BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN...

47
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka dalam penelitian ini dilakukan melalui penelusuran beberapa teks, hasil penelitian bertemakan seni lukis Bali, transformasi, dan kajian perubahan masyarakat sosial pada era postmodern. Seni lukis wayang Kamasan (SLWK) merupakan salah satu topik yang dijadikan kajian penelitian untuk menganalisis perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Desa Kamasan, Klungkung, Bali. Untuk mengungkap fenomena-fenomena serta asumsi-asumsi yang terjadi di lapangan, secara culture studies ada beberapa studi dijadikan acuan sebagai kajian untuk mengetahui perbedaan dalam penelitian ini, yang dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, I Made Kanta (1977/1978: 9) dalam tulisannya Proses Melukis Tradisional Wayang Kamasan, berceritra mengenai latar belakang asal usul dan bentuk SLWK sebagai tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Ada beberapa pendapat yang sedikit berbeda satu dengan yang lain, tetapi tidak terlalu prinsip. Kanta berpendapat bahwa SLWK merupakan kelanjutan dari tradisi melukis wong- wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia pada awal-awal tarikh Masehi (di Bali khususnya) keahlian melukis wong- wongan ini mendapat kesempatan berkembang dengan baik. Penelitian yang 13

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka dalam penelitian ini dilakukan melalui penelusuran beberapa

teks, hasil penelitian bertemakan seni lukis Bali, transformasi, dan kajian perubahan

masyarakat sosial pada era postmodern. Seni lukis wayang Kamasan (SLWK)

merupakan salah satu topik yang dijadikan kajian penelitian untuk menganalisis

perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Desa Kamasan, Klungkung, Bali.

Untuk mengungkap fenomena-fenomena serta asumsi-asumsi yang terjadi di

lapangan, secara culture studies ada beberapa studi dijadikan acuan sebagai kajian

untuk mengetahui perbedaan dalam penelitian ini, yang dapat diuraikan sebagai

berikut.

Pertama, I Made Kanta (1977/1978: 9) dalam tulisannya “Proses Melukis

Tradisional Wayang Kamasan”, berceritra mengenai latar belakang asal usul dan

bentuk SLWK sebagai tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Ada beberapa

pendapat yang sedikit berbeda satu dengan yang lain, tetapi tidak terlalu prinsip.

Kanta berpendapat bahwa SLWK merupakan kelanjutan dari tradisi melukis wong-

wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke

Indonesia pada awal-awal tarikh Masehi (di Bali khususnya) keahlian melukis wong-

wongan ini mendapat kesempatan berkembang dengan baik. Penelitian yang

13

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

14

dilakukan Kanta lebih bersifat empiris-historis sehingga hasilnya bersifat positivis-

struktural. Di pihak lain penelitian penulis bersifat postmodern-poststruktural dengan

melibatkan emansipatoris yang humanis menelusuri kebiasaan-kebiasaan individu

yang terjadi dalam masyarakat sosial, jaringan, dan peranan modal dengan

menginterpretasikan terjadinya fenomena-fenomena perubahan masyarakat sosial

dalam proses produksi dan reproduksi.

Kedua, dalam penelitian Ekasuprihadi Y dan Nunung Nurdjanti (2006: 4--6),

tentang “Vibrasi Seni Lukis Kamasan di Bali Indonesia”, dibahas hubungan agama

dan kesenian di Bali sangat erat, tidak dapat dipisah-pisahkan, keduanya saling

melengkapi. SLWK memiliki peranan sangat penting dalam kehidupan sehari-hari

memuja leluhur atau para dewa. Perbedaan penelitian Ekasuprihadi Y dan Nunung

Nurdjanti dengan penelitian penulis adalah untuk mengungkap terjadinya fenomena

postmodern SLWK yang diasumsikan mengakibatkan implikasi terjadinya penurunan

kualitas kesenian, perubahan motivasi kerja, dan perubahan makna mengacu pada

komersialisasi.

Ketiga, Anthony Forge (1978: 74) dalam penelitiannya berjudul “Balinese

Traditional Painting”, membandingkan seni wayang kulit Bali dengan SLWK. Posisi

wajah figur seni wayang kulit Bali dilukiskan dengan profil miring sedangkan pada

SLWK posisi wajah figur terlihat tiga perempat, kedua mata masih dilukiskan dengan

tampak jelas. Forge (1978: 75) juga menghubungkan SLWK dengan relief dan patung

pewayangan yang terdapat pada candi-candi di Jawa Timur, yaitu Candi Jago dan

Candi Singosari. Di pihak lain, dalam penelitian Mudana (1991) tentang “Seni

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

15

Wayang Kulit Bali”, dinyatakan bahwa wayang merupakan peninggalan kebudayaan

Indonesia asli yang memiliki kearifan warna lokal bermutu tinggi, berdasarkan

pertokohan, struktur nama punakawan, seperti Twalen, Wredah, Delem, dan Sangut.

Persamaan penelitian ini adalah sama-sama mengangkat tema “wayang” sebagai

objek dan subjek. Sebaliknya, perbedaannya adalah ingin mengungkapkan fenomena

perubahan sosial SLWK ketika bermetamorphosiss sebagai produk baru setelah

mengalami transformasi.

Keempat, dalam penelitian Kebayantini (2013) berjudul “Komodifikasi

Upacara Ngaben di Bali” diuraikan tentang bentuk komodifikasi yang berkaitan

dengan produk, distribusi, dan konsumsi. Kabayantini juga membahas habitus,

modal, ranah, dan praktik. Perbedaan penelitian Kabayantini dengan penulis terletak

dalam menyikapi proses komodifikasi yang sangat erat terkait dengan produksi dan

reproduksi melalui tahapan-tahapan panjang dengan memberikan inovasi-inovasi

baru yang mencerminkan kebebasan, fleksibel, efektif, dan efisien.

Kelima, dalam penelitian I Dewa Made Pastika (2009) tentang “Kajian

Estetis Seni Lukis Gaya Pitamaha”, diungkapkan eksistensi seni lukis Pitamaha yang

didirikan pada tahun 1939. Menurut Gouda didirikan tahun 1930 (1995: 235--237)

oleh Cokorda Gede Raka Sukawati, Walter Spies, dan Rudolf Bonnet. Ciri-ciri

lukisan Pitamaha terletak pada teknik melukis, bahan dan peralatan, serta nilai estetis.

Spies dan Bonnet memberikan warna baru pada perkembangan seni lukis Bali tanpa

menghilangkan identitas yang sudah ada. Tema-tema lukisan yang diangkat dari

ceritra pewayangan, kehidupan sehari-hari yang diolah sedemikian rupa sehingga

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

16

menjadi karya seni. Dalam bidang organisasi tiap-tiap distrik dikepalai oleh seorang

koordinator. Untuk koordinator pelukis di Kamasan ditunjuk I Wayan Seken/Pan

Sumari mewilayahi daerah Klungkung dan sekitarnya.

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Pastika dengan penulis, yaitu

secara struktural penelitian Pastika bersifat positivistik, menguraikan kejadian yang

tampak di permukaan, sedangkan penelitian penulis tentang transformasi SLWK yang

terjadi secara menyeluruh kritis, fleksibel, dan bebas. Dalam pembentukan struktur

baru dilalui melalui proses pergulatan-pergulatan untuk memenuhi kepentingan-

kepentingan. Aktor-aktor lokal dan kaum pemodal sebagai agen sudah mampu

menyebarkan pengaruhnya.

2.2 Konsep

Konsep adalah pengertian-pengertian dasar yang berlaku umum (Sedyawati,

2002: 2). Ada tiga konsep yang dijelaskan dalam penelitian dengan judul

”Transformasi SLWK pada Era Postmodern di Klungkung, Bali”, yaitu konsep

transformasi, seni lukis wayang Kamasan (SLWK), postmodern, produksi, distribusi,

dan konsumsi.

2.2.1 Konsep Transformasi

Konsep transformasi membahas beberapa aspek tentang aktivitas manusia

dalam aktivitas tindakan menuju aktivitas pencarian nilai-nilai yang dapat dijumpai

dalam hubungan manusia dengan manusia lain atau kelompok sosial lainnya.

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

17

Percepatan pergerakan manusia ini diawali dengan berkembangnya pola pikir

manusia untuk melahirkan sarana hidup lahiriah manusia bersangkutan, terutama

dalam tataran aktivitas menuju pencapaian nilai-nilai ekonomi. Perkembangan

ekonomi sebagai transisi ditandai oleh suatu transformasi yang mengandung

perubahan mendasar pada struktur ekonomi. Perubahan ini ditandai dengan peralihan

dan pergeseran kegiatan sektor primer ke sektor sekunder.

Kayam (1989: 1) dalam orasi ilmiahnya berjudul “Transformasi Budaya

Kita”, menyatakan bahwa transformasi merupakan suatu proses pengalihan total dari

suatu bentuk ke sosok bentuk yang baru yang akan mapan melalui suatu tahapan yang

memerlukan waktu yang lama. Transformasi diandaikan sebagai tahap akhir dari

suatu proses perubahan. Transformasi dapat dibayangkan sebagai suatu proses yang

lama bertahap-tahap, tetapi dapat pula dibayangkan sebagai suatu titik balik yang

cepat bahkan abrupt. Proses transformasi adalah suatu proses revolusioner saling

mempengaruhi antarunsur dalam suatu ideal type masyarakat. Transformasi mesti

dipahami lewat suatu ideal type masyarakat yang sengaja diciptakan sebagai suatu

model dan paradigma. Max Weber, misalnya menyimpulkan bahwa transformasi

masyarakat Eropa menjadi masyarakat kapitalis karena di dalam tubuh budaya

masyarakat Eropa sudah terkandung “bumbu-bumbu” (ingredients) budaya yang akan

melahirkan semangat kapitalis (Sachari, 2002: 68).

Pembabakan transformasi yang ditawarkan Featherstone bersifat linier

hierarkis berkaitan dengan produksi dan berbagai rezim signifikansi yang

implikasinya terjadi perubahan ke arah postmodern (Featherstone, 2001: 122). Ciri-

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

18

ciri transformasi menurut Tabrani (2006: 260) adalah manifestasi pribadi korporatif

(gabungan kritis, fleksibel, dan bebas). Bila kelayakan estetis belum berani melewati

batas-batas, maka transformasi justru berani melakukannya demi terciptanya sesuatu

yang baru, yang tidak hanya iseng, baru, atau layak, tetapi juga mencapai sesuatu

yang integral dan jujur (truth). Transformasi tidak lagi tunduk pada norma, atau

situasi dan kondisi, tetapi mengintegrasikan beberapa norma sesuai dengan

fleksibilitas dan kebebasan yang mendukung.

Transformasi menunjukkan bahwa masyarakat negara dibayangkan pada

suatu masa, pada suatu ketika berubah, bahkan menghendaki suatu perubahan yang

berakhir (sementara) dengan status transformasi. Kenyataan tersebut juga

menunjukkan bahwa cepat atau lambat serat-serat budaya yang menyangga anyaman

teguh suatu kebudayaan masyarakat pada suatu saat meruyak dan membusuk untuk

kemudian tidak dapat berfungsi lagi sebagai pengikat kesatuan kebudayaan.

Transformasi adalah kondisi perubahan dari serat-serat budaya tersebut. Semuanya

menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai masyarakat atau kebudayaan beserta

segala sistem yang terkandung di dalam tubuhnya pada hakikatnya pada tahap

tertentu merupakan hasil dari persetujuan sementara, kompromi, simpulan bersama

sementara, seperti yang dialami oleh kebanyakan negara di dunia ketiga termasuk

Indonesia. Artinya, mencoba mencari format dan sosok budaya yang akan lebih

mampu dan efektif menjawab tantangan ekonomi serta kebudayaan yang dihadapkan

kepada statusnya sebagai kawasan jajahan negara-negara barat (Kayam, 1989: 2).

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

19

Dari sisi kebudayaan Geriya (2000), menyatakan bahwa transformasi

kebudayaan adalah perubahan bentuk dengan implikasi pada perubahan jaringan

fungsi dan isi kebudayaan. Transformasi ini merupakan suatu perubahan besar, yaitu

dimana kebudayaan mengalami pembesaran skala secara horizontal (lokal, nasional,

dan global) sekaligus secara vertikal (seni beradaptasi), tetapi bahasa dan esensi jati

diri kebudayaan tersebut tetap berkelanjutan. Menurut Ngurah Bagus (1988), tolok

ukur yang dapat dipakai untuk melihat terjadinya transformasi ada dua aspek, yaitu

(1) mata pencaharian masyarakat yang bersangkutan dan (2) derajat perubahan, baik

horizontal maupun vertikal. Berdasarkan kreteria di atas, perubahan diidentifikasikan

menjadi tiga jenis, yaitu (1) perubahan yang bobotnya tidak besar, (2) perubahan

besar yang mengarah pada dimensi vertikal dan horizontal, dan (3) perubahan yang

mendasar yang berdampak pada revolusi kebudayaan.

Dalam budaya terjadi beberapa pola perubahan, satu di antaranya adalah

inovasi. Proses perubahan inovasi kebudayaan terjadi karena di dalam kebudayaan

terjadi pembauran yang biasanya didasari dengan penggunaan sumber-sumber alam,

energi, modal, peraturan baru, tenaga kerja, dan penggunaan teknologi baru. Semua

ini akan menyebabkan adanya perubahan sistem produksi dan dihasilkannya produk-

produk baru. Dalam proses penemuan baru ini baik berupa alat maupun ide baru,

biasanya berlangsung cukup lama.

Bertolak dari konsep itu, yang dimaksud dengan konsep transformasi adalah

perubahan yang terjadi dalam waktu yang panjang dan bertahap-tahap, bersipat linier

dan hierarkis, dari sakral ke profan, dari idealisme tradisi ke idealisme pasar, dan dari

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

20

produsen ke konsumen. Perubahan-perubahan tersebut didorong oleh adanya

komersialisasi, komodifikasi, dan industrialisasi yang dilakukan kapitalisme untuk

memproduksi produk-produk baru berupa produk industri budaya yang dapat

didistribusikan ke pasar. Ciri-ciri transformasi SLWK merupakan manifestasi pribadi

korporatif dari pemikiran kritis, fleksibel, dan bebas untuk menciptakan produk-

produk baru dengan inovasi, kreativitas, dan jaringan yang lebih luas mengarah ke

postmodern. Implikasi transformasi mengakibatkan terbukanya jaringan pasar yang

sangat luas menghubungkan kegiatan sektor primer ke sektor sekunder, dari produsen

ke konsumen untuk memproduksi produk-produk kreatif yang dapat meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dan lingkungan.

2.2.2 Seni Lukis Wayang Kamasan

Seni Lukis Wayang Kamasan (SLWK) sangat terikat oleh pakem, norma,

nilai, serta ketentuan yang bersifat mengikat dan baku. Menurut I Wayan Simpen

A.B. (1974: 7) dalam “Serba Neka Wayang Kulit Bali”, secara etimologi perkataan

“wayang” berarti “bayangan” setelah dipengaruhi “warga aksara” (huruf osteya atau

huruf bibir) seperti hurup “w” dan “b” maka kata “wayang” menjadi “bayang" yang

berarti bayangan. SLWK yang bersifat simbolik sering digunakan sebagai bayangan

dalam pencerahan terhadap umat. Purwadarminta dalam Bausastra Jawa menyatakan

“wayang” berarti “ringgit” yang artinya “gerigi” atau bergerigi”. Berdasarkan

pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kata wayang adalah suatu

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

21

bayangan yang diwujudkan dalam bentuk lukisan yang dihiasi dengan ornamen-

ornamen bergerigi.

Berbicara tentang “bayangan” berarti ada sesuatu yang tampak sehingga

dapat menginspirasi umat untuk mengetahui hukum sebab dan akibat dalam

kehidupan ini. Secara tertulis istilah “wayang” dikenal di Bali semenjak pemerintahan

Raja Ugrasena (896 M) zaman Bali Kuno di Singhamandawa (daerah Pejeng

Sekarang). Dalam Prasasti Bebetin berangka tahun Saka 818 atau 896 Masehi yang

disadur oleh R. Goris, disebutkan Bali sudah memiliki peradaban berkesenian

wayang disebut “parbwayang” yang berarti wayang. Dari hasil penyelidikan Goris,

ditemukan bentuk wayang tertua yang dipahatkan pada “Sangku Sudamala” sebuah

relief yang menggambarkan Semara-Ratih yang tersimpan bersama prasasti Raja

Anak Wungsu tahun 1071 Masehi. Di Pura Kehen (Bangli) didapatkan pula sebuah

lukisan wayang berangka tahun 1204 yang berbentuk “Bhatara Guru”. Pada waktu

pemerintahan Dalem Ketut Semara Kepakisan (Raja Bali), hubungan raja-raja Bali

dengan raja-raja di Jawa terjalin sangat baik. Setelah mengikuti upacara serada di

Majapahit pada tahun 1362 saat pulang membawa sekropak wayang.

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

22

Sebagaimana yang tampak pada lukisan daun lontar (Gambar 2.1) pada

naskah-naskah kuno berupa lontar bisa ditemukan lukisan-lukisan dengan cerita

pewayangan yang sampai sekarang masih digemari masyarakat Bali. Lukisan dalam

lontar merupakan miniatur yang indah dikerjakan dengan alat berupa pisau bermata

tajam (pengrupak) yang digoreskan di atas daun lontar berformat sangat kecil, pipih,

memanjang, yaitu sekitar 2 cm sampai dengan 18 cm. Parit yang tercipta dari goresan

mata pisau itu kemudian dilumuri dengan minyak dan jelaga. Setelah minyak dan

jelaga kering lalu permukaan daun lontar dibersihkan sehingga tampak ada lukisan

dari jejak-jejak goresan yang ditinggalkan dari pisau pengrupak. Gaya seni lukis pada

lontar-lontar ini rupanya menjadi cikal bakal munculnya SLWK (Kanta, 1978: 10).

Karya kebanggaan Gede Modara berupa dua buah lontar pelajaran untuk

putra-putri raja yang mengangkat kisah kakawin ‘Sutasoma dan “Lubdaka’ yang

disertai dengan ilustrasi berupa lukisan wayang Kamasan sebagai penerang

Gambar 2.1 Lukisan pada Daun Lontar

Dokumen: Mudana, 2014

Gambar 2.2 Rerajahan

Dokumen C Hooykaas, 1933

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

23

manuskrip. Akan tetapi, pada waktu perang melawan Belanda (1908) yang dikenal

dengan “Puputan Klungkung” kerajaan Klungkung kalah. Salah satu, yaitu Lontar

Sutasoma dirampas oleh Belanda, sedangkan Lontar Lubdaka dapat diselamatkan dan

disimpan di Geria Pidada Klungkung (Nurdjanti, 2006: 6).

Menurut Kanta (1977/1978: 9) dan TY (2007:105), SLWK pada awalnya

bernama lukisan wong-wongan merupakan kelanjutan dari melukis rerajahan.

Bentuk karya lukisan pada saat itu difungsikan sebagai persembahan dan sarana

pelengkap ritual Aagama Hindu Bali diwujudkan melalui simbol-simbol. Di

dalamnya terkandung ajaran tentang keseimbangan kehidupan manusia dengan

Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam (tri hita karana).

Coulson (1978) dalam Titib (2003: 63) mengatakan bahwa kata simbol mengandung

arti menggambarkan sesuatu yang imaterial, abstrak, suatu ide, kualitas tanda suatu

objek dan proses. Lebih lanjut Titib mengatakan bahwa kata simbol adalah “pratika”

yang mengandung arti yang datang ke depan, yang mendekati.

Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong sekitar abad ke-15 (1460--

1550 Masehi) terjadi akulturasi budaya di Gelgel ditandai dengan berdatangannya

sastrawan besar ke Bali, seperti Dang Hyang Astapaka, Danghyang Angsoka, dan

Danghyang Nirartha. Kedatangan mereka diharapkan dapat memajukan agama dan

kebudayaan Bali hingga mencapai zaman keemasan (golden age). Munculnya SLWK

menjadi lebih nyata pada waktu Kerajaan Gelgel jatuh dan pindah ke Klungkung

pada tahun 1686 Masehi yang diberikan nama Keraton Semarapura. Kepindahan

pusat kerajaan terjadi pada masa pemerintahan Raja Dewa Agung Jambe. Hampir

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

24

semua pemegang wilayah “apanage” memerdekakan diri yang akhirnya terbentuklah

sembilan kerajaan di Bali yaitu: Klungkung, Gianyar, Badung, Bangli, Karangasem,

Buleleng, Tabanan, Negara, dan Mengwi.

Dalem Klungkung Dewa Agung Jambe sangat serius menaruh perhatian dan

memberikan perlindungan serta pembinaan kepada para pelukis Kamasan. Pada suatu

ketika Dalem memerintahkan seorang sangging yang bernama I Gede Mersadi yang

berasal dari Desa Kamasan untuk membuat lukisan wayang dengan tokoh Mahapatih

Modara yang dipetik dari lontar Bomantaka. Keberhasilan Gede Mersadi

mengekspresikan tokoh Mahapatih Modara dalam bentuk lukisan wayang dengan

karakter sangat menjiwai (metaksu) membuat Dalem Klungkung merasa puas

sehingga sangging ini sering dipanggil raja dengan nama “Modara”. Selanjutnya agar

lebih dikenal oleh masyarakat luas sangging Modara dikirim kepada raja-raja

bawahan seperti Gianyar, Karangasem, Mengwi, Badung, dan Bangli untuk menghias

pura, pemerajan dan istana raja. Karena Modara berasal Desa Kamasan, rupanya asal

kelahirannya inilah yang secara historis dianggap sebagai tempat lahirnya SLWK dan

Modara sebagai pelopor. Bahan-bahan yang digunakan diambil dari alam diolah

dengan teknik-teknik tradisi, seperti pere, belau, mangsi, dan tulang. Selain itu, juga

menggunakan warna gincu, atal, perade gede, dan ancur didatangkan dari negeri

Cina.

Pada tahun 1686 Dalem Klungkung Dewa Agung Jambe memerintahkan

para sangging membuat bangunan Kertha Gosa dan Bale Kambang di Taman Gili

yang pada dinding-dindingnya dihiasi dengan SLWK untuk memberikan pencerahan

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

25

pada umat. Sangging yang mengerjakan lukisan pada bangunan di Taman Gili berasal

dari Desa Kamasan, seperti I Gede Mersadi (I Gede Modara), Lui, I Saburg, dan

Liya. Material yang digunakan dibuat dari “Kain Bali Tenunan Nusa”. Karena

material ini tidak tahan lama, dalam pemugaran tahun 1930 diganti dengan enternit.

Lukisan wayang yang terpampang pada dinding bangunan Kertha Gosa

menceritakan “Bima Swarga” dan lukisan di Balai Kambang menceritrakan

“Sutasoma” sebagai cerminan bagi masyarakat untuk dapat membayangkan

kehidupannya kelak. Artinya, kalau berbuat jahat, akan menerima pahala yang buruk

ketika meninggal, yaitu bertempat tinggal di neraka “kalebok ring kawah candra

gomuka”. Kalau berbuat baik mendapatkan pahala baik dan akan menghuni surga,

dilayani oleh bidadari yang cantik-cantik “suka tanpewali duka”, perasaan senang

yang abadi. Visualisasi karya-karya sastra (teks) ke dalam bentuk lukisan menjadi

sangat mendidik masyarakat dan dapat memberikan pencerahan kepada umat. Setiap

tokoh dalam pewayangan memiliki karakteristik tersendiri yang dapat

ditransformasikan dalam kehidupan masyarakat sebagai bayangan.

Menurut Nyoman Mandra, tahapan-tahapan kerja SLWK, yaitu (1) ngedum

karang (mengatur komposisi), (2) molokan (membuat pola bentuk), (3) ngereka

(menggambar ekpresi), (4) ngewarna (memberi warna), (5) nyawi (penyelesaian

memberi kontur berupa hiasan ornamen), (6) nyocain (memberi warna permata/soca

pada tengah-tengah ornamen), (7) meletik (memberi warna putih pada tengah soca),

dan (8) ngerus (mengencangkan kain kanvas dengan kerang). Kegiatan itu dikerjakan

secara kolektif dan komunal, yaitu dikerjakan secara bersama-sama (gotong royong)

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

26

yang mencerminkan kebersamaan tanpa menonjolkan pribadi-pribadi. Karya-karya

yang dihasilkan diklaim sebagai milik bersama (Wawancara dengan Nyoman

Mandra, 2013 di Kamasan)..

Aktor-aktor yang terlibat dalam transformasi SLWK pada era pramodern

sehingga menghasilkan karya-karya yang dapat memberikan pencerahan pada umat

adalah raja dan kaum bangsawan, sangging Gede Modara, sangging Ketut Kute/Ketut

Lui.

1) Raja dan Kaum Bangsawan

Kata-kata raja (sabda) merupakan perintah, hukum yang harus dihormati

serta ditaati oleh masyarakatnya. Campur tangan raja dan bangsawan membawa

kesenian rakyat keistana (seni rakyat) untuk menghias bangunan-bangunan suci dan

menghias perlengkapan sarana upakara. Melalui istana, seni rakyat ini disebar ke

pelosok-pelosok raja bawahan untuk menghias tempat suci dan sarana upakara

sebagai bentuk pencerahan. Sebagai seni rakyat ketika dibawa keistana kemudian dari

istana disebarluaskan sehingga berubah menjadi tradisi agung. Raja memerintahkan

sangging untuk memvisualkan nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra menjadi

lukisan wayang kemudian ditempatkan di tempat-tempat yang strategis. Dari lukisan

wayang diharapkan masyarakat yang sebagian besar melek huruf dapat memaknai

nilai-nilai yang terkandung dalam lukisan tersebut sebagai pencerahan.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

27

2) Sangging Gede Modara

Gede Modara merupakan pelopor SLWK yang hidup pada tahun 1770-an.

Nama Modara bukan merupakan nama asli pemberian orang tuanya melainkan

merupakan pemberian raja yang memerintah saat itu. Nama pemberian orang tuanya

adalah Gede Mersadi mempunyai dua orang adik bernama Made Meresada dan

Nyoman Payungan. Dari ketiga bersaudara, hanya Gede Mersadi yang menyukai

lukisan, sedangkan kedua adiknya memilih pekerjaan sebagai undagi.

Gede Modara tidak memiliki anak laki-laki, semua anak-anaknya

perempuan. Perempuan pada saat itu tidak dibolehkan mengambil pekerjaan melukis.

Ketika Modara meninggal tidak ada yang meneruskan keterampilan melukis sehingga

SLWK mengalami kevakuman generasi yang cukup lama. Menurut “Lelintihan

Keluarga Modara”, Mangku Wayan Muliarsa mengatakan bahwa salah satu anak

Modara diambil sebagai istri raja yang bernama Jero Mura juga sering disebut Jero

Bandem. Setelah berselang lima generasi ± 300 tahun baru muncul pelukis keturunan

Modara bernama Mangku Wayan Muliarsa (1962). Ayahnya bernama I Nyoman

Sergig (1933) dan ibunya Ni Wayan Sasih (1942). Kedua orang tuanya bukan

seorang pelukis, melainkan seniman tari yang sering membantu dalam pewarnaan

(Wawancara dengan Mangku Wayan Muliarsa, 2014 di Kamasan).

Kebesaran nama Gede Mersadi muncul ketika Dewa Agung Jambe penguasa

Kerajaan Klungkung memerintahkan membuat figur tokoh Patih Modara atau

Mahudara dalam bentuk wayang. Bentuk wayang harus mengekspresikan karakter

‘patih’ sebagaimana dikisahkan dalam sastra “Lontar Bomantaka”, yaitu orang yang

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

28

cekatan dan sangat berwibawa. Raja sangat terkesan oleh lukisan Gede Mersadi

sehingga raja selalu memanggil Gede Mersadi dengan sebutan Modara. Berkenaan

dengan memberikan nama tersebut orang-orang di sekitarnya lebih sering memanggil

dengan panggilan sangging Modara.

Gambar 2.3 “Pemurtian” I Gede Mersadi/Modara tahun 1686 (abad ke-17)

di atas kanvas dengan warna Bali dan warna emas. Koleksi Mangku Muliarsa.

Dokumen: I Wayan Mudana, 2014.

Pada Gambar 2.3 tampak lukisan “Pemurtian” yang dibuat pada tahun 1686

atau abad ke-17 dengan bahan dasar “kain tenunan Nusa” menggunakan warna pere,

kencu, atal, perade emas yang didatangkan dari negeri Cina. Itu berarti bahwa jauh

sebelum Bali dikuasai oleh kolonial Belanda warna-warna tersebut sudah dikenal di

Bali. Diperkirakan warna-warna tersebut didatangkan melalui lalu lintas perdagangan

antara Bali dan Cina sebelum Bali dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda.

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

29

3) Sangging Ketut Kute/Ketut Lui

Generasi pelukis di Kamasan mengalami kepakuman (mandeg) cukup lama,

yaitu semenjak meninggalnya Gede Modara. Aktivitas melukis baru bisa dilakukan

pada generasi kumpi Ketut Kute/Ketut Lui. Lui merupakan anak Nyoman Payungan

(undagi) yang melahirkan empat anak, yang paling kecil bernama Ketut Kute yang

sering dipanggil Ketut Lui yang hidup antara tahun 1850--1910 (Forge,1978: 84).

Ketut Kute/ Kute Lui, inilah yang mewarisi keahlian Gede Modara. Teman

seangkatan Lui adalah Kumpi Sambug, Pan Alus, Kumpi Karta, Nyoman Liya.

Mereka ini juga termasuk pelukis pokok yang memenuhi segala kebutuhan peralatan

upacara yang ada kaitannya dengan lukisan pada waktu itu.

Karya-karya Ketut Lui banyak menghiasi pura-pura dan rumah-rumah adat,

tetapi karena termakan waktu dan bahan yang dipakai mudah dimakan rayap, maka

sangat sulit mencari dan menemukan peninggalan karya lukisannya. Harta yang

berharga yang masih dapat dilacak hingga kini adalah jasanya membina anak-anak

muda berbakat yang tertarik belajar melukis, seperti I Wayan Kayun, I Wayan

Ngales, Nyoman Dongol, I Nyoman Lenged, dan Pan Remi. Kelima orang tersebut

berusia sebaya merupakan teman sepermainan (Kanta, 1977/1978: 36).

Ketut Lui meninggal pada tahun 1910. Ia meninggalkan seorang anak laki-

laki bernama Nyoman Mireg yang juga memiliki nama panggilan lain, yaitu Nyoman

Delem. Anak semata wayang ini ternyata tidak mengikuti jejak ayahnya sebagai

pelukis. Menurut Nunung Nurdjanti (2006: 4--6), Mangku Mura yang hidup antara

tahun 1920--1993 mengaku belajar melukis dari Ketut Lui, padahal Lui sudah

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

30

meninggal 1910 sedangkan Mangku Mura baru lahir tahun 1920. Mungkin yang

dimaksud adalah Mangku Mura banyak belajar dari karya-karya Lui. Oleh sebab itu,

kalau ingin melihat karya-karya Ketut Lui, dapat dilihat pada karya Mangku Mura.

Kesamaan karya Ketut Lui dengan Mangku Mura dapat dilihat pada penampilan

garisnya yang sangat tegas tidak putus-putus, percaya diri, menguasai teknik melukis

tradisi Kamasan dan memahami karakter pertokohan yang akan dilukiskan. Sebagai

cerminan dalam karya-karya Mangku Mura terkandung nilai-nilai yang penuh dengan

penjiwaan sehingga menghasilkan karya sangat berkarakter yang diterjemahkan

dalam bahasa garis yang sangat tegas dan sangat kuat.

Anak didik Ketut Lui masing-masing memiliki latar belakang yang khas dan

keunggulan dalam bidangnya. I Wayan Ngales yang hidup antara tahun 1910--1952,

unggul dalam melukis figur Sangut, Delem, dan raksasa. Karakter Sangut dan Delem

sangat kuat terwakili dalam penampilan lukisannya. Selain itu, juga keangkeran

raksasa dapat dilihat dan dirasakan sehingga orang mengatakan karyanya seolah

hidup. Karya-karya Ngales sangat mirip dengan karya Lui sebagai gurunya. Ia

meninggal dunia pada tahun 1952, tidak punya anak laki-laki, semua anaknya

perumpuan, dan pada saat itu belum ada perumpuan berprofesi sebagai pelukis.

Dogol merupakan anak Kumpi Rambug seorang pelukis kawan seangkatan

Ketut Lui. Karena teman-temannya banyak belajar pada Lui, sedangkan Dogol (masa

kanak-kanak) lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar dan bermain-main

bersama teman-temannya, seperti Wayan Ngales, I Wayan Kayun, I Wayan Lenged,

dan Pan Remi. Dogol sangat taat dalam menjalankan perintah agama untuk menghias

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

31

tempat suci dan tempat-tempat yang digunakan sebagai pencerahan. Ia banyak

membantu mengerjakan lukisan baik untuk pura maupun untuk upacara-upacara,

yang diselenggarakan oleh sanak saudaranya yang membutuhkan. Karya-karya yang

dibanggakan sangat sukar ditemukan.

Pada lukisan Dogol yang berjudul “Pemurtian Swatama” (lihat gambar 2.4)

yang masih disimpan oleh kemenakannya Wayan Soka dalam kondisi yang sudah

lapuk menunjukan jejak-jejak garis, pewarnaan, komposisi, proporsi, yang sangat

artistik penuh dengan penjiwaan dan berkarakter. Nyoman Dogol meninggal dunia

pada tahun 1963. Cerminan karya-karya Dogol dapat dilihat pada karya-karya

Gambar 2.4 “Pemurtian Swatama” oleh Dogol

Koleksi Wayan Soka. Dokumen: I Wayan Mudana, 2014

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

32

Nyoman Mandra yang pernah menjadi anak didiknya sejak kecil. Dogol tidak

memiliki anak (bekung), Mandra adalah anak dari saudara perumpuan Nyoman Dogol

(Forge, 1978: 84--85). Sedangkan I Wayan Ngales kebanyakan melukis untuk

kepentingan upacara keagamaan sehingga ia tidak mempunyai karya yang lepas.

Ngales mempunyai anak diantaranya yang bernama I Wayan Seken/ Pan Semari

karya-karya mereka sangat sulit diperoeh informasinya. I Wayan Seken/Pan Sumari,

inilah menjadi tokoh dalam usaha pelestarian dan pengembangan seni tradisi lokal

khususnya SLWK untuk dijadikan objek dan atraksi wisata.

I Wayan Kayun anak sulung dari I Wayan Sari dengan I Wayan Togog yang

memiliki kisah sangat menyedihkan. Sejak kecil ditinggal oleh ayahnya, kemudian

dibesarkan oleh kakek dan neneknya Nyoman Tangen dan Ni Ketut Kampih. Berkat

bimbingan intensif dari ketut Lui, Kayun menjelma menjadi pemuda yang mahir

melukis. Wayan Kayun terkenal suka melukis secara demonstratif. Ia dapat

mengerjakan lukisan dimulai dari tumit baru kemudian menambah ke bagian-bagian

yang lain, hasilnya tetap mengagumkan. Tidak hanya dari tumit, ia dapat

mengerjakan bermula darimana saja sesuai dengan keinginan orang. Karyanya

banyak dipuji seolah dapat berkomunikasi. Ia pandai memberikan perwatakan sesuai

dengan karakter dan pertokohan.

Pengabdian yang tulus kepada masyarakat sifatnya jauh dari pamrih pribadi,

hubungannya yang baik dengan sesama lapisan masyarakat membuahkan kebaikan

bagi keluarganya, ia diberikan sebidang tanah milik desa oleh warga desa Banjar

Pekandelan. Ia dapat membuat rumah sederhana untuk tinggal menetap tanpa

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

33

berpindah-pindah menumpang pada orang lain. Karya monumentalnya terpampang di

Pura Puseh Banjar Budaga. Lukisan di langit-langit Kertha Gosa dan di Balai

Kambang “Taman Gili” dikerjakan bersama teman-temannya. Untuk yang di rumah-

rumah pribadi bertebaran, antara lain di Desa Manduang, di pura Dalem

Tampwangan, rumah Pan Mekar, Pan Margi, Pan Dumun, dan Pan Ngayon

(Anthony, 1978: 45). Salah satu anaknya yang masih hidup yaitu I Made Kanta

(almarhum) berprofesi sebagai budayawan yang menerbitkan buku tentang “Proses

Melukis Tradisional Wayang Kamasan”.

Pada era modern SLWK dikomersialkan sebagai profesi untuk dijadikan

sandaran menghidupi keluarga. Implikasi dari komersialisasi mendorong pelukis

bekerja lebih keras untuk menunjukkan identitas diri meskipun secara umum masih

mengacu pada identitas kelompok. Komersialisasi membawa peradaban baru bagi

masyarakat Kamasan karena keterampilan melukis dapat mendatangkan penghasilan

berupa uang. Aktivitas melukis berkembang sangat cepat tiada hari tanpa dilewatkan

dengan kegiatan melukis. Uang yang diperoleh dari menjual lukisan dapat

meningkatkan kesejahteraan. Sebagian besar warga pindah profesi sebagai pelukis

karena dapat meningkatkan kesejahteraan. Masyarakat sangat senang mendapatkan

uang dari wisatawan atas pertukaran lukisannya, oleh sebab itu disebut sebagai masa

keemasan (golden age) atau renaisance baru, karena sebagian besar penduduk Desa

Kamasan pekerjaannya adalah sebagai pelukis.

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

34

2.2.3 Postmodern

Istilah postmodern pertamakali dipakai oleh Fedrico de Onis pada tahun

1930-an untuk menunjukan reaksi yang muncul terhadap modernisme. Kemudian

dalam bidang historiografi oleh Toynbee (1947) dalam “A Study of History”. Istilah

itu merupakan katagori yang menjelaskan siklus sejarah baru “chalanger and

respond” yang dimulai sejak tahun 1875 dengan berahirnya dominasi Barat. Ilmu

pengetahuan modern terlalu menekankan pada dimensi fisik dan mengabaikan

dimensi mistis dan metafisika lain (dalam Lubis, 2006: 46). Postmodern merupakan

penolakan terhadap adanya satu pusat kemutlakan, narasi-narasi besar, metanarasi,

gerak sejarah yang monolinier. Kelahiran postmodern disebabkan oleh kegagalan

modern dalam mengadopsi kepentingan yang bersifat metafisika karena modern

hanya berorientasi kefisik semata, sewenang-wenang, kontradiksi antara teori dan

fakta, kemiskinan, dan pengangguran akibat teknologi (Hutcheon,1992: 60).

Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan SLWK pada era postmodern

sangat menghormati tradisi sebagai identitas budaya tinggi dan adiluhung, tetapi tidak

mau terikat oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat mengikat dan baku. Transformasi

SLWK melompat dari tradisi ke postmodern. Di lain pihak era modern yang

merepresentasikan budaya barat yang anti terhadap tradisi ketika di bawa ke Bali

lebur terintegrasi dengan baik tanpa menghilangkan identitas tradisi yang khas dan

unik. Ciri-ciri SLWK postmodern sangat koorporatif, kritis, fleksibel, dan bebas.

SLWK tidak terikat oleh norma, tetapi dapat membentuk norma baru yang mengarah

ke komersialisasi.

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

35

2.2.4 Produksi

Bourdieu (2010 : xvii) dalam “Arena Produksi Kultural” dikatakan

kapitalisme sebagai “pecundang” yang memiliki kekuatan modal beserta jaringan

yang mampu mendominasi dan mendistribusikan ide-ide dalam memproduksi dan

mereproduksi produk massa. Konsumen dikatakan telah mengkonsumsi ide-idenya

sendiri dengan standarisasi dan idealisme semu. Gagasan Fairclough dalam Barker

(2004) tentang komodifikasi merupakan konsep yang sangat luas dan dinamis

berhubungan dengan produksi. Analisis produksi kultural berhubungan dengan

produk yang diproduksi dan pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi.

Produk dalam masyarakat kapitalis disebut komoditas yang tidak hanya

memiliki nilai guna tetapi juga memiliki nilai tukar. Kapitalisme menurut Piliang

(1998: 246), memiliki kemampuan kapital untuk mengubah objek, kualitas, dan tanda

menjadi komoditas pasar. Produk-produk yang diproduksi secara massa berupa

produk souvenir dengan memanfaatkan medium-medium yang bersifat eklektik

berupa barang-barang kerajinan, seperti kipas, tas, dompet, payung, tempat tisu,

gantungan kunci dll.

Pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi kultural, adalah pelukis dan

kapitalisme. Sesungguhnya pelukis memiliki keinginan dan kemampuan untuk

membuat lukisan yang mencerminkan idealisme tradisi. Karena terbentur oleh

kebutuhan hidup sehingga tidak dapat menolak keinginan-keinginan kapitalisme

untuk memprofanisasi SLWK menjadi produk massa. SLWK yang diproduksi secara

massa merupakan produk tiruan, didaur-ulang dari ide-ide masa lalu sehingga

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

36

mencerminkan idealisme semu yang mirip dan sepadan. Semakin mirip produk yang

diproduksi menunjukan keberhasilan untuk menentukan standarisasi harga di pasar.

Sedangkan idealisme semu merupakan produk rekaan dengan cara meniru, mendaur-

ulang dengan cara memberikan tambahan, sisipan, sentuhan-sentuhan estetika

sehingga mencerminkan kebaruan. Ciri-ciri produk industri budaya menurut Adorno

dalam “Populer Culture”, mencerminkan standarisasi dan idealisme semu

(Strinati,1992: 76). Semakin tinggi standar produksi yang dikonsumsi oleh konsumen

harus berani mengeluarkan uang yang lebih tinggi untuk memperoleh standar kualitas

produksi. Adorno juga mengatakan bahwa produk industri budaya bersifat “fitisisme”

yang mendewa-dewakan uang. SLWK sudah diprofanisasi menjadi produk massa

dengan cara mengkaburkan nilai-nilai sakral dengan menonjolkan nilai ekonomi

untuk mendapatkan keuntungan berupa uang. SLWK yang didistribusikan di pasar

direduksi dari kepentingan kapitalisme untuk mengkapitalisasi SLWK menjadi

produk industri dengan hitung-hitungan untung dan rugi.

Asal-usul produksi yang dijual di pasar menurut Barker (2004) dikaburkan

dengan pencitraan untuk meningkatkan nilai jual. Citra simulasi menurut Baudrillard

diciptakan untuk menghasilkan produk-produk yang mencerminkan individualisme

semu, seperti citra meniru, mengopi, menduplikasi, atau mereproduksi model tanpa

rujukan realitas (Piliang, 2008: 290). Citra bukan merupakan representasi realitas,

melainkan citra yang dikonstruksi melalui mekanisme transformasi SLWK yang

berimplikasi perubahan. Citra merupakan salinan realitas di luar dirinya yang disebut

Baudrillard sebagai simulakra. Hal inilah menurut Piliang merupakan sebagai

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

37

simulakrum murni, di mana sesuatu tidak menduplikasi sesuatu yang lain sebagai

model rujukan tetapi menduplikasi dirinya sendiri menjadi produk-produk souvenir.

Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan produksi SLWK merupakan

produk simulasi dari permainan kreatif untuk menciptakan produk-produk baru yang

efektif, efisien, dan ekonomis dengan cara mengaburkan seni sakral dengan seni

profan. Produk kreatif postmodern sangat irasional, relatif, memperhatikan hal-hal

yang remeh-temeh dan terpinggirkan. Produksi postmodern juga sangat korperatif,

terstruktur, chaos, mencerminkan persepsi-persepsi kritis, fleksibel dan bebas. SLWK

pada era postmodern sangat bebas berasumsi tidak terikat oleh ruang dan waktu.

Setiap individu diberikan ruang untuk mempersepsikan secara kritis pandangan-

pandangan kritisnya tentang perubahan sehingga tercipta produk-produk baru berupa

produk soevenir. Pariwisata merupakan industri global yang memiliki jaringan sangat

luas sebagai arena untuk mendistribusikan dan mengkonsumsi produk-produk pasar.

2.2.4 Distribusi

Komoditas yang didistribusikan di pasar sangat dinamis, selain

didistribusikan ke pasar lokal juga didistribusikan ke pasar global. Komoditas pasar

merupakan produk komodifikasi, selain memiliki nilai guna juga memiliki nilai tukar

(Barker, 2004 : 14). Komoditas pasar oleh Piliang (2005 : 191) diasosiasikan sebagai

kapitalisme yang memiliki kemampuan mengubah SLWK menjadi produk souvenir

untuk didistribusikan di pasar. SLWK yang didistribusikan ke pasar bertujuan untuk

memperoleh keuntungan berupa uang.

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

38

Dari uraian tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa distribusi SLWK di

pasar sangat bersifat dinamis. Ketika produk yang didistribusikan di pasar digunakan

sebagai pelengkap sarana persembahan dipersepsikan sebagai seni sakral. Tetapi

ketika dijual ditaruh di rak-rak dagangan maka barang tersebut disebut sebagai

komoditas pasar untuk memenuhi selera konsumen. Uang yang diperoleh dari hasil

pendistribusian barang dagangan yang dijual di pasar dipuja dan dirayakan

sebagaimana bentuk kemurahan Tuhan. Tetapi ketika digunakan untuk menghias

bangunan rumah, menghias produk-produk souvenir dan barang kerajinan

dipersepsikan sebagai produk pencitraan. Dipersepsikan sudah terjadi pergeseran dari

kebutuhan primer menjadi kebutuhan seconder untuk memenuhi kebutuhan gaya

hidup sebagai pencitraan.

2.2.5. Konsumsi

Baudrillard (2004: 90) dalam “Masyarakat Konsumsi”, mengatakan bahwa

konsumsi sebagai kemunculan kontrol atas kekuatan yang berhubungan dengan

mimpi-mimpi, image, dan kesenangan mengkonsumsi. Di pihak lain, Raymond

Williams (1976: 68) mengatakan bahwa konsumsi adalah merusak (to destroy).

Bourdieu juga mengatakan konsumsi berhubungan dengan gaya hidup (selera

pastiche). Produk pencitraan yang dikonsumsi oleh konsumen dapat meningkatkan

kelas dan status sosial ditengah-tengah masyarakat. Lee (2006: 34) dalam “Budaya

Konsumen Terlahir Kembali”, mengatakan, seperti di bawah ini.

“.........mempercepat angka tukar komoditas dan perubahan nilai. Ini meliputi

perubahan yang semakin cepat dari tampilan estetis dan perubahan gaya, dan

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

39

penerapan usia produk yang lebih pendek (ketentuan produk secara material

dan secara estetis). Ini adalah proses yang niscaya mengakibatkan kondisi

ideal nyata dari estetika komoditas akan melahirkan minimalisasi nilai guna

secara absolut yang ditutupi dan ditampilkan dengan ilusi penuh rayuan,

strategi yang sangat efektif karena selaras dengan dambaan dan hasrat orang

(Lee, 2006:34).

Sesuai dengan pandangan Lee (2006: 34), bahwa komoditas yang

didistribusikan di pasar berhubungan dengan hasrat mengkonsumsi dengan model

pendekatan penuh rayu disamping keinginan untuk melakukan dominasi dalam

proses produksi dan reproduksi produk komoditas. Dominasi yang dilakukan kaum

kapitalime tidak saja menciptakan kebodohan, tetapi juga mendorong terpasungnya

kreativitas melukis dalam melahirkan inovasi-inovasi baru yang semu. Hal itu terjadi

karena inovasi yang dihasilkan hanya berupa pengulangan-pengulangan, tempelan-

tempelan dari teks-teks tradisi lama sehingga terkesan menoton atau kebaruan yang

semu.

Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa dalam pertarungan

produksi kultural pada era postmodern SLWK selain dikonsumsi oleh produsen untuk

memproduksi produk yang cepat laku serta mendapatkan keuntungan berupa uang,

juga dikonsumsi oleh konsumen untuk didistribusikan ke pasar. Implikasinya dalam

pertarungan tersebut kapitalisme dengan kekuasaan kapital yang dimiliki telah

mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru sehingga terjadi peningkatan

kesejahteraan, meluasnya distribusi dan konsumsi sosial, munculnya pelukis

perempuan, dan berkembangnya industri kreatif. Kapitalisme produk sosial kultural

ketika berubah menjadi produksi kultural sebagaimana dikatakan William sangat

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

40

merusak sehingga berimplikasi melunturkan nilai-nilai trasi budaya lokal menjadi

bersifat hedomistik yang mengagung-agungkan nilai ekonomi semata. Juga terjadi

desakralisasi terhadap karya seni sakral menjadi produk massa yang semata-mata

mencari keuntungan berupa uang dan memenuhi keinginan konsumen tanpa

memikirkan norma dan nilai yang terkandung didalamnya. Provanisasi menyebabkan

nilai-nilai tradisi lokal diganti dengan nilai uang berupa keuntungan ekonomi.

2.3 Landasan Teori

Landasan teori disebut juga kerangka teori. Landasan teori sangat diperlukan

dalam penelitian sebagai titik berangkat dan landasan bagi peneliti dalam

menganalisis dan memahami realitas yang diteliti (Irawan, 2006: 39). Sehubungan

dengan itu, isi kerangka teori adalah teori-teori yang relevan dengan masalah yang

dikaji dan difungsikan sebagai alat bantu dalam menemukan pemecahan atau untuk

mendapatkan jawaban yang dapat diandalkan atas masalah yang dikaji (Ariasumantri,

1984: 316; Irawan, 2006: 39) atau teori yang relevan untuk menganalisis objek

(Ratna, 2010: 218). Dalam analisis permasalahan “Transformasi Seni Lukis Wayang

Kamasan pada Era Postmodern di Klungkung, Bali” digunakan teori praktik, teori

komodifikasi, dan teori estetika postmodern. Teori praktik digunakan menganalisis

persoalan praktik-praktik sosial transformasi SLWK di Desa kamasan Klungkung.

Teori komodifikasi digunakan untuk menganalisis bentuk-bentuk transformasi

SLWK dalam era postmodern di Desa Kamasan Klungkung. Di pihak lain teori

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

41

estetika postmordern digunakan untuk menganalisis implikasi transformasi SLWK

pada era postmodern di Desa Kamasan Klungkung.

Kerangka teori yang digunakan untuk menganalisis fenomena-fenomena

yang ditemukan di lapangan dijelaskan sebagai berikut.

2.3.1 Teori Praktik.

Teori praktik yang dikembangkan Pierre Bourdieu menjelaskan penekanan

keterlibatan subjek (masyarakat pelaku kebudayaan) dalam proses konstruksi budaya.

Praktik sosial bertalian erat dengan habitus, modal, dan ranah. Teori praktik sosial

Bourdieu tersebut terdapat dalam buku Membaca Pikiran Pierre Bourdieu (dalam

Jenkins, 2004: 95--124). Teori praktik merupakan produk dari relasi antara habitus

sebagai skema pemahaman, persepsi; modal sebagai kekuatan pengusaha untuk

melakukan kegiatan sebagai ranah medan sosial. Bourdieu mengatakan bahwa

interaksi antara manusia dan kebudayaan terjadi secara terus-menerus dalam usaha

pembentukan simbol-simbol budaya untuk kepentingan kondisi sosial, ekonomi, dan

politik. Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumus generatif yang menerangkan

praktik sosial dengan persamaan (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Bourdieu

juga mewariskan konsep-konsep seperti habitus, modal, dan ranah, sebagai

kreativitas yang mempengaruhi sumber daya dan komunitas. Keempat jenis modal

(sosial, ekonomi, budaya, dan simbolik) tersebut menurut Fashri (2004: 95--149)

dapat dikonversikan satu dengan yang lainnya.

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

42

Teori praktik ini digunakan untuk menganalisis permasalahan mengapa

terjadi transformasi pada SLWK. Jika dikaitkan dengan penelitian ini, maka teori

praktik digunakan untuk melihat terjadinya perubahan sosial yang terjadi dalam

praktik-praktik melukis tradisional wayang gaya Kamasan di Desa Kamasan,

Klungkung Bali yang terjadi secara turun-temurun. Kebiasaan-kebiasaan melukis

tradisional wayang gaya Kamasan secara turun-temurun diasumsikan sebagai habitus.

Kebiasaan melukis yang dilakukan oleh leluhurnya menurun di lingkungan

masyarakat Kamasan meskipun tidak disertai dengan proses belajar secara formal.

Karya-karya persembahan dikerjakan secara kolektif dan komunal. Akan tetapi,

belakangan ini proses pembelajaran juga dilakukan melalui sanggar dan pendidikan

formal dengan memasukkan muatan lokal dalam kurikulum tentang praktik-praktik

melukis wayang tradisional gaya Kamasan.

“Habitus” secara harfiah diterjemahkan sebagai kebiasaan-kebiasaan yang

lebih merefleksikan posisi subjek (pelaku) dalam masyarakat. Habitus memiliki

skema yang terbentuk sebagai hasil hubungan individu dengan individu yang lain

dalam jaringan struktur objektif di lingkungan dunia sosial. Sekumpulan skema yang

dimiliki digunakan dalam mempersepsikan, memahami, menghargai, dan

mengevaluasi realitas sosial yang dihadapi. Dengan kata lain habitus memberikan

individu suatu kerangka tindakan dalam berhubungan dengan individu lain dalam

masyarakat. Habitus merupakan produk interaksi antarindividu dalam kehidupan

masyarakat dalam dimensi ruang dan waktu. Pada dasarnya habitus tumbuh tanpa

kesadaran karena sudah terjadi secara turun-temurun.

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

43

Keterampilan melukis yang dimiliki oleh habitus disebut modal, berupa

modal simbolik dan modal kultural. Sebagai modal simbolik, kebiasaan-kebiasaan

habitus dalam melukis wayang tradisional gaya Kamasan sangat erat terikat oleh

pakem, norma, dan ketentuan yang bersifat mengikat dan baku. Pakem dalam SLWK

menurut Nyoman Mandra merupakan ketentuan yang bersifat mengikat dan baku

yang sudah disepakati secara turun temurun. Di pihak lain, modal kultural berupa

keterampilan melukis yang diperoleh dari dilingkungan secara turun-temurun dan

dapat diajarkan di sekolah-sekolah formal, seperi SD, SMP, dan SMA/SMK. Di

samping itu, juga disekolah non-formal seperti belajar melukis di Sanggar Melukis

Tradisional Kamasan yang diasuh oleh N. Mandra dan keluarga.

Ranah diasumsikan sebagai keinginan-keinginan habitus yang terjadi di

tengah-tengah masyarakat sosial untuk meningkatkan kesejahteraan. SLWK

dikomersialkan sebagai profesi untuk dijadikan sandaran dalam menghidupi keluarga.

Sebagai profesi SLWK didistribusikan ke pasar sebagai barang dagangan bertujuan

untuk menghasilkan uang. Uang yang diperoleh dari hasil komersialisasi dapat

memenuhi kebutuhan keluarga, seperti memenuhi kebutuhan di dapur,

menyekolahkan anak, membangun rumah, dan memperbaiki sarana beribadah.

“Ranah” atau lingkungan (field) dalam anggapan Boudieu diformulasikan sebagai

jaringan relasi atau pasar antara posisi-posisi objektif dalam satu tatanan sosial yang

merepresentasikan posisi struktur yang terpisah dari kesadaran individu. Sebagai

struktur, ranah memiliki daya-daya mengatur atau memberikan arahan bagi posisi-

posisi objek individu dalam ruang sosial. Posisi-posisi objek ini pada gilirannya nanti

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

44

memberikan pengalaman-pengalaman hubungan sosial yang berulang pada individu

yang terinternalisasi secara terpola menjadi struktur mental yang berwujud habitus.

Implikasi mekanisme habitus dan ranah tergambar dari interaksi antara

subjek dan struktur. Habitus adalah struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman

individu berinteraksi dengan individu yang lain dalam struktur objektif. Kemudian

pada gilirannya habitus terbalik mewujudkan ranah sebagai struktur objektif yang

mengatur jaringan relasi individu di luar kesadaran. Hubungan dialektis habitus

dengan ranah inilah yang memunculkan konsep praktik sosial yang melibatkan

konsep modal simbolik dan kultural, yaitu bergeraknya medan, daya-daya, kekuatan

yang ada dalam masyarakat yang saling bertarung. Praktik sosial ini akan didominasi

oleh habitus yang memiliki modal sosial budaya yang dominan. Dengan kata lain

mereka yang memiliki modal dominan akan menentukan praktik sosial yang

dianggap wajar bagi individu-individu di lingkungan tertentu.

2.3.2 Teori Komodifikasi

Komodifikasi adalah proses yang diasumsikan kapitalisme yang memiliki

kemampuan mengubah objek, kualitas, dan tanda menjadi komoditas. Komodifikasi

dapat melahirkan budaya massa, masyarakat konsumen, atau masyarakat komoditas.

Konsep budaya massa mengasumsikan bahwa massa memiliki tanggung jawab murni

yang sama atas budaya yang dikonsumsi sehingga hal itu ditentukan oleh

kecenderungan massa itu sendiri. Konsumsi massa menyebabkan timbulnya budaya

konsumen. Dalam budaya konsumen terdapat tiga bentuk kekuasaan yang beroperasi

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

45

di belakang produksi dan komsumsi, yaitu kekuasaan kapital, kekuasaan produser,

dan kekuasaan media/massa (Piliang, 1998 : 246).

Menurut Fairclough (1995) sebagaimana dikutip Barker (2004) proses

komodifikasi terhadap barang-barang yang dijual di pasar mengaburkan asal usul

komoditas. Marx dengan fitisisme mengatakan bahwa komoditas berasal dari

hubungan eksploratif, sebagaimana dikatakan dalam petikan dibawah ini.

“Commodification is the process whereby social domainsand institutions,

whose concern is not producing commodities in the narrower economic

sence of goods for sale, come nevertheless to be organized and

conceptualized in term of commodity production, distribution, and

consumtion (komodifikasi merupakan konsep yang luas yang tidak hanya

menyangkut masalah produksi, komoditas dalam pengertian perekonomian

yang sempit tentang barang-barang yang diperjualbelikan saja, tetapi juga

menyangkut tentang bagaimana barang-barang tersebut didistribusikan dan

dikonsumsi) (Barker, 2004: 14 ; 2005: 517) .

Sebagaimana yang dikatakan Barker bahwa barang-barang yang dijual di

pasar mengaburkan asal usul komoditas dengan fitisisme komoditas yang oleh

Adorno disebut sebagai komoditas yang mendewa-dewakan uang (Strinati, 2003, 76).

Uang yang diperoleh dari hasil komodifikasi dipuja dan dirayakan sebagai produk

massa berupa produk souvenir untuk menyatakan keberhasilan industri budaya

populer.

Barker juga mengatakan bahwa komodifikasi merupakan konsep yang

sangat luas dan sangat dinamis. Artinya, tidak hanya berhubungan dengan produksi

komoditas tetapi juga berhubungan dengan distribusi dan konsumsi. Produksi dan

komoditas merupakan produk daur-ulang dari permainan simulasi sehingga terjadi

perubahan menjadi produk baru yang semu. Perubahan bentuk baru hasil dari

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

46

simulasi bersifat komersialisasi penuh dengan hitung-hitungan ekonomi dengan

menonjolkan daya tawar untuk meningkatkan nilai jual. Bentuk perubahan SLWK

yang didistribusikan ke pasar adalah bentuk estetika, pembagian ruang, sketsa,

pewarnaan, tema-tema, penyajian, dan penyelesaian.

Ide-ide produk yang didistribusikan ke pasar merupakan cerminan dari

keinginan-keinginan konsumen yang didistribusikan kembali menjadi produk pasar.

Pihak-pihak yang terlibat dalam proses pendistribusian produk pasar adalah (1)

pemerintah, yang mengatur regulasi berkaitan dengan perizinan dan dokumen, (2)

pebisnis; travel, memberikan informasi tentang objek dan atraksi wisata, pasar seni;

Artshop, dan gallery, sebagai agen, (3) media, memberikan informasi dan gambaran

tentang kondisi dan keadaan barang terhadap masyarakat, dan (4) masyarakat lokal

yang berinteraksi langsung dalam proses distribusi.

Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa produksi komoditas SLWK

selain untuk persembahan juga dapat dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan

konsumen. Di lain pihak, pariwisata diasumsikan sebagai industri global yang

memiliki modal dan jaringan sangat luas yang mampu mengubah objek, kualitas, dan

tanda menjadi produk komoditas. Bourdieu (2010: xxxv), mengatakan bahwa

konsumen yang berorientasi pasar dikelompokkan menjadi dua, yaitu konsumen lokal

dan konsumen global. Segmentasi pemenuhan kebutuhan konsumen lokal berupa

produk-produk pastiche untuk menghias tempat-tempat suci, menghias rumah

tinggal, menghias bangunan perkantoran, dan menghias bangunan hotel. Pada era

global SLWK dikonsumsi oleh pariwisata berupa produk-produk souvenir. Hal-hal

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

47

yang disoroti dalam perubahan konsumsi dalam memenuhi kebutuhan konsumen

adalah konsumsi pelukis, karakter konsumsi konsumen, pola-pola konsumsi

konsumen, dan tanggapan konsumsi konsumen. Aktor-aktor yang terlibat dalam

arena produksi kultural adalah kapitalisme, agen-agen, para pelukis dan pengerajin.

2.3.3 Teori Estetika Postmodern

Jean Francois Lyotard, seorang pemikir postmodern Prancis, mengatakan

bahwa postmodern merupakan kelanjutan dari modern. Dalam bukunya “Postmodern

Condition: A Report on Knowledge”, disebutkan bahwa strategi intelektual dan

kondisi ilmu pengetahuan pada umumnya pada era postmodern sudah saatnya keluar

dari jalur grand narative, yang mengklaim bahwa ada prinsip-prinsip kebenaran,

kesejahteraan, makna kehidupan, dan moral yang bersifat universal dan berpencar ke

arah narasi kecil dengan segala nilai mitos, spiritual, dan ideologi yang spesifik

(Piliang, 2010:104). Lebih lanjut, Susan Sontag mengatakan bahwa sastra

postmodern harus meninggalkan model modern klasik yang tetap dipertahankan

sehingga orang dengan bebas dapat menangkap dan mengapresiasi kualitas khas

sastra baru. Kemudian sastra postmodern menunjukkan prestasi penting yang berhasil

menjembati perbedaan antara kebudayaan elite (high culture) dan kebudayaan massa

(pop culture) (Ritzer, 2010: vii). Berbagai bagian, gaya, atau subsistem digunakan

dalam suatu sintesis yang baru dan kreatif.

Pengembaraan estetika masa lalu menjadi tawaran seni postmodern untuk

menjawab kebutuhan masyarakat konsumen akan kebaruan, penampilan, dan fesyen.

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

48

Piliang (1998: 303) dalam dialog dengan masa lalu dalam seni postmodern terdapat

tiga model wacana seni yang dominan, yaitu (1) model dialogisme dan

intertektualitas, (2) model perversitas atau abnormalitas, dan (3) model simulasi atau

hiperealitas. Istilah dialogisme merupakan wacana tekstual yang dikembangkan oleh

Mikhailm Bakhtin seorang pemikir Rusia yang menjelaskan ketergantungan dengan

ungkapan-ungkapan yang sudah ada. Dua karya dan dua ungkapan verbal secara

bersama-sama memasuki hubungan semantik yang disebut dialogis (dalam Hidayat,

2012: 121).

“Menurut Bakhtin, tidak ada satu pun ungkapan seni yang merupakan

sebagai ekspresi murni dan asli, sedangkan model perversitas dan

abnormalitas sebenarnya berasaal dari wacana seksualitas (Hidayat, 2012:

121).

Louise J. Kaplan (1991) dalam bukunya Femile Pervversion menggunakan

istilah pervesi untuk menjelaskan fenomena penyimpangan dari norma dan praktik

sosial yang normal. Prinsip perversi berkembang dalam model yang serupa didalam

dunia seni dalam bentuk prinsip abnormalitas, seperti pembajakan tanda, pembalikan

norma, absennya hukum. Estetika perversi abnormalitas dilakukan dengan

pembajakan tanda, ditandai dengan objek-objek semu, dan palsu. Bahasa estetika

perversi postmodern tampil dalam tanda dan makna bersifat tidak stabil, mendua, dan

plural disebabkan oleh permainan tanda, keterpesonaan pada penampakan, dan

diferensiasi dibandingkan dengan makna-makna ideologis yang bersifat stabil dan

abadi (Piliang, 1998: 307). Bentuk estetika perversi dilakukan dengan kesetaraan

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

49

gender dalam melukis tradisional wayang Kamasan. Artinya, sebagai profesi

keterampilan antara perempuan dan laki-laki sudah disejajarkan dalam melukis.

W.F. Haug (1986) dalam Critique of Commodity Aesthetics dalam Lee

(2006: 34) mengatakan bahwa organis antara kebutuhan dan nilai guna materi hancur

ketika konsumsi semakin didefinisikan menurut hasrat dan fantasi. Lebih lanjut Haug

menyatakan bahwa hasrat dan fantasi didasarkan pada tampilan estetis bentuk-bentuk

komoditas modern yang menampilkan karya-karya maksimal yang sarat dengan

komersialisasi. Dalam kondisi semacam itu proses produksi mengalami metamorfosis

secara keseluruhan dalam menciptakan produk-produk penunjang pariwisata menjadi

lebih efektif, efisien, dan ekonomis.

Lebih lanjut Sachari (2002: 9) menyatakan bahwa dalam wacana utama

estetika dikelompokkan menjadi estetika pramodern, modern, dan postmodern (lihat

tabel 2.1).

Tabel Nomor 2.1

Wacana Utama Estetika Pramodern, Modern, dan Postmodern

Pramodern Modern Postmodern

1 Idealisme 1 Rasionalisme 1 Irasional

2 Mitologis 2 Realisme 2 Global-Lokal

3 Mimesis 3 Umanisme/universal 3 Intertekstual

4 Imitasi 4 Simbolisme 4 Pospositivisme

5 Katarsis 5 Strukturalisme 5 Hiperialisme

6 Transeden 6 Simiotik 6 Poskolonial

7 Pencerahan 7 Fenomenologi 7 Oposisi Biner

8 Teleologisme 8 Eko-estetik 8 Dekonstruksi

9 Relativisme 9 Kompleksitas 9 Pluralisme

10 Subjektivisme 10 Etnosentris 10 Lintas Budaya

11 Positivisme 11 Budaya Komoditas 11 Chaos

Sumber: Sachari, (2002: 9)

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

50

Estetika SLWK sebagai sebuah teori ilmu pengetahuan pada hakikatnya

tidak hanya menyimak keindahan dalam pengertian konvensional, tetapi juga

berkembang ke arah wacana dan fenomena. Estetika bukan hanya simbolisasi dan

makna, melainkan juga sikap dan daya. Piliang (mengacu pemikiran Baudrillard)

mengemukakan bahwa ada tiga relasi pertandaan dalam wacana seni dari berbagai

zaman, yaitu (1) estetika klasik/pramodern, (2) estetika modern, dan (3) estetika

postmodern. Dalam estetika klasik digunakan prinsip bentuk mengikuti makna (form

follow meaning), artinya upaya praksis berkesenian lebih mengutamakan penggalian

makna ideologis yang telah ada. Estetika modernisme menggunakan prinsip bentuk

mengikuti fungsi (form follow function) sehingga karya seni yang diciptakan lebih

berdasarkan fungsi dan penggunaannya dalam masyarakat. Selanjutnya estetika

postmodern dengan prinsip bentuk mengikuti kesenangan (form follow fun), yakni

lebih mengedepankan aspek-aspek ‘gelitikan’ sehingga karya seni yang diciptakan

lebih mengutamakan permainan-permainan yang bebas dalam memberikan tanda-

tanda estetis.

Dalam pandangan estetika klasik Bali, Ida Pedanda Made Sidemen, seorang

kawi sastra Bali, menekankan bahwa melakukan kesenian adalah pengabdian, suatu

kegiatan kebaktian, dan karya yang dihasilkan adalah persembahan kepada Tuhan/Ida

Sanghyang Widhi Wasa. Hal ini merupakan jalan untuk mencapai suasana bersatu

dengan jiwa universal atau Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan istilah

‘manunggal’. Karya sastra, karya seni, baik yang bentuknya kelihatan maupun

kedengaran, dipandang sebagai ‘wadah’ bagi dewa keindahan (Djelantik, 1992: 22).

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

51

Dalam proses kerja seniman Bali tradisional menikmati rasa indah yang disebut

kelangen. Kuatnya intensitas kelangen kemudian bila mencapai puncak dirasakan

sebagai ‘taksu’ seperti dikuasai oleh kekuatan yang ajaib yang memberikan

keberhasilan istimewa. Di samping rasa kelangen, seniman Bali biasanya merasa

dirinya bersatu (manunggal) dengan objek yang dikerjakan.

Pada zaman modern ketika semangat kebudayaan semakin rasional dengan

pandangan dunia yang mekanistis, pandangan estetika dalam kesenian bergeser lebih

ke arah sekulerisme. Dalam hal ini karya seni tidak lagi menggambarkan dan

menunjukkan dimensi hidup, tetapi justru merupakan pendukung wacana mapan.

Memang pada saat itu aktivitas seni tumbuh lebih bebas dan fleksibel, tetapi berbagai

eksperimen dilakukan untuk kepentingan pasar ke arah postmodern. Oleh karena itu,

memicu munculnya oposisi-oposisi dalam seni, seperti seni serius-seni pasar, seni

elitis-seni rakyat, seni ekpresif-seni fungsional, seni tradisional-seni modern (Sachari,

2006: 30).

Estetika pakem merupakan idealisme tradisi untuk menghasilkan karya

simbolik yang adiluhung. Karya simbolik digunakan sebagai pelengkap ritual

keagamaan untuk menyediakan sarana persembahan. Disamping itu juga dipakai

untuk menghias tempat-tempat suci atau tempat yang dapat memberikan pencerahan,

seperti pura dan pemerajan. Oleh sebab itu, estetika tradisi ini sering disebut sebagai

estetika pencerahan, karena diperuntukkan selain untuk menghias bangunan juga

memberikan pencerahan terhadap umat.

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

52

Dalam wacana postmodern yang berorientasi kemapanan bentuk estetika

dibuat berdasarkan kebutuhan pasar dengan mengadopsi keinginan-keinginan

konsumen. Menurut pemikiran Baudrillard, estetika postmodern telah mengalami

perubahan melalui proses pencitraan. Citra menurut Baudrillard diciptakan melalui

proses simulasi sehingga menghasilkan produk-produk yang mencerminkan

individualisme semu, seperti citra meniru, mengopi, menduplikasi, atau

mereproduksi sebagai model tanpa rujukan realitas (Piliang, 2008: 290). Citra bukan

merupakan representasi realitas, melainkan citra yang dikonstruksi melalui

mekanisme terjadinya transformasi.

Representasi menurut Baudrillard merupakan produk dari dunia simulasi,

sedangkan simulasi merupakan dunia yang terbentuk dari hubungan berbagai tanda

dan kode secara acak, tanpa referensi rasional yang jelas. Hubungan ini melibatkan

tanda real (fakta) yang tercipta melalui proses produksi dan tanda semu (citra) yang

tercipta melalui proses reproduksi. Sesuai dengan pendapat Baudrillard dalam Piliang

(2008: 290) citra simulasi bersifat meniru, mengopi, menduplikasi, atau

mereproduksi sebagai model tanpa rujukan realitas. Citra tersebut bukan merupakan

representasi realitas, melainkan citra yang dikonstruksi melalui mekanisme pasar.

Citra tersebut merupakan salinan realitas di luar dirinya, yang disebut Baudrillard

sebagai simulacra yaitu sesuatu tidak menduplikasi sesuatu yang lain sebagai model

rujukannya, tetapi menduplikasi dirinya sendiri.

Simulasi yang dilakukan dalam proses produksi kultural terhadap struktur

estetika idealisme tradisi berubah menjadi struktur berdasarkan standarisasi idealisme

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

53

industri yang menekankan pada komersialisasi. Selain itu juga berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan pasar yang berorientasi ekonomi untuk memperoleh

keuntungan. Idealisme estetika produk kultural yang dijual di pasar ditandai dengan

keautentikan belaka dengan cara mengaburkan estetika seni tinggi dengan estetika

seni rendah. Menurut pandangan modern, estetika mesti dikaji secara empiris dan

ilmiah berdasarkan pengalaman-pengalaman riil dalam kehidupan sehari-hari.

Berbeda dengan estetika yang dikembangkan pada zaman klasik, yaitu estetika ‘dari

atas’, estetika modern dicermati mulai dari bawah dengan menggunakan pengamatan

secara empiris untuk menemukan kaidah-kaidah mengapa orang menyukai sesuatu

yang indah (tertentu), tetapi kurang menyukai yang lain (Parmono, 2009:27--28).

Model simulasi dan hiperealitas merupakan penjabaran dari pemikiran

Baudrillard tentang karakteristik budaya postmodern dalam perkembangan

kapitalisme, teknologi informasi dan komunikasi, berkembangnya budaya massa dan

budaya populer serta meluruhnya nilai dan paradigma modernisme menuju

postmodern. Hal tersebut ditandai dengan fenomena simulasi, simulakra,

hiperrealitas, dominasi nilai tanda dan nilai simbol, serta prinsip komunikasi bujuk

rayu (seduction).

Model wacana seni simulasi dibangun oleh model-model produksi dan

reproduksi dari pelbagai macam tanda, citra, dan kode seni. Sementara hiperealitas

adalah kondisi atau pengalaman kebendaan yang merupakan konsekuensi logis

prinsip-prinsip simulasi yang ditandai dengan bangkrutnya makna, pertanda, dan

realitas, yang diambil oleh permainan bebas petanda. Dunia hiperealitas adalah dunia

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

54

yang disarati oleh silih bergantinya reproduksi sebagai simulakra objek-objek yang

tidak memiliki refrensi sosial, objek-objek yang dibuat di atas kerangka meleburnya

realitas dengan fantasi, fiksi, halusinasi, dan nostalgia sehingga perbedaan satu

dengan yang lain sulit diketahui. Reproduksi nostalgia mencerminkan kepanikan era

postmodern yang disebabkan oleh tanda dan realitas yang hilang sebagai akibat dari

kondisi modernitas yang menjadikan manusia teralienasi dari akar kebudayaannya

sendiri. Unberto Eko dalam karyanya Travel in Hyperreality (1973) mengatakan

bahwa untuk memahami masa lalu kita harus memiliki sesuatu yang sedekat mungkin

menyerupai model-model asli sebagai modus operandi.

Estetika postmodern tidak seperti estetika klasik dan modern yang banyak

mempersoalkan standar-standar dan oposisi. Piliang (1998:151) secara ektrem

mengatakan bahwa lebih cocok menggunakan istilah ‘antiestetika’ dari pada estetika

untuk menjelaskan fenomena estetika postmodern. Hal ini disebabkan oleh estetika

postmodern merupakan bentuk-bentuk subversif dari kaidah-kaidah baku estetika

klasik dan modern.

Idiom-idiom estetika postmodern menurut Jameson (1966) dalam Piliang

(2003: 125) dan Sackari (2006: 65) terdiri atas beberapa tipe. Pertama, estetika

pastiche, bersinonim dengan pinjaman, kenangan dari masa lalu, bertujuan

menekankan persamaan, membuat brecolage, sangat miskin akan kedalaman,

makna/kosong, imitasi, simpati, tanpa semangat zaman. Kedua, estetika parodi

bersinonim dengan pelesetan, kritik sosial, sense of humor, pengulangan, oposisi,

efek makna berbeda, merujuk karya masa lalu, lucu, penyimpangan, imitasi. Ketiga,

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

55

estetika kitsch, istilah kitsch berakar dari bahasa Jerman verkitschen (membuat

murah) dan kitschen yang secara literal berarti ‘memunggut sampah dari jalan’. Oleh

sebab itu, istilah kitsch sering ditafsirkan sebagai sampah artistik atau selera rendah

(bad taste). Di dalam “The Concise Oxford Dictionary of Literary Term”, kitsch

didefinisikan sebagai segala jenis seni palsu (pseudo-art) yang murahan tanpa selera.

Selera rendah menurut Umberto Eco dalam salah satu artikelnya dimanifestasikan

oleh lemahnya ukuran atau kriteria estetika pada satu karya. Meskipun demikian,

kriteria ini diakui Eco sangat sulit didefinisikan karena bisa sangat berbeda dari satu

tempat ke tempat lainnya, dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya, dan dari satu

zaman ke zaman lainnya. Gillo Dorfles menolak menyebut kitsch sebagai selera

rendahan. Kitsch, sebagaimana yang dijelaskan Dorfles, mempunyai sistemnya

sendiri yang berada di luar sistem seni meskipun pada kenyataannya kedua site ini

tidak dapat dipisahkan. Di pihak lain Jean Baudrillard mendefinisika kitsch sebagai

pseudo-objek (Piliang, 2003: 194). Keempat, estetika camp, adalah sebuah teriakan

lantang menentang kebosanan dan sekaligus merupakan satu reaksi terhadap

keangkuhan kebudayaan tinggi yang telah memisahkan seni dari makna-makna sosial

dan fungsi komunikasi sosial. Ia memberikan jalan keluar bersifat ilusi, dari

kedangkalan, kekosongan, dan kemiskinan makna dalam kehidupan modern. Di

samping itu, ia mengisi kekosongan ini dengan pengalaman melakukan peran dan

sensasi lewat ketidaknormalan dan ketidakorisinalan. Camp berupaya merenggut seni

dari menara gading kebudayaan tinggi dan membawa ke hadapan massa dengan

melibatkan unsur duplikasi serta mengundang penafsiran ganda. Kelima, estetika

Page 44: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

56

skizofrenia, yaitu sebuah istilah psikoanalitis yang pada awalnya digunakan untuk

menjelaskan fenomena psikis dalam diri manusia. Akan tetapi kini terutama dalam

diskursus intelektual di barat, istilah ini digunakan secara metaforik untuk

menjelaskan fenomena yang lebih luas. Lacan mendefinisikan skizoprenia sebagai

putusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan

membentuk satu ungkapan atau makna. Skizoprenik melintas dari satu kode ke kode-

kode lainnya, ia dengan sengaja mengaduk-aduk semua kode, yang dengan secara

kilat berpindah dari satu kode kekode yang lainnya, bergantung pada pernyataan yang

diajukan padanya, yang tidak pernah memberikan penjelasan yang sama dari satu hal

ke hal berikutnya (Deleuze & Guattari,1982: 15).

2.4 Model Penelitian.

Black dan Champion (1999: 60) mendefinisikan model sebagai

konseptualisasi sistematik dalam bentuk skema tentang berbagai unsur yang saling

terkait. Model merupakan ringkasan secara keseluruhan proses dan cara penelitian,

baik yang dilakukan secara teoretis seperti direncanakan oleh peneliti maupun cara

kerja seperti dikemukakan dan dilakukan di lapangan. Model penelitian bertujuan

untuk menjelaskan alur berpikir dalam pengkajian penelitian yang digambarkan

dalam bentuk skema yang menggambarkan perincian sebuah penelitian. Model

penelitian tentang “Transformasi Seni Lukis Wayang Kamasan pada Era

Postmodernisme di Klungkung, Bali” digambarkan dalam sebuah skema model

penelitian (lihat gambar bagan 2.3).

Page 45: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

57

Gambar 2.5

Model Penelitian Transformasi Seni Lukis Wayang Kamasan

Pada Era Postmodern di Klungkung Bali

Gambar 2.5 Model Penelitian Transformasi Seni Lukis Wayang Kamasan pada Era

Postmodern di Klungkung, Bali

Keterangan Gambar

: Saling berhubungan

: Faktor yang berpengaruh

: Aspek transformasi

: Landasan teori

: Temuan/Perubahan masyarakat Kamasan

Transformasi

SLWK pada Era

Postmodern di

Klungkung, Bali

Temuan

Seniman Desa

Kamasan Modern

Faktor-faktor

Pendorong

Transformasi

SLWK di

Klungkung, Bali

Bentuk

Transformasi

SLWK pada Era

Potmodern di

Klungkung, Bali

Implikasi

Transformasi SLWK

pada Era Postmodern

di Klungkung, Bali

*Agama

*Motivasi Ekonomi

*Identitas Diri

*Kreativitas

*Gender

*Globalisasi

*Pariwisata

*Kapitalisme

*Teori Praktik

*Teori Komodifikasi

*Teori Estetika Postmodern

Page 46: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

58

Seni lukis wayang Kamasan (SLWK) merupakan seni tradisi yang tumbuh

dan berkembang di Desa Kamasan, Klungkung, Bali memiliki identitas sangat khas

dan unik. Secara tradisi SLWK digunakan sebagai sarana ritual untuk persembahan

dalam agama Hindu. Proses pengerjaannya sangat terikat oleh pakem bersifat kolektif

dan komunal. Bahan dan peralatan yang digunakan diambil dari alam diolah dengan

teknik-teknik tradisional. Secara visual SLWK memiliki estetika sangat artistik. Di

dalamnya terkandung nilai-nilai filsafat yang bersifat simbolik. SLWK sering

digunakan sebagai pencerahan dan bayangan dalam kehidupan manusia, baik di dunia

maupun di akhirat. Pada era modern SLWK dikomersialkan sebagai profesi untuk

menghidupi keluarga. Semakin banyaknya permintaan Wisatawan terhadap produk

souvenir maka SLWK dikomodifikasi menjadi produk penunjang pariwisata. Wacana

yang berkembang Desa Kamasan pada era postmodern SLWK sudah mengalami

ditransformasi sehingga terjadi perubahan dari sakral menjadi profan.

Fenomena transformasi SLWK pada era postmodern menarik untuk dikaji

secara kritis dan emansipatoris dengan menggunakan pendekatan culture studies

terfokus pada tiga masalah. Pertama, mengapakah seni lukis wayang Kamasan

mengalami transformasi pada era postmodern di klungkung, bali? Kedua,

bagaimanakah bentuk transformasi seni lukis wayang Kamasan pada era Postmodern

di Klungkung, Bali? dan Ketiga, bagaimanakah implikasi dari transformasi seni lukis

wayang Kamasan pada era postmodern di Klungkung, Bali? Teori yang digunakan

untuk menganalisis, adalah (1) teori praktik, (2) teori komodifikasi, dan (3) teori

Page 47: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/10271/3/505d88b693f9c3cda0b8fd4c36a4c9b...wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia

59

etetika postmodern. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan wawancara secara

mendalam, observasi di Desa Kamasan, studi kepustakaan dan dokumentasi.

Hasil analisis dan pembahasan penelitian tersebut, sebagai berikut. Pertama.

latar belakang terjadinya transformasi SLWK berimplikasi terjadi perubahan. Faktor

pendorong terjadinya perubahan, yaitu (1) motivasi ekonomi, (2) untuk menunjukan

identitas diri, (3) sebagai ajang berkreativitas melukis, (4) globalisasi; dan (5)

pariwisata. Kedua, bentuk-bentuk perubahan SLWK pada era postmodern, sudah

berubah dari sakral ke profan, dari idealisme tradisi ke idealisme pasar, dan dari

produsen ke konsumen. Perubahan transformasi yang terjadi pada SLWK, adalah (1)

perubahan produksi, (2) perubahan distribusi, dan (3) perubahan konsumsi. Ketiga,

implikasi dari transformasi SLWK dalam era postmodern di Desa Kamasan (1)

lunturnya nilai-nilai tradisi local, (2) peningkatan kesejahteraan, (3) terpasungnya

kebebasan melukis, (4) meluasnya distribusi dan konsumsi sosial, (5) munculnya

pelukis perempuan, dan (6) berkembangnya industri kreatif.