BAB II hpp

18
5 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Tinjauan Pustaka Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menyebutkan bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) pada tahun 2007 sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu ini turun bila dibandingkan pada tahun 2002 yang mecapai 307 per 100.000 kelahiran hidup (Kusumobroto et al., 2008). Berikut grafik dari angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup dari tahun 1992 2007 : Gambar 1. Angka Kematian Ibu per 100.000 Kelahiran Hidup (BPS, 2008). Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), penyebab kematian ibu disebabkan oleh perdarahan 28%, eklampsia 24%, infeksi 11%, komplikasi masa nifas 8%, abortus 5%, partus lama 5%, emboli obstetri 3%, dan lain-lain 11%. Distribusi persentase penyebab kematian ibu dapat dilihat pada diagram berikut : Gambar 2. Diagram distribusi persentase penyebab kematian ibu (Departemen Kesehatan RI, 2007).

description

gfkfulugulul

Transcript of BAB II hpp

  • 5

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    II.1. Tinjauan Pustaka

    Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menyebutkan

    bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) pada tahun 2007 sebesar 228 per 100.000

    kelahiran hidup. Angka kematian ibu ini turun bila dibandingkan pada tahun 2002

    yang mecapai 307 per 100.000 kelahiran hidup (Kusumobroto et al., 2008).

    Berikut grafik dari angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup dari

    tahun 1992 2007 :

    Gambar 1. Angka Kematian Ibu per 100.000 Kelahiran Hidup (BPS, 2008).

    Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), penyebab kematian ibu

    disebabkan oleh perdarahan 28%, eklampsia 24%, infeksi 11%, komplikasi masa

    nifas 8%, abortus 5%, partus lama 5%, emboli obstetri 3%, dan lain-lain 11%.

    Distribusi persentase penyebab kematian ibu dapat dilihat pada diagram

    berikut :

    Gambar 2. Diagram distribusi persentase penyebab kematian ibu (Departemen Kesehatan RI, 2007).

  • 6

    II.1.1. Perdarahan Postpartum

    II.1.1.1. Definisi

    Perdarahan postpartum adalah perdarahan yang terjadi segera setelah persalinan

    melebihi 500 ml pada persalinan pervaginam atau lebih dari 1000 ml pada seksio

    sesaria (Karkata, 2009; Kenneth, 2009; Saifuddin et al., 2006).

    II.1.1.2. Klasifikasi

    Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian :

    1. Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage)

    Adalah perdarahan 500 ml yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah bayi

    lahir. Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri, sisa

    plasenta, retensio plasenta, dan laserasi jalan lahir.

    2. Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage)

    Adalah perdarahan 500 ml yang terjadi setelah 24 jam pertama setelah bayi

    lahir. Penyebab utama perdarahan postpartum sekunder adalah sisa plasenta

    dan laserasi jalan lahir.

    II.1.1.3. Etiologi

    Frekuensi perdarahan postpartum 4/5-15 % dari seluruh persalinan.

    Berdasarkan penyebabnya :

    1. Atonia uteri ( 50-60% )

    2. Sisa plasenta ( 23-24% )

    3. Retensio plasenta ( 16-17% )

    4. Laserasi jalan lahir ( 04-05% )

    5. Kelainan darah ( 0,5-0,8% )

    II.1.1.4. Diagnosis

    Diagnosis perdarahan postpartum pada umumnya tidak sukar, yaitu :

    1. Terjadi perdarahan segera setelah bayi lahir : sebelum plasenta lahir atau

    sesudah plasenta lahir.

    2. Keluar pada umumnya mendadak, tanpa disadari.

    3. Dapat diikuti dengan menurunnya kesadaran.

    4. Dapat diikuti dengan perubahan sistem kardiovaskular.

  • 7

    Banyaknya perdarahan mempengaruhi timbul gejala penurunan tekanan

    darah, nadi, nafas cepat, pucat, akral dingin, sampai terjadi syok.

    Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan

    postpartum :

    1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri.

    2. Memeriksa plasenta dan ketuban : lengkap atau tidak.

    3. Eksplorasi kavum uteri : untuk mencari sisa plasenta dan ketuban, robekan

    rahim, dan plasenta succenturiata.

    4. Inspekulo : melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang pecah.

    5. Pemeriksaan laboratorium : waktu perdarahan, hemoglobin, clot observation

    test, dan lain-lain.

    Berdasarkan etiologinya, perdarahan postpartum dapat didiagnosis sesuai

    dengan tabel 1.

    Tabel 1. Diagnosis Perdarahan Postpartum (Saifuddin et al., 2006).

    Gejala dan tanda yang selalu ada Tanda & gejala

    yang kadang ada

    Diagnosis

    kemungkinan

    Uterus tidak berkontraksi & lembek

    Perdarahan segera setelah anak lahir Syok

    Atonia

    uteri

    Perdarahan segera, setelah bayi lahir

    Darah segar yang mengalir

    Uterus kontraksi baik

    Plasenta lengkap

    Pucat

    Lemah

    Menggigil

    Laserasi

    jalan lahir

    Plasenta belum lahir setelah 30 menit

    Perdarahan segera

    Uterus kontraksi baik

    Tali pusat putus

    akibat traksi

    berlebihan

    Inversio uteri

    akibat tarikan

    Perdarahan lanjutan

    Retensio

    plasenta

    Plasenta / sebagian selaput tidak lengkap

    (mengandung pembuluh darah)

    Perdarahan segera

    Uterus berkontraksi

    tetapi tinggi fundus

    tidak berkurang

    Sisa

    plasenta

    Uterus tidak teraba

    Lumen vagina terisi masa

    Tampak tali pusat

    (jika plasenta belum lahir)

    Perdarahan segera

    Nyeri sedikit atau berat

    Syok neurogenik

    Pucat dan limbung

    Inversio

    uteri

    Perdarahan segera ( perdarahan

    intraabdominal / vaginum )

    Nyeri perut berat

    Syok

    Nyeri tekan perut

    Denyut nadi cepat

    Ruptura

    uteri

  • 8

    II.1.1.5. Penatalaksanaan

    Penanganan pada perdarahan postpartum terdapat dua bagian sebagai

    berikut :

    1. Suportif, yaitu perbaikan keadaan umum, penambahan cairan, dan darah serta

    komponen - komponennya.

    2. Kausatif, yaitu dengan melakukan identifikasi penyebab perdarahan dan usaha

    untuk menghentikannya.

    Ada beberapa cara untuk menghentikan perdarahan, yaitu :

    1. Pemberian uterotonika dengan oksitosin, metil ergometrin atau prostaglandin.

    2. Hemostasis secara mekanis dengan manual plasenta, kuret sisa plasenta,

    kompresi manual ataupun packing.

    3. Pembedahan, yaitu penjahitan laserasi, ligasi pembuluh darah, ataupun

    dilakukan histerektomi.

    Tujuan utama penanganan perdarahan postpartum adalah :

    1. Mengembalikan volume darah dan mempertahankan oksigenasi.

    2. Menghentikan perdarahan dengan menangani penyebab perdarahan post

    partum.

    Idealnya stabilisasi dilakukan terlebih dahulu sebelum tindakan definitif

    dikerjakan, tetapi hal ini terkadang tidak mungkin dikerjakan sendiri-sendiri

    melainkan seringkali dikerjakan perbaikan keadaan umum ( resusitasi ) sambil

    dilakukan tindakan untuk menghentikan perdarahan tersebut.

    Pada saat awal resusitasi cairan juga diambil sample darahnya untuk diperiksakan

    laboratorium sederhana dahulu, yaitu kadar Hemoglobin, Hematokrit, Lekosit,

    Trombosit, Faal Pembeku Darah atau dikerjakan pemeriksaan Waktu Pembekuan

    Darah dan Waktu Perdarahan secara langsung.

  • 9

    Gambar 3. Bagan Penanganan Perdarahan Postpartum (Manuaba IBG, 2004).

  • 10

    II.1.1.6. Prognosis

    Menurut Hakimi (2010), kematian karena perdarahan postpartum akibat

    terus-menerus terjadi perdarahan yang jumlahnya kadang-kadang tidak

    menimbulkan kecurigaan. Yang menimbulkan kematian bukanlah perdarahan

    sakaligus dalam jumlah banyak tetapi justru perdarahan terus-menerus yang

    terjadi sedikit demi sedikit. Beachan mendapatkan bahwa interval rata-rata antara

    kelahiran dan kematian adalah 5 jam 20 menit. Kenyataan ini menunjukkan

    adanya cukup waktu untuk melangsungkan terapi yang efektif jika pasiennya

    selalu diamati dengan seksama, diagnosis dibuat secara dini, dan tindakan yang

    tepat segera dikerjakan.

    II.1.2. Atonia Uteri

    II.1.2.1.Definisi

    Atonia uteri adalah keadaan lemahnya atau gagalnya tonus/kontraksi otot

    rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari

    tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir (Karkata, 2009).

    Sedangakan menurut Hakimi (2010), perdarahan postpartum bisa dikendalikan

    melalui kontraksi dan retraksi serat-serat miometrium. Kontraksi dan retraksi ini

    menyebabkan terlipatnya pembuluh-pembuluh darah sehingga aliran darah ke

    tempat plasenta menjadi terhenti. Kegagalan mekanisme akibat gangguan fungsi

    miometrium dinamakan atonia uteri.

    Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serat-serat

    miometrium terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai

    darah pada tempat implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi karena miometrium

    tidak dapat berkontraksi. Atonia uteri merupakan penyebab tersering perdarahan

    postpartum, sekurang-kurangnya 2/3 dari semua perdarahan postpartum

    disebabkan oleh atonia uteri ( Depkes RI, 2007 ).

  • 11

    Gambar 4. Diagram kontraksi penghentian perdarahan otot uterus

    (Manuaba 2007).

    II.1.2.2. Faktor predisposisi

    1. Regangan rahim berlebihan selama kehamilan yang disebabkan karena

    kehamilan gemeli, polihidramnion, atau anak terlalu besar.

    2. Kelelahan karena persalinan lama.

    3. Kehamilan grande-multipara.

    4. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit

    menahun.

    5. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim.

    6. Infeksi intrauterin (korioamnionitis).

    7. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.

    Jika seorang wanita memiliki salah satu dari kondisi-kondisi yang berisiko

    ini, maka penting bagi penolong persalinan untuk mengantisipasi kemungkinan

    terjadinya atoni uteri postpartum. Meskipun demikian, 20% atoni uteri postpartum

    dapat terjadi pada ibu tanpa faktor-faktor risiko ini. Adalah penting bagi semua

    penolong persalinan untuk mempersiapkan diri dalam melakukan penatalaksanaan

    awal terhadap masalah yang mungkin terjadi selama proses persalinan (Depkes RI,

    2007).

    II.1.2.3. Etiologi

    1. Disfungsi uterus : atonia uteri primer merupakan disfungsi intrinsik uterus.

    2. Penatalaksanaan yang salah pada kala III. Mencoba mempercepat kala III

    dengan dorongan dan pemijatan uterus sehingga mengganggu mekanisme

    fisiologis pelepasan plasenta dan dapat menyebabkan pemisahan sebagian

    plasenta yang mengakibatkan perdarahan.

  • 12

    3. Anestesi yang dalam dan lama menyebabkan terjadiya relaksasi miometrium

    yang berlebihan, kegagalan kontraksi dan retraksi menyebabkan atonia uteri

    dan perdarahan postpartum.

    4. Kerja uterus sangat kurang efektif selama kala persalinan yang kemungkinan

    besar akan diikuti oleh kontraindikasi serta retraksi miometrium jika dalam

    kala III.

    5. Overdistensi uterus : uterus yang mengalami distensi secara berlebihan akibat

    keadaan bayi yang besar, kehamilan kembar, polihidramnion, cenderung

    mempunyai daya kontraksi yang jelek.

    6. Kelemahan akibat partus lama : bukan hanya rahim yang lemah, cenderung

    berkontraksi lemah setelah melahirkan, tetapi juga ibu yang keletihan kurang

    bertahan terhadap kehilangan darah.

    7. Grande-multipara : uterus yang lemah banyak melahirkan anak cenderung

    bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan.

    8. Mioma uteri : dapat menimbulkan perdarahan dengan mengganggu kontraksi

    dan retraksi miometrium uteri.

    9. Melahirkan dengan tindakan : keadaan ini mencakup prosedur operatik seperti

    forsep dan fersi ekstraksi.

    II.1.2.4. Pencegahan

    1. Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang

    bersalin, karena hal ini dapat menurunkan insidensi perdarahan postpartum

    akibat atonia uteri.

    2. Jika ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya, persalinan harus berlangsung

    di rumah sakit.

    3. Dalam kala III uterus jangan di masase dan didorong sebelum plasenta lepas

    dari dindingnya.

    4. Pemberian misoprostol peroral 2 - 3 tablet (400-600 g) segera setelah bayi

    lahir.

    5. Mengantisipasi / mengadakan penyuluhan kepada ibu-ibu yang paritasnya

    masih antara 1 3, yaitu dengan mnganjurkan program KB dan edukasi bahaya

    yang ditimbulkan dengan memiliki anak lebih dari 5 (grandemultigravida).

  • 13

    6. Edukasi pemberian tablet besi sewaktu ANC untuk mencegah anemia

    postpartum.

    II.1.2.5. Diagnosis

    Diagosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan

    masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri

    masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek.

    Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat

    itu juga masih ada darah sebanyak 500 - 1.000 ml yang sudah keluar dari

    pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus

    diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti (Karkata 2009).

    II.1.2.6. Penatalaksanaan

    Menurut Karkata (2009) dan Saifuddin dkk. (2002), banyaknya darah yang

    hilang akan mempengaruhi keadaan pasien. Pasian bisa masih dalam keadaan

    sadar, sedikit anemis, atau sampai syok hipovolemik berat. Perdarahan yang lebih

    dari 1000 ml atau bahkan lebih dari 1500 ml (20-25% volume darah) akan

    menimbulkan gangguan vaskular hingga terjadi shock hemoragik sehingga

    tranfusi darah diperlukan (Ramanathan & Arulkumaran, 2006). Tindakan pertama

    yang dilakukan bergantung pada keadaan kliniknya. Pada umumnya dilakukan

    secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai berikut:

    1. Sikap Trendelenburg, memasang venous line, dan memberikan oksigen.

    2. Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara :

    a. Masase fundus uteri dan merangsang puting susu.

    b. Pemberian obat uterotonika :

    1) Oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara intramuscular,

    intravena, atau subcutan.

    2) Memberikan derivat prostaglandin F2 (carboprost tromethamine) yang

    kadang memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual,

    muntah, febris, dan takikardia.

    3) Pemberian misoprostol (800 - 1.000 g) per-rektal.

  • 14

    Tabel 2. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya (Departemen Kesehatan Indonesia, 2007).

    JENIS

    & CARA OKSITOSIN ERGOMETRIN MISOPROSTOL

    Dosis

    dan cara

    pemberian

    IV: 20 IU dalam 1liter

    larutan garam

    fisiologis dengan

    tetesan cepat

    IM: 10 IU

    IM atau IV

    (lambat) : 0,2mg

    Oral atau

    rektal 400g dapat diulang

    sampai

    1200g

    Dosis

    Lanjutan

    IV: 20 IU dalam 1

    liter larutan garam

    fisiologis dengan 40

    tetes/menit

    Ulangi 0,2 mg IM

    setelah 15 menit

    400 mg 2-4

    jam setelah

    dosis awal

    Dosis

    Maksima

    per hari

    Tidak lebih dari 3 liter

    larutan dengan

    Oksitosin

    Total 1 mg atau 5

    dosis Total 1200 g atau 3 dosis

    Kontra

    Indikasi

    Pemberian IV secara

    cepat atau bolus

    Preeklampsia,

    vitium cordis,

    hipertensi

    Nyeri

    kontraksi

    Asma

    c. Kompresi bimanual eksternal dan/atau internal

    d. Kompresi aorta abdominalis

    Gambar 5. Kompresi bimanual internal (Cunningham et al., 2005).

  • 15

    Gambar 6. Kompresi bimanual eksternal (Depkes RI 2007).

    e. Pemasangan tampon (packing) kassa uterovaginal.

    Alternatif dari pemberian tampon selain dengan kassa, juga dipakai

    beberapa cara yaitu dengan menggunakan : Sengstaken-Blakemore tube,

    Rusch urologic hydrostatic balloon catheter (Folley catheter) atau SOS

    Bakri tamponade balloon catheter.

    Pada tahun 2003 Sayeba Akhter, dkk. mengajukan alternatif baru

    dengan pemasangan kondom yang diikatkan pada kateter. Dari

    penelitiannya disebutkan angka keberhasilannya 100%, kondom dilepas 24-

    48 jam kemudian dan tidak didapatkan komplikasi yang berat. Cara ini

    kemudian disebut dengan Metode Sayeba. Cara pemasangannya adalah

    secara aseptik kondom yang telah diikatkan pada kateter dimasukkan

    kedalam cavum uteri. Kondom diisi dengan cairan garam fisiologis

    sebanyak 250-500 cc sesuai kebutuhan. Dilakukan observasi perdarahan dan

    pengisian kondom dihentikan ketika perdarahan sudah berkurang. Untuk

    menjaga kondom agar tetap di cavum uteri, dipasang tampon kasa gulung di

    vagina. Bila perdarahan berlanjut tampon kassa akan basah dan darah keluar

    dari introitus vagina. Kontraktilitas uterus dijaga dengan pemberian drip

    oksitosin paling tidak sampai dengan 6 jam kemudian. Diberikan antibiotika

    tripel, Amoksisilin, Metronidazol dan Gentamisin. Kondom kateter dilepas

    24- 48 jam kemudian, pada kasus dengan perdarahan berat kondom dapat

    dipertahankan lebih lama ( Danso D and Reginald PW, 2006 ).

  • 16

    Gambar 7. Sengstaken-Blakemore tube and Bakri ballon

    (Danso D and Reginald PW, 2006 ).

    Gambar 8. Rsch hydrostatic balloon catheter (Danso D and Reginald PW, 2006).

    Gambar 9. Bakri Postpartum Balloon (Bakri YN et al., 2001).

  • 17

    Bila penanganan dengan non operatif ini tidak berhasil, baru dilakukan

    penanganan secara operatif ( laparotomi dengan pilihan bedah konservatif

    (mempertahankan uterus) atau melakukan histerektomi ), yaitu :

    f. Laparatomi pemakaian metode B-Lynch

    g. Ligasi arteri uterina, arteri hipogastrika ( iliaka interna )

    Bila dengan cara ini belum berhasil menghentikan perdarahan, dilakukan :

    h. Histerektomi supravaginal

    i. Histerektomi total abdominal.

    Gambar 10. Bagan penanganan atonia uteri (Santoso, 2009).

  • 18

    Tabel 3. Langkah-langkah rinci penatalaksanaan atonia uteri

    pascapersalinan (Depkes RI, 2007).

    No Langkah Keterangan

    1. Lakukan masase fundus

    uteri segera setelah plasenta

    dilahirkan

    Masase merangsang kontraksi uterus. Sambil

    melakukan masase sekaligus dapat dilakukan

    penilaian kontraksi uterus

    2. Bersihkan kavum uteri dari

    selaput ketuban dan

    gumpalan darah.

    Selaput ketuban atau gumpalan darah dalam kavum

    uteri akan dapat menghalangi kontraksi uterus secara

    baik

    3. Mulai KBI. Jika uterus

    berkontraksi keluarkan tangan

    setelah 1-2 menit. Jika tidak

    teruskan KBI hingga 5 menit

    Sebagian besar atonia uteri akan teratasi dengan

    tindakan ini. Jika kompresi bimanual tidak berhasil

    setelah 5 menit, diperlukan tindakan lain

    4. Minta keluarga untuk

    melakukan KBE

    (Kompresi Bimanual

    Eksternal )

    Bila penolong hanya seorang diri, keluarga dapat

    meneruskan proses kompresi bimanual secara

    eksternal selama anda melakukan langkah-langkah

    selanjutnya.

    5. Berikan Metil ergometrin 0,2

    mg intramuskular/ intra vena

    Metil ergometrin yang diberikan secara intramuskular

    akan mulai bekerja dalam 5-7 menit dan

    menyebabkan kontraksi uterus. Pemberian intravena

    bila sudah terpasang infus sebelumnya.

    6. Berikan infus cairan larutan

    Ringer laktat dan Oksitosin

    20 IU/500 cc

    Anda telah memberikan Oksitosin pada waktu

    penatalaksanaan aktif kala tiga dan Metil ergometrin

    intramuskuler. Oksitosin intravena akan bekerja

    segera untuk menyebabkan uterus berkontraksi.

    Ringer Laktat akan membantu memulihkan volume

    cairan yang hilang selama atoni. Jika uterus wanita

    belum berkontraksi selama 6 langkah pertama, sangat

    mungkin bahwa ia mengalami perdarahan postpartum

    dan memerlukan penggantian darah yang hilang

    secara cepat.

    7. Mulai lagi kompresi

    bimanual interna atau Pasang

    tampon uterovagina

    Jika atoni tidak teratasi setelah 7 langkah pertama,

    mungkin ibu mengalami masalah serius lainnya.

    Tampon uterovagina dapat dilakukan apabila

    penolong telah terlatih. Rujuk segera ke rumah sakit

    8. Buat persiapan untuk

    merujuk segera

    Atoni bukan merupakan hal yang sederhana dan

    memerlukan perawatan gawat darurat di fasilitas

    dimana dapat dilaksanakan bedah dan pemberian

    tranfusi darah

    9. Teruskan cairan intravena

    hingga ibu mencapai tempat

    rujukan

    Berikan infus 500 cc cairan pertama dalam waktu 10

    menit. Kemudian 500 cc/jam pada jam pertama, dan

    500 cc/4 jam pada jam-jam berikutnya. Jika tidak

    mempunyai cukup persediaan cairan intravena,

    berikan cairan 500 cc yang ketiga secara perlahan

    hingga cukup sampai di tempat rujukan. Berikan

    minum untuk tambahan rehidrasi.

    10. Laparotomi : pertahankan

    uterus (ligasi a. uterina/

    hipogastrika) /histerektomi.

    Pertimbangan antara lain paritas, kondisi ibu,

    jumlah perdarahan

  • 19

    II.1.3.Karakteristik Ibu Bersalin

    II.1.3.1. Umur

    Umur adalah waktu hidup atau ada sejak dilahirkan atau diadakan (Kamus

    besar bahasa Indonesia, 1989). Sedangkan menurut Kamus Kedokteran UI (2001),

    umur adalah usia ibu yang dihitung sejak tanggal lahir sampai pada saat ulang

    tahun terakhir dalam satuan tahun.

    Menurut Depkes (2003), masa reproduksi sehat yaitu pada umur 20-35

    tahun. Pada umur < 20 tahun masih belum matangnya alat reproduksi untuk

    hamil, sedangkan bila umur ibu > 35 tahun fungsi alat reproduksi dan fisik

    menurun (Kay, 2007). Dalam hal ini dapat mempengaruhi fungsi plasenta dan

    dapat mengakibatkan iritabilitas pada uterus serta terjadi perubahan pada serviks.

    Kematian maternal pada ibu yang berusia muda ( 20 tahun) 2-5 kali lebih

    tinggi daripada usia 20-29 tahun dan kematian tersebut akan meningkat kembali

    sesudah usia 35 tahun (Karkata, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Pardosi

    (2005), menemukan bahwa dengan umur < 20 tahun atau > 35 tahun memiliki

    risiko mengalami perdarahan postpartum 3,3 kali lebih besar dibanding dengan

    ibu dengan umur 20-30 tahun.

    Perdarahan postpartum meningkat sesuai dengan umur ibu. Hal ini dapat

    diketahui dengan melihat bahwa semakin tua umur ibu, makin tinggi frekwensi

    penyakit hipertensi menahun yang menyertai.

    II.1.3.2. Paritas

    Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang

    wanita (BKKBN, 2006), sedangkan menurut JHP IEGO (2008) adalah kehamilan

    yang menghasilkan janin yang mampu hidup diluar rahim (28 minggu), serta

    menurut Manuaba (2008) adalah wanita yang pernah melahirkan bayi aterm

    (Surparyanto, 2010).

    Pada wanita yang paritasnya lebih dari 3 cenderung mempunyai komplikasi

    pada kehamilan maupun persalinan. Karena uterus yang terlalu sering meregang

    dan terjadinya gangguan pada plasenta yang akan mengakibatkan gangguan

    sirkulasi pada janin sehingga pertumbuhan terhambat (Karkata,2009). Berdasarkan

    Manuaba kejadian perdarahan postpartum sering terjadi pada ibu dengan

    grandemultipara.

  • 20

    Paritas mempunyai pengaruh terhadap kejadian perdarahan postpartum

    karena pada setiap kehamilan dan persalinan terjadi perubahan serabut otot pada

    uterus yang dapat menurunkan kemampuan uterus untuk berkontraksi sehingga

    sulit untuk melakukan penekanan pembuluh-pembuluh darah yang terbuka setelah

    lepasnya plasenta. Risiko terjadinya akan meningkat setelah persalinan ketiga atau

    lebih yang mengakibatkan terjadinya perdarahan postpartum. (Saifuddin et al. 2002)

    II.1.3.3. Kadar Hb

    Hemoglobin (Hb) adalah protein berpigmen merah yang terdapat dalam sel

    darah merah. Fungsi Hb adalah mengangkut oksigen dari paru-paru dan dalam

    peredaran darah untuk dibawa ke jaringan. Sintesis Hb terjadi selama proses

    eritropoesis, pematangan sel darah merah akan mempengaruhi fungsi hemoglobin.

    Struktur hemoglobin terdiri dari dua unsur utama, yaitu : (1) besi (Fe) yang

    mengandung pigmen hem dan (2) protein globin (Tarwoto & Wanidar 2007).

    Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehigga memicu

    peningkatan produksi eritropoietin. Akibatnya, volume plasma bertambah dan sel

    darah merah (eritrosit) meningkat. Namun, peningkatan volume plasma terjadi

    dalam proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit

    sehingga terjadi penurunan konsentrasi Hb akibat hemodilusi (Karkata, 2009).

    Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin lebih rendah dari

    batas normal untuk kelompok orang yang bersangkutan (Tarwoto & Wanidar, 2007).

    Sedangkan anemia secara praktis didefinisikan sebagai kadar hematokrit (Ht),

    konsentrasi Hb, atau hitung eritrosit dibawah batas normal (Karkata, 2009).

    Terdapat klasifikasi anemia karena penurunan produksi sel eritrosit yaitu :

    1. Anemia defisiensi besi

    Merupakan jenis anemia terbanyak didunia, terutama pada negara miskin dan

    berkembang. Anemia defisiensi besi merupakan gejala kronik dengan keadaan

    hipokromik (konsentrasi hemoglobin kurang), mikrositik yang disebabkan oleh

    suplai besi kurang dalam tubuh. Kurangnya besi mempengaruhi pembentukan

    hemoglobin sehingga konsentrasi dalam sel darah merah berkurang.

    2. Anemia megaloblastik

    3. Anemia defisiensi vitamin B12

    4. Anemia defisiensi asam folat

  • 21

    Kadar hemoglobin normal dan anemia pada ibu hamil dapat dilihat pada

    tabel 4.

    Tabel 4. Kadar Hemoglobin pada Perempuan Dewasa dan Ibu

    Hamil (Karkata 2009; Tarwoto & Wanidar, 2007).

    Status

    Kehamilan

    Hb Normal

    (gr/dl)

    Hb Anemia kurang dari

    (gr/dl)

    Tidak hamil 12,0 15,0 12,0 (Ht < 36%) Hamil :

    Trimester I 11,0 14,0 11,0 (Ht < 33%)

    Trimester II 10,5 14,0 10,5 (Ht < 31%)

    Trimester III 11,0 14,0 11,0 (Ht < 33%)

    Seorang wanita hamil dinyatakan menderita anemia apabila kadar

    hemoglobin dalam darahnya kurang dari 11,0 gr/dl. Selama kehamilan darah

    bertambah banyak atau terjadinya hipervolemia yaitu bertambahnya plasma dan

    sel darah merah (eritrosit) meningkat. Namun, peningkatan volume plasma terjadi

    dalam proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit

    sehingga terjadi hemodilusi yang bermanfaat untuk meringankan beban jantung

    yang harus bekerja lebih berat dalam masa hamil karena akibat hidremia cardiac

    output meningkat, kerja jantung lebih ringan apabila viskositas darah rendah,

    resistensi perifer berkurang sehingga tekanan darah tidak naik dan pada waktu

    persalinan terjadi perdarahan, banyaknya unsur besi yang hilang lebih sedikit

    dibandingkan dengan apabila darah tetap kental.

    Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu, baik

    dalam kehamilan, persalinan maupun nifas. Penyulit yang akan timbul salah

    satunya dapat menyebabkan perdarahan postpartum karena atonia uteri.

    II.3. Kerangka Teori

    Gambar 11. Kerangka Teori

  • 22

    II.2. Kerangka Konsep

    Gambar 12. Kerangka Konsep

    II.4. Penelitian Terkait yang Pernah Dilakukan

    Tabel 5. Penelitian Terkait yang Pernah Dilakukan.

    No Judul

    Penelitian

    Nama

    Peneliti

    Tempat

    & Tahun

    Penelitia

    n

    Ranca-

    ngan

    Penelitia

    n

    Variabel

    Penelitian

    Hasil

    Penelitian

    1 Hubungan

    anemia dalam

    kehamian

    dengan

    perdarahan

    postpartum

    karena atonia

    uteri di RSUD

    Wonogiri.

    Ayu

    Wuryanti

    RSUD

    Wonogiri

    Tahun

    2010

    Cross-

    sectional

    Anemia

    pada

    kehamilan,

    perdarahan

    postpartum

    karena

    atonia uteri

    Terdapat

    hubungan

    antara

    anemia

    dalam

    kehamilan

    dengan

    perdarahan

    postpartum

    karena

    atonia uteri.

    II.5. Hipotesis Penelitian

    H1: Terdapat hubungan antara umur ibu dengan kejadian atonia uteri di RSUD

    Kota Bekasi selama Periode Januari 2009 - Desember 2010

    H2: Terdapat hubungan antara paritas ibu dengan kejadian atonia uteri di RSUD

    Kota Bekasi selama Periode Januari 2009 - Desember 2010

    H3: Terdapat hubungan antara kadar Hb dengan kejadian atonia uteri di RSUD

    Kota Bekasi selama Periode Januari 2009 - Desember 2010.