BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Model...
-
Upload
vuongthuan -
Category
Documents
-
view
216 -
download
0
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Model...
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS (Think Pairs Share)
Model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) merupakan salah
satu model pembelajaran yang mendukung pembelajaran kontekstual. Sistem
pengajaran Cooperative Learning dapat didefinisikan sebagai sistem kerja/ belajar
kelompok yang terstruktur. Roger dan David Johnson dalam Lie (2005:31)
mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative
learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran
gotong royong harus diterapkan, lima unsur tersebut adalah: saling
ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi
antar anggota, dan evaluasi proses kelompok. Senada dengan pendapat Roger dan
David Johnson, Slavin dalam Solihatin (2008:4) menyatakan bahwa cooperative
learning adalah suatu model pembelajaran yang mana dalam pembelajaran
tersebut siswa belajar dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil secara
kolaboratif yang anggota dari kelompok tersebut terdiri dari 4 sampai 6 orang,
dengan struktur kelompok bersifat heterogen. Rumusan lain tentang pembelajaran
kooperatif dikemukakan oleh Sugiyanto (2010:37) menyatakan bahwa
pembelajaran kooperatif (Cooperative learning) adalah pendekatan pembelajaran
yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam
memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran kooperatif adalah pendekatan pembelajaran yang dilakukan secara
kelompok dan didalam kelompok tersebut kemampuan tiap anggota kelompok
berbeda, serta keberhasilan kelompok akan tercipta jika dalam kelompok tersebut
saling bekerjasama dan keterlibatan dari setiap anggota kelompok untuk aktif
dalam menyelesaikan suatu permasalahan atau tugas yang diberikan oleh guru
dalam pembelajaran.
6
Model pembelajaran kooperatif terdapat beberapa macam tipe, diantara
STAD (Student Team Achievement Division), investigasi kelompok, Jigsaw, dan
pendekatan struktural. Salah satu jenis model pembelajaran kooperatif yang
termasuk dalam pendekatan sruktural adalah TPS (Think Pairs Share). TPS adalah
model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Frank Lyman, dkk dari
Universitas Maryland pada tahun 1985.
Menurut Lyman dkk sesuai yang dikutip dari Arends (1997) dalam Trianto
(2011:61) menyatakan bahwa
think-pair-share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat
variasi suasana pola diskusi kelas. Dengan asumsi bahwa semua resitasi
atau diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas secara
keseluruhan, dan prosedur yang digunakan dalam think-pair-share dapat
memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, untuk merespon dan saling
membantu. Guru memperkirakan hanya melengkapi penyajian singkat atau
siswa membaca tugas atau situasi yang menjadi tanda tanya.
Strategi TPS atau berpikir berpasangan berbagi dikemukakan oleh Trianto
(2011:61) bahwa TPS adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang
dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Strategi think-pair-share ini
berkembang dari penelitian belajar kooperatif dan waktu tunggu.
Pengertian TPS juga dikemukakan oleh Lie (2005:57) menyatakan bahwa,
Think-Pairs-Share adalah pembelajaran yang memberi siswa kesempatan untuk
bekerja sendiri dan bekerjasama dengan orang lain.
Sedangkan Mulyatiningsih (2011:233) juga mengemukakan bahwa:
TPS merupakan metode pembelajaran yang dilakukan dengan cara
sharing pendapat antar siswa. Metode ini dapat digunakan sebagai umpan
balik materi yang diajarkan guru. Pada awal pembelajaran, guru
menyampaikan materi pelajaran seperti biasa. Guru kemudian menyuruh
dua orang peserta didik untuk duduk berpasangan dan saling berdiskusi
membahas materi yang disampaikan oleh guru. Pasangan peserta didik
saling mengkoreksi kesalahan masing – masing dan menjelaskan hasil
diskusinya di kelas. Guru menambah materi yang belum dikuasai peserta
didik berdasarkan penyajian hasil diskusi.
Dari beberapa pendapat yang sudah disebutkan di atas maka dapat
disimpulkan model pembelajaran kooperatif tipe TPS adalah model pembelajaran
yang menggunakan metode diskusi berpasangan yang dilanjutkan dengan diskusi
7
pleno yang diadakan oleh guru. Dengan penggunaan model pembelajaran TPS
siswa dilatih bagaimana cara menyampaikan pendapat yang dimiliki siswa dan
siswa juga dilatih untuk belajar menghargai pendapat orang lain terutama
pendapat temannya dengan tetap mengacu pada materi/tujuan pembelajaran yang
sudah ditetapkan.
Model pembelajaran kooperatif tipe TPS juga memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe TPS menurut Hartina
(2008:12) antara lain sebagai berikut:
1. Memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan mengenai materi yang diajarkan karena secara tidak langsung
memperoleh contoh pertanyaan yang diajukan oleh guru, serta
memperoleh kesempatan untuk memikirkan materi yang diajarkan
2. Siswa akan terlatih menerapkan konsep karena bertukar pendapat dan
pemikiran dengan temannya untuk mendapatkan kesepakatan dalam
memecahkan masalah,
3. Siswa lebih aktif dalam pembelajaran karena menyelesaikan tugasnya
dalam kelompok, dimana tiap kelompok hanya terdiri dari 2 orang,
4. Siswa memperoleh kesempatan untuk mempersentasikan hasil diskusinya
dengan seluruh siswa sehingga ide yang ada menyebar,
5. Memungkinkan guru untuk lebih banyak memantau siswa dalam proses
pembelajaran
Hal yang sama dengan pendapat Hartina, Lie (2005:46) juga
mengemukakan bahwa kelebihan dari kelompok berpasangan (kelompok yang
didalamnya terdiri dari 2 orang siswa) adalah sebagai berikut
1. Akan meningkatkan partisipasi siswa,
2. Cocok untuk tugas sederhana,
3. Lebih banyak memberi kesempatan untuk kontribusi masing-masing
anggota kelompok,
4. Interaksi lebih mudah
5. Lebih mudah dan cepat dalam membentuk kelompok
Adapun kelemahan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dikemukakan
oleh Hartina (2008:12) adalah sangat sulit diterapkan di sekolah yang rata-rata
kemampuan siswanya rendah dan waktu yang terbatas, sedangkan jumlah
kelompok yang terbentuk banyak.
8
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Lie (2005:46), kekurangan dari
kelompok berpasangan (kelompok yang terdiri dari 2 orang siswa adalah sebagai
berikut:
1. Banyak kelompok yang melapor dan perlu dimonitor
2. Lebih sedikit ide yang muncul
3. Jika ada perselisihan, tidak ada penengah
TPS memiliki langkah-langkah yang ditetapkan untuk memberi siswa
waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, dan saling membantu satu sama
lain. Pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think Pair Share) memiliki tahapan –
tahapan pelaksanaan sebagai berikut (Trianto, 2011:61)
Langkah 1 : Berpikir (Thinking): Guru mengajukan suatu pertanyaan atau
masalah yang dikaitkan dengan pelajaran, dan meminta siswa
menggunakan waktu beberapa menit untuk berpikir sendiri jawaban atau
masalah. Siswa membutuhkan penjelasan bahwa berbicara atau
mengerjakan bukan bagian berpikir.
Langkah 2 : Berpasangan (Pairing): selanjutnya guru meminta siswa untuk
berpasangan dan mendiskusikan apa yang telah mereka peroleh. Interaksi
selama waktu yang telah disediakan dapat menyatukan jawaban jika suatu
pertanyaan yang diajukan atau menyatukan gagasan apabila suatu masalah
khusus yang diindentifikasi. Secara normal guru memberi waktu tidak
lebih dari 4 atau 5 menit untuk berpasangan.
Langkah 3 : Berbagi (Sharing): Pada langkah akhir ini guru meminta
pasangan-pasangan untuk berbagi dengan keseluruhan kelas yang telah
mereka bicarakan. Hal ini efektif untuk berkeliling ruangan dari pasangan
ke pasangan dan melanjutkan sampai sekitar sebagian pasangan mendapat
kesempatan untuk melapor.
Langkah-langkah pelaksanaan TPS juga dikemukakan oleh Wardani
(2010:32) dengan tahapan pelaksanaan sebagai berikut:
1. Guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai
2. Siswa diminta untuk berpikir tentang materi/permasalahan yang
disampaikan guru
3. Siswa diminta berpasangan dengan teman sebelahnya (kelompok 2 orang)
dan mengutarakan hasil pemikiran masing – masing
4. Guru memimpin pleno kecil diskusi, tiap kelompok mengemukakan hasil
diskusinya
5. Berawal dari kegiatan tersebut mengarahkan pembicaraan pada pokok
permasalahan dan menambah materi yang belum diungkapkan para siswa
6. Guru memberi kesimpulan
7. Penutup
9
Mulyatiningsih (2011:234) juga mengemukakan langkah-langkah
pelaksanaan TPS adalah sebagai berikut:
1. Guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang akan dicapai
2. Peserta didik diminta untuk berpikir tentang materi yang disampaikan guru
3. Peserta didik diminta berpasangan dengan teman sebelahnya (satu
kelompok 2 orang) dan mengutarakan persepsi masing-masing tentang apa
yang telah disampaikan oleh guru
4. Guru memimpin pleno atau diskusi kecil, tiap kelompok mengemukakan
hasil diskusinya
5. Guru melengkapi materi yang masih belum dipahami siswa dan
menegaskan kembali pokok permasalahan yang harus dipahami
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa langkah –
langkah pelaksanaan TPS adalah sebagai berikut:
Tahap berpikir (Thinking)
1. Siswa menyimak materi pembelajaran
2. Siswa menerima pertanyaan dari guru berdasarkan materi yang sudah
disimak oleh siswa
3. Siswa secara individu menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru
Tahap berpasangan (Pairing)
1. Guru membagikan LKS (Lembar Kerja Siswa)
2. Siswa berpasangan dengan teman sebelahnya (kelompok terdiri atas 2
orang)
3. Bersama pasangannya siswa dan pasangannya saling mendiskusikan dan
mengutarakan hasil pemikiran masing – masing untuk menyelesaikan LKS
(Lembar Kerja Siswa)
Tahap berbagi (Sharing)
1. Guru memimpin pleno kecil diskusi, dan masing-masing pasangan
melaporkan hasil diskusi dari pengerjaan LKS yang sudah siswa lakukan
bersama pasangannya
2. Pasangan yang lain memberikan tanggapan terhadap pasangan yang
sedang melaporkan hasil diskusinya
3. Siswa melakukan penegasan terhadap materi yang telah dipelajari dengan
bimbingan dari guru
10
2.1.2 Hasil Belajar
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah
menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2011:22). Sedangkan menurut
Kingsley dalam Sudjana (2011:22) membagi tiga macam hasil belajar mengajar :
Keterampilan dan kebiasaan, Pengetahuan dan pengarahan, Sikap dan cita-cita.
Sementara menurut Lindgren dalam Suprijono (2011:7) hasil pembelajaran
meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap. Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Gagne dalam Suprijono (2011:5-6) bahwa hasil belajar itu
berupa: informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, keterampilan
motorik, dan sikap.
Senada dengan Gagne, Bloom dalam Suprijono (2011:6-7)
mengemukakan bahwa
hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif dan
psikomotorik. Domain kognitif adalah knowledge (pengetahuan, ingatan),
comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh),
application (menerapkan), analysys (menguraikan, menentukan
hubungan), sysnthesis (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk
bangunan baru, evaluation (menilai). Domain afektif adalah receiving
(sikap menerima), responding (memberikan respon), valuing (nilai),
organization (organisasi), Characterization (karakterisasi). Domain
psikomotor meliputi initiatory, pre-routine, dan rountinized. Psikomotor
juga mencakup keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, manajerial,
dan intelektual.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah
kemampuan keterampilan, sikap, dan keterampilan yang diperoleh siswa setelah
siswa menerima perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga dapat
mengkonstruksikan pengetahuan yang didapat untuk dapat digunakan dalam
kehidupan sehari-hari.
Hasil belajar digunakan guru untuk digunakan sebagai ukuran atau kriteria
dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Ukuran hasil belajar dapat diperoleh
dari aktivitas pengukuran. Secara sederhana pengukuran dapat diartikan sebagai
kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatu
gejala atau peristiwa, atau benda, sehingga hasil pengukuran akan selalu berupa
angka. Alat untuk melakukan pengukuran ini dapat berupa alat ukur standar
seperti meter, kilogram, liter dan sebagainya, termasuk ukuran-ukuran subyektif
11
yang bersifat relatif, seperti depa, jengkal, “sebentar lagi”, dan lain-lain (Endang
Poerwanti, 2008:1-4). Menurut Zainul dan Nasution dalam Wulan (2010)
pengukuran memiliki dua karakteristik utama yaitu: 1) penggunaan angka atau
skala tertentu; 2) menurut suatu aturan atau formula tertentu. Arikunto dan Jabar
dalam Wulan (2010) menyatakan pengertian pengukuran sebagai kegiatan
membandingkan suatu hal dengan satuan ukuran tertentu sehingga sifatnya
menjadi kuantitatif. Jadi pengukuran memiliki arti suatu kegiatan yang dilakukan
dengan cara membandingkan sesuatu dengan satuan ukuran tertentu sehingga data
yang dihasilkan adalah data kuantitatif. Untuk menetapkan angka dalam
pengukuran, perlu sebuah alat ukur yang disebut dengan instrumen. Dalam dunia
pendidikan instrumen yang sering digunakan untuk mengukur kemampuan siswa
seperti tes, lembar observasi, panduan wawancara, skala sikap dan angket.
Dari pengertian pengukuran yang telah dipaparkan untuk mengukur hasil
belajar peserta didik digunakanlah alat penilaian hasil belajar. Penilaian hasil
belajar dapat diukur melalui teknik tes dan non tes. Teknik yang dapat digunakan
dalam asesmen pembelajaran untuk mengukur hasil belajar siswa yaitu:
1. Tes
Tes secara sederhana dapat diartikan sebagai himpunan pertanyaan yang
harus dijawab, pernyataan-pernyataan yang harus dipilih/ditanggapi, atau tugas-
tugas yang harus dilakukan oleh peserta tes dengan tujuan untuk mengukur suatu
aspek tertentu dari peserta tes dan dalam kaitan dengan pembelajaran aspek
tersebut adalah indikator pencapaian kompetensi (Poerwanti, dkk. 2008:4-3).
Menurut Ebster‟s Collegiate dalam Arikunto, 1995 (Poerwanti, dkk. 2008:4-4),
tes adalah serangkaian pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk
mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensia, kemampuan atau bakat yang
dimiliki oleh individu atau kelompok.
Tes menurut Sudjana (2011:35) sebagai alat penilaian adalah pertanyaan-
pertanyaan yang diberikan kepada siswa untuk mendapat jawaban dari siswa
dalam bentuk lisan (tes lisan), dalam bentuk tulisan (tes tulisan) atau dalam
bentuk perbuatan (tes tindakan). Tes pada umumnya digunakan untuk menilai dan
mengukur hasil belajar siswa, terutama hasil belajar kognitif berkenaan dengan
12
penguasaan bahan pengajaran sesuai dengan tujuan pendidikan dan pengajaran,
namun demikian dalam batas tertentu tes dapat pula digunakan untuk mengukur
atau menilai hasil belajar bidang afektif dan psikomotoris.
Jadi kesimpulan dari pengertian tes adalah suatu alat yang digunakan
untuk mengukur kemampuan peserta didik dan menggunakan langkah – langkah
dan kriteria - kriteria yang sudah ditentukan.
Berikut ini dikemukakan yang termasuk dalam teknik tes adalah
(Poerwanti, 2008:4-9) :
a. Jenis tes berdasarkan cara mengerjakan
1. Tes Tertulis
Tes tertulis adalah tes yang dilakukan secara tertulis baik dalam hal
soal maupun jawabannya
2. Tes Lisan
Pada tes lisan, baik pertanyaan maupun jawaban (response)
semuanya dalam bentuk lisan. Karenanya, tes lisan relatif tidak memiliki
rambu-rambu penyelenggaraan tes yang baku, karena itu, hasil dari tes
lisan biasanya tidak menjadi informasi pokok tetapi pelengkap dari
instrumen asesmen yang lain.
3. Tes Unjuk Kerja
Pada Tes ini peserta didik diminta untuk melakukan sesuatu sebagai
indikator pencapaian kompetensi yang berupa kemampuan psikomotor.
b. Jenis tes berdasarkan bentuk jawabannya
1. Tes Esei (Essay-type Test)
Tes bentuk uraian adalah tes yang menuntut siswa
mengorganisasikan gagasan-gagasan tentang apa yang telah dipelajarinya
dengan cara mengemukakannya dalam bentuk tulisan.
2. Tes Jawaban Pendek
Tes dapat digolongkan menjadi tes jawaban pendek jika peserta tes
diminta menuangkan jawabannya bukan dalam bentuk esei, tetapi
memberikan jawaban-jawaban pendek, dalam bentuk rangkaian kata-kata
pendek, kata-kata lepas maupun angka-angka.
3. Tes objektif
Tes objektif adalah adalah tes yang keseluruhan informasi yang
diperlukan untuk menjawab tes telah tersedia. Oleh karenanya sering
pula disebut dengan istilah tes pilihan jawaban (selected response test).
2. Non Tes
Teknik non tes sangat penting dalam mengakses siswa pada ranah afektif
dan psikomotor, berbeda dengan teknik tes yang lebih menekankan pada aspek
13
kognitif. Ada beberapa macam teknik non tes (Poerwanti, 2008:3-19 – 3-31),
yaitu:
1. Observasi
Observasi terkait dengan kegiatan evaluasi proses dan hasil belajar
dapat dilakukan secara formal yaitu observasi dengan menggunakan
instrumen yang sengaja dirancang untuk mengamati unjuk kerja dan
kemajuan belajar peserta didik, maupun observasi informal yang dapat
dilakukan oleh pendidik tanpa menggunakan instrumen.
2. Wawancara
Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi mendalam yang
diberikan secara lisan dan spontan, tentang wawasan, pandangan atau aspek
kepribadian peserta didik.
3. Angket
Suatu teknik yang dipergunakan untuk memperoleh informasi yang
berupa data deskriptif. Teknik ini biasanya berupa angket sikap (Attitude
Questionnaires).
4. Work Sample Analysis (Analisa Sampel Kerja)
Digunakan untuk mengkaji respon yang benar dan tidak benar yang
dibuat siswa dalam pekerjaannya dan hasilnya berupa informasi mengenai
kesalahan atau jawaban benar yang sering dibuat siswa berdasarkan jumlah,
tipe, pola, dan lain sebagainya.
5. Task Analysis (Analisis Tugas)
Dipergunakan untuk menentukan komponen utama dari suatu tugas
dan menyusun skills dengan urutan yang sesuai dan hasilnya berupa daftar
komponen tugas dan daftar skills yang
diperlukan.
6. Checklists dan Rating Scales
Dilakukan untuk mengumpulkan informasi dalam bentuk semi
terstruktur, yang sulit dilakukan dengan teknik lain dan data yang
dihasilkan bisa kuantitatif ataupun kualitatif, tergantung format yang
dipergunakan.
7. Portofolio
Portofolio adalah kumpulan dokumen dan karya-karya peserta didik
dalam karya tertentu yang diorganisasikan untuk mengetahui minat,
perkembangan belajar dan prestasi siswa.
8. Komposisi dan Presentasi
Peserta didik menulis dan menyajikan karyanya.
9. Proyek Individu dan Kelompok
Mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan serta dapat
digunakan untuk individu maupun kelompok
Ketercapaian tujuan pembelajaran akan diketahui melalui teknik atau cara
pengukuran yang sistematis melalui tes, observasi, skala sikap atau penilaian
portofolio. Alat yang dipergunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan
14
pembelajaran dinamakan dengan instrumen. Instrumen sendiri terdiri atas
instrumen butir-butir soal apabila cara pengukuran dilakukan dengan
menggunakan tes, dan apabila pengukuran dilakukan dengan cara mengamati atau
mengobservasi dapat menggunakan instrumen lembar pengamatan atau observasi,
pengukuran dengan teknik skala sikap dapat menggunakan instrumen butir-butir
pernyataan. Instrumen sebagai alat yang digunakan untuk mengukur ketercapaian
tujuan pembelajaran maupun kompetensi yang dimiliki peserta didik haruslah
valid, maksudnya adalah instrumen tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya
diukur.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah besarnya skor siswa yang diperoleh dari
skor tes, menyimak, diskusi berpasangan, dan presentasi.
Dalam membuat alat ukur yang akan digunakan haruslah membuat kisi-
kisi. Kisi-kisi (test blue-print atau table of specification) adalah format atau
matriks pemetaan soal yang menggambarkan distribusi item untuk berbagai topik
atau pokok bahasan berdasarkan kompetensi dasar, indikator dan jenjang
kemampuan tertentu. Penyusunan kisi-kisi ini digunakan untuk pedoman
menyusun atau menulis soal menjadi perangkat tes. Adapun kisi-kisi tersebut
didalamnya meliputi:
1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
2. Indikator
3. Proses berfikir (C1 (ingatan), C2 (pemahaman), C3 (penerapan), C4
(analisis), C5 (evaluasi), C6 (kreasi))
4. Tingkat kesukaran soal (rendah, sedang, tinggi)
5. Bentuk instrumen
Hasil dari pengukuran pencapaian Kompetensi Dasar dipergunakan
sebagai dasar penilaian atau evaluasi. Evaluasi berasal dari kata evaluation
(bahasa Inggris). Menurut Davies dalam Dimyati dan Mudjiono (2006:190-191)
mengemukakan bahwa evaluasi merupakan proses sederhana memberikan/
menetapkan nilai kepada sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk kerja,
proses, orang, objek, dan masih banyak yang lain, sedangkan menurut Sudjana
15
dalam Dimyati dan Mudjiono (2006:191) pengertian evaluasi dipertegas lagi
dengan batasan sebagai proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek
tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu. Wardani dkk, (2010:2.8)
mengartikannya, bahwa evaluasi itu merupakan proses untuk memberi makna atau
menetapkan kualitas hasil pengukuran, dengan cara membandingkan angka hasil
pengukuran tersebut dengan kriteria tertentu. Kriteria sebagai pembanding dari
proses dan hasil pembelajaran tersebut dapat ditentukan sebelum proses
pengukuran atau ditetapkan setelah pelaksanaan pengukuran. Kriteria tersebut
dapat berupa proses atau kemampuan minimal yang dipersyaratkan seperti KKM
(Kriteria Ketuntasan Minimal), atau batas keberhasilan, kriteria tersebut juga
dapat pula berupa kemampuan rata-rata unjuk kerja kelompok, atau berbagai
patokan yang lain. Kriteria yang berupa batas kriteria minimal yang telah
ditetapkan sebelum pengukuran dan bersifat mutlak disebut dengan Penilaian
Acuan Patokan atau Penilaian Acuan Kriteria (PAP/PAK), sedang kriteria yang
ditentukan setelah kegiatan pengukuran dilakukan dan didasarkan pada keadaan
kelompok dan bersifat relatif disebut dengan Penilaian Acuan Norma/ Penilaian
Acuan Relatif (PAN/PAR).
Di dalam Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 20 Tahun
2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan menyatakan bahwa Kriteria ketuntasan
minimal (KKM) adalah kriteria ketuntasan belajar (KKB) yang ditentukan oleh
satuan pendidikan. KKM pada akhir jenjang satuan pendidikan untuk kelompok
mata pelajaran selain ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan nilai batas
ambang kompetensi.
2.1.3 Mata Pelajaran IPS
IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang
berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SD/MI mata pelajaran IPS memuat
materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS,
peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang
demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai (KTSP
Standar Isi 2006).
16
Di masa yang akan datang peserta didik akan menghadapi tantangan berat
karena kehidupan masyarakat global selalu mengalami perubahan setiap saat.
Oleh karena itu mata pelajaran IPS dirancang untuk mengembangkan
pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial
masyarakat dalam memasuki kehidupan bermasyarakat yang dinamis.
Mata pelajaran IPS disusun secara sistematis, komprehensif, dan terpadu
dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam
kehidupan di masyarakat. Dengan pendekatan tersebut diharapkan peserta didik
akan memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam pada bidang ilmu
yang berkaitan (Permendiknas No. 22 Tahun 2006)
Pada jenjang pendidikan dasar, ruang lingkup pengajaran IPS dibatasi
sampai pada gejala dan masalah sosial yang dapat dijangkau pada geografi dan
sejarah. Terutama gejala dan masalah sosial kehidupan sehari-hari yang ada di
lingkungan sekitar peserta didik di SD. Ruang lingkup mata pelajaran IPS di SD
meliputi aspek-aspek sebagai berikut (Permendiknas No. 22 Tahun 2006)
1. Manusia, Tempat, dan Lingkungan
2. Waktu, Keberlanjutan, dan Perubahan
3. Sistem Sosial dan Budaya
4. Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan.
Mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan
sebagai berikut (Permendiknas No. 22 Tahun 2006)
1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat dan lingkungannya
2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa
ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam
kehidupan sosial
3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan
kemanusiaan
4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi
dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan
global.
17
Pencapaian tujuan IPS dapat dimiliki oleh kemampuan peserta didik yang
standar dinamakan dengan Standar Kompetensi (SK) dan dirinci ke dalam
Kompetensi Dasar (KD). Kompetensi dasar ini merupakan standar minium yang
secara nasional harus dicapai oleh siswa dan menjadi acuan dalam pengembangan
kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada
pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan
pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru. Secara rinci SK dan KD untuk
mata pelajaran IPS yang ditujukan untuk siswa kelas V SD disajikan melalui tabel
2.2 berikut ini. (Permendiknas No. 22 Tahun 2006)
Tabel 2.1
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran IPS
Kelas V Semester II
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
2. Menghargai
peranan tokoh pejuang
dan masyarakat dalam
mempersiapkan dan
mempertahankaan
kemerdekaan Indonesia
2.1 Mendeskripsikan perjuangan para
tokoh pejuang pada masa penjajahan
Belanda dan Jepang
2.2 Menghargai jasa dan peranan tokoh
perjuangan dalam mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia
2.3 Menghargai jasa dan peranan tokoh
dalam memproklamasikan
kemerdekaan
2.4 Menghargai perjuangan para tokoh
dalam mempertahankan kemerdekaan
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Luluk Umiatin (2010) dalam
penelitiannya yang berjudul Penerapan Think Pair Share (TPS) Untuk
Meningkatkan Aktivitas Dan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SDN Segaran 03
Kecamatan Gedangan Kabupaten Malang. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa
adanya peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas V pada mata pelajaran
IPS materi keanekaragaman suku bangsa dan budaya di Indonesia. Hasil Pre test
siswa rata-rata adalah 48,2 atau 48,2%, siklus I mengalami peningkatan yaitu
menjadi 69,8 atau 69,8% dan siklus II terus mengalami peningkatan menjadi 81,8
atau 81,8%. Hasil belajar siswa dikatakan naik 12% persiklus. Sedangkan untuk
18
aktivitas siswa menunjukkan adanya peningkatan dari 11,56 menjadi 12,88 di
siklus II. Kekurangan dalam penelitian ini adalah perlunya penguasaan kelas yang
baik oleh guru agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan kondusif, serta
waktu pembelajaran memerlukan waktu yang cukup lama sehingga diperlukan
manajemen waktu yang baik oleh guru.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Putri Rachmadyanti (2011)
dalam penelitiannya yang berjudul Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share Siswa Kelas IV SDN Kendalrejo
01 Kabupaten Blitar. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa penerapan model
pembelajaran think pair share pada IPS di kelas IV sudah sangat baik. Hal ini
didukung dengan meningkatnya hasil belajar siswa pada kegiatan think pair
share.
Hasil belajar siswa meliputi aspek aktivitas belajar siswa dan nilai akhir
siswa. Prosentase aktivitas belajar siswa pada tahap pra tindakan mencapai
57,09%. Prosentase aktivitas siswa pada siklus I pertemuan 1 sejumlah 65,4%,
pertemuan 2 sejumlah 66,71%, dan pada pertemuan 3 sejumlah 67,95%. Sehingga
dari pra tindakan sampai siklus 1 mengalami peningkatan prosentase aktivitas
siswa sejumlah 10,86%. Pada siklus II pertemuan 1, prosentase aktivitas siswa
mencapai 71,85%, pertemuan 2 mencapai 74%, pertemuan 3 mencapai 76,80%.
Sehingga terjadi peningkatan prosentase aktivitas siswa dari siklus 1 ke siklus 2,
sejumlah 8,85%. Secara keseluruhan terjadi peningkatan aktivitas belajar siswa
dari pra tindakan sampai siklus II sebanyak 19,71%.
Pada aspek nilai akhir siswa pada pratindakan mencapai 58,8%, siklus 1
pertemuan 1 mencapai 57%, pertemuan 2 mencapai 62%, dan pada pertemuan 3
mencapai 81%. Sehingga dari pratindakan ke siklus 1 mengalami peningkatan
prosentase nilai akhir siswa sejumlah 22,2%. Pada siklus II pertemuan 2 mencapai
85%, pada pertemuan 2 mencapai 95%, dan pada pertemuan 3 mencapai 100%.
Hal ini menunjukkan peningkatan siklus 1 ke siklus II sejumlah 19%. Sehingga
terjadi peningkatan nilai siswa dari pratindakan sampai siklus II sejumlah 41,42%.
Kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini adalah perlunya pengawasan guru
terhadap proses pembelajaran sehingga kegiatan pembelajaran berjalan dengan
19
baik dan kondusif, perlunya bimbingan yang diberikan guru baik bimbingan
perseorangan maupun bimbingan pada kelompok, dan motivasi dari guru kepada
siswa perlu ditingkatkan agar dapat memunculkan ide-ide kreatif siswa.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yanik Rinawati (2011) dalam
penelitiannya yang berjudul Peningkatan Keterampilan Menulis Puisi Melalui
Model Pembelajaran Think Pairs Share (TPS) pada Siswa Kelas V SDN Dampit 2
Kecamatan Dampit Kabupaten Malang. Berdasarkan analisis data hasil penelitian
setelah diterapkan model pembelajaran Think Pairs Share (TPS) dalam menulis
puisi diketahui bahwa: banyaknya siswa yang telah mengalami peningkatan dari
pra tindakan sampai siklus II. sebelum siklus hasil yang didapat yaitu 65.5 %.
Sedangkan pada saat sudah dilakukan siklus I hasil yang didapat meningkat yaitu
73.26 % dan pada saat pelaksanaan siklus 2 nilai siswa semakin meningkat yaitu
87.78 % . kelebihan dalam penelitian ini adalah peningkatan yang cukup baik
yaitu dimulai dari pra siklus sebesar 65,5%, pada siklus I terjadi peningkatan
sebesar 73, 26% dan pada siklus II terjadi peningkatan sebesar 87, 78%, serta
keberhasilan dalam mengembangkan sikap kerjasama dengan teman dan berpikir
kritis siswa. Kekurangan dalam penelitian ini adalah perlunya variasi kegiatan
belajar yang diberikan guru agar pembelajaran dapat menarik perhatian siswa dan
siswa tidak bosan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Alfian Halid Sofian (2011)
yang berjudul “Efektivitas Penerapan Model Pembelajaran Think Pair Share
(TPS) terhadap Hasil Belajar Akuntansi Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 9
Malang” dan dari hasil analisis data menunjukkan bahwa hasil penelitian ini
menunjukkan keefektifan dari penerapan model pembelajarn Think Pair Share
(TPS) terhadap hasil belajar siswa, terbukti dari hasil uji-t yang menunjukkan
signifikansi (0,007). Kelebihan yang dicapai dalam penelitian ini adalah
keberhasilan dalam melatih siswa untuk bekerjasama dengan teman atau
pasangannya. Kekurangan dalam penelitian ini adalah membutuhkan waktu yang
cukup lama sehingga diperlukan pengaturan waktu yang baik.
20
Penelitian yang dilakukan oleh Hanafiah (2010) yang berjudul “Model
Pembelajaran Think Pairs Share Dalam Mata Pelajaran Sejarah Pada Siswa Kelas
X SMA Negeri 1 Langsa dan dari hasil penelitian yang dilakukan mendapatkan
hasil bahwa pembelajaran sejarah siswa kelas X SMA Negeri 1 Langsa dengan
menggunakan model pembelajaran Think Pairs Share lebih efektif dibandingkan
dengan pembelajaran sejarah yang tidak diberikan model pembelajaran Think
Pairs Share atau menggunakan metode konvensional. Hal ini dibuktikan dengan
hasil perhitungan dengan uji t diperoleh thitung = 4,060 sedangkan ttabel (0,95) (81) =
1,99. Karena thitung>ttabel yaitu 4,060>1,99, selain itu dapat dibuktikan dalam
proses pembelajaran berdasarkan hasil observasi keaktifan siswa pada kelas
kontrol dan kelas eksperimen, dimana pada kelas eksperimen diperoleh presentase
rata-rata keaktifan sebesar 53,5% sedangkan kelas kontrol sebesar 50% maka
dapat disimpulkan bahwa kelompok eksperimen memiliki kemampuan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kekurangan dalam penelitian ini
adalah perlunya pengawasan kelas oleh guru untuk dapat memotivasi keaktifan
siswa dalam pembelajaran dan juga perlunya bimbingan yang diberikan oleh guru
baik bimbingan secara kelompok maupun secara individu.
2.3 Kerangka Pikir
Penggunaan model pembelajaran kooperatif Tipe TPS diharapkan dapat
membantu peserta didik untuk meningkatkan sikap positif dalam pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe TPS disini siswa secara individu berlatih untuk
membangun kepercayaan diri terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan
masalah didalam pembelajaran, sehingga akan mengurangi atau bahkan dapat
menghilangkan rasa cemas yang banyak dialami oleh siswa dalam proses
pembelajaran dan diharapkan juga dengan penggunaan model pembelajaran
kooperatif Tipe TPS ini efektif untuk hasil belajar siswa khususnya pada mata
pelajaran IPS.
21
TPS adalah model pembelajaran kooperatif yang terdiri atas tiga tahapan
yang digunakan untuk mereview fakta serta informasi dasar yang digunakan untuk
mengatur interaksi antar siswa. Ketiga tahapan dalam TPS dalam pembelajaran
IPS di kelas V materi peristiwa sekitar proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah
sebagai berikut:
1. Berpikir (thinking), pembelajaran diawali dengan guru mengajukan
pertanyaan untuk dipikirkan oleh siswa. Guru memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk memikirkan jawabannya dan secara
individu siswa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru
2. Berpasangan (pairing), pada tahapan ini guru membagikan LKS,
meminta siswa untuk berpasang-pasangan, dan memberikan
kesempatan kepada pasangan-pasangan tersebut untuk berdiskusi
menyelesaikan LKS yang dibagikan oleh guru.
3. Berbagi (sharing), pada tahapan ini pasangan-pasangan melaporkan
hasil diskusi dari LKS yang dibagikan dan siswa yang lain
memberikan tanggapan terhadap hasil diskusi temannya yang
melaporkan hasil diskusi bersama pasangan.
Dengan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TPS, materi yang
akan dipelajari oleh siswa lebih mudah untuk diterima karena siswa belajar
dengan melakukan diskusi berpasangan dengan temannya. Siswa yang
pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS, hasil
belajar yang didapat akan lebih meningkat daripada siswa yang pembelajarannya
menggunakan ceramah dan tanya jawab yang cenderung monoton dan hal ini
menjadikan pembelajaran menjadi terpusat pada guru, siswa hanya mendengarkan
penjelasan dari guru, dan siswa pasif dan tidak ada kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya. Evaluasi hasil belajar pun hanya menggunakan
hasil tes formatif saja, tanpa menggunakan penilaian proses pembelajaran.
Padahal didalam KTSP serta standar proses menganjurkan bahwa penilaian hasil
belajar tidak hanya memperhatikan hasilnya saja namun juga memperhatikan
proses siswa dalam belajar, sehingga guru dalam pembelajaran dapat mengamati
perkembangan belajar siswa tidak hanya berdasarkan hasil.
22
Pembelajaran IPS
Peristiwa sekitar proklamasi kemerdekaan Indonesia
Pembelajaran Konvensional Pembelajaran kooperatif TPS
Guru menyampaikan materi
dengan menggunakan metode
ceramah
Tes Formatif
(Tes II)
Hasil belajar
< KKM 90
Tes Formatif
Gambar 2.1 Hubungan antara pembelajaran konvensional dan pembelajaran
kooperatif tipe TPS
Siswa pasif dan hanya
mendengarkan penjelasan dari guru
Penilaian
Hasil
Belajar
Siswa menyimak materi
Siswa menerima pertanyaan yang
diajukan oleh guru
Secara individu siswa menjawab
pertanyaan berdasarkan materi
yang sudah disimak
Siswa menerima LKS
Siswa berpasangan untuk menyelesaikan
LKS yang dibagikan oleh guru
Siswa mempresentasikan hasil
pengerjakaan LKS
Siswa yang tidak melaporkan hasil
pengerjaan LKS menanggapi presentasi
Siswa melakukan penegasan terhadap
materi yang telah dipelajari dengan
bimbingan dari guru
Penilaian Proses Penilaian Hasil
Hasil Belajar
Hasil Belajar > KKM 90
23
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, kajian teori, dan kerangka berfikir, maka
peneliti membuat hipotesis didalam penelitian ini sebagai berikut “Ada
keefektifan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TPS terhadap hasil
belajar IPS siswa kelas V SD Negeri Genuksuran Purwodadi Grobogan semester
II tahun ajaran 2011/2012”.