BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di...

29
BAB II KAJIAN PUSTAKA Penatalaksanaan KSSKL masih menjadi topik penelitian sampai saat ini. Dalam dua dekade terakhir banyak terjadi perkembangan di dalam pengetahuan dan pemahaman kita mengenai KSSKL, yang meliputi epidemiologi, screening, diagnosis, penentuan stadium, serta jenis modalitas terapi yang ada. Dengan ditemukannya peran HPV, EBV serta beberapa petanda biomolekuler seperti p53, EGFR, p16, dan lainnya, menyebabkan individual tailored therapy pada KSSKL terus menjadi topik penelitian. Berdasarkan etiologi dari KSSKL maka dibagi 2 bagian yaitu KSSKL anterior (oral cancer), etiologi yang berpengaruh adalah merokok, alkohol, oral hygiene yang buruk, unfix dentures, nyirih pinang, dan KSSKL posterior (orofaring, nasofaring, laring), etiologi yang berpengaruh adalah infeksi virus HPV dan EBV. 2.1 Epidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Kepala Leher bagian Anterior dan Posterior 2.1.1. Epidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan yang terjadi. Meskipun angka kejadian kanker rongga mulut dinegara berkembang diperkirakan kurang dari 5 %, tetapi di beberapa daerah di India dan Asia tenggara, kejadian kanker rongga mulut merupakan keganasan yang paling sering dijumpai

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Penatalaksanaan KSSKL masih menjadi topik penelitian sampai saat ini. Dalam dua

dekade terakhir banyak terjadi perkembangan di dalam pengetahuan dan pemahaman kita

mengenai KSSKL, yang meliputi epidemiologi, screening, diagnosis, penentuan stadium,

serta jenis modalitas terapi yang ada. Dengan ditemukannya peran HPV, EBV serta

beberapa petanda biomolekuler seperti p53, EGFR, p16, dan lainnya, menyebabkan

individual tailored therapy pada KSSKL terus menjadi topik penelitian. Berdasarkan

etiologi dari KSSKL maka dibagi 2 bagian yaitu KSSKL anterior (oral cancer), etiologi

yang berpengaruh adalah merokok, alkohol, oral hygiene yang buruk, unfix dentures, nyirih

pinang, dan KSSKL posterior (orofaring, nasofaring, laring), etiologi yang berpengaruh

adalah infeksi virus HPV dan EBV.

2.1 Epidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Kepala Leher bagian Anterior dan

Posterior

2.1.1. Epidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut

Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh

keganasan yang terjadi. Meskipun angka kejadian kanker rongga mulut dinegara

berkembang diperkirakan kurang dari 5 %, tetapi di beberapa daerah di India dan Asia

tenggara, kejadian kanker rongga mulut merupakan keganasan yang paling sering dijumpai

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

(lebih dari 50% dari seluruh keganasan yang dijumpai. Kejadian kanker rongga mulut

merupakan 2 % dari seluruh kanker yang terjadi di Negara- Negara barat. Di Amerika

diperkirakan ditemukan 29.800 kasus baru kanker rongga mulut setiap tahunnya dan

diperkirakan kanker rongga mulut menyebabkan kematian sebanyak 8100 orang setiap

tahunnya. Kanker rongga mulut merupakan 3% dari seluruh kanker yang ditemukan pada

pria di Amerika. Sedangkan kejadian kanker rongga mulut pada wanita sebanyak 2 % dari

seluruh kanker yang terjadi pada wanita. Lebih dari 90% kanker rongga mulut terjadi pada

usia diatas 45 tahun dan terus meningkat sampai dengan usia 65 tahun. Selama 20 tahun

terakhir terdapat sedikit penurunan dari angka kejadian kanker rongga mulut di Amerika.

(Jemal, et al., 2011)

Sedangkan angka kejadian kanker rongga mulut di Australia meliputi 1% dari

seluruh kanker yang terjadi dinegara tersebut dan bertanggung jawab terhadap 1% kematian

yang disebabkan oleh kanker baik kanker yang terjadi pada pria maupun yang terjadi pada

wanita (Sugerman, et al., 1999). Diperkirakan ditemukan 760 kasus baru kanker rongga

mulut yang ditemukan di Australia setiap tahunnya dimana laki-laki lebih banyak daripada

perempuan dengan perbandingan 3:2. Sebanyak 95% dari kanker rongga mulut

menunjukkan gambaran histopatologi sebagai skuamus sel carcinoma (oral squamous cell

carcinoma atau OSSC). Berdasarkan lokasi yang terkena kanker rongga mulut di Australia

adalah lidah, bibir, pipi, dan hipofaring.

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

Di Indonesia, pada tahun 1991, KSSKL menempati urutan ke 9 (3, 03%) dari 10

karsinoma terbanyak pada perempuan dan urutan ke 2 (11, 27%) dari 10 karsinoma

terbanyak pada laki-laki. Data dari Register Kanker Jakarta pada tahu 2005-2007

menunjukkan bahwa kanker rongga mulut dan karsinoma nasofaring menempati posisi ke 8

(1, 72 per 100.000) dari 10 karsinoma pada perempuan dan posisi ke 4 (3,65 per 100.000)

dari 10 karsinoma pada laki-laki (Wahidin, et al., 2012). Tahun 1998 menempati urutan ke

2 karsinoma yang paling sering ditemukan di Bali setelah kanker serviks.

Berdasarkan studi epidemiologi didapatkan hubungan yang sangat erat antara

kejadian kanker rongga mulut dengan paparan terhadap karsinogen yang terdapat pada

tembakau, alkohol, dan buah pinang. Konsumsi alkohol dan merokok merupakan faktor

risiko kuat terjadinya kanker rongga mulut. Selain itu kebiasaan mengunyah tembakau,

kapur sirih, dan pinang di beberapa daerah seperti Asia Tenggara (termasuk Indonesia)

sudah terbukti merupakan faktor risiko kuat terjadinya kanker rongga mulut. Faktor

lainnya: kesehatan gigi dan mulut, usia, status sosial ekonomi, indeks massa tubuh, pola

makan. Kebiasaan mengkonsumsi sayur, buah, menghentikan kebiasaan merokok dan

alkohol berperan penting sebagai protektif terhadap kanker sel skuamosa rongga mulut

(Ragin, et al., 2007).

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

Gambar 2.1 Insiden Oral Cancer berdasarkan usia dan daerah di dunia (Jemal, et al., 2011)

2.1.2 Epidemiologi Karsinoma Nasofaring

Diseluruh dunia diperkirakan karsinoma nasofaring merupakan 0,7% dari seluruh

keganasan yag terjadi. Secara histopatologis paling banyak ditemukan tipe undifferentiated

carcinoma. Jumlah kasus karsinoma nasofaring pada tahun 2008 sekitar 84.400, dan jumlah

kematian sekitar 51.600 kasus (Jemal, et al., 2011), karsinoma nasofaring lebih sering

dijumpai pada pria dibanding wanita dengan perbandingan 3:1. Sekitar 92% kasus baru

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

dinyatakan muncul pada negara-negara berkembang, tertinggi didaerah Southern Chinesse

dan South-Eastern Asia, angka paling tinggi di negara Malaysia, Indonesia, Singapura

(Ferlay, et al., 2008).

Gambar 2.2 Insiden Nasopharyngeal carcinoma berdasarkan usia dan daerah di dunia

(Jemal, et al., 2011)

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

2.1.3 Epidemiologi Karsinoma Orofaring

Sekitar 7000 kasus baru oropharyngeal scc terdiagnosa setiap tahunnya di Amerika

Serikat, meskipun kasus KSSKL menurun tetapi kasus kanker oropharing semakin

meningkat, kemudian insiden HPV related oropharyngeal scc meningkat secara drastis

ditunjukan oleh beberapa analisis epidemiologi sejak 1973, beberapa studi epidemiologi

selama 50 tahun terakhir menyatakan terjadi peningkatan HPV related OSCC pada laki-laki

(Chenevert dan Chiosea., 2011). Perubahan pola perilaku seksual merupakan penjelasan

yang diakui sebagai penyebab meningkatnya HPV related oropharyngeal scc (Mirghani, et

al., 2014).

2.2 Anatomi Kepala Leher

Organ rongga mulut terdiri dari bibir, dasar mulut, lidah 2/3 anterior, mukosa bukal,

ginggiva atas dan bawah, palatum durum dan trigonum retromolar. Sedangkan faring

memiliki 3 bagian yaitu: nasofaring, orofaring dan hipofaring. Nasofaring sendiri memiliki

batas-batas yaitu: batas atas dasar tengkorak, batas bawah palatum molle, batas depan

rongga hidung, batas belakang vertebra servikal. Orofaring memiliki batas-batas: atas

palatum molle, bawah tepi atas epiglotis, depan rongga mulut, belakang vertebra servikal,

organ-organ yang termasuk pada orofaring adalah lidah 1/3 posterior, tonsila palatina, fossa

supratonsilaris, tonsila lingualis (Netter, 2010) (gambar 2.4). Pembagian anatomi kepala

leher bagian anterior dan posterior dibagi berdasarkan garis ohngren, yaitu garis imajiner

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

yang melalui chantus medial menuju ke angulus mandibula (gambar 2.3), KSSKL anterior

dan KSSKL posterior dibatasi oleh papila sirkumvalata.

Gambar 2.3 Ohngren’s line (Norton, et al., 2010)

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

Gambar 2.4 Anatomi kepala leher potongan sagital dan lidah. (Netter, 2010)

2.3. Pathogenesis dan Biologi Molekuler Karsinoma Sel Skuamosa Kepala Leher

Karsinoma sel skuamosa berasal dari perubahan abnormal dari mukosa seperti

leukoplakia, eritroplakia atau “speckled leukoplakia”. Leukoplakia merupakan manifestasi

histologi yang ditunjukkan dengan penebalan dari mukosa. Jika penebalan mukosa dengan

disertai inti sel disebut hiperorthokeratosis. Sedangkan penebalan pada stratum spinosum

disebut akantosis dan penebalan pada stratum basale disebut basiler hyperplasia. Lesi yang

terjadi biasanya merupakan kombinasi dari beberapa kelainan seperti hiperorthokeratosis

dengan akantosis.

Tahap berikutnya setelah perubahan hyperplasia dalam pathogenesis kanker kepala

leher adalah terjadi perubahan dalam bentuk dysplasia. Perubahan dysplasia secara

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

histologi ditunjukkan oleh perubahan atipikal pada sel yang berhubungan dengan hambatan

terhadap maturasi dan diferensiasi dari sel epitel. Perubahan ini tidak dapat kembali

kebentuk yang normal meskipun faktor yang menyebabkan telah dihilangkan. Perubahan

dysplasia ini berhubungan dengan lesi prekanker (irreversible precancerous lession). Studi

biomolekuler selanjutnya menemukan fakta bahwa tidak terdapat perbedaan antara lesi

dysplasia dengan kanker kepala leher dalam hal perubahan genetik. Hipotesa yang dianut

adalah adanya perubahan pada sel keratinosit dimana diperlukan akumulasi perubahan

genetik untuk terjadinya perubahan kearah maligna.

Pada tahap lanjut adalah terbentuknya suatu karsinoma in situ, dimana terdapat

perubahan maligna/anaplasia pada permukaan dari sel epitel. Pada lesi karsinoma in situ,

kelainan terbatas pada lapisan epitel, tidak terdapat penyebaran sel ganas keluar lapisan

permukaan epitel. Kelainan ini bisa tetap tanpa mengalami perubahan untuk beberapa

waktu sampai beberapa tahun sebelum mengalami perkembangan bentuk” invasive

carcinoma” (gambar 2.5). Bentuk selanjutnya adalah epidermoid karsinoma yang dapat

mengalami metastase ke kelenjar getah bening servikal maupun mestatase jauh. Disamping

hal tersebut diatas, terdapat sejumlah perubahan genetik dan mekanisme yang berhubungan

dengan kanker kepala leher. Terjadinya perubahan lokus atau gen bisa saja terjadi secara

acak tetapi secara umum hal tersebut terjadi karena pemaparan terhadap tembakau, alkohol,

dan infeksi HPV, EBV. Perubahan genetika seperti copy number variation (CNV), gains

atau losses of heterozygosity (LOH) dapat menyebabkan in aktivasi gen supresi tumor dan

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

aktivasi onkogen yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan sel tidak terkendali serta

metastasis (Califano, et al., 1996 ; Perez-Ordonez, et al., 2006).

Gambar 2.5 Model progresi genetik (Califano, et al., 1996)

LOH 17p dan point mutations p53 ditemukan pada kurang lebih 50 % kasus kanker

sel skuamosa kepala leher. Sebagian besar dari mutasi ini terjadi pada fase akhir progresi

dysplasia epitel menjadi karsinoma yang invasive (Argiris, et al., 2008). Amplifikasi 11q13

dan overekspresi cyclin D1 ditemukan pada 30-60% kanker kepala leher dan dihubungkan

dengan metastase kelenjar getah bening dan prognosis yang buruk. Cyclin D1 akan

menginduksi fosforilasi Rb yang menyebabkan progresi dari fase G1 ke S siklus sel.

Amplifikasi Cyclin D1 dan inaktifasi p16 akan menyebabkan peningkatan fosforilasi Rb

dan progresi siklus sel dari fase G1 ke S. Amplifikasi dan overekspresi cyclin D1

ditemukan pada kurang lebih 40% kasus dysplasia skuamosa (Perez-Ordonez et al., 2006).

Perubahan genetik molekular yang mendasari sifat dan progesi kanker kepala leher

masih belum sepenuhnya dimengerti. Perubahan biomolekuler pada kanker kepala leher

terutama akibat aktivasi onkogenik dan inaktivasi gen supresi tumor, yang menyebabkan

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

perubahan pola proliferasi sel. Dalam dua dekade terakhir suatu model karsinogenis dengan

perubahan molekuler yang mendasari telah berhasil disusun meliputi amplikasi gen dan

overekspresi onkogen (ras, myc, EGFR, cyclin D1) serta mutasi dan delesi yang

menyebabkan inaktivasi gen suppresi tumor p16 dan p53 (gambar 2.6). Petanda molekular

tersebut pada akhirnya memberikan sejumlah manfaat, deteksi dini lesi premalignant,

indikator prognostik, dan sebagai sasaran therapi pada kanker kepala leher (Argiris et al.,

2008).

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

Gambar 2.6 Gambaran perubahan fenotip dan perubahan molekuler pada karsinoma sel

skuamosa kepala leher. (Argiris, et al., 2008)

2.4. Karsinoma Sel Skuamosa Kepala Leher bagian Anterior

Yang termasuk KSSKL bagian anterior adalah oral squamous cell carcinoma.

Kanker rongga mulut adalah kanker yang berasal dari epitel dari mukosa atau epitel duktus

kelenjar liur pada dinding rongga mulut dan organ dalam mulut. Kanker rongga mulut

dapat mengenai organ intra oral seperti: bibir, dasar mulut, lidah 2/3 anterior, mukosa

bukal, ginggiva atas dan bawah, palatum durum dan trigonum retromolar

2.4.1. Etiologi Kanker Rongga Mulut

Beberapa kondisi yang terjadi pada kanker mulut berhubungan dengan iritasi kronis

terhadap beberapa karsinogen namun penyebab pasti belum diketahui secara jelas.

Beberapa hal yang berhubungan dengan kejadian kanker rongga mulut seperti radiasi

ionisasi pada dosis therapi pada rongga mulut, pemaparan kronis terhadap radiasi aktinik,

diantaranya pemaparan kronis terhadap sinar matahari. Pemaparan yang lama terhadap

sinar ultraviolet dan sinar matahari selama 15-30 tahun akan menyebabkan perubahan

athopik yang berhubungan dengan kanker, penggunaan tembakau baik dengan cara dihisap

maupun dihirup yang lama akan mendasari perubahan yang terjadi pada mukosa rongga

mulut, baik perubahan yang bersifat benigna, lesi prakanker maupun kanker yang terjadi

pada pangkal lidah maupun mukosa bukal, konsumsi alkohol yang lama, infeksi oleh agent

spesifik seperti sifilis, infeksi oleh candida Albican (Rothenberg dan Ellisen., 2012).

2.5. Karsinoma Sel Skuamosa Kepala Leher bagian Posterior

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

Yang termasuk KSSKL bagian posterior adalah kanker orofaring, nasofaring

maupun laring, disini akan dibahas mengenai kanker orofaring dan nasofaring.

2.5.1. Kanker Orofaring

Organ yang termasuk dalam orofaring adalah lidah 1/3 posterior, tonsila palatina,

fossa supratonsilaris, tonsila lingualis.

2.5.1.1. Infeksi Human Papilloma Virus

Sejak ditemukannya HPV-16 pada tahun 1970an, peran penting infeksi HPV pada

malignansi manusia semakin diakui. HPV merupakan virus DNA double-stranded, bersifat

epiteliotropik dan merupakan penyebab utama terjadinya karsinoma serviks. HPV memiliki

dua buah onkogen, yaitu E6 dan E7, dimana ekspresi onkogen-onkogen tersebut akan

menyebabkan inaktivasi p53 dan retinoblastoma (Rb) dan p16 upregulation (Marur, et al.,

2010), yang pada akhirnya menyebabkan gangguan siklus sel yang terinfeksi (gambar 2.7).

Gambar 2.7 Perubahan Siklus Sel Akibat Infeksi HPV (Leemans et al 2011)

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

Peran infeksi HPV pada KSSKL telah diteliti sejak tahun 1980an. Ditemukan onkogen

HPV tipe 16, 18, 31, 33, dan 35 yang berkaitan dengan KSSKL, tetapi HPV16 paling

banyak berkaitan dengan terjadinya KSSKL (90%) (Benson, et al., 2014) dimana virus ini

umumnya didapatkan pada karsinoma orofaring dan dikaitkan dengan prognosis yang baik.

Tabel 2.1 Karakteristik Klinis dan Biologis Karsinoma Sel Skuamosa Kepala Leher HPV

(+) dan HPV (-) (Leemans, et al., 2011; Benson, et al., 2014 )

Parameter KSSKL HPV (-) KSSKL HPV (+)

Insiden Menurun Meningkat

Etiologi Merokok, alkoholisme Seks oral

Usia >60 tahun <60 tahun

EGFR Tinggi Rendah

Letak Predileksi Tidak ada Orofaring

Prognosis Buruk Baik

2.5.2 Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring adalah squamous cell carcinoma yang berkembang di sekitar

ostium tuba eustachii di dinding lateral nasofaring, keluhan yang tidak spesifik dan letak

tumor yang tersembunyi menyebabkan banyak pasien-pasien dengan karsinoma nasofaring

datang berobat dengan stadium lanjut (Lee, et al., 2012)

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

2.5.2.1 Etiologi Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring adalah penyakit yang kompleks karena disebabkan oleh

interaksi dari berbagai macam faktor seperti infeksi EBV, lingkungan, dan faktor genetik.

Insiden yang tinggi terdapat di daerah Cina Utara memberikan indikasi yang kuat bahwa

faktor genetik dan lingkungan memberikan peranan yang besar pada tumorigenesis pada

karsinoma nasofaring. (Zeng, et al., 2006).

Risiko tinggi pada populasi Cantonese dan orang dengan riwayat familial NPC

memberi kesan bahwa kelemahan genetik mempunyai peran dalam etiologi karsinoma

nasofaring, karakteristik yang penting pada familial cancer adalah early onset pada

karsinoma nasofaring, di Taiwan dari tahun 1988-2001 dari 1931 kasus NPC didapatkan

34(1,8%) pasien dengan usia dibawah 20 tahun, dan diduga kuat berhubungan dengan

kelemahan genetik (Fang, et al., 2007). Beberapa studi menyatakan bahwa genetic

polymophisms pada gen yang memetabolisme karsinogen berhubungan dengan terjadinya

nasofaring karsinoma, mutasi gen cytochrome P450 2E1 (CYP2E1) mengaktifkan

nitrosamines dan karsinogen lain yang terkait (Spano, et al., 2003)

Beberapa penelitian tentang makanan yang diasinkan, penyedap makanan yang

banyak mengandung nitrosodimethyamine dan N-nitrospiperidine, merokok, dan pekerjaan

yang terekspose formaldehide dan asap sangat berisiko terkena karsinoma nasofaring

(Spano, et al., 2003)

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

2.5.2.2. Infeksi EBV pada Karsinoma Nasofaring

EBV mempunyai DNA yang kompleks dan terdiri dari 85 gen, gen itu sendiri terdiri

dari beberapa nuclears protein, seperti epstein barr nuclear antigen (EBNA), latent mebran

protein (LMP), dan beberapa ribonucleic acids (RNA). Gen-gen yang esensial untuk

perubahan bentuk maupun sifat sel adalah EBNA-1, EBNA-2, EBNA 3A, EBNA 3B, dan

LMP-1, diantara gen- gen tersebut LMP-1 mempunyai peranan yang paling penting dalam

inisasi dan progresi pada NPC, fungsi utama dari LMP-1 sendiri adalah growth promotion

dari sel yang terinfeksi, apoptosis resistance, invasion & metastasis promotion, immune

evasion (gambar 2.9). Hampir semua sel tumor pada undifferentiated carcinoma pada NPC

terinfeksi oleh EBV (gambar 2.8),. Peran EBV terhadap NPC pertama kali ditemukan pada

studi seroepidemiologi yang menunjukan hampir semua pasien-pasien dengan NPC

terdapat IgA antibodi dari EBV (Yoshizaki, et al., 2013).

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

Gambar 2.8 Peran EBV terhadap perkembangan NPC. (Yoshizaki, et al., 2013)

Gambar 2.9 Efek pathogenic dari LMP-1 terhadap siklus sel . (Yoshizaki, et al., 2013)

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

2.6. Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR)

Epidermal growth factor receptor (EGFR) merupakan suatu reseptor glikoprotein

transmembrane atau terletak pada permukaan sel dengan berat molekul 170 kDa. EGFR

tersusun atas extraseluler ligand – binding domain yang berupa transmembrane lipophilic

dan segmen dari suatu tyrosine kinase intraseluler (Grant, et al., 2002). Kanker kepala

leher ditandai dengan adanya kelainan pertumbuhan sel keratinosit yang terdapat pada

mukosa rongga mulut, laring, faring. Dalam keadaan normal pembelahan keratinosit

distimulasi oleh “ epidermal growth factor “(EGF) yang akan berikatan dengan

“epidermal growth factor receptor “(EGFR) pada permukaan basal dari keratinosit

(submembrane). Ikatan ini akan mengaktifkan “Ras” protein pada sitoplasma dari

keratinosit melalui ligand yang terdapat pada EGFR.

Ras protein yang telah mengalami aktifasi ini akan mengaktifkan raf protein dan

sitoplasmik kinase yang lain (“MEK”,”MAPK”) yang berada pada jalur kaskadenya.

MAPK (mitogen activated protein kinase) adalah MAP kinase. Kaskade dari kinase ini

akan melanjutkan transmisi sinyal pertumbuhan dari membrane sel ke inti sel dimana

terjadi pertumbuhan dari “cmyc” protein. Ikatan antara DNA dengan “cmyc” protein akan

menstimuli transkripsi dari “cyclin D” dan berikatan dengannya. Ikatan ini akan

mengaktifkan “cyclin dependent kinase” (CDK). CDK yang telah aktif akan mengkatalisir

posfolirasi dari “retinoblastoma tumour suppressor protein” (pRb). Dalam keadaan

fisiologis phosphorylated pRb akan melepaskan factor transkripsi E2F yang diperlukan

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

untuk terjadinya transkripsi protein pada replikasi DNA, dimana replikasi DNA ini akan

diikuti dengan pembelahan sel/pertumbuhan sel. “cyclin D” dan protein DNA yang lainnya

akan mengalami degradasi dan diperlukan adanya transkripsi yang baru lagi untuk

terjadinya pertumbuhan sel (Sugerman, et al., 1999; Williams, 2000)

Ras onkoprotein merupakan aspek internal pada ikatan membrane dengan EGFR

dan ini akan berperanan pada transmisi sinyal pertumbuhan ke inti sel (nucleus). Dalam

keadaan inaktif “ras” akan berikatan dengan “Guanosine diphosphate” (GDF). Ketika sel

distimuli oleh EGF, ras yang dalam keadaan tidak aktif akan menjadi aktif dengan

perubahan dari GDP menjadi Guanosine triphosphate” (GTP). Ras yang telah aktif akan

mengaktifasi “raf’ protein dan sitoplasmik kinase yang lain seperti MEK dan MAPK yang

berada pada jalur kaskadenya. Setelah mengaktifkan “raf”, “ras” protein yang aktif menjadi

tidak aktif oleh aktifitas dari enzyme intrisik “guanosine triphosphatase” (GTPase). GTP

ase akan menghidrolisa GTP menjadi GDP dengan melepaskan gugus phospat dan

mengembalikan ikatan “ras”protein dengan GDP dan menjadi tidak aktif. Aktifitas dari

GTPase menginaktifkan “ras” protein yang diperkuat oleh ikatan “GTPase activating

protein” (GAPs).

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

Gambar 2.10 Interaksi EGFR-Ligand (Mirghani, et al., 2014)

Dalam keadaan normal, aktifitas “ras” berlangsung dalam waktu yang terbatas yang

hanya mengikuti stimulasi EGF sehingga proliferasi sel hanya terjadi karena regulasi dari

EGF. Perubahan yang dramatis terjadi dalam hal pengendalian aktifitas “ras” protein,

manakala terjadi mutasi pada “ras” onkogen. Mutan “ras” protein akan dapat berikatan

dengan GAPs, dimana aktifitas dari GTPase tidak akan mengalami penguatan/amplifikasi.

Sebagai akibatnya maka ”ras” yang mengalami mutasi tetap berikatan dengan GTP yang

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

akan terus menerus mengaktifkan “raf” protein yang akan mengirimkan sinyal proliferasi

ke inti sel meskipun tanpa adanya ikatan antara EGF dengan EGFR pada permukaan sel.

(Stadler, et al., 2008)

Growth factor merupakan molekul yang berperan pada ploriferasi sel, dan juga pada

differetiasi, adhesi daya tahan hidup dan migrasi sel. Receptor growth factor ternyata

mempunyai peranan penting dalam melanjutkan transmisi sinyal dari ektraseluler kedalam

intraselular. “Epidermal Growth Factor Receptor” (EGFR). Merupakan salah satu dari

receptor growth factor yang dapat diidentifikasi. EGFR merupakan suatu glikoprotein yang

merupakan keluarga receptor transmembrane yang disebut sebagai erb B atau “Human

Epidermal Growth Factor” (HER). Struktur receptor ini ditandai dengan adanya bentuk

ikatan yang kaya cysteine ekstraselular, bentuk transmembrane yang hidrofobik, dan bentuk

tyrosin kinase sitoplasma. Anggota keluarga kelompok ini mempunyai bentuk yang

homolog pada tyrosin kinase, tetapi berbeda pada domain ekstraseluler dan domain C

terminal. Seperti bentuk lainnya dari kelompok erb B, EGFR juga dikenal sebagai erb B1

atau HER1, sedangkan anggota kelompok lainnya adalah erb B 2(HER-2/neu), erb B3

(HER-3) dan erb B4 (HER-4). Receptor ini berisi extraceluler ligand binding domain,

single transmembrane domain, cytoplasmic protein tyrosin kinase domain (hubungan

EGFR dengan ligandnya dapat dilihat pada gambar 2.10). Anggota kelompok erb

diekspresikan pada jaringan secara temporer. Lebih dari 10 ligand diketahui berikatan

dengan EGFR, termasuk epidermal growth factor, transforming growth factor alpha (TGF-

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

α), heparin binding EGF, amphiregulin, betacellulin, epiregulin dan neuregulin (De Vita,

et al., 2008).

Sinyal yang dihantarkan melalui EGFR dimulai saat ligand berikatan dengan erb-B

monomer, akan memicu receptor homo atau heterodimerisasi dan auto fosfolirasi didalam

sitoplasma (sinyal growth factor extraseluler dikirim masuk kedalam sel) sehingga akan

terjadi pengaturan serin /threonine kinase expresi gen dan memicu terjadinya proliferasi sel

melalui beberapa tahap yaitu ikatan growth factor dengan receptor, dimerisasi receptor,

autofosforilasi, aktivasi tranducer intraseluler termasuk didalamnya RAS dan kaskade

serta terjadinya pengaturan factor transkripsi untuk ekspresi gen (Pecorino., 2005).

Langkah pertama adalah ikatan receptor EGFR dengan growth factor extraseluler

domain (I dan III) dari EGFR yang membentuk ikatan tersebut. Proses selanjutnya adalah

proses dimerisasi. Dimerisasi adalah proses interaksi antara 2 EGFR monomer menjadi

dimer. Ikatan antara satu molekul EGF dengan satu receptor akan menyebabkan perubahan

yang mengarah dimerisasi domain receptor extraselular. Hal ini memberikan ikatan tersebut

menjadi domain yang sama pada ikatan EGF dengan receptor monomer yang lain yang

mengakibatkan terjadinya receptor dimmer. Hal penting untuk dicatat adalah bahwa EGFR

dapat berbentuk heterodimer dengan anggota lain dari erb-B. Secara umum diasumsikan

bahwa receptor tanpa ligand tak akan mampu untuk melakukan dimerisasi, meski erb – B2

merupakan perkecualian dan mungkin tidak punya ligand.

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

Setelah terjadi dimerisasi maka proses selanjutnya berupa fosforilasi. Proses

fosforilasi terjadi pada residu tyrosin yang spesifik dan membentuk ikatan untuk src-

homolog 2 dan phosphotyrisine binding domain containing protein, yang akan menjadi

adaptor downstream protein pada proses terjadinya transduksi sinyal. Jaringan kerja secara

horizontal ataupun vertical akan memperkuat dan mengintegrasikan ikatan diekstraseluler

dan menghantarkan sinyal ke nucleus yang akan bekerja untuk proliferasi seluler dan

mengatur diferensiasi sel. Endositosis dari kompleks fosforilasi receptor-ligand akan

mengakhiri ikatan tersebut. Jaringan sinyal melalui erb-B secara konsep merupakan

jaringan multi layer meliputi input layer, signal processing layer, dan output layer. Ikatan

antara ligand dan receptor terjadi pada input layer. Penyebaran sinyal pada lapisan ini

dimulai dari kombinasi yang berbeda dari interaksi ligand-receptor seperti dimerisasi

(homo atau heterodimer) dari receptor tersebut.

Hetero dimerisasi akan menyebabkan mitogenik yang lebih kuat dan hal ini

dipercaya akan menghasilkan residu fosfotyrosin yang dapat digunakan untuk stabilisasi

receptor. Bentuk dari homo-heterodimer dipengaruhi oleh adanya bivalensi dari erb-B

ligand, yang menyebabkan perbedaan afinitas ikatan dari ligand tersebut, dan stabilitas pH

dari kompleks ligand receptor. Lapisan yang memproses sinyal akan meneruskan sinyal ke

masing masing molekul downstream dari receptor.

Setelah terjadi fosfolirasi, maka proses selanjutnya akan diikuti oleh autofosforilasi.

Dua receptor yang saling mendekat disebabkan adanya proses dimerisasi, dapat

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

mengakibatkan domain kinase dari satu receptor yang merupakan bagian dari dimer,

melakukan fosforilasi receptor lain dari dimer. Auto fosforilasi intermolekul didalam

sitoplasma, merupakan domain dari receptor. EGFR mengkatalisa transfer dari molekul

fosfat dari ATP ke sisi aktif dari tyrosin kinase menuju sinyal penghantar, dan akan

memicu kaskade dari molekul yang memberikan efek proteksi sel dari opoptosis serta

memfasilitasi invasi dan menyebabkan reaksi angiogenesis. Sesudah berikatan disebut

sebagai ligands, EGFR mengalami homodimerisasi kemudian menyebabkan transfosforilasi

beberapa tyrosin kinase domain yang akan merangsang sinyal jalur EGFR intraseluler. Hal

tersebut meliputi aktivasi protein STAT, kelompok SRC kinase, protein AKT, MAP kinase

dan menginduksi transkrip gen didalam sel seperti pemisahan sel dan kemampuan hidup sel

(Sarkis, et al., 2010).

EGFR juga menjadi perantara aktivasi kelompok anggota lain dari erb-B. ini

menjelaskan bahwa EGFR berperan dalam pertumbuhan sel. AKT dikenal sebagai anti

apoptosis kinase, mengakibatkan sel bertahan hidup melalui aktifasi dari erb-B kinase,

yang berperan dalam regulasi positif pengaturan NF-B, melalui transkripsi dari gen anti

apoptosis atau antagonis P21 sehingga siklus sel akan berhenti, AKT menyebabkan banyak

efek pada sel, juga dapat mengakibatkan endothelial NO synthase yang berperan penting

dalam angiogenesis. AKT juga mengaktivasi aktivitas telomerase melalui fosforilasi dari

telomerase manusia berlawanan dengan transcriptase. AKT juga juga menyebabkan invasi

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

tumor dan proses metastase melalui stimuli Matrix Metalloproteinase (Lothaire, et al.,

2005).

2.6.1. EGFR pada KSSKL Anterior dan KSSKL Posterior

Over ekspresi EGFR berhubungan dengan progresifitas tumor dan rendahnya

kemampuan bertahan pada berbagai keganasan seperti pada kanker di kepala dan leher,

paru-paru, payudara, saluran cerna dan kandung kemih (Ragin, et al., 2007). Overekspresi

EGFR pada kanker rongga mulut diperkirakan sekitar 60-80%. Over ekspresi EGFR

mempunyai hubungan signifikan terhadap grade histopatologis pasien KSSKL (Issa.,

2013). Over ekspresi EGFR terdapat pada 83% pasien (123) KSSKL (Abusail, et al., 2013).

Over ekspresi EGFR berhubungan dengan mitotic index dari sel kanker, EGFR (-) menjadi

prognosis yang baik pada pasien KSSKL. Over ekspresi EGFR berhubungan secara

signifikan dengan differensiasi tumor yang buruk dan pola pertumbuhan yang invasive

pada oral SCC (Shiraki, et al., 2005). Over ekspresi EGFR menunjukan overal survival

yang lebih pendek serta respon kemoterapi yang buruk pada oral cancer (Hitt, et al., 2004),

di Bali telah diteliti hubungan antara ekspresi EGFR dengan klinikopatologi pada oral

SCC, dan didapatkan ekspresi EGFR didapatkan pada 80% oral scc (dari total pasien 30),

dan mempunyai hubungan dengan ukuran tumor dan keterlibatan node, pada penelitian ini

derajat ekspresi EGFR yang didapatkan paling banyak +1 (58%), kemudian +2 (25%),

+3(16,6%) (Sutama, dan Sudarsa, 2008). Kemudian didapatkan ekspresi EGFR pada 83%

pasien kanker nasofaring ( Fujii, et al., 2002). Didapatkan hubungan yang signifikan antara

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

ekspresi EGFR dan staging tumor pada kanker nasofaring, tetapi tidak berhubungan dengan

faktor prognostik (Putti, et al., 2002). Pada kanker orofaring didapatkan ekspresi EGFR

lebih banyak didapatkan pada pasien dengan HPV (-) dibandingkan dengan HPV (+),

ekspresi EGFR berkaitan dengan keterlibatan Node metastasis (Won, et al., 2012; Hong, et

al., 2010). Ekspresi EGFR didapatkan pada 65% pasien kanker orofaring tetapi tidak

berhubungan dengan faktor prognosis maupun survival rate (Perisanidis, et al., 2013).

Adanya ekspresi EGFR yang sangat kuat pada kasus KSSKL berhubungan dengan ukuran

tumor, node, adanya metastase dan berhubungan dengan prognosis yang buruk (Carvalho,

et al., 2004; Suh et al., 2014; Kusukawa, et al., 1996).

Penelitian lain mendapatkan hasil yang berbeda dimana tidak ditemukan hubungan

antara ekspresi EGFR dengan stadium tumor, penyebaran kekelenjar limfe maupun

metastase, tetapi adanya overekspresi EGFR pada kasus kanker rongga mulut merupakan

suatu celah untuk penggunaan obat-obat anti kanker yang bekerja dengan menghambat

EGFR maupun jalur signalnya sehingga pengobatan kanker rongga mulut akan menjadi

lebih komprehensif (Sugerman, et al., 1999; Ryott, et al., 2008; Ch’ng, et al., 2007;

Leemans, et al., 2010). Mahendra, et al., 2013 melakukan penelitian tentang hubungan

ekspresi EGFR dengan oral leukoplakia, didapatkan 100% over ekspresi EGFR pada

semua sampel (40 OSCC dan 25 OL) dan secara statistik didapatkan hubungan yang

signifikan antara HNSCC dan OL, disimpulkan EGFR dapat menjadi marker prediktor

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

untuk lesi premalignansi yang potensial menjadi malignan, dan diharapkan anti EGFR

terapi dapat dipakai sebagai terapi profilaksis.

2.6.2. Manajemen Terapi pada KSSKL

Pada stadium awal (Stadium I dan II) pilihan terapi tergantung dari lokasi, pada

tumor yang operable dapat dilakukan tindakan operasi tanpa atau dengan dilanjutkan

radiotherapi, sedangkan pada nasofaring, orofaring, hipofaring, radiotherapi menjadi

pilihan utama disebabkan karena angka kesembuhan yang relatif sama dengan tindakan

pembedahan ditambah angka morbiditas yang lebih kecil (Argiris, et al., 2008)

Pada stadium lanjut (stadium III dan IV) pembedahan, radiotherapi dan kemoterapi,

mempunyai peran yang sangat penting. Pada tumor yang operable, sering dilanjutkan

dengan kemoradiasi. Kemoterapi dan radioterapi yang dilakukan sendiri-sendiri tidak se

efektif jika dilakukan secara simultan (Marur, et al., 2010). Pada tumor yang tidak operable

standar terapinya adalah dengan kombinasi kemoradiasi.

Berkembangnya penelitian tentang biologi molekular memberikan celah untuk

pengobatan pada KSSKL. Anti EGFR monoklonal antibodi dan small molecule tyrosine

kinase inhibitors telah banyak diteliti, EGFR monoklonal antibodi bekerja dengan cara

mencegah ligand EGFR untuk berikatan dengan EGFR extracellular domain, mencegah

receptor dimerization, menginduksi degradasi reseptor. Cetuximab adalah human-murine

chimeric IgG monoclonal antibody yang secara kompetisi melekat ke domain ektraselular

EGFR (Choong dan Cohen., 2005), efektifitas cetuximab masih kontroversi, penggunaan

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

cetuximab sebagai single agent therapi tidak memuaskan, sehingga perlu dikombinasi

dengan modalitas yang lain seperti radiotherapy dan kemoterapi (Schmitz, et al., 2013).

Kombinasi antara cetuximab dan radioterapi dinilai lebih aman dengan efek samping yang

minimal (rash, hipomagnesemia), 87% pasien mengalami complete respon dan 13% partial

respon (Bernier dan Schneider., 2006), sedangkan kombinasi cetuximab dengan cisplatin

mempunyai efek samping yang cukup fatal (myocardial infark, bacteremia, arrhythmia)

(Choong dan Cohen., 2006). Cetuximab sendiri maupun dikombinasi dengan radioterapi

dapat menjadi pilihan ketika pasien tersebut tidak dapat mentoleransi efek samping

kemoterapi. Banyak penelitian-penelitian lainnya yang meneliti efektifitas pengobatan

KSSKL dengan mempergunakan cetuximab dan kombinasi obat kemoterapi dan

radioterapi, dengan agent kemoterapi yang berbeda bahkan dengan dosis yang disesuaikan,

begitu juga penelitian megenai obat anti EGFR lainnya. (Jenis-jenis targeting therapy dan

targetnya dapat dilihat pada gambar 2.11)

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfEpidemiologi Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut . Di seluruh dunia diperkirakan kanker rongga mulut merupakan 6 % dari seluruh keganasan

Gambar 2.11 Molecular signaling pathway dan target agent untuk terapi KSSKL (Argiris, et al., 2008)