BAB II KAJIAN TEORITIS A. Koordinasi, Integrasi...

39
BAB II KAJIAN TEORITIS A. Koordinasi, Integrasi, Sikronisasi, Simplikasi terhadap Program Sekolah a. Koordinasi Program Sekolah Untuk melihat kemampuan seorang manajer dalam memimpin dan melakukan koordinasi dilihat dari besar kecilnya jumlah bawahan yang ada dalam tanggung jawabnya, yang dikenal sebagai rentang manajemen. Koordinasi didefinisikan sebagai proses penyatuan tujuan-tujuan organisasi dan kegiatan pada tingkat satu satuan yang terpisah dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Koordinasi dibutuhkan sekali oleh sekolah, sebab tanpa ini setiap sekolah tidak mempunyai pegangan mana yang harus diikuti, yang akhirnya akan merugikan organisasi itu sendiri. Koordinasi menurut Chung & Megginson (1981), dapat didefinisikan sebagai proses motivasi, memimpin, dan mengkomunikasikan bawahan untuk mencapai tujuan organisasi. Sutisna (1989), mendefinisikan koordinasi ialah proses mempersatukan sumbanga-sumbangan dari orang-orang, bahan, dan sumber-sumber lain ke arah tercapainya maksud-maksud yang telah ditetapkan. Anonim (2003), mendefinisikan koordinasi ialah suatu sistem dan proses interaksi untuk mewujudkan keterpaduan, keserasian, dan kesederhanaan berbagai kegiatan inter dan antar institusi-institusi di masyarakat melalui komunikasi dan dialog-

Transcript of BAB II KAJIAN TEORITIS A. Koordinasi, Integrasi...

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Koordinasi, Integrasi, Sikronisasi, Simplikasi terhadap Program Sekolah

a. Koordinasi Program Sekolah

Untuk melihat kemampuan seorang manajer dalam memimpin dan

melakukan koordinasi dilihat dari besar kecilnya jumlah bawahan yang ada dalam

tanggung jawabnya, yang dikenal sebagai rentang manajemen. Koordinasi

didefinisikan sebagai proses penyatuan tujuan-tujuan organisasi dan kegiatan

pada tingkat satu satuan yang terpisah dalam suatu organisasi untuk mencapai

tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Koordinasi dibutuhkan sekali oleh

sekolah, sebab tanpa ini setiap sekolah tidak mempunyai pegangan mana yang

harus diikuti, yang akhirnya akan merugikan organisasi itu sendiri.

Koordinasi menurut Chung & Megginson (1981), dapat didefinisikan

sebagai proses motivasi, memimpin, dan mengkomunikasikan bawahan untuk

mencapai tujuan organisasi. Sutisna (1989), mendefinisikan koordinasi ialah

proses mempersatukan sumbanga-sumbangan dari orang-orang, bahan, dan

sumber-sumber lain ke arah tercapainya maksud-maksud yang telah ditetapkan.

Anonim (2003), mendefinisikan koordinasi ialah suatu sistem dan proses interaksi

untuk mewujudkan keterpaduan, keserasian, dan kesederhanaan berbagai kegiatan

inter dan antar institusi-institusi di masyarakat melalui komunikasi dan dialog-

dialog antar berbagai individu dengan menggunakan sistem informasi

manajemen, dan teknologi informasi.

Umaedi (dalam Suryosubroto, 2004:196), konsep yang menawarkan

koordinasi yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan

tanggung jawabnya masing-masing ini berkembang didasarkan kepada suatu

keinginan pemberian kemandirian kepala sekolah untuk ikut terlibat secara aktif

dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kualitas pendidikan melalui

koordinasi program sekolah yang dilaksanakan.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan koordinasi ialah proses mengintegrasikan (memadukan),

mensinkronisasikan, dan menyederhanakan pelaksanaan tugas yang terpisah-pisah

secara terus-menerus untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Tanpa

adanya koordinasi, individu-individu dan bagian-bagian akan tidak dapat melihat

peran mereka dalam suatu organisasi. Mereka akan terbawa untuk mengikuti

kepentingan-kepentingan sendiri (ego sektoral) dan bahkan sampai mengorbankan

sasaran-sararan organisasi yang lebih luas.

Koordinasi adalah bagian penting di antara anggota-anggota atau unit-unit

organisasi atau sekolah dalam penegambangan program sekolah yang

pekerjaannya saling bergantung. Semakin banyak pekerjaan individu-individu

atau unit-unit yang berlainan yang erat hubungannya, semakin besar pula

kemungkinan terjadinya masalah-masalah koordinasi.

Pendekatan yang digunakan dalam koordinasi adalah pendekatan sistem.

Dengan pendekatan sistem memandang koordinasi sebagai pengintegrasian,

pensinkronisasian, dan penyederhanaan pelaksanaan tugas yang terpisah-pisah

secara terus-menerus oleh sejumlah individu atau unit sehingga semuanya bersatu

dalam jumlah yang tepat, mutu yang tepat, tempat yang tepat, dan Kepala Sekolah

yang tepat dalam mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Dengan koordinasi

terjadi keseimbangan sejumlah bagian yang berlainan dengan menyelaraskan

interaksinya sehingga keseluruhan organisasi bergerak ke suatu tujuan yang sudah

ditentukan secara efektif dan efisien sebagai suatu sistem.

Hakekat pekerjaan seorang manajer atau kepala sekolah menurut Gibson,

et.al. (2003), adalah mengkoordinasikan tugas individu, kelompok, dan organisasi

dengan empat fungsi manajemen yaitu planning, organizing, leading, and

controlling untuk mencapai tujuan individu, kelompok, dan organisasi secara

efektif.

Koordinasi bermanfaat bagi Kepala Sekolah dalam pengembangan

program sekolah yaitu: a). Untuk mewujudkan KISS (koordinasi, integrasi,

sinkronisasi, dan simplifikasi) agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan

efisien; b). Memecahkan berbagai konflik kepentingan berbagai pihak yang

terkait; c). Agar manajer pendidikan mampu mengintegrasikan dan

mensinkronkan pelaksanaan tugas-tugasnya dengan stakeholders pendidikan

yang saling bergantungan, semakin besar ketergantungan dari unit-unit, semakin

besar pula kebutuhan akan pengkoordinasian; d). Agar manajer pendidikan

mampu mengkoordinasikan pembangunan sektor pendidikan dengan

pengembangan sektor-sektor lainnya; e). Agar manajer pendidikan mampu

mengintegrasikan kegiatan fungsional dinas pendidikan dan tujuan-tujuan dari

unit organisasi yang terpisah-pisah untuk mencapai tujuan bersama dengan

sumber daya yang terbatas secara efektif dan efisien; f). Adanya pembagian kerja

dimana semakin besar pembagian kerja, semakin diperlukan

pengkordinasian/penyerasian sehingga tidak terjadi duplikasi atau tumpang tindih

pekerjaan yang menyebabkan pemborosan; g). untuk mengembangkan dan

memelihara hubungan yang baik dan harmonis di antara kegiatan-kegiatan baik

fisik maupun nonfisik dengan stakeholder; h). Untuk memperlancar pelaksanaan

tugas dalam rangka mencapai tujuan pendidikan dengan sumberdaya pendidikan

yang terbatas; i). Mencegah terjadinya konflik internal dan eksternal sekolah

yang kontra produktif; j). Mencegah terjadinya kekosongan ruang dan waKepala

Sekolah; dan k). Mencegah terjadinya persaingan yang tidak sehat.

Karakteristik Koordinasi yang Efektif yaitu: a). Tujuan berkoordinasi

tercapai dengan memuaskan semua pihak terkai, b). Koordinator sangat proaktif

dan stakeholders kooperatif, c). Tidak ada yang mementingkan diri sendiri atau

kelompoknya (egosektoral), d). Tidak terjadi tumpang tindih tugas, e). Komitmen

semua pihak tinggi, f). Informasi keputusan mengalir cepat ke semua pihak yang

ada dalam sistem jaringan koordinasi, g). Tidak merugikan pihak-pihak yang

berkoordinasi, h). Pelaksanaan tepat waktu Kepala Sekolah, i). Semua masalah

terpecahkan, j). Tersedianya laporan tertulis yang lengkap dan rinci oleh masing-

masing stakeholder.

Salah satu tugas manajer adalah mengkoordinasikan. Koordinasi ialah

proses mengintegrasikan, mensinkronisasikan, dan menyederhanakan pelaksanaan

tugas yang terpisah-pisah secara terus-menerus untuk mencapai tujuan secara

efektif dan efisien. Pendekatan yang digunakan dalam koordinasi adalah

pendekatan sistem. Koordinasi bermanfaat bagi Kepala Sekolah untuk

mewujudkan KISS (koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi) agar

tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien. Prinsip-prinsip koordinasi

disingkat Koordinasi.

Koordinasi ialah proses mempersatukan sumbangan-sumbangan dari

orang-orang, bahan, dan sumber-sumber lain kearah tercapainya maksud-maksud

yang telah ditetapkan. Sejauh mana seorang administrator sekolah bisa

mendorong semua anggota sekolahnya untuk menyumbangkan perilaku yang

bertujuan, tertib, dan efektif merupakan ujian akhir tentang kesanggupannya.

Dengan kata lain, mencapai koordinasi adalah salah sati fungsi pokok setiap

administrator. Akan tetapi koordinasi hendaknya tidak dipandang sebagai suatu

kegiatan yang terpisah dan berdiri sendiri, karena ia hanya sebagain saja dari

seluruh aspek administrasi. Perencanaan, organisasi, komunikasi, pengawasan

dan penilaian, semuanya hendaknya membantu kepada koordinasi.

Tanpa koordinasi sulit untuk mengharapkan bahwa pengaturan kegiatan

dengan tertib dari dua orang atau lebih dalam mengajar suatu tujuan bersama

akan dicapai. Melalui proses organisasi berbagai bagian suatu usaha

dihubungkan dengan setiap bagian lainnya.

Koordinasi jelas bergantung pada pemahaman masing-masing anggota

sekolah tentang tujuan-tujuan dan rencana-rencana sistem sekolah secara

keseluruhan, penerimaannya oleh mereka, dan kesediaan mereka untuk

menyumbang kepadanya. Ini menekankan kebutuhan bagi partisipasi para

anggota dalam merumuskan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tujuan-tujuan

sistem sekolah, dan dalam mengembangkan program-program pelaksanaan.

Koordinasi kegiatan personil sekolah mungkin dapat diperlancar dengan: (1)

suatu struktur administrative yang layak, (2) bagian organisasi dan pernyataan

tentang kewajiban-kewajiban dan hubungan-hubungan, (3) pernyataan tertulis

tentang kebijaksanaan-kebijaksanaan dan peraturan-peraturan, (4) suatu sistem

komunikasi formal yang memadai, (5) komisi-komisi yang mewakili personil

pada berbagai tingkat sistem sekolah, (6) kelompok-kelompok kerja yang terdiri

dari guru-guru dengan perhatian dan masalah yang sama atau berhubungan, (7)

pernyataan tertulis tentang rencana-rencana dan prosedur-prosedur.

Pada pokoknya pengoordinasian menurut The Liang Gie (1983:26),

merupakan rangkaian aktivitas menghubungkan, menyatupadukan dan

menyelaraskan orang-orang dan pekerjanya. Sehingga semuanya berlangsung

secara tertib dan seirama menuju ke arah tercapainya tujuan anpa terjadi

kekacauan, percekcokan, kekembaran kerja atau kekosongan kerja.

Sedangkan Sutisna (1983:199), merumuskan koordinasi ialah

mempersatukan sumbangan-sumbangan dari orang-orang, bahan, dan sumber-

sumber lain kearah tercapainya maksud yang telah ditetapkan. Dari pengertian ini

dapat ditegaskan bahwa pengoordinasian dalam organisasi pendidikan pada

pemerintah daerah dan organisasi pendidikan di sekolah adalah mempersatukan

rangkaian aktivitas penyelenggaraan pendidikan dengan menghubungkan,

menyatu padukan dan menyelaraskan orang-orang dan pekerjaanya sehingga

semuanya berlangsung secara tertib kearah tercapainya maksud yang telah

ditetapkan.

Koordinasi dapat diwujudkan dengan menggunakan cara-cara antara lain

(1) konprensi atau pertemuan lengkap yang mewakili unit kerja; (2) pertemuan

berkala untuk pejabat-pejabat tertentu; (3) pembentukan panitia gabungan jika

diperlukan; (4) pembentukan badan koordinasi staf untuk mengkoordinir

kegiatan; (5) mewawancarai bawahan untuk mengatahui hal yang penting

berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab; (6) memorandum atau intruksi

berantai; (7) ada dan tersedianya buku pedoman organisasi dan tata kerja.

Koordinasi yang dilakukan kepala sekolah dalam pelaksanaannya sangat

memerlukan keterampilan dalam human relation dan group process (Anwar dan

Sagala, 2004:88).

b. Integrasi Program Sekolah

Integrasi berasal dari bahasa inggris "integration" yang berarti

kesempurnaan atau keseluruhan. integrasi sosial dimaknai sebagai proses

penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan

masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki

keserasian fungsi.

Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan di mana kelompok-

kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap kebudayaan

mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka

masing-masing. Integrasi memiliki 2 pengertian, yaitu : a) Pengendalian

terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu, b)

Membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu. Sedangkan

yang disebut integrasi sosial adalah jika yang dikendalikan, disatukan, atau

dikaitkan satu sama lain itu adalah unsur-unsur sosial atau kemasyarakatan, c)

Suatu integrasi sosial di perlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun

menghadapi berbagai tantangan, baik merupa tantangan fisik maupun konflik

yang terjadi secara sosial budaya.

Menurut pandangan para penganut fungsionalisme struktur sistem sosial

senantiasa terintegrasi di atas dua landasan berikut : a) Suatu masyarakat

senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus (kesepakatan) di antara

sebagian besar anggota masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang

bersifat fundamental (mendasar): b) Masyarakat terintegrasi karena berbagai

anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial

(cross-cutting affiliation). Setiap konflik yang terjadi di antara kesatuan sosial

dengan kesatuan sosial lainnya akan segera dinetralkan oleh adanya loyalitas

ganda (cross-cutting loyalities) dari anggota masyarakat terhadap berbagai

kesatuan sosial.

Penganut konflik berpendapat bahwa kepala sekolah dalam mengitegrasi

program sekolah karena adanya saling ketergantungan di antara berbagai

kelompok. Integrasi program sekolah akan terbentuk apabila sebagian besar

stakeholder memiliki kesepakatan program sekolah yang akan dikembangkan.

Untuk meningkatkan Integrasi dalam suatu sekolah, Maka kapala sekolah

mampu mengatur bawahannya untuk mengendalikan perbedaan/konflik yang

ada pada suatu sekolah tersebut sehingga terbentuklah integrasi yang baik antara

para guru dan kepala sekolah.

c. Simplikasi Program Sekolah

Dalam pengembangan program sekolah kepala sekolah harus melibatkan

semua stakeholder yang ada, dimana implikasinya program sekolah tersebut

dalam peningkatan mutu pendidikan.

Keberhasilan suatu jenjang pendidikan, yaitu bagaiman simplikasi program

sekolah dikelola dengan terencana mulai dari kepala sekolah sampai dengan guru

dan pegawai organisasinya. Penyusunan program kepala sekolah ini untuk

meningkatan kemapuan kerja yang profesional, karenamengingat keberhasilan

suatu jenjang kegiatan tergantung pada perencanaan, organisasinya, control

menegement yang teratur. Acuan program ini dibuat secara sistematis yang

dilaksanakan secara satu tahun (tahun 2005 - 2006) yang titik beratnya bertumpu

pada bidang pengajaran yang telah terprogram. Penjabaran program ini akan

disusun menurut bagian – bagian yang terdapat pada matrik program.

d. Sinkronisasi Program sekolah

Sinkronisasi adalah proses menyamakan data antar perangkat. Sering

dilakukan proses sinkronisasi untuk menyamakan waktu dan data. Sinkronisasi

diperlukan untuk menghindari terjadinya ketidak-konsistenan data akibat adanya

akses data secara konkuren. Proses-proses disebut konkuren jika proses-proses

itu ada dan berjalan pada waktu yang sama, proses-proses konkuren ini bisa

bersifat independen atau bisa juga saling berinteraksi. Proses-proses konkuren

yang saling berinteraksi memerlukan sinkronisasi agar terkendali dan juga

menghasilkan output yang benar

Deadlock atau pada beberapa buku disebut Deadly Embrace adalah

keadaan dimana dua program memegang kontrol terhadap sumber daya yang

dibutuhkan oleh program yang lain. Tidak ada yang dapat melanjutkan proses

masing-masing sampai program yang lain memberikan sumber dayanya, tetapi

tidak ada yang mengalah.

Sikronisasi program sekolah ini bertujuan untuk mempermudah kinerja dari

kepala sekolah maupun para guru dalam pengembangan sekolah, sehingga

kedepannya program sekolah yang telah dijalankan bersama akan meningkatkan

mutu pendidikan. Untuk itu sinkronisasi ni sangatlah bermanfaat bagi

tercapainya program sekolah.

B. Koordinasi antara Kepala Sekolah, Guru dan Komite Sekolah dalam

Penyusunan Program Sekolah.

Program yang disusun hendaknya mengikuti ketentuan yang disingkat

“SMART” maksudnya : a) Specipic artinya pokok masalah yang dijadikan

program dalam penyusunan program kerja sekolah yang bersifat spesifik, jelas

dan terfokus pada pencapaian tujuan, b) Measureable artinya program-program

dan kegiatan-kegiatan yang dipilih dapat diukur pencapainnya, c) Achieveable

artinya program-program dan kegiatan-kegiatan selain dapat diukur juga harus

dapat dicapai disesuaikan dengan berbagai kondisi di sekolah. Oleh karena itu

sangat perlu adanya koordinasi dari kepala sekolah dalam penyusunan program,

sehingga pencapaian tujuan lebih terfokus, d) Realistics artinya program-program

dan kegiatan-kegiatan yang dipilih realitas, tidak mengada-ada, sesuai dengan

kebutuhan dan keadaan sekolah dalam pencapaian hasilnya, e) Time Bound artiya

jelas target waktu pencapaian dalam setiap langkah kegiatan.

Koordinasi program sekolah dalam penyusunan program sekolah harus

terpusat, sehingga ada unsur pengendalian guna menghindari tiap bagian bergerak

sendiri-sendiri yang merupakan kodrat yang telah ada dalam setiap bagian, ingat

bahwa organisasi merupakan kumpulan dari orang-orang yang punya kebutuhan

dan keinginan berbeda.

Koordinasi harus terpadu, keterpaduan pekerjaan menunjukkan keadaan

yang saling mengisi dan memberi.

Koordinasi harus berkesinambungan, yaitu rangkaian kegiatan yang saling

menyambung, selalu terjadi, selalu diusahakan dan selalu ditegaskan adanya

keterkaitan dengan kegiatan sebelumnya.

Koordinasi harus menggunakan pendekatan multi instansional, dengan ujud

saling memberikan informasi yang relevan untuk menghindarkan saling tumpang

tindih tugas yang satu dengan tugas yang lain.

Kepala sekolah harus mampu berperan sebagai figure dan mediator bagi

perkembangan sekolah dan lingkungannya. Dengan demikian pekerjaan kepala

sekolah semakin meningkat, dan akan selalu meningkat sesuai dengan

perkembangan pendidikan yang diharapkan.

Secara ringkas ruang lingkup koordinasi kepala sekolah terhadap program

sekolah dalam merencanakan pengembangan sekolah dapat diuraikan sebagai

berikut:

a. Mengembangkan Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Program Sekolah

1. Visi

Mulyasa (2004:222), mengemukakan visi (vision) merupakan gambaran

(wawasan) tentang yang diiginkan di masa depan, sedangkan Depdiknas

(2004:17), merumuskan visi adalah wawasan yang menjadi sumber arahan bagi

sekolah dan digunakan untuk memandu perumusan misi sekolah atau gambaran

masa depan yang diinginkan oleh sekolah, agar sekolah yang bersangkutan dapat

menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya.

Dalam penyusunan visi sekolah harus mengacu kebijakan pendidikan

nasional tetapi susuai dengan kebutuhan peserta didik yang dilayani. Tujuan

pendidikan nasional sama tetapi potensi dan kebutuhan masyarakat yang dilayani

sekolah tidak selalu sama. Oleh karena itu visi suatu sekolah tidak harus sama

dengan sekolah lain, sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan

nasional. Visi sebaiknya dilengkapi dengan indicator sebagai penjelasan apa yang

dimaksudkan oleh visi tersebut, dan agar tidak menimbulkan persepsi yang

berbeda.

Dengan landasan karakteristik pribadi yang mencakup dorongan, motivasi

untuk memimpin, kejujuran, kepercayaan diri, inisiatif dan kemampuan, maka

kepala sekolah perlu menciptakan dan mengembangkan visi untuk mengarahkan

sekolah dan para guru. Penciptaan dan pengembangan visi yang jelas akan

menumbuhkan komitmen para guru terhadap kualitas memfokuskan semua upaya

sekolah pada perumusan kebutuhan siswa. Visi dirumuskan, diartikulasikan, dan

dikomunikasikan ke seluruh jajaran sekolah untuk mempromosikan perubahan

inovasi dan pengambilan keputusan (Puffer dan Mc. Carthy, 1996). Kepala

sekolah kemudian mengambil berbagai langkah untuk menerjemahkan visi

menjadi aksi (kegiatan-kegiatan spesifik) yang dapat dicapai dengan dukungan

dan bantuan tenaga pendidikan.

Handoko dan Tjotono (dalam Atmodiwiro, 2000:78), menjelaskan bahwa

perolehan dukungan secara berkesinambungan menuntut kepala sekolah untuk

menerpakan kepemimpinan transformasional melalui (a) penyampaian inspirasi

untuk mengkomunikasikan harapan tinggi, memfokuskan upaya dan

mengepresikan tujuan dengan cara-cara sederhana, (2) simulasi intelektual untuk

mempromosikan intelegensia, rasionalitas dan pemecahan masalah secara ilmiah,

dan (3) pemberian konsiderasi yang bersifat individual untuk memberikan

perhatian personal dan memberdayakan tenaga pendidikan.

2. Misi

Mulyasa (2004:222), mengemukakan bahwa misi (mission) ditetapkan

dengan mempertimbangkan rumusan penugasan (yang merupakan tuntutan tugas

dari luar dan keinginan dari dalam) yang berkaitan dengan visi masa depan dan

situasi yang dihadapi saat ini. Sedangkan Depdiknas (2004:20), merumuskan misi

adalah tindakan untuk mewujudkan/merealisasikan visi tersebut. Dalam

merumuskan misi, harus mempertimbangkan tugas pokok sekolah dan aspirasi

semua warga yang terkait dengan sekolah. Jadi, misi adalah bentuk layanan untuk

memenuhi tuntutan yang dituangkan dalam visi dengan berbagai indikatornya.

3. Tujuan

Berdasarkan visi dan misi, sekolah merumuskan tujuan. Tujuan adalah apa

yang akan dicapai dihasilkan oeh sekolah yang bersangkutan dan kapan tujuan

tersebut akan dicapai. Dengan demikian tujuan pada dasarnya merupakan tahapan

wujud sekolah menuju visi yang telah ditetapkan.

Zamroni (2003:169), mengemukakan bahwa sekolah harus

mengembangkan visi, misi dan tujuan sendiri yang merupakan penjabaran atau

spesifikasi visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional yang disesuaikan dengan

latar belakang dan kondisi lokal dari sekelompok sekolah. Visi, misi dan tujuan

sekolah ini akan terus membayangi segenap warga sekolah, kepala sekolah, guru

dan pegawai administrasi, siswa dan orang tua siswa dalam melaksanakan dan

merealisasikan serta dapat mendorong seluruh warga sekolah untuk melaksanakan

pekerjaan tersebut sesuai dengan kapasitas dan fungsi masing-masing bekerja

keras berdasarkan misi guna mendekati visi sekolah.

4. Sasaran

Setelah tujuan sekolah maka langkah selanjutnya adalah menetapkan

sasaran/target. Sasaran adalah penjabaran tujuan, yaitu sesuatu yang akan

dihasilkan dicapai oleh sekolah dalam jangka waktu lebih singkat dibandingkan

tujuan sekolah. Rumusan sasaran harus selalu mengandung peningkatan, baik

peningkatan kualitas, efektivitas, produktivitas, maupun efisiensi. Sasaran harus

dibuat spesifik, terukur, jelas kriterianya dan dan disertai indicator-indikator yang

rinci. Meskipun sasaran bersumber dari tujuan, namun dalam penentua sasaran

harus didasarkan atas tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah.

Perumusan sasaran harus teta mengacu pada visi, misi dan tujuan sekolah,

karena visi, misi dan tujuan sekolah merupakan referensi bagi perumusan sasaran

sekolah. Sasaran sebaiknya hanya untuk waktu yang relative pendek, misalnya

untuk satu tahun ajaran. Dalam menentukan sasaran, prioritas harus

dipertimbangkan sunguh-sungguh. Setelah sasaran ditetapkan maka langkah

selanjutnya adalah mengidentifikasi fungsi-fungsi yang digunakan untuk

mencapai sasaran yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya, antara lain fungsi

proses belajar mengajar, pengembangan kurikulum, perencanaan, dan evaluasi,

ketenagaan, fungsi keuangan, fungsi pelayanan kesiswaan, pengembangan iklim

akademik sekolah, fungsi hubungan sekolah dengan masyarakat, dan fungsi

pengembangan fasilitas.

b. Koordinasi Penyusunan Program Sekolah

Dalam koordinasi penyusunan Program Sekolah harus menerapkan prinsip-

prinsip: memperbaiki prestasi belajar siswa, membawa perubahan yang lebih baik

(peningkatan/ pengembangan), sistematis, terarah, terpadu (saling terkait &

sepadan), menyeluruh, tanggap terhadap perubahan, demand driven (berdasarkan

kebutuhan), partisipasi, keterwakilan, transparansi, data driven, realistik sesuai

dengan hasil analisis SWOT, dan mendasarkan pada hasil review dan evaluasi.

Faktor penting yang harus diperhatikan oleh setiap sekolah adalah

konsistensi anatara perencanaan dengan pelaksanaan pengembangan sekolah.

Perencanaan sekolah yang baik akan memberikan kontribusi keberhasilan yang

besar dalam implementasinya.

Sedangkan penyusunan yang kurang baik akan memberikan dampak yang

kurang baik pula terhadap impelemntasinya. Oleh karena itu dalam setiap

membuat RPS, sekolah harus mempertimbangkan berbagai faktor yang

mempengaruhi seperti kondisi lingkungan strategis, kondisi sekolah saat ini, dan

harapan masa datang.

Setiap kepala sekolah, guru, siswadan orang tua siswa, bahkan masyarakat

tentu berharap sekolahnya berkembang. Untuk itu perlu disusun rencana

pengembangannya. Rencana pengembangan sekolah sangat penting, karena akan

dijadikan landasan kerja seluruh stakeholder pendidikan sehingga harus disusun

dengan baik. Kepala sekolah dalam menyusun program sekolah mampu

mengkoordinasi dengan melibatkan berbagai unsure atau bagian yang terkait

dengan sekolah dalam rangka bertugas menyusun program sekolah.

Perlu diperhatikan dalam penyusunan program sekolah harus secara detail

aspek-aspek yang ingin dicapai, kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan, siapa,

kapan, dan dimana dilaksanakan, serta biaya yang diperlukan untuk melaksanakan

kegiatan-kegiatan tersebut. Hal ini penting yaitu untuk memudahkan sekolah

dalam menkoordinasi program sekolah.

C. Koordinasi antara Kepala Sekolah, Guru dan Komite Sekolah dalam

Pelaksanaan Program Sekolah.

Program sekolah dilaksanakan berdasarkan rencana kerja tahunan,

dilaksanakan oleh penanggung jawab kegiatan yang didasarkan pada ketersediaan

sumber daya yang ada. Pelaksanaan kegiatan sekolah yang tidak sesuai

denganrencana yang sudah ditetapkan perlu mendapat persetujuan rnelalui rapat

dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah. Kepala Sekolah/madrasah

mempertanggung jawabkan pelaksanaan pengelolaan bidang akademik pada rapat

dewan pendidik dan bidang non akademik pada rapat komite sekolah dalam

bentuk laporan pada akhir tahun ajaran yang disampaikan sebelum penyusunan

rencana kerja tahunan berikutnya.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa RPS berisi dua rencana

pengembangan pendidikan ditinjau dari jangka waktunya, yaitu Rencana Strategis

(Renstra) Sekolah dalam jangka menengah (lima tahunan) dan Rencana

Operasional (Renop) Sekolah dalam jangka pendek (satu tahunan). Renstra

menggambarkan suatu perencanaan pengembangan sekolah yang

menggambarkan tentang program-program sekolah yang akan dilaksanakan dan

dicapai selama kurun waktu lima tahun. Program-program tersebut lebih bersifat

garis besar, baik menyangkut fisik maupun non fisik, yang semuanya mengacu

kepada SNP. Sedangkan Renop merupakan bagian tak terpisahkan dari Renstra,

dan lebih merupakan penjabaran operasional dari Renstra. Program-program

dalam Renop lebih detail yang akan dilaksankan dan dicapai dalam satu tahun.

Dengan demikian Renstra dibuat pada awal tahun untuk lima tahun

mendatang, sedangkan Renop dibuat pada tahun pertama dari lima tahun yang

akan dilaksanakan. Baik dalam Renstra maupun Renop semua sumber dana dan

alokasi biaya sudah dapat diprediksi sebelumnya. Dalam hal program, baik

Renstra maupun Renop harus memperhatikan kebutuhan sekolah, masyarakat

serta sesuai dengan RPPP dan RPPN.

Secara lebih rinci dalam pentahapan proses penyusunan Program Sekolah

adalah sebagai berikut: a) Melakukan analisis lingkungan strategis sekolah.

Dalam analisis ini pihak sekolah melakukan kajian tentang faktor-faktor eksternal

sekolah, yang dapat mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan. Berbagai faktor

tersebut diantaranya adalah kondisi sosial masyarakat, kondisi ekonomi

masyarakat dan nasional, kondisi geografis lingkungan sekolah, kondisi

demografis masyarakat sekitar, kondisi perpolitikan, kondisi keamanan

lingkungan, perkembangan globaliasasi, perkembangan IPTEK,

regulasi/kebijakan pemerintah pusat dan daerah, dan sebaginya.

Hasil kajian ini dapat dipergunakan untuk menentukan visi sekolah, b)

Melakukan analisis situasi pendidikan sekolah saat ini adalah suatu analisis atau

kajian yang dilakukan oleh sekolah untuk mengetahui semua unsur sekolah yang

akan dan telah mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan dan hasil-hasilnya.

Analisis ini lebih menitikberatkan kepada analisis situasi pendidikan jenjang

Sekolah Dasar pada umumnya di sekitar sekolah yang bersangkutan. Aspek atau

unsur-unsur sekolah yang secara internal dapat dikaji antara lain mengenai

kondisi saat ini tentang: PBM, guru, kepala sekolah, tenaga TU, laboran, tenaga

perpustakaan, fasilitas atau sarpras, media pengajaran, buku, peserta didik,

kurikulum, manajemen sekolah, pembiayaan dan sumber dana sekolah, kelulusan,

sistem penilaian/evaluasi, peran komite sekolah, dan sebaginya. Hasil kajian ini

dapat dirumuskan dalam ”education profile” pada suatu daerah yang dapat

dipergunakan untuk menentukan ”status” atau potret pendidikan di Sekolah Dasar

saat ini.

Hasil ini selanjutnya akan dibandingkan dengan kondisi ideal yang

diharapkan di masa lima tahun mendatang, sehingga dapat diketahui sejauhmana

kesenjangan yang terjadi, c) Melakukan analisis situasi pendidikan sekolah yang

diharapkan 5 tahun kedepan. Sekolah melakukan suatu kajian atau penelaahan

tentang cita-cita potret pendidikan di Sekolah Dasar yang ideal di masa datang

(khususnya dalam lima tahun mendatang). Dalam analisis ini melibatkan semua

stakeholder sekolah, khususnya mereka yang memiliki cara pandang yang

visioner, sehingga dapat menentukan kondisi sekolah yang benar-benar ideal

tetapi terukur, feasible, dan rasional. Diharapkan apa yang menjadi idealisme

dalam lima tahun mendatang merupakan ”education profile yang ideal”, yaitu

mampu mencapai SNP, yaitu tercapainya standar kurikulum sekolah, standar

PBM, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar kelulusan, standar

fasilitas, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Hasil

analisis ini selanjutnya akan dipergunakan untuk membandingkan dengan kondisi

sekolah saat ini, d) Menentukan kesenjangan antara situasi pendidikan sekolah

saat ini dan yang diharapkan 5 tahun kedepan.

Berdasarkan pada hasil analisis sekolah saat ini dan analisis kondisi

sekolah yang ideal lima tahun mendatang (langkah 2 dan 3), maka selanjutnya

sekolah dapat menentukan kesenjangan yang terjadi antara keduanya.

Kesenjangan itulah merupakan sasaran yang harus dicapai atau diatasi, sehingga

apa yang diharapkan sekolah secara ideal dapat dicapai.

Dengan kata lain, kesenjangan tersebut merupakan selisih antara kondisi

nyata sekarang dengan kondisi idealnya, Merumuskan visi. Visi adalah imajinasi

moral yang menggambarkan profil sekolah yang diinginkan di masa datang.

Imajinasi ke depan seperti itu akan selalu diwarnai oleh peluang dan tantangan

yang diyakini akan terjadi di masa datang.

Dalam menentukan visi tersebut, sekolah harus memperhatikan

perkembangan dan tantangan masa depan. Berikut itu beberapa contoh

perkembangan ke depan yang perlu diperhatikan, antara lain: (1) perkembangan

iptek begitu cepat akan berpengaruh pada semua aspek kehidupan termasuk

teknologi pendidikan, (2) era global akan menyebabkan lalu lintas tenaga kerja

sangat mudah, sehingga akan banyak tenaga kerja asing di Indonesia, sebaliknya

banyak tenaga kerja Indonesia di luar negeri (3) era informasi yang menyebabkan

siswa dapat memperoleh informasi dari berbagai sumber sehingga guru dan

sekolah bukan lagi satu-satunya sumber informasi, (5) era global tampaknya juga

berpengaruh terhadap perilaku dan moral manusia, sehingga sekolah diharapkan

berperan menanamkan akhlaq kepada siswa, (5) kesadaran orangtua akan

pentingnya pendidikan yang baik bagi anaknya ternyata paralel dengan

persaingan antar sekolah untuk menggaet anak yang pandai dengan orangtua yang

penuh perhatian, sehingga sekolah yang mutunya jelek akan ditinggalkan mereka,

(6) di era AFTA yang sebentar lagi dimulai bahasa Inggris akan sangat penting

untuk sarana komunikasi di dunia kerja, (7) di era AFTA juga sangat mungkin

terjadi pembukaan “cabang” sekolah luar negeri di kota besar di Indonesia, serta

(8) masyarakat semakin faham bahwa pendidikan bukan hanya untuk hal-hal yang

bersifat kognitif, sehingga prinsip multiple intelegence menjadi salah satu

harapan, dan sebagainya. Namun demikian visi sekolah harus tetap berada dalam

koridor kebijakan pendidikan nasional.

Visi suatu sekolah harus mengacu kepada kebijakan umum pendidian yang

tekah ditetapkan secara nasional. Hal itu penting difahami untuk menghindari

terjadinya kekeliruan bahwa sekolah “bebas” menentukan visinya dan tidak

terkait dengan kebijakan pihak lain. Di samping itu visi sekolah juga harus

mempertimbangkan potensi yang dimiliki sekolah dan harapan masyarakat di

sekitar sekolah. Artinya jenis dan mutu layanan pendidikan seperti apa yang

diharapkan oleh orangtua dan masyarakat sekitar sekolah. Juga harus

dipertimbangkan apa potensi yang dimiliki sekolah untuk mewujudkan harapan

tersebut. Visi pada umumnya dirumuskan dengan kalimat yang filosofis, bahkan

seringkali mirip sebuah slogan. Sering pula dirumuskan dalam bentuk kalimat

yang khas, mudah diingat dan terkait dengan istilah tertentu.

Rumusan visi yang baik seharusnya memberikan isyarat: a. Berorientasi ke

masa depan, untuk jangka waktu yang lama, b. Menunjukkan keyakinan masa

depan yang jauh lebih baik, sesuai dengan norma dan harapan masyarakat, c.

Mencerminkan standar keunggulan dan cita-cita yang ingin dicapai, d.

Mencerminkan dorongan yang kuat akan tumbuhnya inspirasi, semangat dan

komitmen warga, e. Mampu menjadi dasar dan mendorong terjadinya perubahan

dan pengembangan sekolah ke arah yang lebih baik, f. Menjadi dasar perumusan

misi dan tujuan sekolah. Sebagaimana disebut terdahulu, visi yang dirumuskan

dengan kalimat filosofis perlu diberikan indikatornya. Misalnya, apa indikator

sekolah yang “unggul dalam prestasi berdasarkan iman dan taqwa” tersebut.

Indikator sebaiknya mencakup segala aspek pokok yang diimajinasikan. Visi dan

disertai indikator tersebut hanyalah bahan banding dan hanya cocok dengan

sekolah yang bersangkutan. Oleh karena itu sekolah lain dianjurkan merumuskan

visinya sendiri, yang sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing, e).

Merumuskan misi sekolah Misi adalah tindakan atau upaya untuk mewujudkan

visi. Jadi misi merupakan penjabaran visi dalam bentuk rumusan tugas,

kewajiban, dan rancangan tindakan yang dijadikan arahan untuk mewujudkan

visi. Dengan kata lain, misi adalah bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang

dituangkan dalam visi dengan berbagai indikatornya. Rumusan misi selalu dalam

bentuk kalimat yang menunjukkan “tindakan” dan bukan kalimat yang

menunjukkan “keadaan” sebagaimana pada rumusan visi. Dalam hal ini, satu

indikator misi dapat dirumuskan lebih dari satu rumusan misi. Antara indikator

visi dengan sumusan misi harus ada keterkaitan atau terdapat benang merahnya

secara jelas, f). Merumuskan tujuan sekolah selama lima (5) tahun ke depan.

Bertolak dari visi dan misi yang telah dikembangkan oleh sekolah, dan

berdasarkan tujuan baku Sekolah Dasar yang tertera dalam Undang-Undang

tentang Sistem Pendidikan Nasional maupun Peraturan Pemerintah sebagai

pedoman pelaksanaannya, selanjutnya sekolah merumuskan tujuan jangka

menengah (5 tahun). Jika visi, misi dan tujuan baku terkait dengan jangka

panjang, maka tujuan 5 tahun dikaitkan dengan jangka menengah. Dengan

demikian tujuan jangka menengah (5 tahun) pada dasarnya merupakan tahapan

atau langkah untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan sekolah yang telah

ditetapkan.

Isi tujuan jangka menengah ini masih bersifat global dan komprehensif,

baik isi yang mengarah pada pencapaian standar isi, proses, sarana, kelulusan,

pengelolaan, pembiayaan, pendidik, maupun penilaian karena untuk kepentingan

jangka menengah (5 tahun). Masing-masing aspek yang dikembangkan dalam

tujuan jangka menengah (5 tahun) masih dirumuskan secara umum, belum

spesifik/operasional, g). Merumuskan program-program strategis untuk mencapai

tujuan jangka menengah (5 tahun) Rumusan yang dibuat oleh sekolah tentang

program-program 5 tahunan ini bersifat strategis. Artinya, masih bersifat yang

utama, pokok, urgen, dan komprehensif.

Program strategis ini harus sesuai dengan rumusan tujuan 5 tahunan yang

telah ditetapkan. Dengan kata lain, program yang dirumuskan merupakan

penjabaran isi dari tujuan yang akan dicapai selama kurun waktu lima tahun.

Program di sini belum operasional, hanya garis besarnya saja. Untuk selanjutnya

program ini akan dijabarkan lebih kongkret dan terukur secara operasional nanti

ke program dalam Rencana Operasional (Renop), h). Menentukan strategi

pelaksanaan Setelah program dirumuskan, selanjutnya adalah menetukan strategi

apa yang harus dijalankan untuk melaksanakan program tersebut secara efisien,

efektif, jitu, dan tepat. Karakteristik strategi adalah yang sesuai dengan tuntutan

program. Strategi yang salah akan menyebabkan tidak tercapainya program,

demikian pula sebaliknya. Misalnya untuk pencapaian program pengembangan

standar kurikulum dimungkinkan berbeda strateginya dengan strategi untuk

mencapai standar prasarana atau fasilitas pendidikan. Oleh karena itu dalam

perumusan strategi ini harus mempertimbangkan keterlibatan pihak lain terkait

dan kemampuan sekolah itu sendiri, i). Menentukan milestone (output apa dan

kapan dicapainya) Berdasarkan pada tujuan, program dan strategi pencapaiannya

di atas, maka selanjutnya dapat dirumuskan tentang apa-apa saja yang akan

dihasilkan (sebagai output), baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif dan

dalam waktu kapan akan dicapai (satu tahun, dua tahun atau 10 tahun, dst).

Misalnya dari program pencapaian SNP tentang standar sarana dan prasarana

pendidikan, bentuk hasil yang akan dicapai sarana pendidikan apa saja dalam

jangka lima tahun bisa terwujud. Demikian pula untuk hasil-hasil yang akan

dicapai dari SNP lainnya, j). Menentukan rencana biaya (alokasi dana)

Selanjutnya sekolah merencanakan alokasi anggaran biaya untuk kepentingan

lima tahun. Rencana biaya tersebut dapat dirumuskan per tahunnya, sehingga

dalam waktu lima tahun akan diketahui jumlah biaya yang diperlukan dan dari

sumber biaya mana saja. Untuk membantu keakuratan dalam rancangan biaya

pertahunnya, maka rencana biaya untuk tahun pertama dapat dipergunakan

sebagai dasar dalam menentukan biaya di tahun kedua, ketiga, dan kelima.

Ada kemungkinan suatu program biayanya makin lama makin berkurang

karena telah terpenuhi sebelumnya, atau sebaliknya, suatu program makin lama

makin banyak biayanya. Dan dalam batas waktu atau tahun tertentu baru

menyusut besarnya biaya. Semua ini sangat tergantung dari kemampuan sekolah

dan daerah masing-masing. Dalam membuat rencana anggaran ini dari setiap

besarnya alokasi dana harus dimasukkan asal semua sumber dana, misalnya dana

dari rutin atau daerah, dari pusat, dari komite sekolah, atau dari seumber dana

lainnya. Tidak menutup kemungkinan dari sumber dana lain yang saat menyusun

belum tahu asal muasalnya. Oleh karena itu penting bagi setiap sekolah untuk

mengetahui RPPK, RPPP, dan RPPN, sehingga perkiraan sumber dana dapat

diprediksi dengan tepat. Karena Renstra sifatnya global, maka seandainya terjadi

perubahan besarnya biaya dan asal sumber dana juga tidak masalah. Perubahan

tersebut akan nampak ketika sekolah menyusun Renop pada tahun kedua, ketiga,

dan kelima. Sebab Renstra hanya dibuat sekali saat awal tahun pertama saja atau

dengan kata lain Renstra tidak boleh tiap tahun berubah, yang baru adalah

Renopnya.

Dengan pelaksanaan anggaran yang baik dalam Renstra ini, akan sangat

membantu sekolah dalam merumuskan strategi ke depan khususnya dalam

pencapaian anggaran pendidikan (RAPBS), k). Membuat rencana pemantauan

dan evaluasi Sekolah merumuskan tentang penyusunan supervisi, monitoring

internal, dan evaluasi internal sekolahnya oleh kepala sekolah dan tim yang

dibentuk sekolah. Harus dirumuskan rencana supervisi yang akan dilakukan

sekolah ke semua unsur sekolah, dirumuskan monitoring tiap kegiatan sekolah

oleh tim, dan harus dirumuskan evaluasi kinerja sekolah oleh tim. Oleh siapa dan

kapan dilaksanakan harus dirumuskan secara jelas selama kurun waktu lima

tahun. Dengan demikian, sekolah dapat memperbaiki kelemahan proses dan dapat

mengetahui keberhasilan atau kegagalan tujuan.

D. Koordinasi antara Kepala Sekolah, Guru dan Komite Sekolah dalam

Evaluasi Program Sekolah

Dalam mengevaluasi suatu program, hal terpenting yang harus dipahami

adalah tujuan evaluasi program harus dirumuskan dengan berdasar pada titik tolak

tujuan program itu sendiri. Evaluasi program dilakukan untuk mengukur tingkat

ketercapaian program. Informasi yang diperoleh dari evaluasi program akan

sangat bermanfaat untuk pengambilan keputusan sebagai bahan rekomendasi.

Dengan demikian, evaluasi program bersifat decision oriented, berorientasi pada

pengambilan keputusan atau dilakukan dalam rangka pengambilan keputusan.

Hasil atau wujud dari evaluasi adalah rekomendasi dari evaluator untuk

mengambil keputusan (decision making).Terdapat berbagai macam kemungkinan

hasil pengambilan keputusan evaluator terhadap program yang dievaluasi, (a)

menghentikan program (dengan alasan tepat); (b) merevisi atau memperbaiki

program (disebutkan bagian mana yang harus direvisi, apa alasan dan bagaimana

saran perbaikan); (c) melanjutkan program (dengan alasan jelas); dan (d)

menyebarluaskan program (seluruh atau sebagian program, apa alasannya, ke

mana disebarluaskan, dan bagaimana cara menyebarkan).

Dalam hal ini kepala sekolah mampu mengkoordinasikan kepada

bawahannya tentang evaluasi program ini dijalankan demi pencapaian mutu

pendidikan di sekolah.

a. Hakekat Evaluasi Program

Kemajuan dan perbaikan dalam pendidikan dewasa ini tergantung pada

pengukuran hasil aktivitas pendidikan, dan evaluasi terhadap pengukuran itu

berdasar atas kreteria atau standar tertentu. Pengukuran berusaha menetapkan

jumlah hasil pendidikan sedangkan penilaian berusaha menetapkan harganya

secara kualitatif. Begitu pula dalam program pendidikan, pengukuran dan

penilaian digunakan untuk menentukan keberhasilan aktivitas pendidikan dalam

hal ini merupakan program perbaikan. Pengukuran menyangkut penentuan jumlah

perubahan yang diharapkan dalam belajar mengajar sedangkan penilaian

berkenaan dengan penentuan harga terhadapperubahanperubahan atau hasil-hasil

yang dicapai.

b. Komponen Evaluasi Program

Komponen program yang dimaksud adalah bagian-bagian penting dalam

keterlaksanaan program. Komponen tersebut dapat dijelaskan dengan model

CIPP, yaitu (a) context, yaitu hal-hal yang terkait dengan proses baik langsung

maupun tidak langsung, seperti faktor lingkungan; (b) input, yaitu sesuatu yang

menjadi objek untuk dikembangkan oleh program; atau sesuatu yang diproses di

dalam program; atau bahan mentah yang dimasukkan ke dalam sesuatu untuk

diproses; (c) process, yaitu kegiatan yang menunjukkan upaya mengubah input

dalam kondisi awal dan diharapkan akan mencapai kondisi yang diharapkan

dalam tujuan program; (d) product, yaitu hasil akhir yang merupakan dampak dari

bahan mentah yang telah diproses oleh program.

c. Pentingnya Evaluasi Program

Keefektifan dan kesuksesan pelaksanaan program pendidikan perlu sekali

untuk diketahui sehingga dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam

mengadakan perbaikan atas segala pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh

supervisor. Perlunya pengembangan evaluasi program dan

kepemimpinandikarenakan beberapa landasan se bagai berikut: 1. Perlunya

penerapan dan pemeliharaan berbagai pelayanan sesuai dengan fungsi program

pendidikan. 2. Perlunya penilaian terhadap pelayanan yang telah diberikan kepada

para anggota/staf. 3. Perlunya perencanaan perbaikan personil, prosedur, dan

pelayanan. 4. Perlunya untuk pencarian, latihan, dan seleksi kepala sekolah dan

supervisor agar mencapai kualifikasi ketrampiIan dan kemampuan tertentu.

d. Prinsip-prinsip Evaluasi Program

1). Komprehensif

Bahwa evaluasi program pendidikan harus mencakup bidang sasaran yang

luas atau menyeluruh, baik aspek personalnya, materialnya, maupun aspek

operasionalnya. Evaluasi Jangan hanya ditujukan pada salah satu aspek saja.

Misalnya aspek personalnya, jangan hanya menilai gurunya saja, tetapi juga

murid, karyawan dan kepala sekolahnya. Begitu pula untuk aspek material dan

operasionalnya. Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh.

2). Komparatif

Prinsip ini menyatakan bahwa dalam mengadakan evaluasi program

supervisi pendidikan harus dilaksanakan secara bekerjasama dengan semua orang

yang terlibat dalam aktivitas program pendidikan. Sebagai contoh dalam

mengevaluasi keberhasilan guru dalam mengajar, harus bekerjasama antara

pengawas, kepala sekolah, guru itu sendiri, dan bahkan, dengan pihak murid.

Dengan melibatkan semua pihak dalam evaluasi program pendidikan ini

diharapkan dapat mencapai keobyektifan dalam mengevaluasi.

3). Kontinyu

Evaluasi program pendidikan hendaknya dilakukan secara terus-menerus

selama proses pelaksanaan program. Evaluasi tidak hanya dilakukan terhadap

hasil yang telah dicapai, tetapi sejak pembuatan rencana sampai dengan tahap

laporan. Hal ini penting dimaksudkan untuk selalu dapat memonitor setiap saat

atas keberhasilan yang telah dicapai dalam periode waktu tertentu. Aktivitas yang

berhasil diusahakan untuk ditingkatkan, sedangkan aktivitas yang gagal dicari

jalan lain untuk mencapai keberhasilan.

4). Obyektif

Dalam mengadakan evaluasi program pendidikan harus menilai sesuai

dengan kenyataan yang ada. Katakanlah yang hijau itu hijau dan yang merah itu

merah. Jangan sampai mengatakan yang hijau itu kuning, dan yang kuning itu

hijau. Sebagai contoh, apabila seorang guru itu sukses dalam mengajar, maka

katakanlah bahwa guru ini sukses, dan sebaliknya apabila jika guru itu kurang

berhasil dalam mengajar, maka katakanlah bahwa guru itu kurang berhasil. Untuk

mencapai keobyektifan dalam evaluasi perlu adanya data dan atau fakta. Dari data

dan fakta inilah dapat mengolah untuk kemudian diambil suatu kesimpulan.

Makin lengkap data dan fakta yang dapat dikumpulkan maka makin obyektiflah

evaluasi yang dilakukan.

5). Berdasarkan Kriteria yang Valid

Selain perlu adanya data dan fakta, juga perIu adanya kriteria-kriteria

tertentu. Kriteria yang digunakan dalam evaluasi harus konsisten dengan tujuan

yang telah dirumuskan. Kriteria ini digunakan agar memiliki standar yang jelas

apabila menilai suatu aktivitas supervisi pendidikan. Kekonsistenan kriteria

evaluasi dengan tujuan berarti kriteria yang dibuat harus mempertimbangkan

hakekat substansi program pendidikan. Kriteria dalam evaluasi program supervisi

pendidikan ada dua, yaitu pertama, kriteria objective yang berkenaan dengan

patokan tujuan yang ingin dicapai. Tujuan inilah yang dijadikan kriteria

keberhasilan pelaksanaan program supervisi pendidikan. Kedua, kriteria metodis

yang berkaitan dengan patokan teknik penganalisaan hasil evaluasi: misalnya

dengan menggunakan prosentase, interval, kuantitatif, atau perhitungan matematis

lainnya.

6). Fungsional.

Hasil evaluasi program pendidikan tidak hanya dimaksudkan untuk

membuat laporan kepada atasan yang kemudian di “peti es” kan. Hasil evaluasi

program pendidikan berarti fungsional apabila dapat digunakan untuk

memperbaiki situasi yang ada pada saat itu. Dengan demikian evaluasi program

pendidikan benar-benar memiliki nilai guna baik secara langsung maupun tidak

langsung. Kegunaan langsungnya adalah dapatnya hasil evaluasi digunakan untuk

perbaikan apa yang dievaluasi, sedangkan kegunaan tidak langsungnya adalah

hasil evaluasi itu dimanfaatkan untuk penelitian atau keperluan lainnya.

7). Diagnostik.

Evaluasi program pendidikan hendaknya mampu mengidentifikasi

kekurangan-kekurangan atau kelemahan-kelemahan apa yang dievaluasi sehingga

dapat memperbaikinya. Oleh sebab itu setiap hasil evaluasi program pendidikan

harus didokumentasikan. Bahan-bahan dokumentasi hasil evaluasi inilah yang

dapat dijadikan dasar penemuan kelemahan-kelemahan atau kekurangan-

kekurangan yang kemudian harus diusahakan jalan pemecahannya.

8). Dasar-dasar Evaluasi Program

Keberhasilan program pendidikan dapat dievaluasi dengan mengukur

perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan yang ada pada periode waktu

tertentu dalam keseluruhan program pendidikan.

Untuk memperoleh data evaluasi yang lengkap perlu digali berbagai

informasi. Informasi ini bisa datang dari staf sekolah dan dokumen-dokumen

yang ada disekolah.Banyak metode yang dapat digunakan untuk mengali data ini,

anatara lain dengan wawancara, observasi, angket, dokumen bidang studi.

Kelengkapan yang akan dijadikan dasar pengambilan kesimpulan sangat penting.

Makin lengkap data yang kita peroleh makin mendekati ketepatan dalam

mengambil kesimpulan.

Permasalahan yang muncul adalah bagaimana membuat evaluasi itu

menjadi valid, reliable, dan obyektif. Valid menunjukkan ketepatan sasaran yang

memang harus dievaluasi. Relieble menunjukkan ketepatan instrument evaluasi

jika diberlakukan kepada obyek yang sama atau berbeda dalam waktu yang

berbeda dengan kondisi yang relatif sama. Sedangkan obyektif menunjukkan

kerealistisan evaluasi yang mendasarkan diri pada kenyataan yang ada. Selain

mempertimbangkan metode-metode yang akan digunakan untuk memperoleh data

yang lengkap, perlu kirannya juga mempertimbangkan pendekatan-pendekatan

apa yang akan ditempuh dalam mengevaluasi supervisi pendidikan. Pada

dasarnya ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam mengevaluasi program

pendidikan, yaitu pendekatam berdasarkan kriteria dan pendekatan yang

berdasarkan norma yaitu : a. Pendekatan evaluasi berdasarkan criteria Evaluasi

yang menggunakan pendekatan ini mendasarkan diri pada ukuran mutlak. Istilah

lain pendekatan ini adalah “Criterion Reverence Evaluation Approach”.

Pendekatan ini menjelaskan bahwa sebelum supervisor mengadakan evaluasi ia

telah menentukan patokan atau criteria sebagai ukuran keberhasilan pelaksanaan

program pendidikan. Patokan ini telah dipegang teguh sebelumnya sehingga

penentuan keberhasilan pelaksanaan program supervisi pendidikan didasarkan

pada patokan atau kriteria ini.

Sebagai contoh supervisor menetapkan bahwa hasil evaluasi nanti, apabila

seseorang telah mencapai skor 65 ke atas, maka dapat dikatakan bahwa

pelaksanaan supervisinya berhasil, sedangkan apabila mencapai skor 64 ke

bawah, maka dapat dikatakan bahwa pelaksanaan supervisinya tidak berhasil.

Contoh lain misalnya supervisor membuat kelas interval dengan skor-skor hasil

evaluasinya seperti berikut ini. 2. Skor 00 - 20 adalah sangat kurang 3. Skor 21 -

40 adalah kurang 4. Skor 41 - 60 adalah cukup 5. Skor 61 - 80 adalah baik 6. Skor

81 - 100 adalah sangat baik

Begitulah seterusnya Supervisor bisa membuat bersama stafnya tentang

kriteria yang akan digunakan dalam mengevaluasi supervisi pendidikan. Tetapi

yang perlu diingat oleh supervisor adalah bahwa patokan atau criteria telah dibuat

sebelumnya terus dipegang teguh secara murni sebab ciri itulah yang berhasil

pada pendekatan evaluasi berdasarkan kriteria. b. Pendekatan evaluasi

berdasarkan norma Pendekatan ini disebut juga “Norm reference Evaluation

Approch”. Pendekatan menggunakan ukuran yang relatif. Hasil nilai yang

diperoleh untuk aktivitas tertentu berasal dari pengolahan skor-skor dengan norma

tertentu.

Pendekatan ini digunakan apabila menilai lebih dari satu supervisor,

sehingga dapat membandingkan hasil evaluasi seseorang dengan hasil evaluasi

orang lain. Dari sini dapat diketahui kedudukan seseorang dalam keseluruhan

teman lainnya. Nilai seseorang belum dapat diketahui sebelum dicari rata-rata

skor kelompok, kemudian skor masing-masing orang dibandingkan dengan skor

rata-rata itu.

Biasanya skor rata-rata ini digunakan untuk menentukan nilai sedang atau

batas nilai keberhasilan seperti nilai 6 dalam skala 1 – 100. Sebagai contoh adalah

sebuah evaluasi yang skor maksimalnya 50. Berarti apabila berhasil mutlak akan

mendapatkan skor 50. Setelah dikumpulkan hasil penilainnya diketemukan hasil

tertinggi dan hasil terendah 20, semua skor yang diperoleh ini sesuai dengan

jumlah yang di nilai di jumlahkan yang kemudian di bagi jumlah responden yang

dinilai. Hasil pembagian tersebut adalah 23. Berarti responden yang mendapatkan

skor 25 akan memperoleh nilai 6, sedangkan untuk nilai responden lainnya

tinggal menyesuaikannya, misalnya dengan membaca skala interval seperti

berikut: 1. Skor 39 - 42 akan mendapatkan nilai 10 2. Skor 35 - 38 akan

mendapatkan nilai 9 3. Skor 31 - 34 akan mendapatkan nilai 8 4. Skor 27 - 30

akan mendapatkan nilai 7 5. Skor 23 - 26 akan mendapatkan nilai 6 6. Skor 19 -

22 akan mendapatkan nilai 5.

Contoh di atas adalah jalan termudah. Namun sebenarnya pendekatan

norma dalam penilaian dapat dilakukan melalui nilai-nilai baris skor-skor mentah,

dapat melihat ranking, Kemudian dicari mean atau rata-rata hitung serta standar

deviasinya. Setelah ini ditentukan skor standar sehingga dari skor standar ini

dipindahkan ke nilai, yang menggambarkan kualitas. Selanjutnya ditinjau dari

cara menggambarkan hasilnya ada dua cara, yaitu bisa berupa penilaian

kuantitatif dan Penilaian Kualitatif. Dengan cara penilaian kuantitatif, cara

penilaian ini hasilnya di wujudkan dalam bentuk angka-angka hasil penilaian ini

sudah menggambarkan kualitas dari apa yang telah di nilai. Jadi bukan lagi

berupa skor mentah yang baru menggambarkan hasil pengukuran yang

menunjukkan frekuensi atau jumlah. Sedangkan dengan cara penilaian ini

hasilnya di wujudkan dalam bentuk pernyataan dengan kata-kata. Misalnya: Baik,

cukup kurang sangat kurang dan sebagainya. Biasanya cara penilaian kualitatif ini

akan lebih obyektif apabila didasarkan atas pengolahan data yang berupa angka

juga Sebab tidak mudah begitu saja mengatakan baik apabila tidak didasari oleh

data tertentu. Begitu pula kreteria “Baik” itu harus jelas mengapa dikatakan

demikian.

e. Evaluasi Program Strategis dan Pengembangan Sekolah

Program pengembangan sekolah merupakan rencana yang harus disusun

oleh setiap unit atau individu yang ada dalam struktur organisasi sekolah.

Masalah yang sering ditemukan dalam penyusunan program pengembangan

adalah kesulitan dalam memadukan rencana yang dibuat oleh masing-masing unit

tersebut baik dari sisi substansial maupun format dan tata-tulis. Pengawas sekolah

dapat menilai program pengembangan sekolah dari berbagai aspek berikut. 1.

Sasaran dan kegiatan masing-masing program pengembangan harus mengacu

pada pengembangan menyeluruh pada tingkat sekolah yang menggambarkan

bagaimana masing-masing tujuan strategis akan dicapai. 2. Masing-masing unit

harus memiliki kegiatan yang memberi kontribusi terhadap program

pengembangan sekolah. 3. Masing-masing program pengembangan, secara

bersama-sama, harus menunjukkan bagaimana kesemuanya akan mengarah pada

implementasi program pengembangan sekolah secara keseluruhan. 4. Masing-

masing program pengembangan dari unit-unit harus menunjukkan hubungannya

dengan program pengembangan sekolah.

secara keseluruhan baik dengan program pengembangan yang lain maupun

dengan program pengembangan di tingkat manajemen puncak sekolah

Perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), menggerakkan atau

memimpin (actuating atau leading), dan pengendalian (controlling) merupakan

fungsi-fungsi yang harus dijalankan dalam proses manajemen.

Jika digambarkan dalam sebuah siklus, perencanaan merupakan langkah

pertama dari keseluruhan proses manajemen tersebut. Perencanaan dapat

dikatakan sebagai fungsi terpenting diantara fungsi-fungsi manajemen lainnya.

Apapun yang dilakukan berikutnya dalam proses manajemen bermula dari

perencanaan. Daft (1988:100) menyatakan: “When planning is done well, the

other management functions can be done well.” Perencanaan pada intinya

merupakan upaya penentuan kemana sebuah organisasi akan menuju di masa

depan dan bagaimana sampai pada tujuan itu.

Dengan kata lain, perencanaan berarti pendefinisian tujuan yang akan

dicapai oleh organisasi dan pembuatan keputuan mengenai tugas-tugas dan

penggunaan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan itu. Sedangkan

rencana (plan) adalah hasil dari proses perencenaan yang berupa sebuah cetak

biru (blueprint) mengenai alokasi sumber daya yang dibutuhkan, jadwal, dan

tindakan-tindakan lain yang diperlukan dalam angka pencapaian tujuan.

Dalam pengertian tersebut, tujuan dan alokasi sumber daya merupakan dua

kata kunci dalam sebuah rencana. Tujuan (goal) dapat diartikan sebagai kondisi

masa depan yang ingin diwujudkan oleh organisasi. Dalam organisasi, tujuan ini

terdiri dari beberapa jenis dan tingkatan. Tujuan pada tingkat yang tertinggi

disebut dengan tujuan strategis (strategic goal), kemudian berturut-turut di

bawahnya dijabarkan menjadi tujuan taktis (tactical objective) kemudian tujuan

operasional (operational objective). Tujuan strategis merupakan tujuan yang akan

dicapai dalam jangka panjang, sedangkan tujuan taktis dan tujuan operasional

adalah tujuan jangka pendek yang berupa sasaran-sasaran yang terukur.

Dalam sekolah, tujuan strategis merupakan tujuan tertinggi yang akan

dicapai pada tingkat sekolah. Tujuan ini bersifat umum dan biasanya tidak dapat

diukur secara langsung. Tujuan-tujuan taktis merupakan tujuan-tujuan yang harus

dicapai oleh bagian-bagian utama organisasi sekolah, misalnya bidang kurikulum,

kesiswaan, atau kerja sama dengan masyarakat. Sedangkan tujuan operasional

merupakan tujuan yang harus dicapai pada bagian-bagian yang secara struktur

yang lebih rendah dari bagian-bagian utama sekolah tersebut. Tujuan mata

pelajaran atau kelompok mata pelajaran, misalnya, dapat dikategorikan sebagai

tujuan operasional. Masing-masing tingkatan tujuan tersebut terkait dengan

proses perencanaan. Tujuan strategis merupakan tujuan yang harus dicapai pada

tingkat rencana strategis (strategic plan). Tujuan taktis dan tujuan operasional

masing-masing merupakan tujuan-tujuan yang harus dicapai pada rencana taktis

(tactical plan) dan rencana operasional (operational plan). Perlu dicatat bahwa

semua sekolah, apapun bentuknya, berdiri atau didirikan atas dasar asumsi,

keyakinan, sistem nilai dan mandat tertentu.

Dalam kaitannya dengan perencanaan pengembangan, dasar-dasar

keberadaan ini disebut dengan premis lembaga atau premis sekolah.

Premispremis sekolah itu biasanya disajikan dalam bentuk rumusan visi, misi,

dannilai-nilai fundamental organisasi. Visi dapat dipandang sebagai alasan atas

keberadaan lembaga dan merupakan keadaan “ideal” yang hendak dicapai oleh

lembaga; sedangkan misi adalah tujuan utama dan sasaran kinerja dari lembaga.

Keduanya dirumuskan dalam kerangka filosofis, keyakinan dan nilai-nilai dasar

yang dianut oleh sekolah yang bersangkutan dan digunakan sebagai konteks

pengembangan dan evaluasi atas strategi yang diinginkan. Premis-premis tersebut

harus menjadi titik-tolak dalam perencanaan.

Tujuan dan cara untuk mencapai tujuan yang tertuang dalam rencana harus

berada dalam kerangka premis-premis itu. Untuk memudahkan pemahaman,

Perencanaan pengembangan sekolah (school development planning) merupakan

proses pengembangan sebuah rencana untuk meningkatkan kinerja sebuah

sekolah secara berkesinambungan. Perbedaan pokok rencana pengembangan

dengan rencana lainnya terletak pada tujuan. Sedangkan hierarki tujuan dan

rencana sebagaimana telah diuraikan di atas juga berlaku dalam rencana

pengembangan.