BAB II KAJIAN TEORETIS 2.1 Hakikat Perjudian 2.1.1...

24
BAB II KAJIAN TEORETIS 2.1 Hakikat Perjudian 2.1.1 Pengertian Perjudian Judi adalah salah satu penyakit jiwa manusia yang terbilang tua, dan sampai sekarang permainan ini semakin canggih.Fakta menunjukan bahwa perjudian sudah ada sejak zaman purbakala, sudah dikenal dan digemari.Artikolog menemukan lukisan-lukisan di guci (vas), dan didinding goa yang melukiskan ‘dewa-dewa’ sedang bermain judi (taruhan) dengan alat tulang domba atau anjing. Dan kenyataan itu didapati usia lukisan dinding itu berumur 40 ribu tahun, dan judi dengan alat tulang, lebih tua dari dadu, karena usia dadu baru 3000 tahun sebelum Masehi. bahkan suku di Arab sampai sekarang masih ada yang memainkan judi dengan peralatan dari tulang. Sutiyoso (2008:1) mengemukakan bahwa pada hakekatnya perjudian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Meskipun demikian, berbagai macam dan bentuk perjudian dewasa ini sudah demikian merebak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Papu (2002:1) mengemukakan bahwa perjudian (gambling) dalam kamus Webster didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang melibatkan elemen risiko.Dan risiko didefinisikan sebagai kemungkinan terjadinya suatu kerugian.Carson & 6

Transcript of BAB II KAJIAN TEORETIS 2.1 Hakikat Perjudian 2.1.1...

BAB II

KAJIAN TEORETIS

2.1 Hakikat Perjudian

2.1.1 Pengertian Perjudian

Judi adalah salah satu penyakit jiwa manusia yang terbilang tua, dan sampai

sekarang permainan ini semakin canggih.Fakta menunjukan bahwa perjudian sudah

ada sejak zaman purbakala, sudah dikenal dan digemari.Artikolog menemukan

lukisan-lukisan di guci (vas), dan didinding goa yang melukiskan ‘dewa-dewa’

sedang bermain judi (taruhan) dengan alat tulang domba atau anjing. Dan kenyataan

itu didapati usia lukisan dinding itu berumur 40 ribu tahun, dan judi dengan alat

tulang, lebih tua dari dadu, karena usia dadu baru 3000 tahun sebelum Masehi.

bahkan suku di Arab sampai sekarang masih ada yang memainkan judi dengan

peralatan dari tulang.

Sutiyoso (2008:1) mengemukakan bahwa pada hakekatnya perjudian

merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan

maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat,

bangsa dan negara. Meskipun demikian, berbagai macam dan bentuk perjudian

dewasa ini sudah demikian merebak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik

yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi.

Papu (2002:1) mengemukakan bahwa perjudian (gambling) dalam kamus

Webster didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang melibatkan elemen risiko.Dan

risiko didefinisikan sebagai kemungkinan terjadinya suatu kerugian.Carson & 6

Butcher (dalam Papu, 2002:1), mendefinisikan perjudian sebagai memasang taruhan

atas suatu permainan atau kejadian tertentu dengan harapan memperoleh suatu hasil

atau keuntungan yang besar.Apa yang dipertaruhkan dapat saja berupa uang, barang

berharga, makanan, dan lain-lain yang dianggap memiliki nilai tinggi dalam suatu

komunitas.

Definisi serupa dikemukakan oleh Lea, dkk (dalam Papu (2002:1)bahwa

perjudian tidak lain dan tidak bukan adalah suatu kondisi dimana terdapat potensi

kehilangan sesuatu yang berharga atau segala hal yang mengandung risiko. Namun

demikian, perbuatan mengambil risiko dalam sikap berjudi, perlu dibedakan

pengertiannya dari perbuatan lain yang juga mengandung risiko. Ketiga unsur

dibawah ini dapat menjadi faktor yang membedakan sikap berjudi dengan sikaplain

yang juga mengandung risiko:

a) Perjudian adalah suatu kegiatan sosial yang melibatkan sejumlah uang (atau

sesuatu yang berharga) dimana pemenang memperoleh uang dari yang kalah.

b) Risiko yang diambil bergantung pada kejadian-kejadian dimasa mendatang,

dengan hasil yang tidak diketahui, dan banyak ditentukan oleh hal-hal yang

bersifat kebetulan/keberuntungan.

c) Risiko yang diambil bukanlah suatu yang harus dilakukan;

kekalahan/kehilangan dapat dihindari dengan tidak ambil bagian dalam

permainan judi.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perjudian adalah sikap yang

melibatkan adanya risiko kehilangan sesuatu yang berharga dan melibatkan interaksi

sosial serta adanya unsur kebebasan untuk memilih apakah akan mengambil risiko

kehilangan tersebut atau tidak.Dalam konteks ini perjudian merupakan salah satu

sikap buruk yang dapat merugikan manusia.

2.1.2 Macam-Macam Tipe Penjudi

Penjudi memiliki beberapa tipe. Terkait dengan hal iniEdukasi (2009:1)

mengemukakan bahwa penjudi memiliki beberapa tipe sebagai berikut:

1) Penjudi rekreasi. pemain ini datang untuk kesenangan dan bukan hanya untuk

main. Plesir, kegemparan dan sekali kali menang dan dia merasa senang.

Kerugian mudah dikontrol makanya mainnya hanya bersifat iseng saja. Pemain

tipe ini, tahu waktu dan kapasitas uang yang akan dimainkan. Bilamana kelebihan

mengeluarkan uang tidak ada akibat dengan struktural keuangan. Tipe pemain

judi ini, melihat hanya sebagai bentuk hiburan. Umumnya orang pemain rekreatif.

2) Penjudi yang problem. pemain ini melihat tidak lagi sebagai hiburan. Dia melihat

berjudi sebagai tempat pelarian dari problem hidupnya. Bisa karena kesepian,

marah pada pasangan, lingkungan kerja atau menyalahkan nasib diri. Maka

permaiannya tidak terkendali, lebih dikendalikan oleh perasaannya.

Keseimbangan antara waktu mereka pakai untuk main dan untuk kehidupan yang

lain jadi kacau. Mereka banyak membuang waktu dan uang untuk judi dan

semakin tidak terkendali dan merusak kejiwaannya.

3) Penjudi ketagihan. beberapa pemain hilang kontrol dengan diri sendiri. Mereka

sudah jadi ketagihan. Mereka sudah tergantung dengan main judi, pikiran di judi

terus. Direk atau indirek. Utang besar, problem di rumah tangga, biar di tempat

kerja kan mencari jalan untuk bisa main, apalagi sekarang dengan perjudian lewat

internet, untuk mereka menjadi lebih gampang. Mendapat pengeluhan psikis dan

fisik. Orang-orang yang ketagihan hilang dia punya kesadaran nilai uang. Mereka

hanya melihat apa yang mereka menang tetapi yang kalah tidak dipikirkan.

Spaning dengan main judi, orang yang sudah ketagihan, sama dengan orang

keadaan mabuk dengan minuman. Selama dia main judi, dia lupa semuanya,

inklusif dengan akibat judinya.

4) Penjudi Patalogis, adalah pemain judi yang sudah termasuk sakit jiwa, ini mirip

dengan pemain ketagihan diatas, tetapi lebih parah karena dia akan stres berat jika

tidak melampiaskan keinginannya untuk berjudi, dia akan melakukan segala cara

berbohong atau menipu untuk berhutang dan mempertaruhkan hartanya, bahkan

keluarganya (biasanya pasangannya) untuk memenuhi keinginannya berjudi.

Inilah tipe penjudi yang harus diterapi dan survey menunjukan data 10% dari

penjudi adalah penderita judi patalogis ini.

5) Penjudi profesional, kelas ini merupakan pemain yang benar-benar terkontrol jiwa

maupun pengeluaran unagnnya. mereka melihat main judi sebagai bisnis, kerja

dan rugi sebagai risiko perusahaan.

Papu (2002:3) mengemukakan bahwa pada dasarnya ada tiga tingkatan atau

tipe penjudi, yaitu:

a) Social Gambler

Penjudi tingkat pertama adalah para penjudi yang masuk dalam kategori

"normal" atau seringkali disebut social gambler, yaitu penjudi yang sekali-sekali

pernah ikut membeli lottery (kupon undian), bertaruh dalam pacuan kuda, bertaruh

dalam pertandingan bola, permainan kartu atau yang lainnya.Penjudi tipe ini pada

umumnya tidak memiliki efek yang negatif terhadap diri maupun komunitasnya,

karena mereka pada umumnya masih dapat mengontrol dorongan-dorongan yang ada

dalam dirinya.Perjudian bagi mereka dianggap sebagai pengisi waktu atau hiburan

semata dan tidak mempertaruhkan sebagian besar pendapatan mereka ke dalam

perjudian.Keterlibatan mereka dalam perjudian pun seringkali karena ingin

bersosialisasi dengan teman atau keluarga.Di negara-negara dimana praktek perjudian

tidak dilarang dan masyarakat terbuka terhadap suatu penelitian seperti di USA,

jumlah populasi penjudi tingkat pertama ini diperkirakan mencapai lebih dari 90%

dari orang dewasa.

b) Problem Gambler

Penjudi tingkat kedua disebut sebagai penjudi "bermasalah" atau problem

gambler, yaitu sikap berjudi yang dapat menyebabkan terganggunya kehidupan

pribadi, keluarga maupun karir, meskipun belum ada indikasi bahwa mereka

mengalami suatu gangguan kejiwaan (National Council on Problem Gambling USA,

1997). Para penjudi jenis ini seringkali melakukan perjudian sebagai cara untuk

melarikan diri dari berbagai masalah kehidupan. Penjudi bermasalah ini sebenarnya

sangat berpotensi untuk masuk ke dalam tingkatan penjudi yang paling tinggi yang

disebut penjudi pathologis jika tidak segera disadari dan diambil tindakan terhadap

masalah-masalah yang sebenarnya sedang dihadapi. Menurut penelitian Shaffer, Hall,

dan Vanderbilt (1999) yang dimuat dalam American Journal of Public Health, No.

89, ada 3,9% orang dewasa di Amerika Bagian Utara yang termasuk dalam kategori

penjudi tingkat kedua ini dan 5% dari jumlah tersebut akhirnya menjadi penjudi

patologis.

c) Pathological Gambler

Penjudi tingkat ketiga disebut sebagai penjudi "pathologis" atau pathological

gambler atau compulsive gambler.Ciri-ciri penjudi tipe ini adalah

ketidakmampuannya melepaskan diri dari dorongan-dorongan untuk berjudi.Mereka

sangat terobsesi untuk berjudi dan secara terus-menerus terjadi peningkatan frekuensi

berjudi dan jumlah taruhan tanpa dapat mempertimbangkan akibat-akibat negatif

yang ditimbulkan oleh sikap tersebut, baik terhadap dirinya sendiri, keluarga, karir,

hubungan sosial atau lingkungan disekitarnya.

2.1.3 HakikatSikap

Sikap merupakan salah satu gejala yang ditunjukkan dan sebagai manifestasi

pernyataan sikap. Hanurawan (2010:64) mengemukakan bahwa sikap adalah

tendensi untuk bereaksi dalam tata cara suka atau tidak suka terhadap suatu objek.

Sikap merupakan emosi atau afek yang diarahkan oleh seseorang kepada orang lain,

benda, atau peristiwa sebagai objek atau sasaran sikap. Pendapat ini menunjukkan

bahwa sikap melibatkan kecenderungan respons yang bersifat prefensial. Dimana

sikap seseorang akan memiliki implikasi terhadap puas atau tidak puas, positif atau

negative, suka atau tida suka terhadap suatu objek

Azwar (1995:1) mengemukakan bahwa sikap dapat diekspresikan dengan

berbagai cara, dengan kata-kata yang berbeda. Sejak akhir tahun 1920 dan awal tahun

1930 metode-metode-pengukuran tingkah laku telah berkembang dan digunakan

sampai sekarang, dan beberapa metode baru telah diciptakan.

Sikap dapat didefinisikan dalam banyak versi. Fishbein dan Ajzen (dalam

Faturrochman, 2009:43) mengemukakan bahwa sikap adalah organisasi yang relative

menetap dari perasaan-perasaan, keyakinan-keyakinan dan kecenderungan perilaku

terhadap orang lain, kelompok, ide-ide atau objek-objek tertentu.

Gerungan (dalam Herlito, 2011:1) mengemukakan bahwa Attitude itu dapat

kita terjemahkan dengan sikap yang objektif tertentu, yang dapat merupakan sikap

pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut di sertai sikap kecenderungan

untuk bertindak sesuai dengan sikap objektif tadi itu. Jadi Attitude itu dapat di

terjemahkan sebagai sikap dan kesediaan bereaksi tehadap suatu hal.Dari pengertian

di atas dapat dikatakan bahwa sikap mengandung beberapa komponen pokok yaitu

komponen kognitif (sikap pandangan), komponen afektif (sikap perasaan) dan

komponen konatif (kecenderungan untuk bertindak).

Sejalan dengan pendapat di atas, Sukardi (dalam Herlito, 2011:1)

menambahkan bahwa Sikap adalah suatu kesiapan seseorang untuk bertindak secara

tertentu terhadap hal-hal tertentu, dengan perkataan lain, sikap merupakan

kecendeerungan yang relatif stabil yang dimiliki individu dalam mereaksi dirinya

sendiri, orang lain atau situasi tertentu

Terkait dengan pengertian masyarakat Majid (2008:1) mengemukakan bahwa

masyarakat adalah sejumlah manusia yang merupakan satu kesatuan golongan yang

berhubungan tetap dan mempunyai kepentingan yang sama.Seperti; sekolah,

keluarga, perkumpulan, Negara semua adalah masyarakat. Unsur-unsur suatu

masyarakat : a) harus ada perkumpulan manusia dan harus banyak, b) telah bertempat

tinggal dalam waktu lama di suatu daerah tertentu, c) adanya aturan atau undang-

undang yang mengatur masyarakat untuk menuju kepada kepentingan dan tujuan

bersama.

Pendapat ini menunjukkan bahwa masyarakat merupakan kumpulan manusia

yang memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lain, memiliki aturan serta

telah bertempat tinggal dalam waktu lama di suatu daerah tertentu.

Berdasarkan uraian di atas maka sikap masyarakat dapat diartikan sebagai

pandangan atau sikap perasaan dalam bentuk keyakinan-keyakinan dan

kecenderungan perilaku yang menunjukkan pernyataan jiwa atas suatu fenomena

yang dihadapinya.

Menurut Azwar (1995:1) sikap dapat dikategorikan ke dalam tiga orientasi

pemikiran, yaitu: yang berorientasi pada respon, yang berorientasi pada kesiapan

respon, dan yang berorientasi pada skema triadic.

Sikap manusia telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli

psikologi terkemuka.(Azwar, 1995:4) menemukan adanya lebih dari tigapuluh

definisi sikap.Puluhan definisi ini pada umumnya dapat dimasukkan ke dalam salah-

satu diantara tiga kerangka pemikiran.

Kelompok pemikiran yang pertama diwakili oleh Louis Thurstone, Rensis

Likert, dan Carles Osgood.Mereka mendefiniskan sikap sebagai suatu bentuk evaluasi

atau reaksi perasaan (Azwar, 1995:4).Secara lebih spesifik, Thurstone (dalam Azwar,

1995:5) memformulasikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif

terhadap suatu objek psikologis. Pendapat serupa diungkapkan oleh ahli psikologi

lain seperti Berkowitz. Berkowitz (dalam Azwar, 1995:5) mengatakan bahwa sikap

seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun

perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek tersebut.

Kelompok pemikiran kedua diwakili oleh para ahli psikologi sosial dan

psikologi kepribadian seperti Chave, Bogardus, LaPiere, Mead, dan Gordon Alport,

yang mana konsep mereka mengenai sikap lebih kompleks, tidak hanya sekedar

reaksi perasaan semata. Menurut mereka sikap merupakan semacam kesiapan untuk

bereaksi terhadap suatu objek dengan cara tertentu. Azwar (1995:5) mendefinisikan

sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi

untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial. Sedangakan Sears, dkk 1985:17)

mengemukakan bahwa sikap adalah keadaan mental dan syaraf dari kesiapan, yang

diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau berarah terhadap

respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya. Hal serupa

diungkapkan oleh Gagne (dalam Azwar , 1995:6) bahwa sikap merupakan keadaan

kesiapan mental dan susunan syaraf, yang mempengaruhi atau yang dinamis terhadap

respon individu atas semua objek atau situasi yang berhubungan. Menurut Calhoun

(1990:315) sikap adalah sekelompok keyakinan dan perasaan yang melekat tentang

objek tertentu dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut dengan

cara tertentu. Sedangkan Thomas dan Znaniecki (dalam Ramdhani, 2009)

merumuskan sikap sebagai predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu

perilaku tertentu.

Terkait dengan sikap masyarakat Mac Iver dan Page (dalam Dessy, 2010:4)

mengemukakan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara,

dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari

pengawasan tingkah laku serta kebebasan manusia. Keseluruhan yang sangat setuju

berubah disebut masyarakat.Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan

masyarakat sangat setuju berubah.Menurut Laodesyamri (2011:1) bahwa masyarakat

bukanlah hanya sekedar suatu penjumlahan individu semata, melainkan suatu sistem

yang dibentuk dari hubungan antar mereka, sehingga menampilkan suatu realita

tertentu yang mempunyai ciri-cirinya sendiri.

Dari pendapat tentang masyarakat ini menunjukkan bahwa masyarakat

merupakan suatu bentuk kerjasama antara kelompok maupun golongan yang saling

berinteraksi antara yang satu dengan yang lain. Terkait dengan sikap masyarakat

Suryanto (2009:2) mengemukakan bahwa sikap masyarakat merupakan predisposisi

atau kecenderungan untuk merespon sejumlah stimulus dengan sejumlah tertentu

yang dilakukan oleh masyarakat atas suatu stimulus yang diterimanya.

Dalam istilah kecenderungan, terkandung pengertian arah tindakan yang akan

dilakukan seseorang berkenaan dengan suatu objek (Djaali, 2008:115). Arah tersebut

dapat bersifat mendekati atau menjauhi suatu objek (orang, benda, ide, lingkungan,

dan lain-lain), dilandasi oleh perasaan penilaian individu yang bersangkutan terhadap

objek-objek tersebut. Misalnya, ia menyukai atau tidak menyukainya, menyenangi

atau tidak menyenanginya, menyetujui atau tidak menyetujuinya. Aiken (dalam

Ramdhani, 2009:1) mendefinisikan sikap sebagai predisposisi atau kecenderungan

yang dipelajari dari seorang individu untuk merespon secara positif atau negatif

dengan intensitas yang moderat dan atau memadai terhadap objek, situasi, konsep,

atau orang lain. Kelompok pemikiran ketiga adalah kelompok yang berorientasi pada

skema triadik. Menurut kerangka pemikiran ini, sikap merupakan konstelasi

komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi satu sama

lain dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek (Azwar,

1995:5). Sesuai dengan pendapat (Ramdhani, 2009:1) mengemukakan bahwa sikap

dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi terhadap objek sikap, yang diekspresikan ke

dalam proses-proses kognitif, afektif, dan perilaku. Sebagai hasil evaluasi, Ramdhani,

2009:1) mendefiniskan sikap sebagai suatu kesimpulan dari berbagai pengamatan

terhadap objek yang diekspresikan dalam bentuk respon kognitif, afektif, dan perilaku

individu.

Menurut Rosenberg & Hovland (dalam Suryanto, 2009:4) bahwa sikap itu

merupakan predisposisi untuk merespon sejumlah stimulus dengan sejumlah tertentu.

Ketiga respon tersebut antara lain afektif perasaan evaluative, kognitif dan

behavioral atau konasi pernyataan tentang kecenderungan. Sikap menurut pandangan

ini bukanlah konstruk yang menggambarkan hubungan antara stimulus-respon.Sikap

bukan pula merupakan interpretasi individu tentang stimulus yang dialami.Sikap

lebih dipandang sebagai situasi yang ambigius dalam ikatan antara akibat dan

penyebab dari suatu peristiwa yang observabel.Bagian yang paling ambigius dalam

siagram itu adalah tanda panah antara sikap dengan tiga unsurnya. Karena dalam

diagram itu sikap dapat menyebabkan afektif, kognitif, dan konasi tertentu. Dan

antara ketiganya dipisahkan satu per satu.

Sikap terhadap objek, gagasan atau orang tertentu merupakan orientasi yang

bersifat menetap dengan komponen-komponen kognitif, afektif, dan perilaku

(Sears,kk, 1985:138). Komponen kognitif terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki

seseorang mengenai objek sikap tertentu―fakta, pengetahuan dan keyakinan tentang

objek.Komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap

objek, terutama peniaian. Komponen perilaku terdiri dari kesiapan seseorang untuk

bereaksi atau kecenderungan untuk bertindak terhadap objek (Sears, dkk1985:138).

Para pakar psikologi sosial sangat setuju mengkaji sikap sebagai komponen dari

sistem yang terdiri atas tiga bagian atau disebut juga skema triadik yaitu; keyakinan

mencerminkan komponen kognitif, sikap merupakan komponen afektif, dan tindakan

mencerminkan komponen perilaku .

Menurut Azwar (1995:6) selain pembagian kerangka di atas, ada dua

pendekatan baru dalam mendefinisikan sikap yang dikembangkan oleh para psikologi

sosial mutakhir.

Pendekatan yang pertama adalah yang memandang sikap sebagai kombinasi

reaksi kognitif, afektif, dan perilaku terhadap suatu objek.Ketiga komponen ini secara

bersama-sama mengorganisasikan sikap individu.Pendekatan kedua timbul

dikarenakan adanya ketidakpuasan atas penjelasan mengenai inkonsistensi yang

terjadi antara ketiga komponen kognisi, afeksi, dan konasi dalam membentuk

sikap.Pengikut pendekatan ini memandang perlu untuk membatasi konsep sikap

hanya pada aspek afektif saja. Definisi yang mereka ajukan mengatakan bahwa sikap

tidak lain adalah penilaian (afek) positif atau negatif terhadap suatu objek.

Berdasarkan uraian secara keseluruhan jelas menunjukkan bahwa sikap

masyarakat dapat diartikan sebagai kecenderungan yang dilakukan oleh masyarakat

untuk melakukan aksi atau respons terhadap rangsangan yang diterima. Stimulus

tersebut dilakukan secara berkelompok yang merupakan gambaran dari pernyataan

jiwa yang sama dalam rangka merespons suatu kejadian yang dialaminya.

2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap berjudi

Sikap bermain judi yang ditunjukkan sekelompok orang merupakan

manifestasi dari sikap menyimpang yang bermaksud untuk mengambil keuntungan

dengan menggunakan modal kecil. Sikap berjudi memiliki banyak efek samping yang

merugikan bagi si penjudi maupun keluarganya mungkin sudah sangat banyak

disadari oleh para penjudi.Anehnya tetap saja mereka menjadi sulit untuk

meninggalkan sikap berjudi jika sudah terlanjur mencobanya. Papu (2002:2)

mengemukakan bahwa dari berbagai hasil penelitian lintas budaya yang telah

dilakukan para ahli diperoleh 5 (lima) faktor yang amat berpengaruh dalam

memberikan kontribusi pada sikap berjudi. Kelima faktor tersebut adalah:

1) Faktor Ekonomi

Bagi masyarakat dengan status sosial dan ekonomi yang rendah perjudian

seringkali dianggap sebagai suatu sarana untuk meningkatkan taraf hidup mereka.

Tidaklah mengherankan jika pada masa undian SDSB di Indonesia zaman orde baru

yang lalu, peminatnya justru lebih banyak dari kalangan masyarakat ekonomi rendah

seperti tukang becak, buruh, atau pedagang kaki lima. Dengan modal yang sangat

kecil mereka berharap mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya atau menjadi

kaya dalam sekejab tanpa usaha yang besar.Selain itu kondisi sosial masyarakat yang

menerima sikap berjudi juga berperan besar terhadap tumbuhnya sikap tersebut dalam

komunitas.

2) Faktor Situasional

Situasi yang bisa dikategorikan sebagai pemicu sikap berjudi, diantaranya

adalah tekanan dari teman-teman atau kelompok atau lingkungan untuk berpartisipasi

dalam perjudian dan metode-metode pemasaran yang dilakukan oleh pengelola

perjudian. Tekanan kelompok membuat sang calon penjudi merasa tidak enak jika

tidak menuruti apa yang diinginkan oleh kelompoknya. Sementara metode pemasaran

yang dilakukan oleh para pengelola perjudian dengan selalu mengekspose para

penjudi yang berhasil menang memberikan kesan kepada calon penjudi bahwa

kemenangan dalam perjudian adalah suatu yang biasa, mudah dan dapat terjadi pada

siapa saja (padahal kenyataannya kemungkinan menang sangatlah kecil). Peran media

massa seperti televisi dan film yang menonjolkan keahlian para penjudi yang "seolah-

olah" dapat mengubah setiap peluang menjadi kemenangan atau mengagung-

agungkan sosok sang penjudi, telah ikut pula mempengaruhi individu untuk mencoba

permainan judi.

3) Faktor Belajar

Sangatlah masuk akal jika faktor belajar memiliki efek yang besar terhadap

sikap berjudi, terutama menyangkut keinginan untuk terus berjudi.Apa yang pernah

dipelajari dan menghasilkan sesuatu yang menyenangkan akan terus tersimpan dalam

pikiran seseorang dan sewaktu-waktu ingin diulangi lagi. Inilah yang dalam teori

belajar disebut sebagai Reinforcement Theory yang mengatakan bahwa sikap tertentu

akan cenderung diperkuat/diulangi bilamana diikuti oleh pemberian hadiah/sesuatu

yang menyenangkan.

4) Faktor Persepsi tentang Probabilitas Kemenangan

Persepsi yang dimaksudkan disini adalah persepsi pelaku dalam membuat

evaluasi terhadap peluang menang yang akan diperolehnya jika ia melakukan

perjudian. Para penjudi yang sulit meninggalkan perjudian biasanya cenderung

memiliki persepsi yang keliru tentang kemungkinan untuk menang. Mereka pada

umumnya merasa sangat yakin akan kemenangan yang akan diperolehnya, meski

pada kenyataannya peluang tersebut amatlah kecil karena keyakinan yang ada

hanyalah suatu ilusi yang diperoleh dari evaluasi peluang berdasarkan sesuatu situasi

atau kejadian yang tidak menentu dan sangat subyektif. Dalam benak mereka selalu

tertanam pikiran: "kalau sekarang belum menang pasti di kesempatan berikutnya akan

menang, begitu seterusnya".

5) Faktor Persepsi terhadap Ketrampilan

Penjudi yang merasa dirinya sangat trampil dalam salah satu atau beberapa

jenis permainan judi akan cenderung menganggap bahwa keberhasilan/kemenangan

dalam permainan judi adalah karena ketrampilan yang dimilikinya. Mereka menilai

ketrampilan yang dimiliki akan membuat mereka mampu mengendalikan berbagai

situasi untuk mencapai kemenangan (illusion of control). Mereka seringkali tidak

dapat membedakan mana kemenangan yang diperoleh karena ketrampilan dan mana

yang hanya kebetulan semata. Bagi mereka kekalahan dalam perjudian tidak pernah

dihitung sebagai kekalahan tetapi dianggap sebagai "hampir menang", sehingga

mereka terus memburu kemenangan yang menurut mereka pasti akan didapatkan.

Berdasarkan uraian di atas jelas menunjukkan bahwa terdapat bahwaada

beberapa faktor yang menentukan pembentukan sikap judi yang kompulsif.Faktor

pertama adalah pengalaman yang didapat oleh seseorang pada saat dia pertama kali

mencoba berjudi, hal ini sangat menentukan karena seseorang yang menang pada saat

pertama kali dia berjudi memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan

judi kembali dibanding dengan orang yang kalah pada saat pertama kali dia mencoba

berjudi.

Faktor kedua adalah adanya keyakinan bahwa sikap berjudi yang

dilakukannya bukan hal yang untung-untungan namun merupakan suatu tindakan

yang berani mengambil resiko. Selain itu, adanya keyakinan bahwa suatu saat

keberuntungan akan berubah sehingga dia akan terus berjudi karena dia memiliki

keyakinan suatu saat nanti akan memperoleh kemenangan yang besar dan dapat

membayar apa yang telah dihabiskan sebelumnya.

Faktor ketiga adalah faktor budaya dan lingkungan sosial yaitu keberadaan

sanksi sosial yang akan mengendalikan sikap berjudi sudah tidak lagi berfungsi

secara baik, dimana masyarakat tidak memberikan perhatian dan tidak berupaya

untuk mencegah dan menghentikan perjudian melainkan masyarakat bersikap acuh

tak acuh dan seakan akan tidak peduli terhadap praktek perjudian yang nyata-nyata

ada di depan mata mereka, bahkan berpngan bahwa mereka tidak berkepentingan

untuk mengurusi perjudian. Hal lainnya meliputi aparat penegak hukum yang tidak

menerapkan sanksi hukum secara tegas terhadap para pelaku perjudian sehingga

menjadikan mereka lebih berani untuk kembali berjudi.

Selain dua hal di atas, faktor sosial lain yang mendukung semakin

berkembang dan semakin maraknya praktek perjudian di masyarakat kita yaitu

banyaknya orang yang memiliki waktu luang ataupun orang yang tidak bekerja

(pengangguran) karena dengan berjudi membantu mereka menghabiskan waktu

luangnya dan biasanya diawali dengan taruhan pada hal-hal yang sederhana, misalnya

bertaruh angka plat nomor kendaraan yang lewat. Hal seperti itu jika dilakukan secara

berulang-ulang dan berkelanjutan, tanpa mereka sadari lambat laun akan berkembang

menjadi sikap berjudi yang kompulsif. Secara logis, lebih besar kerugian dari pada

keuntungan sikap berjudi.

Papu (2002:4) mengemukakan bahwa dalam menyikapi sikap berjudi dalam

kehidupan sehari-hari, ada beberapa hal yang mungkin perlu diperhatikan oleh

masyarakat yang berada di lingkungan perjudian adalah sebagai berikut:

1) Mengingat bahwa perjudian amat sulit untuk diberantas, maka hal pertama yang

perlu diperhatikan untuk melindungi anggota keluarga agar tidak terlibat dalam

perjudian adalah melalui penanaman nilai-nilai luhur di mulai dari keluarga,

selaku komunitas terkecil dalam masyarakat. Kalau orangtua dapat menanamkan

nilai-nilai luhur pada anak-anak sejak usia dini maka anak akan memiliki kontrol

diri dan kontrol sosial yang kuat dalam kehidupannya, sehingga mampu memilih

alternatif terbaik yang berguna bagi dirinya dan masyarakat di sekitarnya.

Penanaman nilai-nilai bukan hanya sekedar dilakukan dengan kata-kata tetapi

juga lebih penting lagi melalui keteladanan dari orangtua.

2) Mengingat pula bahwa sikap berjudi sangat erat kaitannya dengan pola pikir

seseorang dalam memilih suatu alternatif, maka sangatlah perlu bagi orangtua,

pendidik dan para alim ulama untuk mengajarkan pola pikir rasional. Pola pikir

rasional yang dimaksudkan adalah mengajarkan seseorang untuk melihat segala

sesuatu dari berbagai segi, sebelum memutuskan untuk menerima atau menolak

alternatif yang ditawarkan. Dengan memiliki kemampuan berpikir rasional

seseorang tidak akan dengan mudah untuk mengambil jalan pintas.

3) Bagi yang merasa sudah sangat sulit untuk meninggalkan sikap berjudi,

sebaiknya tidak segan-segan atau malu untuk meminta bantuan orang-orang

professional seperti psikiater, psikolog, konselor atau terapist. Bekerjasamalah

dengan mereka untuk melepaskan diri dari masalah perjudian.

4) Jika memang tidak memiliki pengendalian diri yang tinggi maka jangan sekali-

kali mencoba untuk berjudi, sekalipun itu hanya sikap berjudi tingkat pertama.

Jangan pula menjadikan judi sebagai pelarian dari berbagai masalah kehidupan

sehari-hari. Jika memang memiliki masalah mintalah bantuan pada orang-orang

professional, bukan pergi ke tempat-tempat perjudian.

5) Perkuat iman kepada Tuhan dan perbanyak kegiatan-kegiatan yang bersifat

religius. Dengan meningkatkan iman dan selalu mengingat ajaran agama masing-

masing maka kemungkinan untuk terlibat perjudian secara kompulsif akan

semakin kecil.

Berdasarkan uraian di atas jelas menunjukkan bahwa terdapat banyak faktor

yang berpengaruh dalam memberikan kontribusi sehingga munculnya sikap main

judi. Terkait dengan hal ini maka perlu antisipasi sehingga berbagai faktor yang

mempengaruhi sikap berjudi tersebut dapat diantisipasi sehingga tidak akan

membentuk sikap buruk gemar main judi.

2.2 Strategi Pembinaan Masyarakat Yang memiliki Sikap Bermain Judi

Pembinaan masyarakat yang memiliki sikap berjudi perlu dilakukan agar

masyarakat memiliki kesadaran untuk menghindari sikap berjudi. Iqbalmarisali

(2011:5) mengemukakan bahwa pembinaan masyarakat yang memiliki sikap berjudi

dapat dilakukan melalui 4 strategi sebagai berikut, persuasif, koersif, penciptaan

situasi yang dapat mengubah sikap dan sikap, dan penyampaian nilai norma dan

aturan secara berulang-ulang. Empat cara tersebut dapat diuraikan sebagai berikut

a. Persuasif, Cara ini dilakukan dengan penekanan pada usaha membimbing atau

mengajak berupa anjuran.

b. Koersif, Mestinya langkah ini ditempuh setelah langkah persuasif telah dilakukan.

Apabila dengan anjuran, bujukan tidak berhasil, tindakan dengan kekerasan bisa

dilakukan. Contoh polisi pamong praja, membongkar paksa lapak (termpat

berjualan) PKL yang menurut informasi masyarakat sering dialkukan tempat

perjudian. Aparat kepolisian melakukan pemeriksaan terhadap tempat-tempat

yang diduga melakukan praktek-praktek perjudian, menangkap bandar judi Togel

dan sabung ayam untuk kemudian diproses ditindak sesuai dengan hukum yang

berlaku. Tindakan seperti itu, bertujuan untuk menerapi pelaku agar merasakan

sanksi ketika bersikap menyimpang sehingga ada efek jera yang dirasakan,

diharapakan dengan efek tersebut pelaku akan sadar.

c. Penciptaan situasi yang dapat mengubah sikap dan sikap (kompulsif).

Pengendalian sosial sangat tepat bila dilakukan dengan menciptakan situasi dan

kondisi yang dapat mengubah sikap dan sikap seseorang. Misalnya, ketika para

penjudi melakukan perjudian sabung ayam tanpa mau mengindahkan ketentuan

pemerintah, pemerintah, penegak hukum (kepolisian), dan para tokoh agama

memberikan sosialisasi berupa himbauan-himbauan secara intensif berupa

implikasi negatif terhadap kehidupa individu dan keluarga, melalui media-media

efektif seperti radio atau tempat yang efektif (misalnya; balai desa, tempat ibadah,

atau datangi rumah warga).

d. Penyampaian Nilai, Norma dan Aturan Secara Berfulang-ulang (vervasi).

Pengendalian sosial juga dapat dilakukan dengan cara penyampaian nilai, norma,

aturan secara berulang-ulang. Penyampaian inii bisa dengan cara ceramah

maupun dengan dibuatkannya papan informasi mengenai aturan, nilai dan norma

yang berlaku. Dengan cara demikian diharapkan nilai, norma dan aturan dipahami

dan melekat pada diri individu anggota masyarakat.

Secara psikologis, seseorang yang kecanduan untuk berjudi biasanya telah

menyadari bahwa frekuensi kekalahannya lebih banyak jika dibandingkan dengan

frekuensi dia menang, namun demikian ia tetap saja berjudi. Dia memiliki pngan

bahwa dirinya bukan orang yang menggantungkan diri pada keberuntungan namun

dirinya adalah orang yang mencari tantangan dan berani mengambil resiko, selain itu

seorang yang sudah kecanduan berjudi cenderung untuk percaya pada hal-hal yang

bersifat mistis dan pikirannya terjebak dalam pemikiran yang berbau takhayul dan

irasional.

Dalam hal kesejahteraan ekonomi, tentu saja seseorang yang kecanduan

berjudi memiliki permasalahan menyangkut keuangan karena besarnya uang yang

telah dihabiskan oleh kekalahannya tidak sebanding dengan uang yang dia peroleh

dari hasil kemenangannya.Sikap berjudi yang kompulsif atau sikap berjudi yang

sudah tergolong penyakit merupakan suatu sikap hasil belajar dan sulit untuk

dihilangkan. Pengertian sikap hasil belajar disini yaitu bahwa sikap berjudi tersebut

terbentuk melalui suatu proses yang berkelanjutan dimulai dari sikap berjudi coba-

coba menjadi judi yang sudah berupa suatu kebiasaan (habit), apabila sikap berjudi

telah menjadi suatu kebiasaan maka akan sulit untuk dirubah atau dihilangkan.

Haryadi (2011:1) mengemukakan bahwa dalam penanggulangan judi ini,

disamping upaya represif dari aparat penegak hukum.Upaya preventif dari

pemerintah daerah dan masyarakat juga sangat berperan penting.Pemda melalui

instansi terkait dan tokoh agama dan tokoh masyarakat harus terus melakukan

sosialisasi bahaya judi dan dampak sosial serta hukumnya.Masyarakat dan perangkat

pemerintah sampai ke tingkat RT harus aktif dalam pencegahan terjadinya praktek

judi dilingkungannya.Apabila sudah ada yang mulai menjual togel misalnya, maka

segera dilakukan pendekatan untuk menghentikannya, jika tidak mau laporkan segera

keaparat penegak hukum. Adanya sinergi antara pemerintah daerah, aparat penegak

hukum dan masyarakat akan lebih mengefektifkan pemberantasan judi

Iqbalmarisali (2011:6) Metode lain yang dapat dilakukakan, untuk

mengendalikan dan mencegah penyakit atau penyimpangan sosial, maka bentuk-

bentuk pengendalian sosial dapat dilakukan melalui cara-cara; menolak sikap

tersebut, teguran, pendidikan, agama, pengucilan, dan meminta pihak lain

menanganinya.

a) Menolak. Seseorang yang melanggar nilai, norma dan aturan mendapat cemoohan

atau ejekan dari masyarakatnya, sehingga ia malu, sungkan, dan akhirnya

meninggalkan sikapnya.

b) Teguran. Orang yang melanggar nilai, norma dan aturan diberikan teguran,

nasehat agar tidak melakukan perbuatan yang melanggar nilai, norma dan aturan.

c) Pendidikan. Melalui pendidikan seorang individu akan belajar nilai, norma dan

aturan yang berlaku. Dengan demikian ia dituntun dan dibimbing untuk

bersikapsesuai dengan nilai, norma dan aturan yang berlaku. Pendidikan ini bisa

dilakukan di lingkungan keluarga, masyarakat maupun sekolah.

d) Agama. Agama memiliki peran yang sangat besar dalam pengendalian sosial.

Orang yang memiliki agama akan memahami bahwa melanggar nilai, norma dan

aturan di samping ada hukuman di dunia juga ada hukuman di akherat. Dengan

pemahaman ini maka, individu akan terkendali untuk tidak melanggar nilai,

norma dan aturan yang berlaku.

Haryadi (2011:1) mengemukakan bahwa pembinaan masyarakat yang

memiliki sikap berjudi dapat juga dilakukan dengan melibakantokoh masyarakat

terkait yangdapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1) Sosialisasi tentang bahaya judi

2) Melakukan pembinaan kepada generasi muda melalui organisasi kemasyarakatan

dan kepemudaan tentang perlunya menghindari sikap main judi

3) Melakukan kerjasama dengan penegak hukum untuk menertibkan lokasi

perjudian dan para pemainnya

4) Melakukankegiatan dakwah dan pengajian dengan melibatkan seluruh masyarakat

untuk membangun dan meningkatkan kesadaran tentang bahaya judi dalam

kehidupan.

Berbagai peran di atas dapat hendaknya dapat diwujudkan sebagai manifestasi

dari peran tokoh masyarakat untuk mengatasi masalah perjudian.

2.3 Kajian Penelitian yang Relevan

Penelitian tentangfaktor-faktor yang mempengaruhi sikap berjudi sepanjang

pengetahuan penulis belum pernah diteliti khususnya pada Jurusan Pendidikan Luar

Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo.