BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori -...

14
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Teori Belajar Belajar merupakan proses penting bagi perubahan perilaku manusia dan ia mencakup segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan. Belajar memegang peranan penting di dalam perkembangan, kebiasaan, sikap, keyakinan, tujuan, kepribadian, dan bahkan persepsi manusia. Oleh karena itu, dengan menguasai prinsip-prinsip dasar tentang belajar, seseorang mampu memahami bahwa aktifitas belajar itu memegang peranan penting dalam proses psikologis. Sudjana (2005: 28) menyatakan bahwa belajar bukan menghafal dan pula mengingat. Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. 2.1.2 Pembelajaran Matematika Belajar matematika merupakan kegiatan mental yang tinggi. Hal ini disebabkan karena matematika berkaitan dengan ide-ide abstrak yang diberi simbol-simbol yang tersusun secara hierarkis dan penalaranya secara diduktif. Matematika dipelajari secara bertahap, berurutan serta mendasarkan pada pengalaman yang sudah dimiliki. Proses belajarnyapun akan lancar apabila belajar dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Menurut Gatot Muhsetyo (2008:1.26) yang dimaksud dengan pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari.

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori -...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1353/3/T1_262010703_BAB II.pdf2.1.3.1 Pendekatan mekanistik yang lebih memusatkan

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Teori Belajar

Belajar merupakan proses penting bagi perubahan perilaku manusia dan ia

mencakup segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan. Belajar memegang

peranan penting di dalam perkembangan, kebiasaan, sikap, keyakinan, tujuan,

kepribadian, dan bahkan persepsi manusia. Oleh karena itu, dengan menguasai

prinsip-prinsip dasar tentang belajar, seseorang mampu memahami bahwa

aktifitas belajar itu memegang peranan penting dalam proses psikologis.

Sudjana (2005: 28) menyatakan bahwa belajar bukan menghafal dan pula

mengingat. Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan

pada diri seseorang.

2.1.2 Pembelajaran Matematika

Belajar matematika merupakan kegiatan mental yang tinggi. Hal ini

disebabkan karena matematika berkaitan dengan ide-ide abstrak yang diberi

simbol-simbol yang tersusun secara hierarkis dan penalaranya secara diduktif.

Matematika dipelajari secara bertahap, berurutan serta mendasarkan pada

pengalaman yang sudah dimiliki. Proses belajarnyapun akan lancar apabila belajar

dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Menurut Gatot Muhsetyo

(2008:1.26) yang dimaksud dengan pembelajaran matematika adalah proses

pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan

yang peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang

dipelajari.

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1353/3/T1_262010703_BAB II.pdf2.1.3.1 Pendekatan mekanistik yang lebih memusatkan

7

2.1.3 Pendekatan Pembelajaran Matematika

Pendekatan pembelajaran adalah suatu jalan atau cara atau kebijakan yang

ditempuh guru atau peserta didik dalam mencapai tujuan dilihat dari sudut proses

atau materi pembelajaran itu, umum atau khusus dikelola ( Roosefendi dalam

Fauzi 2002: 13 ).

Soedjadi ( 1999 : 102 ), mengklasifikasikan pendekatan matematika menjadi

dua yaitu : (1) Pendekatan materi ( Material approach ), yaitu proses penjelasan

matematika tertentu menggunakan matematika lain. (2). Pendekatan pembelajaran

( Teaching approach ), yaitu proses penyampaian atau penyajian topik

matematika tertentu agar mempermudah peserta didik memahaminya.

Depdiknas (2003) menekankan bahwa dalam mengelola pembelajaran

matematika, siswa dikondisikan untuk menemukan kembali rumus, konsep, atau

prinsip dalam matematika melalui bimbingan guru. Ditegaskan bahwa belajar

akan bermakna bagi siswa apabila mereka aktif dengan berbagai cara untuk

mengonstruksi atau membangun sendiri pengetahuannya. Soedjadi (2003)

menyatakan, guru hendaknya jangan punya anggapan bahwa siswa harus selalu

diberi tahu, tetapi harus mulai percaya bahwa siswa pun memiliki kemampuan-

kemampuan yang dapat muncul dari dirinya sendiri. Selanjutnya dikatakan bahwa

guru perlu memberi waktu “cukup” kepada siswa untuk mencoba berpikir sendiri,

menemukan sendiri dan berani mengungkapkan pendapat sendiri. Menurut Slavin

(1997), salah satu prinsip yang paling penting dari psikologi pendidikan adalah

guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa.

Siswa harus membangun pengetahuan di dalam pikiran mereka sendiri. Guru

dapat memudahkan proses ini, dengan cara-cara mengajar yang membuat

informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa.

Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan suatu bentuk kegiatan

pembelajaran yang mengutamakan keterlibatan siswa untuk membangun

pengetahuan matematikanya dengan caranya sendiri. Dalam kegiatan tersebut

guru berperan sebagai fasilitator dan mediator. Sebagai fasilitator, guru

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1353/3/T1_262010703_BAB II.pdf2.1.3.1 Pendekatan mekanistik yang lebih memusatkan

8

menyediakan berbagai sarana pembelajaran yang memudahkan siswa membangun

pengetahuan matematikanya sendiri. Sebagai mediator, guru menjadi perantara

dalam interaksi antar siswa atau antara siswa dengan ide matematika dan

menghindari pemberian pendapatnya sendiri ketika siswa sedang mengemukakan

pendapat.

Menurut Yuwono ( 2001:4 ), dalam proses matematisasi horisontal, dengan

pengetahuan atau pengalaman yang dimilikinya, peserta didik dapat

mengorganisasikan dan memecahkan masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan kata lain matematika horisontal bergerak dari dunia nyata ke dunia

simbol. Proses ini meliputi proses informasi yang dilakukan peserta didik dalam

menyelesaikan soal. Contohnya adalah proses yang dilalui peserta didik untuk

membuat model, membuat skema dan menemukan hubungan-hubungan.

Sedangkan proses matematisasi vertikal merupakan proses pengorganisasian

kembali dengan menggunakan matematika. Matematisasi vertikal bergerak dari

dunia simbol ke dunia nyata. Proses ini antara lain meliputi : proses yang

menyatakan suatu hubungan dengan suatu formula ( rumus ), membuat berbagai

model, merumuskan proses atau prinsip dan melakukan generalisasi.

Menurut Yuwono ( 2001:4 ), dari uraian di atas perbedaan keempat

pendekatan pembelajaran matematika berdasarkan intensitas pematematikaannya

dapat dijelaskan sebagai berikut.

2.1.3.1 Pendekatan mekanistik yang lebih memusatkan pada tubian (driil)

dan hafalan, sedang proses pematematikaannya tidak nampak.

2.1.3.2 Pendekatan srukturalistik lebih menekankan pada pematematikaan

vertikal dan mengabaikan pematematikaan horisontal.

2.1.3.3 Pendekatan empiristik, lebih menekankan pada pematematikaan

horisontal dan mengabaikan pematematikaan vertikal.

2.1.3.4 Pendekatan realistik, memberikan perhatian yang seimbang antara

pematematikaan vertikal dengan menyampaikan secara terpadu.

Berdasarkan berbagai pendapat yang telah diuraikan di atas, dalam penelitian

ini akan digunakan pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual.

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1353/3/T1_262010703_BAB II.pdf2.1.3.1 Pendekatan mekanistik yang lebih memusatkan

9

2.1.4 Pengertian Pendekatan Kontekstual

Menurut Hamidi ( 2001 ) pendekatan kontekstual atau Contectual Teaching

and Learning adalah proses pembelajaran yang merangkum contoh yang

diterbitkan dari pengalaman harian dalam kehidupan pribadi masyarakat serta

profesion dan menyajikan aplikasi hands-on yang konkrit ( nyata ) tentang bahan

yang akan dipelajarai.

Sedangkan menurut Jonhson ( 2002 ) CTL adalah sebuah proses

pendidikan yang bertujuan menolong siswa untuk melihat makna yang terkandung

dalam materi akademik yang sedang mereka pelajarai dengan menghubungkan

subjek akademik sengan kontek kehidupan sehari-hari melalui konteks keadaan

pribadi, sosial, dan budaya.

CTL menurut Nurhadi ( 2003 ) adalah konsep belajar yang mendorong

guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia

nyata siswa. Dan juga mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan

yang dimilikinya dan pengetahuanya yang dimiliki sendiri-sendiri. Siswa

memperoleh pengetahuan dan keterampilan dan mengkonstruksi sendiri ketika

mereka belajar.

Dari beberapa pendapat di atas , ada beberapa perbedaan namun pada

dasarnya pendekatan Contectual Teaching and Learning ( CTL ) merupakan

pendekatan pembelajaran dengan konsep pembelajaran yang disesuaikan dengan

kondisi siswa. Dalam pembelajaran ini siswa mengalami sendiri, sedangkan guru

hanya sebagai vasilitator dan motivator, sehingga peneliti tertarik untuk

melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan Contektual Teaching end

Learning ( CTL ).

2.1.5 Dasar Teori Model Pembelajaran Kontekstual

Menurut Jonhson (2004) ada tiga pilar dalam sistim CTL, yaitu :

2.1.5.1 CTL mencerminkan prinsip kesaling-bergantungan. Kesaling-

bergantungan mewujudkan diri, misalnya para siswa bergabung untuk

memecahkan masalah dan ketika para guru mengadakan pertemuan

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1353/3/T1_262010703_BAB II.pdf2.1.3.1 Pendekatan mekanistik yang lebih memusatkan

10

dengan rekannya. Hal ini tampak jelas ketika subjek yang berbeda

dihubungkan, dan ketika kemitraan menggabungkan sekolah dengan

dunia bisnis dan komunitas.

2.1.5.2 CTL mencerminkan prinsip difensiasi. Difensiasi menjadi nyata

ketika CTL menantang para siswa untuk saling menghormati

keunikan masing-masing, untuk menjadi kreatif, untuk bekerja sama,

intuk menghasilkan gagasan dan hasil baru yang berbeda, dan untuk

menyadari bahwa keragaman adalah tanda kemantapan dan kekuatan.

2.1.5.3 CTL mencerminkan prinsip pengorganisasian diri. Pengorganisasian

diri terlihat ketika para siswa mencari dan menemukan kemampuan

dan minat mereka sendiri yang berbeda, mendapat manfaat dari

umpan balik yang diberikan oleh penilaian autentik, mengulas usaha-

usaha mereka dalam tuntunan tujuan yang jelas dan standar yang

tinggi, dan berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat

pada siswa yang membuat hati mereka bernyanyi.

Landasan filosofi CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang

menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus

mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri. Pengetahuan tidak dapat

dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah tetapi

mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan. Konstruktivisme berakar pada

filsafat pragamatisme yang digagas oleh John Dewey pada awal abad ke 20, yaitu

sebuah filosofi belajar yang menekankan pada pengembangan minat dan

pengalaman siswa.

Anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah.

Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajari bukan

hanya mengetahuinya. Pembelajaran yang hanya berorientasi pada target

penguasaan materi terbukti hanya berhasil dalam kompetensi ”mengingat” jangka

pendek, tetapai gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam

kehidupan jangka panjang.

Dengan pendekatan kontesktual (CTL) proses pembelajaran berlangsung

alamiah dalam bentuk kegiatan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1353/3/T1_262010703_BAB II.pdf2.1.3.1 Pendekatan mekanistik yang lebih memusatkan

11

transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan

dari pada hasil. Dalam kontek itu siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa

menfaatnya, mereka dalam status apa dan bagaimana mencapainya. Mereka akan

mempelajari bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya. Dengan

demikian mereka belajar yang berguna bagi hidupnya, dan memposisikan dirinya

yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajarai

sesuatu yang bermanfaat bagi hidupnya dan berupaya menggapainya. Dalam

upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing. Untuk

menciptakan kondisi tersebut diperlukan sebuah strategi belajar baru yang lebih

memberdayakan siswa. Sebuah srtategi belajar yang tidak mengharuskan siswa

menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa

mengkonstruksi pengetahuan di benak sendiri. Melalui srtategi CTL siswa

diharapkan belajar mengalami bukan menghafal.

2.1.6 Komponen Model Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran berbasis Kontekstual menurut (Sanjaya, 2004) melibatkan

tujuh komponen pembelajaran, Yakni : (1). konstruktivisme (konstruktivism), (2).

bertanya (questioning), (3). menemukan (inquiri), (4). masyarakat belajar

(learning community), (5). pemodelan (modeling), (6). Refleksi (reflektion) dan

(7). penilaian sebenarnya (authentic assessmen).

Konstruktivisme adalah proses membangun dan menyusun pengetahuan

baru dalam struktur kognitifsiswa berdasarkan pengalaman. Pengetahuan yang

terbentuk dari dua faktor penting yaitu: objek yang menjadi bahan pengamatan

dan kemampuan subjek untuk mengintepretasikan objek tersebut. Asumsi ini

melandasi Kontekstual. Pembelajaran melalui Kontekstual pada dasarnya

mendorong agar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuanya melalui proses

pengamatan dan pengalaman nyata yang dibangun oleh individu sipembelajar.

Inkuiri, artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan

penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Secara umum proses inkuiri

dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu: (1). Merumuskan masalah, (2).

Mengajukan hipoteses, (3). Mengumpulkan data, (4). Menguji hipoteses, (5).

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1353/3/T1_262010703_BAB II.pdf2.1.3.1 Pendekatan mekanistik yang lebih memusatkan

12

Membuat kesimpulan. Penerapan azas inkuiri pada Kontekstual dimulai dengan

adanya masalah yang jelas yang ingin dipecahkan, dengan cara mendorong siswa

untuk menemukan masalah sampai merumuskan kesimpulan.Asas menemukan

dan berpikir sistematis akan dapat menumbuhkan sikap ilmiah, rasional sebagai

dasar pembentukan kreatifitas.

Bertanya adalah bagian inti belajar dan menemukan pengetahuan. Dengan

adanya keingintahuanlah pengetahuan selalu dapat berkembang. Dalam model

pembelajaran Kontekstual guru tidak menyampaikan informasi begitu saja

memancing siswa dengan bertanya agar siswa dapat menemukan jawabanya

sendiri. Dengan demikian keterampilan guru dalam bertanya sangat diperlukan.

Hal ini penting karena pertanyaan guru menjadikan pembelajaran lebih produktif.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan berguna untuk : (1). Menggali informasi

tentang kemampuan siswa dalam penguasaan pembelajaran. (2). Membangkitkan

motivasi siswa untuk belajar. (3). Merangsang keingintahuan siswa tentang

sesuatu. (4). Menfokuskan siswa terhadap sesuatu yang diinginkan. (5).

Membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.

Masyarakat belajar didasarkan pendapat Vigotsky, bahwa pengetahuan dan

pengalaman anak banyak dibentuk oleh komunikasi dengan orang lain, karena

permasalahan tidak mungkin dipecahkan sendiri. Dalam model Kontekstual hasil

belajar dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang lain, teman, antar

kelompok, sumber lain, dan bukan hanya guru. Dengan demikian asas belajar

dapat diterapkan melalui belajar kelompok, dan sumber-sumber lain dari luar yang

dianggap tahu tentang sesuatu yang menjadi fokus pembelajaran.

Pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan suatu contoh

yang dapat ditiru oleh siswa. Modeling merupakan asas penting dalam

pembelajaran melalui Kontekstual, karena melalui Kontekstual siswa dapat

terhindar dari verbalisme atau pengetahuan yang bersifat teoritis-abstrak.

Modeling tidak terbatas pada guru saja, tetapi dapat juga memanfaatkan siswa

atau sumber lain yang mempunyai pengalaman atau keahlian.

Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari

dengan cara mengurutkan dan mengevaluasi kembali kejadian atau peristiwa yang

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1353/3/T1_262010703_BAB II.pdf2.1.3.1 Pendekatan mekanistik yang lebih memusatkan

13

telah dilaluinya untuk mendapatkan pemahaman yang dicapai baik yang bernilai

positif atau negatif. Melalui refleksi siswa akan dapat memperbaharui

pengetahuan yang telah dibentuknya serta menambah khasanah pengetahuannya.

Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan

informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini

diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak.

Penilaian ini berguna untuk mengetahui apakah pengalaman belajar mempunyai

pengaruh positif terhadap perkembangan siswa baik intelektual, mental, maupun

psikomotoriknya.Pembelajaran Kontekstual lebih menekanlan proses belajar

darMatematikada hasil belajar. Oleh karena itu penilaian ini dilakukan secara

terus menerus dan terintegrasi selama pembelajaran berlangsung. Dalam

Kontekstual keberhasilan pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh

perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh

aspek.

Pendekatan kontekstual sangat cocok digunakan dalam mata pelajaran

Matematika, karena dalam hal ini kaidah kontekstual lebih bertumpu pada usaha

guru sebagai pembimbing (fasilitatar) yang membimbing siswa kearah

pembentukan daya pikir siswa melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran yang

bersifat alamiah yang bersumber dari pengalaman siswa. Dengan pengalaman

siswa yang tumbuh dari lingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar

merupakan materi yang sangat berharga, dan dapat dikembangkan dalam

pembelajaran. Dengan kegiatan pendekatan kontekstual tersebut, diharapkan dapat

mengurangi rasa jenuh dan membangkitkan motivasi siswa terhadap mata

pelajaran matematika.

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1353/3/T1_262010703_BAB II.pdf2.1.3.1 Pendekatan mekanistik yang lebih memusatkan

14

2.1.7 Cara Pelaksanaan Pendekatan Pembelajaran Kontekstual

Pendekatan pembelajaran Kontekstual dilaksanakan guru melalui kegiatan

sebagai berikut :

2.1.7.1 Kegiatan mengkontruksi pengetahuan (konstruktivism)

Memberi siswa pengalaman tentang volum kubus dan balok

menggunakan kubus satuan secara nyata yang melibatkan mereka

secara aktif.

2.1.7.2 Kegiatan menemukan (inquiri)

Mendorong siswa untuk menemukan, merumuskan, dan menganalisi

(mengolah) volum kubus dan balok dengan kubus satuan.

2.1.7.3 Kegiatan bertanya (questioning)

Membangkitkan minat siswa untuk bertanya mengenai volum kubus

dan balok yang dihadapi atau bahan pelajaran.

2.1.7.4 Kegiatan komunikasi belajar (learning community)

Menciptakan suasana diskusi tentang volum kubus dan balok antar

siswa.

2.1.7.5 Kegiatan permodelan (modeling)

Menampilkan lebih dari satu macam model cara pengerjaan volum

kubus dan balok.

2.1.7.6 Kegiatan refleksi (reflektion)

Menyediakan waktu agar siswa mempunyai kesempatan untuk refleksi

tentang proses dan hasil belajar volum kubus dan balok.

2.1.8 Pengertian Tutor Sebaya

Dalam pembelajaran matematika sebenarnya telah banyak upaya yang

dilakukan oleh guru kelas untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Namun

usaha itu belum menunjukan hasil yang optimal. Rentang nilai siswa yang pandai

dengan siswa yang kurang pandai terlalu mencolok. Untuk itu perlu diupayakan

pula agar rentang nilai antar siswa tersebut tidak terlalu jauh yaitu dengan

memanfaatkan siswa yang pandai untuk menularkan kemampuannya pada siswa

lain yang kemampuannya lebih rendah. Tentu saja guru yang menjadi perancang

model pembelajaran harus mengubah bentuk pembelajaran yang lain.

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1353/3/T1_262010703_BAB II.pdf2.1.3.1 Pendekatan mekanistik yang lebih memusatkan

15

Pembelajaran tersebut adalah pembelajaran tutor sebaya. Kuswaya Wihardit

dalam Aria Djalil (1997:3.38) menuliskan bahwa “pengertian tutor sebaya adalah

seorang siswa pandai yang membantu belajar siswa lainnya dalam tingkat kelas

yang sama” Sisi lain yang menjadikan matematika dianggap siswa pelajaran yang

sulit adalah bahasa yang digunakan oleh guru. Dalam hal tertentu siswa lebih

paham dengan bahasa teman sebayanya daripada bahasa guru. Itulah sebabnya

pembelajaran tutor sebaya diterapkan dalam proses pembelajaran matematika.

Hisyam Zaini dalam Amin Suyitno (2004:24) sumber Sumber : www.idp-

europe.org/toolkit/ dalam http://id.wordpress.com/tag/tutor-sebaya/ menyatakan

bahwa “Metode belajar yang paling baik adalah dengan mengajarkan kepada

orang lain. Oleh karena itu, pemilihan model pembelajaran tutor sebaya sebagai

strategi pembelajaran akan sangat membantu siswa di dalam mengajarkan materi

kepada teman-temannya.”

Menurut Miller (1989) dalam Aria Djalil ( 1997:3.34) berpendapat bahwa

“Setiap saat murid memerlukan bantuan dari murid lainnya, dan murid dapat

belajar dari murid lainnya.” Jan Collingwood (1991:19) dalam Aria Djalil

(1997:3.34) sumber Sumber : www.idp-europe.org/toolkit/ dalam

http://id.wordpress.com/tag/tutor-sebaya/ juga berpendapat bahwa “Anak

memperoleh pengetahuan dan keterampilankarena dia bergaul dengan teman

lainnya.” Pada pembelajaran menentukan volum kubus dan balok misalkan siswa

kelas VI akan dibawa pada model pembelajaran tutor sebaya dalam kelompok-

kelompok belajar.

Menurut Hisyam Zaini (2001:1) (dalam Amin Suyitno, 2004:34) sumber

Sumber : www.idp-europe.org/toolkit/ dalam http://id.wordpress.com/tag/tutor-

sebaya/ maka langkah-langkah metode tutor sebaya adalah sebagai berikut:

2.1.8.1 Memilih materi tentang geometri agar dapat dipelajari siswa secara

mandiri. Materi pengajaran dibagi dalam sub-sub materi (segmen

materi). Siswa diberi soal latihan tentukan volum kubus dan balok.

2.1.8.2 Siswa dibagi menjadi 4 kelompok kecil yang heterogen, sebanyak sub-

sub materi yang akan disampaikan guru. Siswa-siswa pandai disebar

dalam setiap kelompok dan bertindak sebagai tutor sebaya

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1353/3/T1_262010703_BAB II.pdf2.1.3.1 Pendekatan mekanistik yang lebih memusatkan

16

2.1.8.3 Masing-masing kelompok diberi tu tentang volum kubus dan balok.

Setiap kelompok dibantu oleh siswa yang pandai sebagai tutor sebaya.

2.1.8.4 Siswa diberi waktu yang cukup untuk persiapan, baik di dalam kelas

maupun di luar kelas

2.1.8.5 Setiap kelompok melalui wakilnya menyampaikan sub materi sesuai

dengan tugas yang telah diberikan. Guru bertindak sebagai nara sumber

utama.

2.1.8.6 Setelah semua kelompok menyampaikan tugasnya secara berurutan

sesuai dengan urutan sub materi, beri kesimpulan dan klarifikasi

seandainya ada pemahaman siswa yang perlu diluruskan.

Dari uraian tersebut di atas selanjutnya dapat dikembangkan dalam bentuk

soal yang lain untuk dijadikan bahan pembelajaran dalam 4 kelompok kecil.

Dengan demikian oleh model pembelajaran ini dalam diri siswa akan tertanam

kebiasaan saling membantu antar teman sebaya.

Agar model pembelajaran tutor sebaya mencapai tingkat keberhasilan yang

diharapkan, Miler (dalam Aria Djalil 1997:2.48) menuliskan saran penggunaan

tutor sebaya sebagai berikut :

a. Mulailah dengan tujuan yang jelas dan mudah dicapai.

b. Jelaskan tujuan itu kepada seluruh siswa (kelas). Misalnya: agar

pelajaran matematika dapat mudah dipahami.

c. Siapkan bahan dan sumber belajar yang memadai.

d. Gunakan cara yang praktis.

e. Hindari kegiatan pengulangan yang telah dilakukan guru.

f. Pusatkan kegiatan tutorial pada keterampilan yang akan dilakukan

tutor.

g. Berikan latihan singkat mengenai yang akan dilakukan tutor.

h. Lakukanlah pemantauan terhadap proses belajar yang terjadi melalui

tutor sebaya.

i. Jagalah agar siswa yang menjadi tutor tidak sombong.

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1353/3/T1_262010703_BAB II.pdf2.1.3.1 Pendekatan mekanistik yang lebih memusatkan

17

2.1.9 Langkah-langkah Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dengan

Tutor Sebaya

Paradigma guru sebagai knowledge transformator telah bergeser menjadi

knowledge facilitator. Konsekuensi dari perubahan paradigme tersebut, maka guru

perlu memperkaya pengetahuan dan meningkatklan kemampuannya terutama

dalam metode dan strategi pembelajaran.

Model pembelajaran secara kelompok telah menjadi salah satu pilihan guru

dalam mengelola pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang populer dan

sering digunakan adalah model pembelajaran Kontekstual yang dikenal juga

dengan kelompok ahli. Model ini dapat diterapkan pada materi pembelajaran yang

tidak berstruktur (saling berhubungan antar sub-sub materi).

2.1.9.1 Menurut Slavn (1998), model pembelajaran Kontekstual terdiri dari 5 fase.

Pembagian kelompok berdasarkan kriteria prestasi individu (dari ulangan

sebelumya atau pretest).

Fase 1 : Reading

Fase 2 : Expert Group Discussions

Fase 3 : Team Report

Fase 4 : Assesment

Fase 5 : Team Regognition

2.1.9.2 Dalam penelitian ini model pembelajaran Kontekstual dikembangkan

menjadi tipe ”Tutor Sebaya”. Langkah-langkah dalam pembelajaran tipe

tutor sebaya adalah:

a. Guru memberikan materi secara umum yaitu menjelaskan cara mencari

Volume kubus dan balok dengan Demontrasi.

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1353/3/T1_262010703_BAB II.pdf2.1.3.1 Pendekatan mekanistik yang lebih memusatkan

18

b. Guru melakukan pretest untuk menentukan 4 orang siswa terpandai

untuk menjadi pemandu kelompok.

c. Siswa yang lain dibagi menjadi empat kelompok yang akan menjadi

anggota kelompok yang dipandu.

d. Kelompok pemandu duduk dibagian depan dengan menghadap teman

yang lain.

e. Satu orang pemandu bertanggung jawab terhadap satu kelompok yang

dipandu.

f. Guru memberikan soal yang dikerjakan oleh tim pemandu untuk

dikerjakan kelompok yang dipandu.

g. Guru memantau dan memonitoring, memberikan arahann kepada

kelompok yang bertanya.

h. Guru menilai siswa dalam kegiatan kelompok dengan menggunakan

lembar pengamatan.

i. Guru memberikan kesimpulan dari pembelajaran

j. Guru mengadakan evaluasi dan mengoreksi hasil pekerjaan siswa.

2.2. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang

dilakukan oleh :

a. Susmiyati,2009, peningkatan hasil belajar materi perkalian dan pembagian

melalui pendekatan kontekdtual berorientasi Quantum Math Learninhg di

kelas II SD Negeri Bertaraf Internasional Kota Semarang tahun 2009 /

2010 mengatakan bahwa , Pendekatan Kontekstual berorientasi Quantum

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1353/3/T1_262010703_BAB II.pdf2.1.3.1 Pendekatan mekanistik yang lebih memusatkan

19

Math Learning dapat digunakan sebagai alternatif untuk menanamkan

konsep perkalian dan pembagian di kelas II Sekolah Dasar.

b. Basuki 2009, Peningkatan prestasi belajar operasi hitung bilangan bulat di

kelas VI melalui penerapan pendekatan kontekstual melalui hands-on

activity di SD N Baron III Nganjuk, menyatakan bahwa penerapan

pendekatan kontekstual melalui hands-on activity dalam pembelajaran

matematika dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VI SDN

Baron III Nganjuk.

2.3 Kerangka Berpikir

Kondisi sebelum tindakan, guru menggunakan pendekatan yang standar

dalam pembelajaran, motivasi dan hasil belajar rendah. Setelah guru mengadakan

tindakan dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual serta menggunakan

metode tutor sebaya siswa termotivasi dan aktif, sehingga hasil belajar meningkat.

Di dalam kegiatan pembelajaran siswa tidak takut bertanya kepada guru serta

temannya, sehingga siswa lebih intensif dalam meningkatkan hasil belajar.

2.4 Hipoteseis Tindakan

2.4.1 Penggunaan pendekatan kontekstual atau Contectual Teaching and

Learning ( CTL ), dalam pembelajaran matematika materi geometri dapat

meningkatkan hasil belajar siswa SD Negeri 1 Ngrandu kelas VI

Kecamatan Geyer Kabupaten Grobogan Tahun Pelajaran 2011 /2012.

2.4.2 Penggunaan pendekatan kontekstual atau Contectual Teaching and

Learning ( CTL ) dengan metode teman sebaya, dalam pembelajaran

matematika materi geometri dapat meningkatkan perilaku yang menyertai

hasil belajar siswa SD Negeri 1 Ngrandu kelas VI Kecamatan Geyer

Kabupaten Grobogan Tahun Pelajaran 2011 /2012.