BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … 2.pdfNuriman di Kabupaten Muna, sedangkan...

23
14 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Penelitian ini membahas ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia, yakni ritual kaombo pada masyarakat Buton. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kembali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, juga melestarikan tradisi-tradisi masyarakat yang mendekati ambang kepunahan sebagai akibat dari kemajuan zaman dan ilmu pengetahuan pada era globalisasi. Berkaitan dengan penelitian “Keterpinggiran Ritual Kaombo pada Masyarakat Buton, Kecamatan Mawasangka, Provinsi Sulawesi Tenggara” ada ditemukan beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis terdahulu. Nuriman (2011) dalam tesisnya berjudul “Pola Pengasuhan Anak Perempuan dalam Upacara Karia pada Etnik Muna serta Model Pelestariannya” di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Nuriman mendeskripsikan prosesi pelaksanaan upacara karia, yang dibagi menjadi tiga tahap, yakni (a) tahap persiapan, panitia menyiapkan segala kebutuhan yang akan dipakai pada saat pelaksanaan upacara; (b) tahap pelaksanaan, yang terdiri atas dua belas prosesi, yakni kafoluku, kaghombo, kaalano patirangka, kabhansule, kaalano oe, kabhalengka, kabhindu, kafosampu, katanda wite, tari linda, kabhasano dhoa salama, dan kahapui: (c) tahap akhir upacara karia dilakukan kafolantono bhansa/kaghorono bhansa di sumgai pengambilan air kagombo.

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … 2.pdfNuriman di Kabupaten Muna, sedangkan...

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian ini membahas ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia,

yakni ritual kaombo pada masyarakat Buton. Hal ini dilakukan sebagai upaya

untuk meningkatkan kembali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Di samping

itu, juga melestarikan tradisi-tradisi masyarakat yang mendekati ambang

kepunahan sebagai akibat dari kemajuan zaman dan ilmu pengetahuan pada era

globalisasi. Berkaitan dengan penelitian “Keterpinggiran Ritual Kaombo pada

Masyarakat Buton, Kecamatan Mawasangka, Provinsi Sulawesi Tenggara” ada

ditemukan beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis terdahulu.

Nuriman (2011) dalam tesisnya berjudul “Pola Pengasuhan Anak

Perempuan dalam Upacara Karia pada Etnik Muna serta Model Pelestariannya” di

Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Nuriman mendeskripsikan prosesi

pelaksanaan upacara karia, yang dibagi menjadi tiga tahap, yakni (a) tahap

persiapan, panitia menyiapkan segala kebutuhan yang akan dipakai pada saat

pelaksanaan upacara; (b) tahap pelaksanaan, yang terdiri atas dua belas prosesi,

yakni kafoluku, kaghombo, kaalano patirangka, kabhansule, kaalano oe,

kabhalengka, kabhindu, kafosampu, katanda wite, tari linda, kabhasano dhoa

salama, dan kahapui: (c) tahap akhir upacara karia dilakukan kafolantono

bhansa/kaghorono bhansa di sumgai pengambilan air kagombo.

15

Terdapat persamaan dan perbedaan dalam penelitian Nuriman dan

penelitian yang dilakukan oleh penulis. Nuriman dan mendeskripsikan pola

pengasuhan anak perempuan dalam upacara karia, sedangkan penulis lebih fokus

pada strategi pewarisan ritual kaombo. Anak perempuan diharapkan agar selalu

menjaga kesucian, tetap berkonsentrasi dengan tugas-tugas, biasanya dalam hal

membantu suami memenuhi kebutuhan rumah tangga, menghargai sesama,

diwajibkan bersolek agar tampak cantik di hadapan suaminya, berserah diri

kepada Tuhan Yang Maha Esa, taat kepada kedua orang tua, bergairah dalam

mengarungi hidup, bergairah dan senang dalam menjalani hari-hariya, pada masa

yang akan datang; tidak berserah diri pada ramalan-ramalan.

Perbedaan penelitian ini dengan yang dilakukan oleh Nuriman adalah

meskipun sama-sama menulis tentang pingitan, dari segi lokasi tempat penelitian

tentu berbeda. Nuriman di Kabupaten Muna, sedangkan fokus penelitian penulis

di Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah. Terdapat perbedaan dari

segi bahasa di daerah setempat, yaitu di masyarakat Muna disebut karia,

sedangkan di masyarakat Buton disebut kaombo yang artinya pingitan. Penelitian

Nuriman lebih menekankan prosesi dan pola asuh dalam upacara karia,

sedangkan penulis melakukan peneltian mengenai keterpinggiran ritual kaombo

yang mulai tergerus oleh zaman globalisasi dan era modern saat ini.

Penelitian Alkausar (2011) “Keterancaman Ritual Mappandesasi pada

Masyarakat Nelayan Etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi

Tenggara”. Penelitian ini merupakan tesis pada Program Studi Kajian Budaya

Universita Udayana. Ritual mappandesasi ini membahas prosesi ritual yang

16

dilaksanakan menjelang melaut dan sesudah melaut atau biasa disebut dengan

memberikan makan penjaga laut (penguasa laut). Dalam penelitian Alkausar

dikemukakan bahwa pelaksanaan ritual mappandesasi ini sudah mengalami

komodifikasi dan konstruksi sosial baru dalam masyarakat. Konstruksi tersebut

adalah pembaruan dan pengurangan artifak yang digunakan untuk melangsungkan

upacara ritual akibat kemajuan teknologi, pendidikan, dan faktor ekonomi,

bergesernya jadwal waktu pelaksanaan ritual mappandesasi, serta berkurangnya

jumlah peserta ritual.

Selanjutnya dalam penelitian Alkausar dikaji akibat dari kemajuan teknologi

dan ilmu pengetahuan pada era globalisasi ini mengancam keberadaan ritual

mapandesasi yang bisa menggiringnya kepada kepunahan. Dalam penelitian ritual

mapandesasi ini ditemukan beberapa dampak di masyarakat akibat berkurangnya

pelaksanaan ritual mapandesasi, yaitu (1) terjadinya penurunan dan memudarnya

rasa persatuan serta solidaritas masyarakat dalam berbagai hal, (2) menurunnya

tingkat kerja sama dalam masyarakat di berbagai hal, (3) orientasi berpikir

masyarakat akibat kemajuan zaman lebih pada orientasi materi, (4) kepentingan

individu diletakkan di atas kepentingan kelompok, (5) berkurangnya hasil

tangkapan nelayan dan banyaknya bencana yang menimpa nelayan akibat dari

tidak dilaksanakannyan ritual mappandesasi, (6) generasi muda sudah tidak

memahami bentuk, fungsi, dan makna ritual mappandesasi ini serta tidak

terjadinya pewarisan kebudayaan dari generasi tua ke generasi muda.

Penelitian Alkausar memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian

ini. Dilihat dari fokus kajian penelitian sama-sama mengkaji ritual yang berkaitan

17

dengan siklus hidup manusia. Di samping itu, penelitian yang dilakukan adalah

penelitian kajian budaya dengan teori-teori postmodern dan sama-sama

menggunakan metode kualitatif.

Penelitian Alkausar ini berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan.

Peneliti memang mengkaji ritual, tetapi terfokus pada ritual kaombo, yaitu proses

pingitan yang dilakukan oleh seorang wanita yang mengalami proses peralihan

dari remaja (kabua-bua) ke dewasa (kalambe) pada masyarakat Buton di

Kecamatan Mawasangka, Provinsi Sulawesi Tenggara. Di pihak lain Alkausar

mengkaji ritual mappandesasi, yaitu memberikan makan penguasa laut pada

masyarakat nelayan etnik Mandar yang bermukim di Kelurahan Bungkutoko,

Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Dilihat dari lokasi dan objek

penelitian tampak perbedaan yang jelas.

Hasil penelitian Alkausar tersebut, dijadikan sebagai referensi untuk bahan

pembanding dan rujukan untuk mengkaji ritual kaombo pada masyarakat Buton di

Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Dari penelitian itu juga diperoleh beberapa definisi yang bisa memperkuat

penelitian penulis.

Selain hasil penelitian dan tulisan di atas juga ditampilkan kajian ilmiah lain

untuk menunjang pustaka utama guna memperkaya dan mempertajam

kepustakaan dalam penelitian, yakni penelitian yang dilakukan oleh Hardin (2013)

tentang “ Bentuk Ritual Kasungki dan Keterancamannya pada Masyarakat Muna

di Kecamatan Abeli, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara”. Penelitian itu

tentu memiliki persamaan dan perbedaan. Dilihat dari fokus kajian penelitian

18

sama-sama mengkaji ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia. Selan itu,

penelitian yang dilakukan adalah penelitian kajian budaya dengan menggunakan

teori-teori postmodern dan sama-sama menggunakan metode kualitatif.

Perbedaan penelitian ini sangat jauh, yaitu dilihat dari lokasi penelitian,

fokus penelitian yang dikaji oleh Hardin adalah memohon kesehatan, keselamatan

dan menyembuhkan penyakit karena masyarakat Muna yang bermukim di Kota

Kendari tidak melakukan ritual kasungki, sedangkan penulis mengkaji ritual

kaombo, yakni ritual pingitan pada anak perempuan di masyarakat Buton yang

berada di Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah.

Hasil penelitian Hardin tersebut dijadikan sebagai referensi untuk bahan

pembanding dan rujukan bagi peneliti untuk mengkaji ritual kaombo pada

masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah,

Provinsi Sulawesi Tenggara. Dari penelitian itu juga diperoleh beberapa definisi

yang bisa memperkuat penelitian penulis.

Tulisan Schoorl (2003) berjudul “Masyarakat, Sejarah, dan Budaya Buton”.

Dalam tulisan itu Schoorl menjelaskan kedudukan wanita pada masa Kesultanan

Buton. Di dalamnya diuraikan pentingnya kedudukan dan peran wanita dalam

kehidupan masyarakat Buton. Kedudukan dan peran wanita pada masa kesultanan

sangat dipengaruhi oleh sistem pelapisan sosial masyarakat. Terdapat perbedaan

dan persamaan tulisan Schoorl dan penelitian yang dilakukan oleh penulis.

Persamaannya, yakni fokus pada pingitan (kaombo) perempuan, tertera dalam

tulisan prosesi ritual kaombo yang dijalani. Perbedaannya adalah tulisan Schoorl

banyak menyinggung peran dan kedudukan wanita pada masa Kesultanan Buton,

19

sedangkan dalam penelitian yang dilakukan penulis adalah mengenai

keterpinggiran ritual kaombo yang sudah jarang dilaksanakan oleh masyarakat

Buton di Kecamatan Mawasangka.

Selain tulisan Schoorl, penulis juga menggunakan tulisan La Ode Safulin,

Rustam Awat, dan Aris Mahmud (2009) tentang “Akhlak dan Budaya Buton”

sebagai referensi. Dalam buku tersebut banyak disinggung tentang kebudayaan-

kebudayaan Buton yang berlaku pada masyarakat Buton. Tulisan La Ode Safulin,

Rustam Awat, dan Aris Mahmud memiliki persamaan dan perbedaan dengan

penelitian yang dilakukan penulis.

Persamaannya adalah sama-sama mengkaji upacara pingitan yang terjadi

pada anak perempuan, yaitu suatu prosesi menuju peralihan status perempuan dari

gadis remaja (kabu-abua) ke dewasa (kalambe). Dalam ritual tersebut didapatkan

nasihat-nasihat, pembinaan fisik dan mental sebagai persiapan memasuki

kehidupan berumah tangga. Perbedaannya adalah tulisan La Ode Safulin, Rustam

Awat dan Aris Mahmud, tulisan lebih fokus pada pingitan di daerah Wolio yang

notabene bekas Kesultanan Buton. Di Wolio pingitan lebih dikenal dengan posuo,

sedangkan penulis mengambil lokasi penelitian di Kecamatan Mawasangka

dengan permasalahan penelitian tentang keterpinggiran ritual kaombo yang ada di

masyarakat Buton Kecamatan Mawasangka.

20

2.2 Konsep

Konsep dilakukan sebagai penggambaran secara abstrak yang menjadi pusat

perhatian ilmu sosial. Melalui konsep tersebut peneliti dapat melihat tujuan dan

menyederhanakan pemikiran dalam penelitian. Dalam kaitan penelitian terhadap

keterpinggiran ritual kaombo pada masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka,

Provinsi Sulawesi Tenggara terdapat beberapa konsep, yang meliputi

keterpinggiran, ritual, kaombo, dan masyarakat Buton.

2.2.1 Keterpinggiran

Keterpinggiran mengacu pada suatu posisi yang diperbandingkan dengan

posisi yang lain. Keterpinggiran tidak berdiri sendiri. Keberadaan dan

pengertiannya sangat bergantung pada antitesisnya, yakni posisi yang bukan di

pinggir (biasanya disebut “pusat” atau “tengah”). Kontras antara tengah dan

pinggir dalam pengertian keterpinggiran biasanya dikaitkan dalam distribusi

kekuasaan atau yang lebih tepat keberdayaan, yang bergradasi menurun dari pusat

ke pinggir.

Pusat atau tengah merupakan posisi yang paling berdaya. Mereka yang

menduduki tempat tersebut dianggap penting sebagai inti atau sumber acuan

sehingga mendapat perhatian. Sebaliknya, posisi pinggiran paling jauh dari

keberdayaan karena dianggap kurang penting. Keterpinggiran juga dapat diartikan

sebagai suatu posisi yang berada pada perbatasan, yang tidak dimiliki atau

memiliki yang berada di tengah karena identitas yang tidak jelas (Wahyudi, 2004:

87--88).

21

2.2.2 Ritual Kaombo

Ritual sendiri didefinisikan sebagai perilaku yang diatur secara ketat,

dilakukan sesuai dengan ketentuan dan berbeda dengan perilaku sehari-hari, baik

cara melakukannya maupun maknannya. Menurut Hadi (1999: 29--30), ritual

merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan

beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat khusus. Artinya

ritual menimbulkan rasa hormat yang luhur, dalam arti merupakan suatu

pengalaman yang suci.

Menurut Djamari (1993: 36) ritual ditinjau dari dua segi yaitu: tujuan

(makna). Dari segi tujuan ada ritual yang tujuannya mendekatkan diri kepada

Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan rahmat, da nada yang tujuannya

meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan. Adapun dari segi cara, ritual

dapat dibedakan menjadi dua; individual dan kolektif. Sebagian ritual dilakukan

secara perorangan, bahkan ada yang dilakukan dengan mengisolasi diri dari

keramaian seperti meditasi, bertapa dan yoga. Ada pula ritual yang dilakukan

secara kolektif (umum), seperti khotbah, shalat, berjamaah dan haji.

Antony Wallance (dalam Djamari, 1993: 39) meninjau ritual dari segi

jangkauannya, yakni (1) ritual sebagai teknologi, seperti upacara yang

berhubungan dengan kegiatan pertanian dan perburuan. (2) Ritual sebagai terapi

seperti upacara untuk mengobati dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. (3)

Ritual sebagai ideologis-mitos dan ritual tergabung untuk mengendalikan suasana

perasaan hati, nilai, sentiment dan perilaku untuk kelompok yang baik. Misalnya,

upacara inisiasi yang merupakan konfirmasi kelompok terhadap status, hak dan

22

tanggung jawab yang baru. (4) Ritual sebagai penyelamatan (salvation), misalnya

seseorang yang mempunyai pengalaman mistikal, seolah-olah menjadi orang

baru; ia berhubungan dengan kosmos yang juga mempengaruhi hubungan dengan

dunia profan. (5) Ritual sebagai revitalisasi (penguatan atau penghidupan

kembali). Ritual ini sama dengan ritual salvation yang bertujuan untuk

penyelamatan tetapi fokusnya masyarakat.

Kaombo secara etimologi bahasa Buton diartikan sebagai peram, lindungi,

suaka, awasi, kontrol karena memiliki sumber daya yang bernilai. Jadi, ritual

kaombo merujuk pada suatu prosesi upacara peralihan yang dilaksanakan khusus

untuk anak gadis yang telah memasuki usia dewasa (usia baligh anak gadis

ditandai dengan haid pertama). Dalam ritual ini anak-anak gadis diberikan dua

pembinaan yakni pembinaan mental (Tahara, 2014: 80).

Jadi, ritual kaombo merupakan bentuk upacara untuk anak perempuan

ketika memasuki usia dewasa yang berhubungan kepercayaan yang ada di

masyarakat Buton dan mengandung nilai-nilai ideologis. Ritual adat yang ada di

masyarakat Buton sebagai life cycle yakni ritual kaombo. Ritual ini bermakna

pingitan bagi seorang gadis yang telah memasuki usia dewasa. Tradisi ritual

kaombo merupakan salah satu tradisi lisan pada masyarakat Buton yang berada di

Kecamatan Mawasangka dan diwariskan oleh leluhur dari generasi ke generasi

sebagai warisan budaya tak benda (heritage intangible). Namun, pada masa kini

keberadaan ritual ini mengalami keterpinggiran di tengah masyarakat Buton.

23

2.2.3 Masyarakat Buton

Asal usul nama Buton perlu diterangkan karena adanya berbagai versi. Akan

tetapi, sebelum itu juga perlu dibatasi pengertian nama Buton. Setidaknya ada

empat pengertian mengenai nama Buton. Pertama, nama yang diberikan untuk

sebuah pulau, maka kata ini mengacu kepada satu pulau dengan panjang 100 Km

yang terletak di dalam kepulauan Jazirah Tenggara pulau Sulawesi. Kedua, nama

kerajaan atau kesultanan, yang sebelum masuknya Islam masih berbentuk

kerajaan. Ketiga, nama sebuah kabupaten, maka kata ini mengacu pada satu

kabupaten yang terletak di bagian selatan garis khatulistiwa. Keempat nama untuk

menyebut orang Buton maka kata ini mengacu kepada penduduk yang tinggal di

Pulau Buton.

Suatu masyarakat pasti mempunyai lokalitas atau tempat tinggal (wilayah)

tertentu. Walaupun sekelompok manusia merupakan masyarakat pengembara,

pada saat-saat tertentu anggota-anggotanya pasti berkumpul, misalnya bila

mengadakan upacara-upacara tradisional. Masyarakat yang mempunyai tempat

tinggal tetap dan permanen biasanya mempunyai ikatan solidaritas yang kuat

sebagai pengaruh kesatuan tempat tinggal (Soekanto, 2006: 150). Masyarakat

Buton yang berada di Kecamatan Mawasangka merupakan kesatuan yang terdiri

atas beberapa desa yang menetap di wilayah tersebut. Masyarakat Buton di

Kecamatan Mawasangka sudah mempunyai tempat tinggal yang permanen tetapi

ada juga yang keluar ke daerah lain untuk merantau.akan tetapi, ketika menjelang

bulan Ramadhan atau mendekati hari raya Idul Fitri banyak perantau yang berasal

24

dari Malaysia, Kalimantan, Maluku, dan Papua yang pulang ke Mawasangka

untuk merayakan hari raya bersama sanak saudara.

2.2.4 Keterpinggiran Ritual Kaombo pada Masyarakat Buton

Penjelasan mengenai konsep keterpinggiran dalam penelitian yang

dilakukan penulis dapat memberikan penjelasan terhadap kesatuan konsep

“Keterpinggiran Ritual Kaombo pada Masyarakat Buton Kecamatan

Mawasangka”. Artinya, keterpinggiran dalam suatu aktivitas, kegiatan kelompok

dan individu yang tidak mendapatkan porsi yang sentral (penting), bahkan ada

kecenderungan terabaikan. Keterpinggiran merupakan permasalahan yang perlu

mendapat perhatian dan penyelidikan untuk mengetahui mengapa terjadi

keterpinggiran. Dalam kaitan keterpinggiran dikatakan sebagai hal yang tidak

diperhatikan lagi pada masa sekarang ini, yakni identik dengan posisi atau tempat

marginal.

Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur keterpinggiran ritual

kaombo dalam masyarakat Buton adalah (1) berkurangnya frekuensi ritual

kaombo karena pelaksanaannya tidak mengenal waktu, (2) ritual kaombo justru

dilakukan ketika ada pesta perkawinan, (3) berkurangnya durasi waktu dan orang

yang dilibatkan pada pelaksanaan ritual kaombo, (4) tidak utuhnya proses

pelaksanaan ritual kaombo, dan (5) berubahnya kelengkapan ritual kaombo.

25

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan beberapa teori sebagai landasan acuan. Teori-

teori tersebut adalah teori hegemoni, teori dekonstruksi, dan teori semiotik. Dalam

disiplin Kajian Budaya penggunaan teori seperti itu merupakan sesuatu yang

normal. Menurut Mudana (2005: 52) fenomena kehidupan masa kini yang

semakin kompleks dianggap tidak lagi relevan dianalisis dengan teori-teori

tunggal seperti pada masa sebelumnya. Di dunia kajian budaya, penggunaan lebih

dari satu teori atau multiteori memungkinkan dapat mengupas persoalan

kemasakinian secara lebih komprehensif dan dengan hasil yang lebih bisa

dipertanggungjawabkan.

Dalam penelitian penulis mengenai “Keterpinggiran Ritual Kaombo pada

Masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka, Provinsi Sulawesi Tenggara”

digunakan tiga jenis teori yang relevan. salah satu di antaranya adalah teori

hegemoni yang selanjutnya ditetapkan sebagai teori utama. Sementara itu dua

teori yang lain, yaitu teori dekonstruksi dan teori semiotika difungsikan sebagai

teori pendukung.

2.3.1 Teori Hegemoni

Pemikiran Gramsci tentang hegemoni mengaitkan konsep ideologi dan

kehidupan budaya, terutama dalam mengarahkan formasi sosial individu dan

struktur masyarakat. Di sini hegemoni hakikatnya merupakan strategi dalam

rangka melanggengkan pandangan-pandangan dunia dan kekuasaan kelompok-

kelompok sosial tertentu yang terbangun atas dasar kelas, kelamin etnisitas,

26

kebangsaan, dan kategori lain. Akan tetapi sesuai dengan karakteristik pandangan

Gramsci, situasi ini harus dilihat sebagai sesuatu yang labil. Hal ini berarti bahwa

kemampuan hegemoni yang didukung ideology berusaha diwujudkan dan

dipertahankan oleh kelompok-kelompok sosial yang bersifat sementara. Karena

sifatnya yang sementara itu, hegemoni menjadi sesuatu yang bergerak terus,

dalam arti diperjuangkan terus atau pada suatu saat dinegosiasi ulang, bahkan

pada waktunya siap menghadapi blok historis baru (Widja, 2013: 39).

Teori hegemoni menekankan bahwa terjadi pertarungan untuk

memperebutkan penerimaan publik. Secara perlahan dan pasti kelompok dominan

menyebabkan ideologi dan kebenarannya agar diterima tanpa perlawanan. Salah

satu strategi kunci dalam hegemoni adalah nalar awam (commom sense). Jika ide

atau gagasan dari kelompok dominan/berkuasa diterima sebagai commom sense,

maka ideologi kelompok dominan itu dapat menyebar dan dipraktikkan.

Menurut Rupert (2013: 233), di jantung proses (re)konstruksi berkelanjutan

dalam hubungan relasional ini adalah bentuk koersif (paksaan) dan konsensual

(konsensus) dari power, sejalan dengan visi ganda Gramsci tentang politik. Bagi

Gramsci, “hegemoni” adalah jenis hubungan kekuatan sosial khusus yang

kelompok-kelompok dominannya mengamankan posisi atas hak-hak istimewa

dengan cara sebagian besar melalui konsensus. Artinya, kelompok dominan ini

memaksanakan persetujuan dari kelompok-kelompok yang didominasi dengan

cara mengartikulasikan suatu visi politik, suatu idelogi yang mengklaim bias

berbicara untuk semua dan yang bergaung dengan keyakinan yang secara luas

dipegang dalam budaya politik populer. Keadaan ini, kekuatan koersif mungkin

27

surut hingga ke lokasi latar belakang kehidupan politik. Di samping itu, selalu

hadir sebagai potensi, tetapi tidak secara langsung tampak dalam kehidupan

sehari-hari.

Teori hegemoni merupakan salah satu teori yang penting pada abad XX.

Teori ini relevan sekali digunakan untuk membedah permasalahan terkait dengan

kekuasaan. Agar yang terhegemoni patuh pada penghegemoni, maka yang

terhegemoni hendaknya mampu menginternalisasikan nilai-nilai penghegemoni di

samping harus memberikan persetujuan atas subordinasi mereka. Kelompok yang

menghegemoni memperjuangkan legitimasi kekuasaannya dari massa.

Sebaliknya, massa dapat menerima prinsip, ide, norma-norma sebagai miliknya.

Hegemoni satu kelompok terhadap kelompok lain tidak berdasarkan paksaan,

tetapi melalui konsensus.

Hegemoni digunakan dengan mengacu pada sebuah kondisi proses, yaitu

kelas dominan tidak hanya mengatur, tetapi juga mengarahkan masyarakat

melalui paksaan kepemimpinan moral dan intelektual. Hegemoni terjadi pada

suatu masyarakat, yaitu terdapat tingkat konsensus yang tinggi dengan ukuran

stabilitas nasional yang besar, sementara kelas bawah dengan aktif mendukung

dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan, dan makna budaya yang mengikat dan

menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada (Storey, 2003: 172--173).

Budaya yang tersebar merata di dalam masyarakat pada waktu tertentu

dapat diinterpretasikan sebagai hasil atau perwujudan hegemoni, perwujudan dari

penerimaan konseptual oleh kelompok gagasan subordinat, nilai-nilai dan

kepemimpinan kelompok dominan tersebut. Menurut Gramsci, kelompok

28

dominan tampaknya tidak semata-mata bisa mempertahankan dominasi karena

kekuasaan, bisa jadi karena masyarakat sendiri yang mengizinkan. Selain itu,

media massa juga merupakan instrumen untuk menyebarkan dan memperkuat

hegemoni dominan terutama dalam membangun dukungan masyarakat dengan

cara memengaruhi dan membentuk alam pikirannya dengan menciptakan sebuah

pembentukan dominasi melalui penciptaan sebuah ideologi yang dominan. Dalam

paradigma hegemonian, media massa dan cetak merupakan alat penguasa untuk

menciptakan reproduksi ketaatan publik yang sangat ampuh dalam memengaruhi

perilaku dan kebiasaan khalayak. Singkatnya, hegemoni dapat dikatakan sebagai

reproduksi ketaatan dan kesamaan pandangan dengan cara yang lunak.

Teori hegemoni Gramsci dipandang tepat digunakan sebagai teori utama

dalam penelitian ini. Sesuai dengan kenyataan yang ada di masyarakat bahwa

kondisi ritual kambo yang kian hari kian terpinggirkan. Tradisi ritual yang

seharusnya dilaksanakan ketika seorang remaja memasuki usia dewasa kini sudah

sangat jarang ditemukan pelaksanaannya karena masyarakat lebih cencerung

merapel atau menggabungkan ritual kaombo ini ketika akan melangsungkan

pernikahan. Teori hegemoni ini lebih dominan digunakan untuk membedah

masalah penelitian yang pertama, yaitu bentuk keterpinggiran ritual kaombo pada

masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Walaupun sesungguhnya pemanfaatan teori ini tidak bisa dipisahkan begitu saja

dengan permasalahan berikutnya.

29

2.3.2 Teori Dekonstruksi

Dekonstruksi berarti memisahkan, melepaskan, dalam rangka mencari dan

membeberkan asumsi suatu teks. Secara khusus, dekonstruksi melibatkan

pelucutan oposisi biner hierarkis semisal tuturan/tulisan, realitas/penampakan,

alam/kebudayaan, kewarasan/kegilaan, dan lain-lain, yang berfungsi menjamin

kebenaran dengan cara mengesampingkan dan mendevaluasi bagian “inferior”

oposisi biner tersebut (Barker, 2009: 81).

Teori dekonstruksi dikembangkan oleh Jacques Derrida. Teori ini memiliki

kepentingan dan minat besar dalam membelokkan dan membalikkan

kecenderungan dan paradigma modernisme. Pada intinya teori ini merupakan titik

dan penolakan terhadap pemikiran strukturalis filsafat modern. Adapun pemikiran

modern yang ditolak adalah logosentrisme yang berimplikasi pada dikotomi

subjek-subjek dan oposisi biner. Logosentrisme memandang suatu realitas sebagai

representasi dari akal, pikiran atau logos sehingga menimbulkan dogmatisme

untuk melegitimasi dan memaksa manusia masuk ke dalam sistem. Subjek

dianggap menentukan validitas kebenaran sehingga mendominasi dan

mengeksploitasi objek.

Dekonstruksi adalah sebuah bentuk kritik yang didasarkan pada pembacaan

secara hati-hati. Jadi, jelas juga apa yang bukan dekonstruksi, antara lain cara

membaca yang sekadar menarik keluar pemaknaan dari suatu teks dan pada saat

yang sama menunjukkan kontradiksi yang diperlukan. Hal ini merongrong logika

teks dengan mengambil logika ini secara serius. Jelas adanya bahwa dekonstruksi

adalah politis. Ia begitu kuat mengganggu cara-cara standar kita memahami dunia.

30

Apa yang mungkin telah kita terima begitu saja, dengan adanya dekonstruksi kini

harus dipertimbangkan kembali (Zehfus, 2013: 183--193).

Dalam kerangka studi kultural, teori dekonstruksi telah menjadi salah satu

teori utama yang dimanfaatkan untuk menganalisis gejala-gejala kebudayaan

kontemporer. Ciri khas dekonstruksi melalui cara kerjanya yang dikenal dengan

“membongkar”, dianggap salah satu metode yang paling tepat untuk memahami

pluralisme budaya. Apabila benar bahwa masa krisis merupakan masa untuk

membangun kembali, maka pembongkaran harus diikuti oleh pembangunan

kembali, sekaligus menggantikannya dengan cara-cara baru sehingga diperoleh

temuan baru.

Derrida mengembangkan teori ini sebagai kritik terhadap pandangan

logosentrisme barat yang menganggap bahwa bahasa mempunyai hubungan

langsung dengan realitas di luar kita (correspondence theory). Menurut Derrida,

dekonstruksi bukanlah sebuah mode atau teknik atau sebuah gaya kritik sastra

atau sebuah prosedur untuk menafsirkan teks. Inti dari dekonstruksi kurang lebih

adalah bahwa konsep ini berhubungan dengan bahasa. Dekonstruksi adalah segala

sesuatu yang ditolaknya. Konsep ini memakai asumsi filsafat atau filologi untuk

menghantam konsep logosentrisme. Bagi Derrida, sangat mustahil membedakan

antara realitas dan bahasa yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas tersebut.

Fokus utamanya adalah bahasa tulisan, yakni teks. Tidak perlu terlalu cepat

menyingkapkan arti sebuah teks. Sebuah teks senantiasa berkorelasi dan

mempunyai konteks sehingga selalu mengandung kemungkinan arti yang lain

(Sutrisno dan Putranto, 2005: 171).

31

Dekonstruksi memberikan arti pada kelompok-kelompok yang lemah,

termarginalkan, posisi subordinat, dan kelompok minoritas. Dalam hubungannya

dengan penelitian ini, penggunaan teori dekonstruksi diarahkan pada pemecahan

masalah mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya keterpinggiran

ritual kaombo pada masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka, Provinsi

Sulawesi Tenggara. Teori dekonstruksi ini secara terperinci membedah faktor-

faktor internal dan eksternal yang menyebabkan keterpinggiran ritual ini.

2.3.3 Teori Semiotik

Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Ini

berarti bahwa segala sesuatu yang hadir dalam kehidupan kita sebagai tanda dan

harusnya diberikan makna (Hoed, 2008: 3). Teori semiotik ini dikembangkan oleh

banyak ahli dengan latar belakang pemikiran dan disiplin ilmunya masing-masing.

Namun, secara garis besar pandangan mereka tentang tanda dapat digolongkan

menjadi dua tersebut dilihat sebagai semiotik struktural (bertumpu pada

structuralism de Saussure) dan semiotik pragmatis. Sama halnya dengan yang

dijelaskan oleh Berger bahwa Ferdinand de Saussure (1857--1913) dan Charles

Sanders Peirce (1839--1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu

semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa

dengan latar belakang keilmuan linguistik dan Peirce di Amerika Serikat dengan

latar belakang keilmuan filsafat (Tinarbuko, 2010: 12).

Menurut pada Charles Sanders Peirce, para pragmatis melihat tanda sebagai

yang mewakili sesuatu. Maksud dari “sesuatu” dapat berupa hal konkret

32

ditangkap oleh panca indra manusia, kemudian setelah melalui suatu proses,

mewakili sesuatu yang ada dalam kognisi manusia. Sesuatu yang konkret adalah

suatu perwakilan yang disebut representamen, sedangkan sesuatu yang ada dalam

kognisi disebut object. Proses hubungan kedua inilah yang disebut semiosis

(tanda). Setelah proses simiosis, ada satu lagi proses yang merupakan lanjutan

disebut interpretant (proses penafsiran), yang karena sifatnya mengkaitkan tiga

dimensi, yaitu representamen, objek, interpretan dalam suatu proses semiosis

sehingga teori ini disebut semiotik pragmatis.

Selanjutnya Roland Barthes (1915--1980) mempraktikkan model linguistik

dan semiologi Saussurean tentang signifier (penanda, bentuk) dan signified

(petanda, makna). Teori ini mengembangkan dua tingkat penandaan (staggere

system) yang memungkinkan dihasilkannya makna yang bertingkat-tingkat pula,

yaitu denotation stage (tingkat denotasi) dan connontation stage (tingkat

konotasi).

Barthes berpendapat bahwa kita dapat berbicara tentang dua sistem

signifikasi, yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi menjabarkan hal-hal yang

ditujukan oleh kata-kata, misalnya gambar manusia, binatang, pohon, rumah.

Warnanya juga dicatat, seperti merah, kuning, biru, putih, dan sebagainya. Pada

tahapan ini hanya informasi data yang disampaikan. Di pihak lain makna konotatif

meliputi makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai

kebudayaan dan ideologi. Misalnya gambar wajah orang tersenyum

menggambarkan orang yang sedang bahagia. Sebaliknya, bisa saja tersenyum

33

diartikan sebagai ekspresi penghinaan terhadap seseorang (Barker, 2009: 74,

Tinarbuko, 2009: 19--20).

Pandangan Barthes tentang tanda, baik denotatif maupun konotatif, terkait

dengan bahasa yang mengomunikasikan suatu pesan (tanda) bermakna.

Sehubungan dengan itu, teori ini secara khusus digunakan untuk mengungkapkan

makna di balik kata-kata, ungkapan-ungkapan, dan tindakan-tindakan yang

berhubungan dengan tradisi ritual kaombo tersebut. Dari kata-kata, tindakan, atau

ungkapan-ungkapan tertentu dapat dipahami sebagai wacana yang

menggambarkan makna di balik ritual kaombo itu sendiri.

Menurut Piliang (2008: 46), semiotika tidak saja sebagai “metode kajian”

(decoding), tetapi juga sebagai “metode penciptaan” (ecoding). Artinya, ia

termasuk dalam sebuah disiplin keilmuan yang mempelajari “ilmu tentang tanda”

(the science of sign). Dalam semiotika ini terdapat sistem, aturan, prinsip, dan

prosedur keilmuan yang khusus dan bersifat baku. Namun, semiotika bukanlah

ilmu yang mempunyai sifat kepastian dan objektivitas seperti ilmu-ilmu alam.

Semiotika adalah ilmu yang bersifat lebih dinamis dan terbuka dari berbagai

interpretasi. Dalam logika semiotika interpretasi tidak diukur berdasarkan salah

atau benarnya sebuah logika, tetapi berdasarkan kelogisan interpretasi yang satu

lebih masuk akal dibandingkan dengan yang lainnya.

Ritual kaombo merupakan salah satu wujud kebudayaan yang ada dalam

masyarakat Buton yang sarat dengan simbol-simbol makna yang harus

diinterpretasikan dan diterjemahkan. Dengan demikian, generasi muda sebagai

ahli waris dan penerus nilai-nilai budaya yang tersirat di dalamnya mampu

34

menjadikannya pedoman hidup dalam kehidupan bermasyarakat sebagai makhluk

sosial. Dalam kajian semiotika data yang dijadikan objek dan dianalisis pada

umumnya teks. Teks dalam teori kebudayaan tidak hanya terbatas pada tulisan,

tetapi termasuk pula pola perilaku dan tindakan yang mengungkapkan pesan-

pesan budaya yang secara umum menjadi teks kognifit dan teks sosial, baik verbal

maupun nonverbal (Hoed, 2008: 41).

Konteks semiotika menafsirkan kebudayaan dengan memaparkan

konfigurasi simbol-simbol bermakna secara mendalam dan menyeluruh. Dengan

menyimpulkan simbol-simbol yang tampak dan tersedia dalam kehidupan

masyarakat sesungguhnya menunjukkan bagaimana masyarakat yang

bersangkutan melihat, merasakan, dan berpikir tentang dunia dan bertindak

berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Semiotika terhubung dengan simbol-simbol

kehidupan yang tersedia di depan umum dan dikenal masyarakat yang

bersangkutan. Teori semiotika digunakan untuk membedah rumusan masalah

yang ketiga yakni dampak dan makna keterpinggiran ritual kaombo pada

masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka, Provinsi Sulawesi Tenggara.

35

2.4 Model Penelitian

Model penelitian adalah penyederhanaan pola pikir dalam menelaah

masalah – masalah yang terdapat dalam penelitian sekaligus menjadi fokus

penelitian. Model penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Keterangan Garis:

: Faktor dominan yang memengaruhi

: Saling terkait

: Hubungan

Faktor-faktor

Penyebab

Keterpinggiran

Budaya Global Budaya Lokal

IPTEK

Pendidikan

Agama Islam

Tradisi

ritual

kaombo

Keterpinggiran Ritual

Kaombo pada

Masyarakat Buton di

Kecamatan Mawasangka

Bentuk

Keterpinggiran

Dampak dan

makna

Keterpinggiran

Strategi

Pewarisan

36

Penjelasan Model Penelitian

Dalam penelitian ini terjadi pengaruh antara budaya global dan budaya lokal

sehingga ritual kaombo mengalami keterpinggiran. Tradisi ritual kaombo

mengalami keterpinggiran pada masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka

dipengaruhi IPTEK, pendidikan, dan agama Islam. Dalam penelitian ini dibahas

(1) bentuk keterpinggiran ritual kaomo pada masyarakat Buton di Kecamatan

Mawasangka, (2) faktor-faktor keterpinggiran ritual kaombo pada masyarakat

Buton di Kecamatan Mawasangka, (3) dampak dan makna keterpinggiran ritual

kaombo pada masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka, (4) strategi

pewarisan ritual kaombo pada masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka.

Ritual kaombo bagian dari tradisi yang bermuatan pengetahuan, keyakinan,

adat kebiasaan yang dimiliki masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka.

Namun, seiring dengan perkembangan waktu dan kemajuan zaman pada era

globalisasi, modernisasi, dan pengaruh agama Islam menyebabkan terjadinya

keterancaman ritual-ritual tradisi yang ada di masyarakat Buton itu sendiri.

Berdasarkan kondisi ini maka dimungkinkan peneliti untuk mengkaji bagaimana

keterpinggiran ritual kaombo pada masyarakat Buton di Kecamatan Mawasangka,

Provinsi Sulawesi Tenggara.

Ritual kaombo sebagai warisan budaya tak benda patut dilestarikan sebagai

warisan leluhur yang bermuatan nilai dan ilmu pengetahuan. Berdasarkan

keberadaan ritual kaombo saat ini di masyarakat Buton yang semakin

terpinggirkan di tengah masyarakat pendukungnya, maka langkah pelestarian

dengan berbagai strategi pewarisan harus dilakukan sebagai langkah konservasi.