan kesempatan untuk perempuan. Feminisme liberal komtemporer menyepakati
optimisme Wollstonecraft bahwa akar dari penindasan perempuan terletak pada tidak
adanya hak sipil yang sama dan peluang pendidikan yang sama. Inti dari keyakinan
liberal mengenai seksualitas adalah pandangan bahwa kehidupan pribadi seseorang tidak
semestinya menjadi objek peraturan masyarakat.42
Perempuan dibatasi perannya dalam kehidupan masyarakat sehingga perempuan
tidak bisa melakukan hal-hal yang sama seperti laki-laki karena pembatasan yang dibuat
laki-laki dalam segala aspek kehidupan terhadap perempuan. Perempuan akhirnya harus
berjuang memberantas penindasan yang harus dialaminya atas ketidaktahuannya karena
sedikit kesempatan yang dimiliki untuk mendapat tempat dalam masyarakat. Feminis
liberal berkeinginan untuk membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif yaitu
dari peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan
tempat yang lebih rendah atau tidak memberikan tempat sama sekali bagi perempuan 41 Stephen B. Boyd, The Men We Long To Be, Ohio:The Pilgrim Press, 2005, 11
42 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002, 249
dalam akademi, forum maupun pasar. Ditekankan bahwa masyarakat patriarkhal
mencampuradukkan seks dan gender dan menganggap hanya pekerjaan-pekerjaan yang
dihubungkan dengan kepribadian feminin yang layak bagi perempuan.43
Friedan dalam bukunya The Second Stage menawarkan pendekatan dengan
menggunakan ide androgini untuk melawan kecenderungan masyarakat tradisional yang
menghargai secara tinggi sifat maskulin dan merendahkan sifat feminin.44 Friedan
mendorong laki-laki dan perempuan untuk bekerja menuju masa depan yang androgin,
yang di dalamnya semua manusia akan mengkombinasikan di dalam dirinya sifat mental
dan perilaku yang maskulin dan feminin.45
2.4. Budaya Patriarkhi Israel
Kita harus sadar bahwa budaya mempengaruhi penulisan Alkitab dan citra yang
dipakai dalam Alkitab dalam mengungkapkan kenyataan adalah citra yang bermakna bagi
umat di masa Alkitab, misalnya Allah digambarkan sebagai laki-laki karena mengingat
dalam dunia patriarkhal, laki-laki selalu menjadi penguasa.46 Riwayat ini berakibat juga
pada agama dan gereja yang merupakan sejarah milik laki-laki dan mengesampingkan
perempuan. Sejarah Israel mula-mula selalu berorientasi pada laki-laki dan
mengesampingkan perempuan. Sebagaimana yang terdapat dalam Alkitab dan buku-buku
sejarah, bangsa Israel merupakan keturunan dari Abraham yang disebut sebagai bapak
semua orang percaya dan pahlawan iman dalam Alkitab. Kisah Abraham ini merupakan
43 Rosemarie Putnam Tong, Feminis Thought, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2006, 48-49
44 ibid, 50
45 ibid, 46
46 David Robert Ord & Robert B.Coote. APAKAH ALKITAB BENAR? Memahami Kebenaran Alkitab Masa Kini, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007, 38-39
bukti bahwa laki-laki lebih diperhitungkan sebagai seseorang yang berpengaruh dan
mempunyai kuasa daripada perempuan. Para pahlawan iman dalam sejarah Israel sebagai
bangsa dan kultus menonjolkan laki-laki seperti Abraham dan Musa, meskipun ada juga
Sara (istri Abraham) dan Zipora (istri Musa) dalam cerita, namun mereka tidak ikut
disebut sebagai pahlawan iman. Peran mereka hanya sebagai istri dari suami mereka.
Laki-laki dalam bangsa Israel mempunyai peran yang sangat penting untuk
mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dengan menjadi pemimpin/kepala dalam
keluarga maupun kaumnya. Laki-laki yang telah berkeluarga merupakan seorang tuan
dalam keluarganya, tuan atas perempuan (istrinya), anak-anak, hamba-hambanya, ternak
dan harta miliknya. Singkatnya, laki-laki yang berkuasa atas semua yang bergerak
maupun tak bergerak. Dalam kehidupan Israel kuno, keluarga membentuk unit sosial
yang mendasar dan yang paling penting ialah gabungan keluarga atau keluarga yang
diperluas. Kadang-kadang sebanyak tiga generasi hidup dalam sebuah rumpun keluarga.
Keluarga yang teramat besar membentuk suatu kaum atau klan. Kerajaan Israel Kuno
sendiri terbentuk dari keluarga besar yang terdiri dari semua keluarga di Israel Kuno.47
Di dalam rumah tangga ini, otoritas tertinggi dipegang sang bapak keluarga.
Setiap perkataan yang keluar dari mulutnya mengandung otoritas memerintah. Anak laki-
laki yang sulung diberi bagian dua kali lipat dari harta bapaknya, memperoleh status dan
otoritas istimewa, sebagai contoh ialah ucapan berkat Ishak kepada Yakub “Jadilah tuan
atas saudara-saudaramu dan anak-anak ibumu akan sujud kepadamu” (Kej 27:29).48
47 Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah (terj.Robert Setio), Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2010, 39
48 ibid, 38
Sistem legal dari masyarakat patriarkhal, dalam peraturan mengenai warisan merugikan
perempuan karena hanya laki-laki yang mewarisi harta milik keluarga yang diturunkan
dari bapak kepada anak laki-laki dan jika tidak mempunyai anak laki-laki barulah
diturunkan kepada anak perempuan yang kemudian wajib menikah dengan laki-laki dari
lingkungan keluarga sendiri dengan demikian akan mengabadikan nama sang bapak.49
Dalam perihal berumah tangga, motivasi ekonomi lebih penting dari pada alasan
romantik. Tujuan utama berumah tangga adalah untuk mempunyai dan membesarkan
anak. Saat anak perempuannya menikah, sang bapak mendapat mahar pengantin yang
dianggap sebagai ganti rugi hilangnya anak perempuan. Perempuan adalah kaum
subordinat. Seorang istri memanggil suaminya dengan sebutan “tuan”. Suami adalah
majikan atas istrinya.50Kaum perempuan memegang peranan di latar belakang saja. Para
pria selalu merindukan kehadiran perempuan di sisi mereka, untuk dijadikan istri yang
ideal yang melahirkan anak-anak dalam keluarga. Perempuan ditempatkan pada pusat
keluarga sebagai penjaga keluarga dan menjadi ibu yang melahirkan anak, membesarkan
mereka, dan mengurusi segala tetek bengek keperluan hidup sehari-hari.
Peran perempuan sebagai ibu rumah tangga bukanlah peran yang mudah dan
ringan. Seorang ibu yang hendak melahirkan anaknya harus mengalami pengalaman
“susah payah” seperti yang telah diingatkan kepada Hawa (Kejadian 3:16)51, dan
49 ibid, 56
50 ibid, 60-61
51 Kej 3:16, “Firman-Nya kepada perempuan itu: "Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; …” (TB-LAI)
mengandung resiko meninggal dunia pada waktu proses kelahiran itu berlangsung52
namun seorang perempuan Israel harus memiliki anak demi kelangsungan hidup keluarga
karena Israel merupakan masyarakat pronatalis.53 Para ibu Israel mempunyai beban moril
dalam keluarga Israel karena meskipun anak yang dilahirkannya dihargai dan dianggap
sebagai karunia Tuhan dan berkat dariNya, mempunyai anak laki-laki lebih disukai
dibandingkan dengan mempunyai anak perempuan dengan alasan anak laki-laki yang
akan meneruskan nama keluarga dan membantu bekerja di pertanian keluarga.54
Kaum perempuan melaksanakan keputusan-keputusan yang dibuat dan dirancang
kaum lelaki, karena pada hakikatnya mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan
keputusan itu,55 karakter dan sikap yang harus ditunjukkan oleh perempuan serta status
dalam masyarakat Israel terlukis di Alkitab Ibrani ditulis sebagai sejarah oleh sang
pemenang, kelompok dominan: laki-laki. Segala cerita mengenai perempuan di dunia
dibentuk untuk kepentingan laki-laki.56 Patut diakui bahwa Alkitab ditulis dan disusun
laki-laki yang tidak punya perhatian khusus pada peran perempuan dan hanya fokus pada
aspek kehidupan laki-laki yang di dalamnya perempuan tidak terlibat langsung dan
sumbangsih perempuan hanya minimal. Aturan-aturan dalam masyarakat lebih ditujukan
52 Wilson Nadeak, Perempuan-Perempuan Pemberani, Bandung:Lembaga Literatur Baptis, 2005, 10-11
53 pronatalis, mematuhi perintah Allah dengan serius mengenai “beranakcuculah dan bertambah banyak” dalam Kej 1:28 (King & Stager, 45) 54 Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah (terj.Robert Setio), Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2010, 46 55 Wilson Nadeak, Perempuan-Perempuan Pemberani, Bandung:Lembaga Literatur Baptis, 2005, 5 56Alice Bach (Ed.), Women in The Hebrew Bible: a reader, New York:Routledge, 1999, xiii
pada laki-laki. Perempuan menjalankan otoritasnya dalam rumah tangga sebagai seorang
ibu.57
Tanggung jawab lain yang dibebankan pada perempuan ialah penyediaan makanan
dan pakaian.58 Perempuan mengambil bagian juga dalam aktivitas komunitas sehari-hari
termasuk peribadatan. Perempuan digambarkan menari, menyanyi dan memainkan alat
musik. Perempuan mengambil bagian dalam perayaan panen dan ada juga rujukan dalam
Alkitab (2 Samuel 6:19)59 bahwa perempuan ikut dalam sajian makan korban.60
Meskipun demikian, perempuan hanyalah sekedar partisipan dalam peribadatan karena
kultus dan segala hal yang berhubungan dengan keagamaan merupakan lembaga milik
kaum laki-laki dan keimaman secara ekslusif adalah milik laki-laki. Dibawah rezim
keimaman laki-laki, dinyatakan bahwa perempuan tidak memiliki hak dalam dunia
politik dan juga tidak memiliki hak dalam dunia keagamaan.61
Sebelum krisis, kehidupan awal bangsa Israel agak egaliter perihal kesetaraan
dalam kehidupan masyarakat yang berarti bahwa baik perempuan dan laki-laki bekerja
untuk kelangsungan hidup mereka dalam bidang pertanian, mengingat bangsa Israel
57 Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah (terj.Robert Setio), Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2010, 55 58 penggambaran istri yang ideal terdapat dalam Ams 31:10-29, berkaitan dengan berbagai peran perempuan dalam rumah tangga
59 Dalam 2 Sam 6:19 ketika Daud membawa Tabut ke dalam kota Daud, “dibagikannya kepada seluruh bangsa itu, kepada seluruh khalayak ramai Israel, baik laki-laki maupun perempuan, kepada masing-masing seketul roti bundar, sekerat daging, dan sepotong kue kismis”
60 Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah (terj.Robert Setio), Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2010, 58
61 Robert B. Coote & David R. Ord, Pada Mulanya: Penciptaan dan Sejarah Keimaman (terj.Jesicca Pattinasarany), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011, 87
menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian. Semua orang melakukan pekerjaan di
lapangan baik laki-laki maupun perempuan melakukan jenis pekerjaan yang sebagian
besar sama. Dalam mempertahankan ekonomi keluarga tidak ada pilihan lain selain
bekerja keras untuk mendapatkan makanan yang cukup, meskipun demikian perubahan
situasi mengharuskan strategi baru untuk bertahan hidup karena lebih banyak orang yang
diperlukan untuk bekerja agar dapat bertahan hidup.62
Sebelumnya telah disebutkan bahwa kelahiran seorang anak sangat berharga bagi
keluarga Israel namun bukan berarti menjadi suatu hal yang mudah dilakukan tanpa biaya
dan resiko karena pada masa itu melahirkan merupakan kejadian yang berbahaya dan
mengancam jiwa sehingga melahirkan adalah penyebab utama kematian di kalangan
perempuan. Strategi dibutuhkan agar setiap orang dapat bekerja setiap hari dan
melahirkan anak akan memberikan satu pekerja di masa depan dalam pertukaran
mempertaruhkan kehidupan seorang perempuan yang penting bagi kelangsungan hidup
keluarga sekarang hanya ketika kebutuhan untuk pertumbuhan penduduk agar mencapai
tingkat yang lebih tinggi sehingga masuk akal melakukan segala kemungkinan untuk
mendorong pertumbuhan tanpa mempedulikan yang lain.63
Pada akhirnya harus menciptakan hukum dan tradisi baru. Dalam sistem baru, ibu
hamil menerima tingkat perlindungan yang lebih besar. Peraturan yang baru ini
mengurangi kejadian keguguran dan meningkatkan angka kelahiran namun pergeseran ini
berakibat pada berubahnya peran perempuan. Perempuan bukan lagi sebagai mitra yang
62 Jon L. Berquist, Reclaiming Her Story : the witness of women in the Old Testament, St.Louis-Missouri : Chalice Press, 1992,18
63 ibid, 19
sejajar dengan pria dalam segala bidang karena perempuan sekarang menerima
perlindungan khusus dari hukum. Kelangsungan hidup masyarakat bergantung pada
perempuan sehingga keterlibatan perempuan dalam tugas lapangan harus dikurangi.64
Solusi dalam masalah telah terselesaikan. Perubahan yang terjadi sangat efektif
dalam menyelesaikan krisis yang terjadi namun setelah populasi telah cukup meningkat,
hukum-hukum yang telah ditetapkan tidak berubah lagi. Krisis yang memaksa
ketidaksetaraan sementara telah menjadi permanen karena menyadari fakta bahwa
peristiwa tersebut menimbulkan kekuasaan yang menguntungkan bagi pihak laki-laki
dalam masyarakat. 65 Maka budaya dan hukum yang awalnya bertujuan baik demi
meningkatkan populasi masyarakat telah disalahgunakan bertahun-tahun setelahnya demi
keuntungan pihak pemenang yang dominan. Laki-laki tetap berkuasa dan melakukan
setiap pekerjaan di lapangan dan perempuan harus menetap di dalam rumah karena
perempuan harus dilindungi, namun tentunya dengan alasan yang berbeda sekarang.
64 ibid
65 ibid, 20