BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Anak Berkebutuhan Khusus...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Anak Berkebutuhan Khusus...
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Anak Berkebutuhan Khusus
1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang memiliki kekhususan
dibandingkan dengan anak normal lainnya. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
ini dianggap berbeda oleh masyarakat pada umumnya. ABK dapat dimaknai
dengan anak-anak yang tergolong cacat atau penyandang ketunaan ataupun juga
anak yang memiliki kecerdasan atau bakat istimewa (Mulyono, 2003:26).
Ilahi (2013:138) menjelaskan ABK sebagai berikut.
Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus
sementara atau permanen sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan yang
lebih intens. Kebutuhan mungkin disebabkan oleh kelainan atau memang bawaan
dari lahir atau karena masalah tekanan ekonomi, politik, sosial, emosi, dan
perilaku yang menyimpang. Disebut berkebutuhan khusus karena anak tersebut
memiliki kelainan dan keberbedaan dengan anak normal pada umumnya.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Ramadhan (2013:10) bahwa ABK adalah
mereka yang memiliki perbedaan dengan rata-rata anak seusianya atau anak-anak
pada umumnya. Perbedaan yang dialami ABK ini terjadi pada beberapa hal, yaitu
proses pertumbuhan dan perkembangnnya yang mengalami kelainan atau
penyimpangan baik secara fisik, mental, intelektual, sosial maupun emosional.
Sedangkan menurut penjelasan Suharlina dan Hidayat (2010:5) ABK merupakan
anak yang memerlukan penanganan khusus sehubungan dengan gangguan
perkembangan dan kelainan yang dialami anak.
9
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat dijelaskan bahwa ABK adalah
anak-anak yang memiliki kekhususan dan kebutuhan yang berbeda dengan anak
normal lainya. Kekhususan yang berbeda tersebut meliputi kekhususan fisik,
mental, intelektual, sosial ataupun emosional. Sehingga setiap kekhususan
tersebut membutuhkan penangan yang berbeda pula.
Secara umum rentangan anak berkebutuhan khusus meliputi dua kategori
yaitu anak yang memiliki kekhususan permanen dan temporer (Ilahi, 2013:139).
Anak berkebutuhan khusus yang memiliki kekhususan permanen yaitu akibat dari
kelainan tertentu seperti anak tunanetra. Sedangkan anak yang memiliki
kekhususan temporer yaitu mereka yang mengalami hambatan belajar dan
perkembangan karena kondisi dan situasi lingkungan misalnya anak yang
mengalami kedwibahasaan atau perbedaan bahasa yang digunakan dalam dan di
sekolah.
ABK seperti yang telah dijelaskan di atas memerlukan modifikasi dari
tugas, metode atau pelayanannya. Hal ini dikarenakan keadaan mereka yang
memiliki kekhususan dan berbeda dari anak lainnya. Untuk mengembangkan
potensinya maka diperlukan modifikasi tersebut. Meskipun berbeda mereka
mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan yang layak.
Setiap anak yang memiliki kekhusususan tentunya memiliki ciri yang berbeda
pula. Siswa memiliki kebutuhan untuk kepentingan belajarnya, oleh karena itu
penting untuk fleksibel dalam melakukan pembelajarannya sesuai dengan
kebutuhan khusus yang dimiliki anak berkebutuhan khusus.
10
2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
ABK sangatlah beragam, keberagaman tersebut dikarenakan ABK
memiliki kekhususannya masing-masing. Disebutkan melalui Peraturan
Pemerintah No. 17 tahun 2010 pasal 129 ayat (3) klasifikasi ABK adalah “ABK
terdiri dari: a) tunanetra; b) tunarungu; c) tunawicara; d) tunagrahita; e) tunadaksa;
f) tunalaras; g) berkesulitan belajar; h) lamban belajar; i) autis; j) memiliki
gangguan motorik; k) menjadi kerban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang,
dan zat adiktif lain; l) memiliki kelainan lain”. Maka dapat diketahui bahwa ABK
bukan hanya anak yang mengalami cacat fisik saja, anak yang memiliki
kelemahan pada intelektual dan sosialnya juga termasuk ABK.
Menurut Garnida (2015:3-4) ABK dikelompokkan menjadi sembilan
diantaranya, yaitu (1) Tunanetra, (2) Tunarungu, (3) Tunagrahita, (4) Tunadaksa,
(5) Tunalaras, (6) Anak gangguan belajar spesifik, (7) Lamban Belajar, (8) Cerdas
istimewa dan bakat istimewa, dan (9) Autis. Secara singkat klasifikasi ABK
menurut Garnida dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Tunanetra
Tunanetra adalah salah satu klasifikasi bagi anak yang memiliki kebutuhan
khusus dengan ciri adanya hambatan pada indra penglihatan (Pratiwi dan Afin,
2013:18). Sedangkan Garnida (2015:5) berpendapat bahwa anak tunanetra
merupakan anak yang memiliki gangguan penglihatannya sedemikian rupa,
sehingga dibutuhkan pelayanan khusus dalam pendidikan ataupun kehidupannya.
Berdasarkan penjelaskan di atas dapat diketahui bahwa anak tunanetra
adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa ketidak
mampuan melihat secara menyeluruh atau sebagian sehingga membutuhkan
11
layanan khusus dalam pendidikan maupun kehidupannya. Berdasarkan
kemampuan daya melihatnya, anak tunanetra diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Anak kurang awas (low vision)
Penyandang low vision masih mampu melakukan kegiatan yang berhubungan
dengan penglihatan. Namun penyandang low vision memiliki persepsi yang
berbeda.
2) Anak tunanetra total (totally blind)
Penyandang tunanetra blind atau buta total adalah tunanetra yang sama sekali
tidak memiliki persepsi visual.
b. Tunarungu
Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya
pendengarannya sehingga mengalami gangguan berkomunikasi secara verbal.
Anak tunarungu memilki gangguan pada pendengarannya sehingga tidak mampu
mendengarkan bunyi secara menyeluruh atau sebagian. Meskipun telah diberikan
alat bantu dengar, mereka tetap memerlukan layanan pendidikan khusus.
Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi,
ketunarunguan dibagi ke dalam empat kategori sebagai berikut:
1) Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment)
Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment) adalah kondisi seseorang
masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB. Seseorang dengan
ketunarunguan ringan sering tidak menyadari saat sedang diajak berbicara,
sehingga mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
12
2) Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment)
Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), dalam kondisi ini
seseorang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB dan
mengalami kesulitan dalam percakapan jika tidak memperhatikan wajah
pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi
dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
3) Ketunarunguan berat (severe hearing impairment)
Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi dimana
seseorang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB, seedikit
memahami percakapan pembicara meskipun sudah memperhatikan wajah
pembicara dan dengan suara keras, akan tetapi masih dapat terbantu dengan
alat bantu dengar.
4) Ketunarunguan berat sekali (profour hearing impairment)
Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment), yaitu kondisi
dimana seseorang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 atau
lebih keras. Tidak memungkinkan untuk mendengar percakapan normal,
sehingga sangat tergantung pada komunikasi visual.
c. Tunagrahita
Anak tunagrahita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan
keterbelakangan perkembangan mental-intelektual di bawah rata-rata, sehingga
mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Seseorang dikatakan
tunagrahita apabila memiliki tiga indikator, yaitu: (1) keterhambatan fungsi
kecerdasan secara umum atau di bawah rata-rata, (2) Ketidakmampuan dalam
perilaku sosial/adaptif, dan (3) Hambatan perilaku sosial/adaptif terjadi pada usia
13
perkembangan yaitu sampai dengan usia 18 tahun. Berdasarkan tingkat
kecerdasannya, anak tunagrahita dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
1) Tunagrahita ringan, yaitu seseorang yang memiliki IQ 55-70
2) Tunagrahita sedang, seseorang dengan IQ 40-55
3) Tunagrahita berat, seseorang yang memiliki IQ 25-40
4) Tunagrahita berat sekali, yaitu seseorang yang memiliki IQ < 25
d. Anak dengan gangguan perilaku (Tunalaras)
Anak tunalaras adalah anak yang berperilaku menyimpang baik pada taraf
sedang, berat dan sangat berat sebagai akibat terganggunya perkembangan emosi
dan sosial atau keduanya sehingga merugikan dirinya sendiri maupun lingkungan
(Direktorat PSLB dalam Gunahardi dan Esti, 2011). Sedangkan Kauffman dan
Hallahan (2006) dalam Pratiwi dan Afin (2013:58) berpendapat mengenai anak
tunalaras sebagai berikut.
Anak tunalaras dikatakan sebagai anak-anak yang sulit untuk diterima dalam
berhubungan secara pribadi maupun sosial karena memiliki perilaku ekstrem
yang sangat bertentangan dengan norma sekitar. Perilaku ini bias dating secara
tidak langsung dan disertai dengan gangguan emosi yang tidak menyenangkan
bagi orang-orang di sekitarnya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa anak tunalaras
merupakan anak yang berperilaku menyimpang baik pada taraf sedang, berat
maupun sangat berat. Keadaan tersebut seringkali terjadi pada usia anak-anak dan
remaja, sehingga akibatnya perkembangan emosi sosial ataupun keduanya akan
terganggu. Sehingga perlu adanya layanan khusus pengembangan potensi yang
dimiliki anak tunalaras. Berdasarkan kadar ketunalarasannya, Garinda
memenggolongkan anak tunalaras menjadi tiga, diantaranya: (1) tunalaras ringan,
(2) tunalaras sedang, (3) tunalaras berat.
14
e. Tunadaksa
Tunadaksa merupakan suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu
sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga
mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan ataupun untuk
berdiri sendiri (Rahman, 2014:170). Sedangkan menurut (Garnida, 2015:10)
tunadaksa didefinisikan sebagai bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot,
tulang, persendian dan saraf yang disebabkan oleh penyakit, virus dan kecelakaan
baik yang terjadi sebelum lahir, saat lahir dan sesudah kelahiran. Gangguan ini
mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilitas dan
gangguan perkembangan pribadi.
Rachmayana (2013) dalam Pratiwi dan Afin (2013:27) mendefinisikan
tunadaksa sebagai berikut.
Tunadaksa/cacat fisik adalah sebutan bagi orang yang mengalami kesulitan
mengoptimalkan fungsi anggota tubuhnya karena faktor bawaan sejak lahir.
Gangguan yang dialami menyerang kemampuan motorik mereka. Gangguan yang
terjadi mulai dari gangguan otot, tulang, sendi dan atau sistem saraf yang
mengakibatkan kurang optimalnya fungsi komunikasi, mobilitas, sosialisasi dan
perkembangan keutuhan pribadi.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
penyandang tunadaksa mengalami kesultan dalam mengoptimalkan fungsi
anggota tubuhnya. Hal tersebut dikarenakan adanya gangguan pada otot, tulang
maupun sitem saraf. Oleh karena itu maka penyandang tunadaksa perlu
mendapatkan pelayanan khusus untuk mengoptimalkan kemampuan yang
dimiliki. Adapun klasifikasi tunadaksa menurut Garnida (2015:3), yaitu (1) Anak
layu anggota gerak tubuh, dan (2) Anak dengan gangguan fungsi syaraf otak
(celebral palcy).
15
f. Anak Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa (CIBI)
Anak berbakat adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (inteligensi),
kreativitas, dan tanggungjawab di atas anak-anak normal seusianya, sehingga
untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata memerlukan pelayanan
khusus. Anak CIBI dibagi menjadi tiga golongan sesuai dengan tingkat
intelegensi dan kekhasan masing-masing, diantaranya (1) Superior, (2) Gifted
(Anak Berbakat), dan (3) Genius. (Pratiwi dan Afin, 2013:70)
g. Lamban belajar (slow learner)
Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi
intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam
beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon
rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding
dengan yang tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan yang normal,
mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat
menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik. Anak lamban belajar
memiliki kemampuan berpikir abstrak yang rendah dibandingkan dengan anak
pada umumnya. Dengan kondisi tersebut maka anak lamban belajar membutuhkan
pembelajaran khusus untuk meningkatkan potensi yang dimilikinya.
h. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik
Anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang secara nyata
mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus, terutama dalam hal
kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematika. Hal tersebut
disebabka karena faktor disfungsi neurologis, bukan disebabkan karena faktor
inteligensi. Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar
16
membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar
berhitung (diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak mengalami
kesulitan yang berarti.
i. Autisme
Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks, meliputi
gangguan komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imaginatif, yang mulai
tampak sebelum anak berusia tiga tahun, bahkan anak yang termasuk autisme
infantil gejalanya sudah muncul sejak lahir. Wing dalam Jenny Thompson
(2010:86) mendefinisikan autisme sebagai ganguan perkembangan yang
mengkombinasikan gangguan komunikasi sosial, gangguan interaksi sosial dan
angguan imajinasi sosial. Tanpa tiga gangguan di atas, seseorang tidak akan
didagnosis memiliki autisme. Gangguan-gangguan tersebut cenderung parah dan
menyebabkan kesulitan belajar pada anak.
Dapat dikatakan bahwa penyandang autisme mengalami gangguan yang
kompleks. Penyandang autisme mengalami kendala dalam komunikasi, sosialisasi
dan imajinasi. Sehingga hal tersebut dapat mengganggu mereka dalam mengikuti
kegiatan pembelajaran di sekolah, perlu adanya pelayanan khusus untuk anak
autisme yang tidak dapat disamakan dengan anak normal lainnya.
3. Karakteristik dan Kebutuhan Pembelajaran ABK
Anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik atau ciri khas.
Karakteristik tersebut merupakan implikasi dari kekhususan yang dimiliki
masih-masing. Karakteristik setiap jenis ABK juga berbeda-beda pula. Berikut
adalah karakteristik serta kebutuhan pembelajaran dari anak berkebutuhan khusus
menurut Garnida (2015:5):
17
a. Tunanetra
Anak dengan gangguan pengihatan adalah anak yang mengalami gangguan
daya penglihatan sedemikian rupa, sehingga membutuhkan layanan khusus dalam
pendidikan maupun kehidupannya. Layanan khusus dalam pendidikan bagi anak
tunanetra, yaitu dalam membaca, menulis, dan berhitung diperlukan huruf braille
bagi yang tunanetra total, dan bagi mereka yang masih memiliki sisa penglihatan
diperlukan kaca pembesar atau huruf cetak besar, media yang dapat diraba dan
didengar atau diperbesar. Selain itu diperlukan latihan orientasi dan mobilitas.
Untuk mengenali anak tunanetra dapat dilihat ciri-ciri sebagai berikut:
1) Tidak mampu melihat
2) Kurang melihat (kabur), tidak mampu mengenali pada jarak enam meter.
3) Kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya.
4) Sering meraba-raba dan tersandung waktu berjalan.
5) Bagian bola yang hitam berwarna keruh/bersisik kering
6) Peradangan hebat pada kedua bola mata
7) Mata selalu bergoyang
b. Tunarungu
Karena memiliki hambatan dalam pendengaran menyebabkan anak
tunarungu memiliki karakteristik yang khas, berbeda dengan anak normal lainnya.
Adapun ciri-ciri anak tunarungu sebagai berikut:
1) Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar.
2) Banyak perhatian terhadap getaran.
3) Terlambat dalam perkembangan bahasa.
4) Tidak ada reaksi terhadap bunyi dan suara.
18
5) Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi.
6) Kurang atau tidak tanggap dalam diajak bicara,
7) Ucapan kata tidak jelas, kualitas suara aneh/monoton.
Kebutuhan anak tunarungu secara umum tidak berbeda dengan anak pada
umumnya, tetapi mereka memerlukan perhatian dalam kegiatan pembelajaran,
anatara lain:
1) Tidak mengajak anak untuk berbicara dengan cara membelakanginya.
2) Anak hendaknya didudukkan paling depan, sehingga memiliki peluang untuk
mudah membaca bibir guru.
3) Perhatikan postur anak yang sering memiringkan kepala untuk
mendengarkan.
4) Dorong anak untuk selalu memperhatikan wajah guru, berbicara dengan anak
dengan posisi berhadapan dan bila memungkinkan kepala guru sejajar dengan
kepala anak.
5) Guru berbicara dengan suara biasa tetapi dengan gerakan bibirnya yang harus
jelas.
c. Tunadaksa
Karakteristik fisik anak tunadaksa biasanya selain mengalami cacat tubuh,
juga mengalami gangguan lain, seperti berkurangnya daya pendengaran,
penglihatan dan gangguan motorik lainnya. Ciri-ciri anak tunadaksa dapat
digambarkan sebagai berikut:
1) Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam.
2) Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil
dari biasa.
19
3) Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali,
bergetar).
4) Terdapat cacat pada anggota gerak.
5) Anggota gerak layu, kaku, lemah/lumpuh.
Sebelum memberikan pelayanan dan pembelajaran bagi anak tunadaksa
harus memperhatikan hal-hal berikut:
1) Segi kesehatan anak
Kelainan khusus seperti kencing manis atau pernah dioperasi, sakit sendi, dan
masalah lain seperti harus meminum obat dan sebagainya.
2) Kemampuan gerak dan mobilitas
Penggunaan transportasi untuk pergi ke sekolah, alat bantu gerak, dan
sebagainya. Hal ini berhubungan dengan lingkungan yang harus dipersiapkan.
3) Kemampuan komunikasi
Ada tidaknya kelainan dalam berkomunikasi, dan alat komunikasi yang
digunakan seperti lisan, tulisan, isyarat dan sebagainya.
4) Kemampuan dalam merawat diri
Mampu tidaknya melakukan perawatan diri dalam aktivitas sehari-hari.
Misalnya; dalam berpakaian, makan, mandi dan lain-lain.
5) Posisi
Posisi anak pada waktu menggunakan alat bantu, duduk pada saat menerima
pembelajaran, wakt istirahat, di kamar kecil (toilet), saat makan dan
sebagainya, sehingga physical therapis sangat diperlukan.
20
d. Berbakat
Anak cerdas dan berbakat istimewa atau disebut juga sebagai gifted and
talented children memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Membaca pada usia lebih muda, lebih cepat dan memiliki perbendaharaan
kata yang luas.
2) Memiliki rasa ingi tahu yang kuat, minat yang cukup tinggi.
3) Mempunyai inisiatif, kreatif dan original dalam emnunjukkan gagasan.
4) Mampu memberikan jawaban-jawaban atau alasan yang logis, sistematis dan
kritis.
5) Terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan.
6) Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu yang panjang, terutama terhadap
tugas atau bidang yang diminati.
7) Senang mencoba hal-hal baru.
8) Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi dan sintesis yang tinggi.
9) Mempunyai daya ingatan yang kuat.
10) Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan-pemecahan masalah.
11) Cepat menangkap hubungan sebab akibat.
12) Tidak cepat puas atas prestasi yang dicapai.
13) Dapat menguasai dengan cepat materi pelajaran.
Kebutuhan pembelajaran anak cerdas istimewa dan bakat istimewa adalah
sebagai berikut:
1) Program pengayaan horisontal, yaitu:
a) Mengembangkan kemampuan eksplorasi.
21
b) Mengembangkan pengayan dalam arti memperdalam dan memperluas hal-
hal yang ada di luar kurikulum biasa.
c) Executive intensive dalam arti memberikan kesempatan untuk mengikuti
programintensif bidang tertentu yang diminaati secara tuntas dan
mendalam dalam waktu tertentu.
2) Program pengayaan vertikal, yaitu:
a) Acceleration, percepatan/maju berkelanjutan dalam mengikuti program
yang seseuai dengan kemampuannya, dan jangan dibatasi oleh jumlah
waktu atau tingkatan kelas.
b) Independent study, membeeikan seluas-luasnya kepada anak untuk belajar
dan menjelajahi sendiri bidang yang diminati.
c) Mentorship, memadukan antara yang diminati anak cerdas dan berbakat
istimewa dengan para ahli yang ada di masyarakat.
e. Tunagrahita
Anak tunagrahita memiliki IQ (intelligence quotient) di bawah rata-rata
yaitu memiliki IQ ≤ 70. Sedangkan ciri-ciri fisik dan penampilan anak tunagrahita
sebagai berikut:
1) Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar.
2) Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia.
3) Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan.
4) Koordinasi gerakan kurang (gerakan serig tidak terkendali).
Kebutuhan pembelajaran anak tunagrahita, yaitu:
1) Perbedaan tunagrahita dengan anak normal dalam proses belajar adalah
terletak pada hambatan dan masalah atau karakteristik belajarnya.
22
2) Perbedaan karakteristik belajar anak tunagrahita dengan anak sebayanya
adalah anak tunagrahita mengalami masalah dalam hal, yaitu: (1) Tingkat
kemahirannya dalam memecahkan masalah; (2) Melakukan generalisasi dan
mentransfer sesuatu yang baru; dan (3) Minat dan perhatian terhadap
penyelesaian tugas.
f. Tunalaras
Tunalaras atau anak yang memiliki gangguan emosi dan perilaku memiliki
ciri-ciri, yaitu:
1) Cenderung membangkang.
2) Mudah terangsang emosinya/mudah marah.
3) Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu.
4) Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum.
5) Prestasi belajar dan motivasi belajar cenderung rendah, sering membolos atau
jarang masuk sekolah.
Kebutuhan pembelajaran anak tunalaras yang harus diperhatikan guru
antara lain adalah:
1) Perlu adanya penataan lingkungan yang kondusif (menyenangkan) bagi setiap
anak.
2) Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan hambatan dan masalah yang
dihadapi oleh setiap anak.
3) Adanya kegiatan yang bersifat kompensatoris sesuai dengan bakat minat
anak.
4) Perlu adanya pengembangan akhlak atau mental melalui kegiatan sehari-hari
dan contoh dari lingkungan fisik.
23
g. Lamban Belajar
Slow learner atau lamban belajar adalah anak yang memiliki prestasi
belajar rendah, skor tes IQ mereka berada di antara 70 dan 90. Kemampuan
belajarnya lebih lambat dibandingkan teman sebayanya. Kemampuan-kemampuan
lainnya yang terbatas dari anak lamban belajar, di antaranya adalah kemampuan
koordinasi seperti kesulitan menggunakan alat tulis, olah raga atau mengenakan
pakaian. Dari sisi perilaku anak lamban belajar cenderung pendiam dan pemalu,
sehingga mereka kesulitan untuk berteman. Ciri-ciri yang dapat diamati pada anak
lamban belajar, yaitu:
1) Rata-rata prestasi belajarnya rendah (kurang dari 6).
2) Menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan teman-
teman seusianya.
3) Daya tangkap terhadap pelajaran lambat.
4) Pernah tidak naik kelas.
Anak lamban belajar membutuhkan pembelajaran khusus, antara lain:
1) Waktu yang lebih lama dibanding anak pada umumnya.
2) Ketelatenan dan kesabaran guru utuk tidak terlalu cepat dalam memberikan
penjelasan.
3) Memperbanyak latihan dari pada hapalan dan pemahaman.
4) Menuntut digunakannya media pembelajaran yang variatif.
5) Diperlukan adanya pengajaran remidial.
h. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik
Anak berkesulitan belajar spesifik dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu
disleksia, disgrafia dan diskalkulia. Masing-masing memiliki ciri yang berbeda.
24
1) Ciri-ciri anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia), yaitu:
a) Kesulitan membedakan bentuk.
b) Kemampuan memahami isi bacaan rendah.
c) Sering melakukan kesalahan dalam membaca.
2) Ciri-ciri anak yang mengalami kesulitan menulis (disgrafia), yaitu:
a) Sangat lamban dalam menyalin tulisan.
b) Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan
5, 6 dengan 9, dan sebagainya.
c) Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.
d) Menulis huruf dengan posisi terbalik (p ditulis q atau b).
3) Ciri-ciri anak yang mengalami kesulitan berhitung (diskalkulia), yaitu:
a) Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =
b) Sulit mengoperasikan hitungan/bilangan.
c) Sering salah membilang secara berurutan.
d) Sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3
dengan 8, dan sebagainya.
e) Sulit membedakan bangun-bangun geometri.
i. Autis
Banyak sekali variasi gejala yang diperlihatkan oleh anak autis. Selain
gejalanya yang bervariasi, tingkat keparahan juga sangat bervariasi. Ciri-ciri anak
autis, yaitu:
1) Mengalami hambatan di dalam bahasa.
2) Kesulitan dalam mengenal dan merespon emosi dengan isyarat sosial.
3) Kekakuan dan miskin dalam mengekspresikan perasaan.
25
4) Kurang memiiki perasaan dan empati.
5) Sering berperilaku di luar kontrol dan meledak-ledak.
6) Secara menyeluruh mengalami maslah dalam perilaku.
7) Kurang memahami akan keberadaan dirinya sendiri.
8) Keterbatasan dalam mengekspresikan diri.
9) Beperilaku monoton dan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan
lingkungan.
Anak autis membutuhkan pembelajaran khusus antara lain sebagai berikut:
1) Diperlukan adanya pengembangan strategi untuk belajar dalam seting
kelompok.
2) Perlu menggunakan beberapa teknik, di dalam menghilangkan perilaku-
perilaku negatif yang muncul dan mengganggu kelangsungan proses belajar
secara keseluruhan (stereotip).
3) Guru perlu mengembangkan ekspresi dirinya secara verbal dengan berbagai
bantuan.
4) Guru terampil mengubah lingkungan belajar yang nyaman dan menyenagkan
sehingga tingkah laku anak dapat dikendalikan pada hal yang diharapkan.
Karakteristik yang berbeda pada setiap ABK membuat ABK perlu
mendapatkan pelayanan pembelajaran yang berbeda pula. Pelayanan tersebut
haruslah mengacu pada kekhususan yang dimiliki ABK. Dalam hal ini sekolah
inklusif tentunya dituntut untuk bekerja lebih keras dibandingkan sekolah pada
umumnya agar anak mampu terlayani dengan baik dan potensi yang dimiliki
mampu dikembangkan dengan baik. Lebih khususnya guru haruslah memiliki
kompetensi yang baik, karena gurulah yang lebih bertanggung jawab dalam
26
memberian pelayanan baik pelayanan pembelajaran di kelas reguler maupun di
kelas khusus.
B. Konsep Pendidikan Inklusif
1. Pengertian Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari suatu sistem
pendidikan. Pada sekolah inklusif semua anak diusahakan untuk dapat dilayani
secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi atau penyesuaian.
Direktorat Pembinaan SLB (2007) dalam Garnida (2015:48) menjelaskan bahwa
pendidikan inklusif merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan untuk anak-
anak yang memiliki keterbatasan tertentu dan anak-anak lainnya tanpa
menghiraukan keterbatasan masing-masing.
Alfian (2013:70) menyimpulkan pendidikan inklusif sebagai berikut.
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang mempersatukan layanan PLB dengan
pendidikan reguler dalam satu sistem pendidikan atau penempatan semua anak
luar biasa di sekolah biasa. Dengan pendidikan inklusif semua anak luar biasa
dapat bersekolah di sekolah terdekat dan sekolah yang menampung semua anak.
Dalam konsep pendidikan luar biasa, pendidikan inklusif diartikan sebagai
penggabungan penyelenggaraan pendidikan luar biasa dan pendidikan reguler
dalam satu sistem pendidikan yang dipersatukan.
Pendidikan inklusif tidak melihat dari sudut ketidakmampuannya,
kecacatannya, serta tidak pula dari segi penyebab kecacatannya, tetapi lebih pada
kebutuhan –kebutuhan khusus mereka (Purwanta, 2002:3). Kebutuhan mereka
jelas berbeda dari satu dengan yang lain. Inti dari pendidikan inklusif itu sendiri
yaitu sistem pemberian layanan pendidikan dalam keberagaman, serta menghargai
perbedaan semua anak (Kustawan, 2012:7). Semua anak tanpa terkecuali ABK
memperoleh pendidikan yang bermutu serta mendapatkan pelayanan yang sesuai
dengan kebutuhannya masing-masing.
27
Berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwa pendidikan inklusif
merupakan pendidikan yang menjadikan keberagaman menjadi satu kesatuan.
Semua anak terlepas dari mampu atau tidaknya, status sosial, ekonomi dan latar
belakang yang berbeda menjadi satu dalam ranah pendidikan dengan sekolah yang
sama. Pendidikan inklusif melihat suatu perbedaan adalah tantangan dan sangat
menghargai keberagaman tanpa melihatnya sebagai suatu masalah yang harus
dihindari.
2. Prinsip Pendidikan Inklusif
Prinsip pendidikan inklusif erat kaitannya dengan kesempatan ABK untuk
mendapatkan pendidikan tanpa memandang latar belakang dan perbedaan yang
ada. Farrell (2008) dalam Ilahi (2013:50) mengidentifikasi prinsip dasar dari
pendidikan inklusif adalah memberikan keterbukaan dan penghargaan setinggi-
tingginya kepada ABK.
Florian (2008:123) menyatakan pendapatnya mengenai prinsip pendidikan
inklusif sebagai berikut.
Prinsip pendidikan inklusif memang harus sejalan dengan Deklarasi Hak Asasi
Manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagai basis utama
dalam membela anak berkelainan jatau penyandang cacat. Ini dikarenakan
pendidikan inklusif lahir atas dasar prinsip bahwa layanan sekolah seharusnya
diperuntukkan utnuk semua siswa tanpa menghiraukan perbedaan yang ada, baik
siswa dengan kondisi berkebutuhan khusus, perbedaan sosial, emosional, kultural,
maupun Bahasa.
Alfian (2013:77) mengungkapakan ada dua prinsip pendidikan inklusif,
yaitu 1) Prinsip Persamaan Hak dalam Pendidikan, dan 2) Peningkatan Kualitas
Sekolah. Berikut penjelasan mengenai prinsip pendidikan inklusif menurut Alfian:
a. Prinsip Persamaan Hak dalam Pendidikan (Equality in Education)
Pendidikan inklusif mengakomodasi semua anak mendapatkan pendidikan.
Memperoleh pendidikan yang bermutu, menghargai keragaman, dan
mengakuiperbedaan individual. Setiap anak berhak untuk memasuki sekolah
yang terdekat dengan tempat tinggalnya; semua anak bisa belajar dan menghadapi
hambatan dalam belajar; semua anak membutuhkan dukungan dalam proses
belajar; dan pembelajaran memfokuskan pada kebutuhan setiap individu anak.
28
b. Peningkatan Kualitas Sekolah (School Improvement)
Konsep sekolah dan pendidikan bukan hanya terfokus pada sekolah formal,
namun institusi-institusi non formal lainnya; sebuah institusi pendidikan atau
sekolah merupakan institusi yang ramah dan responsif terhadap perubahan; selalu
berusaha untuk meningkatkan mutu dan kualitas sekolah baik dalam penyediaan
sarana dan prasarana, kemampuan guru dan yang paling mendasar adalah
merubah pandangan sekolah tentang kebutuhan anak, melakukan kerjasama
dengan institusi terkait sebagai rekan untuk meningkatkan kualitas sekolah, dan
mewujudkan sebuah sekolah yang ramah terhadap anak sehingga anak merasa
aman dan nyaman untuk belajar dan berinteraksi dengan teman sebayanya. Sistem
Sekolah Ramah Anak (SRA) menekankan pada pengajaran yang sesuai dengan
kebutuhan, kemampuan dan gaya belajar setiap anak; mengajar anak bagaimana
belajar kooperatif, aktif, dan demokratis. Isi materi yang terstruktur dengan
sumber daya yang berkualitas baik dan melindungi anak dari pelecehan dan
bahaya kekerasan. Dengan demikian pendidikan inklusif dapat meningkatkan
kualitas sekolah, baik dari segi layanan, materi, dan siswa, karena dapat
mengakomodasi kepentingan setiap siswa sesuai dengan kebutuhan masing-
masing.
Beberapa pendapat di atas menjelaskan mengenai prinsip pendidikan
inklusif sehingga dapat diketahui bahwa sebenarnya pendidikan inklusif berusaha
memberikan pelayanan pendidikan dengan mengakomodasi berbagai jenis
perbedaan dari siswa. Pendidikan inklusif memberikan kesempatan yang sama
kepada setiap anak untuk mendapatkan suatu layanan pendidikan yang
berkualitas.
3. Komponen Keberhasilan Pendidikan Inklusif
Keberhasilan pendidikan inklusif tidak serta merta terjadi begitu saja. Ada
komponen-komonen yang mendukug keberhasilan pendidikan inklusif tersebut.
Setiap komponen saling berkaitan serta menunjang keberhasilan keberhasilan
penyelengaraan dan keberhasilan belajar ABK. Komponen Keberhasilan
Pendidikan Inklusif menurut Ilahi (2013:167-189), yaitu:
a. Fleksibilitas Kurikulum
Kurikulum sebaiknya dikembangkan sesuai dengan karakteristik dan
tingkat kebutuhan anak dalam mengikuti proses pembelajarn. Kurikulum
sangatlah penting untuk menata arah dan tujuan kependidikan yang sesuai
29
kebutuhan siswa tanpa mengabaikan hak-hak anak. Kurikulum memberikan
gambaran tentang kegiatan belajar dalam suatu lembaga pendidikan. Kurikulum
pendidikan inklusif menggunakan kurikulum sekolah reuler yang dimodifikasi
dengan tahap perkembangan dan kebutuhan ABK. Pengembangan kurikulum
pendidikan khusus menurut Garnida (2015:83) harus berpedoman pada prinsip-
prinsip sebagai berikut.
1) Relevansi, terdapat dua relevansi, yaitu relevansi internal dan relevansi
eksternal. Internal berupa kebutuhan mengembangkan potensi anak dan
mengatasi hambatan anak, dan eksternal berupa kecakapan-kecakapan yang
dibutuhkan untuk hidup di masyarakat di masa kin dan masa yang akan
datang.Praktis dan Fungsional; 2) Praktis, maksudnya dapat dikerjakan oleh anak
dengan latihan, dan fungsional dapat digunakan untuk keterampilan di daerah
lingkungan keluarga, sebagai rekreasi, keterampilan masyarakat, dan
keterampilan bekerja; 3) Fleksibilitas, dalam implementasi, setiap pencapaian
kompetensi dasar dibutuhkan waktu belajar, metode dan evaluasi yang
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi; 4) Berorientasi pada siswa, setiap
penetapan kompetensi inti dan kompetensi dasar memerhatikan kebutuhan anak
akan kecakapan-kecakapan aktivitas kehidupan sehari-hari, dan pada
implementasi berdasarkan deskripsi kondisi anak yang telah dimiliki dalam setiap
aspek kecakapan; 5) Kontinuitas, bersambungan mulai kecakapan inti yang paling
dasar dari kehidupan awal anak sampai kemandirian dalam keluarga dan
masyarakat; 6) Integratif, mengintegrasikan berbagai substansi dasar membaca,
menulis, berhitung dan domain karakter, pengetahuan, sikap dan keterampilan ke
dalam penggunaan belajar aspek kecakapan aktivitas kehidupan sehari-hari; 7)
Program kompensatoris, misalnya hambatan yang ada pada anak tunagrahita
memerlukan program kompensatoris untuk mengatasi hambatan itu, sehingga
upaya yang dilakukan harus mendukung pencapaian kompetensi yang telah
ditetapkan; 8) Efektivitas dan efisien, semua penggunaan sumber daya pendukung
pembeajaran yang digunakan untuk mencapai kompetensi inti dan dasar
dilakukan secara efektif dan efisien. Ada beberapa komponen kurikulum yang
disesuaikan dengan ABK, berikut penjelasannya.
Ilahi (2013:172) menyebutkan ada lima komponen kurikulum yang
dimodifikasi agar sesuai kebutuhan anak. Komponen-komponen tesebut dapat
dijelaskan seperti di bawah ini.
1) Tujuan
Tujuan memegang peranan penting dalam mengarahkan semua kegiatan
pembelajaran. Tujuan kurikulum dimaksudkan utnuk perkembangan tuntutan,
30
kondisi, dan kebutuhan masyarakat dan didasari pemikiran yang sesuai
dengan nilai filosofis.
2) Materi atau Bahan Ajar
Materi untuk ABK yang memiliki intelegensi di atas normal dapat diperluas
dan diperdalam ataupun ditambah dengan materi baru. Sedangkan untuk
ABK yang memiliki intelegensi relatif normal materi dalam kurikulum
sekolah reguler dapat tetap digunakan atau tingkat kesulitannya diturunkan
sedikit. Begitu pula untuk ABK yang memiliki intelegensi di bawah normal,
materi dapat diturunkan ataupun dikurangi seperlunya, namun jika memang
perlu dapat dihilangkan.
3) Strategi Pembelajaran
Ketika guru menyusun bahan ajar, hendaknya guru memikirkan strategi
pembelajaran. Strategi pembelajaran ini digunakan guru dalam proses
pembelajaran. Sehingga strategi pembelajaran tersebut hendaknya memang
disesuaikan dengan kebutuhan anak.
4) Media Pembelajaran
Penggunaan media dalam proses pembelajaran memiliki fungsi yang sangat
berharga. Melalui penggunaan media, anak dilatih untuk melatih kepekaan
dan keterampilan anak secara optimal.
5) Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum dapat dijadikan umpan balik mengenai tujuan kurikulum,
apakah tujuan kurikulum sudah tercapai secara maksimal atau belum. Jika
ternyata belum tercapai, maka perlu untuk melakukan evalusi terhadap bahan
ajar yang telah diberikan utnuk mengetahui indikator keberhasilan siswa.
31
b. Tenaga Pendidik
Seorang guru memiliki peran yang sangat vital dalam mengatur segala
proses dan perencanaan pembelajaran hingga pada tahap evaluasi. Selain itu guru
berperan penting dalam menerapkan metode yang tepat agar poteni anak dapat
berkembang. Guru dituntut untuk memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan profesionalisme. Pendidik atau guru yang
terlibat di sekolah inklusif yaitu guru kelas/guru mata pelajaran dan guru
pembimbing khusus. Guru pembimbing khusus adalah guru yang mempunyai
latar belakang pendidikan khusus atau guru yang pernah mendapat pelatihan
tentang pendidikan khusus yang ditugaskan di sekolah inklusif (Garnida,
2015:86).
Ilahi (2013:180) menjelaskan lebih lanjut mengenai kompetensi yang
seharusnya dimiliki guru tersebut.
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran siswa
meliputi pemahaman siswa, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi
hasil belajar, dan pengembangan siswa untuk mengaktualisasi berbagai potensi
yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang
mantab, stabil, dewasa, arif, dan berwibaw, menjadi teladan bagi siswa, dan
berakhlak mulia. Kompetensi sosial adalah kemampuan siswa sebagai bagian dari
masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan siswa, dan
masyarakat sekitar. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan
materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan mampu
membimbing siswa memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar
Nasional Pendidikan.
Dengan demikian maka tugas dari seorang guru tidaklah mudah. Guru
memiliki tanggung jawab terhadap siswanya. Ditambah lagi dengan tanggung
jawabnya untuk memberikan pelayan yang sesuai dengan kebutuhan ABK. Selain
itu guru merupakan penentu arah dan tujuan dari suatu proses pembelajaran.
32
c. Input Siswa
Siswa atau siswa menjadi komponen penting dalam pelaksanaan
pendidikan inklusif. Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif
memiliki siswa yang berbeda dengan sekolah reguler pada umumnya karena
adanya siswa ABK. Apabila ditinjau dari segi kecerdasannya, siswa yang
memebutuhkan pendidikan khusus dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kecerdasan
di bawah normal, kecerdasan normal, dan kecerdasan di atas normal (Direktorat
PLB dalam Ilahi, 2013:183)
Menurut Garnida (2015:82) perlu adanya upaya untuk mencermati lebih
jauh tentang latar belakang, potensi dan kondisi khusus pada siswa. Maka sekolah
perlu mengadakan asesmen. Ada dua jenis asesmen yang bisa dilakukan, yaitu:
1) Asesmen fungsional, digunakan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan
dan hambatan yang dialami anak dalam melakukan aktivitas tertentu.
Asesmen ini dapat dilakukan oeh guru dan atau guru pembimbing khusus di
sekolah.
2) Asesmen klinis, dilakukan oleh tenaga profesional sesuai dengan
kebutuhannya.
Sebelum melakukan asesmen, ada hal yang perlu dilakukan untuk
mengetahui apakah anak termasuk ABK atau bukan. Hal tersebut adalah
identifikasi. Gunawan (2013:19) mengemukakan bahwa:
Identifikasi ABK dimaksudkan sebagai usaha seseorang (orang tua, guru, maupun
tenaga kependidikan lainnya) untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami
kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris
neurologis) dalam pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-
anak lain seusianya (anak-anak normal).
Kegiatan identifikasi ini merupakan kegiatan yang sederhana yang dan
bertujuan untuk mengetahui apakah seorang anak termasuk ABK atau tidak. Hasil
33
identifikasi ini belum mengetahui secara pasti kekhususan apa yang ada pada
anak. Sehingga perlu adanya tindak lanjut setelah identifikasi yaitu asesmen
tersebut, yang kemudian hasil dari asesmen tersbut dapat dijadikan dasar untuk
menyusun program pembelajaran individual.
d. Lingkungan dan Penyelenggara Sekolah Inklusif
Ada banyak faktor pendukung pendidikan inklusif yang berasal dari
lingkungan diantaranya, yaitu peran orang tua, sekolah dan pemerintah. Bebrapa
komponene terkait tersebut sangat menentukan keberhasilan ABK dalam
menjalankan aktivitas pembelajaran sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai
(Ilahi, 2013:185).
Orang tua berperan dalam memberikan motivasi kepada anak, selain itu
orang tua juga dituntut untuk dapar berpatisipasi aktif dalam pembuatan rencana
pembelajaran. Pemerintah juga berperan penting dalam menentkan pelaksanaan
pendidikan inklusif, yaitu dalam merumuskan kebijakan-kebijakan internal
sekolah, meningkatkan kualitas tenaga kependidikan melaui berbagai pelatihan,
memberikan subsidi berupa anggaran khusus, dan lain-lan. Sedangkan sekolah
diharapkan dapat memberikan pelayanan khusus sesuai dengan kebutuhan anak,
pengadaan guru khusus, pembelajaran yang sesuai dengan memperhatikan
kekhasan individu.
e. Sarana dan Prasarana
Sebagaimana layaknya sekolah umum, sekolah inklusif memiliki sarana
dan prasarana yang sama dengan sekolah lainnya, misalnya ruang kelas, guru dan
ruang kepala sekolah, ruang tata usaha, laboratorium, perpustakaan, ruang
bimbingan konseling, UKS, tempat ibadah, lapangan, dan lain-lain. Di sekolah
34
inklusif terdapat prasarana khusus yang berupa ruangan khusus bagi pembinaan
anak berkebutuhan khusus. Semestinya kebradaan ruangan khusus ini adalah yang
membedakan antara sekoalh umum dengan sekolah inklusif. Ruangan khusus ini
adalah ruangan yang diperuntukkan bagi pembinaan anak berkebutuhan khusus
(Garnida, 2015:89).
C. Konsep Pembelajaran ABK di Sekolah Inklusif
a. Proses Pembelajaran di Sekolah Inklusif
Pembelajaran adalah kegiatan terencana yang dilakukan untuk
mengkondisikan atau merangsang seseorang agar dapat belajar dan mencapai
tujuan dari pembelajaran tersebut. Kegiatan pelaksanaan pembelajaran merupakan
inti dari pelaksanaan kurikulum, tak terkecuali pembelajaran di sekolah inklusif.
Pelaksanaan pembelajaran merupakan bagian dari proses pembelajaran. Oleh
karena itu pelaksanaan kegiatan pembelajaran harus dirancang dengan baik,
disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing anak. Garnida
(2015:84) menyatakan pendapatnya mengenai proses pembelajaran di sekolah
inklusif sebagai berikut.
Pelaksanaan kegiatan pembelajaran harus dirancang dengan baik, disesuaikan
dengan kemampuan dan kebutuhan setiap individu siswa dan didukung oleh
kompetensi guru, media, sumber dan strategi pebelajaran yang memadai, sesuai
dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Proses pembelajaran pada sekolah
inklusif tidak berbeda dengan proses pembelajaran pada sekolah-sekolah lainnya.
Proses pembelajaran meliputi perencanaan, pelaksanaan dan penilaian hasil
belajar.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya
proses pembelajaran inklusif juga sama dengan pembelajaran yang terjadi seperti
di sekolah regular pada umumnya. Proses pembelajaran inklusif bagi anak
berkebutuhan khusus tersebut terdiri atas proses yang dimulai dari perencanaan,
35
pelaksanaan, dan penilaian untuk mencapai tujuan pendidikan yang efektif dan
efisien. Berikut adalah proses pelaksanaan pembelajaran di sekolah inklusif:
a. Perencanaan Pembelajaran
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam perencanaan pembelajaran ABK di
sekolah inklusif telah dijelaskan oleh Direktorat PSLB dan disebutkan kembali
oleh Garinda (2015:122-123) sebagai berikut, “1) Merencanakan pengelolaan
kelas; 2) Merencanakan pengorganisasian bahan; 3) Merencanakan strategi
pendekatan kegiatan belajar mengajar; 4) Merencanakan prosedur kegiatan belajar
mengajar; 5) Merencanakan penggunaan sumber dan media belajar; 6)
Merencanakan penilaian”.
Komponen yang terdapat pada perecanaan pembelajaran adalah Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Program Pembelajaran Individual. Berikut
penjelasannya:
1) Rencana Pelakasanaan Pembelajaran Modifikasi.
Wulan dalam Erhaerista (2014:18) mengemukakan bahwa kurikulum
reguler dengan modifikasi, merupakan yang dimodifikasi oleh pendidik pada
strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan lainnya
dengan tetap mengacu pada kebutuhan siswa berkebutuhan khusus. Di dalam
model ini bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus yang memiliki PPI. Pada
sekolah inklusif RPP yang digunakan untuk ABK haruslah dimodifikasi
disesuaiakan dengan tingkat perkembangan belajar siswa.
Komponen RPP (Amri dalam Tyas, 2015:19 50) yaitu: (a) Identitas mata
pelajaran; (b) Alokasi waktu; (c) Kompetensi Inti; (d) Kompetensi dasar; (e)
Indikator; (f) Tujuan pembelajaran; (g) Materi ajar; (h) Metode pembelajaran; (i)
36
Kegiatan pembelajaran yang meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan
kegiatan penutup; (j) Sumber belajar dan media pembelajaran; dan (k) Penilaian
hasil belajar.
2) Program Pembelajaran Individual (PPI)
Program Pembelajaran Individual (PPI) disusun oleh pihak-pihak yang
terkait dalam proses pembelajaran. Pihak-pihak tersebut diantaranya yaitu kepala
sekolah, guru kelas atau guru mata pelajaran, guru pembimbing khusus, psikolog
atau psikiatris,orang tua, dan pihak-pihak lain yang menunjang program belajar
mengajar. Garnida (2013:111) mengungkapkan bahwa PPI di lakukan di awal
semester dan dievaluasi pada saat program berakhir, waktu evaluasi disesuaikan
dengan kebutuhan siswa, sehingga dapat dilakukan setiap satu bulan sekali atau
tiga bulan sekali. PPI ini bersifat fleksibel dengan memperhatikan tingkat
perkembangan dan kebutuhan setiap siswa. Sehingga PPI ini akan berbeda setiap
individunya. Berikut adalah komponen utama yang ada pada PPI menurut Delphie
(2007:6):
a) Tingkat kemampuan atau prestasi (performance level), yang diketahui setelah
dilakukan asesmen melalui pengamatan dan tes-tes tertentu. Melalui informasi
berkaitan dengan tingkat kemampuan atau prestasi, maka diharapkan para
guru kelas dapat mengetahui secara pasti kebutuhan pembelajaran yang sesuai
untuk siswa yang bersangkutan.
b) Sasaran program tahunan (annual goals). Komponen ini merupakan kunci
komponen pembelajaran karena dapat memperkirakan program jangka-
panjang selama kegiatan sekolah, dan dapat dipecah-pecah menjadi beberapa
sasaran antara (terminal goals) yang dituangkan ke dalam program semester.
37
c) Sasaran jangka-pendek atau Short-Term Objective. Sasaran jangka-pendek ini
bersifat sasaran antara yang diterapkan setiap semester dalam tahun yang
berjalan.
b. Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan karakteristik belajar
siswa. Pelaksanaan pembelajaran ini merupakan transfer ilmu yang dilakukan
guru dengan mengacu pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ataupun
PPI yang telah disusun sebelumnya. Kegiatan pembelajaran inklusif akan berbeda,
baik dalam kegiatan, media maupun metode. Pada kelas reguler bahan belajar
untuk ABK dengan siswa reguler tidak berbeda secara signifikan, namun lain
halnya dengan pembelajaran di kelas khusus (Garnida, 2015:122). Berikut ini
pelaksanakan kegiatan pembelajaran:
1) Berkomunikasi dengan siswa
2) Mengimplementasikan metode, sumber belajar dan bahan latihan yang sesuai
dengan tujuan pembelajaran.
3) Mendorong siswa untuk terlibat secara aktif.
4) Mendemonstrasikan penguasaan materi dan relevansinya dalam kehidupan.
5) Mengelola waktu, ruang, bahan dan perlengkapan pengajaran.
6) Mengelola pembelajaran kelompok yang kooperatif.
7) Melakukan evaluasi
c. Penilaian
Penilaian dilakukan untuk memperoeh informasi atau data yang tepat
mengenai kinerja atau prestasi siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran.
Hasil penilaian yang diperoleh digunakan sebagai bahan evaluasi terhadap
38
ketuntasan belajar siswa. Hasil penilaian juga digunakan untuk mengetahui
efektivitas proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru sebagai umpan balik
atas rencana pembelajaran yang telah disusun. (Kustawan, 2013:82)
Data yang diperoleh dari penilaian tersebut dapat digunakan guru dan
sekolah untuk menilai apakah siswa tersebut mampu naik kelas ataupun
menentukan kelulusan siswa dari sekolah. Dari data yang didapatkan tersebut guru
mampu menganalisis apakah strategi yang digunakan memberikan makna untuk
siswa atau tidak. Jika dirasa kurang memberikan makna maka sebaiknya guru
berinovasi lebih untuk menciptakan pembelajaran yang sesuai.
Adapun teknik penilaian yang digunakan SD penyelenggara inklusif
menurut Kustawan (2013:86-88) adalah sebagai berikut:
1) Tes tertulis, teknik penilaian yang menuntut jawaban secara tertulis, baik
berupa tes objektif maupun uraian.
2) Observasi, teknik penilaian yang dilakukan dengan cara mencatat hasil
pengamatan terhadap objek tertentu.
3) Tes kinerja, teknik penilaian yang menuntut siswa mendemonstrasikan
kemahirannya dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
4) Penugasan, suatu teknik penilaian yang menuntut siswa menyelesaikan tugas
di luar kegiatan pembelajaran di kelas atau di laboratorium. Penugasan dapat
diberikan dapat berupa tgas rumah ataupun projek.
5) Tes lisan, dilaksanakan melalui komunikasi langsung tatap muka antara siswa
dengan seorang guru.
6) Penilaian portofolio, penilaian yang dilakukan dengan caara menilai hasil
karya siswa.
39
7) Jurnal, merupakan catatan pendidik selama proses pembelajaran yang berisi
informasi kekuatan dan kelemahan siswa yang terkait dengan aspek kognitif,
afektif dan psikomotor yang dipaparkan secaara deskriptif.
8) Inventori, skala psikologis yang dipakai untuk mengungkapkan sikap, minat,
emosi, motiivasi, hubungan antar pribadi dan persepsi siswa terhadap suatu
objek psikologis yang dapat dilakukan melalui wawancara dan pemberian
angket.
9) Penilaian diri, merupakan teknik penilaian dengan cara meminta siswa untuk
mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya dalam berbagai hal.b
10) Penilaian antar teman, merupakan teknik penilaian dengan cara meminta siswa
untuk mengemukakan kekurangan dan kelebihan temannya dalam hal tertentu.
2. Prinsip Pembelajaran Inklusif
Pembelajaran pada pendidikan inklusif haruslah mempertimbangkan
prinsip-prinsip pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik belajar siswa.
Seperti yang dijelaskan oleh Direktorat PLB (2004) dalam Rahman (2014:170).
Terdapat delapan prinsip umum pembelajaran pada kelas inklusif, yaitu a) prinsip
motivasi; b) prinsip latar/konteks; c) prinsip keterarahan; d) prinsip hubungan
sosial; e) prinsip belajar sambil bekerja; f) prinsip individualisasi; g) prinsip
menemukan; dan h) prinsip pemecahan masalah.
Tercantum pula pada Permendiknas No 70 tahun 2009 bahwa dalam
kegiatan pembelajaran pada sekolah inklusif terdapat prinsip-prinsip umum yang
harus diterapkan guru dalam pembelajaran.
40
a. Prinsip motivasi, guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa
agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti
kegiatan belajar mengajar.
b. Prinsip latar/konteks, guru perlu mengenal siswa secara mendalam,
menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan
sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan
materi pembelajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi siswa.
c. Prinsip keterarahan, setiap akan melakukan kegiatan pembelajar guru harus
merumuskan tujuan secara jelas, menyiapkan bahan dan alat yang sesuai,
serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat.
d. Prinsip hubungan sosial, dalam kegiatan belajar mengajar, guru perlu
mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan
interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa
dan lingkungan serta interaksi banyak arah.
e. Prinsip belajar sambil bekerja, dalam kegiatan pembelajaran guru harus
banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan praktik atau
percobaan, atau menemukan sesuatu melalui pengamatan, penelitian dan
sebagainya.
f. Prinsip individulisasi, guru perlu mengenal kemampuan awal dan
karakteristik setiap anak secara mendalam, baik tingkat kemapuan dalam
menyerap materi pembelajaran, kecepatan dalam belajar, serta perilaku
penting lainnya, sehingga kegiatan pembelajaran masing-masing siswa
mendapatkan perhatian dan perlakuan yang sesuai
41
g. Prinsip menemukan, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang
mampu memncing siswa untuk terlibat secara aktif, baik fisik,mental, sosial,
dan emosional.
h. Prinsip pemecahan masalah, guru hendaknya sering mengajukan berbagai
persoalan atau problem yang ada di lingkungan sekitar, dan anak dilatih untuk
merumuskan, mencari data,menganalisis dan memecahkannya sesuai dengan
kemampuannya.
D. Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian pertama yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian
yang dilakukan oleh Rindi Lelly Anggraini (2014) dengan judul “Proses
Pembelajaran Inklusif untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Kelas V SD
Negeri Giwangan Yogyakarta”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses
pembelajaran inklusif di kelas V-A dilaksanakan dalam kelas penuh, siswa ABK
disatukan dengan siswa normal lainnya di bawah pengawasan guru kelas atau
guru mata pelajaran dan guru pendamping khusus. Proses pendampingan
pembelajaran yang dilakukan guru pendamping khusus menggunakan model
pembelajaran individual.
Persamaan dari penelitian yang dilakukan oleh Rindi Lelly Anggraini
(2014) dengan penelitian ini adalah pendekatan dan jenis penelitian yang sama
yaitu kualitatif deskriptif, selain itu juga sama-sama mengkaji tentang proses
pembelajaran yang dilakukan untuk anak berkebutuhan khusus. Sedangkan
perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan Rindi Lelly Anggraini hanya
menggunakan ABK di kelas lima yang menjadi subjek penelitian, sedangkan
42
penelitian ini melibatkan ABK kelas bawah yaitu dari kelas 2 hingga kelas 3.
Fokus penelitian yang dilakukan Rindi Lelly Anggraini juga hanya pada
pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas, sedangkan penelitian ini berfokus pada
keseluruhan proses pembelajaran mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan
penilaian atau evaluasi.
Penelitian kedua yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Nur Diana Kholidah Erhaerista (2014) dengan judul “Pelaksanaan
Manajemen Proses Pembelajaran Sekolah Inklusif di SDN 2 Semambung
Kabupaten Situbondo Tahun Ajaran 2013-2014”. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa Pelaksanaan Manajemen sekolah inklusif di SDN 2
Semambung meliputi perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengawasan.
Perencanaan yang dirancang sekolah diantaranya adalah renaca pengunaan model
kelas inklusif, RPP, dan PPI. Perbedaan karakteristik yang dimiliki ABK
membuat pihak sekolah menggunakan pengorganisasian kelas dengan 2 model
yaitu kelas reguler dengan pull out dan kelas khusus penuh. Penggunaan 2 model
kelas tersebut menuntut penyesuaian dalam pembelajaran mulai dariperencanaan
acuan pembelajaran yang digunakan, penerapan prinsip pembelajaran khusus,
sampai pada evaluasi pembelajaran. Keterlaksanaan proses tersebut memerlukan
monitoring dan evalusi yang rutin dari kepala sekolah.
Persamaan penelitian yang dilakukan Nur Diana Kholidah Erhaerista
(2014) dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan sekolah inklusif
untuk tempat penelitian, selain itu subjek dari kedua penelitian juga sama yaitu
siswa ABK. Namun yang menjadi perbedaaanya adalah subjek pada penelitian
Nur Diana Kholidah Erhaerista (2014) adalah siswa ABK kelas 1, kelas 5 dan
43
kelas khusus dan penelitian yang dilakukan mengenai manajemen pembelajaran di
sekolah inklusif yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan
pengawasan. Sedangkan subjek penelitian ini pada ABK kelas bawah dan
penelitian ini mengenai proses pembelajaran yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan dan penilaian.
44
E. Kerangka Pikir
Gambar 2.1. Kerangka Pikir
Proses Pembelajaran ABK
Proses pembelajaran mencakup perencanaan pembelajaran,
pelaksanaan pembelajaran dan penilaian pembelajaran.
Proses pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan ABK
Riset Pendahuluan:
Tidak adanya guru pembimbing khusus yang memiliki latar belakang
Pendidikan Luar Biasa (PLB), guru belum siap untuk memberikan
pelayanan khusus untuk ABK. Sehingga sering kali para guru
mengalami kesulitan jika dihadapkan dengan ABK.
Proses
pembelajaran
ABK
Kendala yang
dihadapi dalam
proses pembelajaran
ABK
Upaya mengatasi
kendala dalam
proses
pembelajaran ABK
Teknik Pengumpulan Data:
1. Observasi
2. Wawancara
3. Dokumentasi
Analisis Data:
1. Reduksi data
2. Proses penyajian data
3. Penarikan kesimpulan dan
verifikasi data
Hasil Penelitian mengenai deskripsi
Proses Pembelajaran ABK di SD
Muhammadiyah 4 Batu