BAB II PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15909/2/T1_312014007_BAB II... ·...
Transcript of BAB II PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15909/2/T1_312014007_BAB II... ·...
25
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam pembahasan mengenai isu hukum yang dipilih yaitu tanggung
jawab perdata induk perusahaan (holding company) di dalam suatu perusahaan
grup, pertama-tama perlu dipaparkan terlebih dahulu kajian mengenai perusahaan
dan sistem pertanggungjawaban. Kajian-kajian tersebut digunakan sebagai tolak
ukur untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban di dalam sebuah
perusahaan grup, khususnya tanggung jawab induk perusahaan terhadap anak
perusahaan. Seperti yang diketahui bahwa di Indonesia belum terdapat peraturan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai tanggung jawab di
dalam perusahaan grup, sehingga di Indonesia masih digunakan pendekatan
perseroan tunggal dan menggunakan pengaturan Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas. Di dalam UU PT terdapat pengaturan bahwa
pemegang saham diberikan perlindungan berupa tanggung jawab terbatas (limited
liability) apabila perusahaan mengalami kerugian ataupun tidak mampu
memenuhi kewajibannya terhadap pihak ketiga. Perlindungan tersebut juga
diterapkan untuk induk perusahaan di dalam suatu perusahaan grup sebagai
pemegang saham dari anak perusahaan.
Meskipun di dalam UU PT terdapat pengecualian terhadap asas limited
liability yaitu diberlakukannya doktrin piercing the corporate veil, namun limited
liability tetap dirasa kurang tepat apabila diterapkan di dalam perusahaan grup.
Bila dilihat dari kewenangannya induk perusahaan berbeda dengan pemegang
saham pada perusahaan tunggal. Sehingga diperlukan prinsip pertanggungjawaban
26
lain yang dapat diterapkan dalam perusahaan grup khususnya untuk induk
perusahaan. Dan oleh sebab itu, dirasa perlu untuk melihat pada sistem
pertanggungjawaban perusahaan grup di negara lain, dalam hal ini dipilih negara
Belanda dan Jerman. Alasan dipilihnya dua negara tersebut karena hukum di
Indonesia pada dasarnya berkiblat pada hukum negara Belanda. Kemudian hukum
negara Jerman akan dijadikan sebagai batu pijakan untuk sistem
pertanggungjawaban perusahaan grup seperti apa yang sebaiknya diterapkan di
Indonesia. Karena Jerman merupakan negara yang pertama kali memiliki
pengaturan yang secara khusus mengatur mengenai perusahaan grup.
Sistematika penulisan dalam bab pembahasan ini dibagi ke dalam dua
bagian besar. Pertama, membahas mengenai kajian pustaka. Dalam bagian
pertama ini akan dibahas kajian mengenai perusahaan dan perusahaan grup pada
sub bab pertama, selanjutnya terdapat sub bab mengenai sistem
pertanggungjawaban, yang di dalamnya memuat pengertian tanggung jawab,
pengertian tanggung jawab hukum, perkembangan sistem pertanggungjawaban,
sistem pertanggungjawaban dalam PT, perluasan tanggung jawab pemegang
saham, dan pertanggungjawaban di dalam perusahaan grup, dan sub bab yang
ketiga membahas sistem pertanggungjawaban perusahaan grup di Belanda dan
Jerman. Pada bagian Kedua, penulis akan menguraikan hasil penelitian dan
pembahasan. Di dalamnya memuat tiga sub bab yang masing-masing merupakan
jawaban dari research question yang didapat dari analisis terhadap kajian pustaka
yang telah diuraikan pada bagian pertama.
27
A. Kajian Pustaka
1. Perusahaan dan Perusahaan Grup
a. Perusahaan
Pengertian perusahaan dapat dijumpai dalam Pasal 1 Undang-
Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan yang
menyatakan, Perusahaan adalah setiap bentuk badan usaha yang
menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus
didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia
dengan tujuan memperoleh keuntungan/laba.
Pada prinsipnya perusahaan sebagai wahana/pilar pembangunan
perekonomian yang diatur dalam KUHPerdata, KUHDagang, dan
peraturan perundangan lainnya terdiri dari tiga jenis, yaitu sebagai
berikut1:
1) Perusahaan perseorangan, atau disebut dengan perusahaan individu,
adalah badan usaha yang kepemilikannya dimiliki oleh satu orang.
Individu dapat membuat badan usaha perseorangan tanpa izin dan
tata cara tertentu. Pada umumnya perusahaan perseorangan
bermodal kecil, jenis serta jumlah produksi terbatas, memiliki
pekerja/buruh yang sedikit, dan penggunaan alat produksi dengan
teknologi sederhana. Perusahaan perseorangan dapat berbentuk
perusahaan dagang/jasa (toko swalayan atau biro konsultan) dan
perusahaan industri (toko kelontong, tukang bakso keliling,
pedagang asongan,dll)
2) Perusahaan persekutuan badan hukum yang dapat berbentuk
Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, dan BUMN. Perseroan terbatas
adalah organisasi bisnis yang memiliki badan hukum resmi yang
dimiliki oleh minimal dua orang, dengan tanggung jawab yang hanya berlaku pada perusahaan tanpa melibatkan harta pribadi atau
perseorangan yang ada di dalamnya. Di dalam perseroan terbatas,
1 H. Zaeni Ashadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan & Kepailitan, Erlangga,
Jakarta, 2012, h. 37.
28
pemilik modal tidak harus memimpin perusahaan karena dapat
menunjuk orang lain di luar pemilik modal untuk menjadi
pimpinan. Untuk mendirikan perseroan terbatas dibutuhkan
sejumlah modal minimal dalam jumlah tertentu dan berbagai
persyaratan lainnya.
3) Perusahaan persekutuan bukan badan hukum atau disebut juga
perusahaan persekutuan, yang artinya badan usaha yang dimiliki
oleh dua orang atau lebih yang secara bersama-sama bekerja sama
untuk mencapai tujuan bisnis. Badan usaha yang termasuk dalam
badan usaha persekutuan adalah persekutuan perdata, persekutuan
firma, dan perseroan komanditer (CV). Untuk mendirikan badan
usaha persekutuan dibutuhkan izin khusus pada instansi pemerintah
yang terkait.
Dalam penelitian ini, penulis akan lebih khusus membahas
mengenai perusahaan persekutuan badan hukum yang berbentuk
Peseroan Terbatas (PT). Perseroan terbatas adalah suatu bentuk usaha
yang berbadan hukum, yang pada awalnya dikenal dengan nama
naamloze vennotschap (NV). Kata “perseroan” menunjuk kepada
modalnya yang terdiri atas sero (saham). Sedangkan kata “terbatas”
menunjuk kepada tanggung jawab pemegang saham yang tidak
melebihi nilai nominal saham yang diambil bagian dan dimilikinya.2
Semula eksistensi Perseroan Terbatas diatur dalam Pasal 36-56
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Dalam
perkembangannya, oleh karena aturan-aturan yang terdapat dalam
KUHD tersebut dianggap sudah tidak dapat menampung dinamika dan
perkembangan dunia bisnis, maka pemerintah memberlakukan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
2 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000, h. 1.
29
Beberapa prinsip hukum baru diberlakukan melalui Undang-Undang
No. 1 Tahun 1995, antara lain:3
a) pemberlakuan doktrin-doktrin baru yang apabila dilacak
perkembangan dan pengembangannya berakar dari tradisi common
law, misalnya doktrin piercing the corporate veil, doktrin
derivative action, doktrin business judgement (rule), doktrin ultra
vires, doktrin corporate oppotunity,
b) pengaturan terhadap perlindungan pemegang saham minoritas,
utamanya ketika mereka harus berhadapan dengan demokrasi
kapitalisme yang mendasarkan pada kekuatan modal,
c) pengaturan terhadap kombinasi perusahaan, yang dapat mengambil
bentuk penggabungan (merger), pengambilalihan (akuisisi) atau
peleburan (konsolidasi).
Setelah diberlakukan kurang lebih selama dua belas tahun,
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 dirasakan harus dilakukan
berbagai perbaikan, khususnya untuk mengakomodir perkembangan
yang terjadi di masyarakat. Dalam perkembangannya ketentuan-
ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 dipandang tidak
lagi memenuhi perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat
karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi
dan informasi yang sudah berkembang pesat, khususnya pada era
globalisasi. Disamping itu, meningkatnya tuntutan masyarakat akan
layanan yang cepat, kepastian hukum, serta tuntutan akan
pengembangan dunia usaha sesuai dengan prinsip pengelolaan
perusahaan yang baik (good corporate governance)4.
Melalui Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, telah dilakukan pengakomodasian terhadap berbagai
ketentuan mengenai Perseroan Terbatas, baik berupa penambahan
3 Tri Budiyono, Hukum Perusahaan Telaah Yuridis terhadap Undang-Undang No. 40
tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Griya Media, Salatiga, 2011, h. 7. 4 Ibid.
30
ketentuan baru, perbaikan, penyempurnaan, maupun mempertahankan
ketentuan lama yang dianggap relevan.5
Berikut beberapa asas, prinsip atau doktrin yang telah dipergunakan
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 masih tetap dipergunakan
dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tetapi pengaturannya
mendapat penegasan. Penegasan tersebut antara lain terjadi dalam hal-
hal sebagai berikut : (a) Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang
merupakan persekutuan modal. (b) dianutnya teori perjanjian dalam
pendirian PT dan setelah PT memperoleh status sebagai badan hukum,
(c) kuasa untuk mengurus pendirian Perseroan Terbatas yang hanya
dapat diberikan kepada notaris, (d) tanggung jawab Direksi dan Dewan
Komisaris dan juga diatur mengenai Dewan Komisaris Independent
dan Dewan Komisaris utusan, (e) penegasan terhadap pengaturan
pembelian kembali saham (buy back), (f) penegasan terhadap
penggunaan laba perseroan, (g) mempertegas ketentuan mengenai
pembubaran, likuidasi dan berakhirnya status badan hukum perseroan.6
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 menyatakan bahwa,
Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Dari batasan pengertian tersebut, maka unsur penting dari suatu
Perseroan Terbatas dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Badan hukum yang merupakan persekutuan modal
Menurut Chaidir Ali, badan hukum pada pokoknya adalah
suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan
melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki
kekayaan sendiri, dapat menggugat dan digugat di depan hakim.7
5 Ibid., h. 7.
6 Ibid., h. 9.
7 Zaeni Ashadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan & Kepailitan, Erlangga, Jakarta,
2012, h. 79.
31
PT merupakan suatu badan hukum namun bersifat artificial. Untuk
dapat mengaktualisasikan tindakan badan hukum memerlukan
suatu organ untuk mewujudkan fungsi tersebut. Organ yang
mewujudkan tindakan subjek hukum tersebut dikatakan memiliki
fungsi representasi8.
b) Didirikan berdasarkan perjanjian
Setiap perseroan didirikan berdasarkan perjanjian (kontrak).
Artinya harus dilakukan oleh minimal dua orang atau lebih sebagai
pemegang saham, yang sepakat bersama-sama mendirikan suatu
perseroan terbatas yang dibuktikan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia, tersusun dalam bentuk anggaran dasar, kemudian
dimuat dalam akta pendirian yang dibuat di depan notaris.
Ketentuan perseroan yang harus didirikan berdasarkan perjanjian
dan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam KUHPerdata,
khususnya yang bersangkutan dengan syarat sahnya suatu
perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Syarat
sahnya perjanjian ini harus terus berlaku selama perseroan masih
berdiri9. Hal tersebut dikarenakan teori yang dianut dalam
pembentukan PT adalah teori perjanjian. Teori perjanjian dianut
secara konsisten baik pada saat pendirian Perseroan Terbatas
maupun setelah Perseroan Terbatas di sahkan dan beroperasi.10
c) Melakukan kegiatan usaha
8 Tri Budiyono, Op.Cit., h. 33.
9 Zaeni Ashadie dan Budi Sutrisno, Op.Cit., h. 73.
10 Tri Budiyono, Loc.Cit.
32
Perseroan terbatas melakukan kegiatan usaha, untuk dapat
dikatakan melakukan kegiatan usaha, suatu aktivitas harus
memiliki ciri-ciri dilakukan secara terus menerus, bertindak keluar
(berhubungan dengan pihak ketiga), bersifat terang-terangan,
mengadakan pembukuan dan melakukan perhitungan rugi-laba.11
Setiap perseroan melakukan kegiatan usaha, yaitu kegiatan dalam
bidang bisnis yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan
dan/atau laba. Supaya kegiatan usaha itu sah, harus memperoleh
izin dari pihak yang berwenang. Melakukan kegiatan usaha artinya
menjalankan perusahaan, yang sudah tentu memerlukan modal12
.
Perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan perjanjian
tentunya harus mempunyai objek tertentu, yaitu modal dari
perseroan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan perseroan,
yaitu untuk melakukan kegiatan usaha guna memperoleh
keuntungan atau laba. Perseroan terbatas tidak bisa didirikan dan
dijalankan tanpa adanya tujuan yang jelas, yaitu untuk menjalankan
kegiatan usaha13
.
d) Seluruh modalnya terbagi dalam bentuk saham
Setiap perseroan terbatas harus mempunyai modal. Modal
dasar disebut juga modal statuter, yang dalam bahasa inggris
disebut authorized capital. Modal dasar merupakan harta kekayaan
11
Ibid., h. 34. 12
Zaeni Ashadie dan Budi Sutrisno, Op.Cit., h. 74. 13
Ibid.
33
perseroan terbatas (badan hukum) yang terpisah dari harta
kekayaan pribadi pendiri, organ perseroan, atau pemegang
saham.14
Modal dasar suatu Perseroan Terbatas habis terbagi dalam
bentuk saham. Bagi suatu Perseroan Terbatas, modal dasar adalah
modal yang bersarnya ditentukan oleh anggaran dasar. Untuk
merubah besarnya modal dasar, Perseroan Terbatas harus
melakukan perubahan anggaran dasar. Modal ini juga merupakan
modal yang harus dibagi sepenuhnya dalam mominal saham yang
diterbitkan oleh Perseroan Terbatas.15
Sebagai suatu badan hukum dengan hak dan kewajiban
yang mandiri, perseroan terbatas terlepas dari hak dan kewajiban
pemegang saham yang mencakup juga pengurusnya; artinya,
perseroan terbatas harus memiliki harta dan kekayaan tersendiri
dalam menjalankan kegiatan usahanya. Untuk itu, pada saat
perseroan terbatas didirikan, para pendiri harus menyetorkan
sekurang-kurangnya 25% dari modal yang ditempatkan atau
dikeluarkan16
.
e) Memenuhi persyaratan Undang-Undang dan peraturan
pelaksananya.
Setiap perseroan terbatas harus memenuhi persyaratan
Undang-Undang Perseroan Terbatas yaitu Undang-Undang No.40
14
Ibid. 15
Tri Budiyono, Loc.Cit. 16
Ibid., h. 75.
34
Tahun 2007 dan peraturan pelaksananya. Ketentuan ini
menunjukkan bahwa undang-undang tersebut menganut sistem
tertutup. Persyaratan yang wajib dipenuhi mulai dari pendirinya,
beroperasinya, dan berakhirnya. Di antara syarat mutlak yang
wajib dipenuhi oleh pendiri adalah adanya akta pendiri harus
dibuat di depan notaris dan harus memperoleh pengesahan dari
Menteri kehakiman.17
Hal tersebut merupakan syarat untuk dapat
mengajukan ijin memperoleh status badan hukum, selain itu organ
perseroan harus ada, kuorum dalam persidangan dan kuorum
pengambilan keputusan, dll. Beberapa persyaratan tersebut
pengaturannya dilakukan dalam bentuk peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah dari UU.
Perseroan Terbatas yang berhasil didirikan sebagai hasil
serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh pendiri, tidak secara otomatis
akan menjadi pihak dari setiap perjanjian yang dibuat oleh pendiri. Dua
dasar pemikiran untuk mendukung argumen tersebut adalah18
:
1) Pendiri ketika menutup suatu perjanjian tidak bertindak untuk dan
atas nama kepentingan dari PT yang didirikan tersebut, sebab PT
sebagai badan hukum belum ada ketika perjanjian ditutup dan
karenanya PT tidak dapat bertindak sebagai principal.
2) PT yang kemudian berhasil didirikan merupakan badan hukum
tersendiri yang terpisah dari pendiri, dengan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tersendiri.
b. Perusahaan Grup atau Perusahaan Kelompok
17
Ibid. 18
Tri Budiyono, Op.Cit., h. 41.
35
Pada awal pembahasan mengenai kajian perusahaan grup, akan
di paparkan beberapa pengertian dari perusahaan grup. Dalam Pasal 1
angka 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi menyatakan bahwa
Group perusahaan adalah dua atau lebih badan usaha yang sebagian
sahamnya dimiliki oleh seorang atau oleh badan hukum yang sama
baik secara langsung maupun melalui badan hukum lain, dengan
jumlah atau sifat pemilikan sedemikian rupa, sehingga melalui
pemilikan saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung
menentukan penyelenggaraan atau jalannya badan usaha.
Emmy Pangaribuan mendefinisikan, perusahaan kelompok
sebagai suatu gabungan atau susunan dari perusahaan-perusahaan yang
secara yuridis mandiri, yang terkait satu dengan yang lain begitu erat
sehingga membentuk suatu kesatuan ekonomi yang tunduk pada suatu
pimpinan yaitu suatu perusahaan induk sebagai pimpinan sentral.19
Pengertian lain menyatakan Perusahaan grup merupakan suatu
kesatuan ekonomi yang tersusun dari perusahaan-perusahaan berbadan
hukum mandiri yang dipandang sebagai induk dan anak perusahaan.20
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal memuat pengertian perusahaan grup tetapi di sebut
sebagai afiliasi yang dalam huruf c, d, dan e menyatakan sebagai
berikut:
a. hubungan antara 2 (dua) perusahaan di mana terdapat satu atau lebih
anggota direksi atau dewan komisaris yang sama;
b. hubungan antara perusahaan dengan Pihak, baik langsung maupun tidak
langsung, mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut;
c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan, baik langsung
maupun tidak langsung, oleh Pihak yang sama
19
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Perusahaan kelompok, Seksi Hukum Dagang
Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1996, h. 1. 20
Sulistiowati, Op.Cit., h. 5.
36
Dari beberapa pengertian perusahaan grup di atas maka dapat
dikatakan bahwa perusahaan grup adalah gabungan dari beberapa
perusahaan mandiri biasa disebut induk perusahaan dan anak
perusahaan yang memiliki keterkaitan akibat sebagian besar saham
dari anak perusahaan dimiliki oleh induk perusahaan, sehingga
membentuk kesatuan ekonomi dengan induk perusahaan sebagai
pimpinan sentral, dan keduanya menjalankan kegiatan untuk mencapai
tujuan strategis dari perusahaan grup.
Di Indonesia perusahaan grup juga biasa disebut sebagai
perusahaan konglomerasi. Terdapat beberapa perusahaan grup besar di
Indonesia antara lain Grup Astra, Grup Salim, Lippo Grup, Sinar Mas
Grup, dll.
Grup Astra merupakan perusahaan multinasional yang memproduksi
otomotif yang berkedudukan di Jakarta. Perusahaan ini didirikan pada
tahun 1957 dengan nama PT Astra International Incorporated
pendirinya adalah Tjia Kian Tie dan William Soerjadjaja. Ruang
lingkup kegiatan Perseroan seperti yang tertuang dalam anggaran
dasarnya adalah perdagangan umum, perindustrian, jasa
pertambangan, pengangkutan, pertanian, pembangunan dan jasa
konsultasi. Ruang lingkup kegiatan utama entitas anak meliputi
perakitan dan penyaluran mobil, sepeda motor dengan suku
cadangnya, penjualan dan penyewaan alat berat, pertambangan dll.
Beberapa contoh anak perusahaan dari Grup Astra di bidang otomotif
adalah PT Toyota Astra Motor, PT Astra Daihatsu Motor, PT Isuzu
Astra Motor Indonesia dan masih banyak lagi pada bidang lainnya.21
Contoh perusahaan grup lainnya adalah Grup salim yang merupakan
perusahaan yang didirikan oleh Sudono Salim. Perusahaan ini
memiliki beberapa anak perusahaan, termasuk Indofood, produsen mi
instan terbesar dunia dan Bogasari, perusahaan operasi tepung terbesar.
Beberapa anak perusahaan lain dari Grup Salim adalah Central Asia
Raya, Salim Palm Plantation, Indomobil, Indomilk, Lion Corporation,
21
Wikipedia Bahasa Indonesia Ensiklopedia Bebas, “Astra Internasional”,
https://id.wikipedia.org/wiki/Astra_International, dikunjungi pada tanggal 23 September 2017
pukul 20.00.
37
Indomaret, Intikom Berlian Mustika, Indocement, Nestlé Indonesia
dan masih banyak lagi22
.
Apabila dilihat dari variasi usahanya, suatu perusahaan grup
dapat digolongkan ke dalam kategori sebagai berikut:23
1) Grup usaha vertikal
Dalam grup usaha seperti ini, jenis-jenis usaha masing-masing
perusahaan satu lain masih tergolong serupa. Hanya mata rantainya
saja yang berbeda. Misalnya ada anak perusahaan yang
menyediakan bahan baku, ada yang yang memproduksi bahan
setengah jadi, bahan jadi, bahkan ada pula yang bergerak di bidang
ekspor-impor. Jadi, suatu kelompok usaha menguasai satu jenis
produksi dari hulu ke hilir.
2) Grup usaha horisontal
Dalam grup usaha horisontal, bisnis dari masing-masing anak-anak
perusahaan tidak ada kaitannya satu sama lain.
3) Grup usaha kombinasi
Terdapat pula grup usaha, di mana jika dilihat dari segi bisnis anak
perusahaanya, ternyata ada yang terkait dalam suatu mata rantai
produksi (hulu ke hilir), di samping ada juga anak perusahaan yang
bidang bisnisnya lepas satu sama lain. Sehingga dalam grup
22
Wikipedia Bahasa Indonesia Ensiklopedia Bebas, “Salim Grup”,
https://id.wikipedia.org/wiki/Salim_Group, dikunjungi pada tanggal 23 September 2017 pukul
20.00. 23
Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, h. 89.
38
tersebut terdapat kombinasi antara grup vertikal dan grup
horisontal.
Dalam suatu perusahaan grup terdiri dari induk perusahaan dan
anak perusahaan, keduanya memiliki hubungan khusus antar badan
hukum dan merupakan suatu kesatuan ekonomi. Berikut pembahasan
mengenai induk perusahaan dan anak perusahaan:
1) Induk Perusahaan
Induk perusahaan atau yang biasa disebut holding company
adalah suatu perusahaan yang kegiatan utamanya adalah
melaksanakan investasi pada anak-anak perusahaan dan
selanjutnya melakukan pengawasan atas kegiatan manajemen
anak-anak perusahaan.24
Dalam Black’s Law Dictionary dikatakan bahwa Holding
Company adalah “A company that ussually confines its activities to
owning stock in, and supervising management of other companies.
A holding company ussualy owns a controlling interest in
companies whose stock it holds”.25
Induk perusahaan memiliki kewenangan untuk menjadi
pimpinan sentral yang mengendalikan dan mengoordinasikan anak-
anak perusahaan dalam suatu kesatuan ekonomi. Pimpinan sentral
ini menggambarkan suatu kemungkinan melaksanakan hak atau
pengaruh yang bersifat menentukan. Pelaksanaan pengaruh dalam
perusahaan grup dapat bersifat mengurangi dan atau mendominasi
hak perusahaan lain.26
24
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000, h. 153. 25
Ibid. 26
Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum Pada Perusahaan Grup Di Indonesia, Erlangga,
Jakarta, 2013, h. 23.
39
Terminologi yang digunakan pada Public Utility Holding
Company Act di Amerika Serikat, definisi holding company adalah:
A corporation formed for the express purpose of controlling other
corporations by the ownership of a majority of their voting capital
stock. In common usage, the term is applied to any corporation
which does in fact control other corporation commonly referred to
as subsidiaries.
Menurut Garner perusahaan holding adalah suatu
perusahaan yang dibentuk untuk mengontrol perusahaan lainnya,
biasanya dalam membatasi perannya untuk menguasai saham dan
mengelola manajerial.27
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan maka
dapat disimpulkan bahwa holding company atau induk perusahaan
adalah suatu perusahaan dalam perusahaan grup yang merupakan
pemegang saham mayoritas dari anak perusahaan sehingga dapat
dikatakan kegiatan utamanya adalah investasi dan pengawasan
terhadap anak perusahaan dan hal tersebut ditujukan untuk
mendukung operasional dan tujuan strategis dari kepentingan bisnis
perusahaan grup.
Pada umumnya holding company dapat merupakan
perusahaan dengan berbagai macam bentuk dari persekutuan
perdata, persekutuan firma, persekutuan komanditer sampai dengan
suatu Perseroan Terbatas. Dalam hal ini penulis akan lebih
membahas pada induk perusahaan atau holding company yang
berbentuk Perseroan Terbatas.
27
Ibid.
40
Jika kita lihat holding company, sebagai suatu induk
perusahaan yang kegiatan utamanya adalah melaksanakan investasi
dan pengawasan pada anak-anak perusahaan, maka ada beberapa
ketentuan dalam UU PT yang perlu mendapat perhatian, baik dari
induk perusahaan maupun anak-anak perusahaan yang berada di
bawah pengawasannya. Ketentuan-ketentuan yang memerlukan
perhatian khusus tersebut adalah hal-hal sebagai berikut28
:
a) Ketentuan mengenai batas-batas kewenangan dan tanggung
jawab Direksi, Komisaris dan pemegang saham;
b) Ketentuan mengenai merger, konsolidasi dan akuisisi;
c) Ketentuan mengenai kepemilikan saham;
d) Ketentuan mengenai treasury stock;
e) Ketentuan mengenai penjaminan saham dan jual beli saham.
Kepemilikan induk perusahaan atas saham anak perusahaan
menjadi salah satu alasan bagi lahirnya keterkaitan induk dan anak
perusahaan. Keterkaitan induk dan anak perusahaan ini memberikan
kewenangan kepada Induk perusahaan untuk bertindak sebagai
pimpinan sentral dalam perusahaan grup.29
Induk perusahaan
berhak melakukan pengawasan dan memberikan instruksi terhadap
anak perusahaan. Keterkaitan induk dan anak perusahaan dalam
konstruksi perusahaan grup juga dapat disebabkan oleh beberapa
hal lain yaitu, rapat umum pemegang saham (RUPS), penempatan
direksi atau komisaris pada anak perusahaan, keterkaitan melalui
perjanjian hak bersuara, dan keterkaitan melalui kontrak.
28
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., h. 20. 29
Sulistiowati, Op.Cit. h. 5.
41
Keberadaan dari holding company mempunyai keuntungan
dan kerugian. Di antara keuntungan dari holding company dalam
suatu perusahaan grup adalah sebagai berikut:30
a) Kemandirian resiko
b) Hak pengawasan yang lebih besar
c) Pengontrolan yang lebih mudah dan efektif
d) Operasional yang lebih efisien
e) Kemudahan sumber modal
f) Keakuratan keputusan yang diambil
Di samping keuntungan-keuntungan dari eksistensi holding
company dalam suatu perusahaan grup, terdapat pula kerugian-
kerugian, antara lain:31
a) Pajak ganda
b) Management one man show
c) Conglomerate game
d) Penutupan usaha
e) Resiko usaha
Variasi hubungan hukum antara holding company dengan
anak perusahaan juga terlihat dari klasifikasi holding company
dengan menggunakan berbagai kriteria berupa tinjauan dari
keterlibatannya dalam berbisnis, keterlibatannya dalam hal
pengambilan keputusan, dan keterlibatan dalam equity, sebagai
berikut:32
a) Ditinjau dari segi keterlibatan holding company dalam berbisnis
(1) Perusahaan holding semata-mata, jenis perusahaan holding
ini tidak melakukan bisnis sendiri dalam praktek,
dimaksudkan hanya untuk memegang saham dan
mengontrol anak perusahaannya, tidak lebih dari itu.
30
Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, h. 91. 31
Ibid., h. 93. 32
Ibid., h. 95.
42
(2) Perusahaan holding beroperasi, jenis perusahaan holding ini
di samping bertugas memegang saham dan mengontrol
anak perusahaan, juga melakukan bisnis sendiri.
b) Ditinjau dari keterlibatan dalam pengambilan keputusan
(1) Perusahaan holding investasi, memiliki saham pada anak
perusahaan semata-mata hanya untuk investasi, tanpa perlu
mencampuri soal manajemen anak perusahaan.
(2) Perusahaan holding manajemen, tidak hanya pemegang
saham pasif, tetapi ikut mencampuri atau setidaknya
memonitor terhadap pengambilan keputusan bisnis dari
anak perusahaan.
c) Ditinjau dari segi keterlibatan equity
(1) Perusahaan holding afiliasi, adalah perusahaan holding
yang memiliki saham pada anak perusahaan tidak sampai
51% dari saham anak perusahaan.
(2) Perusahaan holding subsidiary adalah perusahaan holding
yang memiliki saham pada anak perusahaan sampai 51%
atau lebih.
(3) Perusahaan holding non kompetitif adalah setiap
perusahaan holding yang memiliki saham tidak sampai
51%, tetapi tidak kompetitif dibandingkan dengan
pemegang saham lainnya.
(4) Perusahaan holding kombinasi adalah suatu perusahaan
holding yang memiliki saham pada beberapa anak
43
perusahaan sekaligus, di mana ada yang memegang saham
sampi 51% atau lebih, dan ada yang kurang dari 51%
kompetitif atau non kompetitif.
2) Anak Perusahaan
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tidak memuat
pengertian perusahaan grup ataupun sebab lahirnya anak
perusahaan. Berbeda dengan UU PT yang sebelumnya yaitu
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 telah memuat mengenai kuasa
lahirnya keterkaitan induk dan anak perusahaan. Ketentuan ini
terdapat pada Penjelasan Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1995
Anak perusahaan adalah perseroan yang mempunyai hubungan
khusus dengan perseroan lainnya yang terjadi karena:
1) Lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh
induk perusahaan;
2) lebih dari 50% (lima puluh persen) suara dalam RUPS dikuasai
oleh induk perusahaannya;
3) kontrol atas jalannya perseroan, pengangkatan dan
pemberhentian direksi dan komisaris sangat dipengaruhi oleh
induk perusahaannya.
Anak perusahaan di dalam suatu perusahaan grup
merupakan perusahaan yang berada di bawah kendali induk
perusahaan karena mayoritas saham anak perusahaan dimiliki oleh
induk perusahaan, sehingga dalam menjalankan kegiatannya anak
perusahaan melaksanakan instruksi dari induk perusahaan. Direksi
dan Komisaris dari anak perusahaan pada beberapa perusahaan
grup sama dengan Direksi dan Komisaris dari induk perusahaan
atau dengan kata lain Direksi dan Komisaris merangkap. Tetapi
44
terdapat pula Direksi dan Komisaris anak perusahaan yang berbeda
dengan induk perusahaan. Hal tersebut terjadi karena pengangkatan
dan pemberhentian direksi dan komisaris sangat dipengaruhi oleh
induk perusahaan. Dan induk perusahaan sebagai pemegang saham
dari anak perusahaan memperoleh perlindungan berupa limited
liability karena di Indonesia masih digunakan pendekatan
perseroan tunggal yaitu diterapkannya Undang-Undang No 40
Tahun 2007.
3) Keterkaitan Induk dan Anak Perusahaan dalam Perusahaan
Grup
Susunan induk dan anak perusahaan yang terikat secara erat
sehingga membentuk perusahaan grup. Keterkaitan induk terhadap
anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan grup disebabkan oleh
adanya33
:
a) Kepemilikan induk perusahaan atas saham anak perusahaan
b) Rapat umum pemegang saham (RUPS)
c) Penempatan direksi atau komisaris pada anak perusahaan
d) Keterkaitan melalui perjanjian hak bersuara
e) Keterkaitan melalui kontrak
Keterkaitan antara dua perseroan melalui kepemilikan
saham menjadi alasan utama bagi lahirnya keterkaitan-keterkaitan
antara induk dan anak perusahaan, baik melalui pendirian
perseroan, pengambilalihan saham, pemisahan usaha, maupun joint
venture. Keterkaitan induk dan anak perusahaan juga dapat terjadi
33
Sulistiowati, “Doktrin-Doktrin Hukum Mengenai Tanggung Jawab Hukum dalam
Perusahaan Grup”, Jurnal Hukum Bisnis, Volumen 31, 2012, h. 11.
45
karena aset tak berwujud (intengible aset) yang dimiliki induk
perusahaan. Berbagai perbuatan hukum dalam pembentukan atau
pengembangan perusahaan grup di atas berimplikasi kepada induk
perusahaan memiliki kewenangan untuk bertindak sebagai
pimpinan sentral yang mengendalikan dan mengoordinasikan
keseluruhan anggota perusahaan grup berdasarkan kesamaan tujuan
dan tatanan yang sama.34
Apabila menggunakan pngertian anak perusahaan yang
terdapat pada Memori Penjelasan Pasal 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun
1995, kausa lahirnya keterkaiatan antara induk terhadap anak
perusahaan dalam konstruksi perusahaan grup adalah sebagai
berikut35
:
a) Kepemilikan induk perusahaan atas saham anak perusahaan
Kepemilikan induk atas saham anak perusahaan dalam jumlah
signifikan memberikan kewenangan kepada induk perusahaan
untuk bertindak sebagai pimpinan sentral yang mengendalikan
anak-anak perusahaan sebagai kesatuan manajemen. Induk
perusahaan akan mengonsilidasikan anak-anak perusahaan
dalam laporan keuangan konsolidasi induk dan anak
perusahaan, apabila kepemilikan saham induk perusahaan baik
langsung atau tidak langsung pada anak-anak perusahaannya
adalah di atas 50% jumlah saham anak perusahaan.
Pengendalian induk terhadap anak perusahaan dapat
ditimbulkan dari keterkaitan saham, atau kepemilikan saham
dari anak, sehingga induk perusahaan sebagai pimpinan sentral
dapat mengendalikan dan mengkoordinasikan anak
perusahaan36
.
b) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Induk perusahaan memiliki kewenangan untuk mengendalikan
anak perusahaan melalui mekanisme RUPS anak perusahaan.
Dalam RUPS anak perusahaan, induk perusahaan dapat
menetapkan hal-hal strategis yang dapat mendukung pencapaian
tujuan perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomi, antara lain
34
Sulistiowati, Op.Cit., h. 20. 35
Ibid., h. 21. 36
Ibid.
46
melalui penetapan sasaran jangka panjang perusahaan dalam
bentuk business plan selama lima tahun yang dikenal dengan
rencana strategis37
.
c) Penempatan Direksi/Komisaris pada Anak Perusahaan
Melalui kepemilikan atas saham anak perusahaan, induk
perusahaan memiliki kewenangan untuk menempatkan anggota
direksi dan/atau dewan komisaris induk perusahaan untuk
merangkap menjadi direksi atau komisaris anak perusahaan.
Penempatan orang-orang induk perusahaan pada anak-anak
perusahaan merupakan bentuk pengendalian operasional secara
tidak langsung. Dengan fungsi pengendalian tersebut, induk
perusahaan dapat mengetahui perkembangan kegiatan usaha
dari masing-masing anak perusahaan. Pengendalian induk
terhadap anak anak perusahaan dapat lebih efektif, karena
direksi/komisaris yang ditempatkan dianggap memahami
kepentingan bisnis perusahaan grup, sehingga pengurusan anak
perusahaan sehari-hari tidak melenceng dari kepentingan
perusahaan sebagai kesatuan ekonomi38
.
Di samping itu, keterkaitan induk dan anak perusahaan
dalam konstruksi perusahaan grup dapat disebabkan oleh
keterkaitan melalui perjanjian hak bersuara dan keterkaitan melalui
kontrak. Keterkaitan induk dan anak perusahaan dapat terjadi
karena perjanjian hak bersuara yang dilakukan antara pemegang
saham pendiri yang menyepakati bahwa penunjukan direksi dan
dewan komisaris ditentukan oleh salah satu pemegang saham
pendiri. Sementara itu, keterkaitan melalui kontrak dapat dilakukan
ketika suatu perseroan menyerahkan kendali atas manajemen
kepada perseroan lain melalui Perjanjian Pengelolaan Perusahaan39
.
4) Perusahaan Grup Sebagai Kesatuan Ekonomi
Keterkaitan induk dan anak perusahaan tidaklah menghapus
status badan hukum anak perusahaan sebagai subjek hukum
37
Ibid. 38
Ibid., h. 22. 39
Ibid.
47
mandiri. Pengakuan yuridis terhadap induk dan anak perusahaan
yang berbadan hukum mandiri menjadikan perusahaan grup
sebagai bentuk jamak secara yuridis. Sebaliknya, pengendalian
induk terhadap anak perusahaan dan realitas bisnis perusahaan
grup diarahkan untuk mendukung kepentingan bisnis perusahaan
grup sebagai kesatuan ekonomi40
.
Prinsip hukum mengenai kemandirian induk dan anak
perusahaan dengan fakta pengendalian induk terhadap anak
perusahaan dari realitas bisnis perusahaan grup menimbulkan
kontradiksi karena penggabungan keduanya dalam ranah hukum
perseroan. Prinsip hukum mengenai kemandirian dari badan hukum
induk dan anak perusahaan berada dalam ranah hukum perseroan,
sebaliknya pengendalian induk terhadap anak perusahaan
merupakan fakta dari realitas bisnis yang diorganisasikan dalam
suatu perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomi41
. Bentuk jamak
secara yuridis dan kesatuan ekonomi dalam konstruksi perusahaan
grup menjadi keniscayaan, ketika kerangka pengaturan perusahaan
grup masih menggunakan pendekatan perseroan tunggal.42
Pengaturan perusahaan grup pada ranah hukum perseroan
akan berimplikasi kepada ketegangan yang terjadi antara fakta
pengendalian induk terhadap anak perusahaan dengan kemandirian
dari badan hukum induk dan anak perusahaan sebagai berikut43
:
40
Ibid., h. 46. 41
Ibid. 42
Ibid., h. 47. 43
Ibid.
48
a) Pengendalian induk terhadap anak perusahaan menjadi alasan
keberadaan dari integrasi perusahaan grup sebagai kesatuan
ekonomi. Pengendalian induk terhadap anak perusahaan
menimbulkan ketidakmandirian secara ekonomi anak
perusahaan. Sebaliknya, bentuk jamak secara yuridis dari
anggota perusahaan grup memiliki korelasi dengan struktur tata
kelola perusahaan grup yang menyangkut keberadaan
perusahaan grup, yang ditunjukkan oleh adanya perbedaan
alokasi kekuasaan dalam suatu perusahaan grup. Pengabaian
terhadap konteks realitas bisnis perusahaan grup akan
memberikan peluang kepada anak perusahaan untuk mengelola
dirinya sendiri, sebagai badan hukum mandiri yang mengelola
kegiatan bisnis sesuai kepentingan ekonomi dari perseroan yang
bersangkutan.
b) Implikasinya, perusahaan grup sebagai bentuk baru dari
organisasi perusahaan, merupakan bentuk jamak secara yuridis
yang berada di bawah kesatuan ekonomi. Keterkaitan antara
induk dan anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan grup,
merupakan relasi di antara berbagai badan hukum mandiri.
Hubungan ini terjadi apabila pimpinan kegiatan ekonomi, dua
atau lebih perusahaan, dikonstruksikan sedemikian rupa
sehingga antara sesama perusahaan itu terdapat susunan yang
erat dalam aspek ekonomi, keuangan, dan organisasi.
Apabila dicari benang merah yang menghubungkan satu
anak perusahaan dengan anak perusahaannya lainnya, ataupun
dengan induk perusahaan, hanya dapat ditemukan melalui
kedudukan dan peran yang dimainkan oleh para pemegang
sahamnya. Yakni melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS), yang secara yuridis memang mempunyai
kedudukan tertinggi dan menentukan dalam suatu perusahaan. Atau
dapat juga benang merah tersebut diciptakan melalui ikatan-ikatan
kontraktual yang bersifat temporer, sejauh tidak bertentangan
dengan anggaran dasar perusahaan44
.
44
Bambang Hariyanto, “Grup Perusahaan Sebagai Kesatuan Ekonomi”,
http://www.bambanghariyanto.com/2013/10/grup-perusahaan-sebagai-kesatuan-ekonomi.html,
dikunjungi pada tanggal 30 September 2017 pukul 20.45.
49
Maka pendekatan ekonomi terhadap hubungan antara
perusahaan-perusahaan dalam suatu grup perusahaan konglomerat
ternyata berbeda dengan pendekatan dari segi hukum. Di satu pihak,
pendekatan ekonomi lebih dilatarbelakangi dan di dadasari oleh
kebutuhan-kebutuhan dalam praktek bisnis, jadi lebih praktis dan
pragmatis, sementara pendekatan yuridis lebih bersifat
konvensional, sehingga lebih teoritis. Tentu saja perbedaan
pandangan dari sektor ekonomi dan sektor hukum ini tidak
reasonable untuk dipertahankan terus. Titik temu di antara
keduanya tentu harus dicari45
.
Secara yuridis anak perusahaan merupakan badan hukum
mandiri sehingga induk perusahaan sebagai pemegang saham anak
perusahaan mendapatkan perlindungan berupa limited liability.
Kontradiksi antara bentuk jamak secara yuridis dan kesatuan
ekonomi menimbulkan celah hukum atau loopholes dalam
perusahaan grup. Celah hukum ini dapat mendorong munculnya
sikap oportunistik induk perusahaan yang menyalahgunakan
konstruksi perusahaan grup.
Konstruksi perusahaan grup dapat pula mendorong
munculnya moral hazard. Dan Moral hazard ini muncul apabila
limited liability berlaku secara mutlak.46
Sehingga menurut penulis
dalam kontruksi perusahaan grup sebaiknya bentuk jamak secara
yiridis dikesampingkan atau diterobos, sehingga induk perusahaan
45
Ibid. 46
Ibid.
50
dan anak perusahaan merupakan kesatuan ekonomi bukan sebagai
badan hukum mandiri. Oleh karena itu induk perusahaan tidak
mendapatkan perlindungan berupa limited liability atas kepemilikan
saham dari anak perusahaan. Agar tidak menimbulkan dominasi
tanpa tanggung jawab dari induk perusahaan. Apabila dalam
kesatuan ekonomi induk perusahaan tidak memperoleh limited
liability maka harus ditentukan bentuk tanggang jawab yang lebih
tepat diterapkan untuk induk perusahaan.
2. Sistem Pertanggungjawaban
a. Pengertian Tanggung Jawab
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
Tanggung jawab adalah kewajiban wewenang dan hal yang melekat
pada suatu kedudukan.47
Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah
suatu keseharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah
diwajibkan kepadanya.48
Menurut hukum, tanggung jawab adalah
suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya
yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu
perbuatan.49
Berdasarkan beberapa pengertian tanggung jawab diatas dapat
dikatakan bahwa tanggung jawab adalah suatu keharusan atau dapat
47
Muhammad Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2001, h. 619. 48
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005. 49
Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, h. 55.
51
juga disebut sebagai suatu kewajiban untuk melaksanakan suatu
perbuatan dan keharusan tersebut berkaitan dengan etika atau moral.
Pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang
menyebabkan timbulnya hak bagi seorang untuk menuntut orang lain
sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban orang lain untuk
memberi pertanggungjawaban.50
b. Tanggung Jawab Hukum
Secara etimologis, tanggung jawab hukum atau liability sering
kali dipertukarkan dengan responsibility. Dalam Black Law Dictionary
menyatakan bahwa terminologi liability memiliki makna yang luas.
Pengertian legal liability adalah a liability which courts recognize and
enforce as between parties51
.
Konsep tanggung jawab hukum berhubungan dengan konsep
kewajiban hukum, bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum
atas perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab
hukum berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi bila
perbuatannya bertentangan.52
Tanggung jawab hukum dapat dibedakan
atas pertanggungjawaban individu dan pertanggujawaban kolektif.
Pertanggungjawaban individu adalah tanggung jawab seseorang atas
pelanggaran yang dilakukannya sendiri, sedangkan
pertanggungjawaban kolektif adalah tanggung jawab seorang individu
atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain53
.
Konsep pertanggungjawaban hukum pada dasarnya terkait,
namun tidak identik, dengan konsep kewajiban hukum. Seorang
50
Titik Triwulan dan Shinta Febrina, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, Pretasi Pustaka,
Jakarta, 2010, h. 48. 51
Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum Pada Perusahaan Grup Di Indonesia, Erlangga,
Jakarta, 2013, h. 118. 52
Hans Kelsen, Toeri Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusamedia, Bandung, 2014,
h. 95. 53
Ibid.
52
individu secara hukum diwajibkan untuk berperilaku dengan cara
tertentu, jika perilakunya yang sebaliknya merupakan syarat
diberlakukannya tindakan paksa. Namun tindakan paksa ini tidak mesti
ditujukan terhadap individu yang diwajibkan “pelaku pelanggaran”
namun dapat ditujukan kepada individu lain yang terkait dengan
individu pertama dengan cara yang ditetapkan oleh tatanan hukum.
Individu yang dikenai sanksi dikatakan “bertanggung jawab” atau
secara hukum bertanggung jawab atas pelanggaran54
.
Terdapat pula apa yang disebut sebagai tanggung gugat
(liability/aansprakelijkheid) yang merupakan bentuk spesifik dari
tanggung jawab. Pengertian tanggung gugat merujuk kepada posisi
seseorang atau badan hukum yang dipandang harus membayar suatu
bentuk kompensasi atau ganti rugi setelah adanya peristiwa hukum
atau tindakan hukum. Istilah tanggung gugat berada dalam ruang
lingkup hukum privat55
. Kesalahan bukan merupakan unsur yang harus
dipenuhi pada setiap kasus agar seseorang bertanggung gugat. Di
samping itu, seseorang atau badan hukum dimungkinkan bertanggung
gugat atas tindakan orang atau badan hukum lainnnya.56
c. Perkembangan Teori Pertanggungjawaban
Dalam hukum terdapat beberapa teori mengenai
pertanggungjawaban. Namun teori yang pertama dikenal dalam hukum
54
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Nusamedia, Bandung, 2008, h. 136. 55
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, h. 258. 56
Ibid., h. 259.
53
adalah tanggung jawab berdasarkan atas unsur kesalahan (liability
based on fault). Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan
adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan
perdata. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukannya. Diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang dikenal
sebagai pasal tentang Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu a) adanya
perbuatan; b) adanya unsur kesalahan; c) adanya kerugian yang
diderita; d) adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan
kerugian57
.
Menurut konsep tersebut, setiap perbuatan melawan hukum
yang menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan kepada
orang yang karena perbuatannya menimbulkan kerugian untuk
mengganti kerugian yang telah ditimbulkan58
. Menurut teori ini unsur
kesalahan harus dibuktikan terlebih dahulu sehingga dapat
memunculkan tanggung jawab. Dalam hal ini beban pembuktian ada
pada pihak yang mendalilkannya, sehingga dalam sistem ini dikenal
presumtion of innocent (praduga tidak bersalah).
Seiring dengan perkembangan jaman, teori tanggung jawab
berdasarkan kesalahan tidak lagi dirasa sebagai teori
57
Sukarmi, “Prinsip Tanggung Jawab”,
https://www.google.co.id/amp/s/vanbanjarechts.wordpress.com/2013/01/01/prinsip-tanggung-
jawab/amp/, dikunjungi pada tanggal 12 September 2017, Pukul 08.15. 58
Ibid.
54
pertanggungjawaban yang paling adil. Sehingga muncul beberapa teori
pertanggungjawaban lain, sebagai berikut :
1. Praduga Selalu Bertanggung Jawab (Presumtion of liability)
Praduga selalu bertanggung jawab adalah prinsip praduga
selalu bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan ia tidak
bersalah. Dasar dari teori pembalikan beban pembuktian adalah
seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat
membuktikan sebaliknya59
.
2. Praduga Selalu Tidak Bertanggung Jawab (Presumtion of non-
liability)
Prinsip praduga untuk selalu tidak bertanggung jawab
hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat
terbatas, dan pembatasan demikian biasanya common sense dapat
dibenarkan. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum
pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi
kabin/bagasi tangan yang biasanya dibawa dan diawasi si
penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang.
Dalam hal ini, pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta
pertanggungjawabannya60
.
3. Tanggung Jawab Mutlak (Strict liability)
Dalam Black’s Law Dictionary, strict liability diartikan
“liability that does not depend on actual negligence or intent to
harm, but that is based on the breach of an absolute duty to make
59
Ibid. 60
Ibid.
55
something safe. Strict liability most often applies either to
ultrahazardous activities or in products liability cases”61
.
Tanggung jawab mutlak adalah suatu tanggung jawab
hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan
hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam
melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur kesalahan ataupun
tidak. Dalam hal ini pelakunya dapat dimintakan tanggung jawab
secara hukum, meskipun dalam melakukan perbuatannya itu dia
tidak melakukannya dengan sengaja, dan tidak pula mengandurng
unsur kelalaian, kekurang kehati-hatian, atau ketidakpatutan62
.
Karena itu, terhadap tanggung jawab mutlak sering juga
disebut sebagai tanggung jawab tanpa kesalahan. Kesalahan
disini dimaksudkan sebagai kesalahan dalam artian hukum. Bila
saja perbuatan tersebut masih merupakan kesalahan secara moral.
Tetapi banyak juga tanggung jawab terhadap perbuatan, baik
yang disengaja maupun kelalaian, yang menggerogoti
kepentingan orang lain, kepentingan mana dilindungi oleh
hukum, merupakan tanggung jawab tanpa kesalahan secara
hukum maupun moral63
.
Selain prinsip umum perbuatan melawan hukum dengan
unsur kesalahan seperti yang terdapat dalam Pasal 1365
KUHPerdata, maka KUHPerdata juga mengenal semacam prinsip
tanggung jawab tanpa kesalahan (tanggung jawab mutlak) dalam
arti yang terbatas, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1367,
61
Ibid. 62
Munir Fuady, Perbandingan Hukum Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, h.
96. 63
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, h. 274.
56
1368, dan 1369 KUHPerdata, yakni model-model tanggung
jawab sebagai berikut64
:
a. Tanggung jawab guru terhadap tindakan muridnya.
b. Vis Maior, yakni tanggung jawab orang tua atas perbuatan
anaknya.
c. Tanggung jawab kepala tukang/mandor terhadap para tukang
di bawah pengawasannya.
d. Tanggung jawab majikan atas perbuatan yang dilakukan oleh
buruh, atau tanggung jawab atas kerugian yang disebabkan
oleh binatang miliknya/peliharaannya.
e. Res Ruinosa, yakni tanggung jawab pemilik gedung atas
robohnya gedung tersebut. Dalam hal ini, pemilik gedung
tidak dapat mengelak dari tanggung jawabnya dengan
mengatakan bahwa dia tidak mengetahui/patut menduga
tentang adanya kerusakan pada gedung/konstruksi gedung
tersebut, atau tidak kuasa untuk mencegah gedung tersebut
dari kehancurannya.
Teori hukum adat dan kebiasaan pada prinsipnya
menerapkan semacam tanggungjawab mutlak, yaitu dengan
menerapkan teori “kantong tebal” (deep pocket theory), artinya
yang harus bertanggung jawab adalah yang paling mungkin
membayar, yaitu pihak yang uangnya lebih banyak.65
Dalam ilmu
hukum tentang tanggung jawab perdata dikenal pula deep pocket
theory yang mengajarkan bahwa sesuatu pihak dalam hal-hal
tertentu dapat dimintakan tanggung jawabnya atas perbuatan
yang dilakukan oleh orang lain66
. Dalam deep pocket theory,
orang yang dirugikan dapat meminta pertanggungjawaban kepada
pihak yang paling mungkin untuk memberikan
pertanggungjawaban (dalam hal ini yang berkantong tebal).
64
Ibid. 65
Ibid., h. 282. 66
Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, h. 121.
57
4. Absolute Liability
Seseorang yang melakukan pelanggaran maka harus
dikenai sanksi. Jika sanksi tidak ditujukan terhadap pelaku
pelanggaran namun terhadap individu lain, maka
pertanggungjawaban itu bersifat absolut. Karena tidak terdapat
kaitan dalam antara individu yang bertanggungjawab dan
kejadian yang tidak dikehendaki yang dimunculkan atau yang
dibiarkan oleh perilaku dari orang lain. Subjek yang bertanggung
jawab harusnya tidak mengirakan atau menyengajakan
berlangsungnya kejadian itu. Dalam hal ini pertanggungjawaban
tersebut memiliki karakter pertanggungjawaban berdasarkan
kesalahan yang berhubungan dengan si pelanggar, dan
pertanggungjawaban absolut yang berkenaan dengan objek
pertanggungjawaban67
.
Pertanggungjawaban absolut dapat disamakan dengan
pertanggungjawaban mutlak (strict liability) karena dalam bahasa
inggris absolute berarti mutlak. Dalam kedua
pertanggungjawaban tersebut orang yang bertanggung jawab
tidak identik dengan pelakunya. Namun dalam
pertanggungjawaban hukum terdapat perbedaan antara
petanggungjawaban absolute dan pertanggungjawaban mutlak.
Perbedaan tersebut terletak pada subjek yang bertanggungjawab.
Dalam pertanggungjawaban mutlak subjek yang
67
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Nusamedia, Bandung, 2008, h. 142.
58
bertanggungjawab masih memiliki celah untuk membuktikan
bahwa dirinya tidak seharusnya bertanggungjawab seperti apa
yang telah dibebankan terhadapnya. Sedangkan dalam
pertanggungjawaban absolute subjek yang bertanggung jawab
sudah tidak memiliki celah untuk dapat membuktikan lagi
sehingga mau tidak mau harus bertanggungjawab.
5. Pembatasan Tanggung Jawab (Limitation of lliability)
Limitation of lliability adalah prinsip tanggung jawab
dengan pembatasan. Pertanggungjawaban ini sangat disenangi
oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi
dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Misalnya dalam
perjanjian cuci cetak film, ditentukan, bila film yang ingin di
cuci/ dicetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan
petugas) maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar
sepuluh kali harga satu roll film baru. Prinsip tanggung jawab ini
sangat merugikan konsumen bila diterapkan secara sepihak oleh
pelaku usaha. Ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan
konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak
menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk
membatasi maksimal tanggung jawabnya, jika ada pembatasan,
mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang jelas68
.
68
Sukarmi, “Prinsip Tanggung Jawab”,
https://www.google.co.id/amp/s/vanbanjarechts.wordpress.com/2013/01/01/prinsip-tanggung-
jawab/amp/, dikunjungi pada tanggal 12 September 2017 pukul 08.15.
59
Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas terdapat
pembatasan tanggung jawab bagi pemegang saham. Pemegang
saham bertanggungjawab atas kerugian yang dialami perseroan
tidak melebihi jumlah saham yang dimilikinya. Asas ini dalam
perseroan terbatas disebut sebagai tanggung jawab terbatas atau
limited liability.
6. Tanggung Renteng
Tanggung renteng berarti menanggung secara bersama-
sama (tentang biaya yang harus dibayar dan sebagainya).
Tanggung renteng diterapkan dalam PT yang merupakan
tanggung jawab anggota direksi. Tanggung renteng diterapkan
apabila dalam suatu PT terdapat lebih dari satu anggota direksi.
Dalam Pasal 97 ayat (4) UU PT menyatakan bahwa dalam
hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih,
tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku
secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi. Apabila
salah seorang anggota direksi lalai atau melanggar kewajiban
pengurusan secara itikad baik dan penuh tanggung jawab sesuai
lingkup aspek-aspek itikad baik dan penuh pertanggungjawaban,
maka setiap anggota direksi sama-sama ikut memikul tanggung
jawab secara tanggung renteng terhadap kerugian yang dialami
perseroan.69
69
M.Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 384.
60
d. Sistem Pertanggungjawaban Pada Perseroan Terbatas (PT)
Sistem pertanggungjawaban dalam perseroan terbatas melekat
pada diri perseroan sebagai badan hukum terpisah dan berbeda dari
pemegang saham dan pengurus perseroan. Pada dasarnya tanggung
jawab bidang hukum perdata, tidak menimbulkan problema hukum,
diakui memiliki kapasitas melakukan perbuatan hukum seperti
membuat kontrak atau transaksi dengan pihak ketiga sepanjang hal itu
sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang ditentukan
dalam anggaran dasar70
.
Selain daripada mempunyai kapasitas membuat kontrak atau
transaksi dengan pihak ketiga berdasar persetujuan yang digariskan
Pasal 1315 jo. Pasal 1320 KUHPerdata, Perseroan dapat juga
melakukan perikatan yang timbul dari undang-undang atau sebagai
akibat perbuatan perseroan berdasar Pasal 1352 KUHPerdata. Bisa
berupa perbuatan yang halal sesuai ketentuan Paal 1354 KUHPerdata
seperti mewakili urusan orang lain tanpa perintah dan persetujuan
orang tersebut. Bisa juga merupakan perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad, wrongful act) yang merugikan orang lain, seperti
yang ditentukan pada Pasal 1365 KUHPerdata. Kedua jenis tanggung
jawab perdata adalah sebagai berikut71
:
1) Tanggung Jawab Kontraktual Perseroan
70
Ibid., h. 116. 71
Ibid.
61
Pada diri perseroan sebagai subjek hukum yang independen
terpisah dan berbeda dari pemegang saham dan pengurus, melekat
tanggung jawab kontraktual atas perjanjian yang atau transaksi
yang diperbuatnya untuk dan atas nama perseroan. Tanggung
jawab kontraktual lahir dan melekat pada diri perseroan dari
perjanjian yang dibuatnya dengan pihak lain.
Perseroan dapat melakukan segala bentuk hukum perjanjain
yang dibenarkan undang-undang sepanjang hal itu sesuai dengan
kapasitas yang ditetapkan dalam anggaran dasar. Perseroan tidak
ada bedanya dengan subjek hukum perseorangan, mempunyai hak
dan kewajiban dalam hukum perorangan, juga mempunyai hak dan
kewajiban dalam hukum. Perseroan berhak mencari bantuan dan
perlindungan hukum di depan pengadilan seperti halnya hukum
perorangan, dapat mencari bantuan dan perlindungan hukum di
depan pengadilan.
Perseroan dapat melakukan hubungan hukum dan tindakan
hukum dengan pihak lain baik dengan perseorangan maupun
dengan badan hukum lain, yang diwakili oleh Direksi. Dengan
demikian menurut Pasal 1338 KHUPerdata, perseroan telah
mengikat dirinya kepada orang atau pihak lain. Apabila perikatan
dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata,
menurut Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian itu mengikat sebagai
undang-undang kepada perseroan, dan harus dilaksanakan
pemenuhannya dengan itikad baik. Sejak perjanjian berlaku, pada
62
diri perseroan telah timbul kewajiban hukum untuk memenuhi isi
perjanjian serta sekaligus pada dirinya melekat tanggung jawab
kontraktual kepada pihak lain tersebut.
Apabila perseroan cidera janji atau wanprestasi
dikualifikasikan melakukan pelanggaran perjanjian/kontrak atau
dikatakan tidak memenuhi kewajiban, sehingga dapat dituntut
memenuhi perjanjian serta membayar penggantian biaya, ganti
kerugian, dan bunga berdasar Pasal 1243 jo. Pasal 1267
KUHPerdata. Sehubungan dengan tanggung jawab kontraktual,
perseroan dapat juga dituntut tanggung jawab secara renteng
dengan pihak lain.
2) Tanggung Jawab Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Perseroan
a) Tanggung Jawab PMH Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata
Kehendak perseroan dibentuk dalam pikiran para
anggotanya. Pada saat para anggota membentuk dan
memformulasi kehendak tersebut, mereka bertindak sebagai
organ perseroan, yakni sebagai bagian dari organisme yang
berwujud orang. Dengan demikian, kehendak dimaksud
merupakan kehendak dari perseroan itu sebagai badan hukum.
Organ perseroan adalah orang yang melakukan fungsi
perseroan. Apabila tindakan perseroan dilakukan oleh orang
yang mempunyai wewenang dan kapisitas untuk bertindak
melakukan perbuatan hukum sesuai dengan fungsi yang
diberikan kepadanya, dan ternyata kegiatan itu salah karena
63
melanggar hukum atau hak orang lain, perseroan dianggap
memenuhi unsur kesalahan berdasarkan Pasal 1365
KUHPerdata.
Dalam UU PT organ yang esensial posisinya adalah
Direksi dan Dewan Komisaris. Dengan demikian, segala
tindakan PMH yang dilakukan Direksi dapat dituntut
pertanggungjawaban perdatanya berdasarkan Pasal 1365
KUHPerdata apabila hal itu dilakukannya untuk dan atas nama
perseroan serta sepanjang tindakan itu masih dalam kapasitas
melaksanakan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha
perseroan (tugas direksi adalah menjalankan pengurusan untuk
kepentingan perseroan).
b) Tanggung Jawab PMH Berdasarkan Pasal 1367 KUHPerdata
Tanggung jawab PMH yang dikonstruksikan dari Pasal
1367 KUHPerdata disebut “tanggung jawab orang yang
mewakili”. Maknanya, tanggung jawab perdata yang
dipaksakan hukum kepada seseorang atas PMH yang dilakukan
orang lain. Sebab perbuatan atau kelakuan pelaku dianggap
berlaku atau dikonstruksikan berhubungan dengan orang lain
itu.
Sistem pertanggungjawaaban yang demikian,
dikonstruksi berdasar asas the liability of a principal for the
tort of his agent. Doktrin ini dibakukan dalam terminus:
respondeat superior. Yang berarti yang lebih tinggi atau yang
64
lebih superior bertanggung jawab atas PMH yang dilakukan
bawahannya. Doktrin ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1367
KUHPerdata. Dapat diterapkan dalam kerangka hubungan
hukum antara majikan atau principal dengan karyawan atau
agen asal dapat dibuktikan perbuatan yang dilakukan itu dalam
ruang lingkup pelaksanaan tugas.
Terkait dengan sistem pertanggungjawaban perdata yang telah
diuraikan pada poin sebelumnya terdapat tanggung jawab berdasarkan
kesalahan, praduga selalu bertanggungjawab, praduga selalu tidak
bertanggungjawab, tanggung jawab mutlak, tanggung jawab absolut,
pembatasan tanggung jawab, dan tanggung renteng. Dari beberapa
teori pertanggungjawaban tersebut dalam Perseroan Terbatas (PT)
menerapkan limited liability yang merupakan pembatasan tanggung
jawab pemegang saham dan tanggung renteng untuk anggota Direksi.
Berikut akan dibahas mengenai limited liability dan doktrin yang
mengesampingkan asas limited liability yaitu piercing the corporate
veil. Keduanya berhubungan dengan sistem pertanggungjawaban
dalam PT yang juga diterapkan pada konstruksi perusahaan grup,
sebagai berikut:
1. Asas Limited Liability
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
Pasal 40 ayat (2) dinyatakan bahwa pemegang saham tidak
bertanggung jawab lebih dari pada jumlah penuh dari saham-
saham. Di dalam suatu perseroan terbatas, pemegang saham
65
memiliki tanggung jawab terbatas atau biasa disebut limited
liability. Bagi seorang pemegang saham, asasnya mereka memikul
tanggung gugat terbatas.72
Tanggung gugat ini secara jelas dapat
dibaca dari ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU PT yang menyatakan:
Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara
pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak
bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang
dimiliki.
Digunakannya pendekatan perseroan tunggal menyebabkan
induk perusahaan memperoleh limited liability. Dari ketentuan
tersebut dapat dikatakan bahwa induk perusahaan sebagai
pemegang saham dari anak perusahaan tidak bertanggung jawab
melebihi jumlah saham yang dimilikinya atas kerugian yang
dialami anak perusahaan atau atas tidak mampunya anak
perusahaan memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga (kreditor).
Namun demikian limited liability adalah asas yang dalam keadaan
dan kondisi tertentu dapat disimpangi. Karena dalam penerapannya
sering ditemukan penyalahgunaan terhadap asas limited liability
khususnya oleh induk perusahaan.
Para ahli mengajukan kritik terkait penerapan prinsip
hukum limited liability pada relasi antara induk dan anak
perusahaan. Prinsip hukum limited liability dipandang sebagai
insentif pengambilan resiko yang mengizinkan suatu korporasi
72
Tri Budiyono, Hukum Perusahaan Telaah Yuridis terhadap Undang-Undang No. 40
tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Griya Media, Salatiga, 2011, h. 104.
66
untuk menghindari biaya penuh dari kegiatan usahanya. Penerapan
limited liability dari pemegang saham dalam kasus perbuatan
melawan hukum menjadi prinsip hukum yang berlaku untuk
perseroan atau korporasi. Berlakunya limited liability menciptakan
insentif bagi perbuatan hukum beresiko tinggi yang memungkinkan
perseroan untuk menghindarkan biaya yang timbul dari tindakan
mereka73
.
Prinsip hukum limited liability dianggap dapat menciptakan
moral hazard bagi induk perusahaan untuk mengeksternalisasikan
kegiatan usaha yang beresiko kepada anak perusahaan.74
Apabila
resiko yang dimaksud terjadi, anak perusahaan dibebani tanggung
jawab hukum atas kerugian dari kegiatan usaha tersebut, sementara
itu, induk perusahaan sebagai pemegang saham anak perusahaan
memperoleh limited liability75
.
Penerapan limited liability dalam perusahaan grup dapat
disalahgunakan oleh induk perusahaan. Induk perusahaan secara
rutin mengeksternalisasikan resiko dari lahirnya tanggung jawab
atas suatu perbuatan melawan hukum kepada anak perusahaan,
meskipun mereka memperoleh keuntungan dari kegiatan yang
sangat beresiko. Bahkan, sebagian anak perusahaan dibentuk oleh
induk perusahaan yang bergerak pada industri yang beresiko untuk
membatasi gugatan tanggung jawab atas adanya perbuatan
melawan hukum76
.
Selain dengan mengeksternalisasi kegiatan usaha yang
beresiko kepada anak perusahaan, terdapat bentuk penyalahgunaan
lain, induk perusahaan dapat mengalihkan sebagian aset dari anak
73
Ibid., h. 107. 74
Ibid., h. 108. 75
Sulistiowati, “Doktrin-Doktrin Hukum Mengenai Tanggung Jawab Hukum dalam
Perusahaan Grup”, Jurnal Hukum Bisnis, Volumen 31, 2012, h. 9. 76
Sulistiowati, Op.Cit., h. 108.
67
perusahaan yang hampir bangkrut kepada anak perusahaan yang
lain, tanpa sepengetahuan dari pemegang saham minoritas atau
kreditor dari anak perusahaan yang hampir bangkrut.77
Sehingga
apabila anak perusahaan tidak mampu memenuhi tanggung jawab
kepada kreditor, induk perusahaan hanya bertanggungjawab tidak
melebihi sebesar saham yang dimiliki pada anak perusahaan.
Dengan cara itu apabila anak perusahaan mengalami kebangkrutan,
aset anak perusahaan tersebut sudah dialihkan pada anak
perusahaan lain sehingga induk perusahaan maupun perusahaan
grup tidak kehilangan aset. Dalam hal ini tentunya yang dirugikan
adalah kreditor, pemegang saham minoritas, dan karyawan dari
anak perusahaan yang mengalami kebangkrutan karena mengalami
kesulitan untuk mnuntut aset yang telah dialihkan kepada anak
perusahaan lain.
Hansman & Kraakman mengajukan kritik terhadap
penerapan prinsip hukum limited liability dari pemegang saham
perusahaan, terutama dalam kaitan tanggung jawab hukum induk
perusahaan sebagai pemegang saham anak perusahaan. Mereka
berpendapat bahwa para pemegang saham seharusnya bertanggung
jawab secara pribadi atas klaim gugatan terhadap perseroan, ketika
kekayaan perseroan tidak cukup untuk memenuhi klaim kepada
pihak ketiga78
.
Penyalahgunaan yang dilakukan oleh induk perusahaan
dilakukan dengan itikad buruk dan dapat masuk ke dalam
pengecualian dari asas limited libility yaitu dengan adanya doktrin
piercing the corporate veil.
77
Ibid. 78
Ibid., h. 107.
68
2. Doktrin Piercing The Corporate Veil
a. Pengertian Piercing The Corporate Veil
Kata “piercing the corporate veil” terdiri dari kata
pierce yang bisa di artikan menembus atau menyingkapi, veil
yang bisa diartikan tirai atau kerudung dan corporation yang
berarti perusahaan. Karena itu secara harafiah istilah “piercing
the corporate veil” berarti menembus/menyingkapi
tirai/kerudung perusahaan.79
Sedangkan dalam Black’s Law
Dictionary, corporate veil diartikan sebagai:
“the legal assumtion that the acts of a corporation are not the
actions of its shareholders, so that the shareholders are exempt
from liability for the corporation’s actions”. Sedang piercing
the corporate veil diartikan sebagai: “the judicial act of
imposing personal liability on otherwise immune corporate
officers, directorsand shareholders for the corporation’s
wrongful acts.” 80
Teori dalam hukum perusahaan yang disebut dengan
teori penyingkapan tirai perusahaan (piercing the corporate
veil) merupakan topik yang sangat populer dalam hukum
perusahaan, bukan saja dalam tata hukum Indonesia, melainkan
juga dalam tata hukum (modern) di kebanyakan negara lain.
Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk
mencapai “keadilan” khususnya bagi pihak ketiga dengan pihak
perusahaan mempunyai hubungan hukum tertentu.81
79
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam
Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, h. 7. 80
Tri Budiyono, Transplantasi Hukum Harmonisasi dan Potensi Benturan, Griya Media,
Salatiga 2009, h. 150. 81
Munir Fuady, Op.Cit., h. 7.
69
Secara teoritik, terma piercing the corporate veil
merupakan payung terhadap terma-terma lain yang memiliki
pengertian dan maksud yang hampir sama dengan terma
tersebut. Beberapa terma lain yang memiliki makna yang
hampir sama dengan terma ini, yaitu: alter ego, mere
instrumentality, shell, dummy, fiction, lifting the corporate veil,
going behind the corporate veil atau disregarding the
corporate entity.
Doktrin piercing the corporate veil mempunyai tujuan
untuk mencapai keadilan dengan cara sebagai berikut :82
a) suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak
orang atau perusahaan lain, atas suatu perbuatan yang
dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan hukum),
tanpa melihat fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya
dilakukan oleh perseroan.
b) A doctrine that say that if a shareholder dominates a
corporation and misues it for improper purposes, a court of
equity can disregard the corporate entity and hold the
shareholder personally liable for the corporation’s debt
and obligation.
Doktrin piercing the corporate veil ini muncul oleh
karena doktrin tanggung jawab terbatas yang diterapkan dalam
PT seringkali justru menjadi sumber ketidak-adilan bagi
kelompok-kelompok tertentu. Keuntungan yang diterima oleh
pemegang saham menimbulkan kerugian pada pihak-pihak lain,
yang juga memiliki kepentingan terhadap perseroan. Untuk
mengimbanginya, tanggung jawab pemegang saham yang
82
Tri Budiyono, Op.Cit., h. 151.
70
semula bersifat terbatas kemudian diabaikan dan kepadanya
diberlakukan tanggung jawab secara pribadi.83
Adapun yang merupakan kriteria dasar dan universal
agar suatu piercing the corporate veil secara hukum dapat
dijatuhkan adalah sebagai berikut:84
1. Terjadinya penipuan.
2. Didapatkan suatu ketidakadilan.
3. Terjadinya suatu penindasan (oppression).
4. Tidak memenuhi unsur hukum (illegality).
5. Dominasi pemegang saham yang berlebihan.
6. Perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham
mayoritasnya.
Selanjutnya terdapat beberapa contoh fakta yang secara
universal mestinya teori piercing the corporate veil dapat
diterapkan, antara lain, sebagai berikut:85
1. Permodalan yang tidak layak (terlalu kecil). Modal yang
tidak layak ini (capital adequacy) menjadi faktor yang
krusial, apalagi terhadap perusahaan publik atau perusahaan
finansial, seperti bank, asuransi, dan lain-lain.
2. Penggunaan dana perusahaan secara pribadi.
3. Ketidakadaan formalitas eksistensi perseroan.
4. Terdapatnya elemen-elemen penipuan dengan cara
menyalahgunakan badan hukum perseroan.
5. Terjadi tansfer modal/aset perseroan kepada pemegang
saham.
6. Keputusan diambil tanpa memenuhi formalitas tertentu.
Misalnya, tidak dilakukannya RUPS untuk kegiatan yang
memerlukan RUPS.
7. Sangat dominannya pemegang saham dalam kegiatan
perseroan.
8. Tidak diikutinya ketentuan perundang-undangan mengenai
kelayakan permodalan dan asuransi.
9. Tidak dipenuhinya formalitas tentang pembukuan dan
record keeping. Misalnya, terjadi percampuradukan antara
dana milik perseroan dan dana milik pribadi pemegnag
saham.
83
Ibid. 84
Munir Fuady, Op.Cit., h. 9. 85
Ibid., h. 9.
71
10. Pemilahan badan hukum. Misalnya, untuk menghindari
tanggung jawab yang lebih besar karena kemungkinan
gugatan dari pihak korban tabrakan, pengusaha taxi
membuat perusahaan sendiri-sendiri yang terpisah-pisah
untuk setiap taxi yang dimilikinya.
11. Misrepresentasi. Misalnya, dibuat kesan kepada kreditor
bahwa seolah-olah perusahaan memiliki permodalan yang
besar dengan aset yang banyak; mengingat pemegang
sahamnya memang memiliki aset yang besar.
12. Perusahaan holding dalam kelompok usaha lebih besar,
kecenderungan untuk dimintakan tanggung jawab hukum
atas kegiatan anak perusahannya ketimbang pemegang
saham individu dari perusahaan tunggal.
13. Perseroan tersebut hanya sebagai alter ego (kadang-kadang
di sebut juga sebagai instrumentality, dummy, atau agent)
dari pemegang saham yang bersangkutan.
14. Teori piercing the corporate veil dterapkan untuk alasan
ketertiban umum (openbare order). Misalnya,
menggunakan perusahaan untuk melaksanakan hal-hal yang
tidak pantas (improper conduct).
15. Teori piercing the corporate veil diterapkan terhadap
kasus-kasus kuasi kriminal (quasi-criminal). Misalnya, jika
perusahaan dipergunakan sebagai sarana untuk menjual
minuman keras atau untuk perjudian/lotre.
b. Piercing The Corporate Veil dalam Tatanan Hukum
Perusahaan
Sejak Indonesia memberlakukan Undang-Undang No. 1
tahun 1995 dan juga setelah diganti dengan Undang-Undang
No. 40 tahun 2007, telah mentransplantasikan doktrin piercing
the corporate veil. Doktrin ini mengasumsikan tanggung jawab
terbatas diibaratkan seperti cadar yang berpotensi untuk disalah
gunakan oleh pemegang saham (khususnya pemegang saham
mayoritas atau pengendali) untuk mencari keuntungan bagi
72
dirinya sendiri. Dengan memposisikan PT sebagai alter ego
atau dummy (boneka) dari pemegang saham mayoritas atau
pengendali. PT dijadikan instrumen untuk kepentingan
pemegang saham tersebut. Dengan demikian, sangat mungkin
terjadi percampuran kepentingan PT dengan kepentingan
pemegang saham secara pribadi. Atau dengan kata lain, secara
substansial, tidak ada pemisahan harta lagi PT dengan harta
pribadi pemegang saham.86
Transplantasi doktrin piercing the corporate veil ini
dapat dicermati dari rumusan Pasal 3 ayat (2) UU No. 40 tahun
2007, yang menyatakan
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
apabila:
a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau
tidak terpenuhi;
b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung
maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan
Perseroan untuk kepentingan pribadi;
c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan;
atau
d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung
maupun tidak langsung secara melawan hukum
menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan
kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi
utang Perseroan.
Dengan ditransplantasikannya doktrin piercing the
corporate veil ini, maka dalam keadaan normal seorang
pemagang saham memikul tanggung gugat secara terbatas,
yaitu sampai dengan jumlah saham yang dimilikinya pada
suatu Perseroan. Namun demikian dalam keadaan tidak normal,
yaitu dalam hal 4 (empat) hal yang dimaksud pada Pasal 3 ayat
(2) tersebut terpenuhi, maka tanggung gugat terbatas seorang
86
Tri Budiyono, Hukum Perusahaan Telaah Yuridis terhadap Undang-Undang No. 40
tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Griya Media, Salatiga, 2011, h. 104.
73
pemegang saham menjadi gugur dan kepadanya dipikulkan
tanggung gugat pribadi.87
Transplantasi doktrin piercing the corporate veil
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap pihak
ketiga, utamanya kreditur peseroan. Beban pembuktian yang
dipikulkan kepada pemegang saham atau induk perusahaan
merupakan konsekwensi logis karena pemegang saham
merupakan pihak yang memiliki keterdekatan yang tinggi
terhadap perseroan. Lagi pula, akses untuk melakukan
pembuktian bagi pemegang saham akan jauh lebih mudah
dibandingkan apabila pembuktian dibebankan kepada pihak
ketiga yang memiliki kepentingan untuk digugurkannya
tanggung gugat terbatas. Pendekatan ini dianggap lebih
fungsional.88
e. Perluasan Tanggung Jawab Pemegang Saham
Secara prinsip tanggung jawab hukum induk perusahaan
(holding company) sebagai pemegang saham hanya terbatas pada nilai
saham setornya, namun dalam hal-hal tertentu hukum
memperkenalkan atau setidak-tidaknya memperkenankan tanggung
jawab hukum pemegang saham melebihi dari tanggung jawab sebatas
saham setornya, yang dalam hal ini dapat dikategorikan ke dalam dua
keompok, yaitu89
:
87
Ibid., h. 105. 88
Ibid., h. 106. 89
Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, h. 126.
74
1) Perluasan tanggung jawab pemegang saham/induk perusahaan
berdasarkan peraturan perundang-undangan
a) Tanggung jawab induk perusahaan dalam proses pendirian
Perseroan terbatas
Transaksi yang dilakukan sebelum pengesahan
anggaran dasar oleh Menteri, maka masing-masing para pendiri
melakukan perbuatan yang bersangkutan akan bertanggung
jawab secara pribadi. Kecuali jika perseroan secara tegas
melakukan “ratifikasi”. Tetapi apabila pemegang saham
merangkap pula sebagai pengurus, maka sebagai pengurus,
meskipun sudah ada pengesahan anggaran dasar oleh Menteri,
para pengurus tersebut masih saja bertanggung jawab secara
tanggung-renteng sampai dengan adanya pendaftaran dalam
Daftar Perusahaan dan pengumumannya dalam Tambahan
Berita Negara RI.
b) Tanggung jawab induk perusahaan karena doktrin piercing the
corporate veil
Doktrin piercing the corporate veil tidak terdapat dalam
KUHD, tetapi secara sangat simple diatur dalam UU PT.
Doktrin ini mengajarkan bahwa suatu badan hukum
bertangggung jawab secara hukum hanya terbatas saham yang
dimilikinya, tetapi dalam hal-hal tertentu batas tanggung jawab
tersebut dapat ditembus.
75
2) Perluasan tanggung jawab pemegang saham/induk perusahaan
berdasarkan ikatan kontraktual
Prinsip tanggung jawab badan hukum yang mandiri juga
dapat diterobos dengan adanya ikatan-ikatan kontrak, yang
memang di maksudkan sebagai terobosan. Kontrak-kontrak
tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut :
a) Tanggung jawab induk perusahaan karena adanya kontrak yang
bersifat kebendaan
Induk perusahaan dapat melakukan kontrak-kontrak
yang bersifat kebendaan dalam hubungan dengan kegiatan anak
perusahaan. Sehingga, tanggung jawab yuridis dari perbuatan-
perbuatan yang dilakukan oleh anak perusahaan sampai batas-
batas tertentu dapat dibebankan kepada induk perusahaan. Hal
ini dapat terjadi misalnya dalam hal aset-aset dari induk
perusahaan ikut menjadi collateral terhadap hutang-hutang
yang dibuat oleh anak perusahaan.
Ikatan kontraktual yang bersifat kebendaan yang
dilakukan oleh induk perusahaan terhadap bisnis anak
perusahaan, dapat dilakukan dalam bentuk-bentuk sebagai
berikut:
(1) Saham-saham anak perusahaan yang dipegang oleh induk
perusahaan digadaikan atau difidusiakan untuk menjamin
hutang-hutang yang dibuat oleh anak perusahaan dengan
pihak ketiga;
76
(2) Saham-saham perusahaan lain tetapi masih dalam satu grup
usaha yang sama, saham-saham mana dimiliki oleh induk
perusahaan, kemudian digadaikan atau difidusiakan untuk
menjamin hutang anak perusahaan;
(3) Aset-aset dari induk perusahaan yang dijaminkan ke
kreditur karena hutang yang diambil oleh anak perusahaan,
lewat bentuk-bentuk jaminan hutang seperti gadai, hipoteik
ataupun fidusia.
b) Tanggung jawab induk perusahaan karena adanya kontrak yang
bersifat personal
(1) Dengan membuat corporate guarantee
Dalam hal ini, induk perusahaan membuat corporate
guarantee untuk menjamin hutang-hutang anak perusahaan
terhadap pihak ketiga.
(2) Dengan membuat personal guarantee
Bahkan pemilik grup konglomerat, yang pada lazimnya
merupakan pemegang saham pada induk perusahaan dapat
memberikan personal guarantee untuk menjamin hutang-
hutang anak perusahaan terhadap pihak ketiga.
(3) Dengan membuat garansi terbatas
Sering juga terjadi dalam praktek bahwa induk perusahaan
maupun pemilik grup usaha konglomerat tidak mau
77
mengambil resiko dengan mempertaruhkan seluruh harta
bendanya yang dimiliki oleh grup usaha konglomerat
maupun oleh pribadi dari pemilik grup konglomerat
tersebut. Sebaliknya dengan mendapatkan dana dari
kreditur, pihak anak perusahaan sangat berharap adanya
jaminan dari pihak induk perusahaan ataupun pribadi
pemilik grup konglomerat tersebut. Dalam kondisi yang
demikian, dapat ditempuh jalan kompromi, di mana induk
perusahaan tidak membuat corporate guarantee secara
tidak terbatas seperti biasanya. Demikian juga pihak pribadi
pemilik grup konglomerat tersebut tidak pula membuat
personal guarantee secara tidak terbatas. Apa yang mereka
lakukan sebagai jalan kompromi adalah garansi dalam
bentuk terbatas.
Garansi dalam bentuk-bentuk terbatas tersebut dapat
dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
(a) Coporate guarantee dengan ceiling
(b) Personal guarantee dengan ceiling
(c) Coporate guarantee dari sister company
Dengan penerapan bentuk-bentuk garansi terbatas
seperti tersebut di atas, maka dapat diminimalkan ancaman
terhadap eksistensi grup usaha konglomerat, akibat salah
satu atau lebih anak perusahaan dalam keadaan tidak
mampu membayar hutang.
78
f. Tanggung Jawab Induk Perusahaan Terhadap Anak Perusahaan
Pembebanan tanggung jawab induk perusahaan terhadap
perbuatan anak-anak perusahaan diperlukan untuk menghindari adanya
dominasi tanpa tanggung jawab. Tanggung jawab hukum terhadap
kerugian pihak ketiga sebagai akibat anak perusahaan menjalankan
kebijakan/instruksi induk perusahaan perlu mempertimbangkan tujuan
hukum untuk memenuhi prinsip keadilan dari kerugian yang
ditanggung oleh pemegang saham minoritas, kreditor, atau karyawan90
.
Alasan mengapa diperlukan kejelasan dari tanggung jawab induk
perusahaan terhadap anak perusahaan dalam suatu perusahaan grup:
1) Mengenai perlindungan kepentingan karyawan dari anak
perusahaan. Perlindungan ini misalnya menyangkut hak-hak
karyawan dalam hal terjadinya kepailitan atas suatu anak
perusahaan dan akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Untuk hal-hal seperti itu perlu ada kejelasan (disclosure) agar
semuanya menjadi jelas dan transparan misalnya kemungkinan
karyawan yang bersangkutan “ditampung” anak perusahaan lain
atau holdingnya91
.
2) Menyangkut perlindungan pihak kreditur. Karena masing-masing
perusahaan dalam suatu perusahaan grup merupakan badan hukum
yang terpisah pihak kreditur dapat mengantisipasi dengan
mengatur secara tegas dalam kontrak mengenai perluasan tanggung
jawab terhadap pihak lain. Misalnya, ditegaskan dalam kontrak
bahwa anak perusahaan lain dalam grup yang sama atau bahkan
pengurusnya dapat menjadi corporate guarantor atau personal
guarantor yang akan ikut bertanggung jawab jika terjadi
wanprestasi. Hal lain yang kiranya perlu diatur lebih lanjut dalam
peraturan perundang-undangan untuk melindungi kreditur adalah
dalam hal suatu holding company yang menerapkan sistem
sentralisasi secara ketat. Jika ini terjadi akan adil jika holding
company juga dapat diminta tanggung jawab atas perbuatan anak
90
Sulistiowati, “Doktrin-Doktrin Hukum Mengenai Tanggung Jawab Hukum dalam
Perusahaan Grup”, Jurnal Hukum Bisnis, Volumen 31, 2012, h. 24. 91
Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996, h. 156.
79
perusahaannya yang merugikan pihak lain. Hal seperti ini di
Jerman disebut sebagai tanggung jawab untuk seluruhnya dan
tanggung jawab bersama (joint and several). Demikian pula jika
anak perusahaan “terpaksa” melakukan suatu perbuatan karena
“dorongan” holding company atau holding company memperoleh
“manfaat secara langsung” dari perbuatan tersebut. Tentu dalam
hal seperti ini tidak adil jika anak perusahaan tersebut bertanggung
jawab sendiri92
.
3) Perluanya perlindungan kepentingan pemegang saham minoritas
yang tentu posisinya lemah dari kesewenangan pemegang saham
mayoritas. Misalnya adanya upaya transfer keuntungan dari satu
anak perusahaan ke anak perusahaan lain yang merugikan
pemegang saham minoritas93
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dan beberapa alasan di
atas, maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya asas limited liability
tidak tepat apabila diterapkan untuk konstruksi perusahaan grup.
Karena pada dasarnya induk perusahaan sebagai pemegang saham
mayoritas dari anak perusahaan berbeda dengan pemegang saham
perseorangan pada perseroan tunggal. Meskipun terdapat pengecualian
dari asas limited liability yaitu adanya doktrin piercing the corporate
veil, yang apabila memenuhi syarat tertentu maka limited liability yang
diberikan pada induk perusahaan dapat disimpangi dengan piercing the
corporate veil. Tujuan dari doktrin piercing the corporate veil adalah
memberikan keadilan dengan membebani tanggung jawab ke pundak
orang atau perusahaan lain, atas suatu perbuatan yang dilakukan oleh
suatu perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa melihat fakta bahwa
perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perseroan. Tanggung
jawab pemegang saham yang semula bersifat terbatas kemudian
diabaikan dan kepadanya diberlakukan tanggung jawab secara pribadi.
92
Ibid. 93
Ibid., h. 158.
80
Namun piercing the corporate veil hanya dapat diterapkan
apabila memenuhi unsur-unsur tertentu. Sehingga apabila limited
liability tidak tepat diterapkan dalam konstruksi. Yang menjadi
pertanyaan, apakah ada tanggung jawab lain yang lebih tepat
diberlakukan untuk induk perusahaan dalam konstrusi perusahaan grup
?.
Pasal 1367 KUHPerdata menyatakan bahwa seseorang tidak
hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya
sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan
orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-
barang yang berada di bawah pengawasannya. Dalam konstruksi
perusahaan grup induk perusahaan merupakan pinpinan sentral.
Sebagai pimpinan sentral, induk perusahaan berhak melakukan
pengawasan ataupun memberikan instruksi kepada anak perusahaan.
Dengan kata lain, bahwa anak perusahaan berada dibawah pengawasan
dan dikendalikan oleh induk perusahaan serta berada dibawah
tanggungan dari induk perusahaan karena melaksanakan instruksi dari
induk perusahaan.
3. Sistem Pertanggungjawaban Perusahaan Grup Belanda dan Jerman
a. Sistem Pertanggungjawaban Perusahaan Grup di Belanda
Belanda tidak mengatur secara khusus perusahaan grup dalam
suatu peraturan perundang-undangan. Kerangka pengaturan
81
perusahaan grup di Belanda dibangun atas konsepsi perusahaan
tunggal. Sebagai badan hukum mandiri, public company (NV) dan
private company (BV) memiliki kepentingan ekonomi yang mandiri
untuk memenuhi tujuan perseroan yang dijalankan oleh broad of
management. Kerangka pengaturan ini berlaku bagi perusahaan yang
dijalankan sebagai badan hukum yang terpisah maupun perusahaan
grup94
.
Di Belanda yang dimaksud dengan perusahaan grup atau
concern adalah suatu susunan dari perusahaan-perusahaan yang secara
yuridis mandiri, yang terkait satu dengan yang lain secara organisatoris
sehingga membentuk suatu kesatuan ekonomis yang tunduk pada suatu
pimpinan dari suatu perusahaan induk sebagai pimpinan sentral. Semua
anggota perusahaan grup merupakan badan hukum yang mandiri atau
saparate legal entity, walaupun concern merupakan suatu kesatuan
ekonomi95
.
Perusahaan-perusahaan di dalam suatu concern terkait satu
sama lain melalui penyertan modal atau melalui cara lain seperti
melalui perjanjian atau melalui suatu fakta. Perusahaan-perusahaan
yang tergabung di dalam perusahaan grup dianggap sebagai kesatuan
ekonomi, implikasinya ke dalam sektor hukum antara lain berupa
diterobosnya batas-batas kemandirian badan hukum dari anak
perusahaan maupun perusahaan induk96
.
94
Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum Pada Perusahaan Grup Di Indonesia, Erlangga,
Jakarta, 2013, h. 81. 95
Ibid., h. 82. 96
Ibid.
82
Sebagai konsekuensi logis, berkembangnya teori-teori hukum
tentang ikut ditariknya induk perusahaan atau holding company maupun
anak perusahaan lain dalam satu grup dalam hal-hal tertentu
mempertanggungjawabkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh salah
satu atau lebih anak perusahaan. Pihak perusahaan induk atau
perusahaan holding dalam batas-batas tertentu berwenang untuk
mencampuri urusan bisnis anak perusahaan97
.
Sejauh mana hak, kewajiban, dan kewenangan perusahaan
induk terhadap anak perusaahaan sangat bervariasi. Dalam perusahaan
grup yang di dalamnya berlaku prinsip sentralisasi, perusahaan induk
sangat jauh terlibat langsung sehingga anak perusahaan hanya
menjalankan tugas-tugas rutin saja (day to day operation) tanpa bisa
menentukan keputusan. Akan tetapi dalam perusahaan grup yang
menerapkan desentralisasi, anak perusahaan diberi kewenangan sangat
besar. Oleh karena ikut campur tangan perusahaan induk atau holding
company tersebut akan terkait dengan kepentingan berbagai pihak,
maka berbagai benturan kepentingan baik antara perusahaan-
perusahaan yang tergabung di dalam perusahaan grup maupun antara
perusahaan-perusahaan dalam perusahaan grup dengan pihak ketiga
seperti kreditur dan pemegang saham minoritas sangat mungkin
terjadi98
.
Konsepsi pengaturan perusahaan di Belanda telah mengalami
perubahan. Perubahan ini diarahkan untuk mengadopsi kepentingan
97
Ibid., h. 83. 98
Ibid.
83
yang lebih luas dengan melakukan pemisahan kepemilikan dan kontrol
pada suatu perseroan dibandingkan kerangka pengaturan sebelumnya,
ketika perseroan dipandang sebagai kongsi yang dikualifikasikan
menjadi instrumen dari pemegang saham. Kerangka pengaturan
Belanda mengakui bahwa korporasi sering kali tidak menjalankan
kegiatan bisnis sebagai perusahaan tunggal. Sejumlah organisasi bisnis
terdiri dari holding company, berupa subholding company, dan
beberapa anak perusahaan99
.
Setiap perusahaan di dalam suatu grup atau concern harus
dipandang sebagai pemegang hak dan kewajiban mandiri. Asas ini
berlaku juga dalam hubungan antara perusahaan grup dengan pihak
ketiga terhadap siapa perusahaan itu betanggung jawab berdasarkan
kewajibannya. Pada prinsipnya perusahaan-perusahaan dalam
perusahaan grup tidak ada urusannya dengan hak dan kewajiban keluar
dari perusahaan satu sama lain. Mereka tidak dapat
dipertanggungjawabkan terhadap pihak ketiga dan juga tidak
memperoleh hak mereka berdasarkan hubungan hukum antara salah
satu perusahaan di dalam concern dengan pihak luar atau pihak
ketiga100
.
Kedudukan pihak ketiga yang berhubungan dengan suatu
perusahaan, seperti kreditur dan pemegang saham minoritas, dapat
dengan mudah dipengaruhi oleh fakta keterikatan debitur mereka atau
perusahaan mereka dengan perusahaan lain dalam perusahaan grup atau
99
Ibid. 100
Ibid., h. 85.
84
menjadi salah satu mata rantai dari susunan suatu concern. Peristiwa
tertentu yang sedang dihadapi suatu concern dapat berpengaruh
terhadap kedudukan pihak ketiga101
.
Dari segi hukum pihak ketiga tidak dapat dirugikan hanya
karena perusahaan-perusahaan diorganisasikan sebagai suatu kelompok,
tetapi secara faktual mereka dapat menderita rugi sebagai akibat dari
perusahaan terikat dari aspek ekonomi dalam suatu grup. Yang perlu
dipikirkan adalah perlindungan hukum bagi mereka untuk menuntut
ganti kerugian, apakah sarana hukum untuk menuntut ganti kerugian
yang tersedia di dalam hukum telah mencukupi untuk tujuan ini ataukah
harus dibuat suatu peraturan khusus102
.
Di Belanda, induk perusahaan dapat bertanggungjawab tetapi
harus ada bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh
perusahaan induk, misalnya dengan memberikan modal yang tidak
mencukupi untuk anak perusahaan sehingga menimbulkan kerugian
jangka panjang, dan banyak penyalahgunaan lainnya sehingga induk
perusahaan yang memberikan instruksi harus beratanggungjawab.
What the different national provisions have in common is that
for liability to exist there must be a form of abuse of power by the
parent company, for example because it has provided insufficient
capital for the subsidiary, has failed to intervene in loss-making
activities over a long period or has engineered transactions within the
101
Ibid. 102
Ibid.
85
group designed to work to the detriment of creditors.103
Basically,
under this scheme a parent company that issues instructions to a
subsidiary must guarantee any debts of that subsidiary.104
Sehingga
walaupun masih menggunakan pendekatan perseroan tunggal dan
masih mengakui bahwa induk dan anak perusahaan sebagai badan
hukum mandiri tetapi dalam hal-hal tertentu yang secara faktual
menimbulkan dampak yang buruk bagi anak perusahaan, induk
perusahaan harus ikut bertanggung jawab.
Di Belanda juga terdapat undang-undang yang disebut Wet Op
Misbruik van Rechtpersonen. Menurut undang-undang ini, apabila
suatu perusahaan jatuh pailit di mana penyebab utama dari jatuhnya
pailit tersebut adalah karena direksinya tidak bertindak secara pantas,
maka direksi yang bersangkutan secara pribadi atau secara bersama-
sama yang harus bertanggung jawab secara hukum kepada pihak
ketiga. Dalam hal ini, yang harus bertanggung jawab tidak hanya
direksi semata-mata. Melainkan juga termasuk pihak-pihak lain yang
dalam kenyataanya menentukan dalam mengambil keputusan
perusahaan. Misalnya, para pemegang saham/pemilik
perusahaan/holding company.
b. Sistem Pertanggungjawaban Perusahaan Grup di Jerman
103
A.G. Castermans, J.A. van der Weide dan Leiden, “The legal liability of Dutch parent
companies for subsidiaries’ involvement in violations of fundamental, internationally recognised
rights”, Business Journal, 2009, h. 36. 104
Ibid., h. 37.
86
Jerman merupakan negara yang pertama kali mengatur secara
khusus hukum perusahaan grup (Konzernrecht) melalui Stock
Corporation Act atau Aktiengesetz (AktG) pada tahun 1965.
Konzernrecht menjadi standar atas pembebanan tanggung jawab induk
perusahaan dalam kerangka perusahaan grup yang mengatur secara
khusus dan menyeluruh perusahaan grup dan afiliasi, yang meliputi
peraturan perundang-undangan yang kontekstual dengan tanggung
jawab dalam relasi induk-anak perusahaan105
.
Konzernrecht menggunakan pendekatan atas realitas yang
terjadi pada perusahaan grup, berupa batasan kritis atas pemisahan dua
jenis perusahaan grup berbeda yang berkorespondensi dengan kerangka
regulasi berbeda pula, meliputi perusahaan grup kontraktual dan
perusahaan grup faktual atau de facto group. Berbeda dengan hukum
perseroan yang menekankan keterkaitan antara perseroan dengan
pemegang saham perseorangan, maka kerangka pengaturan perusahaan
grup di Jerman merupakan artikulasi dari tanggung jawab induk
perusahaan berdasarkan perbedaan skema tanggung jawab dari masing-
masing kategori106
.
Kerangka pengaturan korporasi Jerman merupakan wujud dari
tanggung jawab induk perusahaan, sebagai kebalikan dari investor
individu-pemegang saham. Pemerintah Federal Jerman merumuskan
versi terbaru Stock Corporation Act, berupa provisi UU yang
membedakan secara khusus dua kategori perusahaan grup berdasarkan
105
Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum Pada Perusahaan Grup Di Indonesia,
Erlangga, Jakarta, 2013, h. 86. 106
Ibid., h. 87.
87
perbedaan skema tanggung jawab dari masing-masing kategori.
Kerangka pengaturan perusahaan grup di Jerman dibedakan atas
perusahaan grup kontraktual dan faktual sebagai berikut107
:
1) Perusahaan Grup Kontraktual
Alasan keberadaan dari perusahaan grup kontraktual adalah
sifat sukarela dari induk perusahaan yang mengendalikan dan anak
perusahaan yang dikendalikan. Selanjutnya, induk dan anak
perusahaan menjalankan perjanjian pengendalian atau
beherrschungsvertrag. Induk perusahaan menjalankan kesatuan
ekonomi dan memiliki kekuasaan untuk mengarahkan anak
perusahaan. Kekuasaan ini dilegitimasi oleh kontrak khusus dengan
anak perusahaan108
.
Ketentuan ini memberikan manfaat berupa terbukanya
deviasi dari hukum perusahaan klasik yang hanya mengatur
mengenai perseroan tunggal. Hukum memberikan justifikasi berupa
hak yang lebih luas kepada induk perusahaan untuk memberikan
instruksi kepada anak perusahaan dan menjalankan kegiatan bisnis
dengan lebih mengutamakan kepentingan kelompok. Syaratnya,
induk perusahaan dibebani terlebih dahulu dengan suatu kewajiban
untuk menutup seluruh kerugian yang timbul atau tanggung jawab
kolektif atas penyelesaian pinjaman109
.
Perjanjian pengendalian memberikan legitimasi kepada
induk perusahaan untuk menjalankan kuasa manajerial pada anak
107
Ibid., h. 88. 108
Ibid. 109
Ibid., h. 89.
88
perusahaan. Anggaran dasar mengizinkan induk perusahaan untuk
mengarahkan dan mempengaruhi korporasi, bahkan ketika anak
perusahaan harus mengalami kerugian atau detrimental, sepanjang
arahan induk perusahaan dapat memenuhi dua persyaratan. Pertama,
induk perusahaan mengutamakan kepentingan bisnis keseluruhan
perusahaan grup secara konsisten. Kedua, induk perusahaan tidak
membahayakan eksistensi yuridis dari anak perusahaan. Dengan
kata lain, pengendalian induk terhadap anak perusahaan pada
perusahaan grup kontraktual, bertujuan untuk kepentingan
perusahaan grup dan induk perusahaan tidak membiarkan anak
perusahaan berada dalam insolvency110
.
Aktiengesetz menerapkan respon kontraktual melalui bentuk
campuran dari statutory contractual yang menjadi quid pro quo dari
hapusnya limited liability induk perusahaan sebagai pihak yang
berhadapan dengan anak perusahaan yang dikontrol. Dengan
berlakunya ketentuan ini, induk perusahaan melakukan perjanjian
kontrol dengan anak perusahaan dengan membentuk kelompok
kontraktual yang menggunakann asumsi berupa statutory obligation
yang diciptakan bagi kepentingan jalannnya perjanjian kontrol
sebagai kompensasi yang diberikan kepada anak perusahaan
terhadap kerugian yang diakibatkan oleh kontrol yang dijalankan
induk perusahaan selama periode perjanjian kontrol berlangsung.
Hal yang perlu dicatat bahwa tanggung jawab dari induk perusahaan
110
Ibid.
89
terhadap kompensasi anak perusahaan di seluruh dunia dijalankan
tidaklah mengacu kepada relasi faktual, ataupun hubungan
kausalitas antara kerugian anak perusahaan dan fakta pengendalian
yang dijalankan oleh induk perusahaan. Jika induk perusahaan
menolak untuk membayar kewajiban anak perusahaan terhadap
kreditor, kreditor dari anak perusahaan dapat memaksa anak
perusahaan menuntut kompensasi dari induk perusahaan sesuai
dengan pengaturan German bankcruptcy111
.
2) Perusahaan Grup Faktual
Kategori kedua perusahaan grup di Jerman adalah
perusahaan grup faktual atau de facto concern. Karakteristik
perusahaan grup faktual tidak didasarkan pada perjanjian
pengendalian antara induk dan anak perusahaan terhadap
pengelolaan jalannya perusahaan grup. Sebaliknya, de facto group
merupakan persilangan murni dalam penyusunan anggaran dasar
yang menjadi eksistensi dari isi pengaturan kelompok faktual yang
memenuhi dua persyaratan berikut112
:
a) Melalui kepemilikan saham mayoritas induk terhadap anak
perusahaan, ada praduga yang berimplikasi kepada
ketidakmandirian anak perusahaan untuk menjalankan instruksi
induk perusahaan.
b) Keberadaan kesatuan ekonomi atau einheitliche leitung yang
diterapkan oleh induk perusahaan yang menjadi pemegang
111
Ibid., h. 90. 112
Ibid.
90
saham mayoritas dan memegang seluruh kepemilikan saham
anak perusahaan, sebagaimana yang terjadi pada kedua
perusahaan jika dijalankan sebagai perusahaan tunggal.
Kepemimpinan kegiatan bisnis terkait dengan manajemen
korporasi dan kontrol.
Konsekuensi dari kelompok faktual adalah induk perusahaan
harus bertanggung jawab terhadap pinjaman dari anak perusahaan,
dengan megikuti skema anggaran dasar yang berbeda dengan
penerapan kelompok kontraktual. Di samping munculnya tanggung
jawab terhadap seluruh pinjaman anak perusahaan, sebagaimana
penerapan contractual concern di Jerman berdasarkan aktualisasi
dari kerugian yang disebabkan oleh kontrol induk perusahaan,
tanggung jawab diantara anggota kelompok dalam kelompok
faktual menekankan kepada upaya untuk mengisolasi terhadap
adanya kasus campur tangan induk perusahaan yang mengakibatkan
kerugian saja. Hal ini sebagaimana terjadi pada pengabaian
kemandirian anak perusahaan yang diekspresikan secara seragam,
struktur manajemen yang terpusat ada pada kelompok faktual, dan
beberapa tambahan dari wrongful conduct oleh induk perusahaan
yang merugikan anak perusahaan113
.
Tanggung jawab diantara anggota kelompok juga
membutuhkan keterkaitan sebab untuk mengukur kerugian yang
disebabkan oleh induk perusahaan dan kerusakan atau kerugian
113
Ibid., h. 91.
91
yang dialami anak perusahaan. Hal ini membatasi upaya perbaikan
terhadap anak perusahaan, hanya terbatas pada kerugian yang secara
langsung disebabkan oleh pihak tertentu, berupa campur tangan
yang menyebabkan kerugian terkait ketidakmandirian yuridis anak
perusahaan. Realitas korporasi pada perusahaan grup faktual kadang
ditandai oleh keterkaitan antarperusahaan yang erat dengan
multitude dari campur tangan induk perusahaan, bahkan
dimungkinkan menggunakan dasar kegiatan sehari-hari. Secara
prosedural, tidak dimungkinkan suatu anak perusahaan dikontrol
secara ketat oleh induk perusahaan secara khusus, yang ketika
menjalankan fungsi kontrol menyebabkan kerugian yang berdiri
sendiri dan dapat dikuantifikasikan secara tepat untuk kepentingan
perbaikan anak perusahaan114
.
Pada perusahaan grup faktual, induk perusahaan tidak
dijamin dengan hak untuk memberikan instruksi, diizinkan untuk
menggunakan pengaruh dominasi hanya untuk kepentingan dari
anak perusahaan dan bertanggung jawab untuk memberikan
kompensasi kepada setiap kerugian yang dialami oleh subsidiary
atas kerusakan atau kerugian yang disebabkan oleh penggunaan
pengaruh induk perusahaan115
.
Keseluruhan sistem hukum Jerman yang mengatur mengenai
perusahaan grup berdasarkan pada model tradisional dari perusahaan
tunggal yang otonom. Model ideal, yang menjadi dasar pengembangan
114
Ibid. 115
Ibid.
92
model, menggunakan asumsi bahwa perusahaan merupakan unit
ekonomi dan entitas hukum mandiri, dari akumulasi ekuitas modal
sejumlah pemegang saham perseorangan yang berkepentingan atas
tingkat pengembalian investasi dan manajemen yang mempunyai
komitmen untuk menjadi badan independen yang menjalankan fungsi
sebagai agen dengan ketrampilan untuk memenuhi kepentingan bisnis
dari para pemegang saham. Pada model ini, pemegang saham memiliki
hak suara yang menjamin keseimbangan di antara pemegang saham
lainnya dan homogeitas, untuk menjaga stabilitas antara berbagai
kepentingan pemegang saham individu dengan kepentingan
perusahaan secara keseluruhan. Secara tidak langsung, keselarasan di
antara para pemegang saham ini akan menjaga kepentingan pihak
ketiga, seperti kreditur dan karyawan116
.
Tabel 1
Tabulasi Perbandingan Sistem Pertanggungjawaban Dalam Perusahaan
Grup antara Indonesia, Belanda, dan Jerman
Indikator Indonesia Belanda Jerman
Pengaturan
sistem
pertanggungj
awaban
perusahaan
grup
Di Indonesia terdapat
beberapa peraturan
perundang-undangan
yang mengatur
mengenai konsep
perusahaan grup tetapi
belum terdapat
peraturan perundang-
undangan yang secara
khusus mengatur
Kerangka pengaturan
perusahaan grup di
Belanda dibangun atas
konsepsi perusahaan
tunggal.
Pengaturan
mengenai
perusahaan grup di
Jerman terdapat
dalam konzernrecht.
yang mengatur
secara khusus dan
menyeluruh
perusahaan grup dan
afiliasi.
116
Ibid., h. 92.
93
mengenai tanggung
jawab di dalam
perusahaan grup
sehingga masih
digunakan pendekatan
pengaturan dari
perseroan tunggal.
Sistem
pertanggungj
awaban
dasar
Sistem
pertanggungjawaban
yang diterapkan untuk
perusahaan grup di
Indonesia khususnya
untuk induk
perusahaan adalah
tanggung jawab
terbatas atau limited
liability, karena induk
perusahaan merupakan
pemegang saham dari
anak perusahaan.
Setiap perusahaan di
dalam suatu grup atau
concern harus
dipandang sebagai
badan hukum mandiri.
Perusahaan-
perusahaan dalam
perusahaan grup tidak
ada urusannya dengan
hak dan kewajiban
keluar dari perusahaan
satu sama lain. Mereka
tidak dapat
dipertanggungjawabka
n terhadap pihak
ketiga dan juga tidak
mereka berdasar
hubungan hukum
antara salah satu
perusshaan di dalam
concern dengan pihak
luar atau pihak ketiga.
Konzernrecht
menjadi standar atas
pembebanan
tanggung jawab
induk perusahaan
dalam kerangka
perusahaan grup.
Dalam Konzernrecht
membedakan
perusahaan grup
menjadi kelompok
kontraktual dan
faktual. Dalam
perusahaan grup
kontraktual,
tanggung jawab
induk perusahaan
diatur dalam
perjanjian
pengendalian.
Sedangkan dalam
kelompok faktual,
tanggung jawab
induk perusahaan
diatur dalam
anggaran dasar dari
anak perusahaan.
Pengecualian
atau syarat
dari sistem
pertanggungj
awaban yang
berlaku
Ada kemungkinan
limited liability
disimpangi dan
diterapkan Doktrin
Piercing The
Corporate Veil pada
perusahaan grup
apabila memenuhi
salah satu dari 4
ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 3
ayat (2) UU No. 40
Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
Di Belanda
berkembangnya teori-
teori hukum tentang
ikut ditariknya induk
perusahaan atau
holding company
maupun anak
perusahaan lain dalam
satu grup dalam hal-
hal tertentu
mempertanggungjawa
bkan perbuatan hukum
yang dilakukan oleh
salah satu atau lebih
anak perusahaan. Di
Belanda terdapat
Undang-undang yang
Dua persyaratan bagi
perjanjian
pengendalian adalah
sebagai berikut:
pertama, induk
perusahaan
mengutamakan
secara konsisten
kepentingan bisnis
keseluruhan
perusahaan grup.
Kedua, induk
perusahaan tidak
membahayakan
eksistensi yuridis
dari anak
perusahaan.
94
disebut Wet Op
Misbruik van
Rechtpersonen,
apabila suatu
perusahaan pailit
karena direksi tidak
bertindak secara
pantas, maka yang
bertanggung jawab
tidak hanya direksi
tetapi pihak-pihak lain
yang dalam
kenyataanya
menentukan dalam
mengambil keputusan
termasuk holding
company.
Derajat
pengendalian
induk
perusahaan
terhadap
anak
perusahaan
Derajat pengendalian
induk terhadap anak
perusahaan
dipengaruhi oleh
sejauh mana anak
perusahaan dapat
mendukung
pencapaian tujuan
kolektif perusahaan
grup, sehingga
ketidakmampuan
direksi anak
perusahaan untuk
menjalankan
pengurusan anak
perusahaan dapat
menjadi alasan bagi
induk perusahaan
untuk meningkatkan
derajat pengendalian
induk terhadap anak
perusahaan.
Dalam perusahaan
grup di Belanda
berlaku prinsip
sentralisasi dan
desentralisasi untuk
derajat pengendalian
induk perusahaan
terhadap anak
perusahaan.
Untuk perusahaan
grup kontraktual
sejauh mana
pengendalian induk
perusahaan diatur
dan disepakati dalam
perjanjian
pengendalian.
Sedangkan Untuk
perusahaan grup
faktual, derajat
pengendalian dapat
di lihat dalam skema
pertanggungjawaban
yang terdapat dalam
anggaran dasar dari
anak perusahaan.
Berdasarkan tabulasi perbandingan diatas, antara sistem
pertanggungjawaban perusahaan grup di Indonesia dan Belanda terdapat
beberapa kemiripan, seperti pada pengaturan sistem pertanggungjawaban pada
perusahaan grup. Baik Indonesia maupun Belanda masih menggunakan
pendekatan perseroan tunggal. Kemiripan lain pada pengecualian dari sistem
95
pertanggungjawaban yang berlaku, di Indonesia terdapat doktrin piercing the
corporate veil yang menyebabkan induk perusahaan tidak mendapatkan
perlindungan berupa limited liability apabila memenuhi ketentuan tertentu,
untuk di Belanda terdapat undang-undang yang disebut Wet Op Misbruik van
Rechtpersonen yang membuka kemungkinan induk perusahaan ikut
mempertanggungjawabkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh anak
perusahaan. Berbeda dengan sistem pertanggungjawaban perusahaan grup di
Jerman yang sudah diatur dalam konzernrecht. Jerman merupakan negara
yang pertama kali mengatur secara khusus mengenai perusahaan grup. Di
Jerman perusahaan grup dibedakan menjadi perusahaan grup kontraktual dan
perusahaan grup faktual. Kedua perusahaan grup tersebut mengatur tanggung
jawab induk perusahaan dalam perusahaan grup di dalam suatu perjanjian
pengendalian untuk perusahaan grup kontraktual dan diatur dalam anggaran
dasar anak perusahaan untuk perusahaan grup faktual. Dalam perjanjian
pengendalian dan anggaran dasar anak perusahaan diatur pula derajat
pengendalian dari induk perusahaan.
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Hubungan Induk Perusahaan dan Anak Perusahaan di Dalam Suatu
Perusahaan Grup
Di dalam suatu perusahaan grup terdapat satu induk perusahaan
dan satu atau beberapa anak perusahaan. Keterkaitan induk dan anak
perusahaan dalam konstruksi perusahaan grup dapat disebabkan oleh
beberapa hal antara lain kepemilikan induk perusahaan atas saham anak
96
perusahaan, rapat umum pemegang saham (RUPS), penempatan direksi
atau komisaris pada anak perusahaan, keterkaitan melalui perjanjian hak
bersuara, dan keterkaitan melalui kontrak. Suatu perusahaan grup juga
dapat terbentuk dari proses penggabungan, peleburan, pengambilalihan,
dan pemisahan perusahaan seperti yang diatur dalam Pasal 122 sampai
dengan Pasal 137 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007.
Keterkaitan tersebut menyebabkan induk perusahaan berperan
sebagai pimpinan sentral dalam perusahaan grup. Induk perusahaan dapat
melakukan pengawasan dan pengurusan terhadap anak perusahaan. Induk
perusahaan juga dapat melakukan pengendalian dengan memberikan
instruksi kepada anak perusahaan dalam melakukan kegiatan sehari-
harinya. Keterkaitan induk dan anak perusahaan tidaklah menghapuskan
status badan hukum induk perusahaan dan anak perusahaan sebagai subjek
hukum mandiri. Pengakuan yuridis terhadap induk dan anak perusahaan
yang berbadan hukum mandiri menjadikan perusahaan grup sebagai
bentuk jamak secara yuridis. Sebaliknya, pengendalian induk terhadap
anak perusahaan dan realitas bisnis perusahaan grup diarahkan untuk
mendukung kepentingan bisnis perusahaan grup sebagai kesatuan
ekonomi.117
Sehingga menyebabkan ketidakmandirian yuridis dari anak
prusahaan.
Tergabungnya anak perusahaan dalam perusahaan grup
menciptakan kontradiksi antara aspek yuridis dan realitas bisnis.118
Secara
yuridis anak perusahaan merupakan badan hukum mandiri sehingga induk
117
Ibid., h. 46. 118
Sulistiowati, “Doktrin-Doktrin Hukum Mengenai Tanggung Jawab Hukum dalam
Perusahaan Grup”, Jurnal Hukum Bisnis, Volumen 31, 2012, h. 8.
97
perusahaan sebagai pemegang saham anak perusahaan mendapatkan
perlindungan berupa tanggung jawab terbatas limited liability (diatur
dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007). Sedangkan
pengendalian induk perusahaan terhadap anak perusahaan mengakibatkan
ketidakmandirian anak perusahaan karena perusahaan grup dipandang
sebagai kesatuan ekonomi. Kontradiksi tersebut juga menimbulkan celah
hukum dalam perusahaan grup. Celah hukum ini dapat mendorong
munculnya sikap oportunistik induk perusahaan yang menyalahgunakan
konstruksi perusahaan grup. Sikap opportunistik dalam hal ini berarti
induk perusahaan memiliki kesempatan menghindari tanggung jawab yang
seharusnya ada pada induk perusahaan. Konstruksi dalam perusahaan grup
dapat pula mendorong munculnya moral hazard apabila limited liability
berlaku secara mutlak119
.
Ketegangan antara bentuk jamak secara yuridis dengan kesatuan
ekonomi tidaklah bersifat mutually exclusive120
, sehingga pengabaian
terhadap salah satu dari bentuk jamak secara yuridis dan kesatuan ekonomi
berimplikasi kepada ketidakmandirian yuridis anak perusahaan atau
hilangnya realitas kelembagaan perusahaan grup, sebagaimana penjabaran
sebagai berikut:121
a. Pengabaian terhadap bentuk jamak secara yuridis dalam konstruksi
perusahaan grup berimplikasi kepada ketidakmandirian yuridis anak
119
Ibid. 120
mutually exclusive dalam hal ini berarti perusahaan grup sebagai bentuk jamak secara
yuridis dan kesatuan ekonomi tidak dapat berganti-ganti dengan sendirinya (tidak otomatis),
karena apabila salah satu diabaikan akan menimbulkan dampak bagi perusahaan grup. 121
Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum Pada Perusahaan Grup Di Indonesia,
Erlangga, Jakarta, 2013, h. 122.
98
perusahaan karena kewajiban anak perusahaan untuk menjalankan
instruksi induk perusahaan. Ketidakmandirian yuridis anak perusahaan
merupakan implikasi dari fakta pengendalian induk perusahaan yang
mendominasi pengurusan anak perusahaan yang menyebabkan
ketidakmandirian ekonomi anak perusahaan. Hal ini disebabkan
orientasi kegiatan usaha anak perusahaan ditujukan untuk menjalankan
instruksi induk perusahaan, bukan untuk kepentingan anak perusahaan
yang bersangkutan sesuai dengan maksud dan tujuan badan hukum
perseroan anak perusahaan.
b. Sebaliknya, pengabaian terhadap perusahaan grup sebagai kesatuan
ekonomi berimplikasi kepada kemandirian yuridis anak perusahaan
sebagai subjek hukum mandiri yang berhak melakukan perbuatan
hukum sendiri. Pengurusan anak perusahaan semata-mata untuk
kepentingan ekonomi anak perusahaan sesuai maksud dan tujuan anak
perusahaan. Pengabaian ini menyebabkan hilangnya realitas
kelembagaan perusahaan grup, karena induk perusahaan sebagai
pimpinan sentral tidak lagi memiliki kewenangan untuk
mengandalikan anak perusahaan.
99
Bagan 1
Bagan Dualitas Perusahaan Grup sebagai Bentuk Jamak Secara
Yuridis dan Kesatuan Ekonomi122
Dalam bukunya, Munir Fuady menyatakan, perbedaan pandangan
dari sektor ekonomi dan sektor hukum ini tidak reasonable untuk
dipertahankan terus. Titik temu diantara keduanya tentu harus di cari,
karena hal tersebut merupakan kebutuhan manusia dalam berbisnis. Sektor
hukumlah yang banyak harus mengalah ke sektor ekonomi, mengingat
merupakan salah satu tugas hukum, yang secara prinsip, regulatoris
maupun aplikatif, menciptakan keadaan yang kondusif bagi lancarnya
perkembangan hidup manusia, termasuk perkembangannya di sektor
bisnis. Karena itu, tentang kewenangan induk perusahaan dalam suatu
perusahaan grup, dalam banyak hal sektor hukumlah yang harus
menyesuaikan diri dengan kenyataan dan perkembangan ekonomi123
.
122
Ibid. 123
Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, h. 135.
Perusahaan Grup
Aspek
Yuridis
Realitas
Bisnis Struktur
Grup
Tidak Mutually
Exclusive
Cucu
Anak
Induk
Anak
Cucu
Bentuk Jamak
Secara Yuridis
Kesatuan
Ekonomi
100
Jadi sektor hukum memang harus mengikuti laju perkembangan
sektor ekonomi. Sungguhpun ini tidak berarti bahwa sektor hukum harus
menari menuruti suling dan gendangan para ekonom. Sebab, sektor hukum
harus juga tetap berfungsi sebagai palang pintu penjaga nilai-nilai
keadilan, kesebandingan, kepastian dan prediktif, demokrasi, keteraturan,
ketertiban, perlindungan pihak lemah, dan sebagainya. Dengan demikian,
sektor ekonomipun harus bersedia berkorban demi menjaga kelestarian
nilai-nilai dipelihara oleh hukum tersebut124
.
Dalam perusahaan grup di Indonesia pengaruh induk perusahaan
(bisa disebut sebagai pemilik/owner dari anak perusahaan) masih sangat
besar. Dalam Pasal 94 ayat (2) UU PT dikatakan untuk pertama kali
pengangkatan anggota direksi dilakukan oleh pendiri dalam akta
pendirian. Pasal tersebut dikatakan hanya untuk pertama kali waktu akta
pendirian atau dapat dikatakan waktu pendirian perseroan, dan untuk
selanjutnya anggota direksi diangkat oleh RUPS. Tetapi yang masih sering
terjadi dalam perusahaan grup untuk pengangkatan direksi masih langsung
dipilih oleh pemilik perusahaan dan direktur tersebut ditempatkan
diperusahaan yang dianggap sesuai dengan keahliannya125
.
Dalam tesis yang disusun oleh Rita Dyah menyatakan bahwa,
apabila direktur dipilih langsung oleh pemilik perusahaan, secara tidak
langsung direktur hanya merupakan boneka dari pemilik perusahaan dalam
arti direktur dalam menjalankan perusahaan hanya menuruti keinginan dari
pemilik perusahaan tersebut. Jadi sebagai anak perusahaan yang berbadan
hukum Perseroan Terbatas dapat dikatakan kemandiriannya sudah hilang
karena kewenangan untuk membuat perjanjian dengan pihak ketiga
(kreditor) untuk mendapatkan kredit guna kepentingan perusahaan
124
Ibid. 125
Rita Dyah Widawati, Tanggung Jawab Induk Perusahaan Terhadap Perikatan Yang
Dilakukan Oleh Anak Perusahaan, Tesis, Universitas Sumatra Utara, Medan, 2009, h. 92.
101
dipengaruhi atau didikte oleh induk perusahaannya atau pemilik
perusahaan126
.
Walaupun masih terdapat kontradiksi dalam hubungan induk
perusahaan dan anak perusahaan, yaitu antar realitas bisnis dan kesatuan
ekonomi. Tetapi di dalam perusahaan grup dibutuhkan keadilan khususnya
untuk anak perusahaan sekaligus menghindari terjadinya penyalahgunaan
kewenangan yang dilakukan oleh induk perusahaan. Dalam UU PT telah
terdapat pengaturan mengenai tanggung jawab terbatas (limited liability)
dan doktrin piercing the corporate veil yang seharusnya dapat diterapkan
pada induk perusahaan apabila memenuhi salah satu dari 4 ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 3 ayat (2) UU PT. Diberlakukannya dokrin tersebut
bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada kreditor dari anak
perusahaan.
Dengan diterapkannya doktrin piercing the corporate veil maka
induk perusahaan tidak mendapatkan perlindungan berupa limited liability
dan pada induk perusahaan dibebankan tanggung jawab pribadi. Oleh
karena itu piercing the corporate veil dapat dijadikan dasar untuk ikut
ditariknya induk perusahaan terhadap kerugian yang dialami anak
perusahaan, tetapi hanya bisa diterapkan apabila memenuhi salah satu dari
4 ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 40
Tahun 2007. Dan jika induk perusahaan tidak memenuhi salah satu dari 4
ketentuan tersebut induk perusahaan tetap mendapat perlindungan berupa
limited liability. Pada dasarnya limited liability merupakan aturan
mengenai distribusi resiko dan biaya yang ditanggung oleh perseroan,
126
Ibid.
102
yang di desain dan diciptakan untuk perseroan tunggal. Sehingga menurut
Sulistiowati, limited liability seharusnya tidak ditujukan untuk perusahaan
grup.127
Berdasarkan uraian di atas, menurut penulis dalam kontruksi
perusahaan grup sebaiknya bentuk jamak secara yuridis diterobos atau
dikesampingkan, sehingga induk perusahaan dan anak perusahaan dalam
suatu perusahaan grup dipandang sebagai kesatuan ekonomi bukan sebagai
badan hukum mandiri atau bentuk jamak secara yuridis. Karena seperti
yang dikemukakan oleh Munir Fuady bahwa dalam hal ini hukum harus
menyesuaikan diri dengan perkembangan ekonomi. Dengan diterobosnya
kedudukan mandiri dari induk perusahaan dan anak perusahaan maka
induk perusahaan tidak mendapatkan perlindungan berupa limited liability
atas kepemilikan saham dari anak perusahaan. Hal ini sesuai dengan
pendapat dari Sulistiowati bahwa sebenarnya limited liability di tujukan
dalam konstruksi perusahaan tunggal bukan di tujukan untuk perusahaan
grup.
Diterobosnya aspek yuridis mengakibatkan ketidakmandirian
yuridis anak perusahaan. Memang pada dasarnya dalam perusahaan grup
kewajiban anak perusahaan adalah menjalankan instruksi induk
perusahaan dan orientasi kegiatan usaha anak perusahaan dalam
perusahaan grup ditujukan untuk menjalankan instruksi induk perusahaan,
bukan untuk kepentingan anak perusahaan yang bersangkutan sesuai
dengan maksud dan tujuan badan hukum perseroan anak perusahaan.
127
Sulistiowati, “Limited Liability Dalam Limited Liability Pada Konstruksi Perusahaan
Kelompok Piramida”, Mimbar Hukum, Volumen 23, 2011, h. 254.
103
Karena dipandang sebagai kesatuan ekonomi, suatu perusahaan
grup seharusnya membentuk kontrak/perjanjian diantara induk dan anak
perusahaan dapat berupa perjanjian pengendalian maupun dengan
mengaturnya pada anggaran dasar dari anak perusahaan sebagai landasan
yuridis hubungan keduanya. Dapat di buat kontrak khusus oleh induk
perusahaan dan anak perusahaan yang berisikan hak dan kewajiban dari
induk dan anak perusahaan yang tergabung dalam perusahaan grup, diatur
pula mengenai pertanggungjawaban dari induk perusahaan. Atau membuat
perjanjian yang bersifat personal, misalnya apabila anak perusahaan
membuat perjanjian kredit dengan pihak ketiga, induk perusahaan dapat
bertindak sebagai corporate guarantee atas hutang anak perusahaan
tersebut. Perjanjian diantara induk dan anak perusahaan mengikat kedua
belah pihak. Sehingga kembali lagi pada pendapat dari Munir Fuady
bahwa hukum harus menyesuaikan diri dengan perkembangan ekonomi
tetapi dengan di susunnya kontrak khusus dalam suatu perusahaan grup
tetap mencerminkan nilai-nilai keadilan dan kepastian yang dipelihara oleh
hukum.
Perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomi ditunjukkan melalui
penyajian laporan keuangan konsolidasi perusahaan grup, ketika induk
perusahaan mengonsolidasikan laporan keuangan anak-anak perusahaan
menjadi laporan keuangan konsolidasi induk dan anak perusahaan.128
Dalam Paragraf 4 PSAK No. 4 menyatakan bahwa Laporan keuangan
konsolidasian adalah laporan keuangan suatu kelompok usaha yang
128
Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum Pada Perusahaan Grup Di Indonesia,
Erlangga, Jakarta, 2013, h. 44.
104
disajikan sebagai suatu entitas ekonomi tunggal. Sedangkan dalam
paragraf 3 PSAK No. 15 menyatakan, Laporan keuangan konsolidasian
adalah laporan keuangan suatu kelompok usaha yang di dalamnya aset,
liabilitas, ekuitas, penghasilan, beban, dan arus kas entitas induk dan
entitas anak disajikan sebagai suatu entitas ekonomi tunggal.
Tujuan dari diterobosnya kedudukan mandiri anak perusahaan
sehingga perusahaan grup dipandang sebagai kesatuan ekonomi adalah
untuk melindungi anak perusahaan khususnya kreditor, pemegang saham
minoritas, dan karyawan anak perusahaan dari penyalahgunaan yang
dilakukan oleh induk perusahaan. Karena pada dasarnya limited liability
melindungi induk perusahaan dari tanggung jawabnya sebagai pimpinan
sentral dalam perusahaan grup. Selain itu bertujuan agar tidak
menimbulkan dominasi tanpa tanggung jawab dari induk perusahaan.
2. Sistem Pertanggungjawaban yang Sebaiknya Diterapkan Untuk
Perusahaan Grup Di Indonesia
Pada dasarnya hukum di Indonesia berkiblat pada hukum negara
Belanda. Karena Belanda merupakan salah satu negara yang pernah
menjajah Indonesia. Pada awal kemerdakaan, Indonesia belum memiliki
peraturan perundang-undangan yang memadai, agar tidak terjadi
kekosongan hukum maka pada saat itu hukum Belanda diterapkan di
Indonesia. Salah satunya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata). Pada saat ini baik di Indonesia maupun di Belanda sama-
sama belum memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur
105
secara khusus mengenai tanggung jawab di dalam perusahaan grup.
Terdapat persamaan antara Indonesia dan Belanda, antara lain :
a. Baik Indonesia maupun Belanda belum terdapat pengaturan yang
secara khusus mengatur sistem pertanggungjawaban di dalam
perusahaan grup sehingga masih menggunakan pendekatan perseroan
tunggal.
b. Baik di Indonesia maupun Belanda masih terdapat dualitas bentuk
perusahaan grup antara bentuk jamak secara yuridis dan kesatuan
ekonomi.
c. Di Indonesia dan Belanda sama-sama terdapat doktrin maupun teori-
teori hukum yang dapat membuat induk perusahaan ikut
mempertanggungjawabkan perbuatan hukum yang dilakukan anak
perusahaan
d. Di Belanda dikenal prinsip sentralisasi dan desentralisasi yang
menunjukkan sejauh mana hak, kewajiban, dan kewenangan
perusahaan induk terhadap anak perusaahaan. Di Indonesia derajat
pengendalian induk terhadap anak perusahaan dipengaruhi oleh sejauh
mana anak perusahaan dapat mendukung pencapaian tujuan kolektif
perusahaan grup, sehingga ketidakmampuan direksi anak perusahaan
untuk menjalankan pengurusan anak perusahaan dapat menjadi alasan
bagi induk perusahaan untuk meningkatkan derajat pengendalian induk
terhadap anak perusahaan.
Secara garis besar sistem hukum Indonesia dan sistem hukum Belanda
mengenai pengaturan megenai tanggung jawab di dalam perusahaan grup
106
sebagian besar sama atau terdapat kemiripan, hanya terdapat istilah yang
berbeda yang digunakan di Indonesia dan di Belanda.
Dengan masih digunakannya pendekatan perseroan tunggal untuk
perusahaan grup di Indonesia, maka induk perusahaan mendapatkan
perlindungan berupa Limited liability sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UU
No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sedangkan Limited
liability yang diterapkan dalam konstruksi perusahaan grup di Indonesia
dirasa kurang tepat karena tidak memenuhi unsur keadilan bagi anak
perusahaan khususnya bagi pihak ketiga dari anak perusahaan, pemegang
saham mayoritas, maupun karyawan dari anak perusahaan.
Diterapkannya limited liability untuk induk perusahaan yang
merupakan pemegang saham mayoritas dari anak perusahaan berarti
menyamakan antara induk perusahaan dengan pemegang saham
perseorangan pada perseroan tunggal. Kedudukan induk perusahaan
sebagai pemegang saham dan pimpinan sentral perusahaan grup
menunjukkan bahwa induk perusahaan memiliki peran ekonomi yang
berbeda dengan pemegang saham perseorangan pada perseroan terbatas.129
Melalui Rapat Umum Pemegang Saham, holding company, sebagai
pemegang saham dapat130
:
a. menentukan anggota Direksi perseroan;
b. menentukan Komisaris perusahaan;
129
Sulistiowati, “Doktrin-Doktrin Hukum Mengenai Tanggung Jawab Hukum dalam
Perusahaan Grup”, Jurnal Hukum Bisnis, Volumen 31, 2012, h. 10. 130
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000, h. 187.
107
c. melakukan pengawasan terhadap jalannya perseroan dan juga hal-hal
lain yang diwajibkan oleh Undang-Undang.
Berdasarkan kewenangan yang berbeda dari induk perusahaan
apabila dibandingkan dengan pemegang saham perseorangan pada
perseroan tunggal, menurut penulis limited liability tidak tepat apabila
diterapkan untuk induk perusahaan. Hal tersebut di dukung oleh pendapat
dari Sulistiowati yang menyatakan, limited liability seharusnya tidak
ditujukan untuk perusahaan grup. Pada dasarnya induk perusahaan sangat
di untungkan dengan adanya limited liability.131
Blumberg juga
menyatakan sebuah silogisme, “limited liability protected shareholders, a
parent corporation was a shareholder of the subsidiary, ergo, limited
liability protected parent corporation”.132
Pada perseroan tunggal limited liability merupakan perlindungan
yang diberikan untuk pemegang saham sehingga apabila suatu perseroan
mengalami kerugian maka pemegang saham hanya bertanggung jawab
yang besarnya tidak melebihi dari jumlah saham yang dimilikinya pada
perseroan. Diterapkannya limited liability pada perusahaan grup sama saja
memberikan perlindungan bagi induk perusahaan. Apabila anak
perusahaan mengalami kerugian maka induk perusahaan hanya
bertanggung jawab sebesar saham yang dimiliki pada anak perusahaan.
Penerapan limited liability pada induk perusahaan secara mutlak akan
menimbulkan moral hazard ataupun penyalahgunaan yang dilakukan oleh
131
Phillip I.Blumberg, “Limited Liability and Corporate Group”, Unconn Library Faculty
Article and Paper, 1986, h. 607. 132
Sulistiowati, “Limited Liability Dalam Limited Liability Pada Konstruksi Perusahaan
Kelompok Piramida”, Mimbar Hukum, Volumen 23, 2011, h. 253.
108
induk perusahaan dan pada akhirnya merugikan anak perusahaan ataupun
membahayakan eksistensi dari anak perusahaan.
Sebenarnya dalam suatu perusahaan grup yang perlu dilindungi
adalah anak perusahaan dari sikap induk perusahaan yang kemungkinan
besar akan memanfaatkan ataupun menyalahgunakan adanya limited
liability. Posisi dari anak perusahaan yang berada di bawah pengawasan
dan di bawah kendali dari induk perusahaan membahayakan eksistensi dari
anak perusahaan dan anak rentan mengalami kerugian. Untuk mencapai
tujuan strategis dari perusahaan grup terkadang induk perusahaan
melakukan hal-hal yang membahayakan eksistensi dari anak perusahaan
dalam memberikan instruksi yang harus dilaksanakan oleh anak
perusahaan. Terkadang induk perusahaan telah mengetahui bahwa
instruksi yang diberikan akan memberikan keuntungan bagi perusahaan
grup tetapi membahayakan anak perusahaan. Di kemudian hari apabila
anak perusahaan mengalami kerugian maka induk perusahaan hanya akan
bertanggungjawab yang besarnya tidak melebihi dari jumlah nilai saham
yang dimiliki pada anak perusahaan.
Penyalahgunaan lain yang dilakukan induk perusahaan adalah
dengan memindahkan aset satu anak perusahaan yang sudah hampir
bangkrut kepada anak perusahaan lain tanpa sepengetahuan dari kreditor
anak perusahaan. Sehingga apabila anak perusahaan tersebut bangkrut,
asetnya sudah berpindah ke perusahaan lain. Dalam hal ini yang dirugikan
adalah kreditor, pemegang saham minoritas maupun karyawan dari anak
perusahaan yang mengalami kebangkrutan.
109
Karena diperlukannya perlindungan untuk anak perusahaan, maka
menurut penulis dalam perusahaan grup bentuk induk perusahaan dan anak
perusahaan sebagai saparate legal entity atau bentuk jamak secara yuridis
harus dikesampingkan. Seperti yang telah diuraikan pada bagian
sebelumnya induk perusahaan dan anak perusahaan dalam suatu
perusahaan grup sebaiknya dipandang sebagai suatu kesatuan ekonomi.
Dengan dikesampingkannya bentuk jamak secara yuridis maka
dapat dikatakan induk perusahaan tidak mendapat perlindungan berupa
limited liability. Sehingga harus ditentukan bentuk tanggung jawab yang
lebih tepat diterapkan untuk induk perusahaan. Menurut Sulistiowati,
ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata secara mutatis mutandis dapat
diterapkan pada relasi induk dan anak perushaan dalam perusahaan grup.
Induk perusahaan sebagai pimpinan sentral perusahaan grup, memiliki
kewenangan untuk mengendalikan dan mengoordinasikan kegiatan usaha
anak-anak perusahaan bagi terpenuhinya tujuan kolektif perusahaan grup
sebagai kesatuan ekonomi. Dalam konstruksi perusahaan grup ini,
pengurus anak-anak perusahaan lebih ditujukan untuk mendukung
kepentingan ekonomi induk atau perusahaan grup yang berimplikasi
kepada ketidakmandirian secara ekonomi anak perusahaan.
ketidakmandirian secara ekonomi anak perusahaan ini seharusnya menjadi
alasan bagi lahirnya tanggung jawab hukum induk perusahaan terhadap
ketidakmampuan anak perusahaan untuk menyelesaikan tanggung jawab
hukum kepada pihak ketiga133
.
133
Sulistiowati, “Doktrin-Doktrin Hukum Mengenai Tanggung Jawab Hukum dalam
Perusahaan Grup”, Jurnal Hukum Bisnis, Volumen 31, 2012, h. 24.
110
Sistem pertanggungjawaban yang terdapat dalam Pasal 1367
KUHPerdata berdasarkan pada the liability of a principle for the tort of his
agent. Doktrin ini dibakukan dalam terminus respondeat superior, yang
berarti bahwa yang lebih tinggi atau yang lebih superior bertanggung
jawab atas perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan oleh
bawahannya (a master liable for the wrong of aservant).134
Terdapat pula
teori “keuntungan” (profit theori, profit of benefit theory), yang
mengajarkan seseorang yang memperoleh keuntungan dari perbuatan
pihak ketiga, harus berani menanggung kerugian yang timbul karena
perbuatan tersebut.135
Dalam hal ini dapat di posisikan seseorang yang
memperoleh keuntungan adalah induk perusahaan dan pihak ketiga adalah
anak perusahaan. karena dalam konstruksi perusahaan grup induk
perusahaan juga memperoleh keuntungan dari perbuatan yang dilakukan
oleh anak perusahaan yang berada di bawah pengawasannya.
Berdasarkan uraian dan beberapa pendapat ahli diatas, menurut
penulis dalam konstruksi perusahaan grup yang sebaiknya diterapkan asas
praduga selalu bertanggung jawab (presumtion of liability) untuk induk
perusahaan. sehingga apabila anak perusahaan mengalami kerugian, induk
perusahaan dianggap selalu bertanggung jawab. Karena itu dapat
diterapkan Pasal 1367 KUHPerdata pada induk perusahaan. Dalam
perusahaan grup anak perusahaan berada di bawah pengawasan dari induk
perusahaan. Sehingga apabila anak perusahaan mengalami kerugian maka
induk perusahaan harus ikut bertanggung jawab, dalam hal anak
134
M.Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 128. 135
Ibid., h. 130.
111
perusahaan melaksanakan instruksi dari induk perusahaan. Pasal 1367
KUHPerdata dan praduga selalu bertanggungjawab sama-sama terdapat
ketentuan bahwa pihak yang bertanggungjawab masih memiliki
kesempatan untuk membuktikan bahwa pertanggungjawaban tersebut
tidak seharusnya dilimpahkan kepadanya.
Hubungan antara induk perusahaan dan anak perusahaan sebagai
kesatuan ekonomi pada dasarnya dapat diatur dalam perjanjian
pengendalian antara induk perusahaan dan anak perusahaan ataupun dapat
diatur dalam anggaran dasar anak perusahaan. Di dalam perjanjian tersebut
disepakati klausula-klausula yang tentunya menguntungkan baik anak
maupun induk perusahaan. Sehingga menjadi jelas apa yang menjadi
kewenangan induk perusahaan dan bagaimana pertanggungjawabannya
sebagai pimpinan sentral. Hubungan antara induk perusahaan dan anak
perusahaan yang diatur dalam kontrak khusus, perjanjian pengendalian
atau dalam anggaran dasar anak perusahaan, menjadikan hubungan antara
induk dan anak perusahaan sebagai kesatuan ekonomi memiliki landasan
yuridis berupa perjanjian yang mengikat kedua belah pihak. Karena
memang pada dasarnya suatu perusahaan harus didirikan berdasarkan
perjanjian termasuk perusahaan grup. Sehingga diharapkan dapat
mengurangi adanya dominasi tanpa tanggung jawab oleh induk perusahaan
dan tentunya melindungi pihak ketiga, pemegang saham mayoritas,
ataupun karyawan dari anak perusahaan.
Dalam hal ini sebaiknya Indonesia dapat menjadikan pengaturan
mengenai perusahaan grup di Jerman sebagai batu pijakan. Jerman
112
merupakan negara yang pertama kali mengatur mengenai perusahaan grup,
khususnya mengatur mengenai hubungan antara induk dan anak
perusahaan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus
hubungan antara induk dan anak perusahaan dalam perusahaan grup di
Jerman adalah konzernrecht. Kerangka pengaturan perusahaan grup di
Jerman dibedakan atas perusahaan grup kontraktual dan perusahaan grup
faktual. Pada perusahaan grup kontraktual, hubungan antara induk dan
anak perusahaan diatur dalam suatu perjanjian pengendalian. Sedangkan
dalam perusahaan grup faktual, hubungan antara induk dan anak
perusahaan di atur dalam anggaran dasar dari anak perusahaan dan
mengikuti skema pertanggungjawaban yang terdapat dalam anggaran
dasar tersebut.
Konsekuensi dari perusahaan grup kontraktual dan faktual di
Jerman adalah induk perusahaan harus bertanggung jawab atas pinjaman
dari anak perusahaan. Termasuk ketika anak perusahaan harus mengalami
kerugian, sepanjang pengendalian induk terhadap anak perusahaan
memenuhi dua persyaratan. Dua persyaratan bagi perjanjian pengendalian
adalah sebagai berikut: pertama, induk perusahaan mengutamakan secara
konsisten kepentingan bisnis keseluruhan perusahaan grup. Kedua, induk
perusahaan tidak membahayakan eksistensi yuridis dari anak
perusahaan.136
Sehingga dengan adanya pengaturan tersebut anak
perusahaan dalam perusahaan grup mendapat perlindungan dalam
menjalankan instruksi dari perusahaan grup. Selain itu dengan adanya
136
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., h. 48.
113
pengaturan tersebut menghindarkan dari dominasi tanpa tanggung jawab
oleh induk perusahaan. Akan sangat lebih baik juga apabila di Indonesia
dapat menyusun peraturan perundang-undangan yang secara khusus
mengatur mengenai perusahaan grup seperti pengaturan perusahaan grup
di Jerman.
Sehingga sistem pertanggungjawaban seperti apa yang sebaiknya
diterapkan di Indonesia ?. Indonesia dapat menjadikan sistem
pertanggungjawaban perusahaan grup di Jerman sebagai batu pijakan bagi
pengaturan mengenai sistem pertanggungjawaban perusahaan grup di
Indonesia. Salah satunya dengan mengatur hubungan antara induk dan
anak perusahaan di dalam suatu perjanjian pengendalian atau dapat pula
diatur dalam anggaran dasar anak perusahaan. Dengan adanya suatu
perjanjian maka dapat disepakati klausula-klausula yang membuat
hubungan antara induk dan anak perusahaan memiliki landasan yuridis
sehingga tanggung jawab induk perusahaan terhadap anak perusahaan
menjadi lebih jelas. Menurut penulis, dikarenakan saat ini belum terdapat
pengaturan yang secara khusus mengenai tanggung jawab di dalam
perusahaan grup dan masih banyak perusahaan grup yang belum memiliki
landasan yuriridis yang jelas, maka untuk perusahaan grup di Indonesia
sebaiknya digunakan pendekatan kesatuan ekonomi dengan induk
perusahaan sebagai pimpinan sentral. Untuk itu bentuk jamak secara
yuridis perusahaan grup diterobos atau dikesampingkan. Sedangkan untuk
tanggung jawab dalam perusahaan grup khususnya tanggung jawab induk
perusahaan terhadap kerugian yang dialami anak perusahaan dapat
114
diterapkan asas praduga selalu bertanggung jawab (presumtion of liability)
pada induk perusahaan dengan diterapkan Pasal 1367 KUHPerdata. Dalam
suatu perusahaan grup apabila anak perusahaan mengalami kerugian atau
tidak mampu memenuhi kewajiban terhadap pihak ketiga maka induk
perusahaan harus turut bertanggung jawab dan dianggap selalu
bertanggung jawab karena dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari anak
perusahaan melaksanakan instruksi dari induk perusahaan dan berada di
bawah pengendalian dari induk perusahaan. Dapat dikatakan pula bahwa
anak perusahaan berada di bawah tanggungan dari induk perusahaan.
3. Pertanggungjawaban Induk Perusahaan Terhadap Anak Perusahaan
yang Tidak Mampu Melaksanakan Kewajiban Terhadap Pihak
Ketiga Akibat Melaksanakan Instruksi Dari Induk Perusahaan
Induk perusahaan merupakan pemegang saham mayoritas dari
anak perusahaan sekaligus sebagai pimpinan sentral di dalam konstruksi
perusahaan grup. Sebagai pemegang saham mayoritas dari anak
perusahaan, induk perusahaan mendapatkan perlindungan berupa limited
liability atau tanggung jawab terbatas. Apabila anak perusahaan
mengalami kerugian ataupun tidak mampu memenuhi kewajiban terhadap
pihak ketiga (kreditor) maka induk perusahaan bertanggung jawab tidak
melebihi jumlah saham yang dimilikinya pada anak perusahaan.
Sedangkan sebagai pimpinan sentral dalam perusahaan grup induk
perusahaan dapat mengatur, mengawasi, ataupun melakukan pengendalian
terhadap anak perusahaan dengan memberikan instruksi kepada anak
115
perusahaan dalam menjalankan kegiatan sehari-harinya, hal tersebut
bertujuan untuk mencapai tujuan kolektif perusahaan grup.
Karena masih digunakan pendekatan perseroan tunggal untuk
sistem pertanggungjawaban perusahaan grup di Indonesia, maka induk
perusahaan mendapatkan perlindungan berupa tanggung jawab terbatas
sebagai pemegang saham dari anak perusahan. Tanggung jawab terbatas
atau Limited liability yang diberikan pada induk perusahaan dalam
konstruksi perusahaan grup terkadang disalahgunakan oleh induk
perusahaan.
Sebagai pimpinan sentral yang sekaligus mendapat perlindungan
berupa limited liability, induk perusahaan dalam memberikan instruksi
kepada anak perusahaan, dengan sengaja menyalahgunakan limited
liability untuk mencapai tujuan strategis dari perusahaan grup tetapi di sisi
lain merugikan anak perusahaan. Karena dengan mendapatkan limited
liability induk perusahaan dapat menghindari tanggung jawab yang
seharusnya dibebabkan kepadanya. Sehingga pada pembahasan
sebelumnya bentuk jamak secara yuridis dari perusahaan grup diterobos
atau dikesampingkan dan perusahaan grup dipandang sebagai kesatuan
ekonomi, oleh karena itu induk perusahaan tidak mendapatkan
perlindungan berupa limited liability..
Peran induk perusahaan sebagai pimpinan sentral yang
mengendalikan dan mengkoordinasikan anak-anak perusahaan dalam
kesatuan ekonomi dapat menjadi alasan keberadaan bagi hapusnya limited
liability induk perusahaan terhadap ketidakmampuan anak perusahaan
116
menyelesaikan semua tanggung jawab hukum anak perusahaan atas
kerugian pihak ketiga, apabila terbukti perbuatan hukum anak perusahaan
semata-mata menjalankan instruksi induk perusahaan137
.
Limited liability dirasa kurang tepat dan kurang adil apabila
diterapkan dalam konstruksi perusahaan grup karena cenderung
menguntungkan induk perusahaan. Walaupun tidak semua pengendalian
dari induk perusahaan dapat menimbulkan dampak yang kurang baik bagi
anak perusahaan. Namun Sulistiowati juga menyatakan bahwa peran induk
perusahaan sebagai pimpinan sentral yang mengendalikan dan
mengkoordinasikan anak perusahaan dapat menjadi alasan hapusnya
limited liability.138
Hal-hal yang menjadi pertimbangan perusahaan dipandang sebagai
kesatuan ekonomi dan diterobosnya bentuk jamak secara yuridis adalah
eksistensi dari anak perusahaan serta perlunya perlindungan untuk pihak
ketiga, pemegang saham minoritas, dan karyawan dari anak perusahaan.
Selain itu untuk menghindari adanya dominasi tanpa tanggung jawab oleh
induk perusahaan dalam konstruksi perusahaan grup. Apabila perusahaan
grup dipandang sebagai kesatuan ekonomi maka dapat dikatakan induk
perusahaan tidak mendapat perlindungan berupa limited liability dan
orientasi kegiatan anak perusahaan khusus untuk mencapai tujuan kolektif
perusahaan grup. Namun hubungan induk dan anak perusahaan dalam
perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomi sebaiknya diatur dalam suatu
137
Sulistiowati, “Doktrin-Doktrin Hukum Mengenai Tanggung Jawab Hukum dalam
Perusahaan Grup”, Jurnal Hukum Bisnis, Volumen 31, 2012, h. 15. 138
Ibid.
117
perjanjian pengendalian antara induk perusahaan dan anak perushaaan
ataupun diatur dalam anggaran dasar anak perusahaan.
Menurut Munir Fuady, secara lebih faktual dapat dikatakan bahwa
sungguhpun dalam banyak hal hukum harus mentolelir ikut campurnya
induk perusahaan ke dalam manajemen anak perusahaan, tetapi sampai
batas-batas tertentu, prinsip kemandirian anak perusahaan pun harus tetap
dipertahankan. Batas-batas tersebut adalah sejauh nilai-nilai yang harus
dipelihara oleh hukum tersebut tidak dilanggar. Misalnya, jika dengan
campur tangan induk perusahaan tersebut, akan ada pihak-pihak yang
dirugikan, katakanlah kreditur dari anak perusahaan, maka prinsip
kemandirian anak perusahaan sebagai badan hukum semestinya
dipertahankan. Artinya, campur tangan induk perusahaan tidak dapat
dibenarkan oleh hukum139
.
Menurut Rita Dyah, dalam perusahaan grup, campur tangan induk
perusahaan terhadap kegiatan anak perusahaan akan terkait dengan
kepentingan berbagai pihak seperti misalnya pemegang saham minoritas,
karyawan, dan pihak ketiga dari anak perusahaan. Dengan demikian
merupakan salah satu tapal batas bagi induk perusahaan dalam
mencampuri urusan bisnis anak perusahaan adalah jika dengan
perbuatannya itu tidak merugikan pihak-pihak seperti pemegang saham
minoritas, karyawan, pihak ketiga anak perusahaan dan lain-lain.140
Berdasarkan dua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa
tindakan induk perusahaan sebagai pimpinan sentral (mengatur dan
mengendalikan kegiatan anak perusahaan) dibenarkan apabila dalam
menjalankan kedudukannya sebagai pimpinan sentral induk perusahaan
tidak merugikan pihak-pihak lain seperti karyawan, pemegang saham
minoritas, dan pihak ketiga atau kreditor dari anak perusahaan. Apabila
perusahaan grup dipandang sebagai kesatuan ekonomi dan anak
perusahaan tidak mampu melaksanakan kewajiban terhadap pihak ketiga
akibat melaksanakan instruksi dari induk perusahaan lalu
139
Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, h. 135. 140
Rita Dyah Widawati, Tanggung Jawab Induk Perusahaan Terhadap Perikatan Yang
Dilakukan Oleh Anak Perusahaan, Tesis, Universitas Sumatra Utara, Medan, 2009, h. 89.
118
pertanggungjawaban seperti apa yang tepat diterapkan untuk induk
perusahaan?.
Konsep pertanggungjawaban terkait tetapi tidak indentik dengan
kewajiban. Tanggung jawab merupakan konsekuensi yang muncul
berkaitan dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh seseorang. Induk
perusahaan memberikan instruksi kepada anak perusahaan merupakan
suatu perbuatan. Apabila anak perusahaan menjadi tidak mampu
memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga dikarenakan asetnya tidak
mencukupi atau hal-hal lain dan tidak mampunya anak perusahaan
merupakan akibat dari perbuatan hukum induk perusahaan yang
memberikan instruksi kepada anak perusahaan. Walaupun tidak secara
langsung dilakukan oleh induk perusahaan namun sebagai pimpinan
sentral, anak perusahaan berada di bawah kendali dari induk perusahaan.
Seperti yang telah penulis uraikan pada bagian sebelumnya,
hubungan induk dan anak perusahaan sebaiknya diatur dalam suatu
perjanjian pengendalian ataupun anggaran dasar dari anak perusahaan
(menggunakan pengaturan di Jerman sebagai batu pijakan). Dengan diatur
dalam perjanjian ataupun anggaran dasar, dapat disepakati klausula-
klausula yang menyangkut mengenai tanggung jawab induk perusahaan
terhadap anak perusahaan.
Dapat pula disepakati tanggung jawab kontraktual yang bersifat
pelengkap, seperti misalnya atas permintaan kreditor, dalam suatu
perjanjian kredit induk perusahaan dapat menyetujui untuk bertindak
sebagai penjamin (borg) atau mengikatkan diri ikut bertanggung jawab.
119
Hal ini terjadi dalam aset-aset induk perusahaan ikut menjadi collateral
terhadap hutang-hutang yang di buat oleh anak perusahaan. Dalam kontrak
tersebut induk perusahaan bertindak sebagai corporate guarantee (jaminan
perusahaan)141
.
Namun apabila tidak terdapat perjanjian yang mengatur secara
jelas hubungan induk dan anak perusahhan serta belum terdapat corporate
guarantee dari induk perusahaan, maka dapat diterapkan asas praduga
selalu bertanggung jawab (presumtion of liability) pada induk perusahaan.
Praduga selau bertanggung jawab adalah prinsip praduga selalu
bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Dasar dari teori pembalikan beban pembuktian adalah seseorang dianggap
bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya.
Dengan kata lain dalam suatu perusahaan grup apabila anak perusahaan
tidak mampu melaksanakan instruksi kepada pihak ketiga akibat
melaksanakan instruksi dari induk perusahaan maka induk perusahaan
harus dianggap selalu bertanggung jawab. Selain itu terdapat Pasal 1367
KUHPerdata menyatakan bahwa seseorang tidak hanya bertanggung
jawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan
juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya. Dan tanggung jawab tersebut berakhir apabila seseorang
tersebut membuktikan bahwa ia tidak dapat mencegah perbuatan atas
mana mereka seharusnya bertanggung jawab.
141
Ibid., h. 89.
120
Dalam konstruksi perusahaan grup induk perusahaan merupakan
pimpinan sentral. Sebagai pimpinan sentral, induk perusahaan berhak
melakukan pengawasan ataupun memberikan instruksi kepada anak
perusahaan. Dengan kata lain, bahwa anak perusahaan berada dibawah
pengawasan dan dikendalikan oleh induk perusahaan dan berada dibawah
tanggungan dari induk perusahaan karena melaksanakan instruksi dari
induk perusahaan. Sehingga dalam hal anak perusahaan yang tidak mampu
memenuhi kewajibannya terhadap pihak ketiga akibat melaksanakan
instruksi dari induk perusahaan maka induk perusahaan dapat ikut
dimintakan pertanggungjawabannya.
Induk perusahaan tidak secara langsung menyebabkan anak
perusahaan tidak mampu melaksanakan kewajibannya terhadap pihak
ketiga, namun hal tersebut terjadi karena anak perusahaan melaksanakan
instruksi dari induk perusahaan yang merupakan pimpinan sentral. Selain
itu dikenal teori kantong tebal (deep pocket theory), artinya yang harus
bertanggung jawab adalah yang paling mungkin membayar, yaitu pihak
yang uangnya lebih banyak. Teori kantong tebal mengajarkan bahwa suatu
pihak dalam hal-hal tertentu dapat dimintakan tanggungjawabnya atas
perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.142
Sehingga berdasarkan deep
pocket theory, induk perusahaan (sebagai pihak yang paling mungkin
membayar) ikut bertanggungjawab atas tidak mampunya anak perusahaan
melaksanakan kewajiban terhadap pihak ketiga sebagai akibat dari
hubungan induk perusahaan dan anak perusahaan sebagai kesatuan
142
Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, h. 122.
121
ekonomi. Dapat juga diterapkan teori “keuntungan” (profit theory, profit
of benefit theory), yang mengajarkan seseorang yang memperoleh
keuntungan dari perbuatan pihak ketiga, harus berani menanggung
kerugian yang timbul karena perbuatan tersebut.143
Dalam hal ini dapat di
posisikan seseorang yang memperoleh keuntungan adalah induk
perusahaan dan pihak ketiga adalah anak perusahaan. karena dalam
konstruksi perusahaan grup induk perusahaan juga memperoleh
keuntungan dari perbuatan yang dilakukan oleh anak perusahaan yang
berada di bawah pengawasannya
Sehingga dalam membuat suatu perjanjian kredit anak perusahaan
dengan kreditor dapat menyertakan induk perusahaan sebagai penjamin
(corporate guarantee). Namun apabila anak perusahaan tidak mampu
melaksanakan kewajiban terhadap pihak ketiga (kreditor) akibat
melaksanakan instruksi dari induk perusahaan dan belum terdapat
penjaminan dari induk perusahaan (corporate guarantee) dan belum
terdapat landasan yuridis yang mengatur hubungan antara induk dan anak
perusahaan, maka dapat diterapkan asas praduga selalu bertanggung jawab
(presumtion of liability). Tanggung jawab induk perusahaan terhadap anak
perusahaan juga dapat di dasarkan pada Pasal 1367 KUHPerdata karena
anak perusahaan dapat dikatakan berada di bawah tanggungan dari induk
perusahaan. Selain itu dikenal pula teori kantong tebal (deep pocket
theory) dan teori keuntungan (profit theory). Sehingga induk perusahaan
harus ikut bertanggung jawab atas tidak mampunya anak perusahaan
143
Ibid., h. 130.
122
melaksanakan kewajiban terhadap pihak ketiga akibat melaksanakan
instruksi dari induk perusahaan. Dan dalam konstruksi perusahaan grup
dapat dikatakan bahwa induk perusahaan merupakan pihak yang paling
mungkin membayar dan mendapatkan keuntungan dari hal tersebut.