BAB II laen
Click here to load reader
-
Upload
agus-subhan -
Category
Documents
-
view
76 -
download
0
Transcript of BAB II laen
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi Hipertensi
Definisi Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang menetap di atas batas normal,
yaitu diastolic 90 mmHg atau sistolik 140 mmHg. (Patofisiologi Sylvia A.Price dan Lorraine
M.Wilson, 2006)
Menurut WHO , Hipertensi adalah suatu keadaan dimana Tekanan darah sama atau di
atas 160/95 mmHg dengan tidak membedakan jenis kelamin (soeparman , 1990)
Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah keadaan yang ditandai dengan terjadinya
peningkatan tekanan darah di dalam arteri.Ukuran tekanan darah (tensi) dinyatakan dengan dua
angka, yaitu angka yang di atas diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), angka yang
di bawah di peroleh ketika jantung berileksasi (diastolic), seseorang dikatakan memiliki tekanan
darah tinggi jika tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih, tekanan diastolic mencapai
90mmHg atau lebih, atau keduanya. Umumnya pada tekanan darah tinggi kenaikan terjadi pada
tekanan sistolik dan diastolic. ( Junaidi, 2010 )
2.1.2 Klasifikasi Hipertensi
Angka-Angka penderajatan hipertensi yang diperkenalkan oleh Asosiasi Jantung New
York , yang membagi hipertensi dalam :
1. Hipertensi Ringan : tergolong dalam kelompok ini adalah mereka yang menunjukan
tekanan sistolik antara 140-160 mmHg dan tekanan diastolic antara 90-95mmHg.
2. Hipertensi sedang : mereka yang mempunyai tekanan darah sistolik antara 160-180
mmHg dan tekanan diastolic antara 95-115 mmHg termasuk kelompok hipertensi sedang.
3. Hipertensi berat : dalam kelompok ini tergolong mereka yang menunjukan tekanan
sistolik lebih dari 180 mmHg dan tekanan diastolic lebih dari 115 mmHg.
2.1.3 Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan deteksi dan penatalaksanaan Hipertensi ialah menurunkan resiko penyakit
kardiovaskular dan mortalitas serta morbiditas yang berkaitan.
Tujuan terapi adalah Mencapai dan mempertahankan tekanan sistolik dibawah 140
mmHg dan tekanan diastolic dibawah 90 mmHg serta mengontrol faktor resiko. Kelompok
resiko dikategorikan menjadi :
a. Pasien dengan tekanan darah perbatasan atau tingkat 1, 2 dan 3 tanpa gejala penyakit
kardiovaskuler, kerusakan organ atau faktor resiko lainnya bila dengan modifikasi gaya
hidup tekanan darah belum dapat diturunkan maka harus diberikan obat anti hipertensi.
b. Pasien tanpa penyakit kardiovaskuler atau kerusakan organ lainnya, tapi memiliki satu
atau lebih faktor resiko yang tertera di atas namun bukan diabetes mellitus, jika terdapat
faktor maka harus langsung diberikan obat anti hipertensi.
c. Pasien dengan gejala klinis penyakit kardiovaskuler atau kerusakan organ yang jelas ,
faktor resiko : usia lebih dari 60 tahun, merokok, diabetes mellitus ,jenis kelamin ( pria
dan wanita menopause) riwayat penyakit kardiovaskuler dalam keluarga.
Modifikasi gaya hidup cukup efektif , dapat menurunkan resiko kardiovaskuler dengan
biaya sedikit dan resiko minimal tatalaksana ini tetap di anjurkan meski harus disertai obat anti
hipertensi , karena cepat menurunkan jumlah dan dosis obat, langkah-langkah yang dianjurkan:
a. Menurunkan berat badan apabila terdapat kelebihan
b. Diet rendah garam
c. Olahraga ( 30-45 menit/hari)
d. Membatasi Alkohol
e. Berhenti merokok dan mengurangi asupan lemak jenuh dan kolestrol dalam makanan (
Mansjoer,2000)
Penanggulangan hipertensi secara garis besar fibagi menjadi 2 jenis penatalaksanaan
yaitu :
1. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Pada hipertensi enssensial ringan pengurangan asupan garam dan pengurangan berat
badan dapat digunakan sebagai langkah awal pengobatan Hipertensi, nasehat
pengurangan asupan garam harus memperhatikan kebiasaan makan penderita dengan
mempertimbangkan jenis makanan tertentu yang banyak mengandung garam.
2. Penatalaksanaan Farmakologis
Secara garis besar terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan obat
anti Hipertensi , yaitu :
1. Mempunyai efektifitas tinggi
2. Mempunyai toksisitas dan efek samping ringan atau minimal
3. Memungkinkan penggunaan obat secara oral
4. Tidak menimbulkan intoleransi
5. Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh penderita
6. Memungkinkan pengguna dalam jangka panjang
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh
JNC 7 adalah:
a. Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosteron Antagonist
b. Beta Blocker (BB)
c. Calcium Chanel Blocker atau Calcium antagonist (CCB)
d. Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI)
e. Angiotensin II Receptor Blocker atau Areceptor antagonist/blocker (ARB)
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan target tekanan
darah tercapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat
antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan
pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau
dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi
dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, dan kemudian tekanan darah belum
mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat tersebut, atau
berpindah ke antihipertensif lain dengan dosis rendah. Efek samping umumnya bisa dihindari
dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal maupun kombinasi. Sebagian besar pasien
memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah, tetapi terapi
kombinasi dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena
jumlah obat yang harus diminum bertambah (Yogiantoro, 2006).
2.1.4 Komplikasi
Pada umumnya hipertensi terjadi pada hipertensi berat, yaitu apabila darah diastolic sama
atau > 130 mmHg atau kenaikan tekanan darah yang mendadak tinggi. Pada hipertensi ringan
dan sedang komplikasi jantung koroner lebih banyak ditemukan dibandingkan komplikasi lain
yang timbul akibat hipertensi berat alat tubuh yang sering terserang akibat hipertensi adalah :
1. Mata : berupa pendarahan retina, gangguan penglihatan sampai kebutaan.
2. Payah jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan pada hipertensi berat
disamping kelainan koroner dan miokard.
3. Perdarahan di otak akibat pecahnya mikroaneurisma yang dapat mengakibatkan
kematian.
4. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah proses tromboemboli dan serangan iskemia
otak sementara.
2.1.5 Perawatan Hipertensi
Menurut wolf (2005) dalam Perry dan Potter (2005) yang dapat dilakukan dalam merawat
penderita hipertensi antara lain :
1. Memberikan dukungan pengertian dan kesabaran dalam merawatnya
2. Bersama-sama dalam menjalani perubahan diet, olahraga,merokok dan lain-lain.
3. Memastikan bahwa pasien menjalankan perintah dokter.
4. Memberikan kesempatan untuk beristirahat ditengah hari dan waktu libur.
2.2 Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2010) perilaku dapat di artikan sebagai suatu respon organisme
terhadap rangsangan dari luar subjek tersebut, respon tersebut terdiri dari 2 jenis, yaitu :
1. Perilaku tak terlihat (covert behavior)
Covert behavior terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut tidak dapat diamati orang
lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian,
perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk
perilaku yang tidak dapat diamati atau perilaku yang tidak terlihat yang dapat diukur
adalah pengetahuan dan sikap (Notoatmodjo, 2010).
2. Perilaku yang terlihat (overt behavior)
Overt behavior ini terjadi apabila respon terhadap stimulus sudah berupa tindakan atau
praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau perilaku yang dapat diamati
(Notoatmodjo, 2010).
Ranah (Domain) Perilaku
Meskipun perilaku dibedakan antara perilaku yang terlihat maupun perilaku yang tak
terlihat, sebenarnya perilaku adalah totalitas yang terjadi pada orang yang bersangkutan. Dengan
kata lain, perilaku adalah keseluruhan pemahaman dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil
bersama antara faktor internal dan faktor eksternal. Benyamin Bloom (1908 dalam Notoatmodjo,
2010) seorang ahli psikologi pendidikan membedakan adanya tiga area ranah perilaku ini, yaitu
kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotor (psychomotor).
Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat tiga tingkat ranah perilaku sebagai berikut, yaitu
(Notoatmodjo, 2010).
2.3 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek
melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebaginya). Perhatian tersebut sangat
dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Secara garis besar dibagi
enam tingkatan pengetahuan, yaitu.
a. Tahu (know)
Tahu hanya diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah
mengamati sesuatu (Notoatmodjo, 2010).
b. Memahami (comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekadar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekadar dapat
menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang
objek yang diketahui tersebut (Notoatmodjo, 2010).
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila seseorang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat
menggunakan prinsip yang dipahami tersebut (Notoatmodjo, 2010).
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk memisahkan atau menjabarkan, dan kemudian
mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau
objek yang diketahui (Notoatmodjo, 2010).
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang telah
ada (Notoatmodjo, 2010)
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi adalah kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap
objek tertentu (Notoatmodjo, 2010).
2.4 Sikap
Sikap adalah respons tertutup seseorang tehadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah
melibatkan faktor-faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-
tidak setuju, baik-tidak baik dan sebagainya). Campbell mendefinisikan sangat sederhana, yaitu
sikap itu suatu sindrom atau kumpulan gejala dalam merespon stimuli atau objek (Notoatmodjo,
2010).
Menurut Allport, sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu (Notoatmodjo, 2010).
1. Keyakinan, pendapat atau pemikiran terhadap objek.
2. Penilaian orang terhadap objek.
3. Komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka.
Sikap juga mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya, yaitu.
a. Menerima
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan (objek). Misalnya sikap seseorang terhadap gizi dapat dilihat dari
kesediaan dan perhatiannya terhadap ceramah-ceramah (Notoatmodjo, 2010).
b. Merespons (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang
diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk
menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas pekerjaan itu
benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut (Notoatmodjo, 2010).
c. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain
terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang ibu
yang mengajak ibu lain (tetangganya, saudaranya, dan sebagainya) untuk pergi
menimbangkan anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang gizi adalah suatu
bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak
(Notoatmodjo, 2010).
d. Bertanggung Jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko
merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya seorang ibu mau menjadi akseptor KB
meskipun mendapatkan tantangan dari mertua atau orang tuanya sendiri
(Notoatmodjo, 2010).
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Menurut Green (1980), perilaku ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor yaitu
(Notoatmodjo, 2010).
1. Faktor-Faktor Predisposisi
Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) adalah faktor yang terdapat dalam
individu seperti pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai, persepsi, dan karakteristik
demografi tertentu (umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi keluarga, dan ukuran
keluarga). Faktor predisposisi merupakan suatu preferensi yang dibawa seorang atau
kelompok ke dalam suatu pengalaman belajar.
2. Faktor-Faktor Pendukung
Faktor-faktor pendukung (Enabling factors) adalah faktor yang terwujud dalam fasilitas-
fasilitas atau sarana-sarana.
3. Faktor-Faktor Pendorong
Faktor-faktor pendorong (renforcing factors) adalah faktor yang terwujud dalam sikap
dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi
dari perilaku masyarakat.
Skema PRECEDE (Green, 1990)Sumber : Notoatmodjo, 2010
2.6 Pengertian Kepatuhan atau Ketidakpatuhan
Kepatuhan adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan untuk
pengobatan seperti diet, kebiasaan hidup sehat, ketepatan kontrol berobat (sacket,1995) dalam
Smeth, (1994) sedangkan menurut Trostle (1988) menyatakan kepatuhan adalah tingkat
perilaku penderita dalam pengobatan diet atau melaksanakan gaya hidup yang sesuai dengan
kesehatan.
Menurut Norton (1988) dalam Smeth (1994) Kepatuhan berobat adalah suatu perilaku
dalam bentuk tindakan nyata karena adanya rangsangan dari luar. Norton (1988) dan Sarafino
(1999) juga menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat antara
lain : faktor dari petugas kesehatan, obat dan faktor pencetus sendiri.
Taylor (1991) dalam Smeth (1994) menyebut ketidaktaatan ini sebagai masalah medis
yang berat,dan oleh karena itu sejak tahun 1960 sudah mulai di teliti di Negara industry.
Menurut La Greca dan Stone ( 1985) bahwa mentaati rekomendasi pengobatan yang di
anjurkan dokter merupakan masalah yang sangat penting.
Secara umum ketidakpatuhan meningkatkan resiko berkembangnya masalah kesehatan
atau memperpanjang dan memperburuk kesakita yang sedang di derita pasien yang tidak taat
Faktor Predisposisi
Faktor Pendukung
Faktor Pendorong
Perilaku
dan tidak menjalankan anjuran dan perintah dari petugas kesehatan dipandang sebagai orang
yang lalai ( Smeth, 1994)
2.6.1 Cara Mengukur Kepatuhan Atau Ketidakpatuhan
Beberapa ahli mengemukakan cara mengukur kepatuhan berobat antara lain pengukuran
kepatuhan berobat dinyatakan oleh Sacket dkk (1985) dapat diketahui melalui 7 cara yaitu :
1. Keputusan dokter yang di dasarkan pada hasil pemeriksaan
2. Pengamatan terhadap jadwal pengobatan
3. Penilaian pada tujuan pengobatan
4. Perhitungan jumlah tablet (pil) pada akhir pengobatan
5. Pengukuran kadar obat dalam darah dan urine
6. Wawancara pada penderita
7. Pengisian Formulir khusus
Pernyataan Sarafino (1990) hamper sana dengan sacket yaitu kepatuhan berobat penderita
dapat diketahui dengan 3 cara yaitu :
1. Perhitungan obat secara manual
2. Perhitungan sisa obat berdasarkan suatu alat elektrolit
3. Pengukuran berdasarkan suatu alat elektrolit
Pengukuran kepatuhan berobat melalui cara pengukuran kadar obat dalam darah atau
urine memerlukan biaya yang mahal, kurang praktis dan memerlukan waktu yang lama
( Sacket,dkk,1985,Norton,1988).
Kepatuhan berobat seorang penderita hipertensi sangat menentukan tingkat keberhasilan
dalam pengobatan penyakitnya, dimana seorang dikatakan patuh dalam berobat harus diperiksa
ulang ke puskesmas minimal 1 bulan sekali ( Ratnawati,2006).
2.6.2 Efek-Efek Tidak Patuh
Menurut Schwatxz dan Griffin, (1986) pasien yang tidak taat di pandang sebagai orang
yang lalai dan masalahnya di anggap sebagai masalah kontrol,riset berusaha untuk
mengidentifikasi kelompok-kelompok pasien yang tidak patuh berdasarkan kelas sosio-
ekonomis, pendidikan, umur dan jenis kelamin. Banyak dokter beranggapan bahwa pasien akan
mengikuti apa yang mereka nasehatkan, tanpa menyadari bahwa pasien tersebut pertama-tama
harus memutuskan lebih dahulu apakah mereka akan melakukannya.(Taylor,1991)dalam Smeth
(1994)
Gambar 2.2
Kerangka Teori
Skema Kerangka Teori
Sumber : Lawrence Green (1980) dan Modifikasi Notoatmodjo, 2010
Faktor Penguat :KeluargaTeman SebayaGuruPetugas Kesehatan
Faktor Pemungkin : Ketersediaan sumber daya kesehatanKeterjangkauan sumber daya kesehatan
Faktor PredisposisiPengetahuanKeyakinanNilaiSikapTindakan
Masalah Perilaku Spesifik
2.7 Hasil Penelitian Terkait
Menurut Sarafino (1990) dalam Smeth (1994) menyatakan bahwa 20% jumlah opname
dirumah sakit dari ketidak taatan pasien terhadap aturan pengobatan.
2.7.1 Pengetahuan
Menurut Oesman (1993), di kabupaten Tangerang dan Levine ( 1965) mengemukakan
bahwa rasa takut terhadap penyakit tertentu akan menyebabkan seseorang menjadi lebih banyak
ingin tahu tentang penyakit tersebut sehingga dalam masayrakat ditemukan lebih banyak
pengetahuannya mengenai penyakit yang mereka takuti tersebut.
Menurut Alport (1968), menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab kepatuhan berobat
adalah faktor pengetahuan penderita tentang kesehatan.
Menurut Ratnawati (2006) dalam penelitiannya tentang kepatuhan kontrol berobat
penderita hipertensi di Puskesmas Makrayu Palembang di dapatkan bahwa pengetahuan
responden dengan kategori baik sebesar 91,7% dan didapatkan hubungan antara pengetahuan
penderita dengan kepatuhan berobat sebesar 0,004.
2.7.2 Sikap
Menurut Fishbein M dan Atjen (1975) , sikap merupakan predisposisi dan respon atau
kebiasaan yang konsisten untuk menyukai atau tidak menyukai objek tertentu dan sikap juga
sebagai kecenderungan atau kebiasaan seseorang untuk bertingkah laku tertentu kalau ia
menghadapi satu tantangan tertentu.
Menurut Ratnawati (2006) dalam penelitiannya tentang kepatuhan berobat penderita
Hipertensi di Puskesmas Makrayu Palembang di dapatkan bahwa sikap responden dengan
kategori mendukung sebesar 50% dan didapatkan hubungan antara sikap penderita dengan
kepatuhan berobat sebesar 0,001.
2.7.3 Pendidikan
Pendidikan merupaka salah satu kebutuhan dasar manusia yang sangat diperlukan
pengembangan diri. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mudah menerima dan
mengembangkan pengetahuan dan teknologi ( Notoatmodjo,2010)
2.7.4 Pekerjaan
Frederich, (1980) , mengemukakan bahwa salah satu model pendekatan yang
mempengaruhi tindakan berobat adalah status sosial. Pendekatan ini bertumpu pada asumsi
seseorang yang mempunyai latar belakang tertentu ( misalnya bekerja atau tidak bekerja). Akan
memiliki pandangan tersendiri terhadap pengobatan, kesibukan bekerja merupakan faktor yang
sering dijadikan alas an penderita tidak patuh berobat.
2.7.5 Nasehat Keluarga
Menurut Rodenstok (1974) bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan kepatuhan
berobat, untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar dalam bertindak diperlukan isyarat
berupa faktor eksternal antara lain berupa nasehat atau anjuran dari keluarga penderita. Hal ini
menunjukan bahwa jika seseorang sakit, faktor eksternal merupakan salah satu faktor yang
diperlukan bagi seseorang untuk bertindak maupun mencari pengobatannya.
2.7.6 Peran Petugas
Pelayanan perawatan kesehatan masyarakat ( Perkesmas ) sebagai salah satu kegiatan
pokok puskesmas merupakan bagian integral dari pelayanan puskesmas dan sub system dari
pelayanan kesehatan masyarakata tersebut.
Petugas kesehatan adalah seseorang yang memiliki pengetahuan dan diberikan tanggung
jawab oleh puskesmas dalam membantu pelaksanaan program puskesmas dalam melayani
pasien, petugas kesehatan memilki peranan yang penting dalam kegiatan tersebut ( Depkes
RI,1995 dalam Ali,2000)
2.8 Hipotesis
1. Ada hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan berobat penderita hipertensi
diwilayah kerja Puskesmas Sira Pulau Padang OKI.
2. Ada hubungan antara sikap dengan kepatuhan berobat penderita hipertensi diwilayah
kerja Puskesmas Sira Pulau Padang OKI.
3. Ada hubungan antara pendidikan dengan kepatuhan berobat penderita hipertensi
diwilayah kerja Puskesmas Sira Pulau Padang OKI.
4. Ada hubungan antara pekerjaan dengan kepatuhan berobat penderita hipertensi
diwilayah kerja Puskesmas Sira Pulau Padang OKI.
5. Ada hubungan antara nasehat keluarga dengan kepatuhan berobat penderita hipertensi
diwilayah kerja Puskesmas Sira Pulau Padang OKI.
6. Ada hubungan antara peran petugas dengan kepatuhan berobat penderita hipertensi
diwilayah kerja Puskesmas Sira Pulau Padang OKI.