BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfUrease menghidrolisis urea menjadi karbondioksida dan...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfUrease menghidrolisis urea menjadi karbondioksida dan...
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Helicobacter pylori
2.1.1 Helicobacter pylori (H. pylori)
H. pylori merupakan bakteri patogen gram negatif anaerob berbentuk spiral
yang ditemukan pada mukosa lambung, dan pertama kali diisolasi oleh Waren dan
Marshall pada tahun 1983. Pada awalnya H. pylori diklasifikasikan sebagai
Campylobacter pylori, tetapi kemudian tahun 1989 dimasukkan kedalam genus
baru Helicobacter, dan diberi nama Helicobacter pylori (Brown, 2000). Nama H.
pylori berasal dari bahasa Latin yang artinya “batang spiral pada perut bagian
bawah” (Bakri, 2012).
Bakteri H. pylori bersifat non-invasif, hidup pada mukus, mikroaerofilik
(memerlukan kadar oksigen yang rendah), berbentuk S dengan 2-6 flagela yang
membuatnya bergerak sesuai kontraksi lambung dan penetrasi pada mukosa
lambung, dengan panjang 2,4-4,0 µm dan lebar 0,5-1,0 µm. Reservoarnya pada
lambung terutama bagian antrum dan tidak berkoloni pada lambung yang dengan
metaplasia atau displasia (Gambar 2.1) (Brown, 2000; Atherton, 2010).
Gambar 2.1
H. pylori (dengan skaning berwarna electron micrograph pada permukaan sel
lambung) (Logan, 2001)
2
Infeksi H. pylori merupakan salah satu faktor risiko keganasan pada lambung
termasuk limfoma dan kanker lambung. Tahun 1994, World Health Organization
(WHO) mengklasifikasikan H. pylori sebagai karsinogen kelas 1 (Radosz-
Komoniewska, 2005).
2.1.2 Epidemiologi H. pylori
Infeksi H. pylori sangat umum di Amerika Serikat dengan prevalensi yang
bervariasi sesuai usia, sekitar 50% didapatkan pada usia 60 tahun dan sekitar 20%
pada usia 30 tahun, dan di negara berkembang lainnya didapatkan lebih dari 80%
(Atherton, 2010). WHO mendapatkan mayoritas infeksi H. pylori terjadi pada usia
muda dan menengah (25-50 tahun) (Alsaimary, 2009).
2.1.3 Perjalanan Alamiah H. pylori
Infeksi H. pylori seringkali asimtomatik (>70%), tetapi sekitar 10% individu
yang terinfeksi menunjukkan ulkus peptikum, dan beberapa dengan kanker
lambung (Vilaichone et al., 2013). Infeksi H. pylori dipengaruhi oleh jenis strain
bakteri (faktor virulensi) (Gambar 2.2) dan faktor host (predisposisi genetik,
respon imun terhadap infeksi, dan diet) (Radosz-Komoniewska, 2005). Faktor
risikonya meliputi merokok, konsumsi alkohol, diet, kecelakaan kerja, paparan
yang ditularkan melalui air, higiene, faktor sosial, dan riwayat keluarga dengan
penyakit lambung (Brown, 2000).
Rute transmisi infeksi H. pylori yaitu fekal-oral, oral-oral, dan gastrik-oral
(Radosz-Komoniewska, 2005). Setelah tertelan, bakteri menghindari aktivitas
bakterisidal isi lumen lambung dan masuk ke lapisan mukus. Mukosa lambung
sangat terlindungi dari infeksi bakteri tetapi H. pylori mampu beradaptasi dengan
3
baik pada ekologi tersebut dan mampu masuk ke dalam mukus, berenang,
menyesuaikan diri dalam mukus, berikatan dengan sel epitel, menghindari respon
imun, dan pada akhirnya bisa mengadakan kolonisasi dan transmisi yang persisten
(Suerbaum, 2002).
Gambar 2.2
H. pylori dan virulensinya (Tiwari, 2011)
Urease merupakan enzym paling penting yang diproduksi oleh H. pylori
untuk dapat bertahan pada lingkungan pH yang rendah dan juga sebagai alat bantu
kolonisasi pada membran mukosa lambung (Radosz-Komoniewska, 2005).
Urease menghidrolisis urea menjadi karbondioksida dan amonia, sehingga
memungkinkan H. pylori untuk bertahan pada suasana lambung yang asam.
Aktivitas enzym diatur oleh pH-gated urea chanel (UreI) yang terbuka pada pH
rendah dan menghentikan influks urea pada kondisi netral (Suerbaum, 2002).
Infeksi H. pylori biasanya didapatkan saat anak-anak. Infeksi akutnya
menyebabkan hipoklorida yang bersifat sementara dan jarang terdiagnosis.
Gastritis kronik akan berkembang pada hampir semua orang dengan koloni yang
4
menetap, tetapi 80-90% biasanya asimtomatis. Perkembangan klinis selanjutnya
sangat bervariasi dan tergantung pada faktor bakteri dan host. Pasien dengan
sekresi asam yang tinggi cenderung lebih dominan dengan gastritis antrum yang
mempengaruhi terjadinya ulkus duodenum, sedangkan pasien dengan sekresi
asam yang lebih rendah cenderung dengan gastritis pada korpus lambung,
predisposisi menjadi ulkus lambung, dan dapat menyebabkan terjadinya kanker
lambung. Walaupun jarang infeksi H. pylori juga dapat merangsang terjadinya
limfoma MALT pada mukosa lambung, yaitu limfoma maligna yang timbul dari
jaringan limfoid mukosa (Gambar 2.3) (Suerbaum, 2002).
Gambar 2.3
Perjalanan alamiah infeksi H. pylori (Suerbaum, 2002).
Berbagai faktor virulensi yang terlibat pada patomekanisme infeksi H. Pylori
meliputi: berbagai enzym (seperti urease, katalase, lipase, fosfolipid dan protease),
toksin seperti vacuolating cytotoxin (VacA) dan cytotoxin-associated gene (CagA)
yang berlokasi pada pathogenicity island (PAI). PAI juga terdiri dari sejumlah gen
5
lain yang bertanggung jawab untuk virulensi dan ekspresi sitokin proinflamasi
terutama interleukin (IL)-8 pada sel epitelial (Radosz-Komoniewska, 2005).
Tabel 2.1
Faktor virulensi H. pylori (Cellini, 2000)
Faktor Gen Fungsi
Urease
Fosfolipase
Flagel
Nap
Adhesin
IceA
VacA
Cag PAI
CagA
Ure operon
Gen
FlaA FlaB
NapA
BabA1, BabA2
IceA1 IceA2
VacA
31 gen
CagA
Toksisitas mukosal netralisasi asam lambung,
pencampuran nitrogen organik
Gangguan pertahanan mukosa lambung
Motilitas bakterial
Aktivasi neutrofil
Berikatan dengan epitel lambung
Homolog N Ia III endonuklease restriksi
Sitotoksisitas untuk epitelial lambung
C-X-C famili kemokin meningkatkan infiltrasi
neutrofil kedalam epitelial lambung
Antigen imundominan
2.1.4 Diagnosis Infeksi H. pylori
Indikasi untuk pemeriksaan H. pylori: penyakit ulkus peptikum, pasien
dengan uninvestigated dyspepsia usia<45 tahun, dan yang tanpa tanda alarm
(perdarahan, anemia, cepat kenyang, kehilangan berat badan yang tidak
terjelaskan, disfagia progresif, odinofagia, muntah berulang, riwayat keluarga
dengan kanker gastrointestinal, dan keganasan esofagogastrik sebelumnya),
limfoma MALT, setelah reseksi endoskopik kanker lambung stadium awal, dan
pasien dengan kekerabatan kanker lambung tingkat 1 (Stenstrom, 2008).
Keadaan yang belum direkomendasikan (tidak konklusif) untuk pemeriksaan
H. pylori meliputi: dispepsia fungsional, gastroesophageal reflux disease
(GERD), pasien yang mengkonsumsi non-steroidal anti-inflammatory drugs
(NSAID), anemia defisiensi besi, dan pasien dengan risiko tinggi terjadinya
kanker lambung (Chey, 2007; Stenstrom, 2008).
6
Pilihan tes untuk H. pylori tergantung pada ketersediaan sarana dan biaya
termasuk perbedaan tujuan antara tes yang digunakan, apakah untuk menegakkan
diagnosis atau untuk mengkonfirmasi terapi eradikasi. Tes untuk H. pylori
dibedakan menjadi dua: tes invasif dengan biopsi dan tes non-invasif (Atherton,
2010). Pemeriksaan H. pylori:
1. Tes invasif: H. pylori dideteksi dengan pemeriksaan endoskopi dengan biopsi
yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histologi, kultur atau tes urea.
a. Pemeriksaan histologi, dari bahan biopsi menggunakan pewarnaan Giemsa
atau Warthin-Starry untuk mengidentifikasi bakteri. Bahan biopsi diambil
dari antrum dan korpus. Pemeriksaan histologi dapat memberikan
informasi tambahan tentang derajat, pola inflamasi, atrofi, metaplasia, dan
displasia (Atherton, 2010; Micu et al., 2010).
b. Pemeriksaan kultur, isolasi mikrobiologi secara teori merupakan standard
baku untuk mengidentifikasi berbagai infeksi bakteri. Spesifisitasnya
tinggi, tapi kurang sensitif karena sulitnya mengisolasi H. pylori (Hunt et
al., 2011).
c. Rapid urea test (RUT), tes biopsi urease dengan bahan biopsi dari antrum
yang ditempatkan pada gel berisi urea dan sebuah indikator, hindari
konsumsi antibiotik dan PPI minimal 2 minggu untuk menghindari hasil
positif palsu (Atherton, 2010).
d. Polymerase chain reaction (PCR) digunakan untuk mengidentifikasi
genom spesifik H. pylori dengan sensitivitas 90% dan spesifisitasnya
hampir 100% (Micu et al., 2010).
7
2. Tes non-invasif
a. Urea breath test (UBT), untuk mendapatkan aktivitas urease pada
lambung, secara kualitatif dapat mendeteksi infeksi dengan sensitivitas dan
spesifisitas lebih dari 90%. Tes ini diindikasikan pada diagnosis awal
adanya infeksi dan untuk follow-up terapi eradikasi (Suerbaum, 2002).
Deteksi H. pylori non-invasif dengan urea 13
C berdasarkan prinsip bahwa
larutan berlabel urea dengan karbon 13 akan dihidrolisis dengan cepat oleh
enzyme urease yang diproduksi oleh H. pylori. UBT mendeteksi aktivitas
urease lambung dengan mengukur perubahan 13
C pada sampel pernapasan
ekspirasi setelah mengkonsumsi urea berlabel 13
C. Bahan yang mirip tetapi
bersifat radioaktif yaitu urea 14
C (Logan, 2001). Test 14
C tidak
direkomendasikan untuk diagnosis awal tetapi lebih untuk evaluasi terapi
eradikasi H. pylori (Bakri, 2012).
b. Tes serologi, digunakan secara luas untuk mendiagnosis infeksi H. pylori
pada pasien sebelum diberikan terapi (Suerbaum, 2002). Antibodi IgG H.
pylori dapat dideteksi dengan enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) atau tes aglutinasi lateks. Tes ini umumnya sederhana, dapat
direproduksi, dan dapat dilakukan pada sampel yang telah disimpan
sebelumnya (Logan, 2001), sebagai prediktor pada infeksi dengan
prevalensi tinggi di negara berkembang (Hunt et al., 2011).
c. Pemeriksaan antigen feses, tes ini memiliki sensitivitas 89-98% dan
spesifisitas lebih dari 90% (Suerbaum, 2002), mendeteksi adanya antigen
H. pylori pada feses dengan menggunakan ELISA, tes ini dapat
8
dilakukan pada studi epidemiologi dengan skala yang luas (Logan, 2001).
Perbandingan tes untuk infeksi H. pylori seperti pada Tabel 2.2 (meliputi
sensitivitas, spesifisitas, ketersediaan dan perkiraan biaya).
Tabel 2.2
Perbandingan akurasi, ketersediaan dan biaya tes H. pylori (Logan, 2001)
Tes Sensitivitas
(%)
Spesifisitas
(%)
Ketersediaan Biaya
Invasif
Histologi 88-95 90-95 √ √ √ √ + + + +
Kultur 80-90 95-100 √ √ + + +
Tes Urease 90-95 90-95 √ √ √ √ + + +
Non-Invasif 13
C UBT 90-95 90-95 √ √ √ √ + + + 14
C UBT 86-95 86-95 √ √ √ + +
Serologi
ELISA 80-95 80-95 √ √ √ +
NPT 60-90 70-85 √ √ √ √ + +
Antigen Feses 90-95 90-95 √ √ + +
2.1.5 Terapi Eradikasi Infeksi H. pylori
Tujuan terapi H. pylori adalah untuk mengeleminasi organismenya secara
lengkap. Regimen eradikasi klinis yang relevan terhadap H. pylori harus memiliki
tingkat kesembuhan sekurang-kurangnya 80% tanpa efek samping utama dan
dengan resistensi minimal. Semua tujuan tersebut tidak dapat dicapai dengan
antibiotik tunggal (Suerbaum, 2002). Dua faktor penting kesuksesan terapi H.
pylori yaitu kepatuhan pasien dengan obatnya dan penggunaan obat H. pylori
yang tidak menimbulkan resistensi (Atherton, 2010).
Asam luminal mempengaruhi efektivitas beberapa obat antimikroba yang
aktif melawan H. pylori sehingga antibiotik dikombinasikan dengan proton pump
inhibitors (PPI) atau ranitidin bismuth sitrat. Kombinasi dua atau lebih obat
antimikroba meningkatkan tingkat perbaikan dan menurunkan risiko resistensi
9
terhadap H. pylori. Antibiotik utama yang digunakan yaitu amoksisilin,
klaritromisin, metronidasol, tertrasiklin, dan bismuth (Suerbaum, 2002).
Terapi tripel 7-10 hari terdiri dari: PPI, amoksisilin, dan klaritromisin
merupakan standar pilihan terapi first line untuk eradikasi H. pylori sejak pertama
kali diterima pada panduan internasional tahun 1996 (Federico, 2014) dengan
dosis omeprazole 2x20 mg, klaritromisin 2x500 mg, dan amoksisilin 2x1g, atau
omeprazole 2x20 mg, klaritromisin 2x500 mg, dan metronidasol 2x500 mg yang
diberikan dalam waktu 7-14 hari, serta second-line: omeprazole 2x20 mg, bismuth
subsalisilat 4x2 tablet, tetrasiklin 4x500 mg, dan metronidasol 3x500 mg
diberikan selama 14 hari (Atherton, 2010). Skema terapi third line meliputi
antibiotik dari kategori lainnya seperti levofloksasin dan rifabutine (Micu et al.,
2010).
2.2 Dispepsia
Dispepsia didefinisikan sebagai “rasa nyeri atau rasa tidak nyaman yang
kronik atau berulang, yang berpusat pada perut bagian atas” (Mapel, 2012). Nama
dispepsia berasal dari bahasa Yunani, dari kata “duis” (artinya buruk atau sulit)
dan “peptin” (artinya menelan) (Desai, 2012).
Dispepsia merupakan masalah umum yang luas, di Amerika Serikat
prevalensinya sekitar 25% (Talley, 2005). Diperkirakan sekitar 20-40% populasi
mengeluh dispepsia. Kebanyakan (50-70%) pasien dengan dispepsia tidak
didapatkan kelainan organik (non-ulcer dyspepsia, NUD) berupa lesi fokal atau
struktural yang signifikan ditemukan pada endoskopi (Baker, 2006) dan hanya
10
sebagian kecil dengan kelainan organik seperti peptic ulcer disease (PUD)
(Abahussain, 1998).
Pada sebuah studi investigasi dispepsia, didapatkan tiga struktural utama
penyebab dispepsia yaitu: PUD (10%), GERD (20%), dan keganasan (2%)
(Baker, 2006). Rasa tidak nyaman diartikan dengan berbagai gejala termasuk
cepat kenyang atau rasa penuh pada perut bagian atas (Talley, 2005).
Tidak ada mekanisme patofisiologi definitif untuk dispepsia (Loyd,
2011), beberapa patofisiologinya: keterlambatan pengosongan lambung, gangguan
penyesuaian lambung terhadap makanan, hipersensitivitas distensi lambung,
infeksi H. pylori, perubahan respon terhadap lipid atau asam duodenal, motilitas
duodenojejenum abnormal, atau disfungsi sistem saraf pusat (Sabih, 2013).
Pasien dispepsia berusia lebih dari 55 tahun atau yang dengan tanda alarm
(perdarahan saluran cerna, anemia, rasa kenyang diawal, penurunan berat badan
yang tidak terjelaskan (>10%), disfagia progresif, odinofagia, muntah yang
persisten, riwayat keluarga dengan kanker gastrointestinal, keganasan
esofagogastrik sebelumnya, ulkus peptikum sebelumnya, limfadenopati, atau
massa abdominal) seharusnya diperiksa endoskopi untuk mengeksklusi
kemungkinan PUD, keganasan esofagogastrik, dan penyakit jarang lainnya pada
traktus gastrointestinal atas (Talley, 2005).
2.2.1 Infeksi H. pylori dan Dispepsia
H. pylori diketahui sebagai mikroba utama yang merangsang respon inflamasi
gastroduodenal. Dispepsia dapat merupakan tanda infeksi H. pylori akut atau
11
kronis. Studi dengan populasi yang luas menunjukkan peningkatan insiden infeksi
H. pylori pada pasien dispepsia (Loyd, 2011).
Prevalensi infeksi H. pylori pada pasien dispepsia di Kuwait didapatkan
sebesar 49,7% (Alazmi, 2010), di India sebesar 59% (Sodhi et al., 2013), di
Myanmar sebesar 48% (Myint et al., 2015), dan di Iran didapatkan sebesar 31,2%
(Niknam, 2014).
Studi multicenter di 5 kota besar di Indonesia tahun 2003-2004 mendapatkan
prevalensi H. pylori pada pasien dispepsia sebesar 10,2% dengan prevalensi
tertinggi di Jogjakarta (30,6%) dan terendah di Jakarta (8%) (Syam et al., 2006).
Laporan studi lainnya di Jakarta mendapatkan prevalensi H. pylori sebesar 52,3%
dari 310 pasien dispepsia (Utia, 2010). Di RS M Djamil Padang prevalensi H.
pylori pada pasien dispepsia didapatkan sebesar 45% (Zubir, 2000).
Hasil meta analisis menunjukkan bahwa prevalensi infeksi H. pylori lebih
banyak pada pasien dispepsia dibandingkan kontrol dengan odds ratio 2,3 (95%
CI, 1,9-2,7) (Suzuki, 2011). Prevalensi H. pylori pada pasien dewasa dengan
dispepsia di Iran sebesar 31,2% (Niknam, 2014), di Malaysia 49,0% (Goh, 1997)
dan di India sebesar 80% (Ahmed et al., 2007).
Studi meta analisis 14 studi dengan 2.993 pasien mengkonfirmasi perbaikan
gejala dispepsia lebih sering terjadi setelah terapi H. pylori dibandingkan dengan
pemberian plasebo (odd ratio=1,38, 95% CI 1,18-1,62, p<0,0001) dengan tanpa
perbedaan antara Eropa, Amerika Serikat, dan Asia (Zullo et al., 2014). Studi
Helicobacter Eradication Relief of Dyspeptic Symptoms (HEROES) yang
dilakukan mendapatkan hasil bahwa eradikasi H. pylori pada pasien dispepsia
12
memberikan manfaat yang signifikan (perbaikan gejala dan kualitas hidup)
dibandingkan yang hanya diberikan plasebo dengan number of needed to treat
(NTT) 9 (95% CI: 5-59) (Mazzoleni et al., 2011).
H. pylori menginduksi aktivasi kompleks, menarik sitokin, dan kemokin pada
mukosa lambung, menginduksi hipersekresi asam lambung yang berperan pada
patogenesis dispepsia. Sekitar 10%-15% pasien dengan infeksi H. pylori
menunjukkan gastritis yang dominan pada antrum sebagai akibat hipersekresi
asam lambung dan merangsang menurunan sekresi somatostatin pada antrum dan
menyebabkan peningkatan sekresi gastrin dan meningkatkan sekresi asam
lambung (Suzuki, 2011).
Infeksi H. pylori dapat menyebabkan gejala dispepsia melalui mekanisme
seperti perubahan sekresi asam lambung, inflamasi aktif dan persisten pada
mukosa lambung, dan perubahan pasca infektif pada mukosa gastroduodenal
(Zullo et al., 2014).
H. pylori dan NSAID merupakan faktor patogenik utama pada penyakit ulkus
lambung tetapi interaksi keduanya masih kontroversial. NSAID bersama-sama
dengan bakteri memberikan gambaran patologi lambung termasuk kerusakan
epitelial lambung, gangguan mikrosirkulasi, dan terjadinya inflamasi kronik
(Brzozowski et al., 2006).
2.3 Endotelin 1 (ET-1)
Endotelin (ET) merupakan vasokonstriktor poten yang awalnya diisolasi
dari media kultur sel endotelial aortik (Kawanabe, 2011). ET ditranslasi sebagai
200 asam amino preproendothelin yang dipecah oleh enzym furin-like ke bentuk
13
asam amino 38 inaktif (proendothelin atau disebut juga big endothelin).
Proendothelin dipecah menjadi asam amino 21 ET oleh endothelin converting
enzyme (ECE) (ECE1 dan/atau ECE 2) (Gambar 2.4) (Hyndman, 2007).
Gambar 2.4
Sintesis ET-1 (Stow, 2011)
Sejak ditemukan faktor turunan ET tahun 1985 dan deskripsi kompleks ET
oleh Yanagisawa et al., (1988), tiga bentuk isoform dari ET telah dijelaskan
sebagai konstriktor vasoaktif intestinal (ET-1, ET-2 dan ET-3). Gen manusia ET-
1, ET-2 dan ET-3 terletak berturut-turut pada kromosom 6, 1 dan 20 (Kawanabe,
2011). Gen ET-1 mamalia terdiri dari 5 ekson dan panjang DNA genom ~6,8 kb
(Stow, 2011). Dari tiga isopeptida ET, ET-1 merupakan yang paling kuat (Bohm,
2007).
ET-1 matur dibentuk dari pre-pro-ET-1 melalui asam amino intermediet 39
(big ET-1). Big ET-1 diproses menjadi ET-1 oleh famili ECE dan enzym lainnya
seperti kimases, metaloproteinase non-ECE, dan endopeptidase (Bohm, 2007).
Dua reseptor ET gabungan transmembran protein G yaitu endotelin A (ETA) dan
14
endotelin B (ETB) (Kawanabe, 2011), ET-1 menyebabkan vasokonstriksi dengan
aktivasi kedua reseptor tersebut (Gambar 2.5) (Davenport, 2002).
Pada kondisi fisiologis, ET-1 diproduksi dalam jumlah sedikit terutama oleh
sel endotelial dan bertindak sebagai mediator autokrin/parakrin. Sedangkan pada
kondisi patologis, produksinya dirangsang dalam jumlah besar oleh berbagai jenis
sel meliputi sel endotelial, sel otot polos vaskular, miosit kardiak, fibroblas, miosit
kardiak, neuron otak, islet pankreas, dan sel inflamasi seperti makrofag dan
leukosit (Bohm, 2007; Kawanabe, 2011).
Gambar 2.5
Transkripsi dan translasi ET-1 (Kawanabe, 2011).
Pada arteri yang sehat produksi ET-1 jumlahnya sedikit dan bioavailabilitas
nitric oxide (NO) tetap terjaga. Keseimbangan efek vasorelaksasi melalui
peningkatan sinyal cyclic Guanosine Monophosphate (cGMP). Pada disfungsi
endotelial, terjadi peningkatan ekspresi ET-1 pada sel otot polos dan makrofag
yang mengalami vasokonstriksi. ET-1 dapat menurunkan ekspresi endothelial NO
15
synthase (eNOS), sehingga mengurangi produksi NO. Reseptor ETA dan ETB
pada otot polos sebagai perantara pembentukan superoksida (O2-) pada disfungsi
endotel. Superoksida akan menurunkan aktivitas biologi dari NO dengan
membentuk peroxynitrite (ONOO-) (Gambar 2.6) (Bahm, 2007).
Gambar 2.6
Skematik ET-1 pada arteri sehat dan disfungsi endotel (Bahm, 2007)
2.3.1 ET-1 pada Penyakit Lains
Peningkatan ET-1 telah dilaporkan pada beberapa penyakit seperti hipertensi,
gagal jantung kongestif, penyakit ginjal kronik (PGK) (Pittet et al., 1991),
diabetes militus (DM) (Ak et al., 2001), sepsis (Piechota et al., 2007), hipertensi
pulmonar, dan berbagai kanker (Kawanabe, 2011).
Shichiri et al., (1990) mendapatkan kadar ET-1 lebih tinggi pada subjek
dengan hipertensi dibandingkan dengan subjek normal (P<0,025), dan lebih tinggi
pada pasien hipertensi dengan dialisis dibandingkan dengan subjek dialisis
normotensi (P<0,005).
ET-1 berperan sebagai mediator peningkatan tonus dan remodeling vaskular
pada hipertensi pulmonar. Terdapat peningkatan bukti bahwa sel otot polos
vaskular pulmonar seperti juga sel endotelial mensintesis dan mensekresi ET-1
16
terutama ketika dirangsang oleh sitokin. Ekspresi mRNA ET-1 meningkat pada
sel endotelial vaskular pulmonar pada pasien dengan hipertensi pulmonar
(Kawanabe, 2011).
Kadar ET-1 berhubungan dengan derajat beratnya hemodinamik dan dengan
gejala pada pasien dengan congestive heart failure (CHF). ET-1 berperan pada
peningkatan akut dan kronik resistensi vaskular, remodeling ventrikular dan
vaskular, inflamasi dan aritmogenesis pada model dengan gagal jantung
(Kawanabe, 2011). ET-1 memiliki efek inotropik, kronotropik, kemotaktik, dan
mitogenik (Agapitov dan Haynes, 2002). Studi oleh Ak et al., (2001)
menunjukkan peningkatan kadar ET-1 pada pasien dengan DM tipe 2
dibandingkan kontrol (Ak et al., 2001).
Sebagai vasokonstriktor, ET-1 merupakan mitogen poten yang
merangsang eksresi proto-onkogen pada sel vaskular dan non-vaskular.
Peningkatan ekspresi ET-1 telah dilaporkan pada beberapa kanker seperti kanker
prostat, ovarium, kolorektal, payudara, dan paru-paru. Aktivasi reseptor ET-1
berperan pada sel kanker atau sel terkait kanker termasuk proliferasi, resistensi
terhadap apoptosis, angiogenesis, migrasi, neovaskularisasi, dan invasi. Kadar ET-
1 yang tinggi berhubungan dengan peningkatan vascular endothelial growth
factor (VEGF) dan terkait dengan neovaskularisasi (Kawanabe, 2011).
Data klinis dan eksperimental mendapatkan keterlibatan ET-1 pada sepsis,
dan menunjukkan peranan pada kerusakan vaskular yang disebabkan oleh infeksi.
ET-1 dapat bertindak sebagai aktivator sel mast dan menyebabkan degranulasi
dan pelepasan sitokin inflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF)-α dan IL-6
17
(Freeman, 2014). Kadar ET-1 berhubungan dengan kadar prokalsitonin dan C-
reactive protein (CRP) pada pasien sepsis (Piechota et al., 2007).
Beberapa studi mengevaluasi hubungan antara ET-1 dan NSAID pada
kerusakan mukosa lambung. Matsumaru et al., (1997) mendapatkan hasil studi
bahwa ET-1 endogenus dapat berperan penting pada patogenesis kerusakan
mukosa lambung yang diinduksi oleh NSAID (pemberian selama 10 hari
indomethacin) pada tikus. Cyclooxygenase (COX)-1 yang dihambat oleh NSAID
menyebabkan peningkatan signifikan ET-1 dan akan menginduksi kerusakan
mukosa (Amandeep, 2012). Penurunan penyembuhan ulkus mukosa bukal karena
konsumsi NSAID dimanifestasikan berupa peningkatan ekspresi ECE 1 yang
bertanggungjawab terhadap ET-1, penekanan constitutive nitric oxide syntetase
(cNOS), dan amplifikasi apoptosis yang memperlambat proses penyembuhan
(Slomiany, 2001).
Salah satu hipotesis menjelaskan mekanisme NSAID pada peningkatan
tekanan darah terkait hambatan pada prostaglandin (PG) yaitu inhibisi PG oleh
NSAID merangsang sintesis peptida ginjal yang disebut ET-1 dan akan
menyebabkan peningkatan reabsorpsi garam dan air, ET-1 ginjal meningkatkan
tekanan darah melalui resistensi vaskular perifer (Aljadhey, 2008). Johnson
(1996) pada studinya untuk mengetahui peran ET-1 pada hipertensi yang
berhubungan dengan penggunaan NSAID, mendapatkan peningkatan signifikan
(83%) produksi ET-1 urin harian (13,1±3,4 ng/ml; 6,4 sampai 19,8 ng/ml) dan
menyimpulkan bahwa efek parakrin ginjal dapat berperan pada peningkatan
tekanan darah yang diinduksi oleh NSAID pada manusia.
18
2.3.2 ET-1 pada Lambung
Selama berlangsungnya proses percernaan pada lambung, aliran darah
mukosa yang adekuat merupakan salah satu mekanisme penting untuk
mempertahankan integritas mukosa. Stress akut dapat menyebabkan iskemia dan
berikutnya dapat terjadi ulserasi (Chang, 2005).
Efek ET-1 didominasi oleh mekanisme parakrin dan autokrin melalui
stimulasi reseptor spesifik yaitu ETA dan ETB. ET-1 memiliki peran penting pada
terjadinya kerusakan mukosa lambung. Kadar ET-1 plasma dan mukosa
meningkat pada pasien dengan ulkus lambung, mengesankan lambung sebagai
sumber penting sirkulasi ET-1 (Nishida et al., 2006). Injeksi ET-1 submukosa
pada dinding lambung menghasilkan kerusakan mukosa karena integritasnya
hancur oleh karena berkurangnya aliran darah (Chang, 2005).
ET-1 meningkatkan produksi faktor pertumbuhan seperti VEGF, IL-6, dan
hepatocyte growth factor (HGF) dengan meningkatkan COX-2 dan PGE2 . ET-1
pemicu yang kuat terjadinya ulkus peptikum. Selain ET-1, induksi sintesis NO,
VEGF, dan kemokin tertentu juga meningkat selama penyembuhan ulkus (Nishida
et al., 2006). Pada tikus, pemberian ET-1 intravaskular menyebabkan perdarahan
akut dan kerusakan nekrosis pada mukosa lambung melalui penurunan aliran
darah mukosa. Pemberian lokal ET-1 ke dalam lapisan sub-mukosa dinding
lambung menyebabkan erosi kronik dan penurunan integritas mukosa terhadap
asam intraluminal (Masuda et al., 1997).
Masuda et al., (1997) meneliti hubungan konsentrasi ET-1 plasma dan
mukosa dan derajat beratnya pada 19 pasien dengan ulkus lambung dan 8 orang
19
sehat dan mendapatkan konsentrasi ET-1 plasma pada pasien ulkus lambung lebih
besar (p<0,01) dibandingkan dengan yang normal.
2.4 Infeksi H. pylori dan ET-1
Infeksi H. pylori merupakan faktor primer penyebab penyakit lambung, dan
berhubungan dengan inflamasi mukosa lambung yang menyebabkan gastritis dan
ulkus duodenum. Produk virulensi H. pylori yaitu sel dinding lipopolysaccharida
(LPS) (Slomiany, 1999). Gangguan homeostasis mukosa lambung dan kehilangan
lapisan mukus merupakan gambaran penyakit lambung yang disebabkan oleh
infeksi H. pylori, seperti respon mukosa lambung terhadap LPS H. pylori pada
binatang percobaan dengan gastritis. LPS merupakan komponen dari membran
luar H. pylori yang merupakan faktor kunci virulensinya (Slomiany, 2006).
Inflamasi mukosa lambung yang terlibat pada respon LPS H. pylori ditandai
dengan peningkatan apoptosis sel epitelial dan ekspresi sitokin proinflamasi,
kelebihan turunan NO dan prostaglandin. Efek patogen LPS H. pylori juga
menyebabkan proses inflamasi mukosa lambung secara progresif melibatkan
stimulasi translokasi nuclear factor kappa B (NFκB), gangguan kaskade mitogen-
activated protein kinase (MAPK), dan peningkatan sekresi peptide vasoaktif yang
poten dari mukosa yaitu ET-1 (Slomiany, 2006), juga peningkatan ekspresi
beberapa sitokin proinflamasi termasuk TNF-α, IL-1, dan IL-6 yang akan
merangsang produksi ET-1 (Bohm, 2007).
Studi oleh Slomiany (2006) menunjukkan LPS H. pylori melalui peningkatan
efek MAPK/extracellular signal regulated kinase (ERK) mengaktivasi cytosolic
20
phospholipase A2 (cPLA2) yang menyebabkan peningkatan platelet activating
factor (PAF) generation yang kemudian meningkatkan ET-1.
Overproduksi ET-1 distimulasi dan dipertahankan oleh IL-1, IL-4, dan TNF-α
sebagai hasil respon inflamasi terhadap infeksi H. pylori. Adanya infeksi H. pylori
dan tingginya ekspresi ET-1 mukosa lambung berperan pada inisiasi ulkus
lambung (El-Wahab, 2006).
Inisiasi ulserasi lambung merupakan proses yang kompleks dan
multifaktorial, serta memerlukan peran dari peningkatan produksi asam lambung.
Koinfeksi toksikogenik strain H. pylori bersama-sama dengan tingginya ekspresi
ET-1 lambung dapat menginduksi vasokonstriksi pembuluh darah mukosa
lambung (Szabo et al., 2003).
Slomiany (1999) meneliti respon inflamasi mukosa lambung pada LPS H.
pylori yang menginduksi gastritis dengan menganalisis ekspresi ET-1, IL-4, dan
TNF-α. Hasil studi mendapatkan peningkatan 3,1 kali ekspresi mukosal ET-1,
peningkatan 9 kali TNF-α, sementara kadar IL-4 menurun 20,8%. Hasil ini
menunjukkan ET-1 berperan pada respon mukosa lambung oleh LPS H. pylori.
Menessy (2000) meneliti kadar ET-1 pada pasien dengan ulkus peptikum
dan hubungannnya dengan H. pylori pada 65 pasien dan 10 kontrol. Pasien
dikelompokkan kedalam 3 kelompok (ulkus duodenum, ulkus lambung, dan
kelompok non-ulcer). Hasilnya kadar ET-1 didapatkan lebih tinggi pada ketiga
kelompok pasien dibandingkan dengan kontrol (p<0,001). Pasien dengan H.
pylori positif memiliki kadar ET-1 signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan
yang negatif. Kesimpulannya ET-1 dapat digunakan sebagai penanda derajat
21
beratnya kerusakan mukosa pada NUD, ulkus lambung, dan ulkus duodenum.
Terapi anti ET-1 dapat diberikan sebagai profilaksis pada pasien dengan risiko
tinggi terjadinya ulkus peptikum.
Chang (2005) meneliti 60 pasien ulkus duodenum dengan infeksi H. pylori
positif dan negatif serta 37 pasien kontrol. Kadar ET-1 plasma pada pasien ulkus
duodenum didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan infeksi H. pylori negatif
dan positif berturut-turut (3,59±0,96 vs 0,89±0,54 vs 0,3±0,2). Eradikasi H. pylori
menurunkan kadar ET-1 (3,64±0,55 vs 2,64±0,55 pg/mL, p<0,01). Koefisien
korelasi (r) kadar ET-1 sebelum dan sesudah terapi tripel (rabeprazole 2x20 mg,
amoksisilin 2x1000 mg, dan metronidasol 2x500 mg selama 1 minggu)
didapatkan 0,46 pada pasien ulkus duodenum.