BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian teori 2.1.1 Hakikat...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian teori 2.1.1 Hakikat...
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian teori
2.1.1 Hakikat Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik
(siswa) dengan lingkungnnya, sehingga terjadi perubahan prilaku (Mulyasa,
2005).,sedangkan Marhaeni (2006) mengatakan bahwa pembelajaran adalah
kegiatan yang terprogram dalam desain FEE (facilitating, empowering, enabling ),
untuk membuat siswa belajar secara aktif. Pengertian di atas menunjukkan bahwa
dalam pembelajaran terjadi interaksi antara peserta didik yang belajar dan
pendidik yang membantu proses belajar tersebut.
Pembelajaran Kontekstual menurut Elaine B. Johnson (2007: 67)
mengungkapkan bahwa CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan
menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka
pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks
dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial
dan budaya mereka. Sementara itu, Bandono (2008) mengungkapkan bahwa
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran yang
holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar
dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks
pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan
yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif
pemahamannya. Sedangkan, The washington State Consortium for Contextual
Teaching and Learning (Nurhadi, 2004: 12) mengungkapkan bahwa pengajaran
kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat,
memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam
berbagai latar sekolah dan di luar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan
yang ada dalam dunia nyata. Pembelajaran kontekstual terjadi ketika siswa
menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-
masalah real yang berasosiasi dengan peranan dan tanggung jawab mereka
6
sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, siswa dan selaku pekerja.
Pengajaran dan pembelajaran kontekstual menekankan berpikir tingkat tinggi,
transfer pengetahuan melalui disiplin ilmu, dan mengumpulkan, menganalisis dan
mensintesiskan informasi dan data dari berbagai sumber dan sudut pandang. Dari
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah
konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari; sementara siswa
memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit
demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk
memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Untuk
mencapai tujuan ini, menurut Elaine B. Johnson (Nurhadi, 2004: 13-14) ada
delapan komponen utama dalam sistem pembelajaran kontekstual yaitu sebagai
berikut:
a. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections) Siswa
dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam
mengembangkan minatnya secara individu, orang yang dapat bekerja sendiri atau
bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat.
b. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work) Siswa
membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada
dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan anggota masyarakat.
c. Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning) Siswa melakukan
pekerjaan yang signifikan; ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada
hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya/hasilnya yang sifatya
nyata.
d. Bekerja sama (collaborating) Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa
bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana
mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
7
e. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking) Siswa dapat
menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif; dapat
menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan
menggunakan logika dan bukti-bukti.
f. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual)Siswa
memelihara pribadinya; mengetahui, memberi perhatian,memiliki harapanharapan
yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri.
g. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards) Siswa mengenal dan
mencapai standar yang tinggi; mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa
untuk mencapainya.
h. Menggunakan penilaian autentik (using authentic assesment) Siswa
menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu
tujuan yang bermakna. Adapun prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual menurut
Nurhadi (2004: 20- 21) yang harus dilakukan oleh seorang guru adalah sebagai
berikut:
a. Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental
siswa (developmentally). Hubungan antara isi kurikulum dan metodologi yang
digunakan untuk mengajar harus didasarkan kepada kondisi sosial, emosional dan
perkembangan intelektual siswa. Jadi, usia siswa dan karakteristik individual
lainnya serta kondisi sosial dan lingkungan budaya siswa haruslah menjadi
perhatian di dalam merencanakan pembelajaran.
b. Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung (independent
learninggroups) Siswa saling belajar dari sesamanya di dalam kelompok-
kelompok kecil dan belajar bekerja sama dalam tim lebih besar (kelas).
Kemampuan itu merupakanbentuk kerjasama yang diperlukan oleh orang dewasa
di tempat kerja dan kontekslain. Jadi, siswa diharapkan untuk berperan aktif.
8
c. Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self-
regulated learning) Lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self-
regulated learning) memiliki tiga karakteristik umum, yaitu kesadaran berpikir,
penggunaan strategi dan motivasi berkelanjutan.
d. Mempertimbangkan keragaman siswa (disversity of students) Di kelas guru
harus mengajar siswa dengan berbagai keragaman, misalnya latar belakang suku
bangsa, status sosial-ekonomi, bahasa utama yang dipakai di rumah, dan berbagai
kekurangan yang mungkin mereka miliki. Dengan demikian, guru diharapkan
dapat membantu siswa untuk mencapai tujuan pembelajarannya.
e. Memperhatikan multi-intelegensi (multiple intelegences) Dalam melayani siswa
di kelas, guru harus memadukan berbagai strategi pendekatan pembelajaran
kontekstual sehingga pengajaranakan efektif bagi siswa dengan berbagai
intelegensinya.
f. Menggunakan teknik-teknik bertanya (questioning) untuk meningkatkan
pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah, dan keterampilan
berpikir tingkat tinggi
g. Menerapkan penilaian autentik (authentic assessment) Penilaian autentik
mengevaluasi penerapan pengetahuan dan bepikir kompleks seorang siswa,
daripada hanya sekadar hafalan informasi aktual.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian pembelajaran yang telah
diungkapkan di atas, maka yang dimaksud dengan pembelajaran adalah upaya
penataan lingkungan (fisik, sosial, kultur dan fsikologis) yang bersifat eksternal
(datang dari luar pebelajar) serta sengaja dirancang atau didesain (terprogram)
sehingga memberikan suasana tumbuh dan berkembangnya proses belajar.
2.1.2 Landasan Pembelajaran Kontekstual
Komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan pembelajaran
kontekstual di kelas adalah kontruktivisme (CONSTRUCTIVISM), bertanya
9
(QUESTIONING), menemukan (INQUIRY), masyarakat belajar (LEARNING
COMMUNITY), pemodelan (MODELING), refleksi (REFLECTION) dan penilaian
sebenarnya (AUTHENTIC ASSEMENT). Kelas dapat dikatakan menggunakan
pendekatan kontekstual jika menerapkan komponen-komponen tersebut dalam
pembelajarannya (Nurhadi, 2004:31-51). Kontruktivisme adalah proses
membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa
berdasarkan pengalaman. Inkuiri adalah proses pembelajaran didasarkan pada
pencairan dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Bertanya adalah
menggali kemampuan, membangkitkan motivasi dan merangsang keingintahuan
siswa. Pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu
sebagai contoh yang dapat ditiru oleh siswa. Refleksi adalah proses mengendapkan
pengalaman yang telah dipelajari dengan cara mengurutkan kembali kejadian atau
peristiwa pembelajaran yang telah dilalui. Penilaian nyata adalah proses
mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar siswa yang diarahkan
pada proses belajar bukan hasil belajar.
(Sanjaya, 2006:118-122). Dalam komponen kontruktivisme sebagai filosofi
dapat dikembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan
cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan
dan keterampilan barunya. Dengan demikian siswa belajar sedikit demi sedikit dari
konteks terbatas, siswa mengkonstruksi sendiri pemahamannya. Pemahaman yang
mendalam diperoleh melalui pengalaman belajar yang bermakna. Komponen
inkuiri sebaga strategi belajar dapat dilaksanakan untuk mencapai kompetensi yang
diinginkan. Siklus yang terdiri dari mengamati, bertanya, menganalisis dan
merumuskan teori baik perorangan maupun kelompok. Diawali dengan
pengamatan, lalu berkembang untuk memahami konsep / fenomena. Dalam hal ini
mengembangkan dan menggunakan keterampilan berpikir kritis. Komponen
bertanya sebagai keahlian dasar yang dikembangkan, bertanya sebagai alat belajar
mengembangkan sifat ingin tahu siswa. Mendorong siswa untuk mengetahui
sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi, digunakan untuk
menilai kemampuan siswa berfikir kritis dan melatih siswa untuk berfikir kritis.
10
Komponen masyarakat belajar sebagai penciptaan lingkungan belajar yaitu
menciptakan masyarakat belajar atau belajar dalam kelompok-kelompok. Dalam
hal ini berbicara dan berbagi pengalaman dengan orang lain. Bekerja sama dengan
orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang lebih baik dibandingkan dengan
belajar sendiri. Komponen permodelan, model sebagai acuan pencapaian
kompetensi yaitu menunjukkan model sebagai contoh pembelajaran (benda-benda,
guru, siswa lain, karya inovasi dll). Membahasakan gagasan yang dipikirkan,
mendemonstrasi bagaimana menginginkan siswa untuk belajar, dan melakukan apa
yang diinginkan agar siswa untuk belajar, dan melakukan apa yang diinginkan agar
siswa melakukannya. Komponen refleksi sebagai langkah akhir dari belajar yaitu
melakukan refleksi di akhir pertemuan agar siswa merasa bahwa hari ini mereka
belajar sesuatu. Dalam hal ini refleksi berarti cara-cara berpikir tentang apa yang
telah dipelajari. Menelaah dan merespon terhadap kejadian, aktivitas dan
pengalaman. Mencatat apa yang telah dipelajari dan merasakan ide-ide baru.
Komponen penilaiannya sebenarnya dalah melakukan penilaian yang sebenarnya
dari berbagai sumber dan dengan berbagai cara. Dalam hal ini mengukur
pengetahuan dan keterampilan siswa. Mempersyaratkan penerapan pengetahuan
atau pengalaman. Tugas-tugas yang kontekstual dan relevan. Proses dan produk
kedua-duanya dapat diukur.
Jadi dalam pembelajaran kontekstual berarti melaksanakan komponen-
komponen atau aspek-aspek pembelajaran kontekstual, dalam hal ini guru
memegang peranan penting dalam menciptakan pembelajaran yang
menggairahkan atau menyenangkan sehingga guru harus kreatif memilih metode
pembelajaran yang efektif dalam menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif.
Dari segi proses guru dikatakan berhasil apabila mampu melibatkan sebagian
besar siwa secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses
pembelajaran. Sedangkan dari segi hasil guru dikatakan berhasil apabila
pembelajaran yang diberikan mampu mengubah perilaku sebagian besar siswa kea
rah penguasaan kompetensi dasar yang lebih baik.
11
2.1.3 Pengertian Pembelajaran kontekstual
Nurhadi (2005: 5) berpendapat bahwa pembelajaran kontekstual adalah
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan melibatkan ketujuh
komponen utama pembelajaran efektif yaitu kontruktivisme, bertanya,
menemukan, masyarakat belajar, permodelan, dan penilaian sebenarnya atau
authentic assessment.
Suherman, Erman (2003: 3) menyatakan pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual adalah pembelajaran yang mengambil (menstimulasikan,
menceritakan berdialog, atau tanya jawab) kejadian pada dunia nyata kehidupan
sehari-hari yang dialami siswa kemudian diangkat kedalam konsep yang dibahas.
Istiqomah, Lailatul (2009: 30) menyampaikan pembelajaran kontekstual
merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi
pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran dengan pendekatan konsektual memberikan penekanan pada
penggunaan berpikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan, permodelan, informasi
dan data dari berbagai sumber.
Pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan
pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah pengetahuan.
Melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kelas, suatu pendekatan
pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman lebih relevan dan berarti bagi
siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam
pembelajaran seumur hidup. Pembelajaran kontekstual menyajikan suatu konsep
yang menaitkan materi pelajaran yang dipelajari siswadengan konteks materi
tersebut digunakan, serta hubungan bagaimana seseorang belajar atau cara siswa
belajar.
Dengan demikian, dalam kegiatan pembelajaran perlu adanya upaya membuat
belajar lebih mudah, sederhana, bermakna dan menyenangkan agar siswa mudah
12
menerima ide, gagasan, mudah memahami permasalahan dan pengetahuan serta
dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan barunya secara aktif, kreatif dan
produktif. Untuk mencapai usaha tersebut segala komponen pembelajaran harus
dipertimbangkan termasuk pendekatan kontekstual.
Dalam kaitan dengan evaluasi, pembelajaran dengan kontekstual lebih
menekankan pada authentic assesmen yang diperoleh dari berbagai kegiatan.
Alwasih, Chaedar (2002:289) berpendapat bahwa keuntungan penilaian autentik
bagi siswa antara lain: (1) mengungkapkan secara total seberapa baik pemahaman
materi akademik mereka, (2) mengungkapkan dan memperkuat penguasaan
kompetensi mereka seperti mengumpulkan informasi, menggunakan sumber daya,
mengani teknologi, dan berfikir secara sistematis, (3) menhubungkan
pembelajaran dengan pengalaman mereka sendiri, dunia mereka, dan masyarakat
luas, (4) mempertajam keahlian berfikir dalam tingkatan yang lebih tinggi saat
mereka menganalisis, memadukan, mengidentifikasi masalah, menciptakan solusi,
dan menghubungkan sebab akibat, (5) menerima tanggung jawab dan membuat
pilihan, (6) berhubungan dan bekerja sama dengan orang lain dalam mengerjakan
tugas, dan (7) belajar mengevaluasi tingkat prestasi sendiri. Jenis penilaian
autentik yaitu portofolio, pengukuran kinerja, proyek, dan jawaban tertulis secara
lengkap.
Depdiknas, 2002 menyampaikan bahwa pendekatan kontekstual adalah konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-
hari. Selain itu pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsep tentang
pembelajaran yang membantu guru-guru untuk menghubungkan isi bahan ajar
dengan situasi-situasi dunia nyata serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari
sebagai anggota keluarga, warga negara, dan pekerja serta terlibat aktif dalam
kegiatan belajar mengajar yang dituntut dalam pelajaran. Pendekatan kontekstual
ini merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi
yang diajarkan dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
13
kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Tugas
guru dalam kelas kontekstual adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Guru
lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi.
Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk
menemukan suatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Pendekatan kontekstual
ini perlu diterapkan mengingat bahwa selama ini pendidikan masih didominasi
oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus
dihapalkan. Dalam hal ini fungsi dan peranan guru masih dominan sehingga siswa
menjadi pasif dan tidak kreatif. Melalui pendekatan kontekstual ini siswa
diharapkan belajar dengan cara mengalami sendiri bukan menghapal.
Pada dasarnya pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang
membantu guru untuk mengaitkan materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata,
dan memotivasi siswa untuk mengaitkan pengetahuan yang didapatnya dengan
kehidupan mereka sehari-hari. Nurhadi (2004: 13) menyatakan bahwa
pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia
nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual
adalah pembelajaran yang memotivasi siswa untuk menghubungkan antara
pengetahuan yang diperolehnya dari proses belajar dengan kehidupan mereka
sehari-hari, yang bermanfaat bagi mereka untuk memecahkan suatu masalah di
lingkungan sekitarnya. Sehingga pembelajaran yang diperoleh siswa lebih
bermakna.
Dari uraian tentang pengertian dan karakteristik pembelajaran konsektual
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran konsektual memenuhi syarat sebagai
pembelajaran efektif pada bidang studi IPA. Pembelajaran kontekstual juga dapat
meningkatkan peran siswa dalam proses belajar mengajar. Serta pembelajaran
kontekstual dapat memotivasi siswa untuk menghubunngkan pengetahuan yang
mereka peroleh dalam kehidupan sehari-hari. Setelah mereka berhasil
menghubungkan pengetahuan yang mereka tersebut, diharapkan mereka berhasil
menghubungkan tersebut dan mereka dapat menerapkan pengetahuan tersebut
14
untuk memecahkan masalah pribadi maupun masalah di lingkungan sekitarnya.
Sehingga pembelajaran yang mereka lakukan lebih bermakna dan sesuai dengan
kebutuhan mereka sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat.
2.1.4 Penerapan Pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran IPA
langkah-langkah penerapan pembelajaran kontekstual di kelas adalah
sebagai berikut:
1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan
cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri
pengetahuan dan ketrampilan barunya.
2. Laksanakan sebanyak mungkin kegiatan menemukan (inkuri) untuk semua
topik.
3. Kembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya.
4. Ciptakan “masyarakat belajar” (belajar dalam kelompok-kelompok)
5. Hadirkan “model” sebagai contoh pembelajaran.
6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Pembelajaran IPAyang dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah
seperti yang disebutkan di atas, akan membantu siswa belajar secara bermakna.
Konsep-konsep materi yang dipelajari akan lebih tahan lama ada di benak siswa,
karena mereka belajar melalui bekerja dan menemukan sendiri. Dalam
pembelajaran kontekstual guru tidak secara langsung memberikan generalisasi
suatu konsep atau prinsip yang dipelajari siswa, tetapi guru melibatkan siswa
dalam proses mendapatkannya. Guru menyusun situasi belajar sedemikian rupa
sehingga siswa belajar bagaimana bekerja dengan data untuk membuat
kesimpulan.
15
2.1.5 Pembelajaran Kontekstual Tipe Inkuiri
2.1.5.1 Landasan Pemikiran Pembelajaran Inkuiri
Pendekatan inkuiri pada dasarnya adalah menggunakan pendekatan
konstruktivistik, di mana setiap siswa sebagai subyek belajar, dibebaskan untuk
menciptakan makna dan pengertian baru berdasarkan interaksi antara apa yang
telah dimiliki, diketahui, dipercayai, dengan fenomena, ide, atau informasi baru
yang dipelajari. Dengan demikian, dalam proses belajar mahasiswa telah
membawa pengertian dan pengetahuan awal yang harus ditambah, dimodifikasi,
diperbaharui, direvisi, dan diubah oleh informasi baru yang diperoleh dalam
proses belajar.
Siswa dibebaskan untuk mengungkapkan pendapatnya secara bebas tanpa
ada rasa takut akan terjadi kesalahan. Semakin banyak mahasiswa yang berani
mengemukakan pendapat, dapat diartikan bahwa pendekatan inkuiri dalam proses
pembelajaran di kelas dapat meningkatkan partisipasi siswa.Proses belajar tidak
dapat dipisahkan dari aktivitas dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan
seiring secara dialogis. Pengetahuan tidak dipisahkan dari aktivitas di mana
pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta dari
komunitas budaya di mana pengetahuan didesiminasikan dan diterapkan. Dalam
pembelajaran dengan pendekatan inkuiri ini siswa akan dihadapkan pada suatu
permasalahan yang harus diamati, dipelajari, dan dicermati, yang pada akhirnya
dapat meningkatkan pemahaman konsep mata kuliah dalam kegiatan
pembelajaran. Secara logika apabila siswa meningkat partisipasinya dalam
kegiatan pembelajaran, maka secara otomatis akan meningkatkan pemahaman
konsep materi pembelajaran, dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan
prestasi belajar.
1.1.5.2. Pengertian Inkuiri
Kata inkuiri sering juga dinamakan heuriskin yang berasal dari bahasa
yunani, yang memiliki arti saya menemukan. Metode inkuiri berkaitan dengan
aktivitas pencarian pengetahuan atau pemahaman untuk memuaskan rasa ingin
tahu sehingga siswa akan menjadi pemikir kreatif yang mampu memecahkan
16
masalah. Hal ini sejalan dengan pendapat Sanjaya (2006:196) bahwa “Metode
inkuiri adalah suatu metode pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir
secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari
suatu permasalahan yang dipertanyakan”.
Sementara itu menurut Sagala (2004:34) yang mendefenisikan metode
inkuiri sebagai berikut: Metode inkuiri merupakan metode pembelajaran yang
berupaya menanamkan dasar-dasar berfikir ilmiah pada diri siswa yang berperan
sebagai subjek belajar, sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih
banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah.
Sedangkan Piaget (Mulyasa,2008:108) mendefenisikan metode inkuiri
sebagai berikut: Metode inkuiri adalah metode yang mempersiapkan siswa pada
situasi untuk melakukan eksperimen sendiri secara luas agar melihat apa yang
terjadi, ingin melakukan sesuatu, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan
mencari jawabannya sendiri, serta menghubungkan penemuan yang satu dengan
penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukannya dengan yang
ditemukan peserta didik lain.
Sedangkan menurut Aziz (2007:92) memiliki defenisi lain mengenai
pengertian metode inkuiri sebagaimana yang tertulis sebagai berikut: Metode
inkuiri adalah metode yang menempatkan dan menuntut guru untuk membantu
siswa menemukan sendiri data, fakta dan informasi tersebut dari berbagai sumber
agar dengan kegiatan itu dapat memberikan pengalaman kepada siswa.
Pengalaman ini akan berguna dalam menghadapi dan memecahkan masalah-
masalah dalam kehidupannya. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli yang
telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa metode
inkuiri adalah metode yang memberi kesempatan kepada siswa untuk terlibat
secara aktif dalam proses pembelajaran melalui percobaan maupun eksperimen
sehingga melatih siswa berkreativitas dan berpikir kritis untuk menemukan
sendiri suatu pengetahuan yang pada akhirnya mampu menggunakan
pengetahuannya tersebut dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Langkah-langkah kegiatan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri adalah
sebagai berikut:
17
1. Merumuskan masalah
2. Mengamati atau observasi
3. Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan,
tabel, dan karya lainnya
4. Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman
sekelas, guru, atau audien yang lain.
2.1.5.3 Penerapan Pendekatan Inkuiri
Dalam implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), para
ahli menyarankan menciptakan iklim pembelajaran sains yang kondusif. Melalui
pembelajaran sains di sekolah dasar siswa dilatih untuk berpikir, membuat konsep
ataupun dalil melalui pengamatan, dan percobaan. Selain itu juga melalui
pembelajaran sains diharapkan dapat menumbuhkan sikap dan nilai yang positif
serta memupuk rasa cinta kepada alam sekitar dan keagungan Tuhan Yang Maha
Esa. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Patta Bundu (2007:18)
bahwaPembelajaran sains merupakan wahana bagi siswa untuk memiliki
kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan, gagasan, dan menerapkan
konsep yang diperolehnya untuk menjelaskan dan memecahkan masalah yang
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari; dan dari segi sikap dan nilai siswa
diharapkan mempunyai minat untuk mempelajari benda-benda di lingkungannya,
bersikap ingin tahu, tekun, kritis, mawas diri, bertanggung jawab, dapat bekerja
sama dan mandiri, sera mengenal dan memupuk rasa cinta terhadap alam sekitar
sehingga menyadari keagungan Tuhan Yang Maha esa.
Untuk mewujudkan keinginan pembelajaran Sains di Sekolah Dasar
yang tertuang di dalam kurikulum, guru harus mampu menjadi fasilitator
dalam pembelajaran sains yang mampu menciptakan pembelajaran yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswanya sehingga siswa
mampu bereksplorasi untuk membentuk kompetensi dengan menggali
berbagai potensi dan keberanian ilmiah.
18
Salah satu metode pembelajaran dalam bidang sains, yang sampai
sekarang masih tetap dianggap sebagai metode yang cukup efektif adalah
metode inkuiri. Dalam penerapan metode inkuiri untuk pembelajaran sains di
sekolah dasar, guru memiliki peranan yang sangat penting. Sebagaimana yang
dikemukakan Gulo (2002:86) Seorang guru akan memiliki beberapa peran
dalam menerapkan metode inkuiri, yaitu:
a) Motivator, yang memberi rangsangan supaya siswa aktif dan
gairah berpikir.
b) Fasilitator, yang menunjukkan jalan keluar jika ada hambatan dalam
proses berpikir siswa.
c) Penanya, untuk menyadarkan siswa dari kekeliruan yang mereka
perbuat dan memberi keyakinan pada diri sendiri.
d) Administrator, yang bertanggungjawab terhadap seluruh kegiatan di
dalam kelas. Pengarah, yang memimpin arus kegiatan berpikir siswa
pada tujuan yang diharapkan.
e) Manajer, yang mengelola sumber belajar, waktu, dan organisasi kelas.
f) Rewarder, yang memberi penghargaan pada prestasi yang dicapai
dalam rangka peningkatan semangat heuristik pada siswa.
Kelebihan dan Kelemahan Metode Inkuiri Adapun teknik penggunaan
metode inkuiri memiliki kelebihan sebagai berikut :
Metode inkuiri merupakan salah satu metode yang sangat dianjurkan untuk
diterapkan dalam proses pembelajaran, sebab metode inkuiri sebagai sebagai
metode pembelajaran memiliki beberapa keunggulan. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Sanjaya (2006:2008) bahwa metode inkuiri memiliki beberapa
keunggulan, diantaranya:
1. Metode inkuiri merupakan metode pembelajaran yang menekankan kepada
pengembangan aspek kognitif, afektif dan psikomotor secara seimbang sehingga
pembelajaran akan lebih bermakna.
2. Metode inkuiri memberikan ruang kepada siswa untuk belajar sesuai
dengan gaya belajar mereka.
19
3. Metode inkuiri merupakan metode yang dianggap sesuai dengan
perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap belajar adalah
proses perubahan tingkah laku berkat adanya perubahan.
4. Keuntungan lain adalah metode pembelajaran ini dapat melayani
kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Artinya,
siswa yang memiliki kemampuan belajar yang bagus tidak akan terhambat
oleh siswa yang lemah dalam belajar.
Selain mempunyai kelebihan metode inkuiri yang memiliki kelemahan atau
kekurangan adalah:
1. Metode inkuiri terlalu menekankan pada proses/aspek intelektual atau
kognitif dan kurang memperhatikan dominan afektif atau aspek emosional
dari proses belajar mengajar.
2. Metode ini tidak efektif bagi kelas bersiswa banyak karena setiap siswa
mungkin membutuhkan waktu banyak dari guru untuk menuntunnya.
3. Harapan akan hasil penyelidikan mungkin tidak terpenuhi atau
mengecewakan terutama bagi guru yang sudah terbiasa dengan perencanaan
dan pengajaran tradisional.
4. Sarana untuk mengetes penyelidikan belum cukup tersedia.
Jadi Metode inkuiri ini bertujuan untuk menolong siswa dalam
mengembangkan disiplin intelektual dan keterampilan yang dibutuhkan serta
mengajak siswa untuk aktif dalam memecahkan satu masalah. Penggunaan
metode inkuiri dalam pembelajaran Biologi besar manfaatnya dalam
meningkatkan kualitas pembelajaran, karena dengan penggunaan metode inkuiri
dalam proses pembelajaran dapat mendorong siswa untuk berpikir dan bekerja
atas inisiatifnya sendiri, bersifat objektif, jujur, dan terbuka, serta memberikan
kesempatan kepada siswa untuk belajar sendiri dan dapat mengembangkan bakat
dan kecakapan individunya. Dengan pelaksanaan metode inkuiri diharapkan bagi
siswa termotivasi dalam proses pembelajaran dan dapat meningkatkan hasil
belajar yang maksimal.
20
2.1.6 Hasil Belajar
Menurut Sudjana (2007:3), “hasil belajar ialah perubahan tingkah laku yang
mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dimiliki siswa setelah
menerima pengalaman belajarnya”. Hasil belajar manajemen sistem
penyelenggaraan makanan institusi merupakan tingkat kemampuan yang dapat
dikuasai dari materi yang telah diajarkan mencakup tiga kemampuan
sebagaimana diungkapkan oleh bloom di dalam Sudjana (2007:22-32).
Berdasarkan teori Taksonomi Bloom hasil belajar dalam rangka studi
dicapai melalui tiga kategori ranah antara lain:
1. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6
aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan
penilaian
2. Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi
lima jenjang kemampuan yaitu menerima, menjawab tahu reaksi, menilai,
organisasi dan karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai.
3. Ranah psikomotor meliputi motorik, manipulasi benda-benda, koordinasi
neuromuscular (menghubungkan, mengamati).
Tipe hasil belajar kognitif lebih dominan daripada afektif dan psikomotor
karena lebih menonjol, namun hasil belajar psikomotor dan afektif juga harus
menjadi bagian dari hasil penilaian dalam proses pembelajaran di sekolah. Hasil
belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima
pengalaman belajarnya. Hasil belajar digunakan oleh guru untuk dijadikan ukuran
atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Hal ini dapat tercapai
apabila siswa sudah memahami belajar dan diiringi oleh perubahan tingkah laku
yang lebih baik lagi.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006 :250-251), hasil belajar merupakan
hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi
siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila
dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut
21
terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Sedangkan dari
sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran.
Untuk mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar siswa digunakan
alat penilaian untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan
tercapai atau tidak. Hasil belajar yang berupa aspek kognitif, aspek afektif, dan
aspek psikomotorik menggunakan alat penilaian yang berbeda-beda. Untuk aspek
kognitif digunakan alat penilaian yang berupa tes, sedangkan untuk aspek afektif
digunakan alat penilaian yaitu skala sikap (ceklist) untuk mengetahui sikap siswa
dalam mengikuti pembelajaran, dan aspek psikomotorik digunakan lembar
observasi.
Berdasarkan pendapat beberapa para ahli tentang pengertian hasil belajar,
maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan hasil akhir dari proses
kegiatan belajar siswa dari seluruh kegiatan siswa dalam mengikuti pembelajaran
di kelas dan menerima suatu pelajaran untuk mencapai kompetensi yang berupa
aspek kognitif yang diungkapkan dengan menggunakan suatu alat penilaian yaitu
tes evaluasi dengan hasil yang dinyatakan dalam bentuk nilai, aspek afektif yang
menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti pembelajaran, dan aspek
psikomotorik yang menunjukkan keterampilan dan kemampuan bertindak siswa
dalam mengikuti pembelajaran.
2.1.7 IPA
2.1.7.1 Hakikat IPA
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai kumpulan
pengetahuan yang tersusun secara terbimbing. Hal ini sejalan dengan kurikulum
KTSP (Depdiknas, 2006) bahwa “IPA berhubungan dengan cara mencari tahu
tentang alam secara sistematis, sehingga bukan hanya penguasaan kumpulan
pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsip saja tetapi juga merupakan
suatu proses penemuan”. Selain itu IPA juga merupakan ilmu yang bersifat
empirik dan membahas tentang fakta serta gejala alam. Fakta dan gejala alam
tersebut menjadikan pembelajaran IPA tidak hanya verbal tetapi juga faktual. Hal
ini menunjukkan bahwa, hakikat IPA sebagai proses diperlukan untuk
22
menciptakan pembelajaran IPA yang empirik dan faktual. Hakikat IPA sebagai
proses diwujudkan dengan melaksanakan pembelajaran yang melatih ketrampilan
proses bagaimana cara produk sains ditemukan.
IPA disiplin ilmu memiliki ciri-ciri sebagaimana disiplin ilmu lainnya.
Setiap disiplin ilmu selain mempunyai ciri umum, juga mempunyai ciri
khusus/karakteristik. Adapun ciri umum dari suatu ilmu pengetahuan adalah
merupakan himpunan fakta serta aturan yang yang menyatakan hubungan antara
satu dengan lainnya. Ciri-ciri khusus tersebut dipaparkan berikut ini.
a. IPA mempunyai nilai ilmiah artinya kebenaran dalam IPA dapat dibuktikan
lagi oleh semua orang dengan menggunakan metode ilmiah dan prosedur
seperti yang dilakukan terdahulu oleh penemunya.
b. IPA merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara
sistematis, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-
gejala alam.
c. IPA merupakan pengetahuan teoritis. Teori IPA diperoleh atau disusun
dengan cara yang khas atau khusus, yaitu dengan melakukan observasi,
eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori, eksperimentasi, observasi
dan demikian seterusnya kait mengkait antara cara yang satu dengan cara
yang lain.
d. IPA merupakan suatu rangkaian konsep yang saling berkaitan. Dengan
bagan-bagan konsep yang telah berkembang sebagai suatu hasil eksperimen
dan observasi, yang bermanfaat untuk eksperimentasi dan observasi lebih
lanjut (Depdiknas, 2006).
IPA meliputi empat unsur, yaitu produk, proses, aplikasi dan sikap. Produk
dapat berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum. Proses merupakan prosedur
pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi pengamatan,
penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen, percobaan atau penyelidikan,
pengujian hipotesis melalui eksperimentasi; evaluasi, pengukuran, dan penarikan
kesimpulan.
23
2.1.7.2. Karakteristik IPA
Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk
mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih
lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses
pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk
mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar
secara ilmiah. IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi
kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat
diidentifikasikan. Oleh karena itu, karakteristik belajar IPA meliputi:
a. Hampir semua indera, seluruh proses berpkir, dan berbagai gerakan otot.
b. Berbagai teknik (cara), seperti observasi, eksplorasi, dan eksperimentasi.
c. Alat bantu pengamatan untuk memperoleh data yang obyektif, sesuai sifat
IPA yang mengutamakan obyektivitas.
d. Kegiatan temu ilmiah, mengunjungi objek, studi pustaka, dan penyusunan
hipotesis untuk mempeloleh pengakuan kebenaran temuan yang benar-benar
obyektif.
e. Proses aktif, artinya belajar IPA merupakan suatu yang harus dilakukan
siswa, bukan suatu yang dilakukan untuk siswa.
2.1.7.3. Tujuan IPA
Mata Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut.
1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya.
2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang
adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,
teknologi dan masyarakat.
24
4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah dan membuat keputusan.
5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga
dan melestarikan lingkungan alam.
6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya
sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai
dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.
2.1.7.4. Ruang Lingkup IPA
1. Ruang Lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-
aspek berikut:
1. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan
interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.
2. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas.
3. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik,
cahaya dan pesawat sederhana.
4. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda
langit lainnya.
2.1.7.5. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
Pembelajaran IPA di SD merupakan interaksi antara siswa dengan
lingkungan sekitanya. Hal ini mengakibatkan pembelajaran IPA perlu
mengutamakan peran siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Sehingga
pembelajaran yang terjadi adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dan
guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran tersebut. Guru berkewajiban untuk
meningkatkan pengalaman belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran
IPA. Tujuan ini tidak terlepas dari hakikat IPA sebagai produk, proses dan sikap
ilmiah. Oleh sebab itu, pembelajaran IPA perlu menerapkan prinsip-prinsip
pembelajaran yang tepat. Asy’ari, Muslicah (2006:25) memaparkan beberapa
prinsip pembelajaran IPA di SD sebagai berikut:
25
1. Empat Pilar Pendidikan Global, yang meliputi learning to know, learning to
do, learning to be, learning to live together. Learning to know, artinya
dengan meningkatkan interaksi siswa dengan lingkungan fisik dan sosialnya
diharapkan siswa mampu membangun pemahaman dan pengetahuan tentang
alam sekitarnya. Learning to do, artinya pembelajaran IPA tidak hanya
menjadikan siswa sebagai pendengar melainkan siswa diberdayakan agar
mau dan mampu untuk memperkaya pengalaman belajarnya. Learning to be,
artinya dari hasil interaksi dengan lingkungan siswa diharapkan dapat
membangun rasa percaya diri yang pada akhirnya membentuk jati dirinya.
Learning to live together, artinya dengan adanya kesempatan berinteraksi
dengan berbagai individu akan membangun pemahaman sikap positif dan
toleransi terhadap kemajemukan dalam kehidupan bersama.
2. Prinsip Inkuiri, prinsip ini perlu diterapkan dalam pembelajaran IPA karena
pada dasarnya anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, sedang alam
sekitar penuh dengan fakta atau fenomena yang dapat merangsang siswa
ingin tahu lebih banyak.
3. Prinsip Konstruktivisme. Dalam pembelajaran IPA sebaiknya guru dalam
mengajar tidak memindahkan pengetahuan kepada siswa. Melainkan perlu
dibangun oleh siswa dengan cara mengkaitkan pengetahuan awal yang
mereka miliki dengan struktur kognitifnya.
4. Prinsip Salingtemas (sains, lingkungan, teknologi, masyarakat). IPA
memiliki prinsip-prinsip yang dibutuhkan untuk pengembangan teknologi.
Sedang perkembangan teknologi akan memacu penemuan prinsip-prinsip
IPA yang baru.
5. Prinsip pemecahan masalah. Pembelajaran IPA perlu menerapkan prinsip ini
agar siswa terlatih untuk menyelesaikan suatu masalah.
6. Prinsip pembelajaran bermuatan nilai. Pembelajaran IPA perlu dilakukan
secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan atau
kontradiksi dengan nilai-nilai yang diperjuangkan masyarakat sekitar.
26
7. Prinsip Pakem (pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan).
Prinsip ini pada dasarnya merupakan prinsip pembelajaran yang berorientasi
pada siswa aktif untuk melakukan kegiatan baik aktif berfikir maupun
kegiatan yang bersifat motorik.
Ketujuh prinsip itu perlu dikembangkan dalam pembelajaran IPA yang
kontekstual di SD. Hal ini bertujuan agar pembelajaran IPA lebih bermakna dan
menyenangkan bagi siswa, sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa maksimal.
2.2 Kajian Yang Relevan
Zahara, Laxmi. Penerapan Pembelajaran Kontekstual Model Inkuiri
Terbimbing Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas VIII-C MTs
Al-Maarif 02 Singosari. Skripsi, Jurusan Fisika. Program Studi Pndidikan Fisika,
Falkutas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang.
Pembimbing (I) Dra. Endang Purwaningsih, M.Si. (II) Drs. Yudyanto, M.Si.Hasil
yang diperoleh dari penelitian ini adalah dengan menerapakan pemebelajaran
kontekstual model inkuiri terbimbing, nilai rata-rata kognitif dan nilai rata-rata
psikomotorik siswa kelas VIII-C mengalami peningkatan dari siklus I sampai ke
siklus III hingga mencapai ketuntasan belajar yang diterapkan oleh seklah. Nilai
rata-rata afektif kelas VIII-C mengalami peningkatan siklus I sampai siklus III
namaun mencapai standar yang diterapkan oleh sekolah. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa, pembelajaran kontekstual model inkuiri terbimbing dapat
meningkatkan hasil belajar fisika siswa kelas VIII-C Al-Maarif 02.
Laelah Nur. 2010. Penerapan Pembelajaran Kontekstual Inkuiri Dalam
Meningkatkan Prestasi Belajar IPA siswa kelas V SD Negeri 03 Kaliprau
Pemalang. Skripsi, Jurusan Pendidikan GuruSekolah Dasar, FIP UNNES.
Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Semarang. Di SD Negeri 03
Kaliprau proses pembelajaran IPA belum dapat mengoptimalkan Hasil belajar dan
aktivitas siswa dalam proses pembelajaran, terutama kelas V. Sehingga prestasi
belajar yang diperoleh rendah sesuai keterangan guru yang menyatakan bahwa
Kriteria Ketuntasan Minimal hanya sebesar 60%. Hal yang melatar belakangi
rendahnya prestasi belajar siswa kelas v salah satunya Metode pembelajaran yang
27
digunakan guru belum bervariasi, guru hanya menggunakan metode caramah.
Sedangkan Pembelajaran yang diinginkan siswa adalah yang langsung dengan
siswa sendiri yang menemukan konsep materi tersebut. Oleh karena itu, dalam
pembelajaran mengenai materi cahaya guru menerapkan pembelajaran kontekstual
dengan pendekatan inkuiri dengan tujuan aktivitas dan hasil belajar siswa dapat
meningkat. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas yang terdiri dari
dua siklus dan setiap siklusnya terdiri dari empat tahap, yaitu perencanaan,
tindakan, observasi, dan refleksi. Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah kelas
V SD Negeri 03 Kaliprau semester 2 tahun ajaran 2009/2010. Jenis data yang
diperoleh adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Data Kualitatif meliputi
aktivitas belajar siswa selama proses pembelajaran. Data Kuantitatif meliputi
Hasil tes formatif siswa. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa aktivitas
siswa mengalami peningkatan siklus 1 sebesar 61% dan siklus 2 sebesar 85%
siswa yang memiliki nilai sekurang-kurangnya dengan kategori cukup, sedangkan
hasil belajar siswa mengalami peningkatan dari 32,55% pada siklus 1 dan 95,34%
siklus 2 siswa yang mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Dari paparan
hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
kontekstual dengan pendekatan inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan
aktivitas belajar siswa dalam kegiatan pembelajaran mengenai materi cahaya.
Luthfin, Ahmad. 2009. Penerapan Model Inkuiri Induktif dengan
Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Keterampilan Proses dan Prestasi
Belajar Siswa Kelas X SMA Ardjuna Malang. Skripsi, Jurusan Pendidikan Fisika
FMIPA Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (1) Drs. Eddy Supramono. (II)
Drs. Subani. Perkembangan teknologi dan pengetahuan itu menuntut penggantian
kurikulum yang terdahulu dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP
). KTSP diberlakukan di SMA Ardjuna akan tetapi pembelajaran fisika disana
mengutamakan model ceramah. Hal tersebut menjadikan siswa jenuh dan
konsentrasi belajarnya berkurang sehingga prestasi belajar dan keterampilan
proses siswa rendah. Hakekat Pembelajaran dalam KTSP menuntut siswa untuk
mengembangkan kemampuan ketrampilan proses. Tampak siswa kelas X SMA
28
Ardjuna Malang prestasi belajarany rendah dibawah 5 dan salah dalam
mengoprasikan dan memegang ala, hal ini menunjukkan keterampilan prosesnya
masih renda. Sehingga perlu dilakukan pembelajaran yang menuntut keterlibatan
siswa secara aktif yakni model pembelajaran inkuiri induktif dengan pendekatan
kontekstual untuk meningkatkan ketrampilan proses dan prestasi belajar siswa.
Tujuan pada penelitian adalah untuk mengetahui penerapan model inkuiri induktif
untuk meningkakan ketrampilan proses dan prestasi belajar serta untuk
mengetahui besarnya peningkatan ketrampilan proses dan prestasi belajar siswa
kelas X SMA Ardjuna Malang Penelitian yang dilakukan adalah penelitian
tindakan kelas. Model pembelajaran ini dilakukan dua siklus dengan siklus
pertama dilakukan pada bahasan Asas Black dengan durasi waktu 4x45 menit
untuk dua kali pertemuan. Siklus II dilakukan pada bahasan perpindahan kalor
dengan lama pembelajaran 4x45 menit untuk dua kali pertemuan. Keterlaksanaan
pembelajaran pada siklus I 64% meningkat menjadi 92% pada siklus II.
Berdasarkan data hasil observasi didapatkan skor ketercapaian keterampilan
proses 55% pada siklus I dan meningkat menjadi 88% pada siklus II. Berdasarkan
skor tersebut dapat diperoleh besarnya peningkatan ketrampilan proses dari siklus
I sampai siklus II sebesar 29%. Persentase siswa yang mencapai SKM untuk 47%
pada siklus I dan meningkat menjadi 80% pada siklus II. Berdasarkan data
tersebut tampak peningkatan pada prestasi belajar siswa dari siklus I sampai
siklus II besarnya peningkatannya adalah 33%. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa model inkuiri induktif dengan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan
ketrampilan proses dan prestasi belajar siswa kelas X SMA Ardjuna Malang.
Astri setiawati. Pendidikan Biologi FKIP Universitas Sebelas maret
Surakarta. Implikasi inkuiri tergadap hasil belajar biologi SMA Negeri 2 surakarta
tahun pelajaran 2009/2010. Hasil penelitian disimpulkan sebagai berikut : 1)
terdapat pengaruh yang signifikan pengunaan pendekatan inkuiri terhadap hasil
belajar ranah kognitif ; 2) tidak terdapat pengaruh yang signifikan pengunaan
pendekatan inkuiri terhadap hasil belajar ranah afektif ; 3) terdapat pengaruh yang
signifikan pengunaan yang paling efektif adalah pendekatan modefed free inkuiri.
29
Suyoto: Keefektifan Model Inkuiri pada Pembelajaran IPA di Sekolah
Dasar. Tesis. Yogyakarta Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta,
2009.Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) terdapat perbedaan prestasi hasil
belajar siswa aspek (kognitif, afektif dan sosial) pada mata pelajaran IPA Sekolah
Dasar antara model pembelajaran inkuiri dengan model pembelajaran
konvensional. Hasil ini didasarkan pada prosedur Tests of Between-Subjects
Effects dengan melihat probabilitas F hitung yang secara umum lebih kecil 0,05;
(2) terdapat perbedaan keefektifan pada rencana dan pelaksanaan pembelajaran
berdasarkan penilaian kepala sekolah dan guru IPA antara kelompok konvensional
dengan kelompok inkuiri. Hasil ini didasarkan pada nilai kategori efektif (17.5 -
22.75) dan sangat efektif (22.75 – 28); dan (3) terdapat perbedaan keefektifan
pada proses kegiatan pembelajaran pada aspek afektif dan aspek sosial
berdasarkan penilaian siswa dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Model pembelajaran inkuiri lebih baik daripada model pembelajaran konvensional
pada Sekolah Dasar.
2.3 Kerangka Berpikir
Kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang telah di identifikasi sebagai masalah
yang penting. Dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan hasil belajar
IPA antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada kelas eksperimen akan
dilakukan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual
inkuiri. Sedangkan pada kelas kontrol akan dilakukan pembelajaran seperti biasa
guru mengajar atau konvensional. Untuk soal pretest akan diambil dari alat
evaluasi yang telah diuji coba pada kelas uji coba. Hasil pretest di kelas
eksperimen dan kelas kontrol dilakukan uji beda rata-rata dan harus menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan. Kemudian setelah dilakukan
pembelajaran kontekstual inkuiri di kelas eksperimen dan pembelajaran
konvensional di kelas kontrol maka hasil belajar dari kedua kelompok tersebut di
lakukan uji beda rata-rata hasil posttest untuk melihat apakah ada pengaruh yang
signifikan dengan penggunaan model pembelajaran kontekstual inkuiri. Kerangka
berpikir ini dapat dilihat dalam bagan alur kerangka berpikir berikut ini:
30
Gambar 2.1
Alur kerangka berfikir
Penelitian ini akan membandingkan antara kelas kontrol dan kelas
eksperimen di mana kelas kontrol menggunakan metode ceramah yang sudah
biasa digunakan dalam kelas sedangkan kelas eksperimen menggunaakan model
pembelajaran inkuiri. Dalam alat ukur hasil evaluasi antara kelas eksperimen dan
kelas kontrol adalah sama. Untuk pretest diambil dari alat evaluasi pada kelas uji
coba dan hasil pretest kedua kelas yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan.
Kelas
Kontrol Pre Test
Pembelajaran
menggunakan
metode
konvensional
Post Test
Hasil pre test
tidak boleh ada
perbedaan yang
signifikan
Uji beda hasil pos
test apakah ada
pengaruh yang
signifikan dengan
penggunaan model
pembelajaran inkuiri
Kelas
Eksperimen
Pre Test
Pembelajaran
menggunakan
model
pembelajaran
inkuiri
Post Test
31
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir dapat dirumuskan hipotesis sementara
dalam penelitian ini adalah dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual
tipe inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa pada kelas V SDN 03
Kebumen Kec. Banyubiru Kab. Semarang tahun pelajaran 2011/2012