BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Evaluasi Programrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13311/2/T2... ·...

55
17 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Evaluasi Program 2.1.1. Pengertian Evaluasi Program Evaluasi adalah bagian dari suatu penelitian. Evaluasi merupakan proses pengumpulan data untuk menentukan sejauhmana, dalam hal apa, dan bagaimana tujuan program dapat tercapai. Evaluasi merupakan alat untuk menganalisis dan menilai fenomena dan aplikasi ilmu pengetahuan. Sebagai cabang ilmu pengetahuan yang mandiri, ilmu evaluasi didukung oleh sejumlah teori. Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektivan kebijakan guna dipertanggungjawabkan kepada yang berwenang. Evaluasi dapat melihat sejauh mana tujuan tercapai serta untuk melihat sejauh mana kesenjangan antara ekspektasi dengan kenyataan. Menurut Anderson dalam Winarno (2008: 166), ”secara umum evaluasi dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak pelaksanaan kebijakan tersebut”. Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 1) “evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi mengenai bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya

Transcript of BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Evaluasi Programrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13311/2/T2... ·...

17

BAB II KAJIAN TEORI

2.1. Evaluasi Program

2.1.1. Pengertian Evaluasi Program

Evaluasi adalah bagian dari suatu penelitian.

Evaluasi merupakan proses pengumpulan data untuk

menentukan sejauhmana, dalam hal apa, dan

bagaimana tujuan program dapat tercapai. Evaluasi

merupakan alat untuk menganalisis dan menilai

fenomena dan aplikasi ilmu pengetahuan. Sebagai

cabang ilmu pengetahuan yang mandiri, ilmu evaluasi

didukung oleh sejumlah teori. Evaluasi biasanya

ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektivan

kebijakan guna dipertanggungjawabkan kepada yang

berwenang. Evaluasi dapat melihat sejauh mana tujuan

tercapai serta untuk melihat sejauh mana kesenjangan

antara ekspektasi dengan kenyataan.

Menurut Anderson dalam Winarno (2008: 166),

”secara umum evaluasi dapat dikatakan sebagai

kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian

kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan

dampak pelaksanaan kebijakan tersebut”.

Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 1) “evaluasi

adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi

mengenai bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya

18

informasi tersebut digunakan untuk menentukan

alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan”.

Suchman dalam Arikunto dan Jabar (2010:1)

memandang bahwa, “evaluasi sebagai proses

penentuan hasil yang dicapai beberapa kegiatan yang

direncanakan untuk mendukung pencapaian tujuan”.

Stutflebeam dalam Arikunto dan Jabar (2010:2)

mengatakan bahwa, “evaluasi merupakan

penggambaran proses, mencari dan memberikan

informasi yang berguna untuk para pengambil

keputusan dalam menentukan alternatif keputusan”.

Dari pengertian evaluasi diatas dapat

disimpulkan bahwa evaluasi adalah proses kegiatan

pengukuran, menilai, menganalisis terhadap program

atau kebijakan untuk menentukan hasil dari tujuan

yang telah ditetapkan, sebagai pedoman pengambilan

langkah dimasa yang akan datang.

Ada beberapa pengertian tentang program.

Program merupakan suatu rencana yang melibatkan

berbagai unit yang berisikan kebijakan serta rangkaian

kegiatan yang harus dilakukan dalam kurun waktu

tertentu. Dalam kamus (a) program adalah rencana, (b)

program adalah kegiatan yang dilakukan dengan

seksama. Menurut Suharsimi Arikunto (2004: 2)

program dapat dipahami dalam dua pengertian yaitu

secara umum dan khusus. Pengertian program secara

umum, dapat diartikan sebagai rencana atau

19

rancangan kegiatan yang akan dilakukan oleh

seseorang di kemudian hari. Sedangkan pengertian

program secara khusus biasanya dikaitkan dengan

evaluasi yang berarti suatu kesatuan atau unit

kegiatan yang merupakan implementasi atau realisasi

suatu kebijakan, berlangsung dalam proses

berkesinambungan dan terjadi dalam satu organisasi

yang melibatkan sekelompok orang.

Dari pengertian secara khusus ini, maka sebuah

program adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan

secara berkesinambungan dengan waktu pelaksanaan

yang panjang. Selain itu, sebuah program tidak hanya

terdiri dari suatu kegiatan namun, merupakan suatu

rangkaian kegiatan yang membentuk satu sistem yang

saling terkait satu sama lain dengan melibatkan lebih

dari satu orang untuk melaksanakannya.

Menurut Isaac dan Michael (1984: 6) sebuah

program harus diakhiri dengan evaluasi. Hal ini

dikarenakan apakah program tersebut berhasil

menjalankan fungsi sebagaimana yang telah ditetapkan

sebelumnya. Menurut mereka, ada tiga tahap

rangkaian evaluasi program yaitu: (1) menyatakan

pertanyaan serta menspesifikasikan informasi yang

hendak diperoleh, (2) mencari data yang relevan dengan

penelitian dan (3) menyediakan informasi yang

dibutuhkan pihak pengambil keputusan untuk

20

melanjutkan, memperbaiki atau menghentikan program

tersebut.

Evaluasi program merupakan suatu rangkaian

kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat

tingkat keberhasilan suatu program. Melakukan

evaluasi program ialah kegiatan yang dimaksudkan

untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan

dari kegiatan yang telah direncanakan (Suharsimi

Arikunto, 2009: 297).

Menurut Tyler dalam Arikunto dan Jabar (2009:

5), evaluasi program merupakan proses untuk

mengetahui apakah tujuan pendidikan telah

terealisasikan. Selanjutnya menurut Cronbach (1963)

dan Stufflebeam (1971) yang dikutip oleh Arikunto dan

Jabar (2009: 5), evaluasi program merupakan upaya

menyediakan informasi untuk disampaikan kepada

pengambil keputusan.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat

disimpulkan bahwa evaluasi program merupakan

rangkaian kegiatan pengumpulan data atau informasi

ilmiah yang hasilnya dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam

menentukan alternatif kebijakan program dimasa akan

datang. Karenanya, dalam keberhasilan suatu evaluasi

program ada dua konsep yang terdapat didalamnya

yaitu efektifitas dan efisiensi. Efektifitas adalah

perbandingan antara output dan input sedangkan

21

efisiensi merupakan taraf pendayagunaan input untuk

menghasilkan output melalui suatu proses.

Evaluasi program adalah segala sesuatu yang

dilakukan dengan harapan akan mendatangkan hasil

atau manfaat. Evaluasi program dapat dilakukan

terhadap sebagian atau seluruh unsur-unsur

implementasi program. Hal ini dimaksudkan untuk

melihat sejauh mana program tersebut berhasil

mencapai maksud pelaksanaan dari program yang

telah ditetapkan sebelumnya. Tanpa adanya evaluasi,

program-program yang berjalan tersebut tidak dapat

dilihat tingkat pencapaian tujuannya. Keterlaksanaan

(implementasi) program dalam pencapaian tujuannya

sangat ditentukan oleh banyak faktor yang saling

berkaitan. Hal ini menunjukan bahwa seluruh proses

program adalah sebuah sistem, oleh karenanya dalam

melaksanakan evaluasi perlu adanya pendekatan

sistem dan berpikir secara sistemik.

2.1.2. Tujuan Evaluasi Program

Menurut Mulyatiningsih (2011: 114-115),

evaluasi program dilakukan dengan tujuan sebagai

berikut:

(a) Menunjukkan sumbangan program terhadap pencapaian tujuan suatu organisasi. Hasil

evaluasi ini penting untuk pengembangan

program yang sama ditempat lain. (b) Mengambil keputusan mengenai keberlanjutan

sebuah program, apakah program perlu

diteruskan, diperbaiki atau dihentikan.

22

Dilihat dari tujuannya, yaitu ingin mengetahui

sesuatu kondisi, maka evaluasi program dapat

dikatakan merupakan salah satu bentuk penelitian

evaluatif. Oleh karena itu, dalam suatu evaluasi

program, pelaksana berfikir serta menentukan langkah

bagaimana melaksanakan penelitian. Menurut

Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar

(2009:7), terdapat perbedaan yang mencolok antara

penelitian dan evaluasi program adalah sebagai berikut:

(a) Dalam penelitian, peneliti ingin mengetahui

gambaran mengenai sesuatu yang kemudian hasilnya

dideskripsikan, sedangkan dalam evaluasi program

pelaksanaan ingin mengetahui seberapa tinggi kondisi

atau mutu sesuatu dari hasil pelaksanaan program,

setelah data yang terkumpul dibandingkan dengan

standar atau kriteria tertentu. (b) Dalam kegiatan

penelitian, peneliti dituntut oleh rumusan masalah

karena ingin mengetahui jawaban dari penelitiannya,

sedangkan dalam evaluasi program pelaksanaan ingin

mengetahui tingkat ketercapaian tujuan program, dan

jika tujuan belum tercapai sebagaimana ditentukan,

pelaksanaan ingin mengetahui letak kekurangannya

serta penyebabnya. Setiap kegiatan yang dilaksanakan

mempunyai tujuan tertentu, demikian juga dengan

evaluasi.

Menurut Arikunto (2004:13) terdapat dua tujuan

evaluasi yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

23

Tujuan umum diarahkan pada program secara

keseluruhan sedangkan tujuan khusus difokuskan

pada tiap-tiap komponen.

Dengan adanya uraian diatas, dapat dikatakan

bahwa evaluasi program merupakan penelitian

evaluatif. Pada dasarnya penelitian evaluatif

dimaksudkan untuk mengetahui akhir dari suatu

kebijakan, dalam rangka menentukan rekomendasi

atas kebijakan yang lalu, yang pada tujuan akhirnya

adalah untuk menentukan kebijakan selanjutnya.

Suatu program harus senantiasa dievaluasi

untuk melihat sejauh mana implementasi program

tersebut telah berhasil mencapai tujuan pelaksanaan

program yang telah ditetapkan sebelumnya.

Keefektifitasan program yang berjalan tidak dapat

dilihat jika tidak dilakukan evaluasi program. Dengan

demikian, kebijakan-kebijakan baru sehubungan

dengan program tersebut akan didukung oleh suatu

data. Karenanya, evaluasi program bertujuan untuk

menyediakan informasi dan data, serta rekomendasi

bagi pengambil kebijakan (decision maker) untuk

memutuskan apakah akan melanjutkan, memperbaiki

atau menghentikan sebuah program. Jadi evaluasi

program adalah upaya untuk mengukur ketercapaian

program, yaitu mengukur sejauh mana sebuah

kebijakan dapat terimplementasikan.

24

Evaluasi program dilakukan dengan cara yang

sama dengan penelitian. Jadi, evaluasi program

merupakan penelitian dengan ciri khusus, yaitu

melihat keterlaksanaan program sebagai realisasi

kebijakan, untuk menentukan tindak lanjut dari

program yang dimaksud. Keduanya dimulai dari

menentukan sasaran (variabel), kemudian membuat

kisi-kisi, menyusun instrumen, mengumpulkan data,

analisis data, serta mengambil kesimpulan. Yang

membedakan adalah langkah akhirnya. Jika

kesimpulan penelitian diikuti dengan saran maka

evaluasi program selalu harus mengarah pada

pengambilan keputusan, sehingga harus diakhiri

dengan rekomendasi kepada pengambil keputusan.

Untuk mempermudah mengidentifikasi tujuan

evaluasi program, perlu memperhatikan unsur-unsur

dalam kegiatan atau penggarapannya. Ada tiga unsur

penting di dalam kegiatan atau penggarapan suatu

kegiatan, yaitu: what (apa yang digarap), who (siapa

yang menggarap), dan (how) bagaimana menggarapnya.

2.1.3. Manfaat Evaluasi Program

Kegiatan evaluasi sangat berguna bagi

pengambilan keputusan dan kebijakan lanjutan dari

program, karena dari masukan hasil evaluasi program

itulah para pengambil keputusan akan menentukan

tidak lanjut dari program yang sedang atau telah

25

dilaksanakan. Wujud dari basil evaluasi adalah sebuah

rekomendasi dari peneliti untuk pengambil keputusan

(decision maker). Suharsimi Arikunto (2012: 22)

mengatakan bahwa ada empat kemungkinan kebijakan

yang dapat dilakukan berdasarkan hasil dalam

pelaksanaan sebuah program keputusan, yaitu: (a)

Menghentikan program, karena dipandang bahwa

program tersebut tidak ada manfaatnya, atau tidak

dapat terlaksana sebagaimana diharapkan. (b) Merevisi

program, karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai

dengan harapan (terdapat kesalahan tetapi hanya

sedikit). (c) Melanjutkan program; pelaksanaan program

menunjukkan bahwa segala sesuatu telah berjalan

sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang

bermanfaat. (d) Desimilasi atau menyebarluaskan

program (melaksanakan program di tempat-tempat lain

atau mengulangi lagi program di waktu lain), karena

program tersebut berhasil dengan baik maka sangat

baik jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang

lain.

2.1.4. Sasaran Evaluasi Program

Untuk menentukan sasaran evaluasi program,

peneliti perlu mengenali program dengan baik,

terutama komponen-komponennya, karena yang

menjadi sasaran evaluasi bukan program secara

keseluruhan tetapi komponen atau bagian program.

26

Tujuan umum harus dijabarkan menjadi tujuan

khusus, maka sasaran peneliti diarahkan pada

komponen agar pengamatannya dapat lebih cermat dan

data yang dikumpulkan lebih lengkap. Untuk itulah

maka penelitihendaknya memiliki kemampuan

mengidentifikasi komponen program yang akan

dievaluasi.

2.1.5. Langkah-langkah Evaluasi Program

Langkah-langkah evaluasi program menurut

Oemar Hamalik (2008.13) adalah sebagai berikut: a)

Menyusun suatu rencana evaluasi dalam bentuk kisi-

kisi apa yang akan dinilai berkaitan dengan tujuan

program. b) Menyusun instrumen evaluasi, misalnya.

skala, daftar rentang, pedoman observasi/ kuesioner,

pedoman wawancara, pedoman dokumentasi. c)

Melaksanakan pengamatan lapangan, yaitu

mengumpulkan data dari responden atau sampel

evaluasi. d) Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan,

selanjutnya dapat ditentukan tingkat keberhasilan

program, kelemahan -kelemahan atau kendala-kendala

untuk diperbaiki. e) Mengajukan sejumlah rekomendasi

terhadap program yang telah dievaluasi tersebut. f)

Menyusun laporan evaluasi dan menyebarluaskan hasil

evaluasi kepada pihak yang berkepentingan.

27

2.1.6. Model-model Evaluasi Program

Model-model evaluasi yang satu dengan yang

lainnya memang tampak bervariasi, akan tetapi

maksud dan tujuannya sama yaitu melakukan kegiatan

pengumpulan data atau informasi yang berkenaan

dengan objek yang dievaluasi. Selanjutnya informasi

yang tealah terkumpul dapat diberikan kepada

pengambil keputusan supaya dapat dengan tepat

menentukan tindak lanjut mengenai program yang

telah dievaluasi.

Menurut Kaufman dan Thomas yang dikutib oleh

Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar

(2009: 40), membedakan model evaluasi menjadi

delapan, yaitu:

a. Goal Oriented Evaluation Model, dikembangkan

oleh Tyler. Dalam model ini, seorang evaluator

secara terus menerus melakukan pantauan

terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Penilaian

yang berkelanjutan ini menilai tentang

kemajuan-kemajuan yang dicapai peserta

program serta efektifitas dari temuan yang telah

dicapai oleh sebuah program. Salah satu model

yang bisa mewakili model ini adalah model

kesenjangan atau discrepancy yang

dikembangkan oleh Provus. Model ini melihat

lebih jauh tentang adanya kesenjangan

(Discrepancy) yang ada dalam setiap komponen

28

yakni apa yang seharusnya dan apa yang secara

riil telah dicapai;

b. Goal Free Evaluation Model, dikembangkan oleh

Scriven. Goal Free Evaluation Model adalah model

evaluasi yang dikembangkan oleh Scriven. Dalam

Goal Free Evaluation, Scriven mengemukakan

bahwa dalam melakukan evaluasi program

evaluator tidak perlu memperhatikan apa yang

menjadi tujuan program. Yang perlu diperhatikan

dalam program tersebut adalah bagaimana

kerjanya (kinerja) suatu program, dengan jalan

mengidentifikasi penampilan-penampilan yang

terjadi (pengaruh) baik hal-hal yang positif (yaitu

hal yang diharapkan) maupun hal-hal yang

negatif (yang tidak diharapkan);

c. Formatif Sumatif Evaluation Model, dikembangkan

oleh Michael Scriven. Model ini menunjuk adanya

tahapan dan lingkup obyek, yang dievaluasi,

yaitu evaluasi yang dilakukan pada program

masih berjalan (disebut evaluasi formatif) dan

ketika program selesai atau berakhir (disebut

evaluasi sumatif). Pada proses belajar mengajar

evaluasi sumatif dilakukan oleh evaluator untuk

mendapatkan informasi untuk menentukan

keputusan para siswa selama mengikuti proses

belajar mengajar.(a) Evaluasi sumatif, evaluasi ini

dilakukan oleh guru setelah siswa mengikuti

29

proses pembelajaran dengan waktu tertentu,

misalnya pada akghir proses belajar mengajar,

termasuk akhir semester. Secara umum evaluasi

sumatif bertujuan untuk menentukan posisi

siswa dalam kelompoknya terkait dengan

penguasaan materi pembelajaran yang telah

diikuti. selama satu proses pembelajaran. Fungsi

evaluasi sumatif adalah sebagai laporan

pertanggungjawaban pelaksanaan proses

pembelajaran, disamping juga menentukan

pencapaian hasil belajar yang telah diikuti oleh

siswa, selain itu juga untuk mengukur

ketercapaian program.(b) Evaluasi formatif, pada

prinsipnya dilaksanakan ketika program masih

berlangsung atau ketika program masih dekat

dengan permulaan kegiatan. Tujuan evaluasi ini

adalah untuk mengetahui seberapa jauh program

yang telah dirancang dapat berlangsung,

sekaligus untuk mengidentifikasi hambatan.

Dengan diketahui hambatan ini diharapkan

dapat mengambil keputusan secara dini dapat

mengadakan perbaikan yang mendukung

kelancaran pencapaian tujuan program

(Arikunto: 2009). Evaluasi ini dilaksanakan

secara kontinyu, atau periodik tertentu dalam

proses belajar mengajar;

30

d. Countenance Evaluation Model, dikembangkan

oleh Stake. Model yang dikembangkan oleh Stake

dan Fernades ini menekankan atau memiliki dua

kelengkapan utama pada (a) Diskripsi

(description) dan (b) pertimbangan (judgement),

serta terbagi menjadi 3 tahapan dalam evaluasi

program yaitu anteseden yang diartkan sebagai

konteks, transaksi yang diartikan sebagai proses

dan keluaran yang mengacu pada output dan

outcome yang diartikan sebagai hasil (Suharsimi

Arikunto: 2009);

e. Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh

Stake. Model responsive evaluation yang

dikembangkan oleh Robert Stake, merupakan

model yang cocok digunakan untuk

mengevaluasiprogram yang banyak menimbulkan

konflik di masyarakat. Keputusan

evaluasiberorientasi kepada klien atau pengguna

program;

f. CSE-UCLA Evaluation Model. CSE-UCLA terdiri

dari dua singkatan, yaitu CSE dan UCLA. CSE

merupakan singkatandari Center for the Study of

Evaluation, sedangkan UCLA merupakan

singkatan dariUniversity of California in Los

Angeles. Ciri dari model CSE-UCLA adalah

adanya limatahapan evaluasi, yaitu perencanaan,

pengembangan, implementasi, hasil dandampak.

31

Sementara itu, menurut Fernandes (1984) dalam

model CSE-UCLA ini jugadapat dibagi ke dalam

empat tahapan evaluasi, yaitu: (a) needs

assessment; (b) program planning; (c) formative

evaluation; dan (d) sumatife evaluation.Pada

dasarnya, pentahapan yang dikemukakan oleh

Fernandes (1984) adalah samadengan tahapan

yang ada pada CSE-UCLA model. Tahapan

perencanaan danpengembangan program

memerlukan tahapan evaluasi yang disebut

needsassessment. Pada tahap implementasi,

diperlukan evaluasi formatif, sedangkanuntuk

mengetahui hasil dan dampak program,

diperlukan evaluasi sumatif.

g. Alkin mendefinisikan evaluasi sebagai suatu

proses meyakinkan keputusan, memilih

informasi yang tepat mengumpulkan, dan

menganalisis informasi sehingga dapat

melaporkan ringkasan data yang berguna bagi

pembuatan keputusan dalam memilih berbagai

alternatif. Ia mengemukakan lima macam

evaluasi, yakni: a) System assessment,

memberikan informasi tentang keadaan atau

posisi sistem. b) Program planning, membantu

pemulihan program tertentu yang mungkin

akanberhasil memenuhi kebutuhan program. c)

Program implementation, yang menyiapkan

32

informasi mengenai apakah program telah

diperkenalkan pada kelompok tertentu yang tepat

seperti yang telaah direncanakan. d) Program

improvement, memberikan informasi mengenai

bagaimana program berfungsi, bagaimana

program berjalan, atau bekerja? Apakah menuju

pencapaian tujuan, adakah hal-hal atau

masalah-masalah baru yang muncul tak terduga?

e) Program certification, yang memberikan

informasi tentang nilai atau guna program;

h. CIPP Evaluation Model, dikembangkan oleh

Stufflebeam. Isi dari model evaluasi ini terdiri dari

: (a) Contex evaluation: Evaluasi terhadap

konteks, evaluasi ini menggambarkan dan

merinci lingkungan, kebutuhan yang tidak

terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani,

dan tujuan proyek. (b) Input evaluation: Evaluasi

terhadap masukan, yaitu evaluasi tentang

kemampuan awal siswa dan sekolah. (c) Process

evaluation: Evaluasi terhadap proses, evaluasi ini

diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang

dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana

sesuai dengan rencana. (d) Product evaluation:

Evaluasi terhadap hasil, evaluasi ini diarahkan

kepada hal-hal yang menunjukkan adanya

perubahan yang terjadi pada masukan mentah.

Model ini lebih memandang bahwa pada

33

hakikatnya evaluasi adalah sebuah sistem

sehingga model ini akan digunakan untuk

mengevaluasi program yang ditugaskan maka

mau tidak mau mereka harus menganalisis

program tersebut berdasarkan komponen-

komponennya; 8) Discrepancy Model,

dikembangkan oleh Provus. Model ini

dikembangkan oleh Malcolm Provus, yang

merupakan model yang menekankan pada

pandangan adanya kesenjangan di dalam

pelaksanaan program untuk mengukur besarnya

kesenjangan yang ada dalam setiap komponen.

Dalam hal ini, evaluatormengukur adanya

perbedaan (kesenjangan) antara yang seharusnya

dicapai (berdasarkan tujuan program) dengan

realitas hasil yang dapat dicapai. Objek sasaran

evaluasi program (lembaga pendidikan, misalnya)

dengan menggunakan model dicrepancy Provus

itu ada lima aspek (kadang ada yang

menyebutnya cuma empat), yaitu sebagai

berikut: (a) Design (rancangan; program design).

Yang dimaksud adalah rancangan kegiatan atau

program kerja. Oleh karena itu ada yang

menyebutnya dengan program definition

(penetapan program). Yang dievaluasi

mengenainya adalah ada tidaknya unsur input,

proses, dan output; (b) Installation (program

34

installation; penyediaan perangkat-perlengkapan

yang dibutuhkan program). Agar program bisa

dilaksanakan, lembaga pembuat program itu

tentu harus menyiapkan segala sesuatu yang

diperlukan untuk mendukungnya. Jadi, yang

dievaluasi adalah ketepatan berbagai sumber

daya, perangkat dan perlengkapan yang tersedia

untuk pelaksanaan program; (c) Process (program

process). Yang dimaksud adalah proses

pelaksanaan program. Di dalamnya termasuk

kepemimpinan dan penugasan-penugasan

(instruction). Yang dievaluasi adalah keterkaitan

(kegayutan) antara sesuatu yang akan diubah,

dibangun, dikembangkan dsb; (d) Product

(program product, hasil program). Yang dievaluasi

adalah efektivitas desain atau rancangan

program; tegasnya apakah tujuan atau target

program bisa tercapai; (e) Cost (biaya,

pengeluaran). Yang dimaksud adalah implikasi

(kemanfaatan) sosial politik ekonomi apa yang

diharapkan bisa tergapai dari pelaksanaan

program tersebut.

Beberapa model evaluasi yang telah dipaparkan

di atas memiliki banyak kesamaan. Pada umumnya

perancang model evaluasi menyusun model evaluasi

sesuai dengan alur sistem yaitu terdiri dari input –

35

proses – output. Pada elemen input digunakan

beberapa istilah yang memiliki makna serupa yaitu

antecedent dan entry capability. Pada elemen proses

digunakan istilah operation, transaction, process.

Sedangkan pada elemen output digunakan istilah

result, product, dan outcome. Tiap-tiap model evaluasi

mempunyai keunggulan yang cocok untuk diterapkan

pada situasi tertentu, namun tidak ada satu modelpun

yang dapat menjawab semua permasalahan evaluasi

yang ingin ditelusuri. Selain model-model evaluasi yang

telah dipaparkan oleh para ahli tersebut, pada

dasarnya peneliti juga dapat mengembangkan model

evaluasi yang berbeda dengan yang sudah ada, sesuai

dengan kebutuhan akan informasi yang harus

dikumpulkan.

Model evaluasi yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah model goal free evaluation (GFE),

fokus pada adanya perubahan perilaku yang terjadi

sebagai dampak dari program yang diimplementasikan,

melihat dampak sampingan baik yang diharapkan

maupun yang tidak diharapkan, dan membandingkan

dengan sebelum program dilakukan. Model GFE

maksudnya adalah para evaluator mengambil dari

berbagai laporan atau catatan pengaruh-pengaruh

nyata atau kongkrit dan pengaruh-pengaruh yang tidak

diinginkan dalam program pendidikan dan pelatihan.

Perhatian khusus diberikan secara tepat terhadap

36

usulan-usuan tujuan dalam evaluasi, tetapi tidak

dalam proses atau produk. Keuntungan dari GFE

adalah dengan GFE para evaluator mengetahui

antisipasi pengaruh-pengaruh penting terhadap tujuan

dasar dari penilai yang menyimpang. Pemilihan

evaluasi goal free juga didasari oleh empat alasan yang

dikemukan oleh Patton, yaitu: (a) menghindari resiko

penyataan tujuan program yang terlalu sempit dan

hilangnya outcomes penting yang tidak diantisipasi. (b)

menghilangkan kesan relatif adanya unanticipated effect

pada temuan evaluasi. (c) mengurangi adanya persepsi

yang bias dalam evaluasi, dan (d) menjaga obyektifitas

dan kemandirian evaluator dalam kondisi bebas tujuan.

Tujuan program tidak perlu diperhatikan karena

kemungkinan evaluator terlalu rinci mengamati tiap-

tiap tujuan khusus.Jika masing-masing tujuan khusus

tercapai, artinya terpenuhi dalam penampilan tetapi

evaluator lupa memperhatikan sejauh mana masing-

masing penampilan tersebut mendukung penampilan

terakhir yang diharapkan oleh tujuan umum maka

akibatnya jumlah penampilan khusus ini tidak banyak

bermanfaat.Dapat disimpulkan bahwa, dalam model ini

bukan berarti lepas dari tujuan tetapi hanya lepas dari

tujuan khusus. Model ini hanya mempertimbangkan

tujuan umum yang akan dicapai oleh program, bukan

secara rinci perkomponen yang ada.

37

Scriven menekankan bahwa evaluasi itu adalah

interpretasi Judgement ataupun explanation dan

evaluator yang merupakan pengambil keputusan dan

sekaligus penyedia informasi. Ciri – Ciri Evaluasi Bebas

Tujuan yaitu: (1) Evaluator sengaja menghindar untuk

mengetahui tujuan program. (2) Tujuan yang telah

dirumuskan terlebih dahulu tidak dibenarkan

menyempitkanfokus evaluasi. (3) Evaluasi bebas tujuan

berfokus pada hasil yang sebenarnya, bukan pada hasil

yang direncanakan. (4) Hubungan evaluator dan

manajer atau dengan karyawan proyek dibuat

seminimal mungkin. (5) Evaluasi menambah

kemungkinan ditemukannya dampak yang tidak

diramalkan.

Evaluator internal biasanya melakukan evaluasi

yang berorientasi pada tujuan,karena ia sulit

menghindar atau mau tidak mau ia akan mengetahui

tujuan program. Menejer progam jelas ingin

mengetahui sampai seberapa jauh progam telah

dicapai, dan evaluator internal akan dan harus

menyediakan informasi untuk menejernya.

Di samping itu, perlu diketahui bagaimana orang

luar menilai program bukan hanya untuk mengetahui

apa yang seharusnya dilakukan, apa yang dilakukan di

semua bagian, pada semua yang telah dihasilkan,

secara sengaja atau tidak sengaja. Yang belakangan ini

38

merupakan tugas evaluator bebas tujuan yang tidak

mengetahui tujuan program.

Model Goal Free berfokus pada hasil yang

sebenarnya dari suatu program atau kegiatan, bukan

hanya tujuan-tujuan yang teridentifikasi. Jenis model

memungkinkan teknologi untuk mengidentifikasi dan

mencatat hasil yang tidak mungkin telah diidentifikasi

oleh perancang program. Melalui proses teknik baik

terang-terangan dan terselubung, metode ini berusaha

untuk mengumpulkan data dalam rangka untuk

membentuk deskripsi program, mengidentifikasi proses

akurat, dan menentukan pentingnya mereka ke

program.

Fungsi Goal Free Evaluation adalah untuk

mengurangi bias dan menambah objektifitas. Dalam

evaluasi yang berorientasi pada tujuan, seorang

evaluator secara subjektif persepsinya akan membatasi

sesuai dengan tujuan. Padahal tujuan pada umumnya

hanya formalitas dan jarang menunjukkan tujuan yang

sebenarnya dari suatu proyek. Lagipula, banyak hasil

program penting yang tidak sesuai dengan tujuan

program. Goal Free Evaluation berfokus pada hasil yang

sebenarnya bukan pada hasil yang direncanakan.

Dalam Goal Free Evaluationini, memungkinkan

evaluator untuk menambah temuan hasil atau dampak

yang tidak direncanakan.

39

Model evaluasi Goal Free Evaluation ini

mempunyai kekurangan dan kelebihannya. Kelebihan

dari model bebas tujuan di antaranya adalah: (a)

Evaluator tidak perlu memperhatikan secara rinci

setiap komponen, tetapi hanya menekankan pada

bagaimana mengurangi prasangka (bias). (b) Model ini

menganggap pengguna sebagai audiens utama. Melalui

model ini, Scriven ingin evaluator mengukur kesan

yang didapat dari sesuatu program dibandingkan

dengan kebutuhan pengguna dan tidak

membandingkannya dengan pihak penganjur. (c)

Pengaruh konsep pada masyarakat, bahwa tanpa

mengetahui tujuan dari kegiatan yang telah dilakukan,

seorang penilai bisa melakukan evaluasi. (d) Kelebihan

lain, dengan munculnya model bebas tujuan yang

diajukan oleh scrieven, adalah mendorong

pertimbangan setiap kemungkinan pengaruh tidak saja

yang direncanakan, tetapi juga dapat diperhatikan

sampingan lain yang muncul dari produk.

Walaupun demikian, yang diajukan scrieven

ternyata juga memiliki kelemahan seperti berikut: (a)

Model bebas tujuan ini pada umumnya bebas

menjawab pertanyaan penting, seperti apa pengaruh

yang telah diperhitungkan dalam suatu peristiwa dan

bagimana mengidentifikasi pengaruh tersebut. (b)

Walaupun ide scrieven bebas tujuan bagus untuk

membantu kegiatan yang paralel dengan evaluasi atas

40

dasar kejujuran, pada tingkatan praktis scrieven tidak

terlalu berhasil dalam menggambarkan bagaimana

evaluasi sebaiknya benar-benar dilaksanakan. (c) Tidak

merekomendasikan bagaimana menghasilkan penilaian

kebutuhan walau pada akhirnya mengarah pada

penilaian kebutuhan. (d) Diperlukan evaluator yang

benar-benar kompeten untuk dapat melaksanakan

evaluasi model ini. (e) Langkah-langkah sistematis yang

harus dilakukan dalam evaluasi hanya menekankan

pada objek sasaran saja.

Goal Free Evaluation merupakan titik evaluasi

program, dimana objek yang dievaluasi tidak perlu

terkait dengan tujuan dari objek atau subjek tersebut,

tetapi langsung kepada implikasi keberadaan program

apakah bermanfaat atau tidak objek tersebut atas

dasar penilaian kebutuhan yang ada.

2.2. Implementasi

2.2.1. Pengertian Implementasi

Secara etimologis pengertian implementasi

menurut Webster dalam dalam Widodo (2010: 86)

adalah “to provide the means for carrying out; and to give

practical effect to (menyediakan sarana untuk

melaksanakan sesuatu untuk menimbulkan

dampak/akibat terhadap sesuatu)”. Sementara Donald

S. Van Metter dan Carl E. Va dalam Widodo (2010: 86)

41

memberikan pengertian implementasi dengan

mengatakan:

“Policy implementation encompasesses those action by public and private individual (or group) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decision. This include both one time efforts to transfrom decisions into operational terms, as well as continuing efforts to achieve the large and small changes mandated by policyyy decision”.

Implementasi Riant Nugroho pada prinsipnya

adalah cara yang dilakukan agar dapat mencapai

tujuan yang dinginkan (Nugroho, 2003: 158).

Implementasi merupakan prinsip dalam sebuah

tindakan atau cara yang dilakukan oleh individu atau

kelompok orang untuk pencapaian tujuan yang telah

dirumuskan. Dan Mazmanian dan Sabatier dalam

Widodo (2010: 87) menjelaskan makna

implementasi dengan mengatakan:

“To understand what actually happens after a program is enacted or formulated is the subject of policy implementation. Those event and activities that occur after the isuing of outhoritative public policy directives, wich included both the effort to administer and the subtantives, which impacts on the people and event”.

Sehingga dari beberapa pengertian tersebut dapat

disimpulan bahwa pengertian bahwa: Implementasi

merupakan suatu proses yang melibatkan sejumlah

sumber yaitu manusia, dana, dan kemampuan

organisasional yang dilakukan oleh pemerintah

maupun swasta (individu atau kelompok). Dimana

42

proses tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan yang

telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan.

Sebuah implementasi berhubungan dengan

suatu kebijakan yang melibatkan banyak organisasi

dan tingkatan birokrasi dapat dilihat dari beberapa

sudut pandang. Menurut Wahab (2005: 63)

“implementasi kebijakan dapat dilihat dari sudut

pandang (1) pembuat kebijakan, (2) pejabat-pejabat

pelaksana di lapangan, dan (3) sasaran kebijakan

(target group)”. Perhatian utama pembuat kebijakan

menurut Wahab (2005: 63) memfokuskan diri pada

sejauh mana kebijakan tersebut telah tercapai dan apa

alasan yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan

kebijakan tersebut. Dari sudut pandang implementor,

implementasi akan terfokus pada tidakan pejabat dan

instansi di lapangan untuk mencapai keberhasilan

program. Sementara dari sudut pandang target groups

implementasi akan lebih dipusatkan pada apakah

implementasi kebijakan tersebut benar-benar

mengubah pola hidupnya dan berdampak positif

panjang bagi peningkatan mutu hidup termasuk

pendapatan mereka.

43

2.3. Peningkatan Mutu Pendidikan

2.3.1. Pengertian Mutu

Pengertian mutu menurut Peffer & Coote (Sallis,

2010: 49) adalah suatu konsep yang licin karena mutu

mengimplikasikan hal-hal yang berbeda pada masing-

masing orang. Sedikit berbeda dengan pengertian mutu

menurut Sallis (2010: 33) yang mengatakan bahwa,

“mutu merupakan sebuah filosofi dan metodologi yang

membantu institusi untuk merencanakan perubahan

dan mengatur agenda dalam menghadapi tekanan-

tekanan eksternal yang berlebihan.” Arcaro (2005: 75)

mengatakan, “mutu sebagai sebuah proses terstruktur

untuk memperbaiki keluran yang dihasilkan.”

Berdasarkan pengertian tersebut dapat

disimpulkan bahwa mutu merupakan sebuah

metodologi untuk menghadapi tekanan-tekanan untuk

memperbaiki keluaran yang di dasarkan pada standar

organisasi yang bersangkutan. Mutu merupakan hal

yang abstrak tetapi menjadi tuntutan dan keharusan

bagi suatu organisasi.

Jaminan mutu dan mutu terpadu pertama kali

digagas dan dikembangkan di Negara Barat oleh W.

Edward Deming pada tahun 1930-an dan 1940-an

(Sallis, 2010: 36). Saat itu, mutu dalam industri tidak

mendapatkan prioritas yang disebabkan masih

dianutnya teori manajemen klasik yang menekankan

44

pada memaksimalkan produksi dan keuntungan

dengan prioritas mutu yang rendah.

2.3.2. Hakikat Mutu dalam Pendidikan

Gerakan mutu di dalam pendidikan

merupakan konsep pergerakan yang baru dimulai

pada tahun 1980-an yang dilaksanakan oleh beberapa

universitas di Amerika dan beberapa pendidikan tinggi

di Inggris. Namun baru di awal 1990-an gerakan mutu

dalam pendidikan benar-benar melanda. Mulai saat

itulah sekolah/ lembaga pendidikan mulai mengerti

pentingnya meningkatkan mutu pendidikan.

2.3.3. Peningkatan Mutu dalam Pendidikan

Kemendikbud (2010: 51) mengemukakan tujuan

strategis pendidikan, salah satunya yaitu terjaminnya

kepastian memperoleh layanan pendidikan dasar

bermutu dan berkesetaraan. Rencana strategis tersebut

sebagai upaya penjamin kepastian memperoleh layanan

pendidikan dasar bermutu dan dapat dilakukan dengan

penyediaan dan peningkatan sarana dan prasarana

untuk penerapan sistem pembelajaran SD/SDLB/Paket

A dan SMP/SMPLB/Paket B bermutu yang merata di

seluruh provinsi, kabupaten, dan kota. Mutu harus

menjadi bagian penting dari strategi institusi dan harus

didekati secara sistematis dengan menggunakan

perencanaan strategis. Tanpa strategi, sebuah institusi

45

tidak akan bisa yakin bagaimana mereka bisa

memanfaatkan peluang-peluang baru. Selanjutnya,

setelah rencana strategis tersusun kemudian

melakukan pengembangan kebijakan-kebijakan serta

rencana-rencana yang dapat mengantarkan instansi

pada pencapaian visi dan misi.

Kegiatan pokok dalam upaya penyediaan dan

peningkatan sarana dan prasarana untuk penerapan

sistem pembelajaran dapat dilakukan dengan

revitalisasi serta penggabungan (regrouping) sekolah-

sekolah terutama sekolah dasar, agar tercapai

efisiensi dan efektivitas sekolah yang didukung

dengan fasilitas yang memadai.

2.4. Efisiensi dan Efektivitas

Sektor manajemen sangat diperlukan saat ini

yaitu untuk melakukan kegiatan secara sistematis dan

prinsipil berdasarkan teori manajemen. Suatu

organisasi akan dapat berkembang dan mencapai hasil

secara efektif dan dengan cara yang paling cepat

dengan proses manajemen. Salah satu sekenario

yang menentukan corak perubahan masa depan suatu

bangsa adalah keunggulan atau kemampuan

manajemennya. Bahkan Deming (Sallis, 2010: 97)

melihat bahwa masalah mutu terletak pada masalah

manajemennya. Melihat hal tersebut, sistem pendidikan

nasional harus dilaksanakan dengan manajemen

46

moderen dan ditangani oleh tenaga profesional yang

bertumpu pada mutu yang diharapkan oleh pelanggan

pendidikan.

Didalam manajemen sekolah, semua kegiatan

sekolah harus dikelola dengan memanfaatkan semua

sumber daya (resources) baik sumber daya manusia,

material, dan dana dalam rangka mencapai tujuan

sekolah secara efektif dan efisien. Menurut Syafaruddin

(2002: 2), “pada dasarnya, manajemen pendidikan

adalah aplikasi prinsip, konsep, dan teori manajemen

dalam aktivitas pendidikan untuk mencapai tujuan

pendidikan secara efektif dan efisien.”

2.4.1. Efisiensi

Setiap usaha pendidikan membutuhkan berbagai

macam inputs sebagai sumber daya (resource), baik

yang berupa uang, tenaga manusia, waktu, maupun

kesempatan. Berbagai input tersebut sangat

mempengaruhi jalannya proses pendidikan, namun

input yang paling terlihat dan dianggap krusial adalah

biaya pendidikan. Biaya memegang peranan penting

dalam sistem pendidikan, terutama dalam pelaksanaan

kegiatan pendidikan. Lembaga persekolahan yang

merupakan lembaga non-profit menggunakan sistem

anggaran dengan menyeimbangkan antara kebutuhan

biaya dengan sumber dana yang ada. Biaya pendidikan

menurut Mulyani A. Nurhadi (2011: 29), “merupakan

47

sebagai nilai rupiah dari seluruh sumber daya (inputs)

atau seluruh pengeluaran dalam bentuk natura atau

berupa uang yang digunakan untuk kegiatan

pendidikan.” Dana yang digunakan untuk biaya

pendidikan berasal dari tiga sumber utama, yaitu

pemerintah baik pusat maupun daerah, orang tua wali

siswa, dan masyarakat. Tetapi pada dasarnya sumber

utama pendanaan pendidikan berasal dari pemerintah.

Sumber daya pendidikan (resource) terbatas

jumlahnya, untuk itu diperlukan pengelolaan yang

tepat agar tidak terjadi pemborosan anggaran.

Ketepatan pengelolaan sumber daya pendidikan

berkaitan dengan tingkat efisiensi pengelolaan

pendidikan. Efisiensi pengelolaan pendidikan

dimaksudkan sebagai hubungan antara

pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang

terbatas untuk mencapai optimalisasi. UNESCO (Aan

Komariah & Cepi Triatna, 2006: 18) mendefinisikan

efisiensi sebagai, “... is defined as the optimal relation

between inputs and output. An activity is being

performed efficiently if a given quantity of output is

obtained with a minnimum of inputs or alternatively, if a

given quantity of input yields maximum output.” Bila

didefinisikan, efisiensi sebagai hubungan yang optimal

antara input dan output. Suatu kegiatan yang

dilakukan secara efisien jika output dengan jumlah

tertentu diperoleh dengan input minimum atau

48

sebaliknya, jika jumlah input yang diberikan

menghasilkan output maksimum. Pengelolaan

pendidikan yang efisien dimaksudkan bahwa

pemanfaatan uang, tenaga manusia, waktu, maupun

kesempatan yang terbatas dapat memberikan hasil

yang bermutu, relevan dan bernilai ekonomi tinggi.

Penggabungan sekolah dapat menigkatkan efisien

dana yang dimiliki sekolah baik yang diperoleh dari

dana BOS, orang tua atau sponsor, maupun dana-

dana lain yang diperoleh sekolah. Efisiensi dana

tersebut tidak saja untuk pembiayaan yang berkaitan

dengan proses belajar mengajar tetapi juga untuk

pembiayaan-pembiayaan lainnya seperti pemeliharaan

dan gaji. Kebijakan penggabungan sekolah paling tidak

dapat mengurangi jumlah dana yang harus

dialokasikan untuk pemeliharaan/ penyediaan sarana

dan prasarana dan untuk pengeluaran gaji guru

sekolah dasar.

2.4.2. Efektivitas

Implementasi manajemen mutu pendidikan di

sekolah memiliki harapan untuk perbaikan mutu

sekolah agar semakin meningkat. Selain itu,

pengimplementasian manajemen mutu diarahkan

untuk mencapai status sekolah efektif. Sekolah efektif

adalah sekolah yang dikelola dengan manajemen yang

fungsional oleh kepala sekolah dengan memfungsikan

49

secara bersama staf dan guru-guru dalam bekerja

untuk mencapai tujuan sekolah.

Manajemen mutu dalam pendidikan merupakan

bentuk pengendalian mutu (quality assurance) yang

disempurnakan. Filosofi dari manajemen mutu ini

adalah terciptanya budaya kerja dari seluruh personel

(pimpinan dan pegawai) yang terlibat dalam

pengadaan dan penyajian jasa pendidikan yang

dijiwai oleh motivasi dan sikap untuk memenuhi dan

memuaskan harapan pelanggan. Dalam rangka

memenuhi harapan pelanggan pendidikan ini, pengelola

sekolah secara bertahap dan terus-menerus

memperbaiki kualitas (mutu) lulusannya dengan

didukung oleh kepemimpinan yang kuat dari pihak

pimpinan (manajer, administrator, supervisor) serta

pembagian tanggung jawab untuk mencapai mutu.

Ada pun karakteristik sekolah efektif menurut

Rutter dkk (Law dan Glover, 1994) dalam Syafruddin

(2002: 91) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

i. Memiliki etos kerja yang baik,

j. Manajemen kelas yang baik, k. Harapan guru yang tinggi,

l. Guru sebagai contoh teladan yang positif,

m. Umpan balik yang positif dan memberikan perlakuan

terhadap siswa, n. Koordinasi kerja yang baik antara guru dan pelajar,

o. Tanggung jawab murid, dan

p. Staf membagi aktivitas antara staf dan pelajar.

50

Selanjutnya terdapat tiga perspektif yang

menentukan keefektifan sekolah menurut Syafruddin

(2002: 91-92), yaitu:

a. Organisasi keberadaan sekolah yang dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang ada di

sekolah adalah efektivitas kepemimpinan kepala

sekolah, profesionalisme guru, dukungan staf yang baik, pembiayaan yang cukup, sarana dan fasilitas

pengajaran yang baik, dan iklim sekolah yang kondusif.

Sedangkan faktor eksternal adalah dukungan dewan

sekolah (board of school), dukungan industri, pemerintah, ekonomi masyarakat, dan lingkungan

sosial.

b. Proses seluruh aktivitas atau interaksi mengajar (guru) dan belajar (murid) yang bermuara pada pencapaian

tujuan pendidikan.

c. Hasil, yaitu prestasi yang dapat diukur.

Sekolah efektif diidentifikasikan sebagai sekolah

yang dapat menyelenggarakan proses belajar yang

efektif karena ciri khas dari lembaga sekolah adalah

terjadinya proses belajar mengajar. Dengan demikian,

dalam sekolah yang efektif menurut Mortimore (Aan

Komariah & Cepi Triatna, 2006:37) terdapat proses

belajar yang efektif, dengan ciri:

a. Aktif, bukan pasif,

b. Tidak kasat mata,

c. Rumit, bukan sederhana,

d. Dipengaruhi oleh adanya perbedaan individual di antara

peserta didik,

e. Dipengaruhi oleh berbagai konteks

Pada dasarnya efektivitas menunjukkan adanya

proses perekayasaan berbagai sumber dan metode

51

yang diarahkan pada terjadinya pembelajaran di

sekolah secara optimal. Efektivitas ini merujuk pada

pemberdayaan semua komponen sekolah sebagai

organisasi tempat belajar berdasarkan tugas pokok dan

fungsinya masing-masing dalam struktur program

dengan tujuan agar siswa belajar dan mencapai

hasil yang telah ditetapkan, yaitu memiliki

kompetensi. Sebagai upaya peningkatan efektivitas,

diperlukan adanya eksperimen, perubahan

kesepakatan, perumusan kebijakan baru, serta

pengembangan norma tertulis dan lisan. Dengan upaya

perbaikan efektivitas yang dilakukan, menuntut adanya

diskusi dan komitmen yang berkelanjutan dari

kalangan guru, keluarga, siswa, unit-unit bisnis,

lembaga pendidikan di atasnya, organisasi bisnis,

dan pelaku politik untuk memperluas dan memperkaya

kapasitas siswa.

2.5. Regrouping (Penggabungan) Sekolah

2.5.1. Pengertian Regrouping Sekolah

Kata regrouping merupakan kata lain dari

merger/penggabungan. Merger pada awalnya

merupakan salah satu usaha pengembangan dan

pertumbuhan perusahaan. Merger dilakukan dengan

menggabungkan dan membagi sumber daya yang

dimiliki perusahaan untuk mencapai tujuan bersama.

Adrian Sutedi (2007: 85) mengemukakan, ”merger

52

sebagai suatu bentuk penggabungan dua badan usaha,

badan usaha yang satu tetap ada, dan yang satunya

lagi bubar secara hokum, dan nama perusahaan

digunakan adalah perusahaan yang eksis/ada.”

Wibisono (2006: 2) mendefinisikan merger sebagai

penggabungan dua badan usaha yang relative

berimbang kekuatannya, sehingga terjadi kombinasi

yang saling membantu. Istilah merger dan akuisisi

merupakan istilah penggabungan, peleburan dan

pengambilalihan. Merger merupakan penggabungan

atau peleburan dua perusahaan atau lebih menjadi

satu perusahaan (Soemardi, 2009: 175).

Dari pengertian-pengertian tersebut dapat

dijelaskan bahwa merger merupakan penggabungan

dua badan usaha atau lebih menjadi satu badan usaha

ke dalam badan usaha yang eksis dengan nama

badan usaha yang tetap eksis. Penggabungan badan

usaha ini mengharuskan adanya peleburan aset secara

menyeluruh ke dalam badan usaha yang tetap eksis.

Hal ini secara kuantitas akan memberikan tambahan

modal bagi badan usaha yang eksis tersebut.

Merger/penggabungan dapat juga diterapkan di

dalam dunia pendidikan. Merger/penggabungan dalam

dunia pendidikan lebih berkaitan dengan perampingan

jumlah sekolah. Jumlah sekolah yang cukup banyak

dengan jumlah siswa yang kurang memadai

berdasarkan standart nasional mengakibatkan

53

pemborosan pembiayaan pendidikan. Untuk itu,

pemerintah mengupayakan alternatif perampingan

sekolah dengan nama regrouping.

Penggabungan sekolah dasar menurut Wibawa

(2009: 47), ”penggabungan sekolah dasar merupakan

satu cara pengembangan sekolah dengan

memberdayakan dan mengembangkan berbagai sumber

daya pendidikan untuk mencapai peningkatan mutu

pendidikan dan efektifitas sekolah.” Dasar dari

penggabungan sekolah adalah Undang-undang Nomor

25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan

Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004 yang

menjelaskan bahwa salah satu kegiatan pokok dalam

mengupayakan pemerataan pendidikan dasar adalah

melaksanakan revitalisasi serta penggabungan

(regrouping) sekolah-sekolah terutama SD, agar tercapai

efisiensi dan efektivitas sekolah yang didukung dengan

fasilitas yang memadai. Penggabungan juga

dimaksudkan dalam rangka efektivitas dan efisiensi

penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar sehingga

perlu diambil kebijakan untuk menggabung,

menghapus, dan atau mengganti nama sekolah dasar.

Dari beberapa pengertian di atas dapat

disimpulkan bahwa penggabungan (regrouping) sekolah

adalah proses penyatuan dua atau lebih sekolah untuk

mencapai penggelolaan yang lebih efektif dan efisien

guna meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan

54

sesuai standar pelayanan minimal sekolah yang

bersangkutan.

2.5.2. Tujuan Regrouping Sekolah

Pelaksanaan penggabungan (regrouping) sekolah

dasar, menjadi acuan bagi instansi yang berwenang

melakukan penggabungan SD, bertujuan agar kegiatan

penggabungan SD dan proses berlangsungnya

penggabungan berjalan secara efektif, efisien dan dapat

dipertanggungjawabkan. Dalam surat yang dikeluarkan

oleh Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia

Nomor 421.2/2501/Bangda/1998 tentang pelaksanaan

penggabungan (regrouping) dalam petikan suratnya

yang berbunyi kegiatan penggabungan (regrouping) ini

bertujuan untuk mengatasi permasalahan guru,

peningkatan mutu, efisiensi biaya bagi perawatan

gedung sekolah, dan sekolah yang ditinggalkan

dimungkinkan penggunaannya untuk rencana

pembukuan SMP kecil/SMP kelas jauh atau setara

dengan sekolah lanjutan sesuai dengan kebutuhan

setempat untuk menampung lulusan SD.

Berdasarkan dasar hukum yang digunakan

tersebut, tujuan regrouping sudah jelas. Landasan

hukum sebagai pijakan pelaksanaan regrouping harus

dilaksanakan sebagai upaya untuk mencapai tujuan.

Kriteria keberhasilan regrouping yang berdasarkan pada

landasan hukum yaitu: a) pemenuhan jumlah tenaga

55

pendidik, b) peningkatan mutu pendidikan, c)

peningkatan efisiensi biaya pendidikan, d) efektivitas

penyelenggaraan pendidikan, dan e) pembukaan/

pendirian SMP kecil/SMP kelas jauh untuk

memanfaatkan sekolah yang ditinggalkan.

Dalam artikel yang ditulis oleh Suparlan yang

berjudul “merger sekolah dasar, begitu perlukah” yang

dipublikasikan pada 21 November 2006 antara lain; (1)

Ingin meningkatkan mutu layanan pendidikan untuk

masyarakat. Dalam arti layanan pendidikan yang

bermutu. Bukan hanya layanan pendidikan dengan

gedung sekolah yang seadanya. Pada era millennium

ketiga, mutu layanan pendidikan menjadi satu

keharusan, mengharapkan adanya hasil pendidikan

(outcomes) yang bermutu. Quality was at the heart of

education. Mutu pendidikan memiliki lima dimensi yang

saling kait mengait, yakni: learners, environments,

content, processes, dan outcomes. Pembangunan gedung

sekolah yang tidak bermutu pada masa lalu telah

mendapatkan perhatian dari pemerintah dengan

diturunkannya dana alokasi khusus untuk

pembangunan gedung sekolah. (2) Untuk

meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pendidikan.

Dengan beberapa sekolah yang terdapat dalam satu

kompleks gedung sekolah yang sempit menimbulkan

indikasi terjadinya proses persaingan yang tidak sehat

56

antara sekolah yang satu dengan yang lain. Oleh

karena itu perlu dilakukan regrouping (penggabungan).

2.5.3. Langkah- Langkah Regrouping

Langkah-langkah regrouping atau merger Sekolah

yang dikemukakan oleh Suparlan dalam artikel yang

berjudul “merger sekolah dasar, begitu perlukah?” yang

ditayangkan pada 21 November 2006 antara lain

sebagai berikut;

a. Mengadakan sosialisasi kebijakan merger sekolah

kepada semua pemangku kepentingan (stakeholders). Langkah pertama ini dilakukan agar para pemangku

kepentingan memiliki pemahaman mendalam tentang

manfaat merger bagi semua pihak, terutama bagi peserta didik. Sosialisasi bukanlah instruksi, bukan

pula pemaksaan terselubung. Benar-benar untuk

meningkatkan pemahaman secara kritis tentang manfaat kebijakan merger sekolah sebagai strategi

untuk meningkatkan mutu pendidikan;

b. Membentuk tim atau kepanitiaan, dengan melibatkan

komponen yang terkait. Pembentukan tim atau kepanitiaan ini pun harus dilakukan secara demokratis

agar semua stakeholders dapat terakomodasi

aspirasinya, dan yang lebih penting adalah agar dapat memberikan peran sertanya secara maksimal dalam

penyelenggaraan pendidikan;

c. Mengajukan atau memasukkan program merger sekolah ke dalam program dan kegiatan dinas

pendidikan, untuk disetujui oleh pemerintah dan

legislatif. Langkah ini penting, karena program merger akan memerlukan konsekuensi anggaran yang mungkin

tidak sedikit;

d. Pelaksanaan program dan monitoring pelaksanaan

program melibatkan semua stakeholder yang sejak awal dilibatkan dalam program ini. Program ini dilaksanakan

menurut prinsip manajemen modern, yakni demokratis,

transparan, dan akuntabel. Jika tidak, maka justru akan terjadi distrust dari masyarakat;

57

e. Pelaporan dan pertanggungjawaban jika program itu telah dapat diselesaikan.

Di samping itu, kegiatan pasca pelaksanaan

program perlu dilakukan, misalnya monitoring dampak

pelaksanaan program tersebut terhadap peningkatan

mutu pendidikan, sebagaimana telah disebutkan dalam

tulisan ini, yakni lima dimensi mutu pendidikan: yakni

'learners, environments, content, processes, dan

outcomes' atau peserta didik, lingkungan, kurikulum

atau bahan ajar, proses pendidikan atau proses

pembelajaran, dan hasil pendidikan atau hasil belajar

peserta didik.

2.5.4. Konsep Pelaksanaan Regrouping Sekolah Dasar

Penggabungan sekolah (regrouping) yang

dikeluarkan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman

Pelaksanaan Penggabungan Sekolah (regrouping)

Sekolah Dasar pada tanggal 16 November 1998 kepada

Gubernur seluruh Indonesia, yaitu : 1) Penggabungan

(regrouping) SD adalah usaha penyatuan dua unit SD

atau lebih menjadi satu kelembagaan (institusi) SD dan

diselenggarakan dalam satu pengelolaan; 2) Lingkup

penggabungan SD meliputi SD yang terdapat antar

desa/kelurahan yang sama dan atau di desa/kelurahan

yang berbatasan dan atau antar kecamatan yang

berbatasan; 3) Sekolah Dasar kemudian disingkat SD

adalah bentuk satuan pendidikan dasar milik

58

pemerintah yang menyelenggarakan program

pendidikan enam tahun; 4) SD inti adalah SD yang

terpilih antara beberapa SD dalam satu gugus sekolah

yang berfungsi sebagai pusat pengembangan di dalam

gugus SD tersebut; 5) SD imbas adalah anggota satu

gugus sekolah yang menjadi binaan SD inti; 6) SD kecil

adalah SD di daerah terpencil yang belum memenuhi

syarat pembakuan.

Program regrouping sekolah pada awalnya

dilakukan pada sekolah yang mengalami kekurangan

siswa. Namun saat ini regrouping juga dilakukan pada

sekolah yang lokasinya berada dalam satu kawasan,

untuk melakukan efisiensi tunjangan jabatan kinerja

kepala sekolah (Bataviase, 2010: 1). Walle (2004: 1)

mengatakan bahwa dengan regrouping dapat

mengefektifkan pembelajaran seperti dikemukaan

berikut: ”Project in order to seek out more effective

instructional strategies, activities, and curriculum in the

hope of helping students more easily and more deeply,

understand the skills involved in solving mathematical

problems which require regrouping.”

Penggabungan sekolah dasar (regrouping)

merupakan satu cara pengembangan sekolah dengan

memperdayakan dan mengembangkan berbagai sumber

daya pendidikan untuk mencapai peningkatan mutu

pendidikan dan efektivitas sekolah.

59

2.5.5. Kriteria Indikasi Regrouping Sekolah Dasar

Peningkatkan efektivitas dan efisiensi

penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar pendidikan

dasar dengan cara mengadakan program

penggabungan sekolah, yaitu dengan menggabungkan

dua SD atau lebih dapat digabung menjadi satu

pengelolaan/institusi sekolah dengan kriteria sebagai

berikut: Pertama Kriteria Teknis Pendidikan. Penetapan

perlu tidaknya suatu penggabungan (regrouping) SD

ditentukan oleh kriteria teknis pendidikan dengan

indikator sebagai berikut:

a. Daya Tampung (DT) SD/ sederajat yang pada tingkat desa/kelurahan merupakan indikator makro yang

memperkirakan adanya kelebihan atau kekurangan

gedung sekolah/ruang kelas.

b. Rasio jumlah murid (JM) per kelas (rata-rata pada satu

SD) merupakan indikator mikro perlu tidaknya suatu

SD mengikuti proses penggabungan (regrouping).

c. Jumlah murid (JM) dalam pendataan 3 tahun terakhir tidak memenuhi jumlah minimal murid yaitu JM

kurang dari tiga ratus enam puluh (360) untuk tipe A

(75% x 480), JM kurang dari seratus delapan puluh (180) untuk tipe B (75% x 240), atau JM kurang dari

enam puluh (60) untuk tipe C (67% x 90).

d. Dalam satu kompleks SD terdapat lebih dari satu lembaga/institusi SD.

e. SD yang tidak termasuk dalam pertimbangan proses

penggabungan adalah SD swasta dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan SD kecil di kawasan terpencil yang

merupakan fasilitas pendidikan dasar satu-satunya di

kawasan tersebut.

Kedua, Kriteria Bangunan Gedung Sekolah

Dasar. Kriteria teknis bangunan gedung SD digunakan

60

untuk menentukan lokasi penggabungan bagi SD yang

telah diputuskan untuk digabung berdasar kriteria

teknis pendidikan, serta pertimbangan untuk penataan

fisik gedung SD dan lingkungannya. Kriteria Tata

Bangunan dan Lingkungan:

a. Lokasi SD sudah tidak sesuai dengan pola tata ruang

kota dan peruntukannya, terkena rencana penataan kota, penataan bangunan dan lingkungan, atau sudah

tidak layak lagi menjadi tempat belajar-mengajar.

b. Lokasi SD saling bergabung letaknya berada pada satu kompleks, bersebelahan/berdekatan, atau masing-

masing SD tersebut berada pada radius tidak lebih dari

1000 m.

c. Luas Lahan (LL) lokasi penggabungan harus memenuhi syarat sesuai pembakuan, yaitu gedung SD tidak

bertingkat ( LL ≥ 2000 m2 untuk SD Tipe A, LL ≥ 2000 -

3000 m2 untuk SD Tipe B dan LL ≥ 1000 – 2000 m2 untuk SD Tipe C) dan gedung SD bertingkat (LL ≥ 2000

m2 untuk SD tipe A, atau LL ≥ 1000 – 2000 m2 untuk

Tipe SD B);

Ketiga, Kriteria Keandalan Bangunan. Keandalan

bangunan dinilai dari tingkat kerusakan bangunan

sebagai berikut:

a. Lokasi SD berada pada daerah yang sulit air bersihnya.

b. Lokasi SD berada pada daerah rawan bencana alam

(banjir, longsor, jalur gempa, petir, angin ribut, letusan gunung berapi, dan sebagainya).

c. Bangunan SD belum memenuhi standar spesifikasi

teknis bangunan gedung SD kelas C sesuai karakteristik lokal.

61

2.5.6. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Penggabungan (Regrouping)

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi

terjadinya penggabungan (Regrouping) beberapa

Sekolah Dasar di daerah: 1) Himbauan dari

pemerintah. Regrouping/ penggabungan beberapa SD

dilakukan karena himbauan pemerintah melalui

Mendagri dalam surat No: 421.2/2501/Bangda/1998

tentang Pedoman Pelaksanaan Penggabungan

(Regrouping) Sekolah Dasar, yang mana tujuan

penggabungan tersebut untuk mengatasi masalah

kekurangan tenaga guru, peningkatan mutu, efisiensi

biaya bagi perawatan gedung sekolah. Sedangkan

sekolah yang ditinggalkan dimungkinkan

penggunaannya untuk rencana pembukaan SMP

kecil/SMP kelas jauh atau setara sekolah lanjutan

sesuai ketentuan setempat untuk menampung lulusan

Sekolah Dasar; 2) Sebagai implementasi keputusan

Mendiknas. Regrouping/ penggabungan beberapa SD

merupakan Implementasi Kepmendiknas Nomor

060/U/2002 tentang Pedoman Pendirian Sekolah,

dalam ayat 1 pasal 23 dinyatakan bahwa

pengintegrasian sekolah merupakan peleburan atau

penggabungan dua atau lebih sekolah sejenis menjadi

satu sekolah; 3) Kekurangan guru. Adanya berbagai

keluhah kekurangan guru dibeberapa daerah,

sedangkan di beberapa daerah yang lain rasio siswa

62

dibanding guru di SD cukup rendah. Dasar

perhitungan guru perlu diadakan perubahan. Saat ini

jumlah guru kelas dihitung menurut jumlah

rombongan belajar. Meskipun hanya ada beberapa

murid di satu kelas (kadang-kadang kurang dari 5

orang) tetap dianggap perlu ada satu guru kelas.

Akibatnya, ada beberapa guru memiliki sedikit murid

(di bawah 15 orang), sedangkan guru lain harus

mengajar lebih dari 60 orang; 4) Kekurangan murid.

Beberapa SD hanya memiliki jumlah siswa kurang dari

50 orang, dan dengan demikian tiap-tiap kelas hanya

mempunyai siswa relatif sedikit; 5) Sarana/ prasarana

untuk pembelajaran kurang memadai. Beberapa

fasilitas/ sarana/ prasarana di Sekolah Dasar terutama

gedung sekolah kurang memadai, dikarenakan jumlah

siswa yang relatif sedikit, sehingga demi efisiensi biaya,

dan alas an lain perlu diadakan penggabungan dengan

sekolah lain; 6) Dua sekolah satu halaman. Jika ada

dua Sekolah Dasar yang gedungnya satu halaman,

sedangkan keadaan/ kondisi ke duanya sangat

bertolak belakang, maka perlu dilakukan

penggabungan (Regrouping).

63

2.6. Kajian Penelitian Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Rani Widiowati

(2014) yang berjudul “School Resiliency and Capital of

Regrouping Policy after Merapi Eruption in the Special

District of Yogyakarta Of Indonesia”. Hasil penelitian

tersebut menujukkan tentang: 1. Kendala pelaksanaan

regrouping 2. Faktor pendukung regrouping. Penelitian

ini menggunakan model analisis deskriptif kualitatif

secara interaktif dan berkelanjutan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa: 1) Banyak hal yang terjadi baik

dari proses sampai sekolah diregrouping. Terdapat

kendala ataupun hambatan pada awal proses negosiasi,

manfaat dan kerugian yang dirasakan oleh warga

sekolah. Namun sekolah menanggapi secara positif

dengan adanya kebijakan regrouping ini. Dengan

berbagai pertimbangan antara lain, keamanan,

keselamatan, tempat tinggal siswa dan efektivitas kerja

pasca erupsi Merapi. Kebijakan regrouping pasca erupsi

Merapi ini bertujuan untuk membangun resiliensi

sekolah pasca

erupsi Merapi dan agar proses kegiatan belajar

mengajar pasca erupsi Merapi menjadi efektif dan

efisien. 2) faktor pendukung adalah pemerintah daerah,

sponsor-sponsor penyandang dana dalam pembuatan

gedung baru untuk SD Negeri Umbulharjo 2, kemauan

dari guru masing-masing sekolah untuk

mendukung kebijakan regrouping demi kelancaran

64

proses kegiatan belajar mengajar pasca erupsi Merapi,

guru bersedia melakukan pendampingan terhadap

siswa dan senantiasa memberikan nasihat dan

dukungan kepada siswa dan siswa

mau berusaha adaptasi terhadap lingkungan sekolah

yang baru. Faktor penghambat adalah kurang luas

pengetahuan guru dalam pemulihan psikologis

anak pasca erupsi Merapi, beban kerja guru sudah

tinggi, problem internal dari guru itu sendiri,

kurangnya kreatifitas dan inovasi guru mengajar pasca

erupsi Merapi sehingga dalam proses membangun

resiliensi tidak optimal.

Penelitian Jihan Amalia Syahidah (2013) Evaluasi

Kebijakan Penggabungan Sekolah Dasar Negeri Kota

Pekalongan, merupakan jenis penelitian evaluasi

kebijakan dengan metode penelitian kualitatif. Hasil

penelitian membahas tentang Kebijakan penggabungan

Sekolah Dasar Kota Pekalongan yang terbagi menjadi

dua yaitu kebijakan berdasarkan murni satu

kawasan dalam pencapaian efektifitas dan efesiensi

kebijakan sudah dapat dikatakan berhasil karena

baik input, aktor maupun faktor pendukungnya

telah terpenuhi sehingga dalam implementasi

kebijakan tidak mengalami kesulitan yang berarti.

Pada kebijakan penggabungan berdasarkan

manajemen yang memiliki banyak kendala dalam

menuju efektifitas dan efesiensinya. Dari delapan

65

sekolah yang diteliti, manajemen efektifitasnya belum

bisa tercapai karena adanya beban ganda yang

diberikan kepada kepala sekolah menjadikan kepala

sekolah justru memiliki kendala dalam membagi waktu

untuk dua sekolah.

Penelitian Sudiyono (2014) Pelaksanaan Program

Regrouping Sekolah Dasar 1 Undaan tengah Kecamatan

Undaan Kudus. Sugiyono menggunakan jenis

penelitian kualitatif. Hasil penelitian tersebut adalah (1)

menggambarkan tentang karakteristik managemen

sekolah program regrouping di SD 1 Undaan Tengah

Kec.Undaan Kudus. (2) Pelaksanaan program

regrouping di SD 1 Undaan tengah kecamatan Undaan

Kudus berjalan dengan sangat baik sesuai dengan yang

diharapkan. Pengelolaan sekolah menjadi lebih efisien

dan efektif serta pembelajaran mampu mencapai

standar yang ditetapkan. Sarana dan prasarana

mengalami peningkatan, meskipun masih perlu

perbaikan dan pengadaan. (3) Kendala pelaksanaan

regrouping tidak signifikan dan dapat dipecahkan

dengan baik.

Penelitian keempat oleh Ika Purwaningsih (2014)

Implementasi Kebijakan Regrouping Sekolah Dasar di

Kabupaten Purworejo. Penelitian ini dimaksudkan

untuk mendeskripsikan implementasi kebijakan dari

regrouping sekolah dasar beserta monitoring, evaluasi

terhadap implementasi program regrouping sekolah

66

dasar di kabupaten Purworejo. Peneliti menggunakan

metode kualitatif dengan jenis penelitian etnografi

dengan teknik pengambilan sampel. Hasil penelitian

menunjukan bahwa: (1) implementasi kebijakan

regrouping di sekolah dasar diawali dengan

pendataan terhadap sekolah-sekolah dasar yang

nantinya dipetakan berdasarkan skala prioritas oleh

tim penghapusan dan penggabungan sekolah (2)

monitoring dilaksanakan secara non formal insidental

dalam upaya menjaga agar pelaksanaan regrouping

sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan,

strategi yang dipergunakan dengan memberikan

motivasi negatif bagi sekolah yang akan di

regrouping, (3) evaluasi program regrouping

menujukkan ketercapaian tujuan, yaitu pemenuhan

standar pelayanan minimal pendidikan, efisiensi

anggaran, efektvitas penyelenggaraan pendidikan,

dan adanya peningkatan mutu pendidikan bagi sekolah

regrouping, baik dari segi akademis maupun non

akademis.

Penelitian kelima oleh Claire Hills (2013) dengan

judul Close OrBe Closed: To What Extent Can School

Clorsures And mergers Be Contested And Negotiated?,

sebuah penelitian yang dilakukan di New Zealand.

Penelitian ini akan menunjukkan bahwa proses

penutupan/penggabungan sekolah terkadang dapat

dengan sukses diperebutkan oleh masyarakat

67

berpendidikan politik. Dalam ulasan di daerah

Masterton 2003 beberapa sekolah lebih berhasil dari

yang lain dalam menentang penggabungan dan

penutupan. Alasannya akan dieksplorasi. Resistensi

masyarakat sangat penting dalam menjungkirbalikkan

keputusan penutupan sekolah tinggi Makoura pada

2008. Masyarakat Diprakarsai kebijakan Rencana

Pendidikan diujicobakan di Kabupaten Bush pada

tahun 2009 menghasilkan kemenangan bagi pemangku

kepentingan di seluruh wilayah yang aktif.Literatur

penelitian di Selandia Baru, dan luar negeri,

menunjukkan bahwa penutupan sekolah dan

penggabungan dapat menyebabkan perbedaan budaya

masyarakat yang signifikan. Pemangku kepentingan

menemukan bahwa mereka memiliki ikatan emosional

yang mendalam untuk sekolah mereka. Dalam proses

ini pola yang berbeda dari respon muncul. Kemarahan

dan kesedihan disajikan dalam ledakan bahasa emotif

yang sedang berjalan. Orang tua menegaskan "hak"

mereka untuk memilih sekolah yang paling cocok

untuk anak mereka diliput oleh Tommorow’s School

dan menuntut komunikasi yang jelas dan tranparan

dari Kementerian Pendidikan dan sepenuhnya

berkonsultasi selama proses berjalan. Ada patern/pola

yang jelas merupakan gangguan komunikasi antara

Kementerian dan pemangku kepentingan lokal. Hal ini

dapat dilihat dalam pertemuan komunitas, protes,

68

petisi, perdebatan kontroversial tentang masalah

transportasi, rasisme, demografi, ekonomi, kebajikan

sekolah yang lebih kecil dibandingkan sekolah yang

lebih besar dan kerusakan masyarakat inti.Sebagai

buntut dari penutupan bangunan sekolah, terjebak

dalam proses pembuangan berkepanjangan yang

ditinggalkan, menjadi perusak pemandangan di

komunitas mereka karena mereka perlahan-lahan

menyerah pada perusakan dan pembakaran.

Dari lima penelitian tentang regrouping diatas,

hanya satu yang membahas tentang evaluasi kebijakan

regrouping sekolah, yang memberikan suatu

rekomendasi kepada pemangku kepentingan untuk

mengkaji ulang tentang efektifitas regrouping dibidang

managemen sekolah. Sementara tiga penelitian

membahas tentang implementasi/ pelaksanaan

kebijakan regrouping yang mengalami berbagai macam

permasahan, khususnya dilingkungan sekolah yang

diregrouping. Dan satu penelitian membahas tentang

dampak yang ditimbulkan oleh program regrouping.

Kesamaan dari lima penelitian diatas sama-sama

menggunakan penelitian diskriptif, yang memberi

gambaran yang jelas tentang program kebijakan

regrouping sekolah. Berbeda dengan penelitian yang

sedang penulis lakukan saat ini. Penulis lebih

menekankan pada evaluasi program kebijakan

regrouping sekolah, yang didalamnya akan

69

mengevaluasi pelaksanaan regrouping sekolah, faktor-

faktor yang mempengaruhi, dampak yang timbul, serta

tuujan (efektifitas dan efisiensi) dari program regrouping

sekolah tersebut.

2.7. Kerangka Pikir

Berdasarkan pengamatan di SD Negeri Tukang

01 dan 02 Kec.Pabelan, peneliti menggunakan model

penelitian Goal Free Evaluation yang dikembangkan

oleh Michael Scriven, yang penulis anggap relevan

dengan masalah-masalah awal yang peneliti

temukan dilapangan. Dalam melaksanakan evaluasi

program, peneliti tidak perlu memperhatikan apa yang

menjadi tujuan khusus program. Dengan metode ini

yang perlu diperhatikan dalam program tersebut adalah

bagaimana kerjanya program, yaitu dengan jalan

mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi,

baik hal-hal positif maupun hal-hal negatif. Alasan

mengapa tujuan program tidak perlu diperhatikan

karena ada kemungkinan peneliti terlalu rinci

mengamati tiap-tiap tujuan khusus. Apabila tujuan

khusus tercapai artinya terpenuhi dalam penampilan,

tetapi peneliti perlu memperhatikan seberapa jauh

masing-masing penampilan tersebut mendukung

penampilan akhir yang diharapkan oleh tujuan umum,

maka akibatnya jumlah penampilan khusus ini tidak

banyak manfaatnya. Goal free evaluation merupakan

70

model yang tidak lepas sama sekali dari tujuan,

melainkan hanya lepas dari tujuan khususnya. Model

ini hanya mempertimbangkan tujuan umum yang akan

dicapai, bukan secara rinci.

Dengan berpedoman pada metode evaluasi goal

free jika dikaitkan dengan evaluasi program regrouping

di SDN Tukang 01 dan SDN Tukang 02 Kec. Pabelan

Kab. Semarang, maka terbentuklah alur berfikir

sebagai berikut: (a) peneliti memperhatikan tujuan yang

telah ditetapkan oleh pemerintah secara umum

terhadap kebijakan regrouping sekolah, yaitu

tercapainya efektifitas dan efisiensi manajemen

pendidikan; (b) peneliti berfokus pada proses

pelaksanaan/ implementasi dari regrouping yang

dilakukan oleh penyelenggara dengan menghubungkan

dampak terhadap program tersebut; (c) peneliti

memperhatikan dampak dari penyelenggraan program

kebijakan regrouping dalam konteks secara umum; (d)

peneliti memperhatikan tingkat efektifitas dan efisiensi

dari pelaksanaan regrouping sekolah. Jika digambarkan

melalui diagram, alur berfikir yang akan dilakukan

adalah sebagai berikut:

71

Gambar 2.1. Evaluasi Program Regrouping Sekolah

Program Regrouping Sekolah (Keputusan

Mendagri)

Implementasi Program Regrouping Sekolah

Faktor-faktor yang mempengaruhi Program

Regrouping Sekolah

Dampak Program Regrouping Sekolah

Capaian efektifitas & efisiensi (tujuan) Regrouping

Sekolah