BAB II KAJIAN TEORETIS 2.1 Hakikat Perjudian 2.1.1...
Transcript of BAB II KAJIAN TEORETIS 2.1 Hakikat Perjudian 2.1.1...
BAB II
KAJIAN TEORETIS
2.1 Hakikat Perjudian
2.1.1 Pengertian Perjudian
Judi adalah salah satu penyakit jiwa manusia yang terbilang tua, dan sampai
sekarang permainan ini semakin canggih.Fakta menunjukan bahwa perjudian sudah
ada sejak zaman purbakala, sudah dikenal dan digemari.Artikolog menemukan
lukisan-lukisan di guci (vas), dan didinding goa yang melukiskan ‘dewa-dewa’
sedang bermain judi (taruhan) dengan alat tulang domba atau anjing. Dan kenyataan
itu didapati usia lukisan dinding itu berumur 40 ribu tahun, dan judi dengan alat
tulang, lebih tua dari dadu, karena usia dadu baru 3000 tahun sebelum Masehi.
bahkan suku di Arab sampai sekarang masih ada yang memainkan judi dengan
peralatan dari tulang.
Sutiyoso (2008:1) mengemukakan bahwa pada hakekatnya perjudian
merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan
maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara. Meskipun demikian, berbagai macam dan bentuk perjudian
dewasa ini sudah demikian merebak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik
yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi.
Papu (2002:1) mengemukakan bahwa perjudian (gambling) dalam kamus
Webster didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang melibatkan elemen risiko.Dan
risiko didefinisikan sebagai kemungkinan terjadinya suatu kerugian.Carson & 6
Butcher (dalam Papu, 2002:1), mendefinisikan perjudian sebagai memasang taruhan
atas suatu permainan atau kejadian tertentu dengan harapan memperoleh suatu hasil
atau keuntungan yang besar.Apa yang dipertaruhkan dapat saja berupa uang, barang
berharga, makanan, dan lain-lain yang dianggap memiliki nilai tinggi dalam suatu
komunitas.
Definisi serupa dikemukakan oleh Lea, dkk (dalam Papu (2002:1)bahwa
perjudian tidak lain dan tidak bukan adalah suatu kondisi dimana terdapat potensi
kehilangan sesuatu yang berharga atau segala hal yang mengandung risiko. Namun
demikian, perbuatan mengambil risiko dalam sikap berjudi, perlu dibedakan
pengertiannya dari perbuatan lain yang juga mengandung risiko. Ketiga unsur
dibawah ini dapat menjadi faktor yang membedakan sikap berjudi dengan sikaplain
yang juga mengandung risiko:
a) Perjudian adalah suatu kegiatan sosial yang melibatkan sejumlah uang (atau
sesuatu yang berharga) dimana pemenang memperoleh uang dari yang kalah.
b) Risiko yang diambil bergantung pada kejadian-kejadian dimasa mendatang,
dengan hasil yang tidak diketahui, dan banyak ditentukan oleh hal-hal yang
bersifat kebetulan/keberuntungan.
c) Risiko yang diambil bukanlah suatu yang harus dilakukan;
kekalahan/kehilangan dapat dihindari dengan tidak ambil bagian dalam
permainan judi.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perjudian adalah sikap yang
melibatkan adanya risiko kehilangan sesuatu yang berharga dan melibatkan interaksi
sosial serta adanya unsur kebebasan untuk memilih apakah akan mengambil risiko
kehilangan tersebut atau tidak.Dalam konteks ini perjudian merupakan salah satu
sikap buruk yang dapat merugikan manusia.
2.1.2 Macam-Macam Tipe Penjudi
Penjudi memiliki beberapa tipe. Terkait dengan hal iniEdukasi (2009:1)
mengemukakan bahwa penjudi memiliki beberapa tipe sebagai berikut:
1) Penjudi rekreasi. pemain ini datang untuk kesenangan dan bukan hanya untuk
main. Plesir, kegemparan dan sekali kali menang dan dia merasa senang.
Kerugian mudah dikontrol makanya mainnya hanya bersifat iseng saja. Pemain
tipe ini, tahu waktu dan kapasitas uang yang akan dimainkan. Bilamana kelebihan
mengeluarkan uang tidak ada akibat dengan struktural keuangan. Tipe pemain
judi ini, melihat hanya sebagai bentuk hiburan. Umumnya orang pemain rekreatif.
2) Penjudi yang problem. pemain ini melihat tidak lagi sebagai hiburan. Dia melihat
berjudi sebagai tempat pelarian dari problem hidupnya. Bisa karena kesepian,
marah pada pasangan, lingkungan kerja atau menyalahkan nasib diri. Maka
permaiannya tidak terkendali, lebih dikendalikan oleh perasaannya.
Keseimbangan antara waktu mereka pakai untuk main dan untuk kehidupan yang
lain jadi kacau. Mereka banyak membuang waktu dan uang untuk judi dan
semakin tidak terkendali dan merusak kejiwaannya.
3) Penjudi ketagihan. beberapa pemain hilang kontrol dengan diri sendiri. Mereka
sudah jadi ketagihan. Mereka sudah tergantung dengan main judi, pikiran di judi
terus. Direk atau indirek. Utang besar, problem di rumah tangga, biar di tempat
kerja kan mencari jalan untuk bisa main, apalagi sekarang dengan perjudian lewat
internet, untuk mereka menjadi lebih gampang. Mendapat pengeluhan psikis dan
fisik. Orang-orang yang ketagihan hilang dia punya kesadaran nilai uang. Mereka
hanya melihat apa yang mereka menang tetapi yang kalah tidak dipikirkan.
Spaning dengan main judi, orang yang sudah ketagihan, sama dengan orang
keadaan mabuk dengan minuman. Selama dia main judi, dia lupa semuanya,
inklusif dengan akibat judinya.
4) Penjudi Patalogis, adalah pemain judi yang sudah termasuk sakit jiwa, ini mirip
dengan pemain ketagihan diatas, tetapi lebih parah karena dia akan stres berat jika
tidak melampiaskan keinginannya untuk berjudi, dia akan melakukan segala cara
berbohong atau menipu untuk berhutang dan mempertaruhkan hartanya, bahkan
keluarganya (biasanya pasangannya) untuk memenuhi keinginannya berjudi.
Inilah tipe penjudi yang harus diterapi dan survey menunjukan data 10% dari
penjudi adalah penderita judi patalogis ini.
5) Penjudi profesional, kelas ini merupakan pemain yang benar-benar terkontrol jiwa
maupun pengeluaran unagnnya. mereka melihat main judi sebagai bisnis, kerja
dan rugi sebagai risiko perusahaan.
Papu (2002:3) mengemukakan bahwa pada dasarnya ada tiga tingkatan atau
tipe penjudi, yaitu:
a) Social Gambler
Penjudi tingkat pertama adalah para penjudi yang masuk dalam kategori
"normal" atau seringkali disebut social gambler, yaitu penjudi yang sekali-sekali
pernah ikut membeli lottery (kupon undian), bertaruh dalam pacuan kuda, bertaruh
dalam pertandingan bola, permainan kartu atau yang lainnya.Penjudi tipe ini pada
umumnya tidak memiliki efek yang negatif terhadap diri maupun komunitasnya,
karena mereka pada umumnya masih dapat mengontrol dorongan-dorongan yang ada
dalam dirinya.Perjudian bagi mereka dianggap sebagai pengisi waktu atau hiburan
semata dan tidak mempertaruhkan sebagian besar pendapatan mereka ke dalam
perjudian.Keterlibatan mereka dalam perjudian pun seringkali karena ingin
bersosialisasi dengan teman atau keluarga.Di negara-negara dimana praktek perjudian
tidak dilarang dan masyarakat terbuka terhadap suatu penelitian seperti di USA,
jumlah populasi penjudi tingkat pertama ini diperkirakan mencapai lebih dari 90%
dari orang dewasa.
b) Problem Gambler
Penjudi tingkat kedua disebut sebagai penjudi "bermasalah" atau problem
gambler, yaitu sikap berjudi yang dapat menyebabkan terganggunya kehidupan
pribadi, keluarga maupun karir, meskipun belum ada indikasi bahwa mereka
mengalami suatu gangguan kejiwaan (National Council on Problem Gambling USA,
1997). Para penjudi jenis ini seringkali melakukan perjudian sebagai cara untuk
melarikan diri dari berbagai masalah kehidupan. Penjudi bermasalah ini sebenarnya
sangat berpotensi untuk masuk ke dalam tingkatan penjudi yang paling tinggi yang
disebut penjudi pathologis jika tidak segera disadari dan diambil tindakan terhadap
masalah-masalah yang sebenarnya sedang dihadapi. Menurut penelitian Shaffer, Hall,
dan Vanderbilt (1999) yang dimuat dalam American Journal of Public Health, No.
89, ada 3,9% orang dewasa di Amerika Bagian Utara yang termasuk dalam kategori
penjudi tingkat kedua ini dan 5% dari jumlah tersebut akhirnya menjadi penjudi
patologis.
c) Pathological Gambler
Penjudi tingkat ketiga disebut sebagai penjudi "pathologis" atau pathological
gambler atau compulsive gambler.Ciri-ciri penjudi tipe ini adalah
ketidakmampuannya melepaskan diri dari dorongan-dorongan untuk berjudi.Mereka
sangat terobsesi untuk berjudi dan secara terus-menerus terjadi peningkatan frekuensi
berjudi dan jumlah taruhan tanpa dapat mempertimbangkan akibat-akibat negatif
yang ditimbulkan oleh sikap tersebut, baik terhadap dirinya sendiri, keluarga, karir,
hubungan sosial atau lingkungan disekitarnya.
2.1.3 HakikatSikap
Sikap merupakan salah satu gejala yang ditunjukkan dan sebagai manifestasi
pernyataan sikap. Hanurawan (2010:64) mengemukakan bahwa sikap adalah
tendensi untuk bereaksi dalam tata cara suka atau tidak suka terhadap suatu objek.
Sikap merupakan emosi atau afek yang diarahkan oleh seseorang kepada orang lain,
benda, atau peristiwa sebagai objek atau sasaran sikap. Pendapat ini menunjukkan
bahwa sikap melibatkan kecenderungan respons yang bersifat prefensial. Dimana
sikap seseorang akan memiliki implikasi terhadap puas atau tidak puas, positif atau
negative, suka atau tida suka terhadap suatu objek
Azwar (1995:1) mengemukakan bahwa sikap dapat diekspresikan dengan
berbagai cara, dengan kata-kata yang berbeda. Sejak akhir tahun 1920 dan awal tahun
1930 metode-metode-pengukuran tingkah laku telah berkembang dan digunakan
sampai sekarang, dan beberapa metode baru telah diciptakan.
Sikap dapat didefinisikan dalam banyak versi. Fishbein dan Ajzen (dalam
Faturrochman, 2009:43) mengemukakan bahwa sikap adalah organisasi yang relative
menetap dari perasaan-perasaan, keyakinan-keyakinan dan kecenderungan perilaku
terhadap orang lain, kelompok, ide-ide atau objek-objek tertentu.
Gerungan (dalam Herlito, 2011:1) mengemukakan bahwa Attitude itu dapat
kita terjemahkan dengan sikap yang objektif tertentu, yang dapat merupakan sikap
pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut di sertai sikap kecenderungan
untuk bertindak sesuai dengan sikap objektif tadi itu. Jadi Attitude itu dapat di
terjemahkan sebagai sikap dan kesediaan bereaksi tehadap suatu hal.Dari pengertian
di atas dapat dikatakan bahwa sikap mengandung beberapa komponen pokok yaitu
komponen kognitif (sikap pandangan), komponen afektif (sikap perasaan) dan
komponen konatif (kecenderungan untuk bertindak).
Sejalan dengan pendapat di atas, Sukardi (dalam Herlito, 2011:1)
menambahkan bahwa Sikap adalah suatu kesiapan seseorang untuk bertindak secara
tertentu terhadap hal-hal tertentu, dengan perkataan lain, sikap merupakan
kecendeerungan yang relatif stabil yang dimiliki individu dalam mereaksi dirinya
sendiri, orang lain atau situasi tertentu
Terkait dengan pengertian masyarakat Majid (2008:1) mengemukakan bahwa
masyarakat adalah sejumlah manusia yang merupakan satu kesatuan golongan yang
berhubungan tetap dan mempunyai kepentingan yang sama.Seperti; sekolah,
keluarga, perkumpulan, Negara semua adalah masyarakat. Unsur-unsur suatu
masyarakat : a) harus ada perkumpulan manusia dan harus banyak, b) telah bertempat
tinggal dalam waktu lama di suatu daerah tertentu, c) adanya aturan atau undang-
undang yang mengatur masyarakat untuk menuju kepada kepentingan dan tujuan
bersama.
Pendapat ini menunjukkan bahwa masyarakat merupakan kumpulan manusia
yang memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lain, memiliki aturan serta
telah bertempat tinggal dalam waktu lama di suatu daerah tertentu.
Berdasarkan uraian di atas maka sikap masyarakat dapat diartikan sebagai
pandangan atau sikap perasaan dalam bentuk keyakinan-keyakinan dan
kecenderungan perilaku yang menunjukkan pernyataan jiwa atas suatu fenomena
yang dihadapinya.
Menurut Azwar (1995:1) sikap dapat dikategorikan ke dalam tiga orientasi
pemikiran, yaitu: yang berorientasi pada respon, yang berorientasi pada kesiapan
respon, dan yang berorientasi pada skema triadic.
Sikap manusia telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli
psikologi terkemuka.(Azwar, 1995:4) menemukan adanya lebih dari tigapuluh
definisi sikap.Puluhan definisi ini pada umumnya dapat dimasukkan ke dalam salah-
satu diantara tiga kerangka pemikiran.
Kelompok pemikiran yang pertama diwakili oleh Louis Thurstone, Rensis
Likert, dan Carles Osgood.Mereka mendefiniskan sikap sebagai suatu bentuk evaluasi
atau reaksi perasaan (Azwar, 1995:4).Secara lebih spesifik, Thurstone (dalam Azwar,
1995:5) memformulasikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif
terhadap suatu objek psikologis. Pendapat serupa diungkapkan oleh ahli psikologi
lain seperti Berkowitz. Berkowitz (dalam Azwar, 1995:5) mengatakan bahwa sikap
seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun
perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek tersebut.
Kelompok pemikiran kedua diwakili oleh para ahli psikologi sosial dan
psikologi kepribadian seperti Chave, Bogardus, LaPiere, Mead, dan Gordon Alport,
yang mana konsep mereka mengenai sikap lebih kompleks, tidak hanya sekedar
reaksi perasaan semata. Menurut mereka sikap merupakan semacam kesiapan untuk
bereaksi terhadap suatu objek dengan cara tertentu. Azwar (1995:5) mendefinisikan
sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi
untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial. Sedangakan Sears, dkk 1985:17)
mengemukakan bahwa sikap adalah keadaan mental dan syaraf dari kesiapan, yang
diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau berarah terhadap
respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya. Hal serupa
diungkapkan oleh Gagne (dalam Azwar , 1995:6) bahwa sikap merupakan keadaan
kesiapan mental dan susunan syaraf, yang mempengaruhi atau yang dinamis terhadap
respon individu atas semua objek atau situasi yang berhubungan. Menurut Calhoun
(1990:315) sikap adalah sekelompok keyakinan dan perasaan yang melekat tentang
objek tertentu dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut dengan
cara tertentu. Sedangkan Thomas dan Znaniecki (dalam Ramdhani, 2009)
merumuskan sikap sebagai predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
perilaku tertentu.
Terkait dengan sikap masyarakat Mac Iver dan Page (dalam Dessy, 2010:4)
mengemukakan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara,
dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari
pengawasan tingkah laku serta kebebasan manusia. Keseluruhan yang sangat setuju
berubah disebut masyarakat.Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan
masyarakat sangat setuju berubah.Menurut Laodesyamri (2011:1) bahwa masyarakat
bukanlah hanya sekedar suatu penjumlahan individu semata, melainkan suatu sistem
yang dibentuk dari hubungan antar mereka, sehingga menampilkan suatu realita
tertentu yang mempunyai ciri-cirinya sendiri.
Dari pendapat tentang masyarakat ini menunjukkan bahwa masyarakat
merupakan suatu bentuk kerjasama antara kelompok maupun golongan yang saling
berinteraksi antara yang satu dengan yang lain. Terkait dengan sikap masyarakat
Suryanto (2009:2) mengemukakan bahwa sikap masyarakat merupakan predisposisi
atau kecenderungan untuk merespon sejumlah stimulus dengan sejumlah tertentu
yang dilakukan oleh masyarakat atas suatu stimulus yang diterimanya.
Dalam istilah kecenderungan, terkandung pengertian arah tindakan yang akan
dilakukan seseorang berkenaan dengan suatu objek (Djaali, 2008:115). Arah tersebut
dapat bersifat mendekati atau menjauhi suatu objek (orang, benda, ide, lingkungan,
dan lain-lain), dilandasi oleh perasaan penilaian individu yang bersangkutan terhadap
objek-objek tersebut. Misalnya, ia menyukai atau tidak menyukainya, menyenangi
atau tidak menyenanginya, menyetujui atau tidak menyetujuinya. Aiken (dalam
Ramdhani, 2009:1) mendefinisikan sikap sebagai predisposisi atau kecenderungan
yang dipelajari dari seorang individu untuk merespon secara positif atau negatif
dengan intensitas yang moderat dan atau memadai terhadap objek, situasi, konsep,
atau orang lain. Kelompok pemikiran ketiga adalah kelompok yang berorientasi pada
skema triadik. Menurut kerangka pemikiran ini, sikap merupakan konstelasi
komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi satu sama
lain dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek (Azwar,
1995:5). Sesuai dengan pendapat (Ramdhani, 2009:1) mengemukakan bahwa sikap
dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi terhadap objek sikap, yang diekspresikan ke
dalam proses-proses kognitif, afektif, dan perilaku. Sebagai hasil evaluasi, Ramdhani,
2009:1) mendefiniskan sikap sebagai suatu kesimpulan dari berbagai pengamatan
terhadap objek yang diekspresikan dalam bentuk respon kognitif, afektif, dan perilaku
individu.
Menurut Rosenberg & Hovland (dalam Suryanto, 2009:4) bahwa sikap itu
merupakan predisposisi untuk merespon sejumlah stimulus dengan sejumlah tertentu.
Ketiga respon tersebut antara lain afektif perasaan evaluative, kognitif dan
behavioral atau konasi pernyataan tentang kecenderungan. Sikap menurut pandangan
ini bukanlah konstruk yang menggambarkan hubungan antara stimulus-respon.Sikap
bukan pula merupakan interpretasi individu tentang stimulus yang dialami.Sikap
lebih dipandang sebagai situasi yang ambigius dalam ikatan antara akibat dan
penyebab dari suatu peristiwa yang observabel.Bagian yang paling ambigius dalam
siagram itu adalah tanda panah antara sikap dengan tiga unsurnya. Karena dalam
diagram itu sikap dapat menyebabkan afektif, kognitif, dan konasi tertentu. Dan
antara ketiganya dipisahkan satu per satu.
Sikap terhadap objek, gagasan atau orang tertentu merupakan orientasi yang
bersifat menetap dengan komponen-komponen kognitif, afektif, dan perilaku
(Sears,kk, 1985:138). Komponen kognitif terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki
seseorang mengenai objek sikap tertentu―fakta, pengetahuan dan keyakinan tentang
objek.Komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap
objek, terutama peniaian. Komponen perilaku terdiri dari kesiapan seseorang untuk
bereaksi atau kecenderungan untuk bertindak terhadap objek (Sears, dkk1985:138).
Para pakar psikologi sosial sangat setuju mengkaji sikap sebagai komponen dari
sistem yang terdiri atas tiga bagian atau disebut juga skema triadik yaitu; keyakinan
mencerminkan komponen kognitif, sikap merupakan komponen afektif, dan tindakan
mencerminkan komponen perilaku .
Menurut Azwar (1995:6) selain pembagian kerangka di atas, ada dua
pendekatan baru dalam mendefinisikan sikap yang dikembangkan oleh para psikologi
sosial mutakhir.
Pendekatan yang pertama adalah yang memandang sikap sebagai kombinasi
reaksi kognitif, afektif, dan perilaku terhadap suatu objek.Ketiga komponen ini secara
bersama-sama mengorganisasikan sikap individu.Pendekatan kedua timbul
dikarenakan adanya ketidakpuasan atas penjelasan mengenai inkonsistensi yang
terjadi antara ketiga komponen kognisi, afeksi, dan konasi dalam membentuk
sikap.Pengikut pendekatan ini memandang perlu untuk membatasi konsep sikap
hanya pada aspek afektif saja. Definisi yang mereka ajukan mengatakan bahwa sikap
tidak lain adalah penilaian (afek) positif atau negatif terhadap suatu objek.
Berdasarkan uraian secara keseluruhan jelas menunjukkan bahwa sikap
masyarakat dapat diartikan sebagai kecenderungan yang dilakukan oleh masyarakat
untuk melakukan aksi atau respons terhadap rangsangan yang diterima. Stimulus
tersebut dilakukan secara berkelompok yang merupakan gambaran dari pernyataan
jiwa yang sama dalam rangka merespons suatu kejadian yang dialaminya.
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap berjudi
Sikap bermain judi yang ditunjukkan sekelompok orang merupakan
manifestasi dari sikap menyimpang yang bermaksud untuk mengambil keuntungan
dengan menggunakan modal kecil. Sikap berjudi memiliki banyak efek samping yang
merugikan bagi si penjudi maupun keluarganya mungkin sudah sangat banyak
disadari oleh para penjudi.Anehnya tetap saja mereka menjadi sulit untuk
meninggalkan sikap berjudi jika sudah terlanjur mencobanya. Papu (2002:2)
mengemukakan bahwa dari berbagai hasil penelitian lintas budaya yang telah
dilakukan para ahli diperoleh 5 (lima) faktor yang amat berpengaruh dalam
memberikan kontribusi pada sikap berjudi. Kelima faktor tersebut adalah:
1) Faktor Ekonomi
Bagi masyarakat dengan status sosial dan ekonomi yang rendah perjudian
seringkali dianggap sebagai suatu sarana untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Tidaklah mengherankan jika pada masa undian SDSB di Indonesia zaman orde baru
yang lalu, peminatnya justru lebih banyak dari kalangan masyarakat ekonomi rendah
seperti tukang becak, buruh, atau pedagang kaki lima. Dengan modal yang sangat
kecil mereka berharap mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya atau menjadi
kaya dalam sekejab tanpa usaha yang besar.Selain itu kondisi sosial masyarakat yang
menerima sikap berjudi juga berperan besar terhadap tumbuhnya sikap tersebut dalam
komunitas.
2) Faktor Situasional
Situasi yang bisa dikategorikan sebagai pemicu sikap berjudi, diantaranya
adalah tekanan dari teman-teman atau kelompok atau lingkungan untuk berpartisipasi
dalam perjudian dan metode-metode pemasaran yang dilakukan oleh pengelola
perjudian. Tekanan kelompok membuat sang calon penjudi merasa tidak enak jika
tidak menuruti apa yang diinginkan oleh kelompoknya. Sementara metode pemasaran
yang dilakukan oleh para pengelola perjudian dengan selalu mengekspose para
penjudi yang berhasil menang memberikan kesan kepada calon penjudi bahwa
kemenangan dalam perjudian adalah suatu yang biasa, mudah dan dapat terjadi pada
siapa saja (padahal kenyataannya kemungkinan menang sangatlah kecil). Peran media
massa seperti televisi dan film yang menonjolkan keahlian para penjudi yang "seolah-
olah" dapat mengubah setiap peluang menjadi kemenangan atau mengagung-
agungkan sosok sang penjudi, telah ikut pula mempengaruhi individu untuk mencoba
permainan judi.
3) Faktor Belajar
Sangatlah masuk akal jika faktor belajar memiliki efek yang besar terhadap
sikap berjudi, terutama menyangkut keinginan untuk terus berjudi.Apa yang pernah
dipelajari dan menghasilkan sesuatu yang menyenangkan akan terus tersimpan dalam
pikiran seseorang dan sewaktu-waktu ingin diulangi lagi. Inilah yang dalam teori
belajar disebut sebagai Reinforcement Theory yang mengatakan bahwa sikap tertentu
akan cenderung diperkuat/diulangi bilamana diikuti oleh pemberian hadiah/sesuatu
yang menyenangkan.
4) Faktor Persepsi tentang Probabilitas Kemenangan
Persepsi yang dimaksudkan disini adalah persepsi pelaku dalam membuat
evaluasi terhadap peluang menang yang akan diperolehnya jika ia melakukan
perjudian. Para penjudi yang sulit meninggalkan perjudian biasanya cenderung
memiliki persepsi yang keliru tentang kemungkinan untuk menang. Mereka pada
umumnya merasa sangat yakin akan kemenangan yang akan diperolehnya, meski
pada kenyataannya peluang tersebut amatlah kecil karena keyakinan yang ada
hanyalah suatu ilusi yang diperoleh dari evaluasi peluang berdasarkan sesuatu situasi
atau kejadian yang tidak menentu dan sangat subyektif. Dalam benak mereka selalu
tertanam pikiran: "kalau sekarang belum menang pasti di kesempatan berikutnya akan
menang, begitu seterusnya".
5) Faktor Persepsi terhadap Ketrampilan
Penjudi yang merasa dirinya sangat trampil dalam salah satu atau beberapa
jenis permainan judi akan cenderung menganggap bahwa keberhasilan/kemenangan
dalam permainan judi adalah karena ketrampilan yang dimilikinya. Mereka menilai
ketrampilan yang dimiliki akan membuat mereka mampu mengendalikan berbagai
situasi untuk mencapai kemenangan (illusion of control). Mereka seringkali tidak
dapat membedakan mana kemenangan yang diperoleh karena ketrampilan dan mana
yang hanya kebetulan semata. Bagi mereka kekalahan dalam perjudian tidak pernah
dihitung sebagai kekalahan tetapi dianggap sebagai "hampir menang", sehingga
mereka terus memburu kemenangan yang menurut mereka pasti akan didapatkan.
Berdasarkan uraian di atas jelas menunjukkan bahwa terdapat bahwaada
beberapa faktor yang menentukan pembentukan sikap judi yang kompulsif.Faktor
pertama adalah pengalaman yang didapat oleh seseorang pada saat dia pertama kali
mencoba berjudi, hal ini sangat menentukan karena seseorang yang menang pada saat
pertama kali dia berjudi memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan
judi kembali dibanding dengan orang yang kalah pada saat pertama kali dia mencoba
berjudi.
Faktor kedua adalah adanya keyakinan bahwa sikap berjudi yang
dilakukannya bukan hal yang untung-untungan namun merupakan suatu tindakan
yang berani mengambil resiko. Selain itu, adanya keyakinan bahwa suatu saat
keberuntungan akan berubah sehingga dia akan terus berjudi karena dia memiliki
keyakinan suatu saat nanti akan memperoleh kemenangan yang besar dan dapat
membayar apa yang telah dihabiskan sebelumnya.
Faktor ketiga adalah faktor budaya dan lingkungan sosial yaitu keberadaan
sanksi sosial yang akan mengendalikan sikap berjudi sudah tidak lagi berfungsi
secara baik, dimana masyarakat tidak memberikan perhatian dan tidak berupaya
untuk mencegah dan menghentikan perjudian melainkan masyarakat bersikap acuh
tak acuh dan seakan akan tidak peduli terhadap praktek perjudian yang nyata-nyata
ada di depan mata mereka, bahkan berpngan bahwa mereka tidak berkepentingan
untuk mengurusi perjudian. Hal lainnya meliputi aparat penegak hukum yang tidak
menerapkan sanksi hukum secara tegas terhadap para pelaku perjudian sehingga
menjadikan mereka lebih berani untuk kembali berjudi.
Selain dua hal di atas, faktor sosial lain yang mendukung semakin
berkembang dan semakin maraknya praktek perjudian di masyarakat kita yaitu
banyaknya orang yang memiliki waktu luang ataupun orang yang tidak bekerja
(pengangguran) karena dengan berjudi membantu mereka menghabiskan waktu
luangnya dan biasanya diawali dengan taruhan pada hal-hal yang sederhana, misalnya
bertaruh angka plat nomor kendaraan yang lewat. Hal seperti itu jika dilakukan secara
berulang-ulang dan berkelanjutan, tanpa mereka sadari lambat laun akan berkembang
menjadi sikap berjudi yang kompulsif. Secara logis, lebih besar kerugian dari pada
keuntungan sikap berjudi.
Papu (2002:4) mengemukakan bahwa dalam menyikapi sikap berjudi dalam
kehidupan sehari-hari, ada beberapa hal yang mungkin perlu diperhatikan oleh
masyarakat yang berada di lingkungan perjudian adalah sebagai berikut:
1) Mengingat bahwa perjudian amat sulit untuk diberantas, maka hal pertama yang
perlu diperhatikan untuk melindungi anggota keluarga agar tidak terlibat dalam
perjudian adalah melalui penanaman nilai-nilai luhur di mulai dari keluarga,
selaku komunitas terkecil dalam masyarakat. Kalau orangtua dapat menanamkan
nilai-nilai luhur pada anak-anak sejak usia dini maka anak akan memiliki kontrol
diri dan kontrol sosial yang kuat dalam kehidupannya, sehingga mampu memilih
alternatif terbaik yang berguna bagi dirinya dan masyarakat di sekitarnya.
Penanaman nilai-nilai bukan hanya sekedar dilakukan dengan kata-kata tetapi
juga lebih penting lagi melalui keteladanan dari orangtua.
2) Mengingat pula bahwa sikap berjudi sangat erat kaitannya dengan pola pikir
seseorang dalam memilih suatu alternatif, maka sangatlah perlu bagi orangtua,
pendidik dan para alim ulama untuk mengajarkan pola pikir rasional. Pola pikir
rasional yang dimaksudkan adalah mengajarkan seseorang untuk melihat segala
sesuatu dari berbagai segi, sebelum memutuskan untuk menerima atau menolak
alternatif yang ditawarkan. Dengan memiliki kemampuan berpikir rasional
seseorang tidak akan dengan mudah untuk mengambil jalan pintas.
3) Bagi yang merasa sudah sangat sulit untuk meninggalkan sikap berjudi,
sebaiknya tidak segan-segan atau malu untuk meminta bantuan orang-orang
professional seperti psikiater, psikolog, konselor atau terapist. Bekerjasamalah
dengan mereka untuk melepaskan diri dari masalah perjudian.
4) Jika memang tidak memiliki pengendalian diri yang tinggi maka jangan sekali-
kali mencoba untuk berjudi, sekalipun itu hanya sikap berjudi tingkat pertama.
Jangan pula menjadikan judi sebagai pelarian dari berbagai masalah kehidupan
sehari-hari. Jika memang memiliki masalah mintalah bantuan pada orang-orang
professional, bukan pergi ke tempat-tempat perjudian.
5) Perkuat iman kepada Tuhan dan perbanyak kegiatan-kegiatan yang bersifat
religius. Dengan meningkatkan iman dan selalu mengingat ajaran agama masing-
masing maka kemungkinan untuk terlibat perjudian secara kompulsif akan
semakin kecil.
Berdasarkan uraian di atas jelas menunjukkan bahwa terdapat banyak faktor
yang berpengaruh dalam memberikan kontribusi sehingga munculnya sikap main
judi. Terkait dengan hal ini maka perlu antisipasi sehingga berbagai faktor yang
mempengaruhi sikap berjudi tersebut dapat diantisipasi sehingga tidak akan
membentuk sikap buruk gemar main judi.
2.2 Strategi Pembinaan Masyarakat Yang memiliki Sikap Bermain Judi
Pembinaan masyarakat yang memiliki sikap berjudi perlu dilakukan agar
masyarakat memiliki kesadaran untuk menghindari sikap berjudi. Iqbalmarisali
(2011:5) mengemukakan bahwa pembinaan masyarakat yang memiliki sikap berjudi
dapat dilakukan melalui 4 strategi sebagai berikut, persuasif, koersif, penciptaan
situasi yang dapat mengubah sikap dan sikap, dan penyampaian nilai norma dan
aturan secara berulang-ulang. Empat cara tersebut dapat diuraikan sebagai berikut
a. Persuasif, Cara ini dilakukan dengan penekanan pada usaha membimbing atau
mengajak berupa anjuran.
b. Koersif, Mestinya langkah ini ditempuh setelah langkah persuasif telah dilakukan.
Apabila dengan anjuran, bujukan tidak berhasil, tindakan dengan kekerasan bisa
dilakukan. Contoh polisi pamong praja, membongkar paksa lapak (termpat
berjualan) PKL yang menurut informasi masyarakat sering dialkukan tempat
perjudian. Aparat kepolisian melakukan pemeriksaan terhadap tempat-tempat
yang diduga melakukan praktek-praktek perjudian, menangkap bandar judi Togel
dan sabung ayam untuk kemudian diproses ditindak sesuai dengan hukum yang
berlaku. Tindakan seperti itu, bertujuan untuk menerapi pelaku agar merasakan
sanksi ketika bersikap menyimpang sehingga ada efek jera yang dirasakan,
diharapakan dengan efek tersebut pelaku akan sadar.
c. Penciptaan situasi yang dapat mengubah sikap dan sikap (kompulsif).
Pengendalian sosial sangat tepat bila dilakukan dengan menciptakan situasi dan
kondisi yang dapat mengubah sikap dan sikap seseorang. Misalnya, ketika para
penjudi melakukan perjudian sabung ayam tanpa mau mengindahkan ketentuan
pemerintah, pemerintah, penegak hukum (kepolisian), dan para tokoh agama
memberikan sosialisasi berupa himbauan-himbauan secara intensif berupa
implikasi negatif terhadap kehidupa individu dan keluarga, melalui media-media
efektif seperti radio atau tempat yang efektif (misalnya; balai desa, tempat ibadah,
atau datangi rumah warga).
d. Penyampaian Nilai, Norma dan Aturan Secara Berfulang-ulang (vervasi).
Pengendalian sosial juga dapat dilakukan dengan cara penyampaian nilai, norma,
aturan secara berulang-ulang. Penyampaian inii bisa dengan cara ceramah
maupun dengan dibuatkannya papan informasi mengenai aturan, nilai dan norma
yang berlaku. Dengan cara demikian diharapkan nilai, norma dan aturan dipahami
dan melekat pada diri individu anggota masyarakat.
Secara psikologis, seseorang yang kecanduan untuk berjudi biasanya telah
menyadari bahwa frekuensi kekalahannya lebih banyak jika dibandingkan dengan
frekuensi dia menang, namun demikian ia tetap saja berjudi. Dia memiliki pngan
bahwa dirinya bukan orang yang menggantungkan diri pada keberuntungan namun
dirinya adalah orang yang mencari tantangan dan berani mengambil resiko, selain itu
seorang yang sudah kecanduan berjudi cenderung untuk percaya pada hal-hal yang
bersifat mistis dan pikirannya terjebak dalam pemikiran yang berbau takhayul dan
irasional.
Dalam hal kesejahteraan ekonomi, tentu saja seseorang yang kecanduan
berjudi memiliki permasalahan menyangkut keuangan karena besarnya uang yang
telah dihabiskan oleh kekalahannya tidak sebanding dengan uang yang dia peroleh
dari hasil kemenangannya.Sikap berjudi yang kompulsif atau sikap berjudi yang
sudah tergolong penyakit merupakan suatu sikap hasil belajar dan sulit untuk
dihilangkan. Pengertian sikap hasil belajar disini yaitu bahwa sikap berjudi tersebut
terbentuk melalui suatu proses yang berkelanjutan dimulai dari sikap berjudi coba-
coba menjadi judi yang sudah berupa suatu kebiasaan (habit), apabila sikap berjudi
telah menjadi suatu kebiasaan maka akan sulit untuk dirubah atau dihilangkan.
Haryadi (2011:1) mengemukakan bahwa dalam penanggulangan judi ini,
disamping upaya represif dari aparat penegak hukum.Upaya preventif dari
pemerintah daerah dan masyarakat juga sangat berperan penting.Pemda melalui
instansi terkait dan tokoh agama dan tokoh masyarakat harus terus melakukan
sosialisasi bahaya judi dan dampak sosial serta hukumnya.Masyarakat dan perangkat
pemerintah sampai ke tingkat RT harus aktif dalam pencegahan terjadinya praktek
judi dilingkungannya.Apabila sudah ada yang mulai menjual togel misalnya, maka
segera dilakukan pendekatan untuk menghentikannya, jika tidak mau laporkan segera
keaparat penegak hukum. Adanya sinergi antara pemerintah daerah, aparat penegak
hukum dan masyarakat akan lebih mengefektifkan pemberantasan judi
Iqbalmarisali (2011:6) Metode lain yang dapat dilakukakan, untuk
mengendalikan dan mencegah penyakit atau penyimpangan sosial, maka bentuk-
bentuk pengendalian sosial dapat dilakukan melalui cara-cara; menolak sikap
tersebut, teguran, pendidikan, agama, pengucilan, dan meminta pihak lain
menanganinya.
a) Menolak. Seseorang yang melanggar nilai, norma dan aturan mendapat cemoohan
atau ejekan dari masyarakatnya, sehingga ia malu, sungkan, dan akhirnya
meninggalkan sikapnya.
b) Teguran. Orang yang melanggar nilai, norma dan aturan diberikan teguran,
nasehat agar tidak melakukan perbuatan yang melanggar nilai, norma dan aturan.
c) Pendidikan. Melalui pendidikan seorang individu akan belajar nilai, norma dan
aturan yang berlaku. Dengan demikian ia dituntun dan dibimbing untuk
bersikapsesuai dengan nilai, norma dan aturan yang berlaku. Pendidikan ini bisa
dilakukan di lingkungan keluarga, masyarakat maupun sekolah.
d) Agama. Agama memiliki peran yang sangat besar dalam pengendalian sosial.
Orang yang memiliki agama akan memahami bahwa melanggar nilai, norma dan
aturan di samping ada hukuman di dunia juga ada hukuman di akherat. Dengan
pemahaman ini maka, individu akan terkendali untuk tidak melanggar nilai,
norma dan aturan yang berlaku.
Haryadi (2011:1) mengemukakan bahwa pembinaan masyarakat yang
memiliki sikap berjudi dapat juga dilakukan dengan melibakantokoh masyarakat
terkait yangdapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Sosialisasi tentang bahaya judi
2) Melakukan pembinaan kepada generasi muda melalui organisasi kemasyarakatan
dan kepemudaan tentang perlunya menghindari sikap main judi
3) Melakukan kerjasama dengan penegak hukum untuk menertibkan lokasi
perjudian dan para pemainnya
4) Melakukankegiatan dakwah dan pengajian dengan melibatkan seluruh masyarakat
untuk membangun dan meningkatkan kesadaran tentang bahaya judi dalam
kehidupan.
Berbagai peran di atas dapat hendaknya dapat diwujudkan sebagai manifestasi
dari peran tokoh masyarakat untuk mengatasi masalah perjudian.
2.3 Kajian Penelitian yang Relevan