BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.2. Kajian Penelitian Sebelumnya 2.pdf · asing baik yang pernah dilakukan...

21
1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.2. Kajian Penelitian Sebelumnya Usaha akomodasi pariwisata adalah obyek yang cukup menarik untuk diteliti dalam bidang pariwisata, hal ini dikarenakan usaha akomodasi pariwisata merupakan komponen utama dari keberadaan suatu daerah pariwisata. Penelitian tentang dampak perkembangan pariwisata khususnya terhadap potensi air secara mendalam belum pernah dilaksanakan. Wawasan dan pengetahuan yang lebih luas diperlukan guna mempermudah melakukan proses penelitian, menentukan metode, dan mempertajam dalam menentukan kesimpulan. Oleh karena itu dibutuhkan beberapa kajian pustaka sebagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian tentang dampak pekembangan pariwisata yang pernah dilakukan dan dianggap relevan dengan penelitian yang akan dilakukan, antara lain; perkembangan pariwisata yang terkait dengan eksistensi dan esensi pembangunan villa; dampak kebijakan penataan sarana akomodasi pariwisata terhadap perkembangan villa; dampak perkembangan pariwisata terhadap lingkungan sosial budaya, lingkungan fisik dan lingkungan ekonomi; dampak perkembangan hotel dan restoran terhadap kualitas air tanah. Disamping itu, beberapa pustaka beberapa temuan penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti asing baik yang pernah dilakukan di Bali maupun di luar Bali.

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.2. Kajian Penelitian Sebelumnya 2.pdf · asing baik yang pernah dilakukan...

1

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1.2. Kajian Penelitian Sebelumnya

Usaha akomodasi pariwisata adalah obyek yang cukup menarik untuk

diteliti dalam bidang pariwisata, hal ini dikarenakan usaha akomodasi pariwisata

merupakan komponen utama dari keberadaan suatu daerah pariwisata. Penelitian

tentang dampak perkembangan pariwisata khususnya terhadap potensi air secara

mendalam belum pernah dilaksanakan. Wawasan dan pengetahuan yang lebih luas

diperlukan guna mempermudah melakukan proses penelitian, menentukan

metode, dan mempertajam dalam menentukan kesimpulan. Oleh karena itu

dibutuhkan beberapa kajian pustaka sebagai penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya.

Beberapa penelitian tentang dampak pekembangan pariwisata yang pernah

dilakukan dan dianggap relevan dengan penelitian yang akan dilakukan, antara

lain; perkembangan pariwisata yang terkait dengan eksistensi dan esensi

pembangunan villa; dampak kebijakan penataan sarana akomodasi pariwisata

terhadap perkembangan villa; dampak perkembangan pariwisata terhadap

lingkungan sosial budaya, lingkungan fisik dan lingkungan ekonomi; dampak

perkembangan hotel dan restoran terhadap kualitas air tanah. Disamping itu,

beberapa pustaka beberapa temuan penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti

asing baik yang pernah dilakukan di Bali maupun di luar Bali.

2

Penelitian dari Wiranatha (2001), dalam disertasinya yang berjudul A

System Model For Regional Planning Towards Sustainable Development in Bali

Indonesia yang banyak membahas pemodelan yang berkaitan dengan

pembangunan berkelanjutan di Bali. Pada chapter 6 tentang Modelling of Natural

Resources and Pollution banyak dibahas tentang land resources system dan water

resources system. Dengan menggunakan lima strategi mulai dari strategi dengan

pertumbuhan dasar (stategi 1) sampai dengan strategi dengan pertumbuhan tinggi

(strategi 5) dapat diestimasi perkembangan luas lahan sawah dan keseimbangan

air bersih di daerah penelitian. Perkembangan lahan sawah di Bali dengan

mengunakan strategi 5 menurun dari 105.705 Ha Tahun 1990 menjadi 69.965 Ha

di Tahun 2020. Dengan menggunakan strategi yang sama diperkirakan luas lahan

sawah di Kabupaten Badung/ Denpasar akan habis pada Tahun 2020.

Hasil estimasi dari perkembangan sumber daya air di daerah penelitian

sangat mengkhawatirkan. Perbandingan antara ketersediaan air dengan kebutuhan

air, yang juga disebut dengan keseimbangan air untuk semua tingkatan strategi di

Kabupaten Badung/Denpasar akan mengalami defisit/minus pada tahun 2020.

Bahkan untuk beberapa tingkatan strategi sudah mulai defisit pada tahun 2010.

Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa masalah sumber daya air, terutama di

Kabupaten Badung sudah semakin parah dan perlu segera dicarikan jalan

keluarnya.

3

Penelitian tentang perkembangan akomodasi khususnya vila pernah

dilaksanakan oleh Tim Tourism Field Study (TFS) Sekolah Tinggi Pariwisata

Nusa Dua Bali (2006) dengan judul penelitian ”Eksistensi dan Esensi Vila dalam

Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Badung”. Penelitian ini melihat

perkembangan vila lebih disebabkan oleh terjadinya perubahan pola perjalanan

wisatawan dari mass tourism ke arah yang lebih bersifat privat/individual dengan

pelayanan yang bersifat pribadi serta alasan keamanan. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui eksistensi vila di Kabupaten Badung, mengetahui karakteristik

pasar dari vila dan untuk mengetahui esensi atau manfaat dari keberadaan vila,

dilihat dari sisi pemerintah dan masyarakat di sekitar vila. Hasil penelitian ini

secara garis besar menyatakan bahwa keberadaan vila yang tersebar di setiap

kecamatan merupakan bukti dari pentingnya sarana akomodasi yang layak dan

mampu memberikan kenyamanan bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali.

Esensi vila memberikan dampak yang positif bagi pembangunan pariwisata di

Kabupaten Badung secara langsung ataupun tidak langsung khususnya untuk

sektor perekonomian masyarakat serta Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi

pemerintah Kabupaten Badung.

Penelitian Negara, (2010) yang berjudul “Dampak Pelaksanaan Kebijakan

Penataan Sarana Akomodasi Pariwisata Terhadap Perkembangan Villa di

Kabupaten Badung. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya fenomena

perkembangan villa yang dijadikan sarana akomodasi pariwisata, dimana

keberadaannya sering menjadi sorotan dimasyarakat. Dalam mengantisipasi dan

meminimalkan permasalahan yang mungkin akan terjadi, Pemerintah Kabupaten

4

Badung mengeluarkan kebijakan penataan sarana akomodasi pariwisata.

Penelitian yang dilakukan Negara ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari

kebijakan penataan sarana akomodasi pariwisata terhadap perkembangan villa di

Kabupaten Badung, yaitu melalui mendiskripsikan kondisi perkembangan villa

sebelum dan sesudah ada kebijakan. Kemudian didiskripsikan dampak dari

pelaksanaan kebijakan penataan sarana akomodasi pariwisata di Kabupaten

Badung terhadap perkembangan jumlah akomdasi dan prilaku para pengusaha

villa.

Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan

30 responden pemilik villa yang diwawancarai secara mendalam untuk

mendapatkan tujuan penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah villa

pada tahun 2006, sebelum adanya kebijakan sebesar 642 bangunan villa, dimana

482 buah dioperasikan sebagai layaknya villa (akomodasi), dan sisanya, 162 buah

digunakan sebagai rumah pribadi dan disewakan. Tingkat kesadaran pengusaha

akomodasi sangat rendah. Hanya terdapat 19,29 % villa yang legal, pelanggaran

perizinan mencapai 80,71 %, dan kondisi perkembangan villa sebelum adanya

kebijakan cenderung menimbulkan permasalahan, seperti pelanggaran Rencana

Tata Ruang Wilayah, pencemaran lingkungan dan kawasan suci. Dampak positip

yang didapatkan dalam penelitian ini adalah perkembangan villa menjadi

terkendali, hal ini terlihat dari pertumbuhan villa 7,26 % pada tahun 2007 menjadi

3,32 % pada tahun 2008. Disamping itu, perilaku para pengusaha villa menjadi

lebih baik, yang dilihat dari meningkatnya villa legal di daerah ini.

5

Penelitian ini memberikan pemahaman bahwa di Kabupaten Badung telah

terjadi perkembangan akomodasi pariwisata, villa yang kurang terencana.

Walaupun kebijakan pemetaan sarana akomodasi pariwisata dikeluarkan, namun

perkembangan akomodasi hanya dapat dihambat pertumbuhannya dan sifatnya

sesaat. Hal ini dibuktikan dengan kondisi saat ini, dimana perkembangan

akomodasi pariwisata seperti villa tumbuh dengan pesatnya, terutama di

Kecamatan Kuta Utara.

Penelitian Utami (2004), dengan judul “Dampak Industri Pariwisata

terhadap Kualitas Air Tanah di Kuta Bali”. Penelitian yang bertujuan untuk

menganalisis kondisi kualitas air tanah dan pengaruh limbah cair yang dihasilkan

oleh industri pariwisata terhadap kualitas air tanah di Kuta, menggunakan

metode penelitian survey. Penelitian yang bersifat deskriptif dengan pendekatan

kuantitatif, menggunakan analisis komparatif dengan membandingkan hasil

pemeriksaan kualitas air tanah dengan baku mutu kualitas air golongan I (PP

NO. 82 Tahun 2001, tentang pengelolaan kualitas air). Volume air limbah yang

dihasilkan oleh industri pariwisata didapatkan dari jumlah konsumsi air bersih

untuk hotel, yaitu 1000 liter/kamar/hari dan untuk restoran 5 liter/tempat

duduk/hari (Bappeda Provinsi Bali 2000).

Berdasarkan atas hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa kualitas air

tanah yang digunakan sebagai sumber air oleh industri pariwisata sebagian telah

tercemar bakteri coli, dan beberapa parameter melebihi baku mutu (BOD, COD,

Fosfat). Keadaan ini ditemukan pada daerah yang kondisi sarana sanitasinya

kurang baik, seperti jarak sumber air dengan resapan/septic tank.Terdapat

6

hubungan yang kuat antara volume limbah cair yang dihasilkan dari industri

pariwisata (hotel dan restoran) dengan kualitas air tanah. Semakin tinggi volume

limbah cair yang dibuang ke lingkungan akan mengakibatkan menurunnya

kualitas air tanah. Kecenderungan ini juga terjadi di daerah penelitian yang akan

dilakukan. Akan tetapi penelitian yang akan dilakukan lebih spesifik, karena

disamping berdampak pada air tanah limbah pariwisata juga akan berdampak pada

air permukaan terutama pada saluran-saluran irigasi.

Penelitian Bappeda Provinsi Bali Tahun 2010, tentang daya dukung air

Bali yang mempertimbangkan keseimbangan antara kapasitas ketersediaan dengan

kebutuhan air di Bali, dengan pendekatan jejak ekologi dapat digunakan sebagai

dasar acuan dalam melakukan penelitian yang terkait dengan sumberdaya air.Pada

umumnya kapasitas penyediaan air suatu wilayah menggunakan satuan analisis

Daerah Aliran Sungai (DAS). Dalam penelitian Bappeda, penentuan ini

menggunakan satuan wilayah provinsi atau Pulau Bali, sehingga kapasitas

penyediaan air yang terdapat dalam provinsi atau Pulau Bali tersebut merupakan

penjumlahan dari jumlah air permukaan dan jumlah air tanah.Air permukaan

termasuk di dalamnya adalah air sungai dan air danau, sedangkan air tanah

termasuk air yang berada dibawah permukaan dan mata air.

Kapasitas air permukaan yang diperhitungkan adalah air yang bersumber

dari air sungai dan air danau alam, dan tidak mempertimbangkan air yang berasal

dari danau buatan atau waduk. Sungai–sungai di Bali telah dikelompokan ke

dalam 20 satuan wilayah sungai (sub basin) dengan total Daerah Aliran Sungainya

sebesar 5.612,77 km2, Dengan rata curah hujan yang jatuh sebesar 2003

7

mm/tahun, diperkirakan total aliran tahunan sebesar 196,4 m3/dt, atau 6109 juta

m3/tahun, yang juga merupakan kapasitas air permukaan Pulau Bali (DPU.2006).

Sedangkan kapasitas air permukaan yang berasal dari danau alami, yaitu Danau

Buyan, Danau Tamblingan, Danau Beratan dan Danau Batur merupakan cadangan

potensi air permukaan Provinsi Bali dengan total volume sebesar 1007,90 juta m3,

yang berasal dari Danau Batur sebesar 815,38 juta m3, Danau Buyan (116,26 juta

m3), Danau Beratan ( 49,22 juta m3) dan Danau Tamblingan (27,05 juta m3). Jadi

total ketersediaan air permukaan adalah sebesar 1124,16 m3/tahun.

Kapasitas air dibawah permukaan/air tanah berdasarkan hasil studi air

tanah di Bali diperkirakan potensi air tanah sekitar 391,8 juta m3/tahun (DPU.

2006). Potensi terbesar di Kabupaten Tabanan sebesar 78,5 juta m3/tahun,

kemudian Buleleng 66,0 juta m3/tahun dan Karangasem 65,9 juta m3/tahun;

sedangkan terkecil di Kota Denpasar sebesar 9,2 juta m3/tahun. Berdasarkan atas

masukan dari curah hujan rata-rata 2003 mm diperoleh imbuhan air tanah sebesar

3.919,6 mm dengan batas eksploitasi sebesar 12.429 lt/dt. Atau 341,00 juta

m3/tahun.

Disamping kapasitas air permukaan dan air tanah, dikemukakan pula

bahwa, Jumlah mata air yang ada di Pulau Bali adalah 1273 buah tersebar di

seluruh kabupaten. Kabupaten Bangli memiliki jumlah mata air yang terbesar

(423 mata air), menyusul kemudian Singaraja (327 mata air), Tabanan (177 mata

air) dan Karangasem (138 mata air). Dari sekian banyak mata air yang ada, tidak

semuanya memiliki debit yang potensial untuk dimanfaatkan. Jumlah mata air

dengan debit lebih besar 10 lt/dtk terdapat 359 buah mata air dengan total debit

8

rata-rata 75,4 lt/detik atau 23,45 m3/tahun. Sedangkan total kapasitas ketersediaan

air di propinsi Bali sebesar 1362,92 juta m3 (DPU, 2006).

Jejak ekologi air ditentukan dengan pendekatan dimana konsumsi air

merupakan penjumlahan dari konsumsi untuk keperluan domestik, konsumsi

untuk keperluan industri dan konsumsi untuk keperluan pertanian. Konsumsi

untuk keperluan domestik merupakan kunsumsi kebutuhan air penduduk yang ada

di Provinsi Bali untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, yang mencakup

konsumsi air untuk keperluan mandi, cuci, kakus, minum, masak, cuci pakaian,

kebersihan rumah, taman, cuci kendaraan dan untuk keperluan rumah tangga

lainnya. Konsumsi untuk keperluan industri lebih ditekankan pada industri

pariwisata karena industri ini yang dominan ada di Bali. Komponen industri

pariwisata yang dipertimbangkan adalah industri perhotelan, baik yang berbintang

maupun yang non-bintang, dan wisatawan. Sedangkan untuk konsumsi pertanian

lebih ditekankan pada kebutuhan air untuk irigasi. Berdasarkan komponen jejak

ekologi di atas maka kebutuhan konsumsi air di Provinsi Bali sebesar 1589,2264

juta m3, dengan rincian; Penduduk/domestik 0,58 juta m3, Pertanian 1553,15 juta

m3, Industri pariwisata seperti hotel bintang 24,70 juta m3, Hotel melati dan

pondok wisata 11,79 juta m3, Wisatawan 0,0064 juta m3

Berdasarkan atas perbandingan kapasitas sumberdaya air dengan

kebutuhan konsumsi air maka dapat dikatakan bahwa provinsi Bali/Pulau Bali

telah mengalami kekurangan air karena kapasitas sumberdaya air lebih kecil dari

pada kebutuhan konsumsi air. Berdasarkan atas analisis perhitungan

keseimbangan air menunjukan bahwa kapasitas ketersediaan air lebih kecil dari

9

pada kebutuhan konsumsi air. Hal ini berarti bahwa konsumsi air di Provinsi Bali

telah melampaui daya dukung air yang dimilikinya atau defisit. Beberapa

Kabupaten Kota yang telah mengalami defisit air adalah Badung, Denpasar,

Gianyar, Klungkung dan Buleleng. Tidak mengherankan kalau Kabupaten

Badung sudah mengalami defisit air, karena kabupaten ini memiliki pusat-pusat

perkembangan pariwisata seperti Kuta dan Nusa Dua, yang membutuhkan suplay

air yang banyak. Walaupun sementara ini dapat diatasi dengan mengusahakan

sumber air dari kabupaten lain,, akan tetapi perlu dicermati Bali hanyalah sebuah

pulau kecil, yang memiliki sumber daya air terbatas, dan ekosistemnya saling

terkait. Sehingga sewajarnya pengelolaan Pulau Bali harus mengikuti kaidah-

kaidah subuah pulau kecil, terutama dalam mengelola sumberdaya air.

Keterkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah daerah

penelitian yang akan dilakukan di Kecamatan Kuta Utara yang merupakan bagian

dari daerah yang paling pesat perkembangan pariwisatanya. Sehingga kondisi

kabupaten terkait dengan potensi sumber daya air juga merupakan cerminan dari

daerah pada lokasi penelitian yang dilakukan. Oleh sebab itu, perkembangan

pariwisata yang diyakini berhubungan langsung dengan sumber daya air di daerah

ini, harus lebih mendapat perhatian.

Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan di luar Bali dan terkait

dengan penelitian yang akan dilakukan dipandang sangat penting untuk dijadikan

referensi. Penelitian tentang perkembangan pariwisata dan lingkungan telah

dilakukan oleh Cullen di Selandia Baru (dalam Gaile, dan Willmot, 2003).

10

Penelitian dari Cullen ini diawali dari kesadaran bahwa dunia pariwisata

meningkat drastis dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini sebagai akibat dari

perjalanan internasional telah menjadi lebih mudah dan pendapatan global telah

menjadi lebih merata di antara dunia kaya dan miskin.Pertumbuhan pariwisata

Selandia Baru telah jauh lebih besar dari rata-rata dunia, sebagian karena nilai

tukar yang menguntungkan yang membuat perjalanan ke tujuan yang relatif

murah, dan sebagian karena pemasaran yang agresif dengan mengedepankan

slogan "bersih, hijau". Sejak 1980-an telah terjadi peralihan sistem pengelolaan

pariwisata dari paket wisata, di mana dampak pengunjung terbatas pada rute

utama, ke arah pengelolaan yang dikenal sebagai "bebas dan perjalanan mandiri"

(FIT). Pada hari libur di mana orang mengemudi campervans dan mobil sewa

dengan semangat bergerak dimanapun. Bahkan perkembangan lebih baru mulai

bermunculan, termasuk wisata petualangan (bungy jumping, arung jeram).

Perkembangan pesat wisatawan selama dekade terakhir telah

meningkatkan kekhawatiran tentang dampak lingkungan dan keberlanjutan.

Terlampauinya daya dukung akan dapat menurunkan kualitas lingkungan, kualitas

pengalaman wisatawan dan mengintensifkan tekanan pada fasilitas seperti ruang

di tempat-tempat akomodasi, parkir, dan toilet. Tanah/lahan dan sungai, termasuk

pasokan air, limbah manusia dipandang sebagai masalah nasional di daerah-

daerah pariwisata.

Kegiatan wisata menghasilkan emisi (cair, padat dan gas), mengkonsumsi

sumber daya (yang mungkin terbarukan atau tidak terbarukan) dan memodifikasi,

fragmen dan/atau menghancurkan habitat.Jika tujuannya adalah untuk

11

meningkatkan kinerja lingkungan dari sektor pariwisata maka semua aspek

dampak dan hubungan antar- mereka perlu dipertimbangkan secara sistematis.

Penelitian ini memfokuskan pada dampak lingkungan dari pariwisata di

empat pusat di Westland District, Selandia Baru.Tujuan khusus dari penelitian ini

adalah untuk; 1) Mengembangkan model untuk memperkirakan dan

memproyeksikan wisata penggunaan sumber daya air, limbah padat dan produksi

air limbah di Hokitika, Harihari, Franz Josef, dan Haast; 2). Menilai kecukupan

sumber daya dan infrastruktur untuk menyediakan air, dan mengelola air limbah

dan limbah padat yang terkait dengan pariwisata.

Pengalaman keseluruhan wisata yang terdiri dari beberapa kegiatan,

masing-masing kegiatan mengkonsumsi air dan menghasilkan limbah padat dan

air limbah (diperlihatkan pada Tabel 2.1). Dari semua jenis aktivitas wisatawan

yang teridentifikasi tidak satupun dari aktivitas tersebut yang tidak membutuhkan

air dan menghasilkan limbah. Lebih jauh dikemukakan tentang dampak

perkembangan pariwisata di daerah penelitian terhadap infrastruktur. Kehadiran

wisatawan di daerah penelitian memiliki dampak langsung dan tidak langsung

pada infrastruktur. Dampak infrastruktur langsung akan banyak layanan yang

disediakan oleh Pemerintah Daerah, yang relevan dengan penelitian ini seperti; 1)

layanan air bersih, 2) system pembuangan air limbah, termasuk toilet umum, 3)

Pengelolaan sampah, dan 4) Stormwater manajemen. Pariwisata memberikan

dampak pada tiga poin pertama dan kurang pada poin ke 4.

12

Dampak infrastruktur tidak langsung mencakup banyak layanan yang

disediakan secara informal. Tidak semua penduduk tetap dalam suatu daerah yang

terhubung ke layanan tertentu. Misalnya, dalam Harihari, hanya 40 persen dari

penduduk yang terhubung ke suplai air kota dan tidak ada sistem pembuangan

kotoran sentral dalam Harihari. Dalam hal ini proporsi yang signifikan dari

penduduk akan memiliki pasokan air mereka sendiri secara individu dan

penukaran sistem air limbah, seperti sistem tangki septik. Ada kemungkinan

bahwa lebih dari 30 persen wisatawan menggunakan akomodasi yang kebutuhan

airnya diusahakan secara individu (Simons, 2001). Dalam kasus tersebut, dapat

menyebabkan polusi air permukaan dan air tanah serta meningkatkan risiko

penyakit. Jika pasokan air individu terbatas, atau berkualitas buruk, yang

disebabkan oleh meningkatnya permintaan pariwisata jelas akan memperburuk

kondisi di lapangan. Implikasi tidak langsung terhadap infrastruktur adalah nyata,

sehingga dituntut adanya meningkatan peraturan dan pemantauan pada daerah-

daerah pariwisata.

Penelitian ini menyajikan beberapa hasil temuan bahwa perkembangan

pariwisata di daerah-daerah pariwisata akan membutuhkan pasokan air yang

banyak dan menghasilkan limbah yang dapat merusak potensi air tanah dan air

permukaan. Penyebabnya tidak hanya oleh prilaku wisatawan tetapi juga sarana

dan prasarana yang kurang memadai. Kondisi ini mempunyai kecenderungan

yang sama seperti pada daerah yang akan dijadikan lokasi penelitian.

13

Table 2.1

Aktivitas Pariwisata, Produksi Limbah dan Konsumsi Air

Activity Wastewater Type Solid Waste Type Water

Consumption

Hotel/motel accommodation

Sewage, storm water

Paper and cardboard, plastics, glass, putrescibles, and some rubber, textiles and metal

Yes

Camping grounds

Sewage, storm water

Paper and cardboard, plastics, glass, organics, putrescibles, and some metal

Yes

Public toilets

Black water with smaller quantities of grey water

Some public toilets may have rubbish bins, producing - paper and cardboard, plastics, glass, putrescibles, and some metal

Yes

Campervan dumping Black water Paper and cardboard, plastic,

putrescibles, cans Maybe

Visitor Centres

Sewage and storm water

Paper and cardboard, plastics, glass, and some metal

Yes

Restaurants Sewage Paper and cardboard, plastics, glass, putrescibles, and some metal

Yes

Tourist shops etc Sewage

Paper and cardboard, plastics, glass, organics, and some textiles, rubber and metal

Yes

Adventure tourism

Black water Maybe some grey water

Variable Maybe

“Off-road” activities Black water

Paper and cardboard, plastics, glass, organics, putrescibles, and metal and textiles

No

Sumber: Cullen, (2001). Note that Table 2 has not included the environmental impact of the construction industry. During construction, industry can produce a significant quantity of waste material – in particular solid wastes (paper, plastic, glass, metal, rubble, concrete, timber, rubber, textiles and potentially hazardous materials), and in time these would need to be taken into account in a full environmental assessment.

14

Penelitian Nisha (2012), tentang dampak perkembangan pariwisata di

perdesaan India, peluang dan tantangannya. Pariwisata di daerah perdesaan

merupakan bentuk kegiatan baru yang dapat membawa dampak ekonomi dan

manfaat sosial kepada masyarakat. Di India pariwisata pedesaan merupakan

bentuk pariwisata yang relatif baru. Desa wisata dapat membantu dalam

membentuk masyarakat di perdesaan. Akan tetapi perkembangan pariwisata di

perdesaan dapat menimbulkan dampak positif dan negatif pada masyarakat

perdesaan. Dalam mengembangkan pariwisata di perdesaan perlu memahami

lingkungan perdesaan, kependudukan, latar belakang sosial-budaya, ekonomi dan

politik daerah setempat.

Beberapa peluang diperoleh dalam penelitianya, antara lain sebagai

berikut. 75% responden tertarik untuk pariwisata perdesaan, karena perjalanandi

perdesaan dapat menimbulkan kesenangan dan relaksasi bagi tubuh dan pikiran.

Sekali dalam setahun, penduduk kota telah menyatakan minat mereka untuk pergi

berwisata ke perdesaan. Terutama ke daerah-daerah yang memiliki keindahan

unsur-unsur alam seperti pegunungan, hutan, laut, danau dll. Seiring dengan itu

kebiasaan tradisional, kerajinan tangan dari pasyarakat perdesaan, makanan

tradisional dan gaya hidup mereka dan program budaya. Di Rajasthan, wisatawan

dapat melihat refleksi dari jenis program di Jaipur dan Udaipur khususnya. Jaipur

dan kota-kota lain dari Rajasthan telah mengembangkan beberapa penjualan yang

unik untuk menarik wisatawan domestik dan asing. Beberapa hotel di Rajasthan

menyediakan makanan tradisional dalam gaya yang sangat tradisional. Turis

menjadi lebih berpendidikan, lebih sadar akan fasilitas yang tersedia dan lebih

15

berpengalaman, sehingga harapan mereka juga meningkat. Wisatawan tertarik

untuk menjelajahi tempat-tempat baru. Pariwisata pedesaan di India memiliki

prospek besar di masa depan, karena tidak hanya menyediakan unsur-unsur

keindahan alam tetapi juga adat, tradisi, dan makanan lokal. Pengalaman

langsung dengan masyarakat setempat dapat menjadi pengalaman unik untuk

menarik wisatawan. Setiap negara bagian di India memiliki beberapa kerajinan,

tradisi dan makanan yang unik.Pariwisata perdesaan tidak harus dikembangkan

untuk pemasaran massal. Pariwisata perdesaan harus mengembangkan strategi

yang berbeda untuk segmen yang berbeda untuk membuatnya berhasil. Mencoba

untuk menarik setiap orang merupakan kesalahan besar. Agar efektif dan

berhasil, pemasar perlu fokus pada segmen tertentu atau segmen pada satu waktu.

Tantangan yang muncul akibat dari pengembangan desa untuk pariwisata

adalah dampak yang ditimbulkan terhadap kondisi lingkungan di perdesaan. Pada

dasarnya orang-orang pedesaan dapat belajar untuk mengembangkan lingkungan

yang sehat dengan sanitasi yang layak, jalan, listrik, dan tekomunikasi untuk

hidup lebih baik di satu sisi pada sisi lain wisatawan dapat memanfaatkan sumber

daya alam dan memiliki dampak penting pada lingkungan. Perkembangan

pariwisata di perdesaan dapat berdampak positip terhadap lingkunga seperti;

Orang-orang perdesaan belajar dari para pengunjung bagaimana menjalani hidup

sehat dan higienis; Bantuan dalam menciptakan dan memelihara taman alam;

mempelajari pentingnya pelestarian sumber daya alam; masyarakat akan belajar

menggunakan alat-alat modern dan teknologi; dan orang perdesaan akan belajar

untuk melestarikan habitat alam, keanekaragaman hayati, monumen bersejarah.

16

Disisi lain perkembangan pariwisata di perdesaan juga menimbulkan dampak

negatip terhadap kondisi lingkungan perdesaan. Para pengunjung bisa

mengeksploitasi sumber daya alam dan dapat berdampak berat pada lingkungan.

Selain itu, pariwisata perdesaan akan memerlukan fasilitas infrastruktur,

transportasi dan lainnya yang dapat menyebabkan degradasi lingkungan.

Pengembangan infrastruktur dapat mengganggu keindahan alam. Pengunjung

jumlah besar dapat mengeksploitasi sumber daya alam dan ekologi alam akan

terganggu.

Penelitian ini lebih memperkuat keyakinan bahwa perkembangan

pariwisata selain mengakibatkan dampak positif juga menimbulkan dampak

negatif. Dampak negatif yang ditimbukan karena perkembangan pariwisata selalu

akan membutuhkan infrasruktur yang dalam perkembangannya cenderung

mengeksploitasi sumber daya setempat sehingga kualitas sumberdaya menjadi

menurun. Menarik dalam penelitian ini adalah, perkembangan pariwisata di

pedesaan tidak harus dibuat masal. Mengembangkan strategi yang berbeda untuk

mendapatkan segmen yang berdeda. Hal ini menunjukan bahwa dalam

mengembangkan produk harus benar-benar ditentukan potensi yang spesifik dan

unik yang dimiliki desa, tanpa harus mengukuti kemauan sebagian besar

wisatawan. Strategi ini merupakan bagian dari konsep pembangunan pariwisata

berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

17

2.2. Keterkaitan Pariwisata dan Sumber Daya Air

Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-Moon dalam pidatonya yang disampaikan

dalam memperingati ” World Tourism Day “ 27 Sept 2013 dengan topik

“Tourism and Water, Protecting Our Common Future” mengatakan bahwa:

perubahan iklim dan konsumsi yang tidak berkelanjutan telah mengancam sumber

daya air global, dan tanggung jawab industri pariwisata untuk menjaga dan

mengelola air dengan baik. Ban Ki-Moon mendorong perusahaan pariwisata

untuk mengurangi konsumsi dan meningkatkan pengelolaan limbah serta

memintanya untuk memainkan peran mereka dengan membuat pilihan sadar

lingkungan ketika mereka bepergian. Dengan melakukan hemat air menjadi

prioritas, maka kita semua bisa membantu untuk membangun masa depan yang

kita inginkan.

Richard, Dkk. (2011) dalam penelitiannya di 17 negara tujuan wisata

mengemukakan bahwa perkembangan pariwisata berdampak negatif terhadap

sumber daya air. Permintaan air melebihi pasokan yang tersedia dari sumber yang

berkelanjutan terjadi di banyak tujuan wisata populer, telah menyebabkan

kekurangan air. Hal ini memiliki efek serius pada masyarakat sekitar, habitat

alami, dan pada sektor pariwisata itu sendiri, serta merusak tujuan pembangunan

berkelanjutan. Semua negara-negara tujuan wisata yang termasuk dalam studi ini

sumber daya airnya mengalami tekanan yang sangat serius, penyebabnya

kombinasi berbagai faktor yang saling terkait, antara lain:

18

1. Kelangkaan Fisik, penyebabnya antara lain kehabisan persediaan

(misalnya Malta, Spanyol, Yunani), kekeringan (misalnya Karibia, Maroko),

polusi (termasuk dari pariwisata), dan intrusi air laut yang disebabkan oleh

eksploitasi yang berlebihan;

2. Kelangkaan Ekonomi, termasuk kurangnya infrastruktur, tata kelola air

yang buruk dan kurangnya manajemen permintaan (misalnya Kenya, Mesir,

Karibia);

3. Urbanisasi yang cepat dan pengembangan pariwisata yang tidak diatur,

meningkatnya pemanfaatan pada sumber daya air yang langka dan menyebabkan

kontaminasi sumber daya air oleh limbah yang tidak diolah (misalnya Tunisia,

Mesir, Yucatan);

3. Pertumbuhan penduduk dan fluktuasi wisatawan : termasuk efek

musiman selama musim padat wisatawan (misalnya Karibia).

Laporan perkembangan pariwisata dari UNEP’s (2006) tentang Sustainable

Tourism, mengemukakan antara lain; Selama tahun 1970, hanya 1 dari 13 orang

di negara-negara industri melakukan perjalanan ke negara berkembang sebagai

wisata internasional. Pada akhir 1990-an itu keadaan ini berubah dengan cepat

menjadi hanya 1 dari 5 orang telah melakukan perjalanan wisata. Terdapat 700

juta wisatawan internasional per tahun dan menghasilkan penerimaan sebesar 500

miliar dolar yang membuat pariwisata menjadi salah satu industri terbesar di

dunia, yang diikuti oleh dampak lingkungan yang serius. Sejumlah negara

berpenghasilan rendah telah meningkatkan promosi dibidang pariwisatanya

19

secara aktif untuk mendorong pembangunan ekonomi mereka. Kuba telah

meningkat lima kali lipat perkembangan pariwisatanya sejak tahun 1990. Wilayah

Saint Lucia, Antigua dan Barbuda, penerimaan pariwisatanya mencapai hampir

50% dari Produk Domestik Bruto (PDB), bahkan Maladewa menyumbang

hampir 90%.

Sumber daya air adalah daya tarik utama dalam pengembangan parwisata

dan rekreasi. Walaupun ada manfaat ekonomi yang positif, dampak negatifnya

tidak bisa dihindarkan. Pencemaran air adalah hasil dari air limbah yang

dihasilkan oleh fasilitas wisata dan aliran dan terjadi hampir di semua tubuh

perairan, seperti danau, sungai, laut dan air tanah. Sebagian besar pencemaran

airmerupakan non-point pollution, seperti rembesan septic tank, pemupukan

rumput, aliran permukaan tanah yang tertutup. Buangan limbah ke dalam sumber

daya air akan berbahaya bagi kesehatan. Pencemaran air merupakan masalah

serius pada beberapa daerah di Mediterania (Wall dan Mathieson, 2006).

Selain masalah pencemaran air, pariwisata membutuhkan air untuk mencuci

(laundry), kolam renang, menyiram taman, dan penggnaan lainnya dengan

jumlah di atas rata-rata. Hal ini akan menjadi masalah terutama pada daerah-

daerah yang memiliki kelangkaan sumber daya air (Hamele, 1988). Masalah

konsumsi air yang berlebihan di daerah wisata yang langka air dan

mengoperasikan lapangan golf, menyebabkan peningkatan pencemaran laut di

wilayah pesisir. Hal ini dikarenakan pengolahan air limbah yang tidak memadai

20

sehingga mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati laut, termasuk

rusaknya terumbu karang.

Vegetasi sering berfungsi sebagai daya tarik bagi wisatawan. Hamparan

terasering sawah yang banyak dijumpai di Bali juga menjadi daya tarik tersendiri

dalam perkembangan pariwisata Bali pada umumnya. Akan tetapi,

kecenderungan yang terjadi adalah banyaknya fasilitas pariwisata di bangun

daerah persawahan yang merupakan daya tarik pariwisata. Membangun bangunan

di lahan sawah akan menghilangkan tanaman/vegetasi padi, dan akan

menghilangkan fungsi vegetatip tanaman sebagai penutup lahan, seperti resapan

air dan pencegahan erosi.

United Nations World Water Development (UNWWD) dalam laporannya

tentang 'Water for People, Water for Life' (2003); dan Water, a shared

responsibility (2006), mengemukakan fakta bahwa hotel dan wisatawan

mengkonsumsi sejumlah besar air. Di Israel air yang digunakan oleh hotel di

sepanjang Sungai Yordan diduga berkontribusi terhadap pengeringan air Laut

Mati, dimana tinggi muka air telah menurun 16,4 meter sejak tahun

1977.Pariwisata menyumbang sekitar 7% pencemaran air limbah di Mediterania,

dengan menghasilkan hingga 180 liter air limbah per wisatawan/ hari. Studi dari

CTO (Caribbean Tourist Organization), tahun 1994, telah diungkapkan bahwa

80% sampai 90% limbah dari hotel dan fasilitas terkait telah terjadi di pesisir

pantai dan dianggap memiliki efek buruk pada terumbu karang dan hutan bakau.

21

Keberadaan lapangan golf di suatu daerah pariwisata ternyata memiliki

dampak yang besar terhadap penurunan potensi air di daerah tersebut. Lapangan

golf delapan belas lubang dapat mengkonsumsi lebih dari 2,3 juta liter sehari.

Bahkan temuan paling ekstrim dikemukakan bahwa:

An average golf course in a tropical country such as Thailand needs 1500 kg of chemical fertilizers, pesticides and herbicides per year and uses as much water as 60,000 rural villagers (UNWWD.2006).

Terkait dengan penggunaan air oleh pariwisata khususnya wisatawan,

sebuah studi mengemukakan bahwa turis di Grenada, Spanyol umumnya

menggunakan air 7 kali lebih daripada masyarakat lokal dan perbedaan ini

biasanya terjadi di banyak daerah pariwisata yang sedang berkembang.Di daerah

tropis seperti Mediterania, masalah kelangkaan air menjadi perhatian

khusus,karena iklim panas dan kecenderungan turis untuk mengkonsumsi lebih

banyak air ketika berlibur daripada yang mereka lakukan di rumah.Jumlah yang

digunakan oleh wisatawan sampai mencapai 440 liter sehari,ini hampir dua kali

lipat dari penggunaan rata-rata penduduk kota Spanyol.