BAB II Kota Sehat Rohingya.doc

18
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Konsep Kota Sehat 1.Pengertian Kota Sehat Kota sehat dan komunitas sehat berganti nama menjadi The new public health” (Ashton dan Seymour, 1988 dalam Stanhope dan Lancester, 2002). Kemudian oleh World Health Organization (WHO) kota sehat diartikan sebagai bagaimana mewujudkan tatanan suatu komunitas yang dipengaruhi oleh keadaan sosial, ekonomi, politik, lingkungan dan perilaku sehat penduduk nya. Komunitas sehat dapat diwujudkan dengan pemberian promosi kesehatan untuk mendukung lingkungan yang sehat (WHO, 1986 dalam Stanhope dan Lancester, 2002). Secara umum pengertian kota sehat adalah suatu pendekatan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dengan mendorong terciptanya kualitas lingkungan fisik, sosial, budaya dan produktivitas, serta perekonomian yang sesuai dengan kebutuhan wilayah perkotaan. Konsep Kota Sehat merupakan pola pendekatan untuk mencapai kondisi kota/kabupaten yang aman, nyaman dan sehat bagi warganya melalui upaya peningkatan kualitas lingkungan fisik, sosial dan budaya secara optimal sehingga dapat mendukung peningkatan produktivitas dan perekonomian wilayah (atau lebih bertujuan kepada good governance (Dephut, 2009). Kota sehat adalah suatu pendekatan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dengan mendorong terciptanya kualitas lingkungan fisik, sosial, budaya dan produktivitas, serta perekonomian yang sesuai dengan kebutuhan wilayah perkotaan. Konsep Kota Sehat merupakan pola pendekatan untuk mencapai kondisi kota/kabupaten yang aman, nyaman dan sehat bagi warganya melalui upaya peningkatan kualitas lingkungan fisik, sosial dan budaya secara optimal sehingga dapat mendukung peningkatan 4

Transcript of BAB II Kota Sehat Rohingya.doc

Page 1: BAB II Kota Sehat Rohingya.doc

BAB IITINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Kota Sehat1. Pengertian Kota Sehat

Kota sehat dan komunitas sehat berganti nama menjadi “The new public health” (Ashton dan Seymour, 1988 dalam Stanhope dan Lancester, 2002). Kemudian oleh World Health Organization (WHO) kota sehat diartikan sebagai bagaimana mewujudkan tatanan suatu komunitas yang dipengaruhi oleh keadaan sosial, ekonomi, politik, lingkungan dan perilaku sehat penduduk nya. Komunitas sehat dapat diwujudkan dengan pemberian promosi kesehatan untuk mendukung lingkungan yang sehat (WHO, 1986 dalam Stanhope dan Lancester, 2002).

Secara umum pengertian kota sehat adalah suatu pendekatan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dengan mendorong terciptanya kualitas lingkungan fisik, sosial, budaya dan produktivitas, serta perekonomian yang sesuai dengan kebutuhan wilayah perkotaan. Konsep Kota Sehat merupakan pola pendekatan untuk mencapai kondisi kota/kabupaten yang aman, nyaman dan sehat bagi warganya melalui upaya peningkatan kualitas lingkungan fisik, sosial dan budaya secara optimal sehingga dapat mendukung peningkatan produktivitas dan perekonomian wilayah (atau lebih bertujuan kepada good governance (Dephut, 2009).

Kota sehat adalah suatu pendekatan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dengan mendorong terciptanya kualitas lingkungan fisik, sosial, budaya dan produktivitas, serta perekonomian yang sesuai dengan kebutuhan wilayah perkotaan. Konsep Kota Sehat merupakan pola pendekatan untuk mencapai kondisi kota/kabupaten yang aman, nyaman dan sehat bagi warganya melalui upaya peningkatan kualitas lingkungan fisik, sosial dan budaya secara optimal sehingga dapat mendukung peningkatan produktivitas dan perekonomian wilayah (atau lebih bertujuan kepada “good governance”) (Depkes RI, 2005).

2. Tujuan Pembangunan Kota Sehat

Menurut Joga (2005), Tujuan kota sehat ialah tercapainya kondisi kota untuk hidup dengan aman, nyaman dan sehat bagi warganya melalui upaya peningkatan kualitas lingkungan fisik, sosial dan budaya secara optimal sehingga dapat mendukung pempat yang meningkatan produktifitas dan perekonomian wilayah. Ada 3 tujuan utama pembangunan kota sehat, yaitu :a. Untuk mencapai kehidupan yang layak dan menghapus kemelaratanb. Untuk memperoleh dukungan lingkungan yang efisien, yaitu tempat yang

menyenangkan, nyaman, aman, dan menarik. c. Untuk mewujudkan manajemen penggunaan sumber daya yang berkelanjutan dan

upaya mengurangi bahaya lingkungan.

4

Page 2: BAB II Kota Sehat Rohingya.doc

5

3. Ciri-Ciri Kota SehatMenurut Sujadi (1998), ciri-ciri kabupaten/ kota sehat sebagai berikut:

a. Pendekatan tergantung permasalahan yang dihadapib. Berasal dari kebutuhan masyarakat, dikelola oleh masyarakat, sedangkan

pemerintah sebagai fasilitatorc. Mengutamakan pendekatan proses dari pada target, tidak mempunyai batas waktu,

berkembang sesuai sasaran yang diinginkan masyarakat yang dicapai secara bertahap.

d. Penyelenggaraan kegiatan didasarkan kesepakatan dari masyarakat (Toma, LSM setempat) bersama Pemkab

e. Pendekatannya juga merupakan master plan Kota.f. Pemerintah kota merupakan partner kunci yang melaksanakan kegiatang. Kegiatan tersebut dicapai melalui proses dan komitmen pimpinan daerah, kegiatan

inovatif dari berbagai sektor yang dilakukan melalui partisipasi masyarakat dan kerjasama.

h. Dalam pelaksanaan kegiatan harus terintegrasi kondisi fisik, ekonomi, dan budaya setempat.

4. Tatanan Kota sehat

Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor: 34 Tahun 2005, tatanan dan sasaran Kota Sehat sesuai dengan potensi dan permasalahan pada masing-masing kecamatan, dikelompokkan dalam 9 tatanan berdasarkan tatanan/kawasan dan permasalahan khusus sebagai berikut:a. Kawasan Permukiman, Sarana dan Prasarana Umumb. Kawasan Sarana Lalu Lintas Tertib & Pelayanan Transportasic. Kawasan Industri & Perkantoran yang Sehatd. Kawasan Kawasan Pariwisata Sehate. Kawasan Pertambangan Sehatf. Kawasan Hutan Sehatg. Kehidupan Masyarakat Sehat yang Mandirih. Ketahanan Pangan dan Gizi i. Kehidupan Sosial yang Sehat.

Komponen yang harus ada pada program Kota Sehat antra lain:a. Tim Pembina Tehnis Kabupaten (Tingkat Kabupaten).b. Forum Kabupaten/Kota Sehat (Tingkat Kabupaten)c. Forum Komunikasi Desa/Kelurahan Sehat (Tk. Kecamatan)d. Kelompok Kerja (Tk. Desa/Kelurahan)

5. Dasar Hukum dan Indikator Kota SehatDasar hukum Penyelenggaran Kabupaten/Kota Sehat adalah:a. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Page 3: BAB II Kota Sehat Rohingya.doc

6

b. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerahc. UU Nomor 25 Tahun 2004 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasionald. Peraturan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun

2005 dan Nomor 1138/MENKES/PB/VIII/2005 tentang PENYELENGGARAAN KABUPATEN/ KOTA SEHAT.

Dasar hukum pembentukan Tim Pembina Teknis Kabupaten/Kota Sehat adalah :a. Keputusan Mendagri No. 650/174 Tahun 1998 Tentang Pembentukan Kelompok

Kerja Pembinaan Pelaksanaan Program Kabupaten/Kota Sehatb. Keputusan Mendagri No. 650-185 Tahun 2002 Tentang Pembentukan Kelompok

Kerja Pembinaan Pelaksanaan Program Kabupaten/Kota Sehat.

6. Kebijakan Kota sehat Menurut Depkes RI (2004), kebijakan mengenai kota sehat adalah:a. Menyelenggarakan semua program kesehatan dalam rangka mengatasi

permasalahan kesehatan daerah, secara bertahap, sesuai prioritas dan dengan memperhatikan potensi daerah tersedia.

b. Pelaksanaan program kesehatan tidak terbatas pada standar pelayanan minimal akan tetapi semua program yang menjadi kebutuhan masyarakat.

c. Pelaksanaan program-program kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan aspirasi dari masyarakat melalui forum di kabupaten/kota, forum komunikasi di desa/kelurahan sehat atau kawasan sehat tertentu dan pokja di desa/kelurahan.

d. Memanfaatkan kawasan potensial, sebagai pintu masuk (entry point), dimulai dengan kegiatan sederhana yang disepakati masyarkat dan terintegrasi dengan kegiatan sektor.

e. Mengutamakan proses daripada target, berjalan terus-menerus, dimulai dengan kegiatan prioritas dalam satu tatanan kawasan, dan dicapai dalam waktu yang sesuai dengan kemampuan masyarakat dan semua pelaku pembangunan yang mendukung

f. Pemerintah bersama-sama dengan forum menetapkan pilihan tatanan, kegiatan serta jenis dan besaran indikatornya.

g. Evaluasi kegiatan dilakukan secra terintegrasi oleh forum dan pokja desa/ kelurahan sehat bersama-sama Pemerintah Daerah, LSM, Perguruan Tinggi, dan media masa.

7. Prinsip-Prinsip Kota SehatPrinsip-prinsip primary health care menurut WHO (1978) pada Ottawa

Charter adalah sebagai berikut:a. Equity

Implikasi dari kesamaan akses pelayanan promosi kesehatan pada populasi atau kelompok resiko yang mengalami masalah kesehatan seperti kemiskinan, remaja, lanjut usia, kelompok minoritas, kesepian.

Page 4: BAB II Kota Sehat Rohingya.doc

7

b. Health promotionPromosi kesehatan dan pencegahan penyakit yang berfokus pada pemberian pelayanan komunitas dalam segala aspek fisik, mental, dan emosional. Individu dalam komunitas juga termasuk dalam sasaran promosi kesehatan.

c. Community participationAdanya peran serta aktif individu dalam komunitas yang saling memotivasi dan memberikan segala bentuk kerja sama aktif termasuk didalamnya informasi yang baik dari semua anggota komunitas yang tergambar dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi program kesehatan.

d. Multisectoral cooperationAdanya kerjasama antara lintas sektoral dari segala elemen pemerintah yang terkait dengan kesehatan keperawatan komunitas.

e. Appropriate technologyKetepatan dalam mengggunakan tehnologi khususnya tehnologi informasi, sosial, biomedical, dan pelayanan kesehatan yang relevan.

Promosi kesehatan menjadi strategi kunci untuk mencapai tujuan kesehatan pada saat Ottawa Charter, tahun 1986 promosi kesehatan dicetuskan. Pada Ottawa Charter ditegaskan bahwa dalam promosi kesehatan termasuk ada bagaimana mewujudkan kota sehat dan komunitas sehat (WHO, 1992 dalam Stanhope dan Lancester, 2002). Promosi kesehatan adalah proses membuat masyarakat atau orang-orang mampu mengontrol dan memperbaiki kesehatannya (WHO, 1986).

8. Elemen Kerangka Strategis Kota SehatAda lima elemen kerangka strategi untuk membangun promosi kesehatan

menurut Ottawa Charter (WHO, 1986 dalam Stanhope dan Lancester, 2002) sebagai berikut :a. Healthy public policy

Kebijakan yang didasarkan pada perspektif ekologi dan multisektoral serta strategi partisipasi, berorientasi ke depan, dan kesamaaan antara masalah kesehatan lokal dengan issue global yang berkembang.

b. Creating supportive environmentLingkungan fisik, politik, ekonomi dan sosial sistem yang mendukung kesehatan komunitas.

c. Strengthening community actionKapasitas dalam promosi kesehatan, kemampuan, kesempatan untuk bertindak dan melindungi serta memperbaiki kesehatan komunitas.

d. Developing personal skillMenolong masyarakat dan orang-orang dalam mengembangkan gaya hidup yang mengarah hidup sehat.

e. Reorienting health services

Page 5: BAB II Kota Sehat Rohingya.doc

8

Mengubah fokus pelayanan kesehatan menuju kesehatan pelayanan primer (primary health care), dengan promosi kesehatan, pencegahan penyakit yang berorientasi pada komunitas.

Ada beberapa model untuk mewujudkan kota sehat dan komunitas sehat menurut Rothman dan Tropman (1978) dalam Stanhope dan Lancester (2002) sebagai berikut:a. Locality development

Adalah suatu model yang berorientasi menekankan pada suatu consensus, kerjasama dan membangun identitas kelompok dan sense of community atau rasa saling memiliki sebagai satu komunitas.

b. Sosial planningPerencanaan sosial memuat tentang pemecahan masalah yang biasanya melibatkan ahli professional. Perencanaan sosial fokus kepada bagaimana membangun

c. Sosial actionAdalah meningkatkan kemampuan penyelesaian masalah pada komunitas.

B. Konsep Pengungsi

1. Definisi Pengungsi

United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) dalam Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, menjabarkan definisi pengungsi sebagai “seseorang yang dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan penganiayaan, yang disebabkan oleh alasanan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu dan keanggotaan partai politik tertentu, berada diluar Negara kebangsaannya dan tidak menginginkan perlindungan dari negara tersebut." (www.unhcr.or.id).

Pengertian pengungsi menurut Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) adalah orang yang dipaksa untuk keluar dari rumah atau wilayah yang merupakan tempat mereka tinggal, mencari nafkah, berkeluarga, dan lain-lain. Sedangkan dalam Ensiklopedia Indonesia pengungsi adalah seseorang atau sekelompok orang yang meninggalkan suatu wilayah guna menghindari suatu bencana atau musibah. Bencana ini dapat berbentuk banjir, tanah longsor, tsunami, kebakaran, dan lain sebagainya yang diakibatkan oleh alam. Dapat pula bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia secara langsung misalnya perang, kebocoran nuklir dan ledakan bom.

Pada umumnya, pengungsian dilakukan karena terjadinya penindasan hak azasi pengungsi di negara mereka sehingga mereka juga mencari tanah atau negara lain sebagai tempat kediaman barunya yang tentunya jauh dari penindasan hak azasi manusia. Pencairan negara baru oleh pengungsi tentu saja harus dianggap sebagai suatu hak azasi manusia (Husin, 1998). Rasa takut akan penindasan yang berdasar inilah yang membedakan pengungsi dengan jenis migran lainnya, seberat apapun situasinya, dan juga dari orang lain yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Karena

Page 6: BAB II Kota Sehat Rohingya.doc

9

pengungsi tidak dapat mengandalkan perlindungan dari negara yang seharusnya memberi perlindungan kepada mereka, maka untuk menanggapi situasi menyedihkan yang dihadapi pengungsi, persiapan-persiapan khusus harus dibuat oleh masyarakat internasional.

2. Jenis Pengungsi

Berdasarkan Konvensi tahun 1951 di Jenewa, United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) mengelompokkan pengungsi menjadi dua jenis yaitu pengungsi internal disebut Internal Displace Persons (IDPs) dan pengungsi lintas batas atau Refugee.a. Pengungsi Internal atau Internally Displace Persons (IDPs)

Pengungsi Internal atau Internally Displace Persons (IDPs) adalah pengungsi yang keluar dari wilayah tertentu dan menempati wilayah lain tetapi masih dalam satu daerah kekuasaaan satu negara. Pengungsi internal biasanya merupakan penduduk migran terpaksa akibat konflik bersenjata atau akibat dari situasi-situasi rawan lainnya (seperti tindak kekerasan, bencana alam, bencana akibat ulah manusia) yang tidak melintasi perbatasan negaranya. Pengungsi internal juga dapat diartikan sebagai seseorang atau kelompok masyarakat yang berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain sebagai akibat dari bencana alam dan atau bencana sosial yang menimbulkan kecemasan dan ketakutan yang dapat mengancam setiap jiwa individu dan kelompok. Berbagai pertikaian dan kekerasan, baik yang disebabkan oleh prasangka etnis (etnocentris), dan agama (religiosentris), maupun sebagai dampak kecemburuan penduduk lokal dengan pendatang yang berbasis ketimpangan dan perbedaan akses atas penguasaan sumber-sumber daya ekonomi, telah berakibat pada pengungsian besar-besaran warga masyarakat dari berbagai daerah.

b. Pengungsi Lintas Batas (Refugee)Pengungsi lintas negara (refugee) adalah seseorang atau sekelompok orang

yang oleh karena rasa takut yang wajar akan kemungkinan dianiaya berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada suatu kelompok sosial tertentu atau pandangan politik, terpakasa keluar dari negara asalnya dan tidak bisa atau karena rasa takut itu, tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negeri tersebut.

3. Tahap Status PengungsiDalam status perjalanan statusnya, pengungsi mengalami beberapa tahap (Mardianto, 2002) yaitu :a. Tahap sebelum pelarian (Pre-fligth) yaitu pengungsi ditampung di suatu tempat

yang aman sebelum akhirnya dipindah ke tempat tujuan. Lamanya di tempat penampungan tergantung dari sarana yang ada untuk memindahkan pengungsi ke tempat tujuan.

b. Tahap pelarian dan keterpisahan (flight and separation). Pada tahap ini pengalaman pengungsi dalam perjalanan ke tempat tujuan. Kondisi ini sangat

Page 7: BAB II Kota Sehat Rohingya.doc

10

tergantung pada sarana transportasi yang didapatkan oleh pengungsi. Banyaknya pengungsi dapat menimbulkan masalah pendataan anggota keluarga pengungsi dan kemungkinan terpisah dengan anggota keluarga yang lain.

c. Tahap penampungan di tempat tujuan (Asylum). Pengungsi ditampung di tempat penampungan darurat yang fasilitasnya sangat terbatas, bisa juga tinggal di rumah-rumah penduduk. Lama tinggal di penampungan tergantung pada penyediaan tempat baru yang disediakan pemerintah setempat yang menjadi tujuan pengungsi.

d. Tahap penempatan di tempat tinggal yang baru (Resettlement). Pada tahap ini pengungsi menempati tempat tinggal tetap yang disediakan pemerintah.

C. Model Asuhan Keperawatan KomunitasDalam penyusunan kota sehat pada aggregate Adolescence/ remaja, penyusun

memilih pendekatan atau model keperawatan komunitas, yaitu Model Community As Partner. Model Community As Partner merupakan model yang dikembangkan dari teori Betty Neuman (1972). Pada awalnya Anderson dan McFarlane (1996) menggunakan model “community as client”. Pada tahun 2000 model disempurnakan menjadi “community as partner”.

Model konsep ini merupakan model konsep yang menggambarkan aktivitas keperawatan, yang ditujukan kepada penekanan penurunan stress dengan cara memperkuat garis pertahanan diri, baik yang bersifat fleksibel, normal, maupun resisten dengan sasaran pelayanan adalah komunitas (Anderson, 2004).

Anderson dan McFarlane (2004) menyatakan bahwa dengan menggunakan model community as partner terdapat dua komponen utama yaitu roda pengkajian komunitas dan proses keperawatan. Model ini sebagai panduan proses keperawatan dalam pengkajian komunitas, analisa, dan diagnosa, perencanaan, implementasi komunitas yang terdiri dari tiga tingkatan pencegahan; primer, sekunder, dan tersier, dan program evaluasi (Stanhope, 2004). Fokus pada model ini komunitas sebagai partner dan penggunaan proses keperawatan sebagai pendekatan.

Page 8: BAB II Kota Sehat Rohingya.doc

11

Sumber: Anderson Elizabeth & McFarlane (2004).

Aggregate pengungsi rohingya dalam model community as partner ini meliputi intrasistem dan ekstrasistem. Intrasistem terkait dengan model ini adalah sekelompok orang-orang yang memiliki satu atau lebih karakteristik. Aggregate ekstra sistem meliputi delapan subsistem yaitu komunikasi, transportasi dan keselamatan, ekonomi, pendidikan, politik dan pemerintahan, layanan kesehatan dan sosial, lingkungan fisik dan rekreasi. Delapan subsistem dipisahkan dengan garis putus-putus artinya sistem satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Di dalam komunitas ada lines of resistance, merupakan mekanisme internal untuk bertahan dari stressor (Anderson, 2004). Adapun pengkajian komunitas menurut Anderson dan Mc.Farlane (2004) sebagai berikut:1. Pengkajian

Yang perlu dikaji pada kelompok atau komunitas adalah :a. Core atau inti: data demografi kelompok atau komunitas yang terdiri : Umur,

pendidikan, jenis kelamin, aktivitas, agama, nilai-nilai tempat pasien dan kelompok pasien tinggal, keyakinan serta riwayat timbulnya kelompok atau komunitas .

Page 9: BAB II Kota Sehat Rohingya.doc

12

b. Delapan subsistem yang mempengaruhi komunitas: 1) Lingkungan: Apakah rumah yang dihuni oleh pengungsi cukup penerangan,

sirkulasi dan kepadatan tempat tinggal sudah layak bagi dalam keluarga.2) Pendidikan: Bagaimana Sarana pendidikan yang dapat digunakan para

pengungsi sebagai tempat sekolah maupun pendidikan lainnya. 3) Keamanan dan keselamatan di lingkungan tempat tinggal: Apakah keamanan

para pengungsi di lingkungannya sudah terpenuhi, apakah aman dari komplikasi penyakit maupun dari resiko menular dan masalah social seperti rokok, seks pranikah, narkoba, infeksi menular seksual, abortus, gizi kurang atau lebih, HIV/ AIDS, masalah kejiwaan akibat beban yang semakin meningkat, dan KDRT dalam kelompok/masyarakat. Bagaimana keselamatan para pengungsi ditempat pengungsian.

4) Politik dan kebijakan pemerintah terkait dengan para pengungsi Rohingya: Apakah ada kebijakan daerah/ pemerintah terhadap status kesehatan kelompok tersebut.

5) Pelayanan kesehatan: apakah ada pelayanan kesehatan terdekat yang perduli akan kebutuhan para pengungsi, apakah ada ruangan khusus pada tempat pelayanan kesehatan tersebut.

6) Sistem komunikasi: Sarana komunikasi apa saja yang dapat dimanfaatkan di komunitas tersebut untuk meningkatkan pengetahuan atau mendapatkan informasi, misalnya: televisi, radio, koran atau leaflet yang diberikan kepada komunitas.

7) Ekonomi: Tingkat sosial ekonomi komunitas secara keseluruhan, bagaimana para pengungsi memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

8) Rekreasi: Apakah tersedia sarana tempat bermain bagi para pengungsi dan anak-anak di tempat pengungsian.

2. Diagnosa Keperawatan Diagnosis adalah suatu pernyataan hasil sintesis pengkajian data. Diagnosis

merupakan suatu label yang mendeskripsikan situasi atau kondisi dan mengandung etiologi (Anderson, 2004). Diagnosis keperawatan komunitas berfokus pada suatu komunitas yang biasanya didefinisikan sebagai suatu kelompok, populasi atau kumpulan orang dengan sekurang-kurangnya memiliki satu karakteristik tertentu (misalnya lokasi geografik, pekerjaan, etnik, atau kondisi perumahan) untuk memperoleh diagnosis keperawatan komunitas, data hasil pengkajian komunitas dianalisis dan dibuat simpulan. Pernyataan simpulan membentuk diagnosis keperawatan. beberapa pernyataan simpulan membentuk bagian deskriptif dari diagnosis keperawatan; yaitu menunjukkan masalah kesehatan komunitas potensial maupun aktual atau keprihatianan (Anderson, 2004), misalnya diagnosa pada para pengungsi Rohingya, antara lain: a. Gangguan Pernapasan berhubungan dengan perilaku

merokok ditandai jumlah perokok yang meningkat.

Page 10: BAB II Kota Sehat Rohingya.doc

13

b. Resiko dan Aktual Infeksi menular berhubungan dengan buruknya personal hygiene di tempat pengungsian.

Pendokumentasian adalah laporan kejadian, data sensus, dan statistik vital dari daerah yang kelompok diambil sebagai wilayah kota sehat untuk aggregate pengungsi Rohingya.

3. Perencanaan Setelah mengkaji keseluruhan komunitas, menganalisis data, dan menetapkan

diagnosis keperawatan komunitas, langkah selanjutnya adalah mempertimbangkan intervensi keperawatan yang terdapat meningkatkan kesehatan komunitas tersebut untuk memformulasikan rencana berfokus komunitas. Masing-masing pernyataan diagnosis gambaran masalah yang aktual atau potensial, penyebab, dan gejala dan tanda mengarahkan upaya perencanaan perawatan (Anderson, 2004).

Perencanaan seperti pengkajian dan analisis, merupakan suatu proses sistematik yang dibuat melalui kemitraan dengan komunitas. Langkah penting yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan dan memelihara kemitraan adalah memvalidasi diagnosis keperawatan bersama warga. Komunitas berhak untuk mengidentifikasi kebutuhan kesehatannya dan melakukan negosiasi dengan perawat kesehatan komunitas dalam intervensi dan program khusus (Anderson, 2004).

Perencanaan merupakan tindakan pencegahan primer, sekunder, tersier yang cocok dengan kondisi klien (keluarga, masyarakat) yang sesuai dengan diagnosa yang telah ditetapkan. Proses didalam tahap perencanaan ini meliputi penyusunan, pengurutan masalah berdasarkan diagnosa komunitas sesuai dengan prioritas (penapisan masalah), penetapan tujuan dan sasaran, menetapkan strategi intervensi dan rencana evaluasi (Mubarak, 2009).

Pertimbangan lain perawat komunitas yang terlibat dalam perencanaan berfokus komunitas adalah kebutuhan kesehatan aggregate para pengungsi terkait masalah-masalah yang sering dialami oleh mereka.

4. Implementasi Setelah tujuan dan objektif disetujui dan didokumentasi pada fase

perencanaan, semua hal yang tercakup dalam implementasi akan secara aktual menjalankan aktivitas yang diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. Pelaksanaan kegiatan komunitas berfokus pada tiga tingkat pencegahan (Anderson, 2004), yaitu:a. Pencegahan primer yaitu pencegahan sebelum sakit atau disfungsi dan

diaplikasikan ke populasi sehat pada umumnya, mencakup pada kegiatan kesehatan secara umum dan perlindungan khusus terhadap suatu penyakit. Misalnya: kegiatan promosi kesehatan tentang pencegahan penyakit menular seksual dan gangguan pernapasan pada remaja akibat merokok.

Page 11: BAB II Kota Sehat Rohingya.doc

14

b. Pencegahan sekunder Pencegahan sekunder yaitu kegiatan yang dilakukan pada saat terjadinya perubahan derajat kesehatan masyarakat dan ditemukannya masalah kesehatan. Pencegahan sekunder ini menekankan pada diagnosa dini dan intervensi yang tepat untuk menghambat proses penyakit atau kelainan sehingga memperpendek waktu sakit dan tingkat keparahan. Misalnya memberikan pengobatan terhadap kelompok pengungsi yang terkena gangguan pernapasan akibat penyakit TB, rokok aktif maupun sebagai perokok pasif, serta yang terkena infeksi menular seksual, atau memberikan suplemen vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh bagi remaja.

c. Pencegahan tersier Pencegahan tersier adalah kegiatan yang menekankan pada pengembalian individu pada tingkat fungsinya secara optimal dari ketidakmampuan keluarga. Pencegahan ini dimulai ketika terjadinya kecacatan atau ketidakmampuan yang menetap bertujuan untuk mengembalikan ke fungsi semula dan menghambat proses penyakit.

5. Evaluasi Perawat mengevaluasi respons upaya mengukur kemajuan terhadap tujuan dan

objektif program. Evaluasi merupakan hal yang penting dalam praktik keperawatan, tetapi evaluasi pun berperan sangat penting bagi berfungsinya lembaga kesehatan. Sejalan dengan landasan teoritis dalam menjalin kemitraan dengan komunitas, program evaluasi yang dipilih didasarkan pada prinsip yang dikemukakan oleh W.K. Kellogg Foundation (1998). Prinsip tersebut disimpulkan sebagai berikut (Anderson, 2004):a. Memperkuat program

Tujuan kita adalah promosi kesehatan dan peningkatan kepercayaan diri komunitas. Evaluasi membantu pencapaian tujuan ini dengan cara menyediakan proses yang sistematik dan berkelanjutan dalam mengkaji program, dampaknya serta hasil akhir program tersebut.

b. Menggunakan pendekatan multipelSelain pendekatan multidisiplin, metode evaluasi mungkin banyak dan bermacam-macam. Tidak ada satu pendekatan yang lebih unggul, tetapi metode yang dipilih harus sejalan dengan tujuan program.

c. Merancang evaluasi untuk memenuhi isu nyata Program berbasis dan berfokus komunitas, yang berakar pada komunitas nyata dan berdasarkan pengkajian komunitas, harus memiliki rancangan evaluasi untuk mengukur kriteria mengenai pentingnya program tersebut bagi komunitas.

d. Menciptakan proses partisipasi Apabila anggota komunitas merupakan bagian dari pengkajian, analisis, perencanaan, dan implementasi, merekapun harus menjadi mitra dalam evaluasi.

Page 12: BAB II Kota Sehat Rohingya.doc

15

e. Memungkinkan fleksibilitas Pendekatan evaluasi harus fleksibel dan bersifat prespektif; jika tidak, akan sulit untuk mendokumentasikan munculnya perubahan yang seringkali meningkat secara tajam dan kompleks.

f. Membangun kapasitasProses evaluasi, selain mengukur hasil akhir, harus meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan perilaku individu yang terlibat didalamnya. Hal ini serupa dengan konteks professional maupun nonprofessional.