BAB II KONSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM ...
Transcript of BAB II KONSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM ...
BAB II
KONSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGELUARKAN
PUTUSAN YANG BERBEDA DENGAN PUTUSAN SEBELUMNYA
DENGAN SUBTANSI YANG SAMA
2.1. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Indonesia merupakan Negara ke-78 yang memiliki lembaga pengadilan
konstitusionalitas yang diberikan kewenangan menguji materiil sebuah undang-
undang.14 Negara Amerika Serikat merupakan Negara yang pertama kali
memperkenalkan fungsi pengadilan konstitusionalitas dengan kasus terkenal pada
waktu itu, yaitu kasus “Marbury versus Madison”tahun 1803.15 Ketua Mahkamah
agung Amerika Serikat John Marsall16
Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
adalah pertama kali menafsirkan konstitusi
untuk membatalkan undang-undang yang sebelumnya telah disahkan oleh
Kongres Amerika konstitusi Amerika Serikat. Oleh karena itu, kasus tersebut
dapat dipandang sebagai judicial intrerpetation, yakni perubahan konstitusi
melalui penafsiran hakim atau pengadilan.
14 Jimly Asshiddiqie dalam Pengantar Mahkamah Kon8stitusi Kompilasi konstitusi Undang-undang dan Peraturan di 78 negara,Pusat studi Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, 2003, h. 1. 15 David P. Currie, The Constitution of the United States, A prime for the people, Chicago and London, The University of the Chicago Press, 1988, h. 14; dan Lawrence M.friedman, Amerika Law an Introducation, second edition, terjemahan wisnu basuki dalam buku Taufiqurahman Syahuri, Tafsir Konstitusi berbagai Aspek Hukum,Jakarta,Kecana, 2011, h. 109. 16 Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1978, hlm. 142. Dikutip dari Ibid, h.109.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
keadilan. Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin konstitusi sebagai
hukum tertinggi agar dapat ditegakkan, sehingga Mahkamah Konstitusi disebut
dengan the guardian of the constitution.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi ini setingkat atau sederajat dengan
Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka17 dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Dalam menjalankan kewenangannya, termasuk di
dalamnya adalah menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar,
Mahkamah Konstitusi juga melakukan penafsiran konstitusi, sehingga Mahkamah
Konstitusi juga disebut the Sole Interpreter of the Constitution.
Lembaga penafsir tunggal konstitusi, banyak hal dalam mengadili
menimbulkan akibat terhadap kekuasaan lain dalam kedudukan berhadap-
hadapan, terutama terhadap lembaga legislatif di mana produknya di review. 1
17 Miftakhul Huda, Ultra Petita dalam Pengujian Undang-Undang, dalam Jurnal Konstitusi Volume 4 Nomor 3 September 2007, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, , Jakarta, h. 144
Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah
sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi yudisial dengan kompetensi
obyek perkara ketatanegaraan. Keberadaan Mahkamah Konstitusi dipahami
sebagai pengawal konstitusi untuk memperkuat dasar-dasar konstitusionalisme
dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman diharapkan mampu mengembalikan citra lembaga
peradilan di Indonesia sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dapat
dipercaya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
Dasar filosofis dari wewenang dan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah
keadilan substantif dan prinsip-prinsip good governance. Selain itu, teori-teori hukum
juga memperkuat keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara pengawal
dan penafsir konstitusi. Kehadiran Mahkamah Konstitusi beserta segenap wewenang dan
kewajibannya, dinilai telah merubah doktrin parlemen (parliamentary supremacy) dan
menggantikan dengan ajaran supremasi konstitusi.18
Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) mengariskan wewenang dan kewajiban
Mahkamah Konstitusi sebagai berikut.
Keadilan substantive (substantive
justice) merupakan bagian untuk tidak mengarahkan kepada persamaan, melainkan
bagian berpihak kepada yang benar. Dalam penerapan keadilan substantif ini, pihak yang
benar akan mendapat kemenangan sesuai dengan bukti-bukti akan kebenarannya. Teori-
teori yang menjadi dasar pentingnya reformasi konstitusi dan menjadi dasar wewenang
serta kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah teori kedaulatan negara, teori konstitusi,
teori negara hukum demokrasi, teori kesejahteraan, teori keadilan, dan teori kepastian
hukum.
Dasar yuridis wewenang Mahkamah Konstitusi berasal dari Undang-
Undang Dasar 1945 yang diatur dalam Pasal 7A, pasal 7B, Pasal 24C dan
dijabarkan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 atas perubahan Nomor
8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi . Terhadap perorangan, kesatuan
masyarakat adat sepanjang masih hidup, badan hukum publik atau privat, lembaga
negara, partai politik, ataupun pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, jika hak
dan/atau wewenang konstitusionalnya dirugikan, dapat mengajukan permohonan
ke Mahkamah Konstitusi.
18 Mariyadi Faqih, Nilai-nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat, dalam Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 3 Juni 2010, Sekretarian Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, h. 97.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
2. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut UUD.
Wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut secara khusus diatur lagi dalam
pasal 10 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai
berikut.
a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945).
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenanganya
diberikan oeh UUD 1945.
c. Memutus pembubaran partai politik.
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Sebagai organ konstitusi Mahkamah Konstitusi didesain untuk menjadi
pengawal dan penafsir undang-undang dasar melalui putusan-putusannya. Dalam
menjalankan tugas konstitusionalnya, Mahkamah Konstitusi berupaya
mewujudkan tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum
dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.
Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
diembannya secara merdeka dan bertanggung jawab sesuai dengan amanat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mahkamah Konstitusi membuka diri untuk menerima permohonan dari
masyarakat yang merasa hak-haknya dan kewenangan konstitusionalnya dilanggar
akibat berlakunya suatu undang-undang. Landasan kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional di uraikan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut, dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Konstitusi menjamin sebagai hukum tertinggi yang dapat ditegakkan
sebagaimana mestinya, yang dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal
konstitusi, Sebagai penafsir tunggal atas konstitusi, Mahkamah Konstitusi dalam
perkembangannya oleh sebagian penggiat hukum dikhawatirkan akan menjadi
lembaga yang memiliki kewenangan super body. Khususnya dalam
menyelesaikan perkara terkait dengan kewenangan yang melekat, Mahkamah
Konstitusi secara sepihak bisa menafsirkan Undang-Undang Dasar tanpa dapat
dipersoalkan, selain itu putusan yang dihasilkan Mahkamah Konstitusi bersifat
final dan mengikat, sehingga ketika ada salah satu pihak yang merasa dirugikan
dengan putusan Mahkamah Konstitusi tidak bisa melakukan upaya hukum yang
lain kecuali ada bukti-bukti permohonan yang beralasan.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
2.2. Konsep Pengujian Undang-Undang
Konsep judicial review itu sendiri sebenarnya dilihat sebagai hasil
perkembangan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan
atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation
of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of
fundamental rights)19. Pengujian peraturan perundang-undangan dapat dibagi
berdasarkan subyek yang melakukan pengujian, obyek peraturan yang diuji, dan
waktu pengujian. Dilihat dari segi subyek yang melakukan pengujian, pengujian
dapat dilakukan oleh hakim (toetsingsrecht van de rechter atau judicial review),
pengujian oleh lembaga legislatif (legislative review), maupun pengujian oleh
lembaga eksekutif (executive review). 20
Indonesia mengatur ketiga pengujian tersebut. Pengujian oleh hakim
(toetsingsrecht van de rechter atau judicial review) diatur baik sebelum dan
sesudah perubahan UUD 1945.
21
19 Herbert Hausmaninger, The Austrian Legal Sistem,Wien, 2003, h. 139 dalam Jimly Asshiddiqie, 2010, Model-model Pengujian Konstitutional di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Jimly Asshiddiqie I), h. 8. 20 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi , Jakarta, Cetakan pertama, agustus 2010, h. 82. (selanjutnya disebut Hukum acara MK) 21 Ibid
Pengaturan mengenai pengujian peraturan
perundang-undangan pada masa berlakunya UUD 1945, pertama kali diatur dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, yang mengatur pengujian terhadap peraturan perundang-
undangan di bawah UU terhadap UU merupakan kewenangan Mahkamah Agung.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
Setelah perubahan UUD 1945, kewenangan pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah UU terhadap UU tetap merupakan kewenangan Mahkamah
Agung, sedangkan pengujian UU terhadap UUD merupakan kewenangan
Mahkamah Konstitusi.
Pengujian UU oleh lembaga legislatif (legislative review) dilakukan dalam
kapasitas sebagai lembaga yang membentuk dan membahas serta menyetujui UU
(bersama-sama Presiden). Sebelum perubahan UUD 1945, pengujian UU terhadap
UUD berada pada MPR berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000
tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Alasan
mengapa Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji hanya terhadap
peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU pada masa sebelum
perubahan UUD 1945, menurut Padmo Wahjono didasarkan pada pemikiran
bahwa UU sebagai konstruksi yuridis yang maksimal untuk mencerminkan
kekuasaan tertinggi pada rakyat, sebaiknya diuji/diganti/diubah oleh yang
berwenang membuatnya, yaitu DPR. Berdasarkan praktik kenegaraan yang pernah
berlaku.22
22 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Cet. 2, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1986, h. 15.
Sebagaimana pengujian oleh lembaga legislatif (legislative review)
yang dilakukan dalam kapasitas sebagai lembaga yang membentuk dan membahas
serta menyetujui UU (bersama dengan Presiden), pengujian oleh lembaga
eksekutif (executive review) dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan
yang dibentuk oleh lembaga eksekutif. Salah satu contoh pengujian oleh lembaga
eksekutif (executive review) adalah dalam pengujian Peraturan Daerah (Perda).
Untuk melaksanakan pemerintahan daerah, maka penyelenggara pemerintahan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
daerah (pemerintah daerah dan DPRD) membentuk Perda, yang akan ditetapkan
oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Berdasarkan
Pasal 136 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Perda dilarang
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Berdasarkan Pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Pemerintah dapat membatalkan Perda yang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, dan keputusan pembatalan Perda ditetapkan dalam Peraturan Presiden.
Analisis mendalam diperlukan jika mengkaji pengujian peraturan dari segi
obyeknya, karena harus memperhatikan sistem hukum yang digunakan, sistem
pemerintahan, dan sejarah ketatanegaraan dari sebuah negara sehingga sangat
mungkin terdapat kekhasan pada negara tertentu. Dilihat dari obyek yang diuji,
maka peraturan perundang-undangan yang diuji terbagi atas:
1. Seluruh peraturan perundang-undangan (legislative acts dan
executive acts) dan tindakan administratif (administrative action)
terhadap UUD diuji oleh hakim pada seluruh jenjang peradilan.
Pengujian dengan obyek seperti ini dilakukan dalam kasus yang
kongkrit, dan secara umum dilakukan pada negara yang
menggunakan common law system.23
23 Black’s Law, judicial review diartikan sebagai: power of courts to review decisions of another department or level of government.” Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary with Pronunciations. 6th ed. (United States of America: West Publishing Co, 1990), hal. 849. Encyclopedia Americana mengemukakan pengertian judicial review sebagai berikut: “Judicial review is the power of the courts of the country to determine if the acts of the legislature and executive are constitutional. Acts that the courts declare to be contrary to the constitution are considered null and void and therefore unenforceable.” The Encyclopedia Americana Vol. 16, Cet. 7, (Canada: Grolier Limited, 1977), hal. 236. Sedangkan Erick Barendt mengemukakan
Secara umum, istilah yang
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
digunakan adalah judicial review, akan tetapi perlu diperhatikan
lagi penggunaan istilah itu pada negara-negara yang menggunakan
sistem hukum civil law system, sebagimana yang dikemukakan
dalam poin b berikut.
2. UU terhadap UUD diuji oleh hakim-hakim pada Mahkamah
Konstitusi (Constitutional Court), sedangkan peraturan perundang-
undangan di bawah UU terhadap UU diuji oleh hakim-hakim di
Mahkamah Agung (Supreme Court). Pengujian dengan pembagian
obyek seperti ini secara umum tidak dilakukan dalam kasus yang
kongkrit, dan secara umum dilakukan pada negara yang
menggunakan sistem hukum civil law. Jimly Asshiddiqie
membedakan jika pengujian itu dilakukan terhadap norma hukum
yang bersifat abstrak dan umum (general and abstract norms)
secara “a posteriori”, maka pengujian itu dapat disebut sebagai
“judicial review”, akan tetapi jika ukuran pengujian itu dilakukan
dengan menggunakan konstitusi sebagai alat pengukur maka, maka
kegiatan pengujian semacam itu dapat disebut sebagai
“constitutional review” atau pengujian konstitusional, yaitu
pengujian mengenai konstitusionalitas dari norma hukum yang
sedang diuji (judicial review on the constitutionality of law).24
pengertian judicial review sebagai berikut: “Judicial review is a feature of a most modern liberal constitutions. It refers to the power of the courts to control the compatibility of legislation and executive acts of the term of the constitutions.” Erick Barendt, An Introduction to Constitutional Law, (Great Britain: Biddles Ltd, Guildford and King’s Lynn, 1998), hal. 17. Dikutip dari Hukum acara MK ,h. 83-84. 24 Ibid
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
Konsep constitusional review adalah merupakan buah dari perkembangan
gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang sebelumnya sudah
dijelaskan didasarkan atas ide-ide Negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan
kekuasaan (separation of powers), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi
manusia (the protection of fundamental rights). Dengan demikian, dalam sistem
constitusional review tercakup dua tugas pokok, yaitu: (1) untuk menjamin
perimbangan sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran antara cabang
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial, dalam kerangka mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh suatu cabang kekuasaan Negara. (2) untuk di
masing-masing negara, untuk menegakkan konstitusi sebagai barometer
penyelenggaran kegiatan bernegara.25 Namun demikian, di setiap Negara,
konsep-konsep judicial review berbeda-beda cakupan pengertiannya satu sama
lain. Pengertian istilah-istilah itu juga tidak boleh di identikan antara satu Negara
dengan Negara yang lain yaitu: Inggris, Amerika serikat, Kanada, dan Australia,
meskipun sama-sama menggunakan bahasa inggris, tetapi sistem konstitusi dan
sistem pengujian konstitusionalnya berbeda-beda satu sama lain.26
Konsep Negara hukum, senantiasa meletakan jaminan perlindungan hak-
hak asasi manusia warga negarnya sebagai tujuan utamanya. Dalam
penyelenggaran ketatanegaran yang harus bersumber dari konstitusi sebagai
hukum dasar. Mekanisme kontrol terhadap norma-norma hukum tersebut agar
pembuatan dan substansi normanya tidak bertentangan dengan peraturan-
peraturan yang lebih tinggi. Menurut ph. Klentjes sebagaimana dikutip oleh sri
25 Jimly asshiddiqie I,Op.Cit., h. 10-11 26 Ibid h. 12
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
soemantri, hak menguji terdapat dua macam, yaitu: (a) hak menguji formil
(formale toetsingsrecht) dan (b) hak menguji materiil (materiele toetsingsrecht).
Selanjutnya dikatakan bahwa hak menguji formil adalah wewenang menilai
apakah produk legislatif terjelma melalui cara-cara (prosedur) yang benar ataukah
tidak. Sedangkan hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menilai
apakah suatu kekuasaan tertentu (verordende macht) berhak mengeluarkan suatu
peraturan tertentu.27
a. Pengujian Formil (Formele Toetsingsrecht)
Pasal 51 ayat (3) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi mengatur mengenai pengujian formil, di mana dalam ketentuan
tersebut diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa
pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945. Dalam
Pasal 1 angka 3 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan diatur bahwa: “Undang-Undang adalah Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
persetujuan bersama Presiden.
Sri Soemantri dan Harun Alrasid mendefinisikan pengujian formil
sebagaimana yang dikemukakan dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Sri Soemantri menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk
legislatif seperti undang-undang, misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure)
27 Ph. Kleintjes, sebagaimana dikutip Sri Soemantri, h. 6.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku ataukah tidak,28 sedangkan Harun Alrasid mengemukakan bahwa hak
menguji formil ialah mengenai prosedur pembuatan UU.29 Akan tetapi apa yang
dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie merupakan pendapat yang mencakup
berbagai aspek mengenai pengujian formil. Jimly Asshiddiqie mengemukakan
bahwa secara umum, yang dapat disebut sebagai pengujian formil (formeele
toetsing) tidak hanya mencakup proses pembentukan UU dalam arti sempit, tetapi
juga mencakup pengujian mengenai aspek bentuk UU, dan pemberlakuan UU.30
Juga dijelaskan bahwa pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal
prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang
membuatnya.31
Pengujian formil mengenai pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan
berdasarkan UUD 1945 telah diputus dalam Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009
perkara pengujian formil UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung terhadap UUD 1945.
32
28 Ibid, h. 28. 29 Harun Alrasid, Masalah Judicial Review, makalah disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat tentang Judicial Review di Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta: 2003), h. 2. 30 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara pengujian Undang-Undang, h. 62-63 (selajutnya disebut Jimly asshiddiqie II) 31 Jimly Asshiddiqie, Menelaah Putusan Mahkamah Agung tentang “Judicial Review” atas PP No. 19/2000 yang bertentangan dengan UU Nomor 31 Tahun 1999,” (tanpa tempat, tanpa tahun), hal. 1. Dikutip dari Hukum acara MK.,Op.Cit., h. 93.
Alasan permohonan oleh para pemohon
32 Pengujian UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Terhadap UUD Negara RI Tahun 1945, Nomor 27/PUU-VII/2009 tertanggal 16 Juni 2010. Dalam putusan tersebut, terdapat hakim yang mengemukakan alasan berbeda (concurring opinion) yaitu M.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
adalah bahwa pengambilan keputusan DPR tidak memenuhi syarat kuorum,
pengambilan keputusan Ketua DPR tidak memenuhi syarat pengambilan
keputusan, dan pembahasan UU Nomor 3 Tahun 2009 melanggar prinsip
keterbukaan.33
1. Dalam uji formil UU terhadap UUD 1945, yang menjadi ukuran adalah
formalitas pembentukan UU, yang meliputi:
Terdapat beberapa hal dalam putusan tersebut terkait pengujian formil,
yaitu:
34
c. pengambilan keputusan, yaitu menyetujui secara aklamasi atau voting, atau
tidak disetujui sama sekali. Pengujian formil mempunyai karakteristik yang
berbeda dengan pengujian materiil, oleh karenanya persyaratan legal standing
yang telah diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian materiil
tidak dapat diterapkan untuk pengujian formil.
a. institusi atau lembaga yang mengusulkan dan membentuk UU;
b. prosedur persiapan sampai dengan pengesahan UU yang meliputi rencana
dalam prolegnas, amanat Presiden, tahap-tahap yang ditentukan dalam Tata
Tertib DPR, serta kuorum DPR; dan
35 Syarat legal standing dalam
pengujian formil UU, yaitu bahwa Pemohon mempunyai hubungan pertautan
yang langsung dengan UU yang dimohonkan.36
Arsyad Sanusi, dan dua orang hakim memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Achmad Sodiki dan Muhammad Alim. 33 Ibid., h. 14-23. 34 Ibid., h. 60. 35 Ibid., h. 65 . 36 Ibid., h. 68.
Adapun syarat adanya
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
hubungan pertautan yang langsung dalam pengujian formil tidaklah sampai
sekuat dengan syarat adanya kepentingan dalam pengujian materiil
sebagaimana telah diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena akan
menyebabkan sama sekali tertutup kumungkinannya bagi anggota masyarakat
atau subjek hukum yang disebut dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK untuk
mengajukan pengujian secara formil.37
2. Dalam hal terdapat cacat prosedural dalam pembentukan UU yang diajukan
permohonan pengujian, namun demi asas kemanfaatan hukum, UU yang
dimohonkan tersebut tetap berlaku.
38
Perkembangan pengujian formil dalam praktik, menyebabkan kategori
pengujian formil tidak hanya mencakup pengujian atas proses pembentukan UU.
Dalam Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, diatur asas-asas yang merupakan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, sehingga merupakan alat untuk
melakukan pengujian formil, yaitu kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ
37 Ibid 38 Ibid., h. 93-94. Dalam putusan tersebut, dikemukakan pertimbangan hukum terkait dengan UU yang diuji: “Bahwa apabila Undang-Undang a quo yang cacat prosedural tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka akan mengakibatkan keadaan yang tidak lebih baik karena:
a. Dalam Undang-Undang a quo justru terdapat substansi pengaturan yang isinya lebih baik dari Undang-Undang yang diubah;
b. Sudah diterapkan dan menimbulkan akibat hukum dalam system kelembagaan yang diatur dalam Undang-Undang a quo dan yang berkaitan dengan berbagai Undang-Undang, antara lain Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, dan lembaga lain seperti hubungan antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung yang sekarang telah berjalan berdasarkan UU 3/2009;
Atas pertimbangan tersebut dan demi asas manfaat untuk tercapainya tujuan hukum, Mahkamah berpendapat bahwa Undang-Undang yang dimohonkan pengujian tersebut tidak perlu dinyatakan sebagai Undang-Undang yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; artinya Undang-Undang a quo tetap mempunyai kekuatan hukum berlaku
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat
dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan
keterbukaan.39 Perkembangan pengujian formil mencakup pula pengujian atas
hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.40 Hal itu diatur dalam Pasal 4
ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 06/PMK/2005, yang
mengatur sebagai berikut: “Pengujian formil adalah pengujian UU yang
berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk
pengujian materiil”. Saldi Isra mengemukakan bahwa proses pembentukan UU
merupakan masalah yang masih sering diperdebatkan dan sering diabaikan
dan/atau dilanggar aturan proses pembentukan UU, yaitu dalam hal hubungan
antara DPR dan DPD, partisipasi publik dalam pembentukan UU, kehadiran
anggota DPR dalam proses pengambilan keputusan di Rapat Paripurna DPR, dan
dalam hal terkuaknya praktik moral hazard berupa suap dan/atau korupsi dalam
proses pembentukan UU.41
39 Undang-Undang 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, lihat Ps. 5. 40 Jimly Asshiddiqie II, Op Cit., hal. 66 41 Saldi Isra, Purifikasi Proses Legislasi Melalui Pengujian Undang-Undang, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 11 Februari 2010, hal. 12-18. Dikuti dari Jimly asshidiqie hukum acara Pengujian perundang-undangan h. 95.
Dalam praktiknya, luasnya istilah pengujian formil
juga dapat ditemui dalam hal adanya tindak pidana dalam pembentukan UU
sebagaimana dalam putusan pengujian Undang-Undang Ketenagalistrikan yang
diputus tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, bukan
pasal, ayat, atau bagian tertentu saja; dan apabila terjadi kekosongan hukum
karena putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan berlakunya kembali
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
undang-undang lama yang mengatur hal yang sama, yang dinyatakan tidak
berlaku atau diganti dengan undang-undang yang dibatalkan tersebut.
Dalam Pasal 16 ayat (1) PMK Nomor 006/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara dalam Perkara Pengujian UU diatur bahwa dalam hal pemohon
mendalilkan adanya dugaan perbuatan pidana dalam pembentukan UU yang
dimohonkan pengujiannya, Mahkamah dapat menghentikan sementara
pemeriksaan permohonan atau menunda putusan.42 Tidak adanya tindak pidana
dalam proses pembentukan undang-undang adalah prinsip dan prosedur
pembentukan undang-undang yang sudah lazim dalam doktrin ilmu hukum dan
praktik legislasi, dan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, adanya tindak pidana
penyuapan atau korupsi dalam pembentukan suatu undang-undang juga
bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004, khususnya asas keterbukaan.43
b. Pengujian Materiil (Materiele Toetsingsrecht)
Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi mengatur mengenai pengujian materiil, dimana dalam ketentuan
tersebut diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa materi
muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU dianggap bertentangan dengan
UUD 1945. Mengenai hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2) PMK
42 Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia, Op.Cit., ps. 16 ayat (1). 43 Safaat, Konstitusionalitas UU yang Pembentukannya terdapat Tindak Pidana, (t.t,t.t.), h. 2.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang, mengatur mengenai pengujian materiil sebagai berikut:
“Pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU dianggap bertentangan dengan UUD 1945.”
Harun Alrasid mengemukakan bahwa hak menguji materiil ialah mengenai
kewenangan pembuat UU dan apakah isinya bertentangan atau tidak dengan
peraturan yang lebih tinggi.44 Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa pengujian
materiil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan
dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-
kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma- norma yang
berlaku umum.45 Beliau menjelaskan lebih lanjut: “Misalnya, berdasarkan prinsip
’lex specialis derogate legi generalis’, maka suatu peraturan yang bersifat khusus
dapat dinyatakan tetap berlaku oleh hakim, meskipun isinya bertentangan dengan
materi peraturan yang bersifat umum. Sebaliknya, suatu peraturan dapat pula
dinyatakan tidak berlaku jika materi yang terdapat di dalamnya dinilai oleh hakim
nyata-nyata bertentangan dengan norma aturan yang lebih tinggi sesuai dengan
prinsip “lex superiori derogate legi inferiori’.46
Maruarar Siahaan menjelaskan bahwa pengujian UU terhadap UUD tidak
dapat hanya dilakukan terhadap pasal tertentu saja akan tetapi UUD harus dilihat
44 Harun Alrasid, Op.Cit., h. 2. 45 Jimly Asshiddiqie II, Op.Cit., h. 1. 46 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, cet. 1., (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h. 29.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri dari Pembukaan dan batang tubuh.47
Dalam Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi diatur mengenai pengujian materiil pada ayat, pasal, dan/atau bagian
UU, dan dalam Pasal 57 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi48
Dalam Pasal 24C UUD 1945 Mahkamah Konstitusi menguji Undang-
Undang terhadap UUD, dalam hal ini tidak dijelaskan apakah satu Undang-
Undang saja atau diperluas dalam pengertian bahwa dua Undang-Undang atau
lebih yang saling bertentangan dapat diujikan melalui Mahkamah
Konstitusi.Misalnya jika ada muatan pasal di undang-undang yang berbeda tetapi
mengatur hal yang sama dapat di ajukan di Mahkamah Konstitusi. Menurut
Mahfud MD, dalam pengujian Undang-Undang Komisi Yudisial bahwa alasan
juga diatur bahwa putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan tentang
ayat, pasal, dan/atau bagian UU, akan tetapi dalam hal salah satu pasal atau pasal-
pasal tertentu tersebut menyebabkan UU secara keseluruhan tidak dapat
dilaksanakan karenanya, maka tidak hanya pada ayat, pasal, dan/atau bagian UU
yang dinyatakan bertentangan dengan UUD, akan tetapi keseluruhan UU tersebut
yang dinyatakan bertentangan dengan UUD.
47 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945, Nomor 01-021-022/PUU-I/2003, 15 Desember 2004 . 48 Lihat pasal 57 UU Mahkamah konstitusi 2004 (1)Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
ketentuan pengawasan yang ada dalam Undang-Undang Komisi Yudisial bersifat
rancu dan tak sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang telah ada dalam Undang-
Undang lain. Apa yang ditunjukkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah kerancuan
Undang-Undang Komisi Yudisial dengan Undang-Undang lain, kalau benar ini
yang menjadi alasan, maka putusan Mahkamah Konstitusi melampaui batas alias
tidak benar. Sebab pembenturan isi satu Undang-Undang dengan Undang-Undang
lainnya tidak dapat diselesaikan melalui judicial review.49
2.2.1. Batasan-Batasan MK dalam Pengujian Undang-Undang.
Ketentuan UUD 1945 dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tidak
mengatur secara jelas dan rinci dalam menilai dan menentukan pertentangan
norma hukum, baik secara materiil maupun pengujian formil. Dalam pandangan
M. Fajrul Falaakh bahwa pengaturan yang singkat dalam UUD 1945 terkait tidak
diaturnya ketentuan Undang-Undang dapat diuji secara materiil dan formil
merupakan permasalahan dalam judicial review.50
Undang-Undang Dasar 1945 harus dimaknai sebagai konstitusi yang hidup
(the living constitution) guna menegakan hukum dan keadilan Mahkamah
Konstitusi memiliki kewenangan dalam menguji Undang-Undang terhadap UUD
baik secara vertikal maupun horizontal, aspek keberlakuan sebuah Undang-
Undang merupakan bagian dari pengujian materiil, bukan pengujian formil,
makna “bertentangan dengan UUD 1945” harus dielaborasi secara komprehensif
49 Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta, Rajawali Pers, 2010, h. 109. 50 M. Fajrul Falaakh, dalam “Konstitusi Dalam Berbagai Lapisan Makna”, Jurnal Konstitusi Volume 3 Nomor 3 September 2006, h. 113.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
dalam putusan dengan mengutamakan tegaknya hukum dan keadilan. Mahkamah
Konstitusi tidak boleh mengutamakan penafsiran original intent dan
mengenyampingkan model penafsiran lain jika hal tersebut justru menyebabkan
tidak berjalannya konstitusi, ketentuan non konstitusi dapat dibenarkan dalam
pengujian formil, namun dalam pengujian materiil tidaklah tepat,
pengenyampingan asas hukum acara “nemo judex idoneus in propria causa”
(seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri) dapat dibenarkan
demi tegaknya konstitusi dan mengutamakan “asas curia novit” (hakim dianggap
mengetahui semua hukum), pertentangan norma secara fomil dapat disimpangi
oleh asas kemanfaatan demi substansi Undang-Undang putusan berlaku surut
menyebabkan ketidakkepastian hukum.
Sistem norma hukum Indonesia membentuk bangunan piramida, norma
hukum yang berlaku berada dalam suatu sistem yang berjenjang-jenjang, berlapis-
lapis, sekaligus berkelompok-kelompok.51 Dalam arti bahwa norma hukum
tersebut berlaku, bersumber dan berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi,
dan norma hukum yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
hukum yang lebih tinggi pula, demikian seterusnya sampai pada suatu norma
dasar negara Indonesia, yaitu: Pancasila (cita hukum rakyat Indonesia, dasar dan
sumber bagi semua norma hukum di bawahnya).52
Bangunan piramida hukum ini untuk menentukan derajat norma masing-
51 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta, Kanisius, 1998, h. 25-26. 52 Jazim Hamidi,Revolusi hukum Indonesia,Makna,kedudukan,implikasi hukum naskah proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI,Jakarta,Konstitusi press,2006,h. 167.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
masing susunan norma hukum yang lebih tinggi dan norma yang lebih rendah.
Konsekuensi bangunan piramida hukum adalah jika terdapat norma hukum/
peraturan yang saling bertentangan (pertentangan norma), maka yang dinyatakan
berlaku adalah yang derajatnya lebih tinggi. Dalam konteks ini berlaku asas
hukum lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang derajatnya lebih tinggi
mengesampingkan hukum yang derajatnya lebih rendah).53
Pemberian kewenangan pengujian Undang-Undang pada Mahkamah
Konstitusi tidak diatur secara detail dan jelas dalam konstitusi maupun dalam
Undang-Undang, sehingga untuk melihat desain pengujian Undang-Undang khas
Selain itu,
konsekuensi bangunan piramida hukum tersebut adalah adanya harmonisasi antar
berbagai lapisan hukum (misalnya setingkat Undang-Undang), dalam arti bahwa
antar norma hukum dalam lapisan/ jenjang yang sama tidak boleh saling
bertentangan. Untuk menilai pertentangan norma hukum setiap negara memiliki
skema yang berbeda. Setelah amandemen UUD 1945, di Indonesia kewenangan
pengujian norma dipusatkan pada kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Agung
(menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap
Undang-Undang) dan Mahkamah Konstitusi (menguji Undang-Undang terhadap
UUD). Pengujian norma hukum/Undang-Undang terhadap UUD oleh Mahkamah
Konstitusi merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas Undang-Undang
(constitutionality of law), yang mana konsekuensinya harus ada mekanisme yang
dapat menjamin bahwa Undang-Undang yang dibuat oleh pembentuk undang-
undang itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.
53 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta, FH UII Press, 2003, h. 206.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
Indonesia harus melakukan elaborasi komprehensif terhadap peraturan terkait
berikut putusan-putusan Mahkamah Konstitusi.54 Hal ini yang membuat skema
pengujian Undang-Undang baik ranah teoritis maupun praktik masih menyisakan
berbagai problem, lemahnya bangunan nilai-nilai Pancasila/Pembukaan sebagai
tolok ukur, tidak tepatnya penggunaan dualisme konstitusi sebagai tolok ukur,
lemahnya penggunaan tolok ukur “UUD 1945” sebagai konstitusi yang hidup,
ketentuan yang tidak jelas mengenai pemahaman pengujian norma hukum vertikal
dan horizontal oleh Mahkamah Konstitusi dan batasan pengujian formil dan
materiil serta implikasinya, rumitnya menyusun makna “bertentangan dengan
UUD”, ragamnya menyusun makna pertentangan norma hukum melalui
penafsiran hukum, tidak adanya batasan penggunaan ketentuan non konstitusi,
pertentangan antar asas-asas hukum acara dalam praktik, ketidakjelasan batasan
pengenyampingan pertentangan norma hukum dan pemberlakuan surut demi nilai
hukum. Dalam arti terkadang Mahkamah Konstitusi membuat putusan progresif
terkait permasalahan tersebut, dan terkadang Mahkamah Konstitusi terjebak pada
pemahaman yang kurang tepat dalam memahami pertentangan norma hukum yang
menyebabkan lemahnya bangunan sistem hukum.55
Kewenangan menginterpretasikan konstitusi sebagai pijakan penguji
undang-undang oleh hakim konstitusi dirasa sangat begitu besar, sehingga dapat
membuka peluang kesewenang-wenangan hakim konstitusi menafsirkan tanpa
rasa keadilan terhadap persoalan hukum yang dimohonkan, sehingga berdasarkan
kewenangan hakim konstitusi yang sangat besar tersebut, walaupun ada aturan
54 Tanto Lailam, Konstruksi Pertentangan Norma Hukum dalam Skema Pengujian Undang-Undang, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 1, Maret 2014, h. 19 55 Ibid, h .21.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
dalam pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi dapat mengesampingkan
rambu-rambu hukum tersebut. Misalkan dalam perkara pengujian Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang dimohonkan oleh
seorang hakim Pengadilan Negeri di Padang (Perkara No.004/PUU-I/2003).
Mahkamah Konstitusi tercatat pernah menguji perkara tersebut walaupun jelas
dalam Pasal 50 Undang-undang Tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang
yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945. 56
Menurut Pakar Akademisi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga
M. Hadi Shubhan lembaga negara yang tanpa kontrol dan jika dibiarkan terus
akan menjadi penguasa absolut. Hikmah dari kejadian ini semua adalah mari kita
selamatkan Mahkamah Konstitusi dengan cara mereposisi kedudukan dan
kewenangan MK untuk dikembalikan sesuai dengan amanat kontitusi negara.
Batasi kewenangan MK dan bentuk lembaga pengawas eksternal terhadap MK.
Hanya Firaun yang tak mau diawasi dan dibatasi kekuasaannya.
Dalam hal
ini permohonan dapat dilakukan ke Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan
pengujian setelah amandem UUD.
57
Dengan demikian Mahkamah Konstitusi menafsirkan konstitusi tidak
dibenarkan sampai membawa konstitusi menjadi lain atau menjadi konstitusi baru.
Karena perubahan konstitusi merupakan kewenangan legislatif yakni DPR melalui
perubahan formil. Berkaitan dengan belum diatur ketentuan hukum acara secara
terperinci, Mahkamah Konstitusi berhak mengatur penjabaran dalam PMK dan
56 Refly Harun, Menjaga Denyut Konstitusi, Konstitusi Perss, Jakarta, 2004,h. 231. 57 M.Hadi Shubhan, “Empat Dosa Besar MK”, Opini Jawa Pos,7 0ktober 2013
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
dalam perjalanan menemukan hukumnya dalam kekuasaan mengadili. Batasan
yang dibenarkan dalam memutuskan tetap berlandaskan hukum acara tertulis
dengan sifat hukum, asas-asas hukum, karakteristik yang membedakan hukum
acara pengujian UU dengan yang lain.
2.2.2 Konstitusionalisme
Walton H.Hamilton mengenai artikel Constitutionalism dalam Clopedia of
Social Sciences tahun 1930 dengan kalimat:”Constitutionalism is the name given
to the trust which men repose in the power of word engrossed on parchment to
keep a government in order”.58 Dalam tujuan to keep a goverment in order itu
diperlukan pengaturan yang sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan
dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana
mestinya. Gagasan mengatur membatasi kekuasaan ini secara alamiah muncul.
karena adana kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan
umum dalam kehidupan umat manusia.59
Sedangkan prinsip konstitusionalisme modern menyagkut mengenai
pembatasan kekuasaan atau bisa disebut sebagai prinsip “limited government”.
60
58 Walton H.Hamilton,Constitutionalism, Encyclopedia of Social Sciences, Edwin R.A.,Seligman & Alvin Johnson, edisi.,1931,hal.255 Dikutip dari Gagasan Konstitusi dan Konstitusinalisme., Jimly Assdiqie h. 19. 59 Ibid., lihat Gagasan Konstitusi dan Konstitusinalisme Jimly Assdiqie h. 19-20. 60 Ibid., h. 22.
Konstitusionalisme mengatur dua hubungan satu sama lain,yaitu: Pertama
hubungan antara pemerintahan dengan warga Negara dan Kedua, hubungan antara
lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
Karena itu, bisanya, isi konstitusi dimaksudkan untuk mengatur mengenai tiga hal
penting, yaitu: (a) pembatasan kekuasaan organ-organ negara,
(b) lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain,
(c) kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.61
1. Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara.
Dengan demikian konstitusi dapat difungsikan sebagai sarana kontrol
politik,menurut jimly asshidiqie fungsi-fungsi konstitusi dapat dirinci sebagai
berikut:
2. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara.
3. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara dengan
warga negara.
4. Fungsi pemberi atau sumber legimitasi terhadap kekuasaan Negara
ataupun kegiataan penyelenggaraan kekuasaan negara.
5. Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan
yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat) kepada organ
negara.
6. Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity).
7. Fungsi simbolik sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan
(identity of nation).
8. Fungsi simbolik sebagai pusat upacara (center of ceremony).
61 Ibid., h. 23.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
9. Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat (social control), baik
dalam arti sempit hanya ada dibidang politik maupun dalamarti luas
mencakup bidng social ekonomi.
10. Fungsi sebagai sarana perekayasaan dan pembaruan masyarakat
(social engineering atau social reform), baik dalam arti sempit
maupun dalam arti luas.62
Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
adalah sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi yudisial dengan
kompetensi obyek perkara ketatanegaraan. Keberadaan Mahkamah Konstitusi
dipahami sebagai pengawal konstitusi untuk memperkuat dasar-dasar
konstitusionalisme dalam Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu,
Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan dengan batasan yang jelas sebagai
bentuk penghormatan atas konstitusionalisme. Batas-batas kewenangan yang
dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yudisial
merupakan bentuk terselenggaranya sistem perimbangan kekuasaan di antara
lembaga negara (checks and balances).
Kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah menguji
konstitusionalitas suatu undang-undang. Jadi, batu uji yang digunakan dalam
melaksanakan kewenangan tersebut adalah konstitusi atau UUD.
Konstitusionalitas itu tidak hanya terbatas pada apa yang tertulis dalam naskah
UUD. Karena itu, menurut Jimly Asshiddiqie, untuk menilai atau menguji
konstitusionalitas suatu undang-undang, alat pengukurnya meliputi: (1) naskah
62 Jimly Asshiddiqie, Gagasan kedaluatan rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksannannya di Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, 1994 dikutip dari Gagasan Konstitusi dan Konstitusinalisme Jimly Assdiqie h. 27-28.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
Undang-Undang Dasar yang resmi tertulis, (2) dokumen-dokumen tertulis yang
terkait erat dengan naskah Undang-Undang Dasar itu, seperti risalah-risalah,
keputusan dan ketetapan MPR, undang-undang tertentu, peraturan tata-tertib, dan
lain-lain, (3) nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktek ketatanegaraan yang
telah dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keharusan dan
kebiasaan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara, dan (4) nilai-nilai yang
hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan perilaku politik dan hukum
warga Negara yang diangap sebagai kebiasaan dan keharusan-keharusan yang
ideal dalam perikehidupan dan berbangsa dan bernegara.63
2.3 Tinjauan Acara Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan berlaku ke depan sejak
diucapkan (prospective) dan tidak berlaku surut ke belakang (retroactive). Hampir
semua bidang hukum menganggap putusan pengadilan berlaku ke depan termasuk
di Mahkamah Konstitusi dalam pengaturan maupun praktik yang
dilaksanakannya. Namun kenyataan di Indonesia dalam mengeluarkan putusan
MK masih melakukan kesalahan dengan “menciderai” aturan yang sudah di putus.
Dalam pelaksanaannya prinsip-prinsip tidak ditegak dalam pengujian
undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Padahal berdasarkan surat edaran
Mahkamah agung No.3 tahun 2002 tentang penangan perkara yang berkaitan,
Bangir Manan menghimbau pelaksanakan Asas ne bis in idem dengan baik demi
kepastian bagi pencari keadilan dengan menghindari adanya putusan yang
63Jimly Asshidiqie II,Op.Cit.,.h. 8.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
berbeda. Suatu gugatan dinyatakan ne bis in idem dalam hal telah ada putusan
berkukuatan hukum tetap sebelumnya yang memutus perkara yang sama dan
terdapat objek dan materi perkara yang sama.
MK sendiri menganut prinsip ne bis in idem sesuai dengan ketentuan pasal
60 ayat (1) dan ayat (2)Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan:
(1) ”Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/ atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”.
(2) “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”.
Sedangkan larangan menguji terhadap materi muatan yang yang sama
telah dijabarkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Pasal 42 ayat (1) dan
ayat (2) Peraturan MK No.06/PMK/2005 tentang pedoman perkara pengujian UU
menyatakan:
(1) “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”.
(2) “Telepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda”.
Dalam hal ini penulis berpendapat, ketentuan permohonan pengujian yang
diperluas dalam pengujian di MK memudahkan proses permohonan pengujian
yang lebih terbuka. Dengan demikian, seseorang yang pernah mengajukan
pengujian materi sebuah undang-undang atau oleh pemohon baru, dapat
mengajukan untuk kedua kalinya terhadap materi yang sama, asalkan alasan-
alasan yang digunakan untuk menguji norma berbeda dengan sebelumnya dengan
hakim melihat asas audi et alteram partem (Hak untuk didengar secara seimbang)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
untuk para pemohon menyampakain alasan konstitusionalitasn dalam melakukan
permohonan kepada MK. Tetapi dilain sisi mengakibatkan hakim di Mahkamah
dapat menilai secara luas mengenai suatu permohonan di MK. sehingga
berdampak pada suatu permohonan tersebut dapat diterima maupun ditolak,
tergantung bagaimana interprestasi seorang hakim menilai suatu alasan
permohonan, hal ini menyangkut kewenangan yang MK yang dimiliki begitu luas.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat diartikan bahwa putusan MK yang
menimbulkan interpretasi hukum yang berbeda dan akan mengakibatkan
ketidakpastian hukum suatu perkara, meskipun dalam hal ini memberikan
keadilan bagi orang yang berperkara, sehingga diperlukan pengaturan baru
mengenai PK dalam suatu peraturan perundang-undangan.
2.4. Konsistensi Putusan MK Dalam Subtansi yang Sama.
Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya mengeluarkan
sebuah putusan yang dianggap merusak kebijakannya sendiri dalam melakukan
judicial review atas putusannya yang dianggap gagal dalam mengawal konsistensi
putusan. Menurut hemat saya, Mahkamah tidak “Istiqomah” dalam mengambil
kebijakan yang seharusnya menjadi acuan kedepan tetapi dapat berubah dan
menimbulkan ketidakpastian dalam hukum. Ini dianggap Mahkamah konstitusi
tidak menghormati pembentuk Undang-Undang dan tergesa-gesa dalam
menuangkan kedalam suatu putusan.
Dengan adanya putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang di eliminasi
dengan Putusan Nomor 14/PUU-VI/2013 tentu menimbulkan benturan hukum
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
serta ketidakkonsisten ketika adanya dua putusan dengan subtansi yang sama
tetapi dengan hasil putusan berbeda. Menginggat sebelumnya Mahkamah
konstitusi mendapatkan kewenangan menangani sengketa pemilukada sebagai
lembaga Peradilan yang berwenang tetapi kemudian, Mahkamah Konstitusi
dengan putusanya mengeliminasi kewenangannya tersebut dan mengembalikan
kembali ke Mahkamah Agung selaku mandat konstitusi dalam menangani
sengketa pemilukada. Tentu kedua kerangka keputusan ini mensyaratkan
Mahkamah konstitusi gagal mengawal konsistensi putusannya dalam menjaga
kepastian hukum, menginggat kepastian hukum merupakan faktor penting dalam
menjaga kepercayaan kepada institusi lembaga peradilan tersebut.
2.4.1 Analisa Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dengan Putusan
Nomor 14/PUU-VI/2013
Menurut MK dalam Putusan No. 51-52-59/PUU-VI/2008 merupakan (1)
norma konkret penjabaran Pasal 6A ayat (2) UUD N RI Tahun 1945, legal
policy terbuka yang didelegasikan oleh Pasal 6A ayat (5) UUD N RI Tahun 1945,
dan tata cara pilpres berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD N RI Tahun 1945
sebagai kebijakan legislasi dan kebijakan threshold yang didelegasikan dalam
pelaksanaan pemilu; (2) tidak ada korelasi logis dengan pemilu yang demokratis,
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil karena dengan syarat tersebut
berarti proses demokrasi dengan mengesampingkan segala perdebatan yang
terjadi tentang formalitas maupun substansi putusan dikaitkan dengan tugas dan
kewenangan MK yang telah dieksploitasi dalam tulisan ini, seperti yang sudah
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
diawal tulisan ini kita harus menerima putusan MK sebagai final and binding
1. Pemohon I (Saurip Kadi)
dan
menerima MK sebagai the sole interpreter of the constitution.
Dalam gugatan uji materi kostitusionalitas Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 9
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Adanya tiga pemohon yaitu:
2. Pemohon II (Partai Bulan Bintang)
3. Para Pemohon III (Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Demokrasi
Pembaruan, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Buruh, Partai Peduli Rakyat
Nasional, Partai Republik Nusantara)
Dalam Konklusinya Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan Pasal 3
ayat (5) dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Dalil-dalil permohonan Para
Pemohon tidak beralasan.64
Dalam Amar Putusannya menyatakan dengan mengingat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 56 ayat (5) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran 43
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4316).
65
64 Lihat Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, mengenai Konklusi
65 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,lihat Ps. 56 ayat (5) menyatakan Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
Analisa Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013
Gugatan uji materi terhadap Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud diajukan
oleh Effendi Gazali. Adapun muatan pasal yang dilakukan pengujian adalah Pasal
3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1), ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berwenang untuk
melakukan uji materiil (constitutional review) suatu Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar memutus permohonan uji materiil dari pemohon. Mengacu
pada dokumen hukum berupa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-
XI/2013 yang menjadi salah satu pertimbangan pemohon didasarkan pada
kerangka Action-Research pemohon yang akhirnya menyimpulkan bahwa faktor-
faktor yang secara signifikan menghambat kemajuan negara Indonesia.66
Dalam Konklusi penilaian Mahkamah Kostitusi diuraikan berkesimpulan
(a) Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo Pemohon, (b)
Menurut penulis pengajuan uji materiil ini berbeda mengenai pasal yang di
uji, tetapi obyek kajian yang sama yang di pertanyakan kenapa dibolehkan suatu
pengujian padahal sebelumnya sudah dijelaskan bahwa jika objek kajian yang
sama tidak dapat dilakukan pengujian kembali di Mahkamah Konstitusi. Tentunya
Mahkamah Konstitusi melakukan tindakan yang mengagalkan konsistensi suatu
putusannya atas interpentasi hukum ini.
Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak. 66 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
Memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a
quo, (c) Dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Berikut Amar
putusan menyatakan:
1.1 Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.2 Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal
112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4924) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
1.3 Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan
Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4924) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk
penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum
seterusnya;
3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
Dari dua putusan tersebut terjadi beberapa kebijakan, berikut merupakan
tabel analisa Perbedaan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dengan Putusan
Nomor 14/PUU-VI/2013 :
Tabel I Analisa Perbedaan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dengan Putusan
Nomor 14/PUU-VI/2013.
No. Subtansi Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008
Putusan Nomor 14/PUU-VI/2013
1. Permohonan Pengujian Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 9 UU Nomor 42 tahun 2008 dianggap bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) junto Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Pengujian Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1), ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Nomor 42 tahun 2008 dianggap bertentangan dengan terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD1945.
2.
Alasan Pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tidak serentak dengan Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bertentangan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (2) junto Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Alasan konstitusional baru dan yang berbeda yaitu Hak warga Negara untuk Memilih Secara Cerdas dan Efisien pada Pemilihan Umum Serentak yang diamantakan pasal 22 E ayat (1) dan ayat (2).
3. Pertimbangan hukum
Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 merupakan cara atau persoalan prosedural melihat kebiasaan (Konvensi Ketatanegaraan). Sedangkan, Pasal 9 UU 42/2008 tercantum kebijakan threshold menginggat Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 sebagai kebijakan legislasi yang didelegasikan
Dalam Pengujian putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 pada Pasal 3 merupakan kebiasaan (Konvensi Ketatanegaraan) merupakan penafsiran hakim saat putusan dijatuhkan. praktik ketatanegaraan tidak dapat
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
dalam pelaksanaan Pemilu adalah sah dan konstitusional sebagai dasar kebijakan threshold yang diamanatkan dalam UUD 1945.
menjadi norma konstitusional untuk menentukan konstitusionalitas norma dalam pengujian Undang-Undang. Kekuatan mengikat dari praktik ketatanegaraan tidak lebih dari keterikatan secara moral. Sedangkan, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU 42/2008, menurut Mahkamah karena pasal-pasal tersebut merupakan prosedur lanjutan dari Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 maka seluruh pertimbangan mengenai Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 mutatis mutandis menjadi pertimbangan pula terhadap pasal-pasal tersebut.
4. Amar Putusan Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 9 tidak bertentangan dengan UUD. Dalil permohonan tidak beralasan.
Mengabulkan permohonan pemohon sebagian. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1), ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
*(pertimbangan hukum lebih menyeluruh lihat di bab Kajian Putusan MK Tentang Penyelenggaran Pemilu Serentak).
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
2.4.2 Analisa Putusan Nomor 25/PHPU.D-VI/2008 dengan Putusan Nomor
97/PUU-XI/2013.
Kewenangan MK dalam menyelesaikan pemilukada diatur dalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 236C
menetapkan, ”Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala
daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling
lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini. UU Nomor 22 Tahun
2007 sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, menggolongkan Pemilihan Kepala Daerah ke
dalam rezim Pemilu yang terdapat pada Pasal 1 ayat (4) Ketentuan Umum
berbunyi:“Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu
untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan pasal 29 ayat (1)
huruf e UU No. 48 Tahun 2009 dikatakan bahwa “kewenangan lain yang
diberikan oleh undang-undang”. Kemudian terdapat frasa tentang penambahan
kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penjelasan dari Pasal 29 ayat (1) huruf
e yang mengatakan bahwa kewenangan memeriksa, dan memutus sengketa hasil
pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Dalam Putusan Nomor MK 97/PUU-XI/2013 kewenangan MK
menangani sengketa pemilukada dianggap inkonstitusional dan masih di pegang
oleh MK sampai ada peraturan yang mengatur lebih lanjut mengenai Pemilukada.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
Ini berarti MK menyerahkan kembali kewenangan kepada pembuat undang-
undang yaitu Presiden dan DPR untuk membuat kembali peraturan lebih lanjut
mengenai MA sebagai lembaga yang berwenang mengadili mengenai pemilukada.
Tentu dalam hal ini MK dianggap tidak bertanggung jawab dalam mengeluarkan
putusan mengenai pemilukada. Menurut Mahkamah penambahan kewenangan
MK untuk mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dengan
memperluas makna pemilu seperti diatur Pasal 22E UUD 1945 adalah
inkonstitusional. Meski MK tidak lagi berwenang mengadili sengketa pemilukada,
semua putusan pemilukada tetap dinyatakan sah karena sebelumnya kedua pasal
itu produk hukum yang sah dan valid.
Perlu juga singgung pertimbangan putusan MK No. 25 /PHPU.D-VI/2008
yang menyebut “.....pemilihan kepala daerah termasuk dalam rezim hukum
pemilu. Sebagai konsekwensinya, perselisihan hasil pemilukada secara hukum
menjadi kewenangan MK....” Anwar menegaskan MK sudah beratus-ratus kali
menyatakan dirinya berwenang menangani perkara sengketa pemilukada.
kalaupun Mahkamah menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili sengketa
pemilukada dengan alasan tidak diatur dalam Pasal 24C UUD 1945, seharusnya
hal tersebut dinyatakan sejak pertama kali menerima permohonan sengketa
pemilukada pada tahun 2008. Sebab, ini menyangkut kewenangan mutlak yang
membawa akibat hukum tersendiri.67
67 Anwar Usman, Disetting Opinion, Putusan Nomor MK 97/PUU-XI/2013.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
Menilai kewenangan sengketa pemilukada yang dibatalkan terkesan MK
tidak konsisten dan dalam kewenangannya seharusnya memahami bahwa pemilu
dengan pemilukada tidak ada perbedaan jika dilihat dari instrumen dan elemen
yang terlibat di dalamnya. Jika kewenangan sengketa Pemilukada itu mau
dialihkan lagi ke MA berarti harus mengubah Undang-Undang lain yakni UU No.
12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggaraan Pemilu dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Kewenangan MK memutus sengketa Pemilukada selama ini diatur
dalam tiga undang-undang itu. Tentu akan mengubah tatanan hukum yang
berkaitan.
Berikut untuk mengetahui perbedaannya, dibuat tabel analisa mengenai
perbedaan kedua putusan ersebut:
Tabel II Analisa Perbedaan Putusan Nomor 25/PHPU.D-VI/2008 dengan
Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013.
No. Subtansi Putusan Nomor 25/PHPU.D-VI/2008
Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013
1. Permohonan Keberatan terhadap PHPU Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lampung Utara .
Pengujian UU No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD 1945.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
2.
Alasan Bahwa sesuai Pasal 24C ayat 1, Pasal 10 (1) huruf d UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, dan Pasal 12 ayat (1) huruf d UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan Mahkamah ialah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (Pemilu), yang dalam hal ini adalah Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Penambahan ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi terhadap penyelesaian sengketa Pemilukada akibat Pasal 236C UU 12 tahun 2008 dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), 22E ayat (2), dan 24C ayat (1).
3. Pertimbangan Hukum
UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum telah menetapkan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan rezim hukum pemilihan umum; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 236 telah menentukan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi; Menginggat belum habis tenggat 18 (delapan belas) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 236C UU 12/2008. Oleh karena tindakan hukum yang demikian hingga saat ini belum ada, maka kewenangan tersebut belum secara efektif beralih ke Mahkamah.
Pasal 236C dan pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48 tahun 2009 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (2), dan Pasal 24C ayat (1); mepertimbangkan kembali segala aspek yang terkait dengan pemilihan kepala daerah baik dari segi original intent, makna teks, dan sistematika pengaturannya menurut UUD 1945.
4. Amar Putusan Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
1.Menyatakan Permohonaan pemohon diterima seluruhnya;
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS
2. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah selama belum ada Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut;
3.Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi INKONSISTENSI PUTUSAN MK ATAS PENYELENGGARAN PEMILU SERENTAK
ACHMAD MU’AS