BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de...

37
12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Pada bab ini disampaikan mengenai tulisan dan hasil-hasil penelitian oleh para ilmuwan terdahulu yang pernah dilakukan di Desa Bengkala. Adapun objek dalam berbagai penelitian sama yakni masyarakat kolok Desa Bengkala namun dikaji dari sudut pandang dan analisis yang berbeda. 2.1.1 Kata Kolok sebagai Bahasa Isyarat Alami oleh I Gusti Made Sutjaja Sebuah artikel dalam rangka memperingati Hari Bahasa Ibu, 21 Februari 2013, telah ditulis oleh Guru Besar Linguistik Fakultas Sastra Universitas Udayana. Dalam tulisannya dijelaskan bahwa sedikit masyarakat Bali yang menyadari bahwa di luar bahasa Bali sebagai bahasa ibu/daerah (simbol vokal) ada juga bahasa isyarat (bukan simbol vokal) yang dikembangkan secara alami oleh 'penuturnya' di Desa Bengkala Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng. Warga desa ini ada yang secara turun-temurun/genetik mengalami ketulian yang berakibat kepada kebisuan. Bali memiliki dua keunikan besar dalam bahasa. Pertama, adalah bahasa suara/vokal (verbal) yang ditunjang oleh aksara carakan (berakar pada sistem huruf Brahmi di India bagian selatan yang kini telah punah), dan susastera lisan dan tulis. Keunikan yang kedua yaitu bahasa isyarat/tangan dan ekspresi wajah (nonverbal) yang dikembangkan oleh penuturnya secara mandiri dan alami yang menjadi bagian dari bahasa isyarat alami dunia dengan jumlah sangat terbatas (Siwu, Avatime, Akhoe Hai/om, Chintang, Lao, Kri, Semang, Maniq, Semai, Kata

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

Pada bab ini disampaikan mengenai tulisan dan hasil-hasil penelitian oleh

para ilmuwan terdahulu yang pernah dilakukan di Desa Bengkala. Adapun objek

dalam berbagai penelitian sama yakni masyarakat kolok Desa Bengkala namun

dikaji dari sudut pandang dan analisis yang berbeda.

2.1.1 Kata Kolok sebagai Bahasa Isyarat Alami oleh I Gusti Made Sutjaja

Sebuah artikel dalam rangka memperingati Hari Bahasa Ibu, 21 Februari

2013, telah ditulis oleh Guru Besar Linguistik Fakultas Sastra Universitas

Udayana. Dalam tulisannya dijelaskan bahwa sedikit masyarakat Bali yang

menyadari bahwa di luar bahasa Bali sebagai bahasa ibu/daerah (simbol vokal)

ada juga bahasa isyarat (bukan simbol vokal) yang dikembangkan secara alami

oleh 'penuturnya' di Desa Bengkala Kecamatan Kubutambahan Kabupaten

Buleleng. Warga desa ini ada yang secara turun-temurun/genetik mengalami

ketulian yang berakibat kepada kebisuan.

Bali memiliki dua keunikan besar dalam bahasa. Pertama, adalah bahasa

suara/vokal (verbal) yang ditunjang oleh aksara carakan (berakar pada sistem

huruf Brahmi di India bagian selatan yang kini telah punah), dan susastera lisan

dan tulis. Keunikan yang kedua yaitu bahasa isyarat/tangan dan ekspresi wajah

(nonverbal) yang dikembangkan oleh penuturnya secara mandiri dan alami yang

menjadi bagian dari bahasa isyarat alami dunia dengan jumlah sangat terbatas

(Siwu, Avatime, Akhoe Hai/om, Chintang, Lao, Kri, Semang, Maniq, Semai, Kata

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

13

Kolok, Murrinh-Patha, Duna, Umpila, Kilivila, Yeli Dnye, Tzeltal, Cha'palaa,

Guambiano, Yurakare, Icelandic, Italian, Russian, Argentine Sign Language,

Japanese, Mandarin).

Kontribusi artikel ini untuk penelitian yang dilakukan adalah sebagai

penegasan dan inspirasi bahwa Kata Kolok adalah salah satu dari warisan budaya

yang bermanfaat bagi dunia dan patut dilestarikan. Salah satu manfaat dari

penelitian ini adalah pelestarian Kata Kolok sebagai bahasa isyarat alami (natural

sign language).

2.1.2 Studi Tentang Warna dan Ruang dalam Kata Kolok oleh Connie de Vos

Dua tahun berturut-turut Connie de Vos (2011, 2012) menulis dua hasil

penelitiannya yaitu Kata Kolok Color Signs and the Emergence of Lexical Signs

in Rural Signing Communities dan Sign-spatiality in Kata Kolok: How a village

sign language in Bali inscribes its signing space yang merupakan thesis Ph.D-

nya. Pada tulisan yang pertama, de Vos mengulas bagaimana sebuah bahasa baru

mengembangkan cara sistematis untuk menjelaskan tentang pengalaman dalam

mengindera, seperti misalnya warna dan sejauh mana evolusi istilah warna

terbentuk oleh faktor sosial. Artikel ini menjelaskan warna sebagai sebuah bahasa

isyarat di lingkungan masyarakat petani yang muncul kira-kira satu setengah abad

lalu di sebuah desa di Bali. Kata Kolok memiliki empat tanda warna: hitam, putih,

merah dan biru kehijauan. Tambahannya, dua makna yang non-konvensional

biasanya digunakan untuk memberikan keterangan mengenai warna: yakni nama

objek yang relevan dan menunjuk objek pada tempat kejadian. Perbandingan

antara kebudayaan Bali dengan tuturan Bali membawa titik terang bagi perbedaan

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

14

antara sistem, yang menyarankan bahwa baik budaya terapan ataupun kontak

bahasa telah menuju pada formasi tanda warna dalam Kata Kolok. Beberapa hasil

investigasi leksikografi dari bahasa-bahasa tanda di daerah lainnya melaporkan

pembatasan dalam domain warna. Di sisi lain, bahasa tanda di kawasan perkotaan

yang lebih besar memiliki sistem cakupan yang lebih luas, misalnya, Australian

Sign Language, memiliki lebih dari sembilan tanda warna. Perbandingan ini

mendukung penemuan bahwa bahasa-bahasa tanda di kawasan pertanian seperti

Kata Kolok tidak berhasil membuka ruang yang mendorong masyarakat untuk

lebih berkembang.

Kelebihan penelitian yang dipaparkan dalam artikel ini, pembahasan

diulas dengan terperinci tentang bagaimana makna warna diekspresikan ke dalam

bahasa tanda dengan acuan langsung kepada bagian tubuh dan bagaimana

berekspresi menunjukkan intensitas warna. Dijelaskan juga bahwa bahasa Bali

lisan dan Kata Kolok memiliki pemaknaan warna yang berbeda. Warna-warna

dalam bahasa Bali lisan tidak bisa mengacu pada warna anggota tubuh seperti

pada Kata Kolok. Selain itu, dalam bahasa Bali lisan, warna biru dan hijau sangat

jelas dibedakan, tidak seperti pada Kata Kolok yang menggunakan isyarat yang

sama untuk makna biru dan hijau (tiga kali mengusap dahi ke arah bawah).

Berdasarkan sistem linguistik yang berbeda ini diambil kesimpulan bahwa

masih memungkinkan untuk saling memengaruhi antarkedua budaya yang

memiliki bentuk bahasa yang jelas berbeda. Salah satu dari kedua bahasa itu

(yakni Kata Kolok) memiliki makna warna yang lebih sedikit dan berbagai

kategori yang aturannya kurang mengikat dalam pokok bahasan khusus ini.

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

15

Kemungkinan pengembangan penelitian ini adalah pada makna warna-warna yang

lain menurut budaya terdekat, yang tidak dapat dipungkiri memengaruhi

kehidupan warga Kolok ini, misalnya, menggunakan acuan konsep warna menurut

Dewata Nawa Sanga (manifestasi Tuhan dalam agama Hindu Bali), yakni Ida

Sang Hyang Widhi Wasa, yang menjaga atau menguasai di setiap penjuru mata

angin. Seiring berjalannya waktu, selalu ada kemungkinan Desa Bengkala

mendapat pengaruh dari budaya Bali yang diperoleh dari pergaulan

masyarakatnya sendiri dengan pihak luar desa. Pengaruh budaya dapat pula

menambah kekayaan makna dalam Kata Kolok, secara khusus makna warna-

warna. Dalam artikel ini disebutkan warna „orange’ dalam bahasa Inggris, yang

diterjemahkan menjadi ‘orenz’ dalam Basa Bali; menurut kamus Basa Bali

(Sutjaja, 2006) warna oranye dalam bahasa Bali adalah „jingga’.

Dalam Sign-spatiality in Kata Kolok: How a village sign language in Bali

inscribes its signing space, de Vos meneliti dengan sangat rinci mengenai

pemetaan bahasa tanda yang menerangkan segala sesuatu yang terkait dengan

ruang. Penelitian de Vos kali ini mengenai sejumlah persoalan mendasar tentang

sifat representasi manusia terkait ruang dan bagaimana kategorisasi linguistik

menata hal ini. Penelitian ini menitikberatkan tentang bahasa tanda yang

menyatakan – bagaimana para pengisyarat menciptakan berbagai tingkat

kebebasan ruang sejumlah tanda dengan mengalokasikan, mengorientasi serta

mengarahkan semua tanda tersebut untuk mengindikasikan makna-makna non-

morfologis yang dihasilkan dari keterkaitan antara wacana dan tata bahasa.

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

16

Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 –

20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan berbagai

tanda terkait seperti: lokasi, individual, warna, bagian tubuh dan waktu-waktu

dalam hari. Dalam pembahasan bahasa tanda yang berhubungan dengan ruang ini

dijelaskan bagaimana tanda/isyarat penunjuk dan gerak tubuh dengan fungsi

penunjuk dapat dibandingkan dengan dasar yang setara sehingga tercapai tujuan

untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap modalitas isyarat

sebagaimana fungsinya pada kedua ekologi semiotik ini.

Kelebihan penelitian de Vos adalah ketersediaan data. Telah diperoleh

data rekaman selama 100 jam yang diolah menggunakan program Elan sehingga

menjadi data yang lebih kompleks dan lengkap, sehingga dapat juga digunakan

untuk penelitian berikutnya. Perbedaan penelitian de Vos dengan penelitian yang

disajikan kali ini, adalah mengumpulkan data rekaman sendiri. Sejumlah 24

warga Kolok bersedia direkam dan bersedia digunakan pencitraannya baik dalam

bentuk video maupun foto sebagai data. Hal ini merupakan manfaat yang besar

untuk penelitian ini dan juga untuk penelitian selanjutnya menimbang banyaknya

bahan yang masih dapat diolah. Analisis data dalam disertasi ini juga

menggunakan foto asli, bukan sketsa, sehingga tanda atau isyarat yang diacu

terlihat lebih jelas. Meskipun pada akhirnya, atas saran Promotor, foto-foto yang

diacu kemudian disketsa kembali untuk mengindari distraction atau gangguan

karena alih-fokus. Untuk semua data ini, peneliti sangat berterima kasih dan

menyampaikan penghargaan mendalam kepada seluruh warga Kolok Desa

Bengkala dan juga secara khusus kepada Jero Prebekel, Bapak Made Arpana dan

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

17

Jero Kelian Kolok, Bapak Ketut Kanta, atas antusiasme dan dukungan yang

sungguh di luar ekspektasi peneliti.

Penelitian yang dilakukan oleh de Vos mengangkat pemetaan isyarat

tentang ruang (sign-spatial mapping) berdasarkan bukti-bukti linguistik yang

ditemukan mendukung analisis tersebut. Bagaimana pengisyarat Kolok

menjelaskan lokasi, orientasi dan menunjukkan arah dalam tindakan berisyarat

yang muncul dalam wacana dan tata bahasa. Selain itu ditunjukkan juga

bagaimana strategi Kata Kolok dalam mengadopsi berbagai strategi untuk

memecahkan persoalan dalam menggambarkan pengetahuan tentang hal yang

berhubungan dengan ruang. Penemuan ini menggambarkan bahwa pilihan dalam

kerangka acuan khusus dalam berbagai kasus ini dipengaruhi oleh faktor ekologi

kultural.

Disertasi de Vos bermuara pada implikasi metodologis dan teoritis.

Diharapkan penelitian ini memberikan pembacanya beberapa pandangan

mengenai fenomena isyarat tentang ruang (sign-spatial) dalam bahasa, metode

pengumpulan data. Analisis data secara sistematis belum sepenuhnya mencapai

faktor-faktor yang mengarahkan kepada identifikasi isyarat tentang ruang yang

tidak umum. Faktor-faktor yang dimaksud misalnya pengaruh bahasa Bali dari

lawan berisyarat. de Vos berupaya untuk mengaitkan Kata Kolok dan tanda gerak

tubuh dalam Bahasa Bali dengan membandingkannya, demikian juga bahasa

isyarat tersebut dengan bahasa lisan secara khusus terkait rumusan masalah dalam

disertasinya. Perbandingan antarbahasa ini bertujuan untuk memungkinkan

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

18

pembacanya menempatkan berbagai temuan dalam Kata Kolok terkait dengan

tipologi bahasa isyarat.

Penelitian yang dilakukan untuk disertasi ini berfokus pada makna dan

tanda yang diekspresikan dalam Kata Kolok, serta variasi tanda untuk makna

tertentu. Adapun makna yang menjadi temuan dalam penelitian ini adalah makna

penunjuk orang, makna yang berhubungan dengan agama, adat istiadat dan

budaya, serta makna yang berhubungan dengan kebutuhan bertahan hidup serta

makna yang berhubungan dengan perasaan. Dalam penelitian ini juga dijelaskan

secara umum mengenai tipologi Kata Kolok dengan tujuan untuk mengenal

secara umum termasuk tipe apakah penyampaian informasi yang terekspresi

dalam bahasa tanda Kata Kolok ini, berdasarkan teori yang disampaikan oleh

Comrie (1983).

2.1.3 Tipologi Bahasa Isyarat oleh Ulrike Zeshan

Ulrike Zeshan adalah promotor dari Connie de Vos. Zeshan (2012)

menulis bersama Connie de Vos, Sign Languages in Village Communities:

Anthropological and Linguistic Insights (Series Title: Sign Language Typology

4). Hasil penelitian yang terdapat pada buku ini merupakan penambahan dari

investigasi komparatif bahasa-bahasa dalam ranah isyarat serta merupakan

kompilasi pertama dari sejumlah bagian dari “bahasa isyarat wilayah pedesaan”

yang berbeda. Kajian wilayah kebahasaan ini mengombinasikan sudut pandang

antropologi dan linguistik secara khusus dilihat dari dinamika sosial dan stuktur

bahasa dalam masyarakat pedesaan ini. Penelitian ini mendokumentasikan

sejumlah data primer dari sebelas kelompok pengisyarat yang berbeda dari

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

19

berbagai wilayah di dunia di antaranya: Jamaika, India, Turki, Thailand, dan Bali.

Penelitian ini menjelaskan bahwa seluruh bahasa tanda pedesaan diketahui dalam

keadaan terancam punah yang biasanya disebabkan oleh tekanan dari pengisyarat

perkotaan yang jumlahnya lebih besar, dan bahkan beberapa darinya telah mati.

Ironis bahwa hal ini menjadi suatu kesuksesan bagi komunitas pengisyarat yang

lebih besar di berbagai pusat kota di mana pengakuan dan pengikut mereka yang

tersebar mendorong pemusnahan berbagai bahasa isyarat minoritas. Penelitian ini

meliput secara khusus tentang jenis bahasa yang terancam punah, strategi

dokumentasi bahasa, dan berbagai isu yang terkait dengan bahasa isyarat ini.

Penelitian dalam buku ini telah memberikan inspirasi terkait pelestarian

bahasa isyarat Kata Kolok di Desa Bengkala ini. Kata Kolok adalah bahasa asli

yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat Desa Bengkala baik yang di antara

sesama tuli-bisu maupun antara orang tuli-bisu dengan orang normal. Bahasa ini

memiliki keunikan dan keasliannya sehingga baik untuk dijadikan kekayaan

khazanah bahasa isyarat di Indonesia. Pada masa mendatang, Kata Kolok, dapat

diajarkan kepada orang-orang berkebutuhan khusus lainnya selain masyarakat

kolok Bengkala. Pokok bahasan pada tulisan Zeshan, yakni mengenai tipologi

sejumlah bahasa isyarat, jelas berbeda dengan penelitian pada disertasi ini yang

mengangkat tentang makna dan tanda meskipun juga menggambarkan secara

umum tentang tipologi Kata Kolok.

2.1.4 Studi Desa Kolok oleh I Gede Marsaja

Marsaja (2008) menulis Desa Kolok. A Deaf Village and Its Sign

Language in Bali, Indonesia, yakni tentang sebuah desa yang menurutnya dikenal

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

20

dengan Desa Kolok (Desa Tuli) karena adanya populasi penyandang tuli-bisu

keturunan. Penelitian yang dilakukannya menelaah tentang hal-hal yang mendasar

dari asimilasi di antara orang kolok dengan orang normal di Desa Kolok dari tiga

sudut pandang yang saling berhubungan yakni: sosiokultural, sosiolinguistik, dan

linguistik.

Ada tiga hal yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian yang

dilakukan oleh Marsaja yakni: pertama, tentang proses asimilasi di antara populasi

warga tuli-bisu dan yang normal terbentuk dan terjaga di dalam masyarakat,

dilihat dari sudut pandang sosiokultural, sosiolinguistik dan linguistik. Kedua,

tentang peran bahasa isyarat dalam pengembangan dan pelestarian asimilasi yang

telah terbentuk. Ketiga, tentang karakteristik kebahasaan dari bahasa isyarat di

Desa Kolok dan tentang bahasa tersebut mengasimilasi (meleburkan) aspek-aspek

sistem komunikasi yang digunakan di dalam masyarakat normal. Untuk ketiga

rumusan masalah ini, Marsaja menjawab pada kesimpulannya bahwa sebuah

masyarakat tuli-bisu yang asimilatif sebagaimana Desa Kolok ini telah

berkembang melalui asimilasi tiga lapisan secara bertahap yakni sosiokultural,

sosiolinguistik, dan asimilasi kebahasaan. Tiga lapisan ini melebur dalam sebuah

hubungan siklus di mana asimilasi sosiokultural memperkuat asimilasi

sosiolinguistik, yang kemudian mendorong munculnya integrasi linguistik.

Sebaliknya, asimilasi linguistik ini juga memperkuat integrasi sosiolingusitik dan

sosiokultural. (Marsaja, 2008: 204)

Temuan dalam penelitian Marsaja adalah bahwa orang kolok di desa

tersebut telah sepenuhnya terasimilasi ke dalam kehidupan inti masyarakat normal

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

21

melalui sejumlah organisasi, jaringan serta berbagai kegiatan sosial dan budaya

yang telah berkedudukan tetap. Asimilasi tersebut didukung oleh penggunaan

bahasa isyarat lokal, Kata Kolok, secara luas, tidak hanya di antara keluarga kolok.

Tidak kurang dari dua pertiga dari populasi orang normal yang ada ditemukan

menggunakan bahasa isyarat lokal ini secara teratur oleh karena seringnya mereka

berhubungan dengan orang-orang kolok. Hubungan yang erat di antara orang-

orang kolok dan normal, yang terangkaikan dengan adanya penggunaan bahasa

isyarat telah memunculkan asimilasi kebahasaan. Asimilasi kebahasaan itu terlihat

jelas dalam fakta struktur Kata Kolok yang berhubungan erat dengan berbagai

aspek bahasa tubuh dari gerak isyarat bahasa lisan utama dari desa tersebut yakni

Basa Bali.

Marsaja menjelaskan bahwa Kata Kolok terdapat di Desa Bengkala yang

terletak di Bali Utara. Desa yang sering disebut sebagai Desa Kolok itu secara

harafiah berarti Desa Tuli. Ada 47 orang tuli (di luar dari jumlah populasi 2.186

orang) yang tersebar di kelompok keluarga yang besar di desa tersebut (tahun

2008). Meskipun orang tuli-bisu itu sendiri hanya berjumlah 2.59% dari seluruh

populasi penduduk desa, persentase orang-orang normal yang hidup bersama

anggota keluarga yang tuli-bisu sejumlah 4.29%, dan sebagian besar penduduk

yang normal di desa tersebut sehari-hari berinteraksi secara dekat dengan orang-

orang tuli-bisu. Marsaja (2008: 99) menyampaikan bahwa sekitar dua pertiga orang

normal dapat berbicara bahasa isyarat Kata Kolok dengan berbagai tingkat

kemampuan dan kira-kira ada 500 orang normal yang bisa berbahasa isyarat Kata

Kolok dengan fasih. Oleh karenanya keseluruhan masyarakat yang berbahasa isyarat

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

22

Kata Kolok berjumlah sekitar 1.200 orang. Orang-orang tuli-bisu di Desa Bengkala

secara penuh terintegrasi ke dalam berbagai aktivitas relijius dan sekuler di

masyarakat tersebut. Mereka memiliki beberapa peran khusus seperti petugas

pengubur orang yang meninggal. Menurut Marsaja (2008:70), masyarakat di desa

tersebut percaya bahwa orang tuli-bisu dapat berhubungan lebih baik dengan dewa-

dewa baik yang mendengar maupun yang tuli-bisu, sehingga lebih cocok untuk tugas

ini. Dalam bukunya juga dijelaskan bahwa masyarakat kolok umumnya memiliki

pekerjaan yang serupa, kesempatan menikah dengan sesama tuli-bisu ataupun dan

seperti juga dengan penduduk desa yang normal. Bahasa tanda adalah bagian dari

sejumlah adaptasi kultural bagi kolok. Warga tuli-bisu di Bengkala diberikan

tugas-tugas khusus dalam upacara keagamaan dalam upacara kematian. Keunikan

lainnya adalah warga kolok percaya kepada Tuhan yang tuli-bisu. Kelebihan

lainnya adalah tarian unik yang ditarikan oleh penduduk desa kolok yakni janger

kolok.

Dari sudut pandang susunan kata dalam kalimat, Kata Kolok mendukung

pola kalimat Subjek – kata kerja – Objek ketika makna ganda mungkin dapat

terjadi (misalnya ketika kedua peserta dalam suatu tindakan dapat menjadi baik

sebagai subjek ataupun objek, seperti dalam kalimat X melihat Y, tetapi digunakan

lebih fleksibel ketika kalimat tersebut bisa saja tidak bermakna ganda oleh

maknanya sendiri (2008: 168-169). Susunan kata dalam kalimat yang mendasar di

dalam bahasa Indonesia tutur adalah Subjek – kata kerja - Objek, namun sulit

untuk menentukan sejauh mana pengaruh pola ini terhadap kecenderungan

susunan kata dalam kalimat yang ditemukan di dalam Kata Kolok.

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

23

Bertolak dari penelitian yang dilakukan oleh Marsaja, penelitian ini

mengidentifikasi kembali bagaimana susunan kata pada kalimat dalam Kata

Kolok ini dengan menelaah data baru sehingga diperoleh penjelasan tentang pola

kalimat bahasa isyarat Kata Kolok. Oleh karenanya dalam penelitian ini diulas

juga secara umum tentang tipologi Kata Kolok.

2.1.5 Kata Kolok dari Perspektif Konstruksi Bermakna Posesif dan

Eksistensial oleh Pamela Perniss dan Ulrike Zeshan

Pamela Perniss bersama dengan Ulrike Zeshan juga meneliti Kata Kolok

dari perspektif konstruksi bermakna posesif dan eksistensial dan menulis dalam

buku, Possessive and existential constructions in sign languages (2008). Menurut

Perniss, Kata Kolok adalah sebuah bahasa dengan berbagai kepolisemian dan

ambiguitas. Keduanya berhubungan dengan leksikon dan konstruksi gramatikal.

Sementara karakterisasi ini tidak unik pada Kata Kolok dan juga ditemukan dalam

bahasa tanda lain dan bahasa lisan seperti dalam bahasa Indo-Pakistan. Terdapat

banyak isyarat Kata Kolok yang memiliki muatan semantik yang lebih luas.

Ambiguitas yang sama dapat terlihat di dalam konstruksi gramatikal seperti

variabel terbalik dalam struktur bermakna posesif. Terlebih lagi, ada

ketidakjelasan variasi kemunculan pada pokok kegunaan lokatif, eksistensial, dan

posesif dan hal ini sering perlu dituntaskan menurut konteksnya. Lebih luas lagi,

konteks yang dikembangkan bahwa peserta dalam sebuah percakapan berbahasa

isyarat terkait dengan rasa yang mutlak terhadap arah yang berdasarkan kepada

topografi desa tersebut yang mewadahi persyaratan baik dalam leksikon maupun

tata bahasa meskipun terlalu jauh untuk mengatakan bahwa konteks budaya

mensyaratkan kemunculan dan pengelolaan spesifikasi struktural. Sebagaimana

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

24

adanya, kepolisemian dan/atau struktur khusus di dalam Kata Kolok membawa

peran yang penting dalam sejumlah bagian penelitian yang berikutnya.

Penelitian yang dilakukan telah menjelaskan tentang berbagai isyarat dan

konstruksi yang digunakan untuk mengungkapkan kepemilikan dan eksistensi

dalam Kata Kolok. Bahasa memiliki banyak konstruksi yang mana tidak ada

morfem yang berfungsi untuk mengungkapkan kepemilikan. Sebagai gantinya,

digunakan isyarat menunjuk, pola terbalik dan isyarat jempol ke atas, negasi dan

selesai untuk menandakan kepemilikan. Seringkali, tidak ada perbedaan yang

jelas di antara makna kepemilikan atributif dan predikatif yang memungkinkan

terjadinya sejumlah interpretasi yang berbeda.

Menunjuk digunakan untuk mengidentifikasi baik hal pemilik maupun

yang dimiliki dalam hubungan kepemilikan, demikian pula dalam berbagai

ungkapan yang menerangkan lokasi dan eksistensi, yang maknanya bisa jadi

tumpang tindih dengan makna kepemilikan. Meskipun demikian, Kata Kolok

tidak memiliki lokatif posesif berhubung lokasi miliknya tidak terspesifikasi

sebagai keberadaan di tempat yang sama dengan pemiliknya. Terlebih lagi,

berbagai isyarat menunjuk menandakan lokasi aktual dari pemilik atau miliknya.

Isyarat-isyarat tersebut digunakan untuk menentukan rujukan pronomina,

sebagaimana di dalam konjungsi dengan isyarat-isyarat nominal dalam konstruksi

yang memiliki posesor nominal. Kata Kolok tidak menunjukkan serangkaian

pronomina kepemilikan yang terpisah, variasi bentuk tangan pada pronomina

orang pertama adalah bersifat alomorfis.

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

25

Selain itu Kata Kolok menggunakan sejumlah isyarat „mempunyai‟ yang

berbeda seperti berbagai konstruksi untuk menghubungkan sebuah pemilik dan

miliknya. Yang pertama dari isyarat ini adalah posisi terbalik, yang dapat

mengungkapkan hubungan antara kata benda pemilik dengan kata benda yang

menunjukkan miliknya, yakni bagian keseluruhan hubungan kepemilikan. Posisi

terbalik juga dapat dikembangkan untuk merangkaikan sebuah pembilang ataupun

penjelas. Konstruksi semacam „mempunyai‟ yang lainnya melibatkan berbagai

isyarat jempol ke atas, negasi dan selesai. Ketiga isyarat ini secara umum adalah

polisemi dan ambigu. Ujaran individual seringkali ambigu, dan makna yang pasti

dapat ditentukan melalui konteksnya saja. Tanda jempol ke atas digunakan untuk

makna kepemilikan dan eksistensi dalam konstruksi predikatif. Hal yang menarik

adalah tanda jempol ke atas berasal dari tanda yang bermakna „bagus‟, tetapi telah

tergramatikalisasi menjadi sebuah pemarkah untuk makna eksistensi dan

kepemilikan. Fenomena ini belum terdokumentasi pada berbagai bahasa isyarat

lainnya, sebagai hal yang tidak biasa dalam berbagai bahasa lisan. Berlawanan

dengan itu, negasi dan selesai, berbagai variasi dari isyarat lambaian tangan,

digunakan untuk mengungkapkan eksistensi negatif. Negasi digunakan sebagai

klausa negator dasar dan negator posesif, sementara isyarat selesai digunakan

untuk menunjukkan negasi, demikian pula untuk menandai akhir sebuah ujaran

atau bagian dari wacana, muncul sebagaimana sebuah ujaran satu kata itu sendiri,

atau akhir klausa.

Analisis lebih jauh dirasa perlu untuk menetapkan apakah Kata Kolok

memiliki konstruksi „milik‟ yang berbeda. Pada penelitian ini Perniss dan Zeshan

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

26

menunjukkan beberapa kalimat yang memberi gagasan bahwa Kata Kolok

kemungkinan memiliki konstruksi „milik‟ di mana frasa kata bendanya muncul

dalam posisi topikal dalam apa yang secara umum adalah sebuah konstruksi

pertentangan. Investigasi lebih lanjut tentang fitur-fitur nonmanual barangkali

dapat membawa titik terang terkait persoalan ini. Seperti juga studi selanjutnya

tentang ekspresi wajah yang dapat menolong untuk menentukan apakah

penggunaan makna eksistensial dan posesif dari jempol ke atas adalah lebih pendek

durasinya dan lebih santai dalam pengartikulasian apabila dibandingkan dengan

penggunaan lainnya dari isyarat ini.

2.1.6 Studi tentang Strategi Pengajaran Pada Siswa Bisu-Tuli oleh Jan

Branson dan Don Miller

Branson dan Miller (2004) menulis The Cultural Construction of

Linguistic Incompetence through Schooling: Deaf Education and the

Transformation of the Linguistic Environment in Bali, Indonesia. Tulisan ini

menggambarkan pengaruh strategi pengajaran kompetensi bahasa kepada para

siswa di sekolah orang tuli-bisu di Bali, Indonesia. Secara khusus artikel ini

meneliti tentang dampak penggunaan isyarat versi Indonesia terhadap partisipasi

berbahasa para siswa di lingkungan masyarakat asli mereka. Aliran strategi

pengajaran tersebut adalah merujuk kepada model Barat yang ditransfer ke

Indonesia melalui pelatihan guru-guru Indonesia di negara-negara Barat dan

melalui adanya tenaga ahli asing di Indonesia. Para administratur pendidikan di

Indonesia telah mengimplementasikan strategi ini tanpa mempertimbangkan nilai

dan kesesuaiannya. Ditambah lagi, para penganjur nasionalisme yang telah

menetapkan penggunaan bahasa nasional, Bahasa Indonesia, dalam ranah

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

27

pendidikan, tanpa memperhatikan kenyataan bahwa Bahasa Indonesia jarang

digunakan di desa-desa tempat para siswa tuli-bisu berasal. Faktor-faktor inilah

yang kuat memengaruhi sebuah kekuatan dan ketidakbergerakan, simbol tindakan

kekerasan terhadap warga sekolah, yakni para siswa.

Penelitian yang diulas dalam artikel Branson, dkk. jelas memiliki pokok

bahasan yang berbeda dengan penelitian pada disertasi ini. Branson, dkk.

membahas mengenai pengaruh strategi pengajaran, sedangkan penelitian dalam

disertasi ini membahas mengenai makna dan tanda serta variasi tanda yang

berkembang. Walaupun demikian penelitian ini dapat berkontribusi dalam

menemukan berbagai sebab terjadinya variasi tanda yang berkembang untuk

makna tertentu.

2.1.7 Studi Masyarakat Kolok yang Menderita Kelainan Tuli-Bisu

Kongenital (bawaan sejak lahir) oleh Winata, dkk.

Selain penelitian di bidang linguistik dan pengajaran, ada juga penelitian

yang menitikberatkan bidang ilmu kesehatan, genetika, dan antropologi pada

masyarakat kolok Bengkala di tahun 1995. Dijelaskan bahwa sejumlah dua persen

dari 2815 jiwa warga Desa Bengkala mengalami tuli-bisu sejak lahir, yang

diistilahkan dengan congenital deafness. Sebagai tindak lanjut dari kejadian cacat

bawaan tuli-bisu tersebut, masyarakat Desa Bengkala telah mengembangkan

sebuah bahasa isyarat khusus yang digunakan baik oleh masyarakat yang tuli-bisu

maupun oleh masyarakat yang normal. Tuli-bisu di Bengkala adalah cacat sejak

lahir (congenital), terkait sistem syaraf (sensorineural), yang terjadi begitu saja

(non-syndromal), dan disebabkan sepenuhnya oleh masuknya sel kromosom

resesive yang bermutasi pada lokus DFNB3. Adapun frekuensi mutasi DFNB3

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

28

diperkirakan menjadi 9-4% di antara orang-orang normal yang memiliki

kemungkinan 17-2 % untuk menurunkan DFNB3.

Sejarah keluarga dan garis keturunan dikumpulkan selama lebih dari tiga

tahun dan digunakan sebagai sebuah acuan wawancara. Hal ini diperlukan untuk

memperoleh berbagai konfirmasi tersendiri tentang keadaan pendengaran, waktu

bermulanya ketulian, serta perkembangan kerusakan pendengaran terhadap setiap

orang kolok. Masyarakat Bengkala mengetahui bahwa dari kedua orangtua yang

bisa mendengar dapat menurunkan anak-anak yang tuli-bisu sejak lahir. Oleh

karenanya, mereka menemukan cara untuk menguji pendengaran anak-anak. Cara

yang pertama menggunakan suara yang keras untuk merangsang adanya suatu

respon keterkejutan. Berbagai benda dipukul untuk memperoleh suara yang

gaduh, termasuk sebuah gong dari gamelan yang ada di Bengkala. Jika seorang

bayi menunjukkan respon keterkejutan, dianggap bisa mendengar sementara tidak

adanya respon mengindikasikan bahwa bayi itu tuli. Cara yang kedua digunakan

oleh kedua orangtua yang tuli, yakni dengan menempatkan anak mereka pada

keluarga yang bisa mendengar beberapa waktu lamanya untuk menentukan

apakah anak itu bisa merespon atau tidak terhadap orang-orang di sekitarnya. Jika

anak itu ternyata tuli, maka orangtuanya mulai mengajarkan kepadanya bahasa

tanda di desa itu.

Merangkum secara singkat isi penelitian ini, Bengkala adalah sebuah desa

yang setidaknya telah berusia setidaknya 700 tahun dengan perbandingan

penduduk dari 2185 orang ada 2.2% yang tuli-bisu. Hasil sebuah survei yang

lengkap dari seluruh warga desa, teridentifikasi enam rangkaian keluarga dengan

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

29

49 orang tuli-bisu. Pemeriksaan fisik dan audiologis serta sejarah keturunan

mengindikasikan bahwa DFNB3 adalah kongenital, sensorineural, dan non-

syndromal. Sebuah analisis tersendiri yang dipaparkan di sini mengindikasikan

bahwa ketulian disebabkan oleh sebuah kandungan penuh mutasi kromosom

resesivedari gen DFNB3 tersebut. Analisis populasi pun mengindikasikan bahwa

17.2% dari masyarakat Bengkala yang bisa mendengar adalah yang memiliki

kromosom ganda (heterozygous) bagi gen DFNB3 yang bermutasi. Dengan

menggunakan pemetaan data yang terpublikasi di tempat lain, sejarah hubungan

genetik di antara berbagai STR yang terkait erat dengan DFNB3 mengindikasikan

bahwa mutasi DFNB3 telah dapat muncul atau sampai di Bengkala oleh sebuah

kejadian acak dalam kurun waktu 200 tahun terakhir.

Di dalam penelitian ini ditemukan pula bahwa banyak orang tuli-bisu di

Desa Bengkala yang berasal dari keturunan satu klan tertentu di Bali. Hal ini

menjadi sebab adanya peringatan untuk menghindari pernikahan acak bahkan di

antara para penduduk yang normal sekalipun. Meskipun demikian, berhubung

bagan garis perkawinan warga Desa Bengkala yang lengkap belum selesai

ditentukan dan sebuah metode langsung untuk mengidentifikasi adanya mutasi

DFNB3 yang mensyaratkan pengkloningan DFNB3 menjadi tidak mungkin pada

saat itu untuk memperoleh sebuah data yang pasti tentang frekuensi mutasi

DFNB3 di Bengkala.

Penelitian ini jelas pada ranah keilmuan yang berbeda. Meskipun

demikian, berdasarkan data yang ditemukan saat melaksanakan penelitian,

ditemukan keterangan dari hasil rekaman wawancara bahwa ada juga beberapa

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

30

warga kolok yang mengalami ketulian karena menderita sakit ketika kecil atau

karena suatu kejadian yang menyebabkan kejutan psikologis yang berdampak

pada kecacatan fisik dalam hal ini ketulian.

2.1.8 Pemurnian Pemetaan Genetika DFNB3 Menjadi 17p11.2, Mengusulkan

Multi Variasi Gen Locus Kromosom DFNB3 dan Mendukung Homologi

Pada Model Tikus shaker -2, oleh Liang, dkk.

Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa ada enam garis keturunan keluarga di

Bengkala yang di dalamnya terdapat anggota keluarga tuli-bisu (Friedman, dkk.,

1995; Winata, dkk., 1995), tetapi pada saat itu para peneliti tidak menyadari

adanya leluhur yang terkait dengan lima dari keenam garis keturunan tersebut.

Pada tahun 1995 bagan genealogi dari 2200 penduduk yang hidup dan 884

penduduk yang sudah meninggal di Desa Bengkala dilengkapi. Sejumlah dari

genealogi ini, termasuk tujuh generasi dengan 45 orang yang masih hidup dan 19

orang tuli-bisu warga Desa Bengkala yang sudah meninggal, ditampilkan pada

bagan di bawah ini. Keluarga yang belum teridentifikasi di mana baris 2

memengaruhi perorangan (perorangan 22 dan 32) dalam garis keturunan 4 dengan

43 perorangan yang masih hidup dari Bengkala.

Tidak semua ketulian di Bengkala memiliki sebab genealogi. Diperoleh

data bahwa ada perorangan 46C dan 48C pada bagan dulunya terbukti bisa

mendengar ketika kecil, tetapi pada masa kanak-kanaknya mengalami demam

tinggi dan akhirnya mengalami ketulian permanen sampai sekarang. Ada

kemungkinan ketulian di desa ini juga disebabkan oleh infeksi (Estrada, 1997).

Penelitian ini menduga 46C dan 48C adalah variasi dari DFNB3, sehingga dua

individu tersebut dikeluarkan dari pemetaan aslinya (Friedman, dkk., 1995).

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

31

Ketulian nonsindromik pada dua garis keluarga dari India yang tidak saling

berhubungan, M21 dan I-1924, juga dikaitkan pada wilayah pemetaan DFNB3.

Dari hasil penelitian ini diperkirakan bahwa gen DFNB3 ini kemungkinan

berkontribusi bagi tuli-bisu secara herediter di dunia.

Sehubungan dengan pernyataan bahwa kedua orangtua yang tuli-bisu di

Bengkala selalu memiliki anak-anak yang tuli-bisu (Winata, dkk., 1995), ada tiga

perkecualian di Bengkala. Perkecualian yang pertama adalah sebuah persoalan

nonpaternal, sebagaimana diturunkan oleh tanda-tanda genotip, dan oleh

karenanya tidak ditampilkan pada bagan berikut ini.

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

32

Penjelasan gambar: Genealogi keluarga-keluarga dengan individu tuli-bisu dari Bengkala. Simbol yang dihitamkan menunjukkan bahwa individu tersebut tuli-bisu permanen, simbol yang tidak dihitamkan menandakan individu yang

memiliki pendengaran, dan simbol yang digaris-garis (untuk warga Bengkala 46C dan 48C) menunjukkan bahwa terjadi

karena penyakit dan bukan keturunan. Sebuah titik dibawah simbol menandakan bahwa genomik DNA diambil dari orang itu. Sebuah tanda bintang di samping kanan nomor identifikasi subjek menunjukkan bahwa orang tersebut atau orang

tuanya bukan berasal dari Bengkala. Kecuali pada individu 22 dan 32, yang homozygous untuk halotip DFNB3, dan

orang-orang tuli-bisu dari berbagai desa lainnya di Bali (subjek 179*, 205* dan 5494*), ada hubungan keluarga di antara semua individu tuli-bisu lainnya di Bengkala.

Sumber: The American Journal of Human Genetics (1998, Vol. 62, h. 905)

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

33

Dua perkecualian yang lain, tampak menjadi contoh hasil kombinasi

genetik berhubung mereka terlibat dalam perkawinan di antara orang tuli-bisu

daari Bengkala dengan orang tuli-bisu yang baru saja pindah ke Bengkala dari

daerah lain. Beberapa dari orang tuli-bisu di Bengkala menunjukkan keinginannya

untuk memiliki anak yang normal dan menemukan bahwa dengan menikahi orang

tuli-bisu dari daerah lain dapat menghasilkan anak yang bisa mendengar. Secara

khusus, pernikahan individu, no. 125 pada bagan, dari Bengkala dengan individu

no. 5494* dari Banjar Jawa (22 km dari Bengkala) dan antara individu no. 206

dari Bengkala dan individu 205* dari Desa Banjar (45 km dari Bengkala), telah

menghasilkan anak-anak yang bisa mendengar ketika lahir. Penelitian yang telah

dilakukan oleh Liang, dkk. ini juga memiliki ranah ilmu pengetahuan yang

berbeda dengan penelitian dalam disertasi ini.

2.2 Konsep

Di bawah ini dijabarkan mengenai konsep dan hipotesis. Adapun konsep

yang penting untuk dijabarkan terkait penelitian ini ada tiga yaitu konsep kolok,

kata kolok, dan inget. Selanjutnya dijabarkan empat hipotesis yang merupakan

pedoman rumusan masalah penelitian dan ruang lingkup penelitian. Penjelasan di

dalam konsep ini diperoleh berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Kelian

Kolok Desa Bengkala, Ketut Kanta, didukung oleh penjelasan yang didapatkan

dari Kamus Bali-Indonesia-Inggris.

2.2.1 Kolok

Kolok adalah kata bahasa Bali yang digunakan untuk menyebut orang

yang tidak mampu berbicara atau bisu; kolok bermakna „bisu, tidak

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

34

terdengar/tidak bersuara‟. Di Desa Bengkala, sebutan ini digunakan mendahului

nama penduduk yang bisu-tuli, misalnya, Kolok Sudarma, Kolok Pindu, Kolok

Getar, Kolok Sumarni dan seterusnya. Berdasarkan Data Potensi Desa Bengkala,

tercatat ada 41 warga bisu-tuli, yang terdiri atas 15 orang laki-laki dan 26 orang

perempuan. Kata yang berasal dari bahasa Bali ini selanjutnya dipinjam dalam

penelitian ini ke dalam bahasa Indonesia untuk merujuk secara khusus kepada

orang-orang tuli-bisu di Desa Bengkala.

2.2.2 Kata Kolok

Kata Kolok (baca: /katè kolok/) berasal dari bahasa Bali, yang secara

harafiah berarti „omong tuli‟, juga dikenali sebagai Bahasa Isyarat Bengkala dan

Bahasa Isyarat Bali, adalah bahasa isyarat desa yang asli untuk dua desa tetangga

di bagian Utara Bali, Indonesia (Sutjaja, 2013: 6). Kata Kolok digunakan sebagai

istilah yang merujuk pada bahasa isyarat atau bahasa tanda yang digunakan oleh

masyarakat Desa Bengkala, baik antar sesama kolok maupun antara orang kolok

dengan orang yang normal. Kata dalam bahasa Bali juga berarti bahasa,

sedangkan kolok berarti tuli atau bisu. Jadi, kata kolok berarti bahasa orang-orang

tuli-bisu.

2.2.3 Inget

Inget juga berasal dari bahasa Bali, artinya „ingat‟. Di Desa Bengkala inget

adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada orang-orang normal.

Meskipun demikian, kata inget tidak disebut mengawali sebutan nama setiap

penduduk Desa Bengkala yang normal seperti yang diberlakukan bagi orang-

orang bisu-tuli di sana, cukup disebutkan namanya saja.

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

35

2.3 Landasan Teori

Sejumlah linguis dan teorinya tentang Semiotik dan Pemerolehan Makna

serta Bahasa Tanda/Isyarat (Sign Language), yang mendasari penelitian ini, diulas

pada subbab ini. Penjelasannya dibedakan menjadi tiga bagian menurut pokok

bahasan.

2.3.1 Semiotik

Di bawah ini dijabarkan tentang beberapa tokoh linguis beserta

gagasannya di bidang semiotik. Teori-teori yang ditetapkan oleh para linguis

inilah yang dijadikan landasan pemikiran dalam penelitian ini.

2.3.1.1 Teori Segitiga Semiotik

Peirce dikenal dengan teori segitiga semiotik yang adalah model segitiga

yang menggambarkan definisi tanda. Segitiga tersebut berdasarkan adanya

mediasi bahwa satu istilah terkait dengan yang lainnya melalui penghubung yang

ketiga. Terkait definisi tanda, korelasi atau pokok sudut segitiga tersebut yaitu (1)

representament (bentuk tanda), (2) interpretant (rasa), dan (3) objek (acuan).

02 rasa

01 Bentuk tanda 03 Acuan

Sumber: Martin & Ringham (2006, h. 177)

Di antara definisi-definisi tentang tanda yang menggunakan model

segitiga, rasa adalah perantara dari acuan dalam aturan standar segitiga: bentuk

tanda – rasa – acuan. Peirce menggunakan korelasi versinya dalam aturan yang

sama yang di dalam istilah yang disebut: representament – interpretant – object.

tanda

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

36

Meskipun demikian di dalam sistem pengelompokan versi Peirce, object terkait

dengan yang kedua, dan interpretant berhubungan dengan yang ketiga.

2.3.1.2 Teori Semiotik Sosial

Halliday (1978) dalam pengantar bukunya, Language as Social Semiotic:

The Social Interpretation of Language and Meaning, menjelaskan bahwa bahasa

muncul dalam kehidupan individual melalui sebuah pertukaran makna yang

berkesinambungan secara signifikan antara satu dengan yang lainnya. Seorang

anak menciptakan bagian dari bahasa, pertama-tama dengan lidah kanak-

kanaknya, dan kemudian dengan bahasa ibu-nya, dalam interaksi dengan

sekelompok kecil orang-orang yang membentuk pemahamannya berdasarkan

pemahaman kelompok tersebut. Dalam hal ini, bahasa merupakan sebuah hasil

dari proses sosial.

Seorang anak kecil mempelajari bahasa bersamaan dengan waktu dirinya

mempelajari hal lain melalui bahasa - yang membangun gambaran realitas

lingkungan sekitarnya dan gambaran dirinya. Pada proses ini, yang juga

merupakan proses sosial, realitas pembentukan terpisah dari pembentukan sistem

semantik di mana realitas adalah bertanda (encoded). Dalam hal ini, bahasa adalah

suatu makna potential yang dipahami bersama (shared meaning potential), baik

sebagai bagian dari pengalaman, maupun sebagai sebuah pengalaman interpretasi

intersubjektif.

Sebuah realitas sosial (atau sebuah kebudayaan) itu sendiri adalah suatu

bangunan makna – sebuah konstruksi semiotik. Dalam sudut pandang ini, bahasa

adalah salah satu dari sistem semiotik yang membentuk sebuah budaya; suatu

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

37

yang berbeda adalah bahasa juga dipahami sebagai sistem yang menandai untuk

banyak hal lain (meskipun tidak semua hal).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa

merupakan semiotik sosial, yakni pemahaman bahasa di dalam sebuah konteks

sosiokultural, di mana budaya itu sendiri terinterpretasi dalam istilah semiotik

sebagai sistem informasi.

Halliday (1977: 42-43) juga menjelaskan bahwa konsep fungsi sosial

bahasa adalah sebagai sentral terhadap interpretasi bahasa sebagai sebuah sistem.

Pengorganisasian bahasa secara internal tidak bersifat kebetulan melainkan suatu

proses membentuk fungsi-fungsi bahasa yang telah berkembang dalam rangka

memenuhi kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk sosial. Suatu bahasa dapat

diapresiasi dari sudut pandang klausa yang dianalisis dengan menunjukkan

struktur berantai menurut fungsi bahasa yakni: ideasional, interpersonal, dan

tekstual. Bahkan lebih sederhana lagi suatu bahasa dapat diformulasikan menurut

proses (proces), pelaku (participant) dan keadaan (circumstances).

2.3.2 Pengantar Linguistik Bahasa Isyarat oleh Johnston dan Schembri

(2016)

Dua Linguis Australia, Johnston dan Schembri dalam bukunya, Australian

Sign Language - An Introduction to Sign Language Linguistics (2016, 11 – 26)

memberikan pandangan umum mengenai bahasa tanda (dikenal juga dengan sign

language) adalah bahasa alami komunitas orang tuli. Pada bukunya, Johnston dan

Schembri menggunakan istilah signed language linguistics atau sign linguistics

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

38

mengacu kepada studi bahasa-bahasa visual-gestural yang diisyaratkan oleh

orang-orang tuli.

Di dalam buku ini dijelaskan sejarah singkat bahasa isyarat. Bahasa isyarat

mulai disebutkan dalam karya Plato pada zaman Yunani Kuno yakni dalam

bukunya yang berjudul Cratylus (360SM). Pada bukunya Plato menulis bahwa

bilamana manusia tidak bisa bersuara atau tidak memiliki lidah seperti orang tuli

dan dungu, manusia membuat isyarat dengan tangan dan kepala dan dengan

semua bagian tubuh lainnya. René Descartes berpendapat bahwa bahasa isyarat

orang-orang tuli adalah gambaran berbagai contoh bahasa-bahasa manusia yang

sesungguhnya (Rée, 1999). Pandangan yang sama digagas oleh Edward Tylor di

Inggris, Wihelm Wundt di Jerman dan Garrick Mallery di Amerika Serikat,

seperti disampaikan oleh Kendon (2004). Fischer (1995) menulis bahwa seorang

edukator, Roch-Ambroise Bébian bahkan giat mengembangkan sebuah sistem

penulisan untuk bahasa isyarat berdasarkan penemuannya sendiri yakni isyarat

dapat dianalisis menjadi berbagai komponen yang lebih kecil. Meskipun

demikian, oleh berbagai alasan, bahasa isyarat akhirnya ditolak selama masa abad

keduapuluh dan banyak dari berbagai pendapat ini yang dilupakan.

Bahasa isyarat modern diawali oleh seorang dosen di Amerika yang

normal, William Stokoe, dari Galludet College di Washington D.C. Karyanya,

Sign Language Structure dipublikasikan pada tahun 1960. Ini adalah untuk

pertama kalinya struktur bahasa isyarat Amerika (ASL) dianalisis menggunakan

metodologi linguistik, dan Stokoe telah menyakinkan bahwa ASL adalah sebuah

bahasa dengan tata bahasa dan kosakata yang berdiri sendiri di dalam Bahasa

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

39

Inggris. Karya ini lima tahun kemudian telah diikuti dengan sejumlah karya

lainnya yaitu Dictionary of American Sign Language on Linguistic Principles

(Stokoe, Casterline & Croneberg, 1965). Sebenarnya telah ada penelitian sebelum

Stokoe oleh Bernard Tervoort seorang Belanda. Ia menggambarkan komunikasi

bahasa isyarat yang digunakan oleh anak-anak tunarungu di sekolah St.

Michielsgestel di Belanda. Tervoort mengakui bahwa isyarat adalah bahasa

namun penelitiannya kurang berpengaruh daripada yang dilakukan kemudian oleh

Stokoe.

Meski Stokoe telah mengawali penelitian bahasa isyarat, peminat

penelitian ini terbatas di mana-mana pada zaman tersebut. Hal ini dikarenakan

lebih banyaknya peneliti yang berpendapat bahwa isyarat bukan bahasa sejati dan

mempertanyakan nilai dari penelitian ini (Maher, 1996). Pandangan ini berubah

pada tahun 1970an. Diawali oleh Klima dan Bellugi dari Salk Institute yang

meneliti di bidang Biologi. Klima dan Bellugi berpandangan bahwa penelitian

tentang bahasa manusia belumlah lengkap tanpa penelitian terhadap komunikasi

visual-gestur komunitas tunarungu. Hal lain yang dilakukan Klima dan Bellugi

seperti diulas oleh Emmory dan Lane (2000) adalah melatih seluruh generasi

peneliti bahasa isyarat komunitas tunarungu maupun komunitas normal di

laboratorium bahasa isyarat milik mereka di San Diego. Demikianlah akhirnya

pengetahuan tentang ASL tersebar luas ke berbagai negara di dunia pada tahun

1970an. Selanjutnya di masa yang sama juga dimulai pengembangan ilmu bahasa

isyarat di Inggris dan Eropa. Pada tahun 1980an, Australia memulai penelitian

bahasa isyarat yang disebut Auslan dengan karya dari Trevor Johnston. Karya

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

40

pertama Johnston tentang Auslan yang dilengkapi dengan gambar sketsa dan

sebuah kamus (1987a, 1987b), serta sebuah pedoman pengajaran Auslan bagi

pengisyarat (normal) yang menjadikan isyarat sebagai bahasa kedua. Johnston

melanjutkan penelitiannya menjadi disertasi yang pertama tentang Auslan (1989a)

dan sebuah kamus Auslan komprehensif yang berillustrasi (1989b).

Sejak tahun 1980an, penelitian bahasa isyarat mulai menjadi bidang

penelitian internasional yang sesungguhnya. Berbagai makalah penelitan yang

muncul dari berbagai wilayah seperti Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah,

Afrika dan Amerika Selatan. Pada tahun 2004, dalam Eighth International

Conference on Theoretical Issues in Sign Language Research di Barcelona

(Spanyol), lebih dari 25 makalah penelitian telah dipresentasikan oleh narasumber

dari berbagai negara di dunia.

Bahasa isyarat (sign language) dan gerak-gerik tubuh (gesture) serta

peniruan (mime) adalah tiga hal yang berbeda. Johnston dan Schembri

menyatakan bahwa gerak-gerik tubuh adalah istilah yang lebih luas (2016, 22).

Adam Kendon (2004) menyatakan bahwa gerak-gerik tubuh adalah tindakan

tangan, wajah dan tubuh yang disengaja dengan tujuan untuk berkomunikasi.

Gerak-gerik tubuh seringkali bertentangan dengan bahasa isyarat. Meskipun

demikian definisi dari Kendon (2004) ini jelas mencakup bahasa visual dari

komunitas tunarungu. Kendon membagi komunikasi gestural menjadi: (1) gerak

tubuh spontan (gesticulation), (2) meniru (mime), (3) menunjuk (pointing), (4)

gerak tubuh bermakna khusus (emblem), dan (5) bahasa isyarat (sign language).

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

41

Selanjutnya, Johnston dan Schembri menjelaskan bahwa seperti bahasa

lisan, bahasa isyarat memenuhi semua kriteria dalam definisi bahasa seperti

dinyatakan oleh Baker dan Cokely (1980): bahasa adalah sebuah sistem

komunikasi yang kompleks dengan kosakata yang terdiri dari berbagai simbol

konvensional dan aturan gramatikal yang disepakati oleh anggota suatu komunitas

dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang berubah seiring

waktu, dan bahasa digunakan untuk bertukar satu rangkaian berbagai gagasan,

emosi dan tujuan. Bahasa isyarat adalah bahasa alami yang tidak ditemukan oleh

satu individu. Bahasa isyarat tercipta oleh kesepakatan dari anggota suatu

komunitas dan diwariskan dari satu generasi kepada penggunanya kemudian.

Bahasa isyarat tidak membentuk sebuah bahasa universal yang digunakan oleh

orang-orang tunarungu di seluruh dunia, dan tidak juga identik dengan jenis-jenis

gerak tubuh dan perniruan yang digunakan oleh orang-orang yang bisa mendengar

(normal). Bahasa isyarat memiliki kapasitas ungkapan yang serupa dengan bahasa

lisan dan terorganisasi di dalam berbagai aturan gramatikal yang serupa. Bahasa

isyarat telah mengatur penciptaan kosakata baru dan bisa berubah seiring waktu,

dan bahasa isyarat dipelajari oleh anak-anak dan tampak diproses oleh otak

melalui cara yang serupa dengan bahasa lisan.

Bahasa isyarat memiliki beberapa ragam yaitu bahasa isyarat alami

(natural sign language), sistem isyarat artifisial (artificial sign system), abjad jari

(fingerspelling) dan sistem isyarat alami (natural sign system). Bahasa isyarat

alami digunakan oleh orang-orang tunarungu dalam komunitas tunarungu. Bahasa

isyarat alami ini tidak identik dengan bahasa lisan mayoritas dari komunitas

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

42

orang-orang yang mendengar. Demikian pula bahasa isyarat ini tidak identik

dengan berbagai bahasa isyarat dari yang dimiliki komunitas tunarungu lainnya.

Selanjutnya, sistem isyarat artifisial dikembangkan bertujuan khusus untuk

menggambarkan kosakata dan tata bahasa dari bahasa lisan dengan menggunakan

isyarat yang bersifat manual. Ragam yang lainnya yakni abjad jari, yang mengacu

pada penggunaan konfigurasi tangan yang menggambarkan semua huruf dalam

sistem bahasa tulisan, sehingga abjad jari berbeda-beda menurut sistem bahasa

tulisan yang digunakan di wilayah penggunanya. Ada abjad jari dengan satu

tangan seperti yang digunakan di Amerika Serikat dan ada juga yang dengan dua

tangan seperti di Australia dan di Inggris. Yang keempat adalah sistem isyarat

alami, yang merupakan perpaduan antara abjad jari, isyarat dan gerakan mulut

(mouthing).

Johnston dan Schembri membahas mengenai pengantar bahasa isyarat dari

sudut pandang linguistik dengan terperinci baik dari mikrolinguistik maupun

makrolinguistik. Analisis wacana juga masuk dalam pembahasan bahasa isyarat

ini. Dinyatakan bahwa dalam penelitiannya diamati bagaimana karakteristik teks

mencerminkan berbagai aspek situasi di mana teks tersebut digunakan, sebelum

melihat berbagai fitur-fitur khusus dari tipe-tipe wacana yang berbeda (2016,

253). Johnston dan Schembri mengutip pernyataan Matthew (1997) bahwa teks

mengacu kepada rangkaian yang koheren dari berbagai kalimat tertulis, seperti di

dalam surat, artikel atau novel. Meskipun demikian, teks digunakan untuk makna

yang lebih luas sehingga teks dapat juga mengacu kepada berbagai rangkaian

yang koheren dari berbagai kalimat lisan dan kalimat isyarat juga, seperti pada

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

43

percakapan, cerita dan pidato kuliah. Pernyataan lainnya yang dikutip dari Crystal

(1997) yang menyatakan bahwa studi wacana sering juga disebut studi teks.

Berangkat dari definisi ini, Johnston dan Schembri membahas tentang struktur

dan kohesi bahasa isyarat, yang adalah dua unsur penting dari wacana yang

memungkinkan pengamat wacana untuk mengenali latar belakang informasi yang

diperlukan untuk memahami berbagai teks dan mengidentifikasi siapa dan apa

yang dijelaskan dalam rangkaian panjang bahasa lisan dan isyarat.

Pemaknaan berbagai isyarat berguna untuk membedakan antara makna

leksikal dengan makna gramatikal (Matthews dalam Johnston dan Schembri,

1997). Makna leksikal utamanya terekspresi di dalam konten kata-kata dan

makna gramatikal terekspresi di dalam fungsi kata, yaitu kata benda, kata kerja,

kata sifat, dan adverb. Pada disertasi ini dibahas di antaranya mengenai makna

dan tanda dan berbagai variasi, serta homonimi, polisemi, sinonim dan antonim.

Pada disertasi ini hasil yang dijabarkan dari Kata Kolok adalah pertama,

tentang pola isyarat, makna dan tanda atau isyarat Kata Kolok, serta pemaknaan

tanda menurut kamus atau pemaknaan leksikal dalam Kata Kolok. Yang kedua

tentang variasi makna dan tanda atau isyarat dalam Kata Kolok di mana terdapat

homonimi dan polisemi. Dalam penelitian kali ini istilah homonimi disesuaikan

menjadi homosign.

2.3.3 Kata Kolok Desa Bengkala

Mengingat objek penelitian ini adalah mengenai bahasa isyarat, berikut ini

dijelaskan secara umum mengenai Kata Kolok Bengkala, yakni bahasa yang

digunakan oleh masyarakat kolok (tuli-bisu) di Desa Bengkala. Kata Kolok adalah

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

44

bahasa tanda atau isyarat yang lebih spesifik lagi di mana penuturnya adalah

masyarakat di sebuah desa bernama Bengkala di wilayah Bali Utara. Struktur

frasa atau penggabungan kata bahasa isyarat memiliki kemiripan dengan struktur

penggabungan frasa bahasa Inggris yakni “menerangkan-diterangkan” (modifier-

head). Sebuah frasa, terdiri atas unsur penjelas yang diikuti oleh unsur utama.

Masyarakat kolok merangkai kata-kata dalam bahasa tanda menjadi kalimat yang

diekspresikan dengan mimik serta gerak tangan dan tubuh.

Peneliti bersama anak-anak kolok Desa Bengkala (Dok. Dian)

Kata Kolok diekspresikan oleh para pengisyaratnya dengan sangat

sederhana. Berikut ini contoh yang dicoba untuk dijelaskan dengan ekspresi:

Lapar : pengisyarat menyentuh perutnya.

Makan : pengisyarat menggerakkan tangan seperti memasukkan makanan

ke dalam mulut.

Haus : pengisyarat mengelus dari dagu ke leher.

Minum : pengisyarat menggerakkan tangan seperti memegang gelas

dan minum.

Belajar, Pelajar/Mahasiswa : pengisyarat melakukan gerak tangan

seperti membuka buku dan menulis di buku tersebut.

Mengajar: pengisyarat menyatukan jemari tangan, melekukkannya

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

45

setengah dan kemudian menggetarkannya sedikit ke atas

dan ke bawah.

Tuli-bisu: pengisyarat menyentuh dekat telinga dengan telunjuk lalu

menggerakkan jari itu memutar ke depan.

Apabila diamati, struktur kalimat dalam bahasa kolok diawali oleh proses

dan baru diikuti oleh tujuan dan peserta/pelaku. Berikut ini contoh:

Bahasa Indonesia: Saya membeli makanan.

Actor(AC) Process (P) Goal

animate material action

Kata Kolok : membeli makanan saya

Procces (P) Goal Actor(AC)

material.action animate

Membeli: pengisyarat mengepalkan tangan kanan, lalu membuka tangan

kiri berhadapan dengan kepalan tangan kanan dan kemudian

menepukkannya satu sama lain

Makanan: menggerakkan tangan seperti memasukan makanan kedalam

mulut

Saya: pengisyarat menyentuh dada dengan tangannya

Bahasa Indonesia : Saya berkunjung ke rumah adik.

Actor(AC) Process (P) Destination

animate mat. action

Kata Kolok : (pergi) berkunjung saya (ke)adik rumah

Process (P) Actor(AC) Destination

action animate

Pergi : menggerakkan tangan kanan seperti berjalan

Berkunjung : menyentuh pipi di bawah mata dan menarik sedikit

kebawah, seolah melihat, mata agak terbelalak

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

46

Saya : menyentuh dada

(ke) rumah : menyatukan jemari, baik tangan kanan maupun tangan kiri,

kemudian mempertemukan ujungnya

seperti bentuk atap rumah

adik : menyatukan jemari tangan kanan lalu telapak menghadap

kebawah, dan kemudian tangan kanan digerakkan turun

Demikian pula dengan kalimat yang menggunakan unsur modalitas seperti

„sudah‟ atau „belum‟, diawali dengan proses, modalitas dan tujuan/peserta.

Bahasa Indonesia : Saya sudah makan.

Actor (AC) Modal Process

animate material.action

Kata Kolok : makan sudah saya

Procces (P) Modal Actor(AC)

material. action animate

Makan: menggerakkan tangan seperti memasukkan makanan ke dalam

mulut

Sudah: siku tangan ditekuk di sebelah dada, jemari tangan dimekarkan

dan telapak menelungkup ke bawah kemudian seketika posisi

telapak tangan dibalik menengadah ke atas

Saya: pengisyarat menyentuh dada dengan tangannya

2.4 Model Penelitian dan Penjelasannya

Adapun model penelitian dirancang sebagaimana penelitian ini

mensinergikan teori terkait dengan permasalahan penelitian sehingga diperoleh

hasil analisis. Hasil analisis ini memiliki manfaat jangka panjang yakni dapat

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

47

digunakan untuk penelitian selanjutnya. Berikut ini disampaikan gambar model

penelitian.

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka · 16 Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 – 20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan

48

Berikut penjelasan tentang model penelitian ini. Langkah awal yang

dilakukan dalam penelitian ini adalah orientasi dan perumusan masalah. Penulis

telah melakukan orientasi, mempelajari lingkungan alam dan keadaan masyarakat

Desa Bengkala, berkenalan dengan para pemimpin desa dan guru pendidik di

sekolah inklusi serta memilih calon informan. Setelah memahami keadaan

masyarakat Desa Bengkala, baik kolok maupun inget, barulah ditetapkan rumusan

masalah. Sejalan dengan orientasi dan perumusan masalah, dilaksanakan juga

studi pustaka yakni membaca berbagai pustaka acuan yang relevan dengan

rumusan masalah yang dirancang. Langkah selanjutnya adalah menentukan

metode dan teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data; digunakanlah

metode etnografi baru seperti yang dikembangkan oleh Spradley (1997).

Kemudian peneliti mulai melaksanakan proses pengumpulan data, yang ranahnya

dibatasi yakni: keagamaan, adat-istiadat dan budaya, dari masyarakat kolok dan

inget sebagai sumber data utama sehingga diperoleh rekaman aktivitas

kebahasaan masyarakat Desa Bengkala.

Setelah data rekaman terkumpul, analisis dilakukan dengan content

analysis (analisis isi) untuk menyesuaikan data mana saja yang relevan untuk

menjawab rumusan masalah. Proses analisis dan elisitasi ini menghasilkan

dokumen Kata Kolok dan penjelasannya serta makna dan tanda berkategori.

Dokumen ini selanjutnya menentukan kesimpulan dari hasil analisis data yang

memiliki manfaat akademik dan manfat sosial budaya. Demikian gambaran proses

penelitian dari awal hingga akhir.