BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Evangelism -...
Transcript of BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Evangelism -...
7
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Evangelism
Penginjilan adalah memberitakan Kabar Baik tentang Kristus. Hal ini
dinyatakan jelas dalam Amanat Agung Tuhan Yesus dalam Matius
28:19-20. Tuhan Yesus sendiri memberi perintah kepada setiap orang
percaya untuk memberitakan Injil, tanpa kecuali. Penginjilan itu lebih dari pada
sekadar metode, penginjilan adalah sebuah berita. Berita tentang kasih Allah, tentang
dosa manusia, tentang kematian Kristus, tentang penguburan-Nya, dan kebangkitan-
Nya. Penginjilan adalah berita yang menuntut suatu tanggapan menerima Injil itu
dengan iman, lalu menjadi murid Yesus. Istilah "penginjilan" mencakup segala usaha
untuk memberitakan Kabar Baik tentang Yesus Kristus. Tujuannya ialah supaya
orang-orang mengerti bahwa Allah menawarkan keselamatan dan supaya mereka
menerima keselamatan itu dengan iman, lalu hidup sebagai murid Yesus.4
Memberitakan Injil tidaklah mudah. Seorang penginjil masa kini harus
mempunyai strategi-strategi khusus agar penginjilan itu menjadi efektif. Selain itu,
sikap hidup seorang penginjil harus sesuai dengan injil yang diberitakanya, sehingga
keteladanannya mencerminkan Kristus sendiri. Integritas adalah modal utama seorang
pemimpin. Integritas tidaklah sama dengan citra diri (image). "Image" adalah persepsi
orang mengenai diri kita, sedangkan integritas adalah siapa diri kita sesungguhnya.
Integritas sangat penting untuk menegaskan berita Injil yang disampaikan. Bukan
hanya sekadar kata-kata, dan berita tanpa kenyataanya, tapi berita itu menjadi
sungguh nyata.1 Penginjilan bersifat berkelanjutan (Strong James, 1997). Alkitab
menyatakan keberlanjutan penginjilan sebagai berikut:
1 James Strong‟s Exhaustive Concordance Of The Bible 1997 (Iowa: Riverside BOOK and Bible
House Iowa Falls),p.33
8
“ Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah
mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. dan ajarlah mereka
melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan
ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." ,
(Matius 28:19 20).
Sejarah paradigma penginjilan sejalan dengan perkembangan dunia informasi
dan teknologi. Di era perkembangan teknologi informasi saat ini, kegiatan penginjilan
yang dulu terpusat di Gereja-gereja, saat ini mulai beralih kepada pemanfaatan sarana
informasi teknologi. Penginjilan dapat dilakukan melalui majalah, surat kabar, radio,
televisi, internet, dan media massa lainnya. Banyak sekali kesaksian orang yang
bertobat dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat melalui media massa.
Metode seperti ini harus disertai dengan ilmu-ilmu lain, misalnya: ilmu jurnalistik
untuk penginjilan melalui penulisan; ilmu komunikasi yang khusus dan sesuai untuk
media massa; ilmu teknik yang menjadi media pembawa berita, dan sebagainya.
Bagaimanapun metode yang diterapkan, penginjilan tetap bergantung kepada konsep
kuasa Roh Kudus dan manusia yang menjalankan metode tersebut. Dengan kata lain,
keberhasilan penerapan metode tersebut bergantung kepada manusia yang dipimpin
Roh Kudus.
(Bounds, 2009) dalam bukunya "Power through Prayer's" mengatakan sebagai
berikut: "Manusia mencari metode dalam penginjilan, tetapi Allah mencari manusia
untuk melakukannya”2. Harus diakui bahwa kemajuan teknologi dalam bidang
informasi saat ini sangat pesat pertumbuhannya Tuhan tetap mencari manusia dan
bukan sekadar metode untuk melaksanakan kehendak-Nya di antara manusia di bumi.
Bagi umat Kristiani media komunikasi menjadi salah satu sarana mewartakan
iman dan Kerajaan Allah secara efektif dan efisien kepada semua orang, baik yang
seiman maupun yang tidak seiman, dengan tujuan agar mereka semua mengalami
5http://misi.sabda.org/mengapa_injil_harus_diberitakan
9
keselamatan. Media komunikasi ternyata juga memainkan peranan penting dalam
karya pewartaan. Media komunikasi dapat digunakan untuk mewartakan ajaran-ajaran
Kristus, agar ajaran-ajaran Kristus tersebut dapat dikenal dan diterima seutuhnya oleh
seluruh manusia di dunia. Dan akhirnya ajaran-ajaran Kristus itu tidak hanya
membawa keselamatan bagi umat Kristiani saja, melainkan juga kemajuan bagi
seluruh manusia di dunia. Hal ini dapat kita lihat antara lain banyaknya muncul
majalah, program-program televisi dan situs-situs di internet yang bersifat kerohanian
yang dapat kita akses dengan mudah. Selanjutnya, media komunikasi dapat juga
dipakai untuk menebarkan keutamaan teologal: iman, harapan dan kasih kepada umat
beriman Kristiani, agar supaya iman, harapan dan kasih mereka terus bertumbuh dan
berkembang sesuai dengan yang dikehendaki. Selain itu juga, media komunikasi dapat
dimanfaatkan untuk mempererat tali persaudaraan, menggalang solidaritas,
menyuarakan keadilan dan perdamaian dunia.
Menurut peneliti sendiri program acara Onecubed menjadi salah satu media
komunikasi mewartakan Injil, Onecubed menjadi suatu program dengan metode
penginjilan bagi anak muda. Melalui program ini Injil dapat disampaikan dengan
lebih menarik dan kreatif, orang-orang yang melihat tayangan ini mereka akan
mendengar kabar keselamatan.
2.2 Televisi Sebagai Media Komunikasi Massa
Kehadiran televisi di dunia telah membawa dampak yang besar bagi umat
manusia. Televisi membawa berbagai kandungan informasi, pesan-pesan yang dalam
kecepatan tinggi menyebar ke seluruh pelosok dunia. Televisi menjadi berbagai alat
bagi berbagai kelompok untuk menyampaikan berbagai pesan untuk bermacam
kalangan masyarakat. Dalam kehidupan kita sekarang, televisi telah membawa
dampak yang sangat besar buat manusia. Televisi membawa berbagai kandungan
informasi, dimana pesan-pesannya dalam kecepatan tinggi menyebar ke seluruh
tempat yang dengan mudah diterima tanpa perdebatan mengenai fasilitas yang terlalu
10
beragam. Hal ini membuat orang bisa secara langsung mendapatkan informasi yang
dibutuhkan tanpa membutuhkan waktu yang lama. Di sinilah peranan televisi
demikian penting dan dibutuhkan oleh manusia, serta menjadikan daya tarik
menonton masyarakat meningkat.
Komunikasi massa berasal dari istilah bahasa Inggris, mass communication,
sebagai kependekan dari mass media communication. Artinya, komunikasi yang
menggunakan media massa atau komunikasi yang mass mediated. Istilah mass
communication atau communications diartikan sebagai salurannya, yaitu media massa
(mass media) sebagai kependekan dari media of mass communication. Massa
mengandung pengertian orang banyak, mereka tidak harus berada di lokasi tertentu
yang sama, mereka dapat tersebar atau terpencar di berbagai lokasi, yang dalam waktu
yang sama atau hampir bersamaan dapat memperoleh pesan-pesan komunikasi yang
sama.
Berlo (dalam Wiryanto, 2005) mengartikan massa sebagai meliputi semua
orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi massa atau orang-orang pada ujung
lain dari saluran. Komunikator dalam proses komunikasi massa selain merupakan
sumber pesan, mereka juga berperan sebagai gate keeper (lihat McQuail, 1987;
Nurudin, 2003). Yaitu berperan untuk menambah, mengurangi, menyederhanakan,
mengemas agar semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami oleh
audience-nya. Bitner (dalam Tubbs, 1996) menyatakan bahwa pelaksanaan peran gate
keeper dipengaruhi oleh: ekonomi; pembatasan legal; batas waktu; etika pribadi dan
profesionalitas; kompetisi diantara media; dan nilai berita.
Menurut peneliti, dengan perkembangan teknologi komunikasi penyebaran
pesan secara luas dan dalam waktu yang singkat saat ini bukan hal yang sulit
dilakukan. Dalam media massa media yang digunakan menyebarkan suatu pesan.
Media massa kemudian menjadi sesuatu yang penting, berpengaruh, dan mampu
menyebarkan pesan secara baik. Pesan media yang ditransmisikan secara luas kepada
khalayak tersebut mengandung ideologi tertentu jika ditransmisikan dalam waktu
11
lama dan frekuensi yang sering akan memberikan efek tertentu pada khalayak. Hal ini
terjadi karena isi media dibuat oleh orang-orang yang juga memiliki ideologi dan
pandangan tertentu. Salah satu pesan yang membutuhkan media massa untuk bisa
ditransmisikan secara luas adalah pesan penginjilan.
2.2.1 Konstruksi Sosial Media Massa
Berger dan Luckmann (Poloma, 2004:301) meyakini secara substantif bahwa
realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial
terhadap dunia sosial di seklilingnya. Paradigma konstruktivis yang melihat realitas
sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu yang merupakan
manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi
berdasarkan kehendaknya. Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah
muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato
menemukan akal budi dan ide.3 Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah
Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi, materi, esensi,
dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap
pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah fakta.
Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas dari Berger dan
Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa
dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas promer dan semi sekunder. Basis
sosial teori dan pendekatan ini adalah transisi-modern di Amerika pada sekitar tahun
1960-an, dimana media massa belum menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk
dibicarakan. Dengan demikian Berger dan Luckmann tidak memasukan media massa
sebagai variabel atua fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas
realitas.
3 Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani,Yogyakarta: Kanisius. 199, hl, 89-106
12
Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L Berger dan
Luckmann telah direvisi dengan melihat fenomena media massa sangat substantif
dalam proses eksternalisasi, subyektivasi dan internalisasi inilah yang kemudian
dikenal sebagai “konstruksi sosial media massa”. Menurut perspektif ini tahapan-
tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap
menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan kosntruksi; tahap
konfirmasi. 4 Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Tahap menyiapkan materi konstruksi
Menyiapkan materi konstruksi sosial media massa adalah tugas redaksi media
massa, tugas itu didistribusikan pada desk editor yang ada di setiap media
massa. Masing-masing media memiliki desk yang berbeda-beda sesuai dengan
kebutuhan dan visi suatu media. Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni:
a. Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Sebagaimana diketahui,
saat ini hampir tidak ada lagi media massa yang tidak dimiliki oleh
kapitalis. Dalam arti kekuatan-kekuatan kapital untuk menjadikan media
massa sebagai mesin penciptaan uang dan pelipatgandaan modal.
b. Keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan
umum. Bentuk dari keberpihakan ini adalah dalam bentuk empati, simpati
dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah
juga untuk menjual berita demi kepentingan kapitalis.
c. Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada
kepentingan umum dalam arti sesungguhnya sebenarnya adalah visi setiap
media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah menunjukkan
jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar.
Jadi, dalam menyiapkan materi konstruksi, media massa memosisikan diri
pada tiga hal tersebut di atas, namun pada umumnya keberpihakan pada
4 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di
Masyarakat,( Jakarta : Kencana, 2007), hlm. 188-189
13
kepentingan kapitalis menjadi sangat dominan mengingat media massa adalah
mesin produksi kapitalis yang mau ataupun tidak harus menghasilkan
keuntungan.
2. Tahap sebaran konstruksi : prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media
massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat
berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi
penting pula bagi pemirsa atau pembaca.
3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi berlangsung
melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran, adalah konstruksi pembenaran
sebagai suatu bentuk konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat
yang cenderung membenarkan apa saja yang ada (tersaji) di media massa
sebagai sebuah realitas kebenaran. Dengan kata lain, informasi media massa
sebagai
otoritas sikap untuk membenarkan sebuah kejadian.
(2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa, yaitu sikap generik dari
tahap pertama. Bahwa pilihan seseorang untuk menjadi pembaca media massa
adalah karena pilihannya untuk bersedia pikiran-pikirannya dikonstruksi oleh
media massa.
(3) sebagai pilihan konsumtif, dimana seseorang secara habit tergantung pada
media massa. Media massa adalah bagian kebiasaan hidup yang tak bisa
dilepaskan. Pada tingkat tertentu, seseorang merasa tak mampu beraktivitas
apabila ia belum membaca koran.
4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun
penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk
terlibat dalam pembetukan konstruksi. Bagi media, tahapan ini perlu sebagai
bagian untuk menjelaskan mengapa ia terlibat dan bersedia hadir dalam proses
konstruksi sosial. Ada beberapa alasan yang sering digunakan dalam
konfirmasi ini yaitu a) kehidupan modern menghendaki pribadi yang selalu
14
berubah dan menjadi bagian dari produksi media massa, b) kedekatan dengan
media massa adalah lifestyle orang modern, dimana orang modern sangat
menyukai popularitas terutama sebagai subjek media massa itu sendiri, dan c)
media massa walaupun memiliki kemampuan mengkonstruksi realitas media
berdasarkan subyektivitas media, namun kehadiran media massa dalam
kehidupan seseorang merupakan sumber pengetahuan tanpa batas yang
sewaktu-waktu dapat diakses.
Media sebagai arena pertarungan dan pendominasian wacana tentunya antara
kekuatan sosial-politik yang ada saling mempengaruhi, dimana mereka saling
berlomba untuk mempengaruhi pendapat publik guna pemenang suara pada pemilu.
Dalam hal ini media cetak di lihat sebagai perpanjangan tangan kekuatan politik
tersebut.
Analisis Framing sebagai pengembangan lebih lanjut dari analisis wacana banyak
mengadopsi perangkat operasional analisis wacana. Analisis Framing dapat
mengungkap kecenderungan perspekif media saat mengkonstruksi fakta sebagai
bangunan realitas konstruksional.
Menurut Eriyanto, terdapat empat model analisi framing, yaitu pertama Murray
Edelman, dalam bukunya “Contestablle Categories and Public Opinion” ia
mensejajarkan framing sebagai kategorisasi, artinya pemakaian perspektif tertentu
dengan pemakaian kata-kata yang tertentu pula yang menandakan bagaimana fakta
atau realitas dipahami, kategorisasi juga dapat diartikan sebagai penyederhanaan,
realitas yang kompleks dan berdimensi banyak dipahami dan ditekankan supaya
dipahami dan hadir dalam benak khalayak. 5
Kedua, adalah Robert Entman dalam metodenya framing dilakukan dengan
empat cara yaitu: problem identification (indifikasi masalah), casual interpretation
5 Eriyanto, halaman 155-167,2001
15
(indifikasi penyebab masalah), moral identification (evaluasi moral) dan treatment
recommendation (saran penanggulangan masalah). 6
Model ketiga framing Zongdang Pan dan Gerald M. Kosicki (1993) dalam
tulisan mereka yang berjudul “Framing Analysis: An Approach to New Discourse”
mengoperasionalkan empat dimensi structurak teks sebagai perangkat framing, yaitu
sintaksis, skrip, temantik, dan retoris.7
Model keempat, William A. Gamson mendefinisikan framing dalam dua
pendekatan yaitu pendekatan menghasilkan framing dama level cultural, dan
pendekatan psikologis yang menghasilakn framing dalam level individual. Framing
dalam level cultural dimaknai sebagai batasan-batasan wacana serta elemen-elemen
konstitutif yang tersebar dalam konstruksi wacana. Dalma hal ini, frame memberikan
pentunjuk elemen-elemen isu makna yang relevan untuk diwacanakan, problem-
problem apa yang memerlukan tindakan-tindakan politis, solusi yang pantas diambil,
serta makna yang legitimate dalam wacana yang terbentuk. 8
Framing dalam level individu, berangkat dari asumsi bahwa individu selalu
bertindak atau mengambil keputusan secara sadar, rasional dan internasional, yang
selalu merunjuk pada frame of reference (kerangka referensi) dan field of experience
(bidang pengalaman). Artinya, individu dalam memaknai realitas selalu melibatkan
pengalaman hidup, wawasan sosial dan kecenderungan psikologisnya dalam
menginterpretasi pesan yang ia terima. Pengalaman dan pengetahuan individu pada
akhirnya mengendap dan mengkristal sehingga terbentuk (schemata of
interpretation). Schemata inilah yang memberikan kemampuan kepada individu untuk
memetakan, menerima, mengidentifikasi dan memberikan lebel pada informasi yang
diterimanya.
6 Alex Sobur, halaman 172-175
7 Eriyanto, (2001: 251-266)
8 Analisis Framing: Konstruksi, ideology, dan Politik Media, Eriyanto, penerbit LKSIS (2002: 217-
228)
16
2.2.2 Teks Sebagai Wacana
Konsep tentang citra dan program televisi sebagai teks yang dibaca telah
dibakukan sebagai pendekatan kritis. Konsep ini merupakan perpanjangan dari proses
pembacaan teks-teks satra. Secara historis konsep teks, sebagaimana diterapkan pada
artefak budaya mana pun, berhubungan dengan membuka kembali jalinan makna dan
citra. Fiske (1991:36) bahkan menekankan gagasan bahwa teks televisi bersifat
ambigu, bahkan media tersebut bersifat polisemik atau dipenuhi oleh kode-kode serta
tanda-tanda yang dapat diintepretasikan. Fiske melukiskan televisi sebagai sebuah
teks yang menyifati sifat produser (producerly text). Menurutnya, televisi
„mendelegasikan produksi makna kepada produser-permisa‟
Norman Fairclough (1995:36) menggambarkan teks sebagai
mempresentasikan berbagai pandangan dan kepentingan produsernya: „teks-teks
media merupakan versi realitas yang tergantung pada posisi dan kepentingan sosial
serta tujuan produsernya‟.
2.3 Membaca Teks Televisi
Proses melihat gambar televisi yang tersusun atas representasi adalah proses
yang kompleks. Melihat bukan sekedar aktivitas visual. Tindakan melihat hanya
merupakan bagian dari persepsi, yang dalam proses itu kita harus memahami apa
yang dilihat (kembali pada makna lagi). Sudut pandang dipahami lebih secara harfiah
berdasarkan pembacaan atau citra. Sudut pandang ini berhubungan dengan posisi
temporer teks televisi. Sudut pandang dipahami secara harfiah berdasarkan
pembacaan gambar atau citra. Berkenaan dengan waktu, misalnya sebagai pemirsa
kita sadar terhadap apa arti yang tengah berlangsung di layar kaca.
2.3.1 Ideologi
Burfon (2008:193) secara sederhana menjelaskan bahwa ideologi adalah
seperangkat kepercayaan dan nilai yang melengkapi pandangan tentang dunia dan
tentang hubungan kekuasaan antara orang-orang dan kelompok-kelompok. Setiap
17
orang memiliki semacam ideologi atau pandangan tentang dunia serta bagaimana
dunia sekarang dan bagaimana dunia seharusnya.
Sedangkan Rosalind Brunt menggambarkan ideologi sebagai “ sistem
keyakinan yang bersifat mejelaskan” dan menautkannya pada “kesadaran bahwa
televisi mengomunikasikan beragam makna, nilai, dan keyakinan” (Burton, 2007:37).
Televisi adalah sebuah agen pembawa ideologi. Beragam program televisi
merepresentasikan ideologi. Televisi tidak bisa bebas dari ideologi karena televisi
menjadi sarana bagi berbagai kepentingan dan nilai pemegang kekuasaan dicekokkan
kepada mereka yang menjadi sasaran kekuasaan, meski penerapan kekuasaan itu
sebagaian besar tak tampak. Televisi kemudian menjadi ideologi baru atau bahkan
agama baru.
Althusser dan Gramsci sepakat bahwa media massa bukanlah entitas yang
idependen, tetapi memiliki keterkaitan dengan realitas sosial. Ada berbagai
kepentingan yang bermain dalam media massa, kepentingan ideologi masyarakat dan
Negara, kapitalisme pemilik modal, keberlangsungan media, dan sebagainya (Sobur,
2004:30).
Dalam teori kritis, ideologi adalah seperangkat gagasan yang membentuk
realitas kelompok atau masyarakat, yaitu suatu system representasi atau kode makna
yang mengatur bagaimana individu memandang dunia. Dalam pandangan Marxisme
klasik, suatu idoelogi adalah seperangkat gagasan yang salah yang dilestarikan oleh
kekuatan politik dominan dan karenanya, ilmu pengetahuan harus menggantikan
ideologi yang salah guna memperoleh kebenaran (Morissa, 2011:156).
Dalam praktiknya, idelogi menjadi kategori-kategori ilusi dan kesadaran palsu
yang berdasarkan praktik tersebut kelas yang berkuasa menjaga dominasinya. Kelas
yang berkuasa mengontrol sarana-sarana pokok tempat ideologi digandakan dan
disebarluaskan pada seluruh mayarakat.
Dalam penelitian ini, konsep ideologi dipandang sebagai sebuah pesan yang
kemudian dikirimkan melalui media televisi yang menggunakan konsep pelayanan
18
modern dengan pergerakan independen di tengah industri media yang memerlukan
kekuatan finansial. Sehingga ketika mereka memproduksi isi media tersebut, maka
ideologi yang ada dalam diri mereka mau tidak mau juga dipengaruhi oleh media.
Menurut Marx, ideologi menjaga kelas subordinat berada pada kesadaran
palsu. Kesadaran tentang siapa dirinya, bagaimana mereka berelasi dengan bagian lain
dari masyarakat, dan arena itu pengertian mereka tentang pengalaman sosialnya
dihasilkan oleh masyarakat, bukan oleh alam atau psikologi individu. Konsep
kesadaran palsu inilah yang kemudian menjelaskan mengapa mayoritas dalam
masyarakat kapitalis menerima sebuah sistem sosial yang tidak menguntungkan
mereka. Karena Marx menyakini bahwa “realitas” ekonomi berpengaruh setidaknya
dalam jangka panjang, dibandingkan ideologi.
Televisi, dengan beragam programnya pada praktiknya merepresentasikan
ideologi. Televisi tidak bisa mengelak untuk bersifat ideologi. Rosalind Brun
merangkum semua kegagalan ihwal ideologi dan teks melalui pembacaan atas satu
program spesifik. Brunt menggambarkan ideologi sebagai system keyakinan yang
bersifat menjelaskan dan mengautkanya pada kesadaran bahwa televisi
mengomunikasikan beragam makna, nilai, budaya, dan keyakinan.
Dalam penelitian ini, konsep ideologi dipandang sebagai sebuah pesan yang
kemudian dikirimkan melalui media televisi yang menggunakan konsep pelayanan
modern dengan pergerakan independen di tengah industry media yang memerlukan
kekuatan finansial maupun untuk mengisi jam tayang kosong yang ada di televisi.
Sehingga ketika mereka memproduksi isi media tersebut, maka idoelogi yang ada
dalam diri mereka mau tidak mau juga dipengaruhi oleh media.
2.4 Representasi
Analisis representasi televisi juga merupakan sebuah pendekatan kritis untuk
memahami signifikasi medium dan makna yang dibangun bagi audiens televisi. Istilah
representasi secara lebih luas mengacu pada penggambaran kelompok-kelompok dan
19
institusi sosial. Tampilan representasi adalah sebuah jubah yang menyembunyikan
bentuk makna sesungguhnya yang ada dibaliknya. Karena televisi adalah media
visual, televisi menampilkna ikon, gambar orang dan kelompok yang setidaknya
terlihat seperti hidup, sekalipun ikon atau gambar itu hanyalah konstruk atau
bangunan elektronis. Bisa dikatakan bahwa representasi mengharuskan kita berurusan
dengan persoalan bentuk. Cara penggunaan televisilah yang menyebabkan audiens
membangun makna yang merupakan esensi dari representasi (Sobur, Alex.2006).
Representasi anak muda di televisi memunculkan pertanyaan tentang istilah
„anak muda‟. Secara kolektif, kaum muda tampaknya masih merasa pas dengan model
Hebdige (1979) yang begitu terkenal, bahwa „masa muda adalah masa bersenang-
senang, masa muda adalah masa yang penuh masalah‟. Sejauh menyangkut program
untuk anak muda, semuanya berkenaan dengan kesenangan, musik, dan fesyen. Sebab
program-program diharapkan dapat menyenangkan hati audiens muda dan
mendongkrak rating. Definisi dan representasi ihwal anak muda, dalam bahasa
sosiologis, rumit oleh fakta bahwa fenomena seperti budaya club dan budaya dansa
sebenarnya melibatkan orang-orang pada usia dua puluhan dan beberapa pada usia tiga
puluhan. Sampai saat ini kita bisa menarik batasan bahwa „anak muda‟ lebih
merupakan keadaan mengonsumsi ketimbang persoalan usia. Pada kenyataanya
mungkin tidak pernah ada audiens muda yang benar-benar setia, sebab definisi anak
muda sangat sulit untuk dirumuskan.
2.4.1 Genre Dalam Industri Televisi
Genre merupakan Suatu kerangka konseptual dalam hubungannya dengan
industri, audiens, dan kebudayaan sejauh fungsinya sebagai: 1. dasar pembiayaan
produksi dengan merujuk pada bentuk produk-produk sebelumnya untuk mengurangi
risiko finansial; 2. seperangkat persepsi dan harapan audiens untuk mengorganisir apa
yang mereka tonton; 3. suatu kerangka kritis bagi pengamat untuk menentukan
kekhususan sebuah karya dan citarasa audiensnya. Dengan demikian, genre
20
dipergunakan sebagai upaya memahami film sebagai bentuk spesifik suatu komoditas.
Genre film yang dikenal antara lain: western, epik, thriller, perang, gangster, horor,
komedi, musikal, laga (action), science-fiction, dan petualangan. Sedangkan,
berdasarkan usia penonton yang dijadikan sasaran pemasaran, genre dibedakan
menjadi: keluarga, dewasa, remaja, dan anak-anak. Namun, pada kenyataannya, bisa
dikatakan hampir tidak ada sebuah film yang diciptakan secara ketat berdasarkan pada
genre tertentu. Selalu ada kemungkinan untuk menggabungkan lebih dari satu genre.
(Burfon, 2011).
Dalam penelitian ini penulis melihat bahwa program acara penginjilan
Onecubed memiliki genre untuk anak muda. Meskipun tidak menutup kemungkinan
program Onecubed dapat dilihat oleh khalayak umum. Oleh sebab itu Global TV yang
dipilih oleh pihak CBN untuk program penginjilan, dikarenakan Global TV
merupakan salah satu stasiun TV yang mempunyai genre anak muda.
2.5 Politik Ekonomi Media
Kajian media massa pada umumnya terkait dengan aspek budaya, politik dan
ekonomi sebagai suatu kesatuan yang saling mempengaruhi. Dari aspek budaya,
media massa merupakan institusi sosial pembentuk definisi dan citra realitas social,
serta ekspresi identitas yang dihayati bersama (Sunarto,2009:13). Begitu juga apabila
media massa dilihat dari aspek politik. Media massa memberikan ruang dan arena
bagi terjadinya diskusi aneka kepentingan berbagai kelompok sosial yang ada di
masyarakat dengan tujuan akhir untuk menciptakan pendapat umum sebagaimana
yang diinginkan oleh masih-masing kelompok social tersebut. Dari aspek ekonomi,
media massa merupakan institusi bisnis yang dibentuk dengan tujuan untuk
mendapatkan keuntungan secara material bagi pendirinya.
Menurut Vincent Moscow dalam bukunya The Political Economy of
Communication (1998), pendekatan dengan teori ini pada intinya berpijak pada
pengertian ekonomi politik sebagai studi mengenai relasi sosial, khususnya yang
21
menyangkut relasi kekuasaan, baik dalam produksi, distribusi dan konsumsi sumber
daya (resourches). Dalam ekonomi politik komunikasi, sumber daya ini dapat berupa
surat kabar, majalah, buku, kaset, film, internet dan sebagainya (Mosco, 1998 : 25).
Bila dikaitkan dengan wilayah komunikasi, khususnya industri media massa, sumber
daya yang dimaksud berupa surat kabar, televisi, buku, video, film, pemirsa dan
seterusnya. Produk-produk ini menjadi sumber daya (resources) untuk didistribusikan
ke publik dan dikonsumsi. Rangkaian pola produksi, distribusi dan konsumsi dalam
industri media massa melibatkan relasi pihak organisasi media, pemilik modal atau
kapitalis (perspektif ekonomi bisnis).
Penelitian ini mencoba melihat juga mengenai bagaimana kegiatan penyiaran
yang dilakukan oleh Onecubed melalui Global TV dengan menekankan kepada politik
keagamaan yang menggunakan konsep pelayanan yang dihadapkan pada situasi
industri penyiaran (ekonomi) dengan konsekuensi budget atau finansial yang harus
dikeluarkan pada setiap jam penyaiarannya. Agama semula diharapkan dapat
mengeliminasikan efek deskruftif kapitalisme. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Zamroni, agama kini telah berubah dari
hubungan sakral dengan Tuhan Yang Maha Kuasa menjadi hubungan produsen dan
konsumen. Agama bukan lagi nilai-nilai agaung yang mencerahkan secara rohaniah,
tetapi hanyalah salah satu dari komuditas yang bisa diperjualbelikan dipasar kapitalis
(Zamroni, 2006:70).
2.6 Teori Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Theory)
Menurut Douglas dalam Mulyana (2000:3), istilah wacana berasal dari bahasa
Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya berkata, berucap. Kata tersebut kemudian
mengalami perubahan bentuk menjadi wacana. Kridalaksana dalam Yoce (2009:69)
membahas bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirearki gramatikal
tertinggi dan merupakan satuan gramatikal yang tertinggi atau terbesar.Wacana
direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh, seperti novel, cerpen, atau prosa dan
22
puisi, seri ensiklopedi dan lain-lain serta paragraph, kalimat, frase, dan kata yang
membawa amanat lengkap.Jadi, wacana adalah unit linguistik yang lebih besar dari
kalimat atau klausa.
Lukmana, Aziz dan Kosasih (2006:12) mengatakan bahwa analisis wacana kritis
(Critical Discourse Analysis) mempunyai ciri yang berbeda dari analisis wacana yang
bersifat “non-kritis”, yang cenderung hanya mendeskripsikan struktur dari sebuah
wacana. Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) bertindak lebih jauh,
diantaranya dengan menggali alasan mengapa sebuah wacana memiliki struktur
tertentu, yang pada akhirnya akan berujung pada analisis hubungan sosial antara
pihak-pihak yang tercakup dalam wacana tersebut.
Analisis wacana kritis menyediakan teori dan metode yang bisa digunakan
untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan
perkembangan sosial dan kultural dalam domain-domain sosial yang berbeda
(Jorgensen dan Philips, 2007: 114). Tujuan analisis wacana kritis adalah menjelaskan
dimensi linguistik kewacanaan fenomena sosial dan kultural dan proses perubahan
dalam modernitas terkini (Jorgensen dan Philips, 2007: 116).
Dari sekian banyak model analisis wacana, model Teun Van Dijk adalah salah
satu model yang familiar dan sering dipakai untuk mengkolaborasikan elemen-elemen
wacana sehingga bisa diaplikasikan. Model Van Dijk adalah model yang sedikit
banyak mengadopsi dari pendekatan lapangan “Psikologi Sosial” yaitu sebagai
”Kognisi sosial”. Pendekatan yang dilakukan adalah untuk menjelaskan struktur dan
terbentuknya proses suatu teks. (Eriyanto 2001:221) Menurut Van Dijk, penelitian
atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisa atas teks semata, karena teks
hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati.
(Alex Sobur 2006:73) Van Dijk melihat suatu wacana terdiri atas berbagai
struktur/tingkatan, yang masing-masing bagian saling mendukung, menurutnya dibagi
menjadi ke dalam tiga tingkatan :
23
1. Struktur Makro, ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat
dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya
isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa.
2. Superstruktur, adalah kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan elemen
wacana disusun dalam teks secara utuh.
3. Struktur Mikro, adalah makna wacana yang dapat diamati dengan
menganalisis kata, proposisi, anak kalimat, parafrase yang dipakai dan
sebagainya.
Keseluruhan teks dapat dianalisa dengan menggunakan elemen-elemen diatas,
semua elemen merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu
dengan yang lainnya.
Kekuatan dan Kelemahan Analisis Wacana Kritis
Menurut Teun A. Van Dijk (1997:1-37) dalam Eriyanto (2008) ada beberapa
karakteristik penting analisis wacana kristis, yaitu :
1. Tindakan. Prinsip pertama, dipahami sebagai sebuah tindakan (action).
Wacana bukan ditempatkan dalam ruang tertutup dan internal tetapi sebagai
bentuk interaksi dengan orang lain. Karena itu, wacana harus dipandang
sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk,
menyangga, mereaksi dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai
sesuatu yang diskspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu di luar
kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.
2. Konteks. Konteks disini seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana
dipandang, diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu.
Menurut Guy Cook (Eriyanto, 2001:8-9), analisis wacana juga memeriksa
konteks dari komunikasi, siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan
mengapa; dalam jenis khalayak situasi apa; melalui medium apa; bagaimana
perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; hubungan untuk setiap
24
masing-masing pihak. Guy Cook juga menyebutkan ada tiga hal sentral dalam
pengertian wacana, yakni teks, konteks, dan wacana. Teks, adalah semua
bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi
juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara,
citra dan sebagainya. Konteks, memasukan semua situasi dan hal yang berada
di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam
bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan dan
sebagainya. Wacana, disini dimaknai sebagai teks dan konteks secara
bersama-sama. Ada beberapa konteks yang penting karena berpengaruh
terhadap produksi wacana. Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang
memproduksi wacana. Jenis kelamin, umur, pendidikan, kelas sosial, etnis,
agama, dalam banyak hal relevan dalam menggambarkan wacana. Kedua,
setting sosial tertentu seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar
atau lingkungan fisik.
3. Historis. Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan
menempatkan wacana itu di dalam konteks historis tertentu. Pada waktu
melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang
berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai
seperti itu dan sebagainya.
4. Kekuasaan. Setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan dan
atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral
tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah
salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. Kekuasaan itu
dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut
sebagai kontrol. Bentuk kontrol ini dapat berupa kontrol konteks atau struktur
wacana.
5. Ideologi. Ideologi merupakan konsep yang sentral dalam analisis wacana yang
bersifat kritis. Ideologi dibangun oleh kelompok dominan dengan tujuan untuk
25
mereproduksi dan melegetimasi dominasi mereka. Salah satu strategi
utamanya adalah dengan membuat kepada khalayak bahwa dominasi itu bisa
diterima secara taken for granted (Eriyanto, 2008-18). Seperti dijelaskan oleh
Van Dijk sebagai “kesadaran palsu”, bagaimana kelompok dominan
memanipulasi ideologi kepada kelompok yang tidak dominan melalui
kampanye disinformasi, melalui kontrol media dan sebagainya.
Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk
Teks bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga suatu ruang hampa
yang mandiri. Akan tetapi, teks dibentuk dalam suatu praktik diskursus, suatu praktik
wacana. Kalau ada teks memarjirnalkan wanita, bukan bearti teks tersebut suatu ruang
hampa, bukan pula sesuatu yang datang dari langit. Teks itu hadir dan bagian dari
representasi yang menggambarkan masyarakat patriarkal. Di sini ada dua bagian: teks
yang mikro yang merepresentasikan program televangelism bagi anak-anak muda,
dan elemen besar yang berupa struktur sosial kekristenan di Indonesia.
Van Dijk membuat suatu jembatan yang menghubungkan elemen dasar berupa
struktur sosial tersebut dengan elemen wacana yang mikro dengan sebuah dimensi
yang dinamakan kognisi sosial. Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak
cukup hanya didasarkan pada analisis atas struktur teks karena struktur wacana itu
sendiri menunjukkan atau menandakan sejumlah makna, pendapat, dan ideologi.
Untuk membongkar makna tersembunyi dari teks, kita membutuhkan suatu analisis
kognisi9 dan konteks sosial. Wacana oleh van Tjik digambarkan mempunyai tiga
dimensi atau bangunan yaitu, teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Inti analisis Van
Dijk adalah menggabungkan ketiga wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis.
9Eriyanto dalam buku Analisis Wacana (2001:224-225) Teun A. Van Dijk, kognisi sosial didasarkan
pada anggapan umum yang tertanam yang akan digunakan untuk memandang peristiwa. Analisis
kognisi menyediakan gambaran yang kompleks tidak hanya pada teks tetapi juga representasi dan
strategi yang digunakan dalam memproduksi suatu teks.
26
Gambar 2.6: Model dari Analisis Van Dijk (Sumber, Eriyanto (2001: 225)
Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah struktur dari teks. Van Dijk
memanfaatkan dan mengambil analisis linguistik tentang kosakata, kalimat, paragraph
untuk menjelaskan dan memaknai suatu teks. Kognisi sosial merupakan dimensi
untuk menjelaskan bagaimana suatu teks diproduksi oleh individu/kelompok pembuat
teks. Cara memandang atau melihat suatu realitas sosial itu yang melahirkan teks
tertentu. Sedangkan konteks sosial melihat bagaimana teks itu dihubungkan lebih jauh
dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat atas
suatu wacana. Analisis Van Dijk menghubungkan analisis tekstual kearah analisis
yang kompherensif bagaimana teks diproduksi, baik dalam hubungannya dengan
individu dan masyarakat (Eriyanto, 2001:225).
Media Dilihat dari Paradigma Kritis
Kaum pluralis melihat media sebagai saluran yang bebas dan netral, dimana
semua pihak dan kepentingan dapat menyampaikan posisi dan pandanganya dengan
bebas. Pandangan semacam ini yang ditolak oleh kaum kritis. Pandangan kritis
melihat media bukan hanya alat dari kelompok dominan, tetapi juga memproduksi
ideologi dominan. Media membantu kelompok dominan menyebarkan gagasannya,
mengontrol kelompok lain, dan membentuk konsensus antar anggota komunitas.
Konteks
Kognisi Sosial
Teks
27
Lewat medialah, ideologi dominan, apa yang baik dan apa yang buruk dimapankan.10
Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi
realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya.
Seperti dikatakan Tony Bennett, media dipandang sebagai agen konstruksi
sosial yang mendefinisikan realitas sesuai dengan kepentingannya. (Eriyanto,
2001:36) Dalam pandangan kritis, media juga dipandang sebagai wujud dari
pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Di sini,
media bukan sarana netral yang menampilkan kekuatan dan kelompok dalan
masyarakat secara apa adanya, tetapi kelompok dan ideologi yang dominan itulah
yang akan tampil dalam pemberitaan.11
Titik penting dalam memahami media
menurut paradigma kritis adalah bagaimana media melakukan politik pemaknaan.
Menurut Stuart Hall, makna tidak tergantung pada struktur makna itu sendiri, tetapi
pada praktik pemaknaan. Makna adalah suatu produksi sosial, suatu praktik.
10
David barat, Media Sociology, London and New York, Routledge, 1994, hal. 51-52 (Menurut
Eriyanto, dalam buku Analisis Wacana, hal 36) 11
Eriyanto dalam buku Analisis Wacana, 2001 (Teks Berita: Paradigma Kritis, hal 37)
28
2.7 Kerangka Pikir
Gambar 2.7 Kerangka Pikir
Penelitian ini melihat bagaimana konsep televisi penginjilan sebagai sebuah
metode penginjilan modern di Indonesia pada lembagaa penyiaran kristen CBN
melalui program Onecubed yang ditayangkan pada stasiun televisi bergenre remaja
Global TV. Dalam hubungannya dengan Global TV, CBN memiliki harapan bahwa
pesan penginjilan yang dikemas melalui acara anak muda akan tepat sasaran. Hal ini
dapat dilihat melalui konsep relasi media dan konstruksi pesan yang merupakan
bagian dari temuan penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian analisis
wacana. Analisis wacana digunakan untuk dapat mengetahui bagaimana makna atas
pesan yang dibuat dalam sebuah paket penayangan pada sebuah media, di mana
simbol-simbol yang dikemas untuk membingkai pesan digunakan agar pesan tersebut
dapat dengan mudah diterima oleh khalayak.
Evangelism Televisi Evagelism
Pengemasan pesan di
Televangelism Kepentingan
remaja
Relasi CBN dengan
Global TV Televangelism
29
Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
relasi media dalam konteks penginjilan dan pelayanan agama Kristen melalui media
(televangelism) di Indonesia serta mengetahui bagaimana pesan-pesan penginjilan
dikemas dalam bentuk hiburan remaja dengan memuat materi-materi penginjilan dan
pelayanan.