BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … 2.pdfNuriman di Kabupaten Muna, sedangkan...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … 2.pdfNuriman di Kabupaten Muna, sedangkan...
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian ini membahas ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia,
yakni ritual kaombo pada masyarakat Buton. Hal ini dilakukan sebagai upaya
untuk meningkatkan kembali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Di samping
itu, juga melestarikan tradisi-tradisi masyarakat yang mendekati ambang
kepunahan sebagai akibat dari kemajuan zaman dan ilmu pengetahuan pada era
globalisasi. Berkaitan dengan penelitian “Keterpinggiran Ritual Kaombo pada
Masyarakat Buton, Kecamatan Mawasangka, Provinsi Sulawesi Tenggara” ada
ditemukan beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis terdahulu.
Nuriman (2011) dalam tesisnya berjudul “Pola Pengasuhan Anak
Perempuan dalam Upacara Karia pada Etnik Muna serta Model Pelestariannya” di
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Nuriman mendeskripsikan prosesi
pelaksanaan upacara karia, yang dibagi menjadi tiga tahap, yakni (a) tahap
persiapan, panitia menyiapkan segala kebutuhan yang akan dipakai pada saat
pelaksanaan upacara; (b) tahap pelaksanaan, yang terdiri atas dua belas prosesi,
yakni kafoluku, kaghombo, kaalano patirangka, kabhansule, kaalano oe,
kabhalengka, kabhindu, kafosampu, katanda wite, tari linda, kabhasano dhoa
salama, dan kahapui: (c) tahap akhir upacara karia dilakukan kafolantono
bhansa/kaghorono bhansa di sumgai pengambilan air kagombo.
15
Terdapat persamaan dan perbedaan dalam penelitian Nuriman dan
penelitian yang dilakukan oleh penulis. Nuriman dan mendeskripsikan pola
pengasuhan anak perempuan dalam upacara karia, sedangkan penulis lebih fokus
pada strategi pewarisan ritual kaombo. Anak perempuan diharapkan agar selalu
menjaga kesucian, tetap berkonsentrasi dengan tugas-tugas, biasanya dalam hal
membantu suami memenuhi kebutuhan rumah tangga, menghargai sesama,
diwajibkan bersolek agar tampak cantik di hadapan suaminya, berserah diri
kepada Tuhan Yang Maha Esa, taat kepada kedua orang tua, bergairah dalam
mengarungi hidup, bergairah dan senang dalam menjalani hari-hariya, pada masa
yang akan datang; tidak berserah diri pada ramalan-ramalan.
Perbedaan penelitian ini dengan yang dilakukan oleh Nuriman adalah
meskipun sama-sama menulis tentang pingitan, dari segi lokasi tempat penelitian
tentu berbeda. Nuriman di Kabupaten Muna, sedangkan fokus penelitian penulis
di Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah. Terdapat perbedaan dari
segi bahasa di daerah setempat, yaitu di masyarakat Muna disebut karia,
sedangkan di masyarakat Buton disebut kaombo yang artinya pingitan. Penelitian
Nuriman lebih menekankan prosesi dan pola asuh dalam upacara karia,
sedangkan penulis melakukan peneltian mengenai keterpinggiran ritual kaombo
yang mulai tergerus oleh zaman globalisasi dan era modern saat ini.
Penelitian Alkausar (2011) “Keterancaman Ritual Mappandesasi pada
Masyarakat Nelayan Etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi
Tenggara”. Penelitian ini merupakan tesis pada Program Studi Kajian Budaya
Universita Udayana. Ritual mappandesasi ini membahas prosesi ritual yang
16
dilaksanakan menjelang melaut dan sesudah melaut atau biasa disebut dengan
memberikan makan penjaga laut (penguasa laut). Dalam penelitian Alkausar
dikemukakan bahwa pelaksanaan ritual mappandesasi ini sudah mengalami
komodifikasi dan konstruksi sosial baru dalam masyarakat. Konstruksi tersebut
adalah pembaruan dan pengurangan artifak yang digunakan untuk melangsungkan
upacara ritual akibat kemajuan teknologi, pendidikan, dan faktor ekonomi,
bergesernya jadwal waktu pelaksanaan ritual mappandesasi, serta berkurangnya
jumlah peserta ritual.
Selanjutnya dalam penelitian Alkausar dikaji akibat dari kemajuan teknologi
dan ilmu pengetahuan pada era globalisasi ini mengancam keberadaan ritual
mapandesasi yang bisa menggiringnya kepada kepunahan. Dalam penelitian ritual
mapandesasi ini ditemukan beberapa dampak di masyarakat akibat berkurangnya
pelaksanaan ritual mapandesasi, yaitu (1) terjadinya penurunan dan memudarnya
rasa persatuan serta solidaritas masyarakat dalam berbagai hal, (2) menurunnya
tingkat kerja sama dalam masyarakat di berbagai hal, (3) orientasi berpikir
masyarakat akibat kemajuan zaman lebih pada orientasi materi, (4) kepentingan
individu diletakkan di atas kepentingan kelompok, (5) berkurangnya hasil
tangkapan nelayan dan banyaknya bencana yang menimpa nelayan akibat dari
tidak dilaksanakannyan ritual mappandesasi, (6) generasi muda sudah tidak
memahami bentuk, fungsi, dan makna ritual mappandesasi ini serta tidak
terjadinya pewarisan kebudayaan dari generasi tua ke generasi muda.
Penelitian Alkausar memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian
ini. Dilihat dari fokus kajian penelitian sama-sama mengkaji ritual yang berkaitan
17
dengan siklus hidup manusia. Di samping itu, penelitian yang dilakukan adalah
penelitian kajian budaya dengan teori-teori postmodern dan sama-sama
menggunakan metode kualitatif.
Penelitian Alkausar ini berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan.
Peneliti memang mengkaji ritual, tetapi terfokus pada ritual kaombo, yaitu proses
pingitan yang dilakukan oleh seorang wanita yang mengalami proses peralihan
dari remaja (kabua-bua) ke dewasa (kalambe) pada masyarakat Buton di
Kecamatan Mawasangka, Provinsi Sulawesi Tenggara. Di pihak lain Alkausar
mengkaji ritual mappandesasi, yaitu memberikan makan penguasa laut pada
masyarakat nelayan etnik Mandar yang bermukim di Kelurahan Bungkutoko,
Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Dilihat dari lokasi dan objek
penelitian tampak perbedaan yang jelas.
Hasil penelitian Alkausar tersebut, dijadikan sebagai referensi untuk bahan
pembanding dan rujukan untuk mengkaji ritual kaombo pada masyarakat Buton di
Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Dari penelitian itu juga diperoleh beberapa definisi yang bisa memperkuat
penelitian penulis.
Selain hasil penelitian dan tulisan di atas juga ditampilkan kajian ilmiah lain
untuk menunjang pustaka utama guna memperkaya dan mempertajam
kepustakaan dalam penelitian, yakni penelitian yang dilakukan oleh Hardin (2013)
tentang “ Bentuk Ritual Kasungki dan Keterancamannya pada Masyarakat Muna
di Kecamatan Abeli, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara”. Penelitian itu
tentu memiliki persamaan dan perbedaan. Dilihat dari fokus kajian penelitian
18
sama-sama mengkaji ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia. Selan itu,
penelitian yang dilakukan adalah penelitian kajian budaya dengan menggunakan
teori-teori postmodern dan sama-sama menggunakan metode kualitatif.
Perbedaan penelitian ini sangat jauh, yaitu dilihat dari lokasi penelitian,
fokus penelitian yang dikaji oleh Hardin adalah memohon kesehatan, keselamatan
dan menyembuhkan penyakit karena masyarakat Muna yang bermukim di Kota
Kendari tidak melakukan ritual kasungki, sedangkan penulis mengkaji ritual
kaombo, yakni ritual pingitan pada anak perempuan di masyarakat Buton yang
berada di Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah.
Hasil penelitian Hardin tersebut dijadikan sebagai referensi untuk bahan
pembanding dan rujukan bagi peneliti untuk mengkaji ritual kaombo pada
masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah,
Provinsi Sulawesi Tenggara. Dari penelitian itu juga diperoleh beberapa definisi
yang bisa memperkuat penelitian penulis.
Tulisan Schoorl (2003) berjudul “Masyarakat, Sejarah, dan Budaya Buton”.
Dalam tulisan itu Schoorl menjelaskan kedudukan wanita pada masa Kesultanan
Buton. Di dalamnya diuraikan pentingnya kedudukan dan peran wanita dalam
kehidupan masyarakat Buton. Kedudukan dan peran wanita pada masa kesultanan
sangat dipengaruhi oleh sistem pelapisan sosial masyarakat. Terdapat perbedaan
dan persamaan tulisan Schoorl dan penelitian yang dilakukan oleh penulis.
Persamaannya, yakni fokus pada pingitan (kaombo) perempuan, tertera dalam
tulisan prosesi ritual kaombo yang dijalani. Perbedaannya adalah tulisan Schoorl
banyak menyinggung peran dan kedudukan wanita pada masa Kesultanan Buton,
19
sedangkan dalam penelitian yang dilakukan penulis adalah mengenai
keterpinggiran ritual kaombo yang sudah jarang dilaksanakan oleh masyarakat
Buton di Kecamatan Mawasangka.
Selain tulisan Schoorl, penulis juga menggunakan tulisan La Ode Safulin,
Rustam Awat, dan Aris Mahmud (2009) tentang “Akhlak dan Budaya Buton”
sebagai referensi. Dalam buku tersebut banyak disinggung tentang kebudayaan-
kebudayaan Buton yang berlaku pada masyarakat Buton. Tulisan La Ode Safulin,
Rustam Awat, dan Aris Mahmud memiliki persamaan dan perbedaan dengan
penelitian yang dilakukan penulis.
Persamaannya adalah sama-sama mengkaji upacara pingitan yang terjadi
pada anak perempuan, yaitu suatu prosesi menuju peralihan status perempuan dari
gadis remaja (kabu-abua) ke dewasa (kalambe). Dalam ritual tersebut didapatkan
nasihat-nasihat, pembinaan fisik dan mental sebagai persiapan memasuki
kehidupan berumah tangga. Perbedaannya adalah tulisan La Ode Safulin, Rustam
Awat dan Aris Mahmud, tulisan lebih fokus pada pingitan di daerah Wolio yang
notabene bekas Kesultanan Buton. Di Wolio pingitan lebih dikenal dengan posuo,
sedangkan penulis mengambil lokasi penelitian di Kecamatan Mawasangka
dengan permasalahan penelitian tentang keterpinggiran ritual kaombo yang ada di
masyarakat Buton Kecamatan Mawasangka.
20
2.2 Konsep
Konsep dilakukan sebagai penggambaran secara abstrak yang menjadi pusat
perhatian ilmu sosial. Melalui konsep tersebut peneliti dapat melihat tujuan dan
menyederhanakan pemikiran dalam penelitian. Dalam kaitan penelitian terhadap
keterpinggiran ritual kaombo pada masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka,
Provinsi Sulawesi Tenggara terdapat beberapa konsep, yang meliputi
keterpinggiran, ritual, kaombo, dan masyarakat Buton.
2.2.1 Keterpinggiran
Keterpinggiran mengacu pada suatu posisi yang diperbandingkan dengan
posisi yang lain. Keterpinggiran tidak berdiri sendiri. Keberadaan dan
pengertiannya sangat bergantung pada antitesisnya, yakni posisi yang bukan di
pinggir (biasanya disebut “pusat” atau “tengah”). Kontras antara tengah dan
pinggir dalam pengertian keterpinggiran biasanya dikaitkan dalam distribusi
kekuasaan atau yang lebih tepat keberdayaan, yang bergradasi menurun dari pusat
ke pinggir.
Pusat atau tengah merupakan posisi yang paling berdaya. Mereka yang
menduduki tempat tersebut dianggap penting sebagai inti atau sumber acuan
sehingga mendapat perhatian. Sebaliknya, posisi pinggiran paling jauh dari
keberdayaan karena dianggap kurang penting. Keterpinggiran juga dapat diartikan
sebagai suatu posisi yang berada pada perbatasan, yang tidak dimiliki atau
memiliki yang berada di tengah karena identitas yang tidak jelas (Wahyudi, 2004:
87--88).
21
2.2.2 Ritual Kaombo
Ritual sendiri didefinisikan sebagai perilaku yang diatur secara ketat,
dilakukan sesuai dengan ketentuan dan berbeda dengan perilaku sehari-hari, baik
cara melakukannya maupun maknannya. Menurut Hadi (1999: 29--30), ritual
merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan
beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat khusus. Artinya
ritual menimbulkan rasa hormat yang luhur, dalam arti merupakan suatu
pengalaman yang suci.
Menurut Djamari (1993: 36) ritual ditinjau dari dua segi yaitu: tujuan
(makna). Dari segi tujuan ada ritual yang tujuannya mendekatkan diri kepada
Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan rahmat, da nada yang tujuannya
meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan. Adapun dari segi cara, ritual
dapat dibedakan menjadi dua; individual dan kolektif. Sebagian ritual dilakukan
secara perorangan, bahkan ada yang dilakukan dengan mengisolasi diri dari
keramaian seperti meditasi, bertapa dan yoga. Ada pula ritual yang dilakukan
secara kolektif (umum), seperti khotbah, shalat, berjamaah dan haji.
Antony Wallance (dalam Djamari, 1993: 39) meninjau ritual dari segi
jangkauannya, yakni (1) ritual sebagai teknologi, seperti upacara yang
berhubungan dengan kegiatan pertanian dan perburuan. (2) Ritual sebagai terapi
seperti upacara untuk mengobati dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. (3)
Ritual sebagai ideologis-mitos dan ritual tergabung untuk mengendalikan suasana
perasaan hati, nilai, sentiment dan perilaku untuk kelompok yang baik. Misalnya,
upacara inisiasi yang merupakan konfirmasi kelompok terhadap status, hak dan
22
tanggung jawab yang baru. (4) Ritual sebagai penyelamatan (salvation), misalnya
seseorang yang mempunyai pengalaman mistikal, seolah-olah menjadi orang
baru; ia berhubungan dengan kosmos yang juga mempengaruhi hubungan dengan
dunia profan. (5) Ritual sebagai revitalisasi (penguatan atau penghidupan
kembali). Ritual ini sama dengan ritual salvation yang bertujuan untuk
penyelamatan tetapi fokusnya masyarakat.
Kaombo secara etimologi bahasa Buton diartikan sebagai peram, lindungi,
suaka, awasi, kontrol karena memiliki sumber daya yang bernilai. Jadi, ritual
kaombo merujuk pada suatu prosesi upacara peralihan yang dilaksanakan khusus
untuk anak gadis yang telah memasuki usia dewasa (usia baligh anak gadis
ditandai dengan haid pertama). Dalam ritual ini anak-anak gadis diberikan dua
pembinaan yakni pembinaan mental (Tahara, 2014: 80).
Jadi, ritual kaombo merupakan bentuk upacara untuk anak perempuan
ketika memasuki usia dewasa yang berhubungan kepercayaan yang ada di
masyarakat Buton dan mengandung nilai-nilai ideologis. Ritual adat yang ada di
masyarakat Buton sebagai life cycle yakni ritual kaombo. Ritual ini bermakna
pingitan bagi seorang gadis yang telah memasuki usia dewasa. Tradisi ritual
kaombo merupakan salah satu tradisi lisan pada masyarakat Buton yang berada di
Kecamatan Mawasangka dan diwariskan oleh leluhur dari generasi ke generasi
sebagai warisan budaya tak benda (heritage intangible). Namun, pada masa kini
keberadaan ritual ini mengalami keterpinggiran di tengah masyarakat Buton.
23
2.2.3 Masyarakat Buton
Asal usul nama Buton perlu diterangkan karena adanya berbagai versi. Akan
tetapi, sebelum itu juga perlu dibatasi pengertian nama Buton. Setidaknya ada
empat pengertian mengenai nama Buton. Pertama, nama yang diberikan untuk
sebuah pulau, maka kata ini mengacu kepada satu pulau dengan panjang 100 Km
yang terletak di dalam kepulauan Jazirah Tenggara pulau Sulawesi. Kedua, nama
kerajaan atau kesultanan, yang sebelum masuknya Islam masih berbentuk
kerajaan. Ketiga, nama sebuah kabupaten, maka kata ini mengacu pada satu
kabupaten yang terletak di bagian selatan garis khatulistiwa. Keempat nama untuk
menyebut orang Buton maka kata ini mengacu kepada penduduk yang tinggal di
Pulau Buton.
Suatu masyarakat pasti mempunyai lokalitas atau tempat tinggal (wilayah)
tertentu. Walaupun sekelompok manusia merupakan masyarakat pengembara,
pada saat-saat tertentu anggota-anggotanya pasti berkumpul, misalnya bila
mengadakan upacara-upacara tradisional. Masyarakat yang mempunyai tempat
tinggal tetap dan permanen biasanya mempunyai ikatan solidaritas yang kuat
sebagai pengaruh kesatuan tempat tinggal (Soekanto, 2006: 150). Masyarakat
Buton yang berada di Kecamatan Mawasangka merupakan kesatuan yang terdiri
atas beberapa desa yang menetap di wilayah tersebut. Masyarakat Buton di
Kecamatan Mawasangka sudah mempunyai tempat tinggal yang permanen tetapi
ada juga yang keluar ke daerah lain untuk merantau.akan tetapi, ketika menjelang
bulan Ramadhan atau mendekati hari raya Idul Fitri banyak perantau yang berasal
24
dari Malaysia, Kalimantan, Maluku, dan Papua yang pulang ke Mawasangka
untuk merayakan hari raya bersama sanak saudara.
2.2.4 Keterpinggiran Ritual Kaombo pada Masyarakat Buton
Penjelasan mengenai konsep keterpinggiran dalam penelitian yang
dilakukan penulis dapat memberikan penjelasan terhadap kesatuan konsep
“Keterpinggiran Ritual Kaombo pada Masyarakat Buton Kecamatan
Mawasangka”. Artinya, keterpinggiran dalam suatu aktivitas, kegiatan kelompok
dan individu yang tidak mendapatkan porsi yang sentral (penting), bahkan ada
kecenderungan terabaikan. Keterpinggiran merupakan permasalahan yang perlu
mendapat perhatian dan penyelidikan untuk mengetahui mengapa terjadi
keterpinggiran. Dalam kaitan keterpinggiran dikatakan sebagai hal yang tidak
diperhatikan lagi pada masa sekarang ini, yakni identik dengan posisi atau tempat
marginal.
Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur keterpinggiran ritual
kaombo dalam masyarakat Buton adalah (1) berkurangnya frekuensi ritual
kaombo karena pelaksanaannya tidak mengenal waktu, (2) ritual kaombo justru
dilakukan ketika ada pesta perkawinan, (3) berkurangnya durasi waktu dan orang
yang dilibatkan pada pelaksanaan ritual kaombo, (4) tidak utuhnya proses
pelaksanaan ritual kaombo, dan (5) berubahnya kelengkapan ritual kaombo.
25
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan beberapa teori sebagai landasan acuan. Teori-
teori tersebut adalah teori hegemoni, teori dekonstruksi, dan teori semiotik. Dalam
disiplin Kajian Budaya penggunaan teori seperti itu merupakan sesuatu yang
normal. Menurut Mudana (2005: 52) fenomena kehidupan masa kini yang
semakin kompleks dianggap tidak lagi relevan dianalisis dengan teori-teori
tunggal seperti pada masa sebelumnya. Di dunia kajian budaya, penggunaan lebih
dari satu teori atau multiteori memungkinkan dapat mengupas persoalan
kemasakinian secara lebih komprehensif dan dengan hasil yang lebih bisa
dipertanggungjawabkan.
Dalam penelitian penulis mengenai “Keterpinggiran Ritual Kaombo pada
Masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka, Provinsi Sulawesi Tenggara”
digunakan tiga jenis teori yang relevan. salah satu di antaranya adalah teori
hegemoni yang selanjutnya ditetapkan sebagai teori utama. Sementara itu dua
teori yang lain, yaitu teori dekonstruksi dan teori semiotika difungsikan sebagai
teori pendukung.
2.3.1 Teori Hegemoni
Pemikiran Gramsci tentang hegemoni mengaitkan konsep ideologi dan
kehidupan budaya, terutama dalam mengarahkan formasi sosial individu dan
struktur masyarakat. Di sini hegemoni hakikatnya merupakan strategi dalam
rangka melanggengkan pandangan-pandangan dunia dan kekuasaan kelompok-
kelompok sosial tertentu yang terbangun atas dasar kelas, kelamin etnisitas,
26
kebangsaan, dan kategori lain. Akan tetapi sesuai dengan karakteristik pandangan
Gramsci, situasi ini harus dilihat sebagai sesuatu yang labil. Hal ini berarti bahwa
kemampuan hegemoni yang didukung ideology berusaha diwujudkan dan
dipertahankan oleh kelompok-kelompok sosial yang bersifat sementara. Karena
sifatnya yang sementara itu, hegemoni menjadi sesuatu yang bergerak terus,
dalam arti diperjuangkan terus atau pada suatu saat dinegosiasi ulang, bahkan
pada waktunya siap menghadapi blok historis baru (Widja, 2013: 39).
Teori hegemoni menekankan bahwa terjadi pertarungan untuk
memperebutkan penerimaan publik. Secara perlahan dan pasti kelompok dominan
menyebabkan ideologi dan kebenarannya agar diterima tanpa perlawanan. Salah
satu strategi kunci dalam hegemoni adalah nalar awam (commom sense). Jika ide
atau gagasan dari kelompok dominan/berkuasa diterima sebagai commom sense,
maka ideologi kelompok dominan itu dapat menyebar dan dipraktikkan.
Menurut Rupert (2013: 233), di jantung proses (re)konstruksi berkelanjutan
dalam hubungan relasional ini adalah bentuk koersif (paksaan) dan konsensual
(konsensus) dari power, sejalan dengan visi ganda Gramsci tentang politik. Bagi
Gramsci, “hegemoni” adalah jenis hubungan kekuatan sosial khusus yang
kelompok-kelompok dominannya mengamankan posisi atas hak-hak istimewa
dengan cara sebagian besar melalui konsensus. Artinya, kelompok dominan ini
memaksanakan persetujuan dari kelompok-kelompok yang didominasi dengan
cara mengartikulasikan suatu visi politik, suatu idelogi yang mengklaim bias
berbicara untuk semua dan yang bergaung dengan keyakinan yang secara luas
dipegang dalam budaya politik populer. Keadaan ini, kekuatan koersif mungkin
27
surut hingga ke lokasi latar belakang kehidupan politik. Di samping itu, selalu
hadir sebagai potensi, tetapi tidak secara langsung tampak dalam kehidupan
sehari-hari.
Teori hegemoni merupakan salah satu teori yang penting pada abad XX.
Teori ini relevan sekali digunakan untuk membedah permasalahan terkait dengan
kekuasaan. Agar yang terhegemoni patuh pada penghegemoni, maka yang
terhegemoni hendaknya mampu menginternalisasikan nilai-nilai penghegemoni di
samping harus memberikan persetujuan atas subordinasi mereka. Kelompok yang
menghegemoni memperjuangkan legitimasi kekuasaannya dari massa.
Sebaliknya, massa dapat menerima prinsip, ide, norma-norma sebagai miliknya.
Hegemoni satu kelompok terhadap kelompok lain tidak berdasarkan paksaan,
tetapi melalui konsensus.
Hegemoni digunakan dengan mengacu pada sebuah kondisi proses, yaitu
kelas dominan tidak hanya mengatur, tetapi juga mengarahkan masyarakat
melalui paksaan kepemimpinan moral dan intelektual. Hegemoni terjadi pada
suatu masyarakat, yaitu terdapat tingkat konsensus yang tinggi dengan ukuran
stabilitas nasional yang besar, sementara kelas bawah dengan aktif mendukung
dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan, dan makna budaya yang mengikat dan
menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada (Storey, 2003: 172--173).
Budaya yang tersebar merata di dalam masyarakat pada waktu tertentu
dapat diinterpretasikan sebagai hasil atau perwujudan hegemoni, perwujudan dari
penerimaan konseptual oleh kelompok gagasan subordinat, nilai-nilai dan
kepemimpinan kelompok dominan tersebut. Menurut Gramsci, kelompok
28
dominan tampaknya tidak semata-mata bisa mempertahankan dominasi karena
kekuasaan, bisa jadi karena masyarakat sendiri yang mengizinkan. Selain itu,
media massa juga merupakan instrumen untuk menyebarkan dan memperkuat
hegemoni dominan terutama dalam membangun dukungan masyarakat dengan
cara memengaruhi dan membentuk alam pikirannya dengan menciptakan sebuah
pembentukan dominasi melalui penciptaan sebuah ideologi yang dominan. Dalam
paradigma hegemonian, media massa dan cetak merupakan alat penguasa untuk
menciptakan reproduksi ketaatan publik yang sangat ampuh dalam memengaruhi
perilaku dan kebiasaan khalayak. Singkatnya, hegemoni dapat dikatakan sebagai
reproduksi ketaatan dan kesamaan pandangan dengan cara yang lunak.
Teori hegemoni Gramsci dipandang tepat digunakan sebagai teori utama
dalam penelitian ini. Sesuai dengan kenyataan yang ada di masyarakat bahwa
kondisi ritual kambo yang kian hari kian terpinggirkan. Tradisi ritual yang
seharusnya dilaksanakan ketika seorang remaja memasuki usia dewasa kini sudah
sangat jarang ditemukan pelaksanaannya karena masyarakat lebih cencerung
merapel atau menggabungkan ritual kaombo ini ketika akan melangsungkan
pernikahan. Teori hegemoni ini lebih dominan digunakan untuk membedah
masalah penelitian yang pertama, yaitu bentuk keterpinggiran ritual kaombo pada
masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Walaupun sesungguhnya pemanfaatan teori ini tidak bisa dipisahkan begitu saja
dengan permasalahan berikutnya.
29
2.3.2 Teori Dekonstruksi
Dekonstruksi berarti memisahkan, melepaskan, dalam rangka mencari dan
membeberkan asumsi suatu teks. Secara khusus, dekonstruksi melibatkan
pelucutan oposisi biner hierarkis semisal tuturan/tulisan, realitas/penampakan,
alam/kebudayaan, kewarasan/kegilaan, dan lain-lain, yang berfungsi menjamin
kebenaran dengan cara mengesampingkan dan mendevaluasi bagian “inferior”
oposisi biner tersebut (Barker, 2009: 81).
Teori dekonstruksi dikembangkan oleh Jacques Derrida. Teori ini memiliki
kepentingan dan minat besar dalam membelokkan dan membalikkan
kecenderungan dan paradigma modernisme. Pada intinya teori ini merupakan titik
dan penolakan terhadap pemikiran strukturalis filsafat modern. Adapun pemikiran
modern yang ditolak adalah logosentrisme yang berimplikasi pada dikotomi
subjek-subjek dan oposisi biner. Logosentrisme memandang suatu realitas sebagai
representasi dari akal, pikiran atau logos sehingga menimbulkan dogmatisme
untuk melegitimasi dan memaksa manusia masuk ke dalam sistem. Subjek
dianggap menentukan validitas kebenaran sehingga mendominasi dan
mengeksploitasi objek.
Dekonstruksi adalah sebuah bentuk kritik yang didasarkan pada pembacaan
secara hati-hati. Jadi, jelas juga apa yang bukan dekonstruksi, antara lain cara
membaca yang sekadar menarik keluar pemaknaan dari suatu teks dan pada saat
yang sama menunjukkan kontradiksi yang diperlukan. Hal ini merongrong logika
teks dengan mengambil logika ini secara serius. Jelas adanya bahwa dekonstruksi
adalah politis. Ia begitu kuat mengganggu cara-cara standar kita memahami dunia.
30
Apa yang mungkin telah kita terima begitu saja, dengan adanya dekonstruksi kini
harus dipertimbangkan kembali (Zehfus, 2013: 183--193).
Dalam kerangka studi kultural, teori dekonstruksi telah menjadi salah satu
teori utama yang dimanfaatkan untuk menganalisis gejala-gejala kebudayaan
kontemporer. Ciri khas dekonstruksi melalui cara kerjanya yang dikenal dengan
“membongkar”, dianggap salah satu metode yang paling tepat untuk memahami
pluralisme budaya. Apabila benar bahwa masa krisis merupakan masa untuk
membangun kembali, maka pembongkaran harus diikuti oleh pembangunan
kembali, sekaligus menggantikannya dengan cara-cara baru sehingga diperoleh
temuan baru.
Derrida mengembangkan teori ini sebagai kritik terhadap pandangan
logosentrisme barat yang menganggap bahwa bahasa mempunyai hubungan
langsung dengan realitas di luar kita (correspondence theory). Menurut Derrida,
dekonstruksi bukanlah sebuah mode atau teknik atau sebuah gaya kritik sastra
atau sebuah prosedur untuk menafsirkan teks. Inti dari dekonstruksi kurang lebih
adalah bahwa konsep ini berhubungan dengan bahasa. Dekonstruksi adalah segala
sesuatu yang ditolaknya. Konsep ini memakai asumsi filsafat atau filologi untuk
menghantam konsep logosentrisme. Bagi Derrida, sangat mustahil membedakan
antara realitas dan bahasa yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas tersebut.
Fokus utamanya adalah bahasa tulisan, yakni teks. Tidak perlu terlalu cepat
menyingkapkan arti sebuah teks. Sebuah teks senantiasa berkorelasi dan
mempunyai konteks sehingga selalu mengandung kemungkinan arti yang lain
(Sutrisno dan Putranto, 2005: 171).
31
Dekonstruksi memberikan arti pada kelompok-kelompok yang lemah,
termarginalkan, posisi subordinat, dan kelompok minoritas. Dalam hubungannya
dengan penelitian ini, penggunaan teori dekonstruksi diarahkan pada pemecahan
masalah mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya keterpinggiran
ritual kaombo pada masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka, Provinsi
Sulawesi Tenggara. Teori dekonstruksi ini secara terperinci membedah faktor-
faktor internal dan eksternal yang menyebabkan keterpinggiran ritual ini.
2.3.3 Teori Semiotik
Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Ini
berarti bahwa segala sesuatu yang hadir dalam kehidupan kita sebagai tanda dan
harusnya diberikan makna (Hoed, 2008: 3). Teori semiotik ini dikembangkan oleh
banyak ahli dengan latar belakang pemikiran dan disiplin ilmunya masing-masing.
Namun, secara garis besar pandangan mereka tentang tanda dapat digolongkan
menjadi dua tersebut dilihat sebagai semiotik struktural (bertumpu pada
structuralism de Saussure) dan semiotik pragmatis. Sama halnya dengan yang
dijelaskan oleh Berger bahwa Ferdinand de Saussure (1857--1913) dan Charles
Sanders Peirce (1839--1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu
semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa
dengan latar belakang keilmuan linguistik dan Peirce di Amerika Serikat dengan
latar belakang keilmuan filsafat (Tinarbuko, 2010: 12).
Menurut pada Charles Sanders Peirce, para pragmatis melihat tanda sebagai
yang mewakili sesuatu. Maksud dari “sesuatu” dapat berupa hal konkret
32
ditangkap oleh panca indra manusia, kemudian setelah melalui suatu proses,
mewakili sesuatu yang ada dalam kognisi manusia. Sesuatu yang konkret adalah
suatu perwakilan yang disebut representamen, sedangkan sesuatu yang ada dalam
kognisi disebut object. Proses hubungan kedua inilah yang disebut semiosis
(tanda). Setelah proses simiosis, ada satu lagi proses yang merupakan lanjutan
disebut interpretant (proses penafsiran), yang karena sifatnya mengkaitkan tiga
dimensi, yaitu representamen, objek, interpretan dalam suatu proses semiosis
sehingga teori ini disebut semiotik pragmatis.
Selanjutnya Roland Barthes (1915--1980) mempraktikkan model linguistik
dan semiologi Saussurean tentang signifier (penanda, bentuk) dan signified
(petanda, makna). Teori ini mengembangkan dua tingkat penandaan (staggere
system) yang memungkinkan dihasilkannya makna yang bertingkat-tingkat pula,
yaitu denotation stage (tingkat denotasi) dan connontation stage (tingkat
konotasi).
Barthes berpendapat bahwa kita dapat berbicara tentang dua sistem
signifikasi, yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi menjabarkan hal-hal yang
ditujukan oleh kata-kata, misalnya gambar manusia, binatang, pohon, rumah.
Warnanya juga dicatat, seperti merah, kuning, biru, putih, dan sebagainya. Pada
tahapan ini hanya informasi data yang disampaikan. Di pihak lain makna konotatif
meliputi makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai
kebudayaan dan ideologi. Misalnya gambar wajah orang tersenyum
menggambarkan orang yang sedang bahagia. Sebaliknya, bisa saja tersenyum
33
diartikan sebagai ekspresi penghinaan terhadap seseorang (Barker, 2009: 74,
Tinarbuko, 2009: 19--20).
Pandangan Barthes tentang tanda, baik denotatif maupun konotatif, terkait
dengan bahasa yang mengomunikasikan suatu pesan (tanda) bermakna.
Sehubungan dengan itu, teori ini secara khusus digunakan untuk mengungkapkan
makna di balik kata-kata, ungkapan-ungkapan, dan tindakan-tindakan yang
berhubungan dengan tradisi ritual kaombo tersebut. Dari kata-kata, tindakan, atau
ungkapan-ungkapan tertentu dapat dipahami sebagai wacana yang
menggambarkan makna di balik ritual kaombo itu sendiri.
Menurut Piliang (2008: 46), semiotika tidak saja sebagai “metode kajian”
(decoding), tetapi juga sebagai “metode penciptaan” (ecoding). Artinya, ia
termasuk dalam sebuah disiplin keilmuan yang mempelajari “ilmu tentang tanda”
(the science of sign). Dalam semiotika ini terdapat sistem, aturan, prinsip, dan
prosedur keilmuan yang khusus dan bersifat baku. Namun, semiotika bukanlah
ilmu yang mempunyai sifat kepastian dan objektivitas seperti ilmu-ilmu alam.
Semiotika adalah ilmu yang bersifat lebih dinamis dan terbuka dari berbagai
interpretasi. Dalam logika semiotika interpretasi tidak diukur berdasarkan salah
atau benarnya sebuah logika, tetapi berdasarkan kelogisan interpretasi yang satu
lebih masuk akal dibandingkan dengan yang lainnya.
Ritual kaombo merupakan salah satu wujud kebudayaan yang ada dalam
masyarakat Buton yang sarat dengan simbol-simbol makna yang harus
diinterpretasikan dan diterjemahkan. Dengan demikian, generasi muda sebagai
ahli waris dan penerus nilai-nilai budaya yang tersirat di dalamnya mampu
34
menjadikannya pedoman hidup dalam kehidupan bermasyarakat sebagai makhluk
sosial. Dalam kajian semiotika data yang dijadikan objek dan dianalisis pada
umumnya teks. Teks dalam teori kebudayaan tidak hanya terbatas pada tulisan,
tetapi termasuk pula pola perilaku dan tindakan yang mengungkapkan pesan-
pesan budaya yang secara umum menjadi teks kognifit dan teks sosial, baik verbal
maupun nonverbal (Hoed, 2008: 41).
Konteks semiotika menafsirkan kebudayaan dengan memaparkan
konfigurasi simbol-simbol bermakna secara mendalam dan menyeluruh. Dengan
menyimpulkan simbol-simbol yang tampak dan tersedia dalam kehidupan
masyarakat sesungguhnya menunjukkan bagaimana masyarakat yang
bersangkutan melihat, merasakan, dan berpikir tentang dunia dan bertindak
berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Semiotika terhubung dengan simbol-simbol
kehidupan yang tersedia di depan umum dan dikenal masyarakat yang
bersangkutan. Teori semiotika digunakan untuk membedah rumusan masalah
yang ketiga yakni dampak dan makna keterpinggiran ritual kaombo pada
masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka, Provinsi Sulawesi Tenggara.
35
2.4 Model Penelitian
Model penelitian adalah penyederhanaan pola pikir dalam menelaah
masalah – masalah yang terdapat dalam penelitian sekaligus menjadi fokus
penelitian. Model penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Keterangan Garis:
: Faktor dominan yang memengaruhi
: Saling terkait
: Hubungan
Faktor-faktor
Penyebab
Keterpinggiran
Budaya Global Budaya Lokal
IPTEK
Pendidikan
Agama Islam
Tradisi
ritual
kaombo
Keterpinggiran Ritual
Kaombo pada
Masyarakat Buton di
Kecamatan Mawasangka
Bentuk
Keterpinggiran
Dampak dan
makna
Keterpinggiran
Strategi
Pewarisan
36
Penjelasan Model Penelitian
Dalam penelitian ini terjadi pengaruh antara budaya global dan budaya lokal
sehingga ritual kaombo mengalami keterpinggiran. Tradisi ritual kaombo
mengalami keterpinggiran pada masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka
dipengaruhi IPTEK, pendidikan, dan agama Islam. Dalam penelitian ini dibahas
(1) bentuk keterpinggiran ritual kaomo pada masyarakat Buton di Kecamatan
Mawasangka, (2) faktor-faktor keterpinggiran ritual kaombo pada masyarakat
Buton di Kecamatan Mawasangka, (3) dampak dan makna keterpinggiran ritual
kaombo pada masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka, (4) strategi
pewarisan ritual kaombo pada masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka.
Ritual kaombo bagian dari tradisi yang bermuatan pengetahuan, keyakinan,
adat kebiasaan yang dimiliki masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka.
Namun, seiring dengan perkembangan waktu dan kemajuan zaman pada era
globalisasi, modernisasi, dan pengaruh agama Islam menyebabkan terjadinya
keterancaman ritual-ritual tradisi yang ada di masyarakat Buton itu sendiri.
Berdasarkan kondisi ini maka dimungkinkan peneliti untuk mengkaji bagaimana
keterpinggiran ritual kaombo pada masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka,
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Ritual kaombo sebagai warisan budaya tak benda patut dilestarikan sebagai
warisan leluhur yang bermuatan nilai dan ilmu pengetahuan. Berdasarkan
keberadaan ritual kaombo saat ini di masyarakat Buton yang semakin
terpinggirkan di tengah masyarakat pendukungnya, maka langkah pelestarian
dengan berbagai strategi pewarisan harus dilakukan sebagai langkah konservasi.