BAB II Kajian Pustaka 1. traditio, “diteruskan atau...
-
Upload
truongnguyet -
Category
Documents
-
view
222 -
download
3
Transcript of BAB II Kajian Pustaka 1. traditio, “diteruskan atau...
6
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kajian Pustaka
1. Pengertian Tradisi
Tradisi dalam bahasa latin traditio, “diteruskan atau kebiasaan,
dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang dilakukan
sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat,
biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu atau agamayang sama. Hal
yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan
dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya
ini, suatu tradisi dapat punah.
Tradisi merupakan warisan atau norma-norma adat istiadat, kaidah-
kaidah, harta-harta. Tetapi tradisi bukan suatu yang tidak dapat diubah.
Tradisi justru diperpadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan
diangkat dalam keseluruhannya. Manusia yang membuatkan ia yang
menerima, ia pula yang menolaknya atau mengubahnya. Itulah sebabnya
mengapa kebudayaan merupakan cerita perubahan-perubahan manusia
yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang sudah
ada. (Van Reusen, 1992 : 115).
Tradisi merupakan roh dari sebuah kebudayaan. Tanpa tradisi tidak
mungkin suatu kebudayaan akan hidup dan langgeng. Dengan tradisi
hubungan antara individu dengan masyarakatnya bisa harmonis. Dengan
7
tradisi sistem kebudayaan akan menjadi kokoh. Bila tradisi dihilangkan
maka ada harapan suatu kebudayaan akan berakhir diaat itu juga. Setiap
sesuatu menjadi tradisi biasanya telah teruji tingkat efektifitas dan
efisiennya. Efektifitas dan efisiennya selalu mengikuti perjalanan
perkembangan unsur kebudayaan. Berbagai bentuk sikap dan tindakan
dalam menyelesaikan persoalan kalau tingkat efektifitasnya dan efisiennya
rendah akan segera ditinggalkan pelakunya dan tidak akan pernah
menjelma menjadi sebuah tradisi. Tentu saja sebuah tradisi akan pas dan
cocok sesuai situasi dan kondisi masyarakat pewarisnya.
Menurut Bastomi (1986: 1) Upacara tradisi adalah kegiatan yang
melibatkan warga masyarakat dalam usaha bersama-sama untuk mencapai
tujuan keselamatan bersama. Berdasarkan dua pengertian di atas maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
a. Upacara tradisi bertujuan untuk menciptakan suasana yang tenang serta
menghindarkan dari bahaya yang akan mengancam di kemudian hari.
b. Upacara tradisi merupakan suatu kegiatan yang didalamnya
mengandung makna bahwa upacara tersebut harus diikuti dan
dilaksanakan seluruh warga masyarakat tanpa ada rasa terpaksa.
c. Dalam upacara tradisi ini banyak larangan yang tidak boleh dilanggar
oleh masyarakat, karena kalau dilanggar bisa berakibat kematian.
d. Upacara tradisional tumbuh dan menyebar melalui berbagai sikap
perbuatan manusia terhadap peristiwa tertentu.
8
Peranan tradisi terutama sangat nampak pada masyarakat pedesaan
walaupun kehidupan tradisi terdapat pula pada masyarakat kota.
Masyarakat pedesaan dapat diidentifikasikan sebagai masyarakat agraris,
maka sifat masyarakat sepeti itu cenderung tidak berani berspekulasi
dengan alternatif yang baru. Tingkah laku masyarakat selalu pada pola-pola
tradisi yang telah lalu (Bastomi, 1986 : 14).
Selanjutnya dari konsep tradisi akan lahir istilah tradisional.
Tradisional merupakan sikap mental dalam merespon berbagai persoalan
dalam masyarakat. Di dalamnya terkandung metodologi atau cara berfikir
dan bertindak yang selalu berpegang teguh atau berpedoman pada nilai dan
norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan kata lain setiap tindakan
dalam menyelesaikan persoalan berdasarkan tradisi.
Salah satu tradisi masyarakat Jawa adalah upacara-upacara adat yang
dikemas secara tradisional yang disebut juga upacara tradisional. Upacara
tradisional merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan.
Kebudayaan adalah warisan sosial yang hanya dapat dimiliki oleh warga
masyarakat pendukungnya dengan jalan mempelajarinya (Purwadi, 2005 :
1).
2. Upacara Tradisional
Kebudayaan merupakan satu bentuk warisan sosial yang dimiliki
oleh warga masyarakat pendukungnya sebagai suatu warisan kebudayaan
yang mengalami perkembangan selaras perkembangan masyarakat itu
sendiri. Agar supaya di dalam perkembangannya, nilai-nilai luhur yang
9
terkandung dalam kebudayaan tidak tenggelam, perlu diupayakan
penanaman nilai – nilai tersebut melalui sarana atau media tertentu. Salah
satu cara yang dapat ditempuh adalah melalui pengenalan serta
pemahaman Upacara Tradisional.
Salah satu bentuk kebudayaan yang dimiliki dan dikembangkan oleh
masyarakat adalah upacara tradisional. Konsep upacara tradisional
berkaitan erat dengan keberadaan lingkungan di mana masyarakat
berdiam. Menurut Koentjaraningrat, bahwa seluruh alam diliputi kekuatan
gaib tertentu yang rupanya berada dalam segala hal. Kekuatan itu
dianggap berada di luar kemampuan dari kesadaran pemikiran manusia.
Sistem upacara merupakan suatu perwujudan dari religi yang memerlukan
suatu pengamatan secara ilmiah dan khusus (Koentjaraningrat, 1981: 241).
Menurut Supanto dalam Sunyata (1996 : 2) upacara tradisional yaitu
kegiatan sosial yang melibatkan para warga dalam mencapai tujuan
keselamatan bersama. Upacara tradisional merupakan bagian yang integral
dari kebudayaan masyarakat. Hal ini terwujud karena fungsi upacara
tradisional bagi kebudayaan masyarakat. Penyelenggaraan upacara
tradisional sangat penting artinya bagi masyarakat pendukungnya.
Keberadaan Upacara Tradisional tidak terlepas dari keberadaan
masyarakat pendukungnya, artinya apakah suatu Upacara Tradisional
masih dipertahankan atau tidak tergantung dari masyarakat pendukungnya
itu sendiri. Hal ini tidak terlepas dari keyakinan terhadap kesakralan
pelaksanaan Upacara Tradisional.
10
Levi Bruhl mengungkapkan adanya masyarakat yang memiliki
keyakinan bahwa alam diliputi oleh suatu kekuatan gaib tertentu yang
berada dalam segala hal. Kekuatan itu dianggap berada di luar kemampuan
dan kesadaran pikiran manusia, tetapi kekuatan tersebut dapat
menyebabkan kebahagiaan atau malapetaka. Untuk mengendalikannya
maka melalui bentuk pelaksanaan upacara yang ada di dalamnya terdapat
ritual-ritual tertentu (Koentjaraningrat 1981 : 91).
Upacara tradisional yang dilaksanakan oleh masyarakat
pendukungnya bertujuan untuk mencapai keselamatan bersama. Dalam
pelaksanaan upacara tersebut berisi ritual-ritual tertentu yang harus
dipatuhi dan dilaksanakan oleh warga masyarakat. Adapun keharusan ini
semakin memperkokoh rasa kebersamaan diantara mereka.
Aturan-aturan atau ritual-ritual yang harus dipatuhi dan
dilaksanakan tersebut diwariskan secara turun-temurun, sehingga berperan
melestarikan ketertiban hidup masyarakat itu, kepatuhan yang muncul
untuk taat melaksanakan ritual tidak terlepas dari kesakralan serta daya
magis/gaib dari pelaksanaan upacara.
Sesuatu yang sakral adakalanya tidak berbentuk pada benda-benda
yang kongkrit, yang sakral biasanya dijadikan sebagai objek atau sarana
penyembahan dari upacara-upacara keagamaan dan diabadikan dalam
ajaran kepercayaan. Dalam ajaran kepercayaan itulah munculnya ritual.
Ritual mengandung makna upacara, yaitu tindakan menurut adat atau
agama (Minsarwati 2002:28-29) Ritual itu sendiri adalah suatu kegiatan
11
yang berkaitan dengan mitos yang bertujuan untuk mensakralkan diri dan
dilakukan secara rutin, tetap, berkala yang dapat dilakukan secara
perorangan maupun kolektif menurut ruang dan waktu, serta berdasarkan
konvensi setempat (Zeffry 1998:98).
Menurut Wallek dan Werren (1995:243) mitos mengikuti dan
berkaitan erat dengan ritual. Mitos adalah bagian ritual yang diucapkan,
cerita yang diperagakan melalui ritual. Dalam suatu masyarakat, ritual
dilakukan oleh pemuka-pemuka agama untuk menghindarkan bahaya atau
mendatangkan keselamatan. Mitos berarti cerita-cerita anonim mengenai
asal mula alam semesta, nasib dan tujuan hidup.
Dari adanya keharusan mematuhi aturan dalam ritual upacara di
dalam masyarakat pada akhirnya membentuk pranata sosial yang tidak
tertulis. Akan tetapi harus dikenal dan dipatuhi oleh seluruh warga
masyarakat secara turun-temurun. Upacara tradisional disamping sebagai
pranata sosial berfungsi pula sebagai wahana komunikasi antar sesama
warga dengan dunia gaib. Komunikasi manusia dengan hal gaib
dinampakkan dalam simbol-simbol pula, nilai-nilai etis, pesan-pesan
ajaran agama maupun norma-norma disampaikan kepada seluruh warga.
Dengan demikian upacara tradisional dimanfaatkan pula sebagai sarana
sosialisasi kepada warga khususnya generasi muda.
Suatu ritus atau religi terdiri dari suatu kombinasi yang
merangkaikan beberapa tindakan. Ritus dan upacara bukan peristiwa biasa,
12
tetapi peristiwa yang dilaksanakan dengan emosi keagamaan dan biasanya
mempunyai sifat keramat (Koentjaraningrat, 1993:44)
3. Jenis-Jenis Upacara Tradisional
Upacara-upacara tradisional yang ada di Indonesia secara garis
besarnya dapat di bagi menjadi :
a. Upacara tradisional dalam kaitannya dengan alam merupakan upacara
yang berhubungan dengan kepercayaan terhadap dunia gaib dan
peristiwa-peristiwa alam.
b. Upacara tradisional yang berhubungan dengan leluhur. Upacara tradisi
berhubungan erat dengan adanya harapan keselamatan dalam hidupnya,
serta dijauhkan dari gangguan-gangguan makhluk halus dan perbuatan
yang dapat merugikan diri sendiri. (Kamajaya Karkoro,1992: 5).
c. Uapacara tradisi yang berkaitan dengan mitos, yaitu upacara tradisi
yang didalamnya mengandung pemujaan terhadap seseorang yang
dianggap memiliki kemampuan di atas kemampuan manusia normal
(memiliki kesaktian).
d. Upacara tradisi yang berkaitan dengan legenda, yaitu legenda yang
dianggap mempunyai daya kemampuan yang hebat atau benar-benar
terjadi di kehidupan masyarakat setempat.
4. Tujuan Upacara Tradisional
Upacara tradisional yang dilakukan oleh oleh anggota komunitas
baik secara bersama atau individu bertujuan untuk mendapatkan
keselamatan agar dihindarkan dari segala bala (malapetaka).
13
Bahwa upacara tradisional dilakukan juga secara berkala
mengingatkan warga akan segala norma dan aturan supaya dalam
bertindak tidak menyimpang dari aturan atau norma yang ada dalam
komunitas bersangkutan. Karena jika terjadi penyimpangan, akibat yang
muncul akan menimpa semua anggota masyarakat atau komunitas.
5. Unsur-Unsur Upacara Tradisional
Upacara tradisional baik yang bersifat religi/keagamaan maupun adat
memiliki unsur atau komponen yang sama. Unsur-unsur yang terkandung
adalah
1. Tempat Upacara
2. Saat Upacara
3. Benda-benda dan alat upacara
4. Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.
(Koentjaraningrat, 1977 : 241).
Upacara yang dilakukan merupakan perbuatan yang keramat, oleh
karena itu unsur/komponen upacara tersebut dianggap keramat. Hal ini
berkaitan erat dengan prinsip yang mendasari dilaksanakan kegiatan
upacara, yaitu manusia diharapkan pada satu kekuatan yang berada diluar
jangkauan kemampuan pikirannya yang memiliki kegaiban.
Disamping empat komponen tersebut di atas, kegiatan upacara
mengandung sebelas unsur perbuatan yaitu :
14
1) Bersesaji
Bersesaji merupakan perbuatan untuk menyajikan makanan,
benda-benda dan sebagainya kepada roh-roh nenek moyang atau
makhluk halus lain, dengan tujuan supaya acara tersebut bisa
berjalan dengan jalan lancar. Sesaji ini merupakan sarana dan
prasarana yang penting dalam upacara tradisi yang erat
hubungannya dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat
tentang adanya roh-roh halus.
2) Berkurban
Berkurban merupakan perbuatan-perbuatan penyembelihan
binatang kurban atau manusia, secara upacara. Kadang-kadang ada
maksud bahwa binatang yang disembelih itu disajikan kepada
dewa-dewa, tetapi biasanya dalam perbuatan-perbuatan upacara
serupa itu orang sendirilah yang akan makan binatang yang
dikurbankan itu, dan bukan dewa-dewa. Dengan makan binatang
kurban tadi orang akan memasukkan dewa ke dalam dirinya
sendiri. Upacara berkurban pada manusia sekarang tidak pernah
dilakukan lagi.
3) Berdoa
Berdoa adalah suatu unsur yang banyak terdapat dalam
berbagai upacara keagamaan di dunia. Doa pada awal mulanya
adalah upacara hormat dan pujian kepada leluhur, biasanya doa
diiringi dengan gerak-gerik dan sikap-sikap tubuh yang pada
15
dasarnya merupakan gerak dan sikap-sikap menghormat dan
merendahkan diri terhadap para leluhur, dewata, atau terhadap
Tuhan. Kecuali itu juga arah muka atau kiblat pada waktu
mengucapkan doa. Kecuali itu juga arah muka atau kiblat pada
waktu mengucapkan doa, merupakan suatu unsur yang amat
penting dalam banyak religi dunia.
4) Makan bersama
Makan bersama merupakan suatu unsur perbuatan bersama
yang amat penting dalam upacara religi dan agama di dunia. Dasar
pemikiran itu rupa-rupanya mencari hubungan dengan dewa-dewa,
dengan cara mengundang dewa-dewa pada suatu pertemuan makan
bersama. Dalam kehidupan beberapa suku bangsa di Indonesia
yang beragama Islam, upacara kenduri atau slametan merupakan
suatu unsur yang amat penting dalam upacara keagamaan.
5) Menari
Menari seringkali merupakan suatu unsur penting dalam
banyak upacara keagamaan, jalan pikiran yang berada di belakang
perbuatan ini rupanya memaksa alam bergerak. Dari banyak suku
bangsa yang memiliki kepercayaan bahwa gerak alam bukan
merupakan hak yang mutlak. Seperti tubuh manusia, gerak alam
bisa sekonyong-konyong berhenti dan alam berhenti berarti alam
binasa. Apabila matahari tidak terbit lagi, apabila guntur dan petir
tidak menggelegar lagi, apabila guntur dan petir tidak menggelegar
16
lagi, apabila hujan tidak turun lagi, maka alam akan hancur.
Demikian manusia mempunyai dorongan batin yang besar supaya
alam tidak berhenti, dan orang memaksa alam untuk bergerak
dengan jalan menari.
6) Berprofesi (berpawai)
Berprofesi merupakan suatu perbuatan yang amat umum
dalam banyak religi didunia. Dalam proses seringkali dibawa
benda-benda keramat seperti : patung dewa-dewa, lambang-
lambang, benda-benda pusaka yang sakti dan sebagainya, dengan
maksud supaya kesaktian yang memancar dari benda-benda itu
bisa memberi pengaruh kepada keadaan tempat tinggal manusia
dan terutama pada tempat-tempat yang dilalui pawai itu, upacara
pawai sering juga mempunyai maksud yang pada dasarnya sama,
tetapi yang dilakukan dengan cara lain ialah mengusir makhluk
halus, hantu, dan segala kekuatan yang menyebabkan penyakit
serta bencana dari sekitar tempat tinggal manusia, tidak dengan
memakai benda sakti melainkan memakai benda nyanyian keramat,
mantra-mantra, teriak dengan bunyi-bunyi yang keras.
7) Upacara Seni Drama
Kekuatan kepada orang-orang untuk tahan kepada
penderitaan yang akan datang. Contoh dari permainan seni drama
di Indonesia yang berfungsi sebadai upacara keagamaan adalah
seni drama Calonarang di Bali, yang menceritakan seorang wanita
17
dukun sihir jahat bernama Calonarang yang suka menyebarkan
penyakit diantara rakyat raja Erlangga dari negara Kahuripan. Seni
drama tersebut oleh orang Bali mempunyai efek yang keramat,
yang dapat menolak penyakit. Seni drama seringkali mempunyai
arti suci dari mitologi atau kitab suci. Kegiatan mendramakan
beberapa peristiwa dari kehidupan tokoh-tokoh keramat atau dewa-
dewa itu, rupanya bisa menimbulkan suatu suasana keramat juga.
Yang seolah-olah bisa memberi dan bencana yang datang
mengancam desa.
8) Berpuasa
Berepuasa sebagai suatu perbuatan keagamaan yang ada
dalam hampir semua religi dan agama diseluruh dunia. Dasar
pikiran yang ada dibelakang perbuatan yang bisa macam-macam,
misalnya membersihkan diri atau menguatkan batin dengan
penderitaan. Berpuasa dalam berbagai religi dilakukan untuk waktu
satu bulan atau lebih secara berulang, dengan masa antara yang
singkat, misalnya satu kali dalam seminggu atau juga berupa
penghindaran atau pantangan tetap terhadap beberapa makanan
tertentu.
9) Intoxikasi
Intoxikasi terdiri dari perbuatan-perbuatan untuk
memabukkan atau menghilangkan kesadaran diri pada pelaku
upacara . Dengan demikian para pelaku upacara sering melihat
18
bayangan atau khayalan. Suatu cara intoxikasi yang amat banyak
dipakai adalah dengan minum semacam obat bius yang diambil
dari sejenis cactus yang disebut piyote atau miscal.
10) Bertapa
Bertapa ada dalam agama-agama dan religi-religi yang
mempunyai konsepsi bahwa rohani itu lebih penting dari jas mani.
Demikian ada pendirian kalau hasrat nafsu jasmani dari manusia
itu bisa ditelan, maka jiwa akan menjadi lebih bersih dan suci.
Sebenarnya jalan pikiran ini sering merupakan suatu latar belakang
dari berpuasa, sehingga berpuasa itu bisa disebut suatu bentuk yang
lunak dari bertapa. Sebaliknya dalam beberapa agama, usaha
mengabaikan jasmaniah bisa mencapai bentuk-bentuk yang amat
extreme sehingga orang melakukan berbagai perbuatan menyakiti
tubuh sendiri, dengan maksud seolah-olah merusak tubuh itu.
Contoh dalam berbagai sekte agama Hindu misalnya :
- Tidur di atas paku
- Makan makanan yang basi
- Duduk berhari-hari dalam air yang tingginya mencapai leher.
- Menggantungkan diri dengan kepala bawah dan sebagainya.
11) Bersemedi
Bersemedi adalah berbagai macam perbuatan serba religi
yang bertujuan memusatkan perhatian si pelaku maksudnya atau
kepada hal-hal yang suci, untuk hal ini ada beberapa macam cara
19
khusus, yang terutama dalam berbagai sekte dari agama Hindu
mendapat perhatian yang sangat besar.
Terutama kaum Yogin merupakan ahli dalam teknik-teknik
memusatkan pikiran, dengan berbagai macam sikap duduk, cara
menguasai nafas dan sebagainya, Semuanya dengan maksud untuk
membuat rohani suci dengan cara pemusatan pikiran tadi
(Koentjaraningrat, 1977 : 251-157).
6. Komponen-Komponen Upacara Tradisional
Dalam masyarakat Jawa upacara tradisional biasanya melibatkan
tokoh agama setempat sehingga upacara tradisional dapat diartikan sebagai
upacara keagamaan. Ada empat komponen yang ada dalam upacara
keagamaan menurut Koenjaraningrat (1992: 141-142) yaitu :
a. Tempat Upacara
Sesuatu yang keramat biasanya berada di tempat yang khusus dan
tidak boleh didatangi orang yang tidak berkepentingan tidak boleh
sembarang tempat upacara. Mereka harus hati-hati dan memperhatikan
berbagai macam larangan dan pantangan. Tempat upacara dapat terletak
di suatu tempat pusat kota. Tempat yang dipakai untuk melakukan
upacara-upacara mengenai desa dan dianggap sebagai pusat dari seluruh
kota.
b. Saat-saat Upacara
Saat-saat upacara biasanya dirasa sebagai saat yang genting dan
penuh dengan bahaya gaib, karena berhubungan langsung dengan dunia
20
gaib. Jadi dapat berakibat kemasukan roh. Dalam kehidupan manusia
juga terdapat saat-saat genting misalnya waktu hamil, waktu kelahiran,
waktu bayi dipotong rambutnya, waktu bayi pertama menginjak tanah,
waktu anak ditusuk telinganya, waktu haid, waktu sunat, waktu
pubertas, waktu perkawina dan waktu kematian.
Roh orang yang sudah meninggal itu dipandang sebagai pelindung
yang kuat. Artinya, pelindung dapat memberikan pertolongan dan
bantuan kepada orang-orang yang masih hidup. Roh orang yang sudah
meninggal tersebut dapat dibangunkan dan didatangkan oleh seorang
syaman. Cara mendatangkan roh tersebut dilakukan dengan diiringi
nyanyian, pujian, sajian-sajian dan doa. Kehadiran roh yang sudah
meninggal tersebut diharapkan dapat memberikan pertolongan dan
bantuan atau berkah terhadap mereka yang masih hidup (Sri Mulyono,
1979 : 53).
Ada pula waktu-waktu genting yang timbul karena bahaya
misalnya wabah penyakit menular, bencana alam, atau waktu-waktu ada
peperangan. Segala bahaya itu sering dianggap oleh orang berpangkal
pada suatu peristiwa dalam dunia gaib sehingga manusia mencoba
menolak segala macam bahaya tersebut dengan bermacam-macam
upacara yang bermaksud mencari hubungan dengan dunia gaib. Saat-
saat upacara juga disertai dengan ritual pemanggilan roh dan di tempat
yang dianggap angker. Agar dapat menarik roh-roh yang berdiam di
tempat-tempat angker maka pada waktu tertentu dipasang sesaji berupa
21
tumpeng, kemenyan, bunga mawar, pisang dan lain-lain. Sesaji
diselenggarakan untuk mendukung kepercayaan terhadap adanya
kekuatan makhluk halus yang “mbahureksa” (diam di tempat tersebut)
seperti lelembut, demit dan jin agar tidak mengganggu keselamatan,
ketentraman dan kebahagiaan keluarga yang bersangkutan, serta untuk
memohon berkah dan memohon perlindungan dari yang “mbahureksa”
agar terhindar dan terjauhkan dari gangguan makhluk halus lainnya
yang diutus oleh seseorang untuk mengganggu keluarga (Clifford
Geertz, 1981 : 28).
c. Benda-benda Upacara
Benda-benda upacara merupakan alat yang dipakai dalam
menjalankan upacara keagamaan. Alat-alat itu bisa berupa alat-alat
seperti wadah atau tempat sajian, sendok, pisau dan lainnya. Bendera
dan senjata juga sering digunakan untuk sajian. Alat-alat upacara yang
lazim digunakan adalah patung-patung yang berfungsi sebagai lambang
dewa atau roh nenek moyang yang menjadi tempat upacara. Benda
upacara bisa juga dari tumbuhan atau hasil panen. Misalnya pisang,
daun pisang, buah-buahan, ada juga dari hewan, yang sering digunakan
untuk upacara yaitu ayam atau bisa disebut ingkung.
Ingkung ini berupa ayam kampung yang dimasak utuh dan diberi
bumbu opor, kelapa dan daun salam. Ingkung ini melambangkan bayi
yang belum dilahirkan dengan demikian belum mempunyai kesalahan
apa-apa atau masih suci, atau dimaknai sikap pasrah dan menyerah atas
22
kekuasaan Tuhan. Orang Jawa mengartikan kata “ingkung” dengan
pengertian dibanda atau dibelenggu.
Ubarampe ingkung dimaksudkan untuk menyucikan orang yang
punya hajat maupun tamu yang hadir pada upacara selametan tersebut.
d. Peserta Upacara
Pemimpin upacara dalam berbagai religi dan suatu bangsa di
dunia biasanya dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu pendeta, dukun,
dan syaman. Pendeta adalah orang yang karena sesuatu pendidikan
yang lama menjadi ahli dalam hal melakukan pekerjaan sebagai
pemuka upacara keagamaan. Syaman adalah sebuah istilah yang juga
sering dipakai untuk menamakan dukun, tetapi istilah tersebut dipakai
untuk golongan dukun yang memimpin upacara khusus (Purwadi,
2005: 47). Dalam masyarakat Jawa peserta upacara tradisi biasanya
warga sekitar yang dipimpin oleh kepala desa setempat dan dibantu
oleh doa modin atau pemuka agama setempat.
7. Sistem Upacara Agama Jawa
a. Selametan
Selametan adalah upacara makan bersama, makanan yang telah
diberi doa-doa sebelum dibagi-bagikan kepada hadirin dengan tujuan
untuk memperoleh keselamatan hidup dan bebas dari gangguan seperti
makhluk halus, arwah nenek moyang ataupun kekuatan supra natural
lainnya. Dalam slametan tidak bisa dilepaskan dengan sesaji sedangkan
sesaji adalah barang-barang yang diserahkan sebagai korban kepada
23
makhluk-makhluk halus di tempat tertentu dan pada saat-saat tertentu
dengan maksud yang sama dengan keselamatan tersebut
(Koentjaraningrat, 1997 : 340-341).
Selametan terpisahkan dari alam pikiran orang jawa yang erat
hubungannya dengan kepercayaan pada unsur-unsur kekuatan sakti
maupun makhluk halus. Sebab hampir semua selamatan ditujukan
untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan
apapun. Hal ini terlibat pada asal kata upacara yaitu “selamat”
(Koentjaraningrat, 1982 : 340).
b. Sesaji
Sesaji yang dalam bahasa Jawa disebut “sesajen” artinya sajian
yang ditujukan kepada roh halus, arwah nenek moyang dan sebagainya
(Poerwadarminta, 1984 : 933). Di dalam komunitas masyarakat terjadi
suatu proses komunikasi secara timbal balik, komunikasi dengan
penguasa gaib dinampakkan dalam bentuk simbol-simbol yang
menyertai upacara sesaji. Demikian halnya komunikasi sesama warga
yang dinampakkan melalui simbol-simbol yang mengandung pesan-
pesan agama, nilai-nilai etis serta norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat. Upacara tradisional dipakai sebagai wahana sosialisasi
nilai-nilai luhur kepada generasi muda pendukungnya.
Suatu upacara sesaji yang dilaksanakan oleh banyak warga yang
bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial mengintensifkan
kerukunan masyarakat serta memenuhi kewajiban sosial. Upacara sesaji
24
dianggap sebagai aktifitas untuk berhubungan dengan Tuhan, Dewa
atau penguasa gaib. Dalam hal ini penguasa gaib dianggap sebagai
suatu kesatuan dalam komunitas masyarakat dengan sifat istimewa
(Koentjaraningrat, 1977 : 282-283).
Dalam selametan biasanya dihadiri tetangga-tetangga, kenalan,
kerabat dan tamu-tamu undangan dan warga desa diadakan pada siang
hari. Mereka duduk dibentangan tikar, di tengah ruangan diletakkan dua
atau tiga buah tampah berisi hidangan slametan, terdiri dari nasi
tumpeng dengan lauk pauknya, beberapa gelas, mangkuk-mangkuk
untuk cuci tangan serta piring-piring kosong dan daun pisang.
Sementara tamu-tamu berdatangan, kemenyan sudah mulai
dibakar, sementara tamu-tamu duduk bersila mengelilingi hidangan
tumpengan. Upacara dimulai dengan sambutan singkat menggunakan
gaya bahasa kromo dengan isi sambutan berterima kasih atas
kedatangan pada tamu dan memberitahukan maksud diadakannya
slametan serta mohon maaf untuk segala kekurangan dalam hal
mengatur upacara. Selanjutnya modin mengucapkan doa-doa dan para
tamu mengucapkan kata “amin”, setelah diucapkan maka modin dan
para tamu dipersilahkan bersantap.
25
B. Penelitian yang Relevan
Septiya Irmawati (2009) dalam Skripsi Makna Tradisi
Kembang Kuningan Dalam Membina Kerukunan Masyarakat di
Desa Pobologo Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.
Disimpulkan bahwa Tradisi Kembang Kuningan di Desa Pobologo
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang dilakukan selama 35 hari
sekali yaitu pada hari Senin Pahing. Kebersamaan yang dirasakan
masyarakat pendukungnya dapat menciptakan suatu kerukunan yang
lebih kokoh.
Siget Ariyanto (2011) dalam skripsinya Peranan Upacara
Midang Dalam Meningkatkan Kerukunan Masyarakat Desa
Jatirejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang. Skripsi tersebut
dapat disimpulkan bahwa Upacara Midang di Desa Jatirejo Kecamatan
Suruh Kabupaten Semarang dilakukan selama 35 hari sekali. Dilihat
dari persiapan tampak mereka membina kerukunan dan persatuan
masyarakat Desa Jatirejo. Saat membuat makanan untuk sesaji dan
ritual yang mereka buat secara sederhana secara bersama-sama.
26
C. Kerangka Berpikir
Tradisi Jawa
Tradisi Jumat Pahing
Makna Bagi Masyarakat
Sosial Religi/ Agama Ekonomi Pendidikan