BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdf · upaya pengendalian pemanfaatan...

42
1 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN Bab ini memaparkan mengenai kajian pustaka yang menjelaskan beberapa penelitian serupa baik berupa tesis maupun jurnal untuk membandingkan penelitian yang diambil dengan penelitian yang pernah ada. Dijelaskan pula landasan teori yang akan membantu dalam pemecahan permasalahan dan konsep yang merupakan definisi operasional dari judul yang diambil untuk penyamaan persepsi. Terakhir menggambarkan skema model penelitian yang dilakukan. 2.1 Kajian Pustaka Pada kajian pustaka ini dipaparkan mengenai penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya yang memiliki kemiripan dengan penelitian yang akan dilakukan untuk menghindari terjadinya duplikasi dalam penelitian. Judul-judul tesis dan jurnal-jurnal penelitian yang dijadikan kajian pustaka ini dipaparkan mengenai penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya yang memiliki kemiripan dengan penelitian yang akan dilakukan serta perbedaan-perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan. Tesis dengan judul Penyelenggaraan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) Dalam Rangka Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang Kota (Studi Di Kabupaten Sampang) di Universitas Muhamadyah Malang di Tahun 2004 oleh Rakhmat Hidayat memaparkan kaitan dengan semakin tingginya kebutuhan akan ruang

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdf · upaya pengendalian pemanfaatan...

1  

   

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI

DAN MODEL PENELITIAN

Bab ini memaparkan mengenai kajian pustaka yang menjelaskan beberapa

penelitian serupa baik berupa tesis maupun jurnal untuk membandingkan penelitian

yang diambil dengan penelitian yang pernah ada. Dijelaskan pula landasan teori

yang akan membantu dalam pemecahan permasalahan dan konsep yang merupakan

definisi operasional dari judul yang diambil untuk penyamaan persepsi. Terakhir

menggambarkan skema model penelitian yang dilakukan.

2.1 Kajian Pustaka

Pada kajian pustaka ini dipaparkan mengenai penelitian yang sudah pernah

dilakukan sebelumnya yang memiliki kemiripan dengan penelitian yang akan

dilakukan untuk menghindari terjadinya duplikasi dalam penelitian. Judul-judul

tesis dan jurnal-jurnal penelitian yang dijadikan kajian pustaka ini dipaparkan

mengenai penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya yang memiliki

kemiripan dengan penelitian yang akan dilakukan serta perbedaan-perbedaan

dengan penelitian yang akan dilakukan.

Tesis dengan judul Penyelenggaraan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)

Dalam Rangka Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang Kota (Studi Di Kabupaten

Sampang) di Universitas Muhamadyah Malang di Tahun 2004 oleh Rakhmat

Hidayat memaparkan kaitan dengan semakin tingginya kebutuhan akan ruang

2  

   

pemerintah dituntut untuk mampu mengendalikannya agar tetap sesuai dan selaras

dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Mengacu pada UU No. 24 Tahun

1992 tentang Penataan Ruang didalamnya telah disebutkan bahwa dalam rangka

menunjang upaya pengendalian pemanfaatan ruang maka diterapkan mekanisme

perijinan bagi segala kegiatan. Apabila dikaitkan dengan pembangunan fisik maka

salah satu ijin yang memegang peranan cukup penting adalah IMB. Dengan adanya

IMB pada dasarnya berfungsi supaya pemerintah kota dapat mengontrol dalam

rangka pendataan fisik kota yang nantinya akan bermanfaat bagi perencanaan,

pengawasan dan penertiban pembangunan fisik kota agar terarah. Berdasarkan hal-

hal tersebut maka sangat penting untuk mengkaji dan mencermati IMB itu sendiri

melalui penelitian.

Masalah yang dirumuskannya yaitu bagaimana IMB dapat menunjang

upaya pengendalian pemanfaatan ruang kota dan faktor-faktor apa saja yang

menghambat penyelenggaraan IMB di Kabupaten Sampang. Tujuan dari

penelitiannya itu yaitu untuk mendapatkan gambaran bagaimana IMB dapat

menunjang upaya pengendalian pemanfaatan ruang kota serta faktor-faktor apa saja

yang menghambat penyelenggaraan IMB di Kabupaten Sampang.

Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini yaitu metode yuridis

sosiologis. Lokasi penelitian di Kabupaten Sampang. Kemudian dianalisis dengan

menggunakan metode diskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dapat

diketahui bahwa penyelenggaraan IMB di Kabupaten Sampang dilaksanakan oleh

Dinas Pemukiman Wilayah Kabupaten Sampang. Apabila dikaitkan dengan

pengendalian pemanfaatan ruang kota, IMB memegang peran yang cukup penting

3  

   

karena setiap permohonan IMB akan diteliti dan dilihat kesesuaiannya dengan

peruntukan wilayah dalam rencana tata ruang dan tata bangunan. Selain itu usaha-

usaha yang dilakukan adalah dengan melakukan pengawasan dan penertiban baik

terhadap pemohon ijin maupun terhadap masyarakat yang tidak memiliki IMB.

Dalam penyelenggaraan IMB hambatan yang ditemui berasal dari pihak

penyelenggara maupun dari masyarakat.

Kesimpulan dari penelitiannya tersebut yaitu IMB di Kabupaten Sampang

belum sepenuhnya menunjang upaya pengendalian pemanfaatan ruang kota.

Beberapa hal yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah adalah perlunya

memaksimalkan pengawasan dan penertiban khususnya terhadap penyimpangan

yang terjadi dalam pemanfaatan ruang kota serta perlunya sosialisasi terhadap

masyarakat tentang mekanisme penyelenggaraan IMB maupun terhadap rencana

tata bangunannya.

Persamaan antara tesis ini dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu

perijinan bangunan (IMB) dijadikan instrumen (acuan) dalam pengawasan dan

pengendalian dalam pemanfaatan ruang agar terjadi kesesuaian dengan tata

bangunan. IMB digunakan sebagai alat untuk mengontrol dan mengendalikan agar

pemanfaatan ruang sesuai dengan tata bangunannya.

Namun terdapat beberapa perbedaan dengan penelitian yang akan

dilakukan. Perbedaan tersebut antara lain terletak pada : lokasi penelitian, luasan

cakupan penelitian, dampak terhadap citra sebuah kawasan, kompleksitas

permasalahan karena perbedaan status wilayah (Kabupaten Sampang merupakan

kota kecil), peraturan-peraturan daerah yang berbeda spesifikasinya.

4  

   

Tesis dengan judul Implementasi Penerbitan Ijin Mendirikan Bangunan

(IMB) dalam Perspektif Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik di Kabupaten

Sukamara pada Universitas Diponegoro ini disusun oleh Ade Irma Suryani pada

Tahun 2008. Dipaparkan mengenai implementasi fungsi pemerintahan adalah

merupakan hal kunci penting dalam pembangunan khususnya dalam penerbitan

IMB di Kabupaten Sukamara.

Permasalahan yang diangkat yaitu bagaimana implementasi fungsi

pelayanan Pemerintah Kabupaten Sukamara dalam pemberian IMB. Kendala-

kendala apakah yang dihadapi oleh Pemerintah Kabupaten Sukamara dalam

implementasinya terhadap IMB sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam

mewujudkan harapan masyarakat. Permasalahan berikutnya yaitu upaya apakah

yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sukamara dalam rangka mengatasi kendala

menuju pada standar pelayanan pemberian IMB.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris. Metode yang

menggunakan pendekatan pada kenyataan melalui sumber data primer dan sumber

data sekunder yang diperoleh. Hasil dari analisis yang dilakukan yaitu

penyelenggaraan fungsi pelayanan pemerintah dalam pemberian IMB telah

berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan azas-azas

umum pemerintahan yang baik agar tercapai kesejahteraan masyarakat.

Kendala implementasi pemberian IMB disebabkan oleh beberapa faktor.

Faktor penyebab implementasi pemberian IMB belum efektif adalah faktor

peraturan perundang-undangan yaitu lemahnya aspek sosiologis dalam peraturan

daerah tentang IMB. Upaya-upaya dilakukan untuk mengoptimalkan implementasi

5  

   

pemberian IMB adalah dengan peningkatan pengawasan sebagai instrumen kendali

disiplin aparat pelayanan permohonan IMB, penerapan pola pembinaan dan

berdaya guna dengan pendisiplinan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada

masyarakat.

Saran yang disampaikan yaitu agar implementasi penerbitan IMB berjalan

dengan baik maka pemerintah Kabupaten Sukamara agar memperbaiki dan

melengkapi faktor-faktor yang menjadi kendala penerbitan IMB, salah satunya

adalah dengan mengefektifkan peraturan daerah tentang IMB melalui penerapan

sanksi yang lebih berbobot untuk menimbulkan efek jera, meningkatkan sosialisasi

dan melakukan upaya-upaya dengan peningkatan pengawasan sebagai instrument

kendali pegawai negeri sipil, penerapan pola pembinaan yang tepat dan

pendisiplinan yang manusiawi.

Persamaan antara penelitian yang akan dilakukan dengan tesis ini adalah

terletak pada IMB dijadikan acuan dalam menata bangunan terhadap pengendalian

pemanfaatan ruang. Namun memiliki realita yang sama yaitu IMB tersebut belum

sepenuhnya mampu menunjang upaya pengendalian pemanfaatan ruang kota.

Selain persamaan terdapat pula beberapa perbedaan dengan usulan

penelitian yang akan dilakukan. Perbedaan tersebut terletak pada lokasi penelitian,

luasan cakupan penelitian, peraturan-peraturan daerah yang berbeda spesifikasinya,

dan kompleksitas permasalahan karena perbedaan status wilayah (Kab. Sukamara

merupakan kota kecil). Pada tesis ini lebih fokus hanya pada sistem/proses

administrasi birokrasi penerbitan IMB.

6  

   

Tesis dengan judul Pedoman Tata Bangunan di Jalan Pemuda Medan yang

disusun oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang bernama Melinda Novita

Sari Sitepu pada Tahun 2013 menguraikan bahwa pedoman tata bangunan adalah

upaya yang dilakukan untuk mengatur dan menata rancangan suatu kota, dimana

didalamnya terdapat aturan berisi hal-hal yang wajib dilakukan dalam batasan-

batasan tertentu serta berupa larangan/sanksi. Pendekatan yang dilakukan untuk

membuat pedoman tata bangunan harus mampu mengenali dan memanfaatkan

potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat). Tujuan

penelitian menyusun pedoman tata bangunan, baik untuk bangunan lama/bersejarah

dan bangunan baru di Jalan Pemuda, Medan sebagai pegangan bagi para

pengelolah kota maupun pelaksana pembangunan kota dalam melakukan

perancangan dan pembangunan dalam konsep urban friendly corridor.

Hasil penelitian menunjukkan belum adanya peraturan yang dibuat untuk

mengatur tata bangunan terutama aturan yang mengatur fasade dari sebuah

bangunan, sehingga masih banyak ditemukan di lapangan banyaknya fasade

bangunan yang menggunakan material bangunan sesuai dengan selera pemilik

bangunan. Kepentingan ekonomi, globalisasi dan derasnya arus informasi

mengakibatkan adanya penyeragaman wajah kota sehingga banyaknya gejala

pengerusakan dan pembongkaran pada bangunan bersejarah diperkotaan untuk

memberikan tempat bagi bangunan baru yang modern yang pada akhirnya

menghilangkan ciri dan karaktersitik khas kota tersebut dan hal ini terjadi di kota

Medan.

7  

   

Persamaan antara tesis ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah

terletak pada pedoman tata bangunan digunakan untuk mengatur dan menata

rancangan suatu kota, dimana di dalamnya terdapat aturan berisi hal-hal yang wajib

dilakukan dalam batasan-batasan tertentu. Namun terdapat beberapa perbedaan

dengan penelitian yang akan dilakukan. Perbedaan tersebut antara lain terletak pada

lokasi penelitian, luasan cakupan penelitian, dan belum adanya peraturan yang

dibuat untuk mengatur tata bangunan terutama aturan yang mengatur fasade dari

sebuah bangunan.

Jurnal penelitian dengan judul Implementasi Kebijakan Izin Mendirikan

Bangunan di Kabupaten Bogor yang dikemukakan oleh Faizal Madya pada Jurnal

Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 2, September 2008, menyatakan

bahwa salah satu pembangunan yang dilakukan di Kabupaten Bogor adalah

penataan terhadap bangunan dengan mewajibkan tiap bangunan memiliki Ijin

Mendirikan Bangunan (IMB). Tujuannya adalah agar bangunan yang didirikan

oleh masyarakat dapat tertata dengan baik dan memenuhi persyaratan, layak

digunakan, dan tidak merusak lingkungan.

Upaya mewujudkan program pembangunan atau pengembangan kota serta

manfaat ruang kota secara optimal, seimbang dan serasi agar tercipta kondisi

daerah yang tertib dan teratur sesuai dengan Perda No.23 tahun 2000 tentang IMB.

Dalam pengembangan kota dan pemanfaatan ruang kota secara optimal, seimbang

dan serasi Pemerintah Kabupaten Bogor membentuk Sub Dinas Tata Bangunan

Kabupaten Bogor yang mampu mendukung penyelenggaraan fungsi dan tugas

pokok Pemerintah Daerah serta mampu mengarahkan dan mengendalikan

8  

   

pembangunan fisik kota melalui prosedur IMB. Secara garis besarnya jurnal ini

menyajikan gambaran tentang implementasi kebijakan pemberian IMB dan

pelayanan yang diperoleh masyarakat di Kabupaten Bogor.

Permasalahan yang diangkat dalam jurnal ini yang pertama adalah

bagaimana implementasi IMB yang diterbitkan oleh Sub Dinas Tata Bangunan

Kabupaten Bogor? Dan permasalahan yang kedua yaitu bagaimana pelayanan yang

dilakukan oleh Sub Dinas Tata Bangunan Kabupaten Bogor dalam memberikan

IMB?

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Teknik

pengumpulan data berupa studi pustaka dan studi lapangan. Adapun teknik yang

digunakan studi lapangan dengan teknik observasi, wawancara, dan kuesioner.

Responden dalam penelitian ini adalah pegawai Sub Dinas Tata Bangunan

Kabupaten Bogor dan masyarakat pemohon IMB yang sedang mengurus IMB di

Sub Dinas Tata Bangunan Kabupaten Bogor.

Hasil penelitian menunjukan bahwa implementasi kebijakan Ijin

Mendirikan Bangunan oleh Sub Dinas Tata Bangunan Kabupaten Bogor secara

ringkas disampaikan yaitu pertama : Beberapa kendala/hambatan pada saat

implementasi kebijakan berada diluar kendali para administrator, sebab masalah-

masalah itu memang diluar jangkauan wewenang badan pelaksana. Hambatan

tersebut di antaranya bersifat fisik atau bisa juga bersifat politis. Kendala-kendala

tersebut cukup jelas dan mendasar sifatnya, sehingga sedikit sekali yang bisa

diperbuat oleh para administrator. Faktor eksternal ini dalam pelaksanaan

9  

   

kebijakan ijin mendirikan bangunan adalah pemahaman dan penerimaan

masyarakat mengenai kebijakan tersebut.

Hasil penelitian yang kedua yaitu untuk pelaksanaan program tersedia

waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai, dalam mengimplementasikan

suatu kebijakan diperlukan waktu yang cukup dan didukung oleh sumber-sumber

yang memadai baik sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber dana.

Tindakan-tindakan pembatasan/pemotongan terhadap pembiayaan program,

kurangnya sumber daya manusia dan waktu yang pendek akan membahayakan

upaya pencapaian tujuan karena sumber-sumber yang kurang memadai.

Hasil yang ketiga yaitu perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-

benar tersedia, dalam artian bahwa disatu pihak harus dijamin tidak terdapat

kendala-kendala pada semua sumber-sumber yang diperlukan, dan dilain pihak

pada setiap tahapan proses implementasinya perpaduan diantara sumber-sumber

tersebut harus benar-benar disediakan. Tanggung jawab utama untuk

mengimplementasikan kebijakan adalah pelaksana kebijakan yang umumnya telah

dibekali dengan sejumlah kemampuan teknik administrasi tertentu. Untuk

implementasi kebijakan Ijin Mendirikan Bangunan sumber-sumber yang

diperlukan adalah masyarakat, untuk itu diperlukan penyuluhan kepada masyarakat

mengenai kebijakan Ijin Mendirikan Bangunan dengan didukung oleh peralatan

yang memadai.

Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan

kausalitas yang andal, kebijakan haruslah didasari oleh tingkat pemahaman yang

memadai mengenai persoalan yang akan ditanggulangi, sebab-sebab timbulnya

10  

   

masalah dan cara pemecahannya, atau peluang yang tersedia untuk mengatasi

masalah dan apa yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang itu. Demikian juga

untuk kebijakan Ijin Mendirikan Bangunan yang akan diimplementasikan adalah

bertujuan untuk mengatasi permasalahan yang ada dan permasalahan yang

mungkin akan terjadi dikemudian hari tanpa menimbulkan permasalahan yang lain,

untuk itu setiap permasalahan yang dihadapi harus dikaji secara bersama oleh

seluruh pelaksana kebijakan, ini merupakan hasil yang keempat.

Hasil yang kelima yaitu dalam mengimplementasikan kebijakan Ijin

Mendirikan Bangunan melibatkan instansi lain. Walaupun dalam

mengimplementasikan kebijakan melibatkan instansi lain, namun hubungan

ketergantungan dengan instansi lain tersebut harus seminimal mungkin.

Terakhir, hasil yang didapatkan yaitu pihak yang memiliki wewenang

kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna, dalam

melaksanakan kebijakan diharuskan ada ketundukan penuh dan tidak ada

penolakan sama sekali terhadap kebijakan yang berlaku. Apabila terdapat potensi

penolakan terhadap kebijakan tersebut, maka pelaksana kebijakan harus dapat

mengidentifikasi sehingga dapat dicegah sedini mungkin. Pelaksana kebijakan Ijin

Mendirikan Bangunan yang memiliki wewenang kekuasaan harus mampu

menjamin tumbuh dan berkembangnya sikap patuh dari masyarakat akan kebijakan

Ijin Mendirikan Bangunan, yaitu dengan menerapkan sanksi terhadap pelanggar

kebijakan.

Persamaan antara jurnal tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan

adalah terletak pada IMB dijadikan acuan dalam melakukan penataan bangunan

11  

   

pada pemanfaatan ruang. Dengan demikian IMB merupakan persyaratan wajib

yang harus dimiliki sebelum mendirikan bangunan.

Namun terdapat beberapa perbedaan dengan penelitian yang akan

dilakukan. Perbedaan terhadap jurnal tersebut antara lain terletak pada : lokasi

penelitian, luasan cakupan penelitian, lebih menitikberatkan hanya kepada SDM

aparat pemerintah dalam proses pemberian IMB, dan lebih menitikberatkan pada

kendala-kendala yang dihadapi oleh instansi dalam menerbitkan IMB.

Jurnal penelitian dengan judul Pengaruh Izin Mendirikan Bangunan

Terhadap Penataan Permukiman di Kampung Muara yang disusun oleh Lia Yulia

Arini dari Puslitbang Permukiman, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum pada

Jurnal Permukiman, volume 5, nomor 2, Oktober 2010 ini mengemukakan bahwa

aspek izin mendirikan bangunan merupakan produk pelayanan (delivery service)

oleh pemerintah daerah terhadap masyarakat. Hal ini sesuai dengan Undang-

Undang No. 32 Tahun 2004 Jo Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2004, tentang

retribusi daerah beserta perubahannya UU No. 8 tahun 2007. Berdasarkan pasal 7

ayat 1 huruf a Undang-Undang No. 4 Tahun 1992, salah satu persyaratan dalam

pembangunan perumahan dan permukiman, adalah izin mendirikan bangunan,

sehingga tertib pembangunan sesuai dengan fungsi dan peruntukannya.

Puslitbang Permukiman, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum,

menerapkan konsep penataan kawasan berbasis eco settlement, sekitar Daerah

Aliran Sungai (DAS) Cimanuk, di RT 05 dan RT 09 RW 07, Kampung Muara,

dimana salah satu permasalahan yang dikemukakan dalam hal ini terkait aspek izin

mendirikan bangunan. Dalam hal ini Penulis menguraikan hasil penelitian

12  

   

seberapa besar pengaruh izin mendirikan bangunan terhadap penataan kawasan

permukiman.

Permasalahan yang berhubungan dengan lemahnya sistem izin mendirikan

bangunan di lokasi penelitian yaitu pelayanan izin mendirikan bangunan bersifat

tidak terbuka serta memerlukan waktu relatif lama. Permasalahan kedua yaitu

penentuan besarnya biaya yang harus dikeluarkan (retribusi), terkesan tidak

transparan. Ketiga yaitu kurangnya sosialisasi dan informasi kepada masyarakat

terkait proses dan mekanisme izin mendirikan bangunan. Permasalahan terakhir

yaitu tidak konsistennya pelaksanaan sanksi dalam rangka penegakan hukum

terhadap pelanggaran ketentuan izin mendirikan bangunan yang telah diberikan.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut pertanyaan penelitiannya adalah

adakah pengaruh izin mendirikan bangunan terhadap pelaksanaan penataan

permukiman di lokasi sasaran ?

Desain penelitiannya bertujuan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan

makna pengaruh hubungan korelasi antara gejala atau fenomena secara lengkap.

Pengumpulan data dilakukan melalui teknik purposive sampling atau sampling

bertujuan. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, untuk

menggambarkan berbagai data mengenai pengaruh variabel terhadap variabel

lainnya. Penggabungan dilakukan melalui data kuantitatif dengan data kualitatif.

Analisis yang digunakan adalah analisis jalur (path analysis), yaitu uji pengaruh

antara seberapa besar izin mendirikan bangunan berpengaruh terhadap penataan

permukiman.

13  

   

Hasil yang didapatkan dari pembahasan jurnal ini secara ringkas dapat

disampaikan yaitu sistem izin mendirikan bangunan berpengaruh secara simultan

terhadap penataan permukiman. Rendahnya sosialisasi dan informasi terhadap

mekanisme dan prosedur izin mendirikan bangunan yang berlaku pada masyarakat,

serta dampak yang ditimbulkannya. Kurangnya informasi dan sosialisasi dari

aparat yang berwenang, akan menghambat proses pelaksanaan perbaikan

lingkungan permukiman ke arah lebih sejahtera bagi masyarakat itu sendiri.

Sistem perizinan berpengaruh secara parsial terhadap penataan permukiman

yang terbagi dalam beberapa dimensi yaitu : Pertama, dimensi status lahan

berpengaruh terhadap penataan permukiman. Apabila Pemerintah Kabupaten Garut

ingin melakukan penataan permukiman, maka harus ditetapkan terlebih dahulu

mengenai penertiban terhadap status lahan sesuai dengan rencana penataan

kawasan yang ingin dicapai. Kedua, dimensi izin mendirikan bangunan

berpengaruh terhadap penataan permukiman. Apabila Pemerintah Kabupaten Garut

ingin melakukan penataan permukiman, maka harus ditetapkan terlebih dahulu

mengenai sejauh mana penertiban izin mendirikan bangunan telah dicapai di lokasi

sasaran, sehingga dapat memudahkan dalam upaya penertiban timbulnya

permukiman secara sporadis dan tidak terkendali. Ketiga, dimensi peraturan garis

sempadan bangunan berpengaruh terhadap penataan permukiman. Apabila

Pemerintah Kabupaten Garut ingin melakukan penataan permukiman, maka harus

memperhatikan sejauhmana penerapan peraturan garis sempadan bangunan

ditetapkan terlebih dahulu. Hal ini akan berpengaruh terhadap penataan prasarana

dan sarana lingkungan yang akan dicapai sesuai dengan potensi sumber daya alam

dan teknologi yang akan diterapkan. Terakhir yaitu dimensi peraturan garis

14  

   

sempadan sungai berpengaruh terhadap penataan permukiman. Apabila Pemerintah

Kabupaten Garut ingin melakukan penataan permukiman, maka peraturan garis

sempadan sungai, harus diimplementasikan, karena kebijakan tersebut berpengaruh

terhadap daerah aliran sungai, supaya tidak tercemari oleh berbagai limbah baik

padat maupun cair yang dapat mencemari lingkungan.

Persamaan antara jurnal ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah

terletak pada IMB dijadikan acuan dalam melakukan penataan bangunan pada

pemanfaatan ruang. Dan juga tata bangunan seperti sempadan memberikan

pengaruh secara simultan terhadap penataan ruang. Luasan cakupan penelitian

memiliki kesamaan yaitu hanya pada suatu kawasan yang linier.

Namun terdapat beberapa perbedaan dengan penelitian yang akan

dilakukan. Perbedaan pada jurnal ini antara lain terletak pada : lokasi penelitiannya

yaitu pada daerah aliran sungai, lebih menitikberatkan hanya kepada kawasan

permukiman, serta lebih fokus hanya pada prosedur penerbitan IMB dan

sosialisasinya.

Jurnal penelitian dengan judul Studi Tata Bangunan Pada Jalan D.I.

Panjaitan dan Ali Maksum Yogyakarta yang disusun oleh Onie Dian Sanitha dari

Universitas Atmajaya Yogyakarta Tahun 2014 ini mengemukakan bahwa Koridor

Jalan D.I. Panjaitan dan Jalan Ali Maksum hingga Panggung Krapyak berkembang

cukup pesat khususnya pada sektor ekonomi. Secara fisik terlihat dengan jelas

perubahan tampilan dan fungsi bangunan yang semula adalah hunian rumah tinggal

bertambah fungsi menjadi rumah tinggal dan rumah usaha. Selain itu ditemui pula

penggunaan badan jalan untuk parkir kendaraan, sebagai konsekuensi terhadap

15  

   

usaha perdagangan yang kian berkembang, pemanfaatan lahan pejalan kaki

(trotoar) sebagai lahan usaha (sektor non-formal). Sektor ekonomi berkembang

pesat dan mendominasi sehingga berdampak pada perubahan fasade bangunan

yang diikuti oleh penambahan fungsi dari bangunan tersebut sebagai tempat usaha.

Penulisan ini ingin melihat sejauh mana tata bangunan di koridor D.I.Panjaitan dan

Ali Maksum dapat sejalan dengan regulasi pemerintah dan apakah citra yang

terbentuk sudah sesuai dengan makna filosofis yang melalui koridor jalan tersebut.

Lingkup penelitian yang dilakukan adalah deskriptif dan evaluasi dokumen-

dokumen pemerintah seperti Perda Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012, Peraturan

Walikota Nomor 25 tahun 2013 dan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Kota Yogyakarta tahun 2010-2029 sebagai pembanding dengan kondisi

riil di lapangan, serta mencari faktor-faktor yang memiliki pengaruh terhadap

perkembangan kondisi di koridor Jalan D.I. Panjaitan dan Ali Maksum Yogyakarta.

Penulisan ini secara umum membahas tentang batasan aturan perundang-

undangan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

06/PRT/M/ 2007 , Peraturan Daerah RTRW Kota Yogyakarta tahun 2010-2029 dan

beberapa aturan lainnya tentang penataan ruang historis di Jalan D.I. Panjaitan dan

Jalan Ali Maksum. Kemudian melihat kondisi yang ada saat ini di Jalan D.I.

Panjaitan dan Jalan Ali Maksum dan menghubungkannya dengan aturan-aturan

yang ada. Sifatnya adalah sebagai evaluasi dokumen-dokumen tentang kejelasan

pendefinisian komponen penataan konsep identitas lingkungan, sekaligus

mengetahui apa yang melandasi ketidaksesuaian antara kondisi di lapangan dengan

peraturan pemerintah.

16  

   

Hasil dari analisis pembahasan jurnal ini disimpulkan secara keseluruhan

belum nampak simbol–simbol khusus atau elemen khas yang mampu menerangkan

sebuah citra serta kisah historis dari Jalan D.I.Panjaitan dan Ali Maksum sebagai

jalur yang dilalui sumbu imajiner, karena setiap penggal memiliki suasana citra

masing-masing sesuai dengan aktivitas dan fungsi bangunannya. Penelitian ini

menemukan beberapa hal sebagai saran berdasarkan temuan kesimpulan di atas

serta pertimbangan sebuah koridor jalan yang merupakan bagian dari sumbu

historis menuju Panggung Krapyak, dan dirumuskan sebagai berikut:

Maju mundurnya bangunan berdampak pada jangkauan mata/pandangan seseorang

yang berada di pedestrian. Pandangan ini berpengaruh terhadap nilai citra sebuah

koridor, oleh karena itu mengatur maju mundurnya bangunan/sempadan bangunan

adalah perlu, dan disesuaikan pula dengan ketinggian bangunannya. Semakin tinggi

sebuah bangunan, maka bangunan tersebut harus mempertimbangkan sempadannya

dari pinggir jalan.

Koridor Jalan D.I.Panjaitan dan Jalan Ali Maksum merupakan jalan yang dilalui

sumbu imajiner dan filosofis, untuk itu perlu diperkuat dengan mengatur konsep

tata bangunan dan lingkungannya. Koridor ini merupakan akses utama menuju

Panggung Krapyak sebagai bagian dari cagar budaya yang merupakan pusat

destinasi wisata.

Membuat konsep arahan tampilan bangunan, dengan mengacu pada topik diskusi

pembuatan Raperdais mengenai sumbu filosofis yakni mencoba mengembalikan

dan mempertahankan identitas kawasan panggung krapyak sebagai kampung santri.

Menentukan tema pada street furniture serta melengkapi bagian-bagian dari

pedestrian yang memenuhi standar dan kenyamanan bagi pejalan kaki sebagai

17  

   

fasilitas pendukung agar jalur menuju Panggung Krapyak dapat diakses dengan

mudah.

Persamaan antara jurnal ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah

terletak pada luasan kawasan berupa sejalur jalan utama saja, serta merupakan

kawasan perdagangan dan jasa. Persamaan lainnya yaitu pada topik pembahasan

menyangkut tata bangunan yang dikaitkan dengan regulasi yang ada di daerah

tersebut.

Namun terdapat beberapa perbedaan dengan penelitian yang akan

dilakukan. Perbedaan dengan jurnal tersebut yaitu hanya menitikberatkan pada

masalah pencitraan sebuah kawasan. Tidak mengangkat kasus pelanggaran

terhadap peraturan serta dampak negatif yang ditimbulkannya.

Berdasarkan pada keenam tinjauan pustaka (tiga tesis dan tiga jurnal

penelitian) tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian lanjutannya dengan

mengambil topik : Implementasi Peraturan Tentang Tata Bangunan di Jalan Teuku

Umar Denpasar. Hal tersebut merupakan pencarian jawaban terhadap kenyataan

ketimpangan antara keadaan ideal yang diharapkan oleh pemerintah dengan

peraturan-peraturan yang telah diterbitkan terhadap realita yang terjadi saat ini

yang telah dipaparkan pada latar belakang penelitian ini.

2.2 Konsep

Pada bagian ini menguraikan mengenai definisi operasional dari judul

penelitian ini. Definisi ini diambil dari beberapa sumber dan kemudian dirangkum

dengan maksud sebagai persamaan persepsi.

18  

   

2.2.1 Implementasi

Menurut kamus umum Bahasa Indonesia, kata implementasi sama dengan

kata pelaksanaan. Implementasi adalah suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk

mengoperasikan sebuah program. Implementasi program merupakan aspek yang

penting dari keseluruhan proses kebijakan program. Van Meter dan Van Horn yang

mendefenisikan implementasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik

individu, pejabat, atau kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada

tercapainya suatu tujuan yang telah digariskan dalam kebijaksanaan

(Wahab,1991:134). Tiga pilar-pilar kegiatan dalam upaya implementasi adalah

organisasi, interpretasi dan penerapan. Organisasi merupakan pembentukan atau

penataan kembali sumber daya, unit-unit serta metode untuk menjadikan program

berjalan. Interpretasi yaitu menafsirkan suatu program agar menjadi rencana dan

pengarahan yang tepat serta dapat diterima dan dilaksanakan. Penerapan

merupakan ketentuan rutin pelayanan, pelaksanaan atau yang lainnya yang

disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program (Jones,1991:89).

Baik tidaknya suatu program atau kebijaksanaan yang telah ditetapkan

merupakan masalah yang sungguh-sungguh kompleks bagi setiap organisasi,

termasuk pemerintah. Hal tersebut menjadi masalah karena biasanya terdapat

kesenjangan antara penetapan program/kebijaksaan dan pelaksanaannya. Berhasil

tidaknya suatu program diimplementasikan tergantung pada unsur pelaksanaannya.

Pelaksanaan program penting artinya dalam organisasi, lembaga ataupun

perorangan bertanggungjawab terhadap pengolaan maupun pengawasan dalam

proses implementasi. Dengan demikikan isi dari kebijaksanaan dalam pokoknya

19  

   

meliputi adanya program yang bermanfaat, adanya kelompok sasaran, terjadinya

jangkauan perubahan, terdapatnya sumber-sumber daya serta adanya pelaksana-

pelaksana program. Hasil akhir dari sebuah kegiatan dalam implementasi ini dapat

dilihat dari dampaknya terhadap masyarakat, kelompok-kelompok dan dari tingkat

perubahan penerimaannya (Jones,1991:93).

Selain itu implementasi mengacu pada tindakan untuk mencapai tujuan-

tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan, tindakan ini berusaha untuk

mengubah keputusan-keputusan tersebut menjadi pola-pola operasional serta

berusaha mencapai perubahan-perubahan besar atau kecil sebagaimana yang telah

diputuskan sebelumnya. Implementasi pada hakikatnya juga upaya pemahaman apa

yang seharusnya terjadi setelah sebuah program dilaksanakan. Implementasi

kebijakan tidak hanya melibatkan instansi yang bertanggung jawab untuk

pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik,

ekonomi, dan sosial. Dalam tataran praktis, implementasi adalah proses

pelaksanaan keputusan dasar. Proses tersebut terdiri atas beberapa tahapan yakni

tahapan pengesahan peraturan perundangan, pelaksanaan keputusan oleh instansi

pelaksana, kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan, dampak

nyata keputusan baik yang dikehendaki atau tidak, dampak keputusan sebagaimana

yang diharapkan instansi pelaksana, dan terakhir yaitu upaya perbaikan atas

kebijakan atau peraturan perundangan (Widodo,2007:100).

Oleh karena itu, implikasi sebuah kebijakan merupakan tindakan sistematis

dari pengorganisasian, penerjemahan dan aplikasi. Jadi dapat dirumuskan oleh

peneliti secara singkat bahwa yang dimaksud dengan implementasi dalam

20  

   

penelitian ini merupakan suatu kegiatan untuk menerapkan peraturan maupun

kebijakan terhadap kenyataan pelaksanaannya di lapangan.

2.2.2 Peraturan

Peraturan perundang-undangan, dalam konteks negara Indonesia,

merupakan peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang

berwenang dan mengikat secara umum (http://id.wikipedia.org). Peraturan

merupakan instrumen yang digunakan dalam mengatur masyarakat dalam segala

aspeknya. Secara hirarki susunan peraturan perundang-undangan di Indonesia dari

yang tertinggi yaitu Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,

Peraturan Menteri, Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Berkaitan dengan uraian tersebut, peneliti memberikan batasan bahwa yang

dimaksud dengan peraturan dalam penelitian ini adalah peraturan tertulis yang

telah diterbitkan lembaga negara untuk mengatur bidang tata ruang dan tata

bangunan baik peraturan dari hirarki yang tertinggi (Nasional) hingga yang

terendah (Kota Denpasar).

2.2.3 Tata Bangunan

Berdasarkan pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

06/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan

Lingkungan, Tata Bangunan merupakan produk dari penyelenggaraan bangunan

gedung beserta lingkungannya sebagai wujud pemanfaatan ruang, meliputi

berbagai aspek termasuk pembentukan citra/karakter fisik lingkungan, besaran, dan

konfigurasi dari elemen-elemen blok, kavling/petak lahan, bangunan, serta

ketinggian dan elevasi lantai bangunan, yang dapat menciptakan kualitas ruang

21  

   

kota yang akomodatif terhadap keragaman kegiatan yang ada, terutama yang

berlangsung dalam ruang-ruang publik.

Tata bangunan juga merupakan sistem perencanaan sebagai bagian dari

penyelenggaraan bangunan gedung beserta lingkungannya, termasuk sarana dan

prasarananya pada suatu lingkungan binaan baik di perkotaan maupun di perdesaan

sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dengan aturan tata ruang yang berlaku

dalam RTRW Kabupaten/Kota beserta dengan rencana detail/rincinya.

Penataan bangunan merupakan kegiatan pembangunan untuk merencanakan

atau melestarikan bangunan tertentu sesuai dengan prinsip penataan ruang dan

pengendalian bangunan gedung secara optimal, yang terdiri dari proses

perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan,

pelestarian dan pembongkaran bangunan gedung.

Dalam Peraturan Menteri tersebut menguraikan empat komponen penataan

bangunan yaitu: Pertama, pengaturan blok lingkungan yang merupakan

perencanaan pembagian lahan dalam kawasan menjadi blok dan jalan, dimana blok

terdiri atas kavling/petak lahan dengan konfigurasi tertentu yang terdiri atas:

bentuk dan ukuran blok; pengelompokan dan konfigurasi blok; serta ruang terbuka

dan tata hijau. Kedua, pengaturan kavling/petak lahan, perencanaan pembagian

lahan dalam blok menjadi sejumlah kavling/blok lahan dengan ukuran, bentuk,

pengelompokan dan konfigurasi tertentu. Ketiga, pengaturan bangunan yang

merupakan perencanaan pengaturan massa bangunan dalam blok/kavling yang

terdiri atas : pengelompokan bangunan; letak dan orientasi bangunan; sosok massa

bangunan; dan ekspresi arsitektur bangunan. Terakhir yaitu pengaturan ketinggian

22  

   

dan elevasi lantai bangunan yang merupakan perencanaan pengaturan ketinggian

dan elevasi bangunan baik pada skala bangunan tunggal maupun bangunan

kelompok pada lingkungan yang lebih makro yang terdiri atas : ketinggian

bangunan; komposisi garis langit bangunan; dan ketinggian lantai bangunan.

Dapat dijelaskan juga bahwa manfaat dari tata bangunan bertujuan untuk

mewujudkan kawasan yang selaras dengan morfologi perkembangan area tersebut

serta keserasian dan keterpaduan pengaturan konfigurasi blok, kavling dan

bangunan; meningkatkan kualitas ruang kota yang aman, nyaman, sehat, menarik,

dan berwawasan lingkungan, serta akomodatif terhadap keragaman aktifitas

masyarakat; mengoptimalkan keserasian antara ruang luar bangunan dan

lingkungan publik sehingga tercipta ruang-ruang antar bangunan yang interaktif;

menciptakan berbagai citra dan karakter khas dari berbagai area yang

direncanakan; mencapai keseimbangan, kaitan dan keterpaduan dari berbagai

elemen tata bangunan dalam hal pencapaian kinerja, fungsi, estetis dan sosial,

antara kawasan perencanaan dan lahan di luarnya; dan mencapai lingkungan yang

tanggap terhadap tuntutan kondisi ekonomi serta terciptanya integrasi sosial secara

keruangan.

Dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011

menyatakan bahwa tata bangunan dimaksudkan untuk mendapatkan kesesuaian,

keserasian, dengan keselamatan bangunan sehingga antar bangunan tercipta ruang-

ruang yang damai sesuai karakter fungsi, mampu memperlancar sistem sirkulasi

baik sirkulasi lalu lintas, udara, maupun penyinaran/pencahayaan dengan

mencerminkan karakter bangunan khas Bali.

23  

   

Tata bangunan pada peraturan daerah tersebut terdiri atas tiga hal yaitu

kepadatan bangunan, ketinggian bangunan dan sempadan bangunan. Ketiga hal

tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama yaitu kepadatan bangunan,

mengatur perbandingan luasan maksimum/Koefisien Dasar Bangunan (KDB) suatu

lahan yang bisa didirikan bangunan. KDB tinggi (50–75 %) ditetapkan pada

kawasan pusat-pusat fasilitas pelayanan dan kawasan permukiman di Bagian

Wilayah Kota (BWK) Tengah Kota. KDB sedang (40–50 %) diterapkan pada

kawasan permukiman di luar BWK Tengah Kota. KDB rendah (20–30 %)

diterapkan pada kawasan permukiman pedesaan. KDB rendah(5–10 %) diterapkan

pada kawasan ruang terbuka hijau fungsi agrowisata dan ekowisata. Kedua yaitu

mengatur tinggi maksimum bangunan yang diijinkan yang diukur dari rata-rata

permukaan tanah asal sampai dengan ring balok tertinggi dari bangunan tersebut.

Di Denpasar dan di Bali secara umum tinggi bangunan yang diperkenankan

maksimal 15 meter. Pada kawasan pusat kota, kawasan perdagangan dan jasa pada

jalur jalan arteri primer, kolektor primer dan jalan arteri sekunder ketinggian

maksimum bangunan 5 lantai dan 2 lantai basement, atau Koefisien Lantai

Bangunan (KLB) maksimum 5 kali KDB. Pada kawasan luar pusat kota ketinggian

maksimum bangunan 3 lantai atau KLB maksimum 3 kali KDB. Ketiga yaitu

sempadan bangunan yang mengatur jarak antar bangunan terhadap jalan dan

dengan bangunan disebelahnya. Ketentuan umum sempadan jalan ditentukan

berdasarkan atas lebar badan jalan, telajakan, dan fungsi bangunan tersebut.

Rencana ketinggian bangunan perlu diatur karena menyangkut keindahan

dan kenyamanan kota. Ketinggian bangunan yang seragam pada suatu lingkungan

akan mempengaruhi keindahan lingkungan tersebut. Hal ini terutama perlu dijaga

24  

   

untuk jalur yang merupakan alur angin sehingga akan membuat pusat kota tetap

nyaman dan terpelihara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Teori ketinggian bangunan oleh Bergel dalam Yunus (2004:16),

menyatakan variabel ketinggian bangunan menjadi perhatian yang cukup besar

untuk negara–negara maju karena menyangkut antara hak seseorang untuk

menikmati sinar matahari, keindahan alam dari tempat tertentu, batas kepadatan

bangunan, kepadatan penghuni dan pemanfaatan lahan dengan aksesibilitas fisik

yang tinggi.

Teori konsentris yang dikemukakan Burgess dalam Yunus (2004:17), kota

hanya semata-mata dianggap sebagai perwujudan dua dimensional, sedangkan

dimensi vertikal sama sekali tidak diperhatikan. Perluasan ruang vertikal pada

kenyataannya mampu mengakomodasi kegiatan-kegiatan penduduk kota.

Hubungan variasi ketinggian bangunan dan penggunaan lahan hendaknya

diperhatikan pula dalam merumuskan pola penggunaan / pemanfaatan lahan yang

tercipta. Aksesibilitas sebagai faktor penarik fungsi tidak hanya menunjukkan sifat

yang sejalan dengan “distance decay principle from the centre” saja tetapi juga

“height decay principle from the ground”.

Menurut Tarigan (2010:73), Rencana kepadatan bangunan menggambarkan

persentase lahan yang tertutup bangunan (land coverage) pada suatu

lingkungan/bagian kota. Masyarakat mungkin menginginkan seluruh lahan yang

dikuasainya dijadikan bangunan karena lebih menguntungkan dari segi pendapatan

ekonomis yang diperoleh. Akan tetapi apabila hal ini terjadi, kondisi lingkungan

menjadi tidak nyaman, arus angin akan terganggu, kurangnya taman/ruang hijau,

25  

   

udara kekurangan oksigen yang mengganggu kesehatan, air tanah tidak terisi

kembali, arus air selokan yang cukup tinggi dimusim hujan dapat mengakibatkan

banjir. Oleh sebab itu, kepadatan bangunan perlu diatur.

Dalam mewujudkan tata bangunan yang sesuai dengan rencana/diinginkan

tidak bisa lepas dari pengendaliannya. Pengendalian merupakan upaya untuk

mewujudkan tertib tata bangunan, mensinergikan antara keinginan ideal yang

direncanakan dengan realisasinya dalam pelaksanaan pembangunannya. Ridwan

dan Sodik (2008:215), Pengendalian tersebut dilakukan melalui perizinan,

pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Perizinan dimaksudkan

sebagai upaya penertiban pemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang

harus dilakukan sesuai dengan rencananya. Izin pemanfaatan ruang diatur dan

ditertibkan oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya. Pemanfaatan ruang

yang tidak sesuai dengan rencana tata bangunan, baik yang dilengkapi dengan izin

maupun tidak memiliki izin, dikenai sanksi administratif, sanksi pidana penjara

dan/atau sanksi pidana denda.

Ridwan dan Sodik (2008:118) menyatakan pengawasan dan penegakan

hukum dalam Tata Bangunan, setiap pelaksanaan kegiatan baik itu permulaan,

pelaksanaan maupun setelah pelaksanaan perlu diadakannya suatu pengawasan

yang konsisten. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadinya suatu penyimpangan

terhadap izin yang telah diberikan kepada pemohon.

Setiap kegiatan yang menyalahi peraturan perundang-undangan, tentunya

akan mendapat suatu sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam kegiatan

pembangunan, apabila terjadi pelanggaran ketentuan atau ketidaksesuaian dengan

26  

   

izin yang diberikan, maka pemegang izin akan dikenakan sanksi berdasarkan

ketentuan yang ada.

Menurut Sadyohutomo (2008:49), pengendalian merupakan suatu rangkaian

kegiatan yang mencakup pengawasan atas kemajuan kegiatan serta pemanfaatan

hasil pengawasan tersebut untuk melaksanakan tindakan korektif dalam rangka

mengarahkan pelaksanaan kegiatan agar sesuai dengan tujuan yang telah

ditetapkan. Upaya pengendalian diawali dengan kegiatan pemantauan terhadap

penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan ruang dan kemudian dievaluasi apakah

terjadi indikasi penyimpangan atau pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang

telah ditetapkan oleh pemerintah dalam bentuk peraturan. Apabila ada indikasi

penyimpangan maka dilakukan kegiatan pengawasan yaitu dengan verifikasi. Hasil

verifikasi dituangkan dalam pelaporan sebagai bahan rumusan tindakan penertiban

yang diperlukan. Bentuk pelanggaran pemanfaatan ruang antara lain terdiri atas

tiga hal berikut: Pertama, pelanggaran fungsi kawasan (misalnya fungsi kawasan

ruang terbuka hijau digunakan untuk permukiman). Kedua yaitu pelanggaran jenis

penggunaan dalam satu fungsi kawasan (misalnya peruntukan perumahan

digunakan untuk perdagangan dan jasa), dan terakhir yaitu pelanggaran tata

bangunan (seperti sempadan bangunan, koefisien dasar bangunan dan ketinggian

bangunan).

Berdasarkan pendapat beberapa ahli yang telah disebutkan pada dasarnya

tujuan dari pengendalian adalah mencegah indikasi terjadinya penyimpangan

pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang; menyesuaikan

prosedur dan proses kerja sesuai dengan yang telah ditetapkan; mencegah serta

menghilangkan berbagai hambatan yang ada maupun yang akan ada; dan terakhir

27  

   

yaitu mencegah penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan penggunaan

sumber daya alam dan lingkungan.

Dalam pengendalian tata bangunan, izin merupakan instrumen pemerintah

yang bersifat yuridis preventif, yang digunakan sebagai sarana hukum administrasi.

Sejalan dengan pernyataan tersebut Ateng Syafrudin dalam Ridwan dan Sodik

(2008:106) membedakan perizinan menjadi empat macam. Pertama yaitu izin,

bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal dilarang menjadi boleh, dan

penolakan atas permohonan izin memerlukan perumusan yang limitatif. Kedua

yaitu dispensasi, bertujuan untuk menembus rintangan yang sebenarnya secara

formal tidak diizinkan. Ketiga yaitu lisensi, merupakan izin yang diberikan hal

untuk menyelenggarakan suatu perusahaan. Terakhir yaitu konsesi, merupakan

suatu izin yang berupa kontraktual dengan pemberian status tertentu dengan hak

dan kewajiban serta syarat-syarat tertentu.

Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/2007

menguraikan prinsip-prinsip pengendalian tata bangunan yang terbagi menjadi tiga

bagian. Bagian tersebut yaitu secara fungsional, secara fisik dan non fisik, serta sisi

lingkungannya. Secara fungsional, prinsip-prinsip pengendalian tata bangunan

meliputi sembilan poin. Pertama yaitu optimalisasi dan efisiensi, merupakan

penentuan desain terkait pemenuhan aspek-aspek fungsional, visual dan kualitas

lingkungan serta pembatasan ukuran dengan mengupayakan keseimbangan dan

keharmonisan. Kedua, kejelasan pendefinisian ruang yang terbentuk merupakan

pembatasan antara ruang publik dan privat. Ketiga yaitu keragaman fungsi dan

aktifitas yang diwadahi merupakan penetapan komponen tata bangunan yang

28  

   

mengadaptasi keragaman fungsi dan kepadatan bangunan. Berikutnya yaitu skala

dan proporsi ruang yang berorientasi pada pejalan kaki merupakan wujud

keseimbangan tata bangunan dengan proporsi dan lingkungan fisik dari interaksi

aktifitas pejalan kaki. Kelima yaitu fleksibilitas yang memadukan tata bangunan

yang akomodatif terhadap perkembangan ekonomi, sosial dan jaman. Keenam,

pola hubungan/konektifitas merupakan wujud kejelasan hubungan antar bangunan

yang berorientasi pada pusat kawasan dengan adanya jalur pedestrian. Ketujuh

yaitu kejelasan orientasi dan kontinuitas merupakan penciptaan keterpaduan desain

bangunan yang berorientasi pada lingkungan dan ruang publiknya. Kedelapan yaitu

kemudahan layanan, keseimbangan tata bangunan yang memudahkan pelayanan

fungsi yang diwadahi; dan terakhir yaitu menghindari eksklusivitas, penciptaan

kualitas lingkungan binaan yang terintegrasi dengan lingkungan serta menghindari

eksklusifitas.

Secara fisik dan non fisik, prinsip-prinsip pengendalian tata bangunan

meliputi empat poin yaitu pertama: penataan pola, dimensi, dan standar umum,

yaitu penetapan batasan garis sempadan bangunan, koefisien dasar bangunan serta

langgam bangunan yang diciptakan. Kedua: estetika, karakter dan citra kawasan,

yaitu pengendalian kepadatan gugusan bangunan yang menciptakan karakter khas

dan berjati diri dengan penetapan desain, nilai sosial budaya, aksentuasi serta

komposisi garis langit. Ketiga: kualitas fisik, yaitu penetapan desain kenyamanan

sirkulasi pemakai, udara dan sinar matahari serta klimatologi, dan terakhir yaitu:

ekspresi bangunan dan lingkungan yang merupakan penetapan panduan ekspresi

arsitektur yang berkorelasi dengan kultur prilaku/budaya, nilai historis, dan

arsitektur tradisional.

29  

   

Ditinjau dari sisi lingkungan, ada empat prinsip-prinsip pengendalian tata

bangunan, yang pertama yaitu: keseimbangan kawasan perencanaan dengan

lingkungan sekitar, yaitu wujud karakter lingkungan yang terintegrasi dengan

eksisting struktur lingkungan. Kedua yaitu keseimbangan dengan daya dukung

lingkungan, penetapan kepadatan bangunan dengan memperhitungkan kapasitas

daya dukung lingkungan namun memperkuat karakter kawasan. Ketiga: kelestarian

ekologis kawasan, yaitu penetapan besaran komponen tata bangunan terhadap

topografi serta mengadaptasi tatanan kontur lahannya, dan terakhir yaitu

pemberdayaan kawasan, peningkatan pengembangan tata bangunan yang sesuai

dengan kearifan lokal.

Ridwan dan Sodik (2008:118), Upaya-upaya yang dilakukan dalam

pengendalian pemanfaatan ruang untuk mencegah terjadinya pelanggaran izin

bangunan perlu dilakukan enam langkah berikut yaitu: pertama, pejabat pemberi

izin atau aparat yang berwenang untuk melaksanakan pengawasan secara periodik

terhadap pelaksanaan persyaratan-persyaratan yang tercantum dalam izin

bangunan. Kedua, pejabat pemberi izin atau aparat yang berwenang harus

melaksanakan pemeriksaan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan

pembangunan yang sedang dilakukan oleh pemegang izin bangunan. Ketiga yaitu

pejabat pemberi izin atau aparat yang berwenang jika menemukan pelanggaran

persyaratan izin di lapangan, pejabat/aparat wajib menuntut dalam waktu 30 hari

pemegang izin harus memenuhi syarat–syarat yang tercantum dalam izin. Keempat,

apabila jangka waktu yang ditetapkan dilampaui, maka pejabat pemberi izin

melaksanakan sendiri keputusan tersebut atas biaya seluruhnya pemegang izin.

Kelima, keputusan penetapan tersebut berakhir seketika apabila pelanggaran

30  

   

persyaratan izin telah diakhiri oleh pemegang izin. Terakhir yaitu dalam

pelaksanaan ketentuan sebagaimana terurai diatas, pejabat pemberi izin wajib

memperhatikan asas kepatuhan, asas efisiensi dan asas manfaat.

Dapat dikatakan bahwa izin merupakan perangkat hukum administrasi yang

digunakan oleh pemerintah untuk mengendalikan pemanfaatan ruang. Dengan

demikian izin merupakan instrumen pengendalian pemanfaatan ruang dan alat

pemerintah dalam mencapai tujuannya sesuai dengan yang direncanakan.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 37, Izin yang

menyangkut pemanfaatan ruang yang menurut ketentuan peraturan perundang

undangan harus dimiliki sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pengendalian pemanfaatan

ruang secara makro yang pertama adalah instrumen peraturan dari peraturan yang

tertinggi hingga terbawah sesuai hirarkinya serta aturan teknis pelaksanaannya

secara detail. Kedua yaitu kemampuan serta komitmen sumber daya aparatur

pelaksana pengendalian. Faktor yang terakhir yaitu peran serta masyarakat dalam

mentaati peraturan yang telah ditetapkan.

Berdasarkan paparan tersebut peneliti merumuskan secara singkat mengenai

tata bangunan untuk penyamaan persepsi. Tata bangunan merupakan wujud

pemanfaatan ruang yang meliputi berbagai aspek termasuk pembentukan

citra/tampilan bangunan, KDB dan sempadan untuk mendapatkan kesesuaian dan

keserasian bangunan yang mampu berintegrasi harmoni dengan lingkungan dan

mencerminkan budaya khas Bali.

31  

   

2.3 Landasan Teori

Dalam menganalisis hal-hal yang sudah dipaparkan dalam rumusan

permasalahan di penelitian ini, dipergunakan beberapa teori yang memiliki

keterkaitan diantaranya teori mengenai citra kota, hegemoni dan komodifikasi.

Teori-teori tersebut akan dipaparkan sebagai berikut.

2.3.1 Teori Citra Kota

Karya arsitektur merupakan salah satu refleksi dan perwujudan kehidupan

dasar masyarakat menurut makna yang dapat dikomunikasikan (Rapoport, 1969).

Keseragaman dan keberagaman sebagai ungkapan perwujudan fisik yang terbentuk

yaitu citra dalam arti identitas akan memberikan makna sebagai pembentuk citra

suatu tempat (place).

Citra kota adalah gambaran mental dari sebuah kota sesuai dengan rata-rata

pandangan masyarakatnya. Dalam risetnya, Kevin Lynch (1960) menemukan arti

pentingnya citra penduduk suatu kota terhadap kotanya, karena citra yang jelas

dapat memberikan banyak hal yang sangat penting bagi masyarakatnya. Tiga

komponen tersebut yaitu: Legibility (Kejelasan), Identitas dan Susunan, dan

Imagebility.

Legibility, kejelasan emosional suatu kota dirasakan secara jelas oleh warga

kota. Jelasnya sebuah citra yang bersih memungkinkan seseorang melakukan

mobilitas di dalam kota secara mudah dan cepat. Artinya suatu kota atau bagian

kota atau kawasan bisa dikenali dengan cepat dan jelas mengenai distriknya,

landmarknya, atau jalur jalannya dan bisa langsung dilihat pola keseluruhannya.

32  

   

Identitas artinya citra orang akan menuntut suatu pengenalan atas suatu

obyek dimana didalamnya harus tersirat perbedaan obyek tersebut dengan obyek

lainnya sehingga orang dengan mudah bisa mengenalinya. Susunan artinya adanya

kemudahan pemahaman pola suatu blok-blok yang menyatu antar bangunan dan

ruangan terbukanya.

Imagebility artinya kualitas secara fisik suatu obyek yang memberikan

peluang yang besar untuk timbulnya citra yang kuat yang diterima orang. Sehingga

citra ditekankan pada kualitas fisik suatu kawasan atau lingkungan yang

menghubungkan atribut identitas dengan strukturnya, dan suatu citra dibentuk oleh

elemen-elemen pembentuk wajah kota.

Dalam Pencitraan sebuah kota ada dua komponen struktural yaitu Tipologi

dan Morfologi. Tipologi menyangkut tatanan sosial (sosial order) dan

pengorganisasian ruang (spatial organization) yang dalam hal ini menyangkut

ruang (space) berkaitan dengan tempat yang abstrak. Tipologi lebih menekankan

pada konsep dan konsistensi yang dapat memudahkan masyarakat mengenai

bagian-bagian arsitektur (Shirvani, 1985).

Morfologi menyangkut kualitas spasial figural dan konteks wujud

pembentuk ruang yang dapat dibaca melalui pola, hirarki, dan hubungan ruang satu

dengan yang lainya. Morfologi lebih menekankan pada pembahasan bentuk

geometris, sehingga untuk memberi makna pada ungkapan ruang harus dikaitkan

dengan nilai ruang tertentu, nilai ruang sangat berkaitan dengan organisasi ruang,

hubungan ruang dan bentuk ruang, perwujudan spasial fisik merupakan produk

kolektif perilaku budaya masyarakat serta pengaruh ¨kekuasaan¨ tertentu yang

33  

   

melatarbelakanginya. Karakteristik suatu tempat dalam hal ini penggunaan suatu

lingkungan binaan tertentu bukan hanya sekedar mewadahi kegiatan fungsional

secara statis, melainkan menyerap dan menghasilkan makna berbagai kekhasan

suatu tempat antara lain setting fisik bangunan, komposisi dan konfigurasi

bangunan dengan ruang publik serta kehidupan masyarakat setempat.

Dalam desain perkotaan (Shirvani, 1985) terdapat elemen-elemen fisik

Urban Design yang bersifat ekspresif dan suportif yang mendukung terbentuknya

struktur visual kota serta terciptanya citra lingkungan yang dapat pula ditemukan

pada lingkungan di lokasi penelitian. Tujuh elemen tersebut yaitu : tata guna

lahan,bentuk dan massa bangunan, sirkulasi dan parkir, ruang terbuka, jalur pejalan

kaki, activity support dan landmark.

Tata guna lahan dua dimensi menentukan ruang tiga dimensi yang

terbentuk, tata guna lahan perlu mempertimbangkan dua hal yaitu pertimbangan

umum dan pertimbangan pejalan kaki (street level) yang akan menciptakan ruang

yang manusiawi. Peruntukan lahan suatu tempat secara langsung disesuaikan

dengan masalah-masalah yang terkait, bagaimana seharusnya daerah zona

dikembangkan, Shirvani mengatakan bahwa zoning ordinace merupakan suatu

mekanisme pengendalian yang praktis dan bermanfaat dalam urban design,

penekanan utama terletak pada masalah tiga dimensi yaitu hubungan keserasian

antar bangunan dan kualitas lingkungan.

Bangunan merupakan salah satu unsur fisik yang terdapat di kota-kota

untuk menunjang atau menampung kegiatan manusia. Gaya arsitektural bangunan

dapat mempengaruhi wajah dari kawasan dan kota tersebut. Menyangkut aspek-

aspek bentuk fisik karena setting, spesifik yang meliputi ketinggian, besaran,

34  

   

koefisien lantai bangunan (KLB), koefisien dasar bangunan (KDB), pemunduran

dari garis jalan dan batas pekarangan (sempadan), style bangunan, skala proporsi,

bahan, tekstur dan warna agar menghasilkan bangunan yang berhubungan secara

harmonis dengan bangunan-bangunan lain disekitarnya dan budaya setempat. Hal-

hal tersebut menjadi dasar dalam mendirikan suatu bangunan (Shirvani, 1985:14).

Sistem sirkulasi adalah pola pergerakan pejalan kaki dan kendaraan. Sistem

sirkulasi seharusnya dapat digunakan secara efisien, aman dan estetis. Menurut

Kevin Lynch dalam buku Site Planning (1971:331), pengaturan yang biasa

dilakukan adalah dengan memisahkan jalur dan parkir kendaraan dengan pejalan

kaki. Rancangan sistem sirkulasi harus tepat dengan kondisi tapak yang ada dan

perlu mempertimbangkan faktor-faktor fisik seperti topografi, kemiringan dan

sistem drainase. Sirkulasi harus dapat mempertemukan berbagai kepentingan

pengguna yaitu : kawasan, kendaraan dan pejalan kaki. Kepentingan kawasan dan

pejalan kaki harus didahulukan.

Dalam Shirvani (1985;24), parkir merupakan salah satu elemen penting

yang harus ada terutama pada kawasan komersil. Lahan parkir yang ada pada saat

ini terkesan dibangun sekedarnya sehingga menyebabkan kesemrawutan kawasan.

Padahal pengaturan lahan parkir dapat membuat suatu kawasan komersil lebih

teratur.

Ruang terbuka menurut Rustam Hakim (1987) adalah bentuk dasar dari

ruang terbuka di luar bangunan, dapat digunakan oleh setiap orang dan

memberikan kesempatan untuk bermacam-macam kegiatan, misalnya : jalan,

pedestrian, taman, dan lain-lain. Jadi ruang terbuka adalah suatu tempat yang

dirancang khusus dan dapat digunakan sebagai tempat berkumpul atau bertemunya

35  

   

orang banyak, untuk melakukan berbagai kegiatan seperti jalan-jalan, bersantai dan

lain-lain. Ruang terbuka memiliki fungsi : menyediakan cahaya dan sirkulasi udara

dalam bangunan terutama di pusat kota; menghadirkan kesan perspektif dan visual

pada pemandangan kota (urban scane) terutama dikawasan pusat kota yang padat;

menyediakan arena untuk rekreasi dengan bentuk aktifitas khusus; melindungi

fungsi ekologi kawasan; memberikan bentuk solid foid pada kawasan; dan sebagai

area cadangan untuk penggunaan dimasa depan (cadangan area pengembangan).

Perencanaan untuk pejalan kaki (pedestrian) sering diabaikan. Pejalan kaki

sekarang mempunyai hak yang sama dengan pemakai kendaraan. Sistem pedestrian

yang baik akan mengurangi ketergantungan kendaraan dalam suatu kawasan.

Kunci utama dalam perencanaan pedestrian adalah keseimbangan antara

penggunaan pedestrian untuk menunjang kehidupan, ruang umum yang juga saling

berkaitan dengan jasa pelayanan, akses dan kepemilikan individu (Shirvani,

1985:32).

Activity support muncul oleh adanya keterkaitan antara fasilitas ruang-

ruang umum kota. Keterkaitan dengan seluruh kegiatan yang menyangkut

penggunaan ruang kota yang menunjang akan keberadaan ruang-ruang umum kota

(Shirvani, 1985).

Elemen penting dari bentuk kota karena mereka membantu orang-orang

untuk mengarahkan diri dan mengenal suatu daerah dalam kota. Sebuah landmark

yang baik adalah elemen yang berbeda tetapi harmonis dalam latar belakangnya.

Termasuk dalam kategori landmark adalah: gedung, patung, tugu, jembatan, jalan

layang, pohon, penunjuk jalan, sungai dan lampu-lampu hias (Shirvani, 1985).

36  

   

2.3.2 Teori Hegemoni

Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani, yaitu hegeishtai. Istilah

tersebut berarti yang berarti memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan yang

melebihi kekuasaan yang lain. Konsep hegemoni menjadi populer setelah

digunakan sebagai penyebutan atas pemikiran Gramsci yang dipahami sebagai ide

yang mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu. Adapun teori hegemoni

yang dicetuskan Gramsci adalah sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang

dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan

dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi)

mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik,

serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan

moral.  (disimpulkan dari : http://utchanovsky.com/2008/08/teori-hegemoni/ dan

http://synaps.wordpress.com/2005/12/01/pengantar-hegemoni/).

Berdasarkan pemikiran Gramsci (1999) dapat dijelaskan bahwa hegemoni

merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma,

maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi

doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi

tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh kelompok

lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya

terjadi.

Gramsci (1999) menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses

penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif

mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan

kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang

37  

   

dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat

dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan

kemampuan-kemampuan efektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring

kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka

yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya

usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa .

Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat

dijelaskan sebagai berikut; kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas

bawah menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran

masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung

kekuasaan kelas dominan. Dalam situasi kenegaraan, upaya kelas dominan

(pemerintah) untuk merekayasa kesadaran kelas bawah (masyarakat) adalah

dengan melibatkan para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta intervensi

melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni.

John Storey (1996) menjelaskan konsep hegemoni untuk mengacu kepada

proses di mana kelas dominan tidak hanya mengatur namun juga mengarahkan

masyarakat melalui pemaksaan “kepemimpinan” moral dan intelektual. Hegemoni

terjadi pada suatu masyarakat di mana terdapat tingkat konsensus yang tinggi

dengan ukuran stabilitas sosial yang besar di mana kelas bawah dengan aktif

mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat

dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada.

Terkait dengan penelitian ini adalah, teori Hegemoni digunakan sebagai

landasan untuk menganalisis adanya usaha dari pihak yang berkuasa (dalam hal ini

38  

   

pemerintah) untuk mendapat dukungan dari masyarakat terhadap penataan

bangunan dan pemanfaatan ruang dengan menggunakan peraturan sebagai

instrumennya agar terwujudnya ruang dan tata bangunan yang harmoni dengan

lingkungannya.

2.3.3 Teori Komodifikasi

Dalam definisi ringkas, sebagaimana merujuk gagasan Karl Marx (1970),

komodifikasi adalah proses mengubah nilai guna (use value) menjadi nilai tukar

(exchange value). Selain itu disebutkan juga komodifikasi adalah suatu bentuk

transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya

diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil (hubungan sosial

tereduksi menjadi hubungan pertukaran). Dengan kata lain, komodifikasi

merupakan proses “pengemasan” sesuatu agar bisa dijual dalam suatu pasar.

Berbagai hal dalam media bisa dikomodifikasikan.

Komodifikasi menurut perbendaharaan kata dalam istilah marxist

(http://www.marxists.org/glossary/terms/c/o.htm) adalah suatu bentuk

transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya

diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil. Dalam artian bahwa

hubungan sosial tereduksi menjadi hubungan pertukaran.

Karl Marx dalam bukunya berjudul Communist Manifesto, mendefinisikan

komodifikasi sebagai “Callous Cash Payment”, yakni “pembayaran tunai yang

tidak berperasaan”. Ia menggambarkan bahwa kaum kapitalis yang mempunyai

kontrol atas apapun telah mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar,

39  

   

mengubah hubungan sentimental dalam keluarga menjadi hubungan yang

mempergunakan uang. Sehingga segala sesuatu tidak akan bernilai jika tidak

mempunyai nilai tukar. Kemudian Karl Marx terfokus pada komodifikasi dalam

proses kerja, dimana dalam realitanya, aktivitas pekerjaan yang dilakukan oleh

masing-masing pekerja (kerja guna) telah bertransformasi menjadi kerja abstrak.

Jadi dalam kerja abstrak, aktivitas kerja yang diperlakukan seolah tidak ada

perbedaan kualitas untuk memudahkan pertukaran.

Komodifikasi menurut Vincent Mosco (1996) digambarkan sebagai cara

kapitalisme dengan membawa akumulasi tujuan kapitalnya atau mudahnya dapat

digambarkan sebagai sebuah perubahan nilai fungsi atau guna menjadi sebuah nilai

tukar. Sekarang telah sangat banyak bentuk komodifikasi yang muncul dalam

perkembangan kehidupan manusia. Karena mulai banyak juga yang dijadikan

komoditas oleh manusia.

Menurut Wikipedia, Komodifikasi adalah transformasi dari sebuah barang,

ide, maupun entitas lainnya yang biasanya tidak dikenal sebagai komoditi menjadi

komoditi. Dijelaskan pula bahwa komodifikasi merupakan transformasi hubungan,

sesuatu yang sebelumnya bersih dari perdagangan, menjadi hubungan komersial,

hubungan pertukaran, membeli dan menjual. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa

Indonesia, komodifikasi memiliki arti pengubahan sesuatu menjadi komoditas

(barang dagangan) yang dapat diperjual-belikan. Dengan kata lain, komoditas

merupakan segala sesuatu yang diproduksi untuk dijual. Akibat ekonomi uang yang

berdasarkan atas spirit menciptakan keuntungan sebanyak-banyaknya

mengakibatkan munculnya komodifikasi di berbagai sektor kehidupan.

40  

   

Terkait dengan penelitian ini adalah, teori komodifikasi digunakan sebagai

landasan untuk menganalisis adanya transformasi nilai–nilai fungsi dan estetika

dari suatu bangunan ataupun ruang menjadi nilai ekonomis yang berakibat

terjadinya pelanggaran terhadap tata bangunan dan pemanfaatan ruang yang

menyebabkan disharmoninya bangunan dengan lingkungannya.

2.4 Model Penelitian

Dalam model penelitian ini akan dipaparkan mengenai abstraksi, sintesis

antara data, teori dan permasalahan yang digambarkan dalam bentuk skema/bagan :

41  

   

MODEL PENELITIAN

Gambar 2.1 Model Penelitian

Pelaku/Pemilik/Pengguna

Pemerintah

Sistem

Visi & Misi Kota Denpasar

Peraturan Tata Ruang

• Perda Kota Dps. No.27 Th.2011

Peraturan Tata Bangunan • UU No. 28 Th 2002 • PP N0.36 Th 2005 • Permen PU No.24/PRT/M/2007 • Permen PU No.06/PRT/M/2007 • Perda Prov. Bali No.5 Th. 2005 • Perda Kota Dps. No.6 Th.2001 • Perwali Kota Dps No.25 Th 2010

Realita penyimpangan yang terjadi terhadap tata bangunan

Langkah-langkah yang ditempuh pemerintah terhadap realita yang ada

Faktor-faktor yang menyebabkan penyimpangan tetap bisa terjadi

Landasan Teori

• Teori Citra Kota • Teori Hegemoni • Teori Komodifikasi

Data–data lapangan

Konsep : Implementasi

Peraturan Tata Bangunan

Kajian Pustaka

Pemerintah Kota Denpasar

Tata Bangunan di Jl. Teuku Umar Denpasar

KESIMPULAN / REKOMENDASI

42