BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS -...
-
Upload
phamkhuong -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
Transcript of BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS -...
1
BAB II
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Di dalam Bab II akan membahas mengenai hasil penelitian serta analisis
mengenai topik yang dipilih. Di dalam Bab ini akan menjawab permasalahan-
permasalahan yang diangkat penulis dari topik yang dipilih. Dari permasalahan-
permasalahn tersebut akan disusun sebuah proposisi yang nantinya sebagai acuan
terhadap kesimpulan dari setiap masalah. Dengan disusunnya proposisi-proposisi
tersebut, kemudian akan dijawab dengan tesis statmen oleh penulis. Dengan tesis
tersebut akan digunakan sebagai analisis terhadap permasalahan-permasalahan
yang telah disusun atau dikemukakan sehingga menemukan jawaban atau
kesimpulan akhir. Di dalam Bab ini akan berisikan mengenai teori-teori yang
dibahas dalam tinjauan pustaka sebagai pendukung penelitian serta hasil penelitian
dan analisis.
A. TINJAUAN PUSTAKA
Di dalam tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai teori-teori hukum
yang terkait dan mendukung terhadap topik yang akan dibahas. Teori- teori tersebut
akan melihat kesesuaian aturan-aturan hukum serta menjawab atas kekosongan
hukum dan penafsiran aturan-aturan yang menimbulkan problematika terhadap
topik yang dipilih. Di dalam tinjauan pustaka, nantinya akan menjelaskan teori
hukum mengenai subjek hukum, menjelaskan mengenai perjanjian pada umumnya
untuk melihat dari sisi keabsahan perjanjian yang dibuat oleh suami isteri dalam
mendirikan Perseroan Terbatas (PT), lalu teori mengenai harta kekayaan dalam
2
perkawinan dikarenakan hubungannya dengan pendirian Perseroan Terbatas (PT)
serta penyetoran akan modal nantinya. Kemudian yang terakhir adalah analisis dari
hasil penelitian tersebut untuk menjawab setiap permasalahan hukum yang telah
dimunculkan.
1. Subjek Hukum
Istilah subjek hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda
rechtssubject. Kata subject dalam bahasa Belanda dan Inggris berasal dari bahasa
Latin subjectus yang artinya di bawah kekuasaan orang lain (subordinasi).1
Berdasarkan pengertian dari bahasa Latin, Franken menyatakan, bahwa kata subject
memberikan gambaran yang pasif dalam arti lebih banyak menerima kewajiban
daripada mempunyai hak. Oleh karena itu istilah subjek hukum sebenarnya kurang
tepat jika istilah itu diperuntukan bagi mereka yang mempunyai hak.2 Menurut
Paton yang dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki di dalam bukunya berjudul “
Pengantar Ilmu Hukum”, istilah person berasal dari bahasa Latin persona yang
ekuivalen dengan bahasa Yunani prosopon. Baik persona maupun prosopon pada
awalnya merujuk kepada topeng yang dikenakan oleh pemain untuk
menggambarkan dewa atau pahlawan dalam suatu drama. Barulah pada abad VI
Boethius mndefinisikan persona sebagai sosok makhluk yang rasional. Pada
perkembangannya, person diartikan sebagai sesuatu yang dapat mempunyai hak
dan kewajiban.3 Istilah subjek hukum atau dalam bahasa Belanda rechtssubject
sudah menjadi kajian dalam pendidikan hukum Indonesia maupun Belanda. Dalam
memahami subjek hukum dalam ilmu hukum dikenal dalam 2 hal, adapun subjek
1 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., h. 205 2 Ibid, h. 206 3 Ibid.
3
hukum yang dikenal dalam ilmu hukum adalah manusia dan badan hukum. Hal ini
dijelaskan dalam pernyataan Salmond yang berbunyi:
“so far as legal theory is concerned, a person is being whom the law
regards as capable of rights and duties. Any being that is so capable
is person, whether a human being or not, and no being that is so
capable is a person, even thought he be a man” .
Dari apa yang dikemukakan oleh Salmond tersebut jelas bahwa baik
manusia maupun bukan manusia mempunyai kapasitas sebagai subjek hukum atau
istilah Salmond person kalau dimungkinkan oleh hukum. 4
Subjek hukum adalah salah satu pengertian pokok dan bentuk dasar yang
dipelajari oleh teori hukum. Untuk menjelaskan tentang pengertian pokok dari
subjek hukum akan diperoleh suatu batasan ( definisi) dan ini perlu didasari melalui
teori dari hukum positif tersebut, dengan membuat analisa dan gambaran fakta-
fakta dalam masyarakat dan mengadakan induksi serta kemudian membuat
perumusan ( omschrijving) isi dari suatu gambaran yang umum, yang memuat
segala gejala dari hal yang sehari-harinya disebut subjek hukum.5 Dengan melihat
fakta-fakta serta analisa dalam masyarakat maka subjek hukum manusia yang
adalah persoon merupakan persoalan hubungan – hubungan manusia satu dengan
yang lain, sehingga kesadaran akan hukum akan muncul. Kata Paul Scholten yang
dikutip oleh Chidir Ali dalam bukunya yang berjudul “ Badan Hukum”
mengandung dua dalil yaitu :6
4 Peter Mahmud Marzuki, Loc.Cit. 5 Chidir Ali Op.Cit., h. 5. 6 Ibid, h. 6.
4
- Manusia dalam hukum sewajarnya diakui sebagai yang berhak atas
hak-hak subjektif dan sewajarnya diakui sebagai pihak atau pelaku
dalam hukum objektif. Di sini perkataan manusia bagi hukum
mempunyai nilai etis. Yang menjadi persoalan di sini ialah suatu
sollen dan juga dinyatakan suatu asas hukum. Dengan demikian hal
ini juga menjadi dasar arti dalil kedua yaitu :
- Dalam hukum positif manusia yang merupakan persoon adalah
subjek hukum, mempunyai wewenang. Dalil ini mengandung
petunjuk di mana tempat manusia dalam sistem hukum dan dengan
demikian dinyatakan suatu kategori hukum.
Atas kedua dalil diatas, maka untuk menjawab siapakah subjek hukum
tersebut. Pertama, subjek hukum itu adalah yang berhak atas hak-hak subektif dan
pelaku dalam hukum objektif. Kedua, siapa subjek hukum dalam hukum positif
adalah orang (persoon). Namun atas pendapat ini tidak semerta-merta mengatakan
subjek hukum (orang) yang dianggap manusia sebagai satu-satunya subjek hukum
dalam hukum positif. Terkait dengan fakta-fakta serta analisa di masyarakat, hukum
sebagai norma tentu akan berdampingan dengan hukum sebagai peristiwa yang ada.
Sebagaimana dimaklumi bahwa gejala-gejala dari hal yang sehari-hari disebut
subjek hukum menurut kenyataannya dalam masyarakat ialah tidak hanya terbatas
pada orang saja tetapi juga muncul peristiwa subjek hukum yaitu badan hukum
(rechtspersoon). Hal ini sebagaimana terkonsepkan dalam negara hukum yaitu “
Ubi societes ibi ius” yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Dimana ada
masyarakat disitu ada hukum” perkataan ini diutarakan oleh filsuf ternama yaitu
5
Marcus Tullius Cicero yang masih berlaku hingga sekarang.7 Perpaduan antara
subjek hukum dengan asas ini untuk melihat bahwa hukum tidak hanya tercipta
sebagaimana adanya yang sudah tertuang dalam norma sehingga masyarakat hanya
tinggal mematuhinya. Konsep ini untuk melihat bahwa peristiwa dimasyarakat
dapat memunculkan hukum baru. Kemunculan tersebut tidak semerta-merta hanya
dari sisi individu, harus ada keterikatan antara dua individu atau lebih yang disebut
sebagai masyarakat. Dengan hubungan-hubungan inilah akan memunculkan
peristiwa hukum yang kemudian dalam masyarakat akan diadopsi. Contoh konkrit
ialah subjek hukum yang bukan sebagai manusia (persoon) tetapi subjek hukum
dalam artian badan hukum (rechtspersoon).
Menurut L.J. Van Apeldoorn dalam Chidir Ali, bahwa orang dalam artian
yuridis adalah setiap orang yang mempunyai wewenang hukum. Wewenang hukum
ialah kecakapan untuk menjadi subjek hukum. Selanjutnya dikatakan, bahwa dalam
memberikan kedudukan sebagai subjek hukum, hukum terikat hanya sampai pada
manusia saja, karena hanya manusia saja yang dapat memiliki hak-hak subjektif
artinya wewenang dan kewajiban.8 Pendapat ini hanya bertitik tumpu pada manusia
saja sebagai subjek hukum. Merupakan kenyataan bahwa dalam pergaulan hidup
manusia tentu akan adanya pergaulan hukum sehingga masyarakat telah menerima
adanya subjek hukum lain disamping manusia. Hal untuk membedakan subjek
hukum ini disebut dengan (badan hukum). Menurut penulis adanya badan hukum
ini merupakan salah satu peristiwa hukum yang muncul dalam kehidupan hukum
di masyarakat. Hal ini semata mata muncul bukan karena tiba-tiba melainkan akibat
7 Teguh Prasetyo, MEMBANGUN HUKUM NASIONAL BERDASARKAN PANCASILA, Jurnal
Hukum dan Peradilan, Universitas Kristen Satya Wacana, Vol. 3 No. 3, 2014, h. 1 8 Chidir Ali Op.Cit, h. 7.
6
peristiwa hukum yang ada masyarakat. Peristiwa hukum dimasyarakat yang
menjadikannya ada badan hukum karena adanya perkumpulan manusia yang
bersama-sama dapat mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dari hubungan
hukum. Sekumpulan ini kemudian dinamakan dengan badan hukum dan badan
hukum ini sebagai subjek hukum yang baru serta mandiri.9 Kehadiran badan hukum
ini sebagai realitas di samping manusia sebagai subjek hukum
Pengertian lainnya mengenai subjek hukum adalah pendukung (dapat
memiliki) hak dan kewajiban.10 Hal ini memiliki kesamaan dari beberapa pendapat
ahli hukum yang telah diutarakan. Sebagaimana subjek hukum, untuk mengenal
pertama kali adalah yang dapat memiliki hak dan kewajiban untuk berkehendak
hukum.
Manusia ( natuurlijk persoon ) menurut hukum adalah setiap orang yang
mempunyai kedudukan yang sama, selaku pendukung hak dan kewajiban. Pada
prinsipnya, orang sebagai subjek hukum dimulai sejak ia lahir dan berakhir setelah
ia meninggal dunia. Namun ada pengecualian menurut Pasal 2 BW, bahwa bayi
yang masih dalam kandungan ibunya dianggap telah lahir dan menjadi subjek
hukum, apabila kepentingannya menghendaki (dalam hal menerima pembagian
warisan). Apabila bayi tersebut lahir dalam keadaan meninggal dunia, menurut
hukum ia dianggap tidak pernah ada, sehingga ia bukan subjek hukum ( tidak
menerima pembagian warisan).11
9 Ibid, h. 10. 10 Marwan Mas, Op.Cit, h. 23. 11 Ibid.
7
Manusia sebagai subjek hukum yang dianggap natural dalam memiliki
kehendak atas perbuatannya merupakan hal yang istimewa. Bahkan manusia dalam
kandungan sekalipun sudah memiliki hak dan kewajiban seperti halnya dalam
hukum waris. Dari sudut pandang filsafati, manusia disebutkan dalam 3 definisi :12
- Defenisi klasik menyatakan bahwa manusia adalah hewan berbudi
atau animal rationale. Bukan berarti bahwa manusia itu sama dengan
hewan yang hanya ditambah dengan budi. Dalam aksi-reaksi biologis
ada persamaan, walaupun hanya dalam suatu momen saja dari totalitas
atau keseluruhan. Namun dalam aksi-reaksi psikologis, manusia
dengan hewan sama sekali berbeda.
- Geist-in-welt.
- Manusia dipandang dari sudut sungguh-sungguh sebagai barang dunia
yang badani, oleh karena memiliki sifat-sifat badani juga.
- Esprit incarne. Manusia adalah roh yang telah menjelma menjadi
daging. Maksudnya bahwa manusia betul-betul bersifat jasmani,
stoffelijk.
Dengan 3 jenis pandangan secara filsafat diatas bahwa manusia sebagai
subjek hukum memiliki keistimewaan dibandingkan makhluk lain yaitu akal budi
serta sudah diakuinya sebagai subjek hukum sejak dalam kandungan. Dengan
memiliki akal budi serta pengakuan ini maka manusia dapat berkehendak dan dapat
melakukan suatu perbuatan hukum yang diinginkannya.
Oleh Notohamidjojo juga menjelaskan mengenai dari subjek hukum sendiri
sebagai berikut :
Menyatakan bahwa manusia meliputi objek, subjek dan relasi.
Manusia sebagai objek adalah manusia dalam perwujudan lahiriah
yang memiliki tubuh, mengisi suatu ruang sehingga dapat dicandra.
Manusia selain sebagai objek juga mewujudkan subjek yang berarti
mempunyai kehendak dan mengambil keputusan yang bebas.
Manusia bukanlah subjek yang berdiri sendiri, melainkan senantiasa
dalam perhubungan dengan kenyataan. Manusia bukan pula
12 Dyah Hapsari Prananingrum, TELAAH TERHADAP ESENSI SUBJEK HUKUM: MANUSIA
DAN BADAN HUKUM, Jurnal Ilmu Hukum: Refleksi Hukum, Universitas Kristen Satya Wacana, Vol. 8 No. 1, 2014, h. 3.
8
kebebasan saja, namun kebebasan dalam tanggung jawab. Manusia
hidup dalam hubungan timbal balik dengan lingkungannya, dan
masyarakatlah lingkungan di mana manusia hidup. Dengan demikian,
hakikat manusia dapat dilukiskan sebagai objek-subjek relasi.13
Ketika manusia sebagai subjek hukum, yang oleh hukum dijamin
kebebasannya serta melakukan suatu perbuatan hukum, terdapat batasan-batasan
bagi manusia untuk mulai dapat melakukan perbuatan hukum. Tidak semua
manusia dapat melakukan suatu perbuatan hukum, tetapi semua manusia dianggap
sebagai subjek hukum. Pada dasarnya manusia dapat melakukan perbuatan hukum
yang dengan kata lain memiliki kecakapan kecuali undang-undang menyatakan
lain. Dari ini dapat ditemukan poin penting bahwa, manusia walaupun sebagai
subjek hukum, namun terdapat batas-batas kecakapan untuk melalakukan perbuatan
hukum. Beberapa manusia yang dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum
ialah anak yang masih dibawah umur, orang yang dinyatakan pailit, dan orang yang
berada dibawah pengampuan. Hal ini digolongkan untuk bertujuan melihat sah dan
tidaknya dalam melakukan suatu perbuatan hukum serta pertanggungjawaban
hukumnya.
Dalam penjelasan diatas dikatakan bahwa manusia sebagai subjek hukum
sudah dari dalam kandungan, akan tetapi terdapat pengecualian dimana bila bayi
tersebut lahir dalam keadaan meninggal maka dia dianggap tidak pernah ada,
sehingga tidak ada status sebagai subjek hukum. Selain terkait dengan bayi yang
meninggal dunia sehingga tidak ada statusnya sebagai subjek hukum, terdapat
subjek hukum (manusia) yang dianggap tidak cakap dalam melakukan perbuatan
13 Ibid, h. 4.
9
hukum. Mereka disebut personae miserabile,14 sehingga mengakibatkan tidak
dapat melaksanakan sendiri hak-hak dan kewajibanya, yang menjadikan perlunya
adanya wali atau pengampu atau dalam kepailitan disebut dengan kurator untuk
dapat memenuhi hak-hak dan kewajiban mereka. Golongan-golongan manusia
yang disebut dalam personae miserabile adalah : 15
a. Anak yang masih dibawah umur atau belum dewasa (belum berusia
21 tahun), dan belum kawin/nikah. Aturan mengenai batasan umur ini
diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai
berikut:
- Pasal 330 KUHPerdata ( batas usia 21 tahun atau telah nikah
(kawin) atau pernah nikah (kawin).
- Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan menetapkan batas usia melangsungkan
perkawinan adalah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi
wanita. Namun pada Pasal 6 ayat (1) yang belum berusia 21
tahun harus mendapat izin dari orang tua atau walinya untuk
melakukan perkawinan.
- Pasal 45 KUHPidana berbunyi, belum dapat dipidana
seseorang yang belum berusia 16 tahun. Namun pada Pasal 46
KUHPidana, apabila hakim tetap mepidanakan maka dapat
memilih tiga putusan yaitu dikembalikan ke orang tua si anak,
memasukan dalam pemeliharaan anak negara, atau
menjatuhkan pidana yang dikurangi sepertiga dari ancaman
maksimal dan dipenjara khusus penjara anak.
- Pasal 28 Undang-Undang No 3 tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum (Pemilu), hak untuk memilih adalah usia 17 tahun, atau
sudah/pernah kawin.
b. Selain anak yang dibawah umur orang dewasa pun dapat dikatakan
tidak cakap melakukan perbuatan hukum sehingga butuh wali /
pengampu yaitu :
- Sakit ingatan : gila, orang dungu, penyakit suka mencuri
(kleptomania), khusunya penyakitnya.
- Pemabuk dan pemboros (ketidakcakapannya khusus dalam
peralihan hak di bidang harta kekayaan)
Di atas adalah beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur batasan-batasan usia bagi anak yang belum dewasa dan cakap melakukan
14 Marwan Mas Op.Cit h. 24. 15 Ibid, h. 24-25.
10
perbuatan hukum serta orang-orang dewasa yang digolongkan tidak cakap
melakukan perbuatan hukum.
Secara yuridis ada beberapa alasan tentang manusia sebagai subjek hukum.
Pertama, manusia mempunyai hak-hak subjektif. Kedua, kewenangan hukum yang
berarti kecakapan untuk menjadi subjek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan
kewajiban. Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kandungan karena
status sebagai subjek hukum yang melekat pada manusia adalah kodrat yang dibawa
dari lahir sedangkan hukum hanya mengakuinya saja. Pengecualian atas hak
tersebut terdapat di dalam Pasal BW yang mengatur bahwa anak yang ada dalam
kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan si anak
menghendakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah
ada. Pengecualian atas hak ini disebut dikenal dengan fiksi hukum. Tidak semua
manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum, adapun orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang
cakap menurut hukum. Sedangkan orang-orang yang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum adalah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah
pengampuan, seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata).16
Dikatakan bahwa selain subjek hukum manusia yang diakui secara
keseluruhan oleh hukum, terdapat entitas subjek hukum lainnya yang disebut badan
hukum (rechtspersoon). Badan hukum sendiri merupakan hasil dari peristiwa
hukum di masyarakat yang kemudian memunculkan pemahaman hukum baru.
Secara otomatis badan hukum sebagai subjek hukum tentu memiliki kewenangan
16 Dyah Hapsari Prananingrum Op.Cit h. 4
11
hak dan kewajiban dimana ia cakap melakukan perbuatan hukum. Badan hukum ini
merupakan perkumpulan yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum merupakan
persona ficta atau orang yang diciptakan oleh hukum sebagai persona.17
BW menggunakan istilah rechtspersoon yaitu pada saat diadakannya
pengaturan tentang kanak-kanak (kinderwetten). Menurut Pasal 292 Ayat (2) dan
Pasal 302 Buku I BW serta sejak diadakannya buku Titel 10 Buku III BW (lama)
pada tahun 1838 terdapat banyak ketentuan tentang apa yang dimaksud dengan
rechtspersoonen tetapi istilah yang digunakan adalah zedelijk lichaam (badan
susila). Mengenai istilah ini, Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam
Dyah Hapsari Prananingrum berpendapat sebagai berikut : 18
Dalam menejermahkan zadelijk lichaam menjadi badan hukum, lichaam itu
benar terjemahannya badan, tetapi hukum sebagai terjemahan zadelijk itu salah,
karena arti sebenarnya susila. Oleh karena itu, istilah zadelijk lichaam dewasa ini
sinonim dengan rechtspersoon, maka lebih baik kita gunakan pengertian itu dengan
terjemahan pribadi hukum.
Badan hukum sebagai salah satu subjek hukum, memang banyak sekali
perdebatan yang menganggap bahwa badan hukum bukanlah subjek hukum.
Namun dalam Buku Ketiga BW Pasal 1653 dan 1654 menyinggung beberapa
ketentuan yang dapat menjadi dasar sahnya badan hukum. Pada Pasal 1653 BW
berbunyi :
“Selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula
perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-
perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau
17 Ibid, h. 6. 18 Ibid
12
diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun
perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperboehkan, atau
telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak didirikan untuk
suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-
undang atau kesusilaan baik”.
Kemudian pada Pasal 1654 BW berbunyi :
“Semua perkumpulan yang sah adalah, seperti halnya dengan
orang-orang preman, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata,
dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan umum, dalam mana
kekuasaan itu telah diubah, dibatasi atau ditundukan pada acara-acara
tertentu”.
Dari rumusan diatas ditemukan 3 macam perkumpulan dalam Pasal 1653
yang bisa dijadikan landasan yuridis keberadaan badan hukum:19
a. Perkumpulan yang diadakan oleh kekuasaan umum
b. Perkumpulan yang diakui oleh kekuasaan umum
c. Perkumpulan yang diperkenankan atau untuk suatu maksud
tertentu tidak berlawanan dengan undang-undang atau
kesusilaan.
Dalam bahasa Inggris manusia disebut sebagai natural person, sedangkan
badan hukum disebut legal person. Salmond menjelaskan mengenai badan hukum
yang berbunyi :
“a legal person is any subject matter other than human being to which
the law attributes personality’
Maksud dari pernyataan ini bahwa karakteristik badan hukum adalah
didirikan oleh orang, mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan
19 Ibid, h. 7.
13
pendiri dan pengurusnya, mempunyai hak dan kewajiban terlepas dari hak dan
kewajiban pendiri atau pengurusnya.20
Namun, perdebatan mengenai badan hukum masih saja ramai dibicarakan.
Salah satu poin penting perdebatan tersebut terkait dengan eksistensinya. Ketika
manusia menjadi subjek hukum maka hak dan kewajibannya jelas tersirat
sebagaimana ia berkehendak. Eksistensi dan keberadaan manusia sebagai subjek
hukum jelas terlihat nyata. Lain hal dengan badan hukum, ketika badan hukum
tercipta tentulah dibutuhkan pengakuan. Ketika pengakuan belum diajukan ke
lembaga yang berwenang dalam ini belum didaftarkan maka entitas dirinya sebagai
badan hukum belum dapat diakui. Permasalahan kemudian yang muncul terkait
dengan badan hukum adalah subjek hukum yang dianggap fiktif. Hal ini
dikarenakan keberadaannya berada dibayang-bayang subjek hukum manusia
sehingga hak dan kewajiban serta kehendak subjek hukum badan hukum dianggap
sama sebagai subjek hukum manusia.
Marwan Mas di dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Ilmu Hukum”
menjelaskan syarat badan hukum untuk menjadi subjek hukum. Terdapat empat
teori sebagai syarat menjadi badan hukum menjadi subjek hukum: 21
a. Teori fictie, yaitu badan hukum dianggap sama dengan manusia
(orang) sebagai subjek hukum, dan hukum juga memberi hak dan
kewajiban.
b. Teori kekayaan bertujuan, yaitu harta kekayaannya dari suatu
badan hukum mempunyai tujuan tertentu, dan harus terpisah dari
harta kekayaan para pengurusnya atau anggotanya.
c. Teori pemilikan bersama, yaitu semua harta kekayaan badan
hukum menjadi milik bersama para pengurusnya atau anggotanya.
20 Peter Mahmud Marzuki Op.Cit, h. 207 21 Marwan Mas, Op.Cit, h. 25-26.
14
d. Teori organ, yaitu badan hukum itu harus mempunyai organisasi
atau alat untuk mengelola dan melaksanakan kegiatan untuk
mencapai tujuan, yaitu para pengurus dan aset (modal) yang
dimiliki.
Empat teori diatas dianggap sebagai syarat badan hukum bisa mendapatkan
statusnya sebagai subjek hukum dan entitas badan hukumnya bisa diakui. Selain itu
penulis juga menambahkan bahwa status sebagai badan hukum harus didaftarkan
ke Menkumham sebagai bentuk pengesahan badan hukum.
Badan hukum dalam hal ini dibedakan menjadi 2 jenis baik publik maupun
privat. Badan hukum publik lebih pada lingkup pemerintahan baik pusat maupun
daerah, sedangkan badan hukum privat terlepas dari unsur pemerintahan karena
didirikan hanya untuk mencari keuntungan salah satunya adalah Perseroan Terbatas
(PT).22
Terdapat beberapa pendapat mengenai badan hukum. Oleh Dyah Hapsari
Prananingrum di dalam jurnal refleksi hukum yang berjudul “Telaah Terhadap
Esensi Subjek Hukum: Manusia Dan Badan Hukum”, menurut Apeldoorn, yang
dimaksud dengan purusa hukum (badan hukum) adalah : 23
a. Tiap-tiap persekutuan manusia, yang bertindak dalam pergaulan
hukum seolah-olah ia suatu purusa yang tunggal
b. Tiap-tiap harta dengan tujuan yang tertentu, tetapi dengan tiada
yang empunya, dalam pergaulan hukum diperlakukan seolah-olah
ia sesuatu purusa (yayasan).
Menurut Rochmat Soemitro, badan hukum atau rechtspersoon adalah suatu
badan atau perkumpulan yang dapat mempunyai harta, hak, serta kewajiban seperti
22 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, h. 207. 23 Dyah Hapsari Prananingrum, Op.Cit, h. 8.
15
orang-orang pribadi.24 Wirjono Prodjodikoro menyatakan badan hukum sebagai
badan di samping manusia perseorangan yang dianggap dapat bertindak dalam
hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan hubungan hukum
dengan orang lain maupun badan lain.25
Dengan pendapat ahli hukum diatas maka pemikiran serta pengertian badan
hukum sebagai subjek hukum dapat diterima dan tak dianggap fiktif lagi. Badan
hukum yang merupakan subjek hukum tentu dibuat oleh sekumpulan-sekumpulan
subjek hukum (manusia) untuk suatu kepentingan tertentu. Dengan begitu entitas
perkumpulan tersebut untuk membuat suatu badan yang dapat menampung
kepentingan-kepentingan para subjek hukum dapat diakui. Sama halnya dengan
subjek hukum manusia, subjek hukum badan hukum tentu memiliki hak dan
kewajibannya sendiri, terdapa harta kekayaannya sendiri yang terpisah dari para
pengurus badan hukum, adanya kepentingan berkaitan dibuatnya badan hukum
tersebut, serta dapat dipailitkan. Perseroan Terbatas (PT) merupakan salah satu
contoh badan hukum yang memiliki legal entitynya sendiri. Perseroan Terbatas
yang dimana terbentuk dari sebuah perjanjian antara para pihak untuk memenuhi
kepentingan tertentu. Kemudian adanya kepengurusan atau organ-organ yang
menopang jalannya badan hukum tersebut sehingga siklus bisnis akan terus
berputar sehingga badan hukum tersebut tidak berhenti.
Terdapat unsur-unsur mengenai badan hukum, menurut Scholten badan
hukum haruslah memenuhi unsur-unsur : 26
24 Ibid, h. 9. 25 Ibid. 26 Ibid, h. 10.
16
a. Mempunyai harta kekayaan sendiri, yang berasal dari suatu
perbuatan hukum pemisahan.
b. Mempunyai tujuan tertentu sendiri.
c. Mempunyai alat perlengkapan atau organisasi.
Menurut Ali Rido, untuk menentukan kriteria sebagai badan hukum, doktrin
memberikan syarat sebagai berikut : 27
a. Adanya harta kekayaan yang terpisah.
b. Mempunyai tujuan tertentu
c. Mempunyai kepentingan.
d. Adanya organisasi yang teratur.
Menurut Soenawar Soekowati, badan hukum harus memenuhi unsur-unsur
: 28
a. Ada harta kekayaan yang terpisah lepas dari kekayaan anggota-
anggotanya ( pendiri)
b. Adanya kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum,
serta bukan kepentingan satu atau beberapa orang saja.
c. Kepentingan tersebut haruslah panjang (stabil)
d. Harus dapat ditunjukan suatu harta kekayaan yang tersendiri,
yang tidak saja untuk objek tuntutan tetapi juga sebagai upaya
pemeliharaan kepentingan-kepentingan badan hukum yang
terpisah dari kepentingan anggota-anggotanya (pendiri).
27 Ibid, h. 11. 28 Ibid.
17
Dari beberapa pendapat para ahli hukum diatas memiliki kesamaan besar
untuk menjelaskan mengenai subjek hukum. Poin penting yang muncul mengenai
subjek hukum adalah adanya pendukung dirinya untuk dapat memiliki hak dan
kewajiban dalam kewenangannya bertindak menurut tata cara yang dibenarkan oleh
hukum, kemudian adanya kecakapan hukum sebagai dasar bahwa subjek hukum
dapat bertindak atas dirinya sendiri, dan adanya pengakuan oleh hukum, dengan
demikian hal tersebut meliputi subjek hukum (natuurlijk person) dan
(rechtsperson).
2. Perjanjian
a. Pengertian
Perjanjian merupakan perbuatan hukum yang dihasilkan dari perikatan.
Dalam kamus hukum perikatan di definisikan berupa “kesepakatan atau persetujuan
untuk memberikan, berbuat atau tidak berbuat sesutu”. Sedangkan perjanjian dalam
kamus hukum berbunyi “ persetujuan secara tertulis atau lisan yang dibuat dua
pihak atau lebih di mana masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut
dalam persetujuan itu sebagai kesepakatan bersama; persetujuan atau kesepakatan
resmi antara dua orang atau pihak atau negara atau lebih dalam bidang-bidang
tertentu”. Dalam Buku ke III BW Pasal 1233 dan 1234 menjelaskan perikatan pada
umumnya yang berbunyi :
Pasal 1233 :
“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena
undang-undang”.
18
Pasal 1234 :
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
Sedangkan definisi perjanjian terdapat pada Pasal 1313 BW yang berbunyi:
Pasal 1313:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Dalam kedua Pasal tersebut telah menjelaskan mengenai definisi dari
perikatan dan perjanjian. Namun secara jelas bahwa perikatan tidak sama dengan
perjanjian. Perjanjian adalah sumber dari perikatan. Bila digambarkan bahwa
perikatan bisa muncul karena perjanjian dan Undang-Undang. Dari Undang-
Undang sendiri muncul memang karena Undang-Undang dan karena perbuatan
manusia ( sesuai hukum maupun melawan hukum). Perjanjian sendiri memiliki
beberapa istilah seperti: perjanjian, persetujuan, kontrak, dan perutangan. Namun
dalam hal ini kebanyakan para pihak menyebutnya sebagai kontrak. Hal ini didasari
dengan kepentingan bisnis yang dimana ada tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan
dalam perjanjian tidak sepenuhnya hal tersebut untuk mencari keuntungan. Kontrak
merupakan salah satu istilah yang sering digunakan dalam perbuatan hukum.
Klausul-klausul yang ingin dicapai pun dapat dibuat sedemikian rupa untuk
menjadikan sebuah keuntungan. Pada dasarnya kontrak berawal dari perbedaan
atau ketidaksamaan kepentingan diantara para pihak. Untuk mencapai suatu
kesepakatan biasanya dilakukan negosiasi untuk menciptakan bentuk kesepaatan
yang telah disetujui.
19
Perkembangan hukum kontrak dalam praktiknya terkadang masih dipahami
secara rancu. Pelaku bisnis kebanyakan mencampuradukan pengertian tersebut
seolah berbeda. Dalam BW menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk
pengertian yang sama. Hal ini secara jelas dapat disimak dari judul Buku III titel
Kedua Tentang “ Perikatan-Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Perjanjian”
yang dalam bahasa aslinya (bahasa Belanda), yaitu : “Van verbintenissen die uit
contract of overeenkomst geboren worden”. Pengertian ini juga didukung pendapat
banyak sarjana antara lain : Jacob Hans Niewenhuis, Hofmann, J.Satrio, Soetojo
Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Mariam Darus Badrulzaman, Purwahid
Patrick, dan Tirtodiningrat yang menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam
pengertian yang sama.29 Namun menurut Subekti mempunyai pendapat lain
mengenai istilah “perjanjian atau persetujuan” dengan “kontrak”. Menurutnya
istilah kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada
perjanjian atau persetujuan yang tertulis.30
Peter Mahmud Marzuki memberikan penjelasan mengenai istilah kontrak
atau perjanjian dengan melakukan perbandingan dengan sistem Anglo-American
sebagai berikut :
Sistematika Buku III tentang verbintenissenrecht (Hukum Perikatan)
mengatur mengenai overeenkomst yang kalau diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia berarti perjanjian. Istilah kontrak merupakan
terjemahan dari Bahasa Inggris contract. Di dalam konsep
kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada buku III BW
Indonesia tentang hukum Perikatan mengindikasikan bahwa
perjanjian memang berkaitan dengan masalah Harta Kekayaan(
Vermogen). Pengertian perjanjian ini mirip dengan contract pada
konsep Anglo-American yang selalu berkaitan dengan bisnis. Di
29 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, Kencana, Jakarta, 2014, h. 13. 30 Ibid, h. 14.
20
dalam pola pikir Anglo-American, perjanjian yang bahasa Belanda-
nya overeenkomst dalam bahasa Inggris disebut agreement yang
mempunyai pengertian lebih luas dari contract, karena mencakup hal-
hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk agreement
yang berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedang untuk yang
tidak terkait dengan bisnis hanya disebut agreement.31
Dengan pendapat demikian, penulis akan menggunakan istilah perjanjian
dalam membahas topik, hasil penelitian dan analisis. Tujuannya adalah lingkup
bahasan yang digunakan terkait perjanjian oleh suami isteri yang terikat dalam
perkawinan dalam hal mendirikan Perseroan Terbatas (PT). Otomatis lingkup yang
dibahas adalah perjanjian karena aspek yang dilihat tidak hanya sebatas bisnis.
Dilihat bahwa Pasal 1313 BW memberikan rumusan mengenai perjanjian.
Oleh Subekti memberikan definisi dari perjanjian itu sendiri dengan suatu peristiwa
dimana seseorang berjanji pada seorang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.32 Sedangkan oleh KRMT Tirtodiningrat
memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata
sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum
yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.33
Dengan demikian definisi mengenai perjanjian menjadikan suau perbuatan
seseorang dengan orang lain atau lebih untuk melakukan suatu hal yang
menimbulkan akibat hukum sehingga pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian
tersebut harus melaksanakannya dengan itikad baik. Namun dalam rumusan Pasal
1313 BW terdapat kekurangan terkait perbuatan hukumnya. Dalam Pasal 1313 BW,
31 Ibid,h. 14-15. 32 Ibid, h. 15-16. 33 Ibid, h. 16.
21
persetujuan tersebut hanya menyebutkan persetujan sepihak saja. Definisi tersebut
menurut Purwahid Patrik terdapat kelemahan sebagai berikut : 34
a. Definisi tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal
ini dapat disimak dari rumusan “ satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih darinya”.
Kata “mengikatkan “ merupakan kata kerja yang sifatnya hanya
datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua pihak. Sedang maksud
perjanjian itu para pihak saling mengikatkan diri, sehingga tampak
kekurangannya yang seharusnya ditambah dengan rumusan
“saling mengikatkan diri”.
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus/kesepakatan,
termasuk perbuatan mengurus kepentingan orang lain
(zaakwaarneming) dan perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatigedaad). Hal ini menunjukan makna “perbuatan” itu
luas dan yang menimbulkan akibat hukum.
c. Perlu ditekankan bahwa rumusan Pasal 1313 BW mempunyai
ruang lingkup di dalam hukum harta kekayaan (vermogensrecht).
Dengan begitu perlunya dilengkapi kekurangan dari definisi dalam Pasal
1313 BW, sehingga pengertian perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu
orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap pihak lainnya. Di dalam
Nieuw Burgelijk Wetboek (NBW) Pasal 1313 KUHPerdata mengalami perubahan
yang diatur dalam Buku 6 Bab 5 Pasal 6:213, yaitu : “a contract in the sense of this
title is a multilateral juridical act whereby one or more parties assume an
obligation towards one or more other parties”. Menurut NBW kontrak merupakan
perbuatan hukum yang bertimbal balik, di mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.35
Jelas dalam perubahan Pasal 1313 di NBW mengenai definisi perjanjian yang
dimana harus adanya timbal balik dari pihak untuk melakukan suatu perjanjian.
34 Ibid, h.17-18. 35 Ibid, h. 18-19.
22
b. Keabsahan suatu perjanjian
Mengenai perjanjian yang akan dibuat tentulah diperlukan adanya syarat-
syarat khusus untuk sahnya sebuahnya perjanjian tersebut. Ketentuan itu diatur
dalam Buku III BW pada Bab ke dua bagian ke dua mengenai “tentang syarat-syarat
yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian” pada Pasal 1320 BW , untuk sahnya
suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Ketentuan mengenai Pasal 1320 BW merupakan syarat yang harus ada di
dalam setiap perjanjian. Ketentuan mengenai syarat sah tersebut juga dibarengi
dengan adanya kehendak yang tidak cacat. Maksud dengan kehendak yang tidak
cacat adalah bahwa perjanjian tersebut memang dibuat dengan jasmani dan rohani
para pihak tanpa ada hal lain yang memaksa. Hal ini diatur dalam Pasal selajutnya
yaitu Pasal 1321 BW yang berbunyi :
“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena
kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Hal ini sebagaimana adanya itikad baik dalam membuat perjanjian sehingga
tidak adanya cacat kehendak dalam pelaksanaannya atau prestasinya dapat
dilakukan. Itikad baik tertuang di dalam Pasal 1338 ayat (3) BW, sehingga segala
perjanjian yang dibuat oleh para pihak perlu memperhatikan ketentuan Pasal
tersebut. apabila ketentuan dasar syarat sahnya suatu perjanjian tentu
mengakibatkan perjanjijan tersebut dapat dibatalakan ataupun batal demi hukum (
dianggap tidak pernah adanya suatu perjanjian tersebut).
23
c. Asas-asas di dalam perjanjian
Di dalam perjanjian sendiri memiliki asas-asas yang menjadi dasar
dibuatnya perjanjian tersebut serta akibat yuridisnya setelah perjanjian itu telah
disahkan. Di dalam perkembangnya asas hukum perjanjian di bagi menjadi
beberapa bagian. Asas-asas hukum perjanjian tersebut berkaitan dengan lahirnya,
isi, kekuatan mengikatnya dan pelaksanaan perjanjian. Beberapa asas tersebut
dijelaskan sebagai berikut :
a. Asas konsensualisme
Asas ini berkaitan dengan lahirnya perjanjian . Asas ini menceritakan bahwa
perjanjian pertama kali lahir dari kata sepakat. Pihak-pihak ataupun para pihak
tersebut saling mengikatkan dirinya satu sama lain dalam bentuk tertulis dengan
apa yang mereka janjikan sekalipun belum terlaksana. Dengan adanya kata sepakat
terlebih dahulu sudah memunculkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang
terlibat. Christiana Tri Budhayati dalam Mariam Darus mengutip adanya empat
teori yakni :36
- Teori kehendak (wilstheorie), mengajarkan bahwa
kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima
dinyatakan.
- Teori penerimaan (verzendtheorie), mengajarkan bahwa
kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu
dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
- Teori pengetahuan (vernemingstheorie), mengajarkan bahwa
pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa
tawarannya diterima.
- Teori kepercayaan (vertrouventstheorie), mengajrakan bahwa
kesepakatan terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap
layak diterima oleh pihak yang menawarkan.
36 Dyah Hapsari Prananingrum, ed., Dinamika Hukum Kontrak,Universitas Kristen Satya
Wacana, Salatiga, 2013, h. 47.
24
Dengan teori-teori yang dikemukakan maka dapat disusun bahwa teori
kehendak sebagai mulanya kata sepakat dalam membuat suatu perjanjian. Adanya
kehendak dari masing-masing pihak sebagai itikad baik serta kecakapan hukum
bahwa dirinya dapat melakukan suatu perjanjian tanpa ada paksaan. Kemudian
dengan teori kedua yaitu teori penerimaan merupakan langkah kedua dari
kehendak. Ketika kehendak telah dilakukan maka secara otomatis tawaran-tawaran
serta bentuk-bentuk dari perjanjian akan dapat diterima. Dengan mengkonfirmasi
seperti di dalam jual beli online maka dalam melakukan persetujuan yaitu dengan
menekan tombol beli atau mengkonfirmasi apapun untuk mengirim pemberitahuan
bahwa seseorang ingin membeli maka teori yang kedua telah terpenuhi. Teori yang
ketiga merupakan teori pengetahuan sebagai akibat dari teori penerimaaan. Hal ini
bisa dikatakan dengan konfirmasi atas tawaran yang telah diajukannya dan telah
diterima. Teori kepercayaan sebagai teori yang terakhir merupakan kehendak
masing-masing yang melakukan perjanjian tahu akan isi dari perjanjian tersebut dan
dapat diterima serta saling adanya itikad baik.
b. Asas Kebasan Berkontrak
Asas ini berkaitan dengan dengan isi perjanjian atau kontrak. Asas ini
memberikan kepada siapapun yang cakap melakukan perbuatan hukum dapat
membuat perjanjian atau kontrak dengan siapa saja yang juga cakap hukum.
Dengan begitu asas ini memberikan kebebasan bagi para pihaknya melakukan suatu
perjanjian dengan pihak manapun asalkan adanya kesepakatan dan terpenuhinya
unsur-unsur dalam pembuatan perjanjian baik itu unsur subjek serta unsur objek.
Selain dengan siapapun pihak dapat membuat sebuah perjanjian atau kontrak,
mengenai isi perjanjian atau kontrak pun masing-masing pihak dapat menentukan
25
isi perjanjiannya seperti apa. Hal ini sebagai persamaan posisi sehingga tidak ada
yang merasa diatas ataupun dibawah. Ketentuan mengenai asas kebebasan
berkontrak terdapat di dalam Pasal 1338 ayat (1) BWyang berbunyi :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”.
Kata “semua” mengandung makna meliputi seluruh perjanjian baik yang
telah diatur dalam KUHPerdata (dikenal dengan perjanjian bernama) maupun
perjanjian yang belum didaftar dalam KUHPerdata, yang muncul karena kebutuhan
masyarakat (lebih dikenal dengan istilah perjanjian tidak bernama).37
Kemudian dari asas ini tidak ditafsirkan bahwa kebebasan berkontrak
dianggap sebagai sebebas-bebasnya, karena harus ada ketentuan dalam membuat
perjanjian apapun modelnya. Dengan memperhatikan Pasal 1337 BW yang
memberikan batasan bebas terhadap asas kebebasan berkontrak yang berbunyi :
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang,
atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban
umum”.
Dengan bunyi seperti diatas maka perlu memperhatikan bahwa perjanjian
tidak boleh melanggar undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
c. Asas Pacta Sun Servanda
Asas ini berkaitan dengan kekuatan mengikatnya perjanjian atau kontrak
yang telah dibuat para pihak. Asas ini diatur dalam Pasal 1338 BW yang berbunyi
:
37 Ibid, h. 48-49.
26
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”.
Asas ini melihat bahwa adanya jaminan kepastian hukum pada para pihak
yang berjanji, para pihak akan “terikat” pada apa yang diperjanjikan, terkandung
makna bahwa ia tidak dapat mengingkari apa yang telah diperjanjikan,
pengingkaran tentu akan mendatangkan sanksi hukum bagi yang bersangkutan.38
Selain para pihak terikat dengan apa yang telah mereka perjanjikan, mereka
juga harus memperhatikan pada kebiasaan dan kepatutan di masyarakat. Jangan
sampai perjanjian yang dibuat berbenturan dengan kebiasaan dan kepatutan di
dalam masyarakat. Hal ini diatur di dalam Pasal 1339 BW yang berbunyi :
“Persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang”.
Di dalam Pasal ini terdapat mengenai asas kepatutan yang akan menjadi
dasar bagi pihak yang akan membuat perjanjian.
d. Asas Itikad Baik
Asas ini terkait dengan pelaksanaan dari isi perjanjian nantinya. Itikad baik
merupakan asas untuk melihat apakah pihak-pihak yang terkait membuat kontrak
benar-benar melakukan kewajiban hukumnya dengan apa yang diperjanjikan. Hal
ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW yang berbunyi:
“Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”
38 Ibid, h.50.
27
Secara tegas dari bunyi Pasal tersebut bahwa pihak-pihak yang terafiliasi di dalam
perjanjian yang dibuat terikat untuk melakukan kewajiban hukumnya atau sering
disebut dengan (prestasi). Dengan demikan asas itikad baik juga bersumber dari
rasa saling percaya antara yang membuat perjanjian.
Kriteria itikad baik tidak ditemukan dalam peraturan perundangan, oleh
karena itu hakim mempunyai kewenangan untuk menetapkan apakah suatu
perjanjian dibuat atau dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik dapat dilihat dari
sikap tingkah laku yang nyata dari subyek pembuat perjanjian, dapat pula bersifat
mutlak dengan penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan dengan ukuran yang
obyektif.39
Ridwan Khairandy dalam Christiana Tri Budhayati, menjelaskan bahwa
pengertian itikad baik mempunyai dua dimensi: 40
- dimensi subyektif yang berarti itikad baik mengarah pada
makna kejujuran.
- dimensi yang memaknai itikad baik sebagai kerasionalan dan
kepatutan atau keadilan.
Dengan dua dimensi tersebut maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak
haruslah terkait dan memiliki kedua unsur dimensi diatas, selayaknya sebuah
perjanjian yang dibuat maka kepatutan dan kerasioanalan harus jelas terlihat.
Demikian, maka rasa adil bagi para pihak dapat terjamin.
39 Ibid, h. 52. 40 Ibid.
28
3. Perjanjian Terkait dengan Pendirian Perseroan Terbatas (PT)
untuk melihat mengenai perjanjian terkait dengan pendirian Perseroan
Terbatas (PT) maka harus melihat dari tahap inkorporasi Perseroan Terbatas (PT).
Dalam pra inkorporasi, aktivitas pendirian Perseroan Terbatas (PT) dapat dipilah
menjadi 3 langkah : 41
a. Discovery, merupakan langkah-langkah yang meliputi upaya
untuk menemukan kesempatan bisnis apa yang akan
dikembangkan, bagaimana prospek bisnis tersebut, apa
tantangan yang dihadapi untuk mengembangkan bisnis
tersebut.
b. Investigation, merupakan analisis terhadap rencana bisnis
yang telah dipilih untuk mendapatkan kepastian apakah suatu
aktivitas bisnis tertentu itu memiliki kelayakan ekonomis atau
tidak.
c. Assembly, merupakan langkah terakhir yang mencakup pada
tindakan konkrit sebagai tahapan (steps) mewujudkan
berdirinya Perseroan Terbatas. Langkah ini mencakup
bagaimana kebutuhan modal (baik modal tetap maupun modal
berjalan) diperoleh, bagaimana menyediakan kebutuhan
tenaga kerja, perencanaan detail maupun lanjutan dari suatu
perusahaan.
Di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(PT) pada Pasal 1 ayat (1) menjelaskan terlebih dahulu definisi dari Perseroan
Terbatas (PT) yang berbunyi :
“adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan
pelaksananya”.
41 Tri Budiyono, Op.Cit, h. 35-36.
29
Dari penjelasan tersebut dapat ditemui beberapa unsur-unsur klasifikasi sebuah
Perseroan Terbatas (PT). Unsur-unsur ini sebagai berikut : 42
- Badan Hukum yang merupakan persekutuan modal
- Didirikan berdasarkan perjanjian
- Melakukan kegiatan usaha
- Seluruh modalnya terbagi dalam bentuk saham
- Memenuhi persyaratan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya.
Perseroan Terbatas (PT) memiliki status sebagai badan hukum (legal entity)
dengan penekanan sebagai persekutuan modal.43 Ketika sudah dikatakan sebagai
badan hukum maka termasuk dalam subjek hukum sehingga dapat menimbulkan
hak dan kewajiban, dapat dituntut maupun menuntut di muka pengadilan. Namun
dengan tak terbentuk secara alamiah maka dibutuhkannya organ-organ sebagai
mengaktualisasikan badan hukum tersebut. Dengan melihat jenisnya sebagai
persekutuan modal maka modal sebagai hal penting untuk melihat hubungan
hukum di dalamnya. Dengan pemilik modal yang lebih besar maka akan
memberikan partisipasinya lebih banyak ketimbang yang sedikit modalnya ada di
Perseroan Terbatas (PT) itu.
Perseroan Terbatas didirikan berdasarkan perjanjian. Dalam Undang-
Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) diatur bahwa untuk
mendirikan Perseroan Terbatas (PT) sekurang-kurangnya harus mengikutkan 2
(dua) orang. Dua orang atau lebih tersebut membuat perjanjian untuk bersama-sama
mendirikan Perseroan Terbatas (PT). Dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa
teori yang dianut oleh pembentuk Undang-Undang ini disebut teori perjanjian,
dimana pihak yang terlibat sekurang-kurangnya 2 (dua) orang. Teori perjanjian ini
42 Tri Budiyono, Loc.Cit. 43 Ibid.
30
tidak hanya dianut ketika Perseroan Terbatas (PT) akan didirikan saja, tetapi juga
setelah Perseroan Terbatas (PT) berdiri dan beroperasi. 44
Pengaturan mengenai pendirian oleh minimal dua orang dan berdasarkan
perjanjian dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (PT) di dalam Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi:
“Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris
yang dibuat dalam bahasa Indonesia”
Di dalam pendapat ahli hukum lain pun juga menjelaskan mengenai
pendirian Perseroan Terbatas (PT). Ketentuan mengenai pendirian Perseroan
Terbatas (PT) harus didirikan oleh paling sedikit 2 orang. Hal merupakan ketentuan
yang bersifat umum.45 Namun terdapat juga pendirian Perseroan Terbatas (PT)
yang didirikan oleh 1 orang namun hal tersebut berkaitan dengan negara. Dalam hal
ini konteks yang diambil adalah yang didirikan oleh person ( subjek hukum )
manusia, sehingga aturan tersebut harus diperhatikan.
Hal tersebut menjadikannya penting dikarenakan masuk dalam pra
inkorporasi / sebelum Perseroan Terbatas (PT) terbentuk dan beroprasi. Sehingga
apabila tahap dasar tersebut tak terpenuhi maka akibat yuridis selanjutnya akan
menjadi sebuah masalah.
Ketika pendirian sebuah Perseroan Terbatas (PT) yang tidak memenuhi
unsur syarat pendiriannya yaitu minimal dua orang, maka hal tersebut akan
menjadikannya pemegang saham tunggal sehingga pertanggungjawabannya akan
44 Ibid, h. 33. 45 Binoto Nadapdap, Op.Cit., h. 24.
31
menjadi tak terbatas lagi. Hal tersebut sangat bertolak belakang kepada asas prinsip
limited liability atau pertanggungjawaban terbatas. Prinsip ini menjadikan
pemegang saham hanya bertanggungjawab atas sebesar nilai nominal saham yang
dikeluarkan. Pertanggungjawaban terbatas ini dapat disimpangi dalam kondisi
tertentu. Hal tersebut diatur di dalam Pasal 3 ayat (2) Undang – Undnag No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) yang berbunyi :
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila :
a. Persyaratan Perseroan sebagaian badan hukum belum atau tidak
terpenuhi
b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk
kepentingan pribadi
c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan atau
d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan
Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi
tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.
Dari bunyi pada ayat-ayat tersebut merupakan hal-hal yang dapat membuat
pendiri sekaligus pemegang saham menjadikan pertanggungjawabannya tak
terbatas lagi.
4. Harta Kekayaan Dalam Perkawinan
a. Konsep di Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dalam menjelaskan mengenai pendirian sebuah Perseroan Terbatas (PT)
oleh suami isteri yang terikat dalam perkawinan, perlu juga membahas sedikit
mengenai aspek perkawinan khususnya mengenai harta kekayaan mereka. Hal ini
bertujuan untuk melihat hubungan sebagai subjek hukum, apakah tergolong sama
32
dalam subjek hukum yang di sebut di dalam Perseroan Terbatas (PT), dan dapatkah
mereka menjadi pendiri Perseroan Terbatas (PT).
Pengaturan mengenai perkawinan mulanya diatur di dalam Pasal 26 BW
yang berbunyi “ Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam
hubungan perdata”. Sedangkan dalam perkembangan hukum di Indonesia telah
membuat Undang-Undang yang mengatur tentang perkawinan yaitu Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Di dalam Undang-Undang tersebut
menjelaskan perkawinan pada Pasal 1 yang berbunyi :
“Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
keTuhanan Yang Maha Esa”.
Pengaturan mengenai Undang-Undang Perkawinan dinilai lebih luas dalam
perumusannya. Hal dikarenakan BW hanya mengganggap bahwa perkawinan
hanya perikatan perdata saja, namun untuk Undang-Undang No 1 tahun 1974
Tentang Perkawinan lebih dari itu dalam memberikan definisi mengenai
perkawinan. Sahnya sebuah perkawinan tentu dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Kemudian Perkawinan tersebut harus di daftarkan ke Pejabat Pencatatan Sipil
sebagai pengesahan secara hukum dan administrasi, seperti yang tertuang di dalam
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :
33
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku”.
Apabila hal tersebut tidak dilakukan oleh pasangan suami isteri tersebut maka hal
tersebut dianggap bukan pasangan suami isteri yang sah.
Dengan telah dilakukannya sebuah perkawinan tersebut kemudian akan
menimbulkan akibat hukum bagi keduanya. Hal ini biasa disebut dengan akibat
perkawinan. Akibat perkawinan tersebut kemudian akan mempengaruhi 3 hal yaitu
bagi keduanya yaitu suami isteri, bagi harta kekayaan, dan bagi anak-anak yang
dilahirkan.46 Namun di dalam tulisan ini tidak akan menyinggung mengenai akibat
perkawinan terhadap anak-anak yang dilahirkan.
Akibat perkawinan bagi suami isteri akan menimbulkan suatu hak dan
kewajiban sebagaimana sebuah rumah tangga, namun yang menjadi unsur penting
bahwa kedudukan keduanya merupakan hal yang seimbang atau setara. Di dalam
Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
menjelaskan :
Pasal 31 ayat (1)
“Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat”.
Pasal 31 ayat (2)
“Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”
46 Christiana Tri Budhayati, Mengenal Hukum Perdata Di Indonesia, Fakultas Hukum
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2017, h. 47.
34
Dua Pasal diatas merupakan akibat perkawinan terhadap suami isteri.
b. Konsep harta kekayaan
Dari sahnya sebuah perkawinan akan menimbulkan suatu akibat hukum atau
akibat perkawinan. Akibat perkawinan selain terhadap suami isteri juga merujuk
terhadap harta benda mereka yang diperoleh selama perkawinan atau disebut harta
kekayaan, Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan membedakan
harta tersebut sebagai harta bersama dan harta bawaan masing-masing atau harta
pribadi. Ketentuan mengenai harta bersama dijelaskan dalam Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 35 ayat (1) yang berbunyi :
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama”
Dijelaskan oleh Sonny Dewi Judiasih dalam Yahya Harahap yang
menyatakan bahwa pada dasarnya semua harta yang diperoleh selama ikatan
perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama yang dikembangkan dalam proses
peradilan. Berdasarkan perkembangan tersebut maka harta perkawinan yang
termasuk yurisdiksi harta bersama adalah sebagai berikut :47
- Harta yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan berlangusng.
Setiap barang yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan
menjadi yurisdiksi harta bersama. Siapa yang membeli, atas nama
siapa terdaftar, dan dimana letaknya tidak menjadi persoalan.
- Harta yang dibeli dan dibangun pasca perceraian yang dibiayai
dari harta bersama. Suatu barang termasuk yurisdiksi harta
bersama atau tidak ditentukan oleh asal usul biaya pembelian atau
pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu
dibeli atau dibangun pasca terjadinya perceraian.
- Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama dalam ikatan
perkawinan. semua harta yang diperoleh selama ikatan
perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama.
47 Sonny Dewi Judiasih, Op.Cit, h. 24-25
35
- Penghasilan harta bersama dan harta bawaan. Penghasilan yang
berasal dari harta bersama menjadi yurisdiksi harta bersama,
demikian pula penghasilan dari harta pribadi suami isteri juga
masuk dalam yurisdiksi harta bersama. Segala penghasilan pribadi
suami dan isteri. sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami
isteri tidak terjadi pemisahan, bahkan dengan sendirinya
terjadinya penggabungan sebagai harta bersama. Penggabungan
penghasilan pribadi suami isteri ini terjadi demi hukum, sepanjang
suami isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin.
Kemudian dari konsep harta bersama tersebut Undang-Undang No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan juga menjelaskan mengenai harta pribadi. Hal tersebut
tertuang dalam Pasal 35 ayat (2) yang berbunyi :
“Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di
bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain”.
Terhadap harta bawaan atau pribadi masing-masing suami isteri, berada
dibawah pengawasannya masing-masing. Asal usul harta tersebut membedakan
antara harta bawaan dan harta pribadi. Harta bawaan merupakan harta yang didapat
sebelum terjadinya perkawinan sedangkan harta pribadi adalah hasil dari warisan
ataupun hibah yang dimana di dapat di dalam perkawinan. Namun kedua harta
tersebut terdapat ketentuan lain yang dapat membuat harta tersebut menjadi harta
bersama yaitu ketentuan mengenai perjanjian perkawinan.
Dengan adanya pengaturan mengenai harta bersama, tentu akan
menimbulkan suatu batasan terhadap ruang gerak dalam menggunakan harta
tersebut. Hal itu disebabkan penggunaan harta tersebut akan juga berdampak pada
keduanya secara otomatis. Sehingga dalam penggunaannya diperlukan persetujuan
dari salah satu atau keduanya dalam menggunakannya. Namun dari hal ini
36
kemudian muncul konsep berupa perjanjian kawin (prenuptial agreement) hal ini
merupakan hal yang dapat membuat peraturan mengenai harta bersama maupun
harta pribadi menjadi dapat disimpangi. Perjanjian kawin ini merupakan perjanjian
yang dibuat oleh suami isteri untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta
kekayaan mereka. Ada 3 macam bentuk perjanjian perkawinan yaitu :48
a. Perjanjian untung rugi ( dalam hal ini untung dan rugi ditanggung
oleh kedua belah pihak).
b. Persatuan hasil dan pendapatan ( dalam hal ini bila terjadi
keuntungan, maka menjadi milik bersama suami isteri. Namun
bila mengalami kerugian maka pihak yang melakukan suatu
kerugian yang menanggung bebannya. Namun pada prakteknya
suami yang menanggung kerugian).
c. Sama sekali tidak ada persatuan harta kekayaan ( masing-masing
pihak mengelola hartanya sendiri dan lepas dari harta bersama).
Tiga hal diatas merupakan suatu jenis perjanjian perkawinan yang biasa dibuat oleh
suami isteri. Ketentuan dalam pembuatan perjanjian kawin mengenai syarat sahnya
pada dasarnya sama dengan perjanjian seperti biasanya.
Pegaturan mengenai perjanjian perkawinan sendiri diatur pada Pasal 29
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi :
Ayat (1)
“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak
atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut”.
Bunyi dari ayat tersebut mengalami perubahan oleh putusan Mahkamah
Konstitusi dalam pengertian perjanjian perkawinan. Pada ayat (1) mengalami
48 Christiana Tri Budhayati, Op.Cit, h. 52-53.
37
perubahan berupa penambahan isi pasal oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.
69/PUU-XIII/2015 yang berbunyi :
“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan
perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat
mengajukan perjanjian terrtulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”
Hal tersebut menjadikan bunyi kaidah hukum dalam ayat tersebut menjadi
bertambah sehingga dalam membuat perjanjian perkawinan sekalipun dapat dibuat
kapan saja selama masih terikat dalam perkawinan. Teori mengenai perjanjian
perkawinan menjadikan sebuah proposisi bahwa dalam melakukan sebuah
perbuatan hukum yang dimana atas kehendak masing-masing dan tidak adanya
batasan bagi seorang yang sudah berkeluarga. Dapat digunakannya sebuah
perjanjian perkawinan untuk menunjang sebuah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh mereka. Teori ini sebagai suatu kekhusussan yang bertujuan bagi seseorang
yang sudah melakukan perkawinan dan masih terikat di dalamnya.
B. Hasil Penelitian
1. Keabsahan Pendirian Perseroan Terabatas (PT) Oleh Suami Isteri
Dari beberapa teori yang digunakan serta yang dimasukan, bertujuan untuk
menunjang terhadap analisis berupa tesis statment mengenai sebuah topik berupa
“Problematika hukum pendirian Perseroan Terbatas (PT) oleh suami isteri”. hal
tersebut akan merujuk pada sebuah tujuan penelitian berupa keabsahan pendirian
Perseroan Terbatas (PT) oleh suami isteri serta apa saja implikasi-implikasi yang
muncul kemudian. Dalam hal penelitian ini, tesis dari penulis bekaitan pendirian
sebuah Perseroan Terbatas (PT) oleh suami isteri adalah hal yang legal atau sah.
38
Namun ketentuan mengenai legal tersebut yang kemudian merujuk pada
keabsahannya perlu dilakukannya beberapa ketentuan syarat sehingga suami isteri
bisa mendirikan sebuah Perseroan Terbatas (PT).
1.1 Subjek Hukum Sebagai Pendiri Perseroan Terbatas (PT)
Melihat dari pengaturan terhadap pendirian Perseroan Terbatas (PT) yang
diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT),
dapat dilihat mengenai syarat-syarat pendiriannya yang diatur di dalam Bab II
bagian kesatu Pasal 7 hingga Pasal 14 mengenai Pendirian. Terkait dengan
pendirian pada tahap pra inkorporasi harus memenuhi unsur-unsur dasar pada Pasal
7 yang berbunyi:
1) Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta
notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
2) Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat
Perseroan didirikan.
3) Ketentuan sebagaiman dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
dalam rangka Peleburan.
4) Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal
diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan
hukum Perseroan.
5) Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang
saham menjadi nkurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu
paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut
pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian
sahamnya kepada orang lain atau Perseroan mengeluarkan saham
baru kepada orang lain.
6) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang,
pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala
perikatan dan kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak
yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan
Perseroan tersebut.
7) Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua)
orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan
ketentuan pada ayat(5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi:
8) Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau
39
9) Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan
penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan
lembaga lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang
Pasar Modal.
Dari Pasal-pasal tersebut maka secara kaidah hukum untuk mendirikan
sebuah Perseroan Terbatas (PT) minimal oleh dua orang. Proposisi yang kemudian
dikembangkan untuk menjadi statmen adalah diharuskannya mendirikan Perseroan
Terbatas (PT) dengan minimal dua orang. Dua orang ini kemudian merupakan
subjek hukum yang nantinya akan membuat perjanjian diantara mereka sebagai
syarat mengajukan akta pendirian Perseroan Terbatas (PT). Kemudian jelas bahwa
subjek hukum disini cakap melakukan perbuatan hukum sehingga dari masing-
masing pihak memiliki kehendak secara sadar. Berdirinya sebuah Perseroan
Terbatas (PT) tetap bermula dari sebuah perjanjian, dengan demikian ketentuan
mengenai syarat sahnya sebuah perjanjian menjadi rujukan di sini.
Isi dari Pasal 7 tersebut berkaitan dengan ketentuan awal dalam mendirikan
sebuah Perseroan Terbatas (PT). Jelas terlihat dalam pengaturan tersebut mengatur
mengenai Pendirian Perseroan Terbatas (PT) minimal oleh dua orang. Ketentuan
mengenai dua orang tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut di dalam Undang-Undang
No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Di dalam penjelasan Undang-
Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) Pasal 7 ayat (1)
dijelaskan bahwa “yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perseorangan, baik
warga negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing.
Ketentuan dalam ayat ini menegaskan prinsip yang berlaku berdasarkan Undang-
Undang ini bahwa pada dasarnya sebagai badan hukum, Perseroan didirikan
berdasarkan perjanjian, karena itu mempunyai lebih dari 1 (satu) orang pemegang
40
saham”. Bunyi dari penjelasan terhadap Pasal 7 ayat (1) menekankan bahwa pada
dasarnya pendirian sebuah Perseroan Terbatas (PT) minimal oleh dua orang.
Ketentuan mengenai siapa dua orang tersebut, dalam penjelasannya tidak begitu
dipermasalahkan. Sehingga ketentuan dua orang tersebut lebih tepatnya adalah dua
subjek hukum yang memiliki kepentingan untuk berbisnis dengan mendirikan
sebuah Perseroan Terbatas (PT). Di dalam bunyi Pasal sudah jelas bahwa subjek
hukum disini ialah natuurlijk persoon ( manusia). Dengan syarat minimal dua orang
tersebut kemudian terlihat bahwa asas konsensualisme di dalam perjanjian, juga
diadopsi di dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT). Sebagai langkah awal
mendirikan Perseroan Terbatas (PT) tentulah perlunya dilakukan sebuah perjanjian,
dengan syarat dua orang tersebut kemudian terlihat bahwa adanya konsensus atau
kesepakatan dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT) satu sama lain. Hal ini
sebagai lahirnya sebuah perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas (PT) yang pihak-
pihaknya akan mengikatkan dirinya dan memunculkan suatu hak dan kewajiban.
Dengan terpenuhinya asas konsesualisme maka teori-teori yang ada di dalam asas
tersebut juga akan terpenuhi seperti teori kehendak, teori penerimaan, teori
pengetahuan, dan teori kepercayaan. Dari penjelasan beberapa ayat di dalam Pasal
7 Undang – Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) diatas
terdapat sebuah peringatan bahwa apabila dalam mendirikan sebuah Perseroan
Terbatas (PT) menjadikannya pendiri kurang dari dua orang maka akan
dikategorikan sebagai pemegang saham tunggal sehingga diberikannya waktu
dengan jangka 6 bulan sejak keadaan itu untuk mengalihkan saham tersebut ke
orang lain sehingga menjadikannya dua orang. Apabila dalam hal tersebut tetap
tidak menemukan pihak kedua atau selebihnya, terdapat sebuah sanksi dimana
41
diatur dalam Pasal selanjutnya bahwa pertanggungjawaban menjadi pribadi dan
bagi yang berkepentingan dapat dimohonkan pengadilan untuk dibubarkan.
Penjelasan mengenai subjek hukum di dalam Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) tersebut, oleh penulis kembali melihat
ke dalam naskah akademik yang selanjutnya disebut (NA) sebagai permulaan
pembentukan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT)
yang akan masuk kedalam RUU ( Rancangan Undang-Undang). Di dalam NA RUU
Perseroan Terbatas (PT) tersebut menjelaskan bahwa Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) tidak mengatur secara tegas terkait
permasalahan pendirian Perseroan Terbatas (PT) oleh suami isteri. Hal tersebut
terlihat dalam NA RUU Perseroan Terbatas (PT) yang dimasukan ke dalam
beberapa masalah sebagai berikut :49
Permasalahan lain yang muncul terkait dengan Pasal 7 UUPT adalah
mengenai kepemilikan saham pendiri atau pemegang saham PT
merupakan kepemilikan harta pribadi dalam perkawinan yang terjadi
dengan pencampuran harta menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan). Hal ini
menjadi persoalan klasik yang diperdebatkan oleh para praktisi
hukum, akademisi, dan notaris terhadap kemungkinan dilakukannya
pendirian PT oleh suami isteri yang menikah dalam percampuran
harta (gono-gini). Apakah ketentuan ini merupakan ketentuan yang
hanya terkait dengan subjek hukum dalam pendirian PT dan
kepemilikan saham, ataukah ada keterkaitan dengan perkawinan dan
harta perkawinan? Undang-Undang Perseroan Terbatas tidak secara
tegas mengatur atau menjawab hal ini. Sementara Mahkamah
Konstitusi telah menyatakan bahwa ketentuan Pasal 29 ayat (1),
ayat(3) dan (ayat4) Undang-Undang Perkawinan yang mengatur
tentang perjanjian perkawinan dan harta perkawinan yang dilakukan
pada waktu atau sebelum perkawinan, bertentangan dengan UUD NRI
1945.
49 Naskah Akademik, Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas, Kementrian
Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2016, h. 39.
42
Proposisi yang kemudian diambil penulis atas penjelasan di dalam Undang-
Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) adalah bahwa Undang-
Undang tersebut tidak membatasi siapa saja yang dapat mendirikan Perseroan
Terbatas (PT). Hal tersebut juga tertuang di dalam NA RUU Perseroan Terbatas
(PT) yang dimana tidak melihat kekhususan mengenai subjek hukum dalam
mendirikan Perseroan Terbatas (PT). Namun dalam hal ini penulis memperhatikan
bahwa hal yang tidak membatasi atau tidak mengkhususkan siapa subjek hukum
yang disebut di dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (PT) tersebut harus memliki beberapa unsur yang harus terpenuhi dilihat
dari tatanan teori serta asas hukum.
1.2 Perjanjian Sebagai Dasar Pendirian Perseroan Terbatas (PT)
Dikatakan bahwa dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1), dasar pembuatan
Perseroan Terbatas (PT) adalah perjanjian, sehingga hal tersebut harus
memperhatikan ketentuan mengenai syarat sahnya perjanjian. Ketentuan yang
kemudian harus dipenuhi adalah syarat sahnya sebuah perjanjian dari sisi subjeknya
maupun objeknya. Di dalam Pasal 1320 BW berbunyi :
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Untuk poin nomor satu dan dua merupakan syarat subjektif yang dimana
pihak-pihak yang akan membuat sebuah perjanjian harus adanya kata sepakat (tidak
adanya cacat kehendak) seperti yang dijelaskan di dalan asas konsensualisme serta
43
kecakapan sebagai subjek hukum dalam hal pertanggungjawabannya nanti.
Kemudian untuk poin ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yang
merupakan tujuannya dibuat perjanjian serta hal apa yang akan diperjanjikan.
Ketentuan diatas merupakan pengaturan untuk melihat apakah subjek
hukum (manusia) sudah dikatakan cakap hukum. Dengan ketentuan tersebut
menjadikan bahwa seseorang dapat mengikatkan dirinya dengan orang lain.
Kemudian ketentuan mengenai pendirian yang minimal dilakukan oleh dua orang
dengan tanpa menjelaskan siapa saja orang tersebut menjadikan terpenuhinya
sebuah asas dalam membuat perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak. Dapat
dilakukannya perjanjian dengan siapa saja dalam mendirikan Perseroan Terbatas
(PT) menjadikan bahwa tidak ada larangan siapapun untuk menjadi para pihaknya,
hanya saja para pihak tersebut harus memenuhi kecakapan hukum agar unsur subjek
dan objek dalam perjanjian terpenuhi. Ketentuan di dalam Pasal tersebut bila dilihat
memang menjurus kepada asas ini dikarenakan tidak mengatur secara khusus
terhadap ketentuan mendirikan Perseroan Terbatas (PT). Dengan berpijak terhadap
aturan tersebut maka, tesis yang diangkat penulis mengenai problematika pendirian
Perseroan Terbatas (PT) oleh suami isteri merupakan hal yang sah secara hukum.
Namun perlu diperhatikan bahwa ketentuan mengenai syarat dua orang dalam
mendirikan Perseroan Terbatas (PT) tersebut juga akan berkaitan dengan
permodalan yang akan disetorkan. Ketentuan dua orang memang tidak dikhususkan
siapa yang boleh dan siapa yang tidak boleh. Namun harus dilihat bahwa mengapa
Pasal 7 ayat (1) mengharuskan minimal oleh dua orang adalah dimana nantinya
modal yang disetorkan juga berupa dua modal sehingga tiap-tiap modal mewakili
para pemegang saham, bila penyetoran yang dilakukan hanya satu modal, maka
44
menjadikannya hanya satu pemegang saham dan tergolong pemegang saham
tunggal sehingga ketentuan pertanggungjawaban menjadi tak terbatas lagi. Hal ini
terjadi karena tidak terpenuhinya persyaratan mendirikan Perseroan Terbatas (PT)
sebagai badan hukum.
Dengan melihat terhadap syarat sahnya perjanjian, di dalam Perseroan
Terbatas (PT) mengadopsi mengenai perjanjian. Dilakukannya syarat pendirian
Perseroan Terbatas (PT) oleh dua orang terlihat bahwa ciri-ciri perjanjian perlu
diperhatikan. Maka dari itu ketika perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus
dipatuhi sebagai akibat hukum yang membuat mereka memenuhi sebuah
prestasinya. Hal ini sesuai dengan asas Pacta Sun Servanda yang menjelaskan
bahwa perjanjian yang dibuat oleh masing-masing pihak dan telah disetujui harus
dianggap dan dipatuhi selayaknya Undang-Undang. Maksud dari perlunya dipatuhi
sebagai layaknya Undang-Undang menjadikan mereka terikat terhadap klausul di
dalamnya sehingga apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi tersendiri. Maka
dengan terikatnya masing-masing pihak, dalam membuat sebuah perjanjian perlu
juga memenuhi salah satu asas terakhir yaitu asas itikad baik, dengan adanya itikad
baik maka, masing-masing pihak akan dapat diawasi apakah mereka benar-benar
melaksanakan kewajibannya atau prestasinya. Pendirian Perseroan Terbatas (PT)
tidak akan terbentuk apabila tidak dilakukannya sebuah perjanjian untuk
membentuk sebuah Perseroan Terbatas (PT) sehingga perlu lebih dari satu orang
dalam melakukannya seperti yang dijelaskan di dalam asas konsesualisme.
Pendirian sebuah Perseroan Terbatas (PT) oleh suami isteri tergolong menjadi
permasalahan yang timbul, dari sisi perjanjian mereka berdua tergolong dua subjek
hukum yang cakap melakukan perjanjian. Ketentuan mereka sebagai subjek hukum
45
sudah terpenuhi. Dasar selain suami isteri dapat mendirikan Perseroan Terbatas
(PT) adalah akibat yuridis dari sebuah perkawinan. Ketentuan tersebut bisa dilihat
dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan.
Kedua ayat tersebut merupakan penjelasan mengenai akibat yuridis dari
terjadinya sebuah perkawinan berupa masing-masing dapat melakukan perbuatan
hukum. Sehingga dengan akibat yuridis dari sahnya perkawinan tersebut tentu akan
berdampak pada kecakapan melakukan perbuatan hukum. Di dalam Pasal tersebut
cukup jelas membahas bahwa kedudukan diantara mereka adalah sama sehingga
masing-masing dapat melakukan perbuatan hukum. Dengan dua pengaturan yang
secara tertulis, bisa mendukung tesis penulis mengenai suami isteri sudah
memenuhi unsur dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT) yaitu dengan Pasal 7
ayat (1) Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) beserta
dengan penjelasannya, dan Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 1 tahun
1974 tentang Perkawinan
C. Analisis
Dengan melihat hasil penelitian mengenai syarat sahnya pendirian
Perseroan Terbatas (PT) maka di dalam analisis akan menjelaskan mengenai sah
atau tidaknya suami isteri dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT).
Ketentuan dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT) sebagaimana
diperbolehkan siapa saja dapat mendirikan seperti yang dijelaskan di dalam Pasal 7
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (PT) dengan
catatan harus cakap hukum termasuk suami isteri. Namun dari sisi keabsahan
46
perjanjian yang dimana mereka berdua sebelum mendirikan tidak membuat
perjanjian perkawinan berupa pemisahan harta sah secara hukum? Hal tersebut
muncul karena melihat dari sisi subjek hukumnya di dalam perkawinan. Dengan
demikian terdapat akibat yuridis yang menjadi anti tesis atas tesis yang telah
disusun. Anti tesis tersebut menjelaskan bahwa suami isteri tidak dapat mendirikan
sebuah Perseroan Terbatas (PT) dikarenakan persatuan harta kekayaannya. Anti
tesis tersebut berangkat dari prinsip mengenai perkawinan. Pada prinsipnya bila
dilihat dari sisi materiil, suami isteri tidak dapat mendirikan Perseroan Terbatas
(PT) karena adanya persatuan harta kekayaan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 35
ayat (1) jo Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang menyatakan bahwa :
Pasal 35 ayat (1)
“ Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama”
Pasal 36 ayat (1)
“Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak ”
Dengan bunyi peraturan yang sedemikian rupa, menjadikan bahwa
kepengurusan atas harta mereka tidak bisa dilakukan oleh sepihak saja atau dengan
kata lain kepemilikan harta tersebut menjadi satu sehingga kepentingan mereka pun
juga sama. Dengan demikian bisa dianggap bahwa hal tersebut menjadikan mereka
berdua sebagai satu subjek hukum dikarenakan pengelolaan harta benda yang
diperoleh selama perkawinan tersebut dianggap milik bersama. Di dalam Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan mengenai penguasaan
atas harta mereka yang secara masing-masing hanya sebatas harta bawaan sebelum
47
perkawinan dan harta pribadi yang di dapat setelah terjadinya perkawinan. Hal
tersebut diatur di dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan yang berbunyi :
Pasal 35 ayat (2)
“Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan,
adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain”.
Dari isi ayat tersebut menjelaskan mengenai dua hal penguasaan mengenai harta,
yang pertama merupakan harta bawaan dari masing-masing suami isteri, dan
kemudian harta yang diperoleh dari warisan dan hadiah. Harta yang diperoleh dari
warisan dan hadiah merupakan kelompok dari harta pribadi yang di dapat saat di
dalam perkawinan.
Berangkat dari bunyi ayat tersebut menjadikan bahwa harta yang bisa diurus
dengan penguasaan masing-masing adalah harta bawaan sebelum dilaksankannya
perkawinan serta harta pribadi baik itu warisan atau hadiah selama perkawinan.
Namun ketentuan tersebut juga mengatur mengenai apabila para pihak tidak
menentukan lain. Sehingga tidak menutup kemungkinan juga bahwa harta bawaan
dan harta pribadi masing-masing juga menjadi harta bersama, jika mereka
menghendaki dan membuat dalam perjanjian kawin. Atas hal inilah yang
menjadikan proposisi baru bahwa apabila adanya persatuan harta kekayaan
menjadikannya terbatas kewenangan perbuatan hukumnya dalam menggunakan
harta tersebut oleh suami isteri. Dengan keterbatasan tersebut menjadikan
pengertian bahwa jika suami isteri sebagai subjek hukum seharusnya dapat
48
bertindak atas harta kekayaan yang ada di dalam perkawinannya tersebut. Dasar
dari proposisi tersebut berangkat dari persatuan harta kekayaan. Karena terjadinya
persatuan harta kekayaan, artinya tindakan hukum yang akan dilakukan oleh suami
atau isteri wajib saling memberikan persetujuan. Kesimpulan yang diambil
kemudian adalah keabsahan mengenai suami isteri sebagai subjek hukum dalam
mendirikan Perseroan Terbatas (PT) secara hukum mereka sah dan tergolong ke
dalam syarat pendirian Perseroan Terbatas (PT) berupa dua orang sebagai pendiri
karena tidak adanya kekhususan mengenai subjek hukum tersebut baik di dalam
bunyi Pasal 7 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT)
maupun di dalam penjelasan Pasal sehingga siapa saja dapat mendirikan Perseroan
Terbatas (PT) dengan memperhatikan syarat sahnya perjanjian. Akan tetapi dari sisi
permodalan di dalam Perseroan Terbatas (PT) mereka dianggap satu kesatuan
sehingga modal yang disetorkan merupakan modal suami yaitu juga modal isteri
dan begitu pula sebaliknya. Akibat dari hal ini maka mereka tidak memenuhi unsur
terhadap pertanggungjawaban terbatas di dalam Perseroan Terbatas (PT) karena
tergolong pemegang saham tunggal. Tergolongnya mereka sebagai pemegang
saham tunggal dilihat dari sisi hukum perkawinan berupa persatuan harta kekayaan
yang kemudian menjadikannya satu kepentingan. Kemudian dari hukum
perusahaan terkait permodalan, pertanggungjawaban, kepemilikan saham dan
pembagian deviden serta apabila Perseroan Terbatas (PT) mengalami pailit atau
kerugian seperti yang dijelaskan di dalam Pasal 7 ayat (6). Untuk mencegah hal
tersebut terjadi, maka ketentuan suami isteri dapat mendirikan sebuah Perseroan
Terbatas (PT) adalah dengan sebelumnya dilakukan perjanjian perkawinan berupa
pemisahan harta kekayaan perkawinan.
49
Berpegang pada tesis bahwa suami isteri dapat mendirikan Perseroan
Terbatas (PT) namun dengan syarat terlebih dahulu dibuatnya perjanjian
perkawinan berupa pemisahan harta, menjadikan masing masing dapat bertindak
atas harta masing-masing. Pendapat tersebut kemudian memiliki arti sama bila
ditafsirkan secara lain bahwa suami isteri tidak dapat mendirikan Perseroan
Terbatas (PT) apabila belum dibuatkannya perjanjian perkawinan berupa
pemisahan harta. Sehingga perjanjian perkawinan pemisahan harta merupakan
kunci penting di dalam analisis.
Pemisahan harta tersebut kemudian berangkat pada teori mengenai perjanjian
perkawinan. Dengan dilakukannya pejanjian perkawinan maka dapat diketahui
secara tegas harta suami dan harta isteri. Di dalam Undang-Undang No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan tidak mengatur mengenai jenis-jenis perjanjian
perkawinan, sehingga konsep jenis-jenis perjajian perkawinan masih mengadopsi
pada BW. Dengan dilakukannya perjanjian perkawinan berupa pemisahan harta
bersama menjadikan kedudukan antara keduanya menjadi lebih jelas atas
penguasaan harta masing-masing, sehingga hal tersebut akan memperjelas suami
isteri sebagai dua subjek hukum. Dengan dilakukannya perjanjian perkawinan
berupa pemisahan harta kekayaan selain memperjelas kedudukan mereka sebagai
dua subjek hukum, juga menghindari adanya pemegang saham tunggal. Hal
tersebut akan berakibat pada pertanggungjawaban tidak terbatas sehingga
mengancam Perseroan Terbatas (PT) tersebut untuk dibubarkan seperti yang
tertuang di dalam Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (PT).
50
Dilakukannya perjanjian perkawinan berupa pemisahan harta kekayaan
bertujuan untuk menghindari larangan suami isteri untuk membuat suatu perjanjian
yang dilarang oleh Undang-Undang seperti hibah antara suami isteri, jual beli
antara suami isteri. Hal tersebut dikarenakan harta yang digunakan mereka adalah
harta persatuan sehingga harta suami yang diperjanjikan untuk melakukan
perbuatan hukum juga merupakan harta isteri begitu pula sebaliknya. Dengan hal
tersebut maka bisa dilogikakan ke dalam Pendirian Perseroan Terbatas (PT),
apabila suami isteri yang tidak membuat perjanjian perkawinan berupa pemisahan
harta kekayaan dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT), maka akan dianggap
satu orang sehingga modal yang disetorkan pun juga milik seorang saja. Dengan
begitu tergolong dengan pemegang saham tunggal sehingga
pertanggungjawabannya menjadi tak terbatas lagi.
Dalam dunia praktek kenotariatan, apabila terdapat suami isteri yang ingin
mendirikan Perseroan Terbatas (PT) terdapat tiga hal yang sering dilakukan oleh
para notaris : 50
1. Ada notaris yang tidak pernah sama sekali melayani atau menolak
pendirian P.T yang pendirinya suami isteri jika tanpa ada perjanjian
perkawinan diantara suami isteri.
2. Ada notaris melayani pendirian P.T yang pendirinya suami isteri
dengan syarat memasukan pihak ketiga atau lebih sebagai pendiri atau
sebagai pemegang saham dalam perseroan tersebut.
3. Notaris melayani pendirian P.T yang pendirinya suami isteri
meskipun tidak ada perjanjian perkawinan diantara suami isteri
tersebut atau tidak perlu memasukan pihak ketiga atau lebih.
Dasar alasan praktek tiga hal diatas merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh
para notaris. Hal ini dikarenakan tidak adanya pengaturan di dalam peraturan
50 Habib Adjie, Kompilasi Persoalan Hukum dalam Praktek Notaris dan PPAT (Kapita
Selekta Notaris & PPAT) (1), Indonesia Notary Community (INC), Surabaya, 2016, h. 73.
51
perundang-undangan yang mengatur secara tegas baik yang memperbolehkan
maupun yang melarangnya. Hal tersebut hanya berkaitan dengan penafsiran atau
kebiasaan para notaris terdahulu yang kemudian dan terus menerus diikuti para
notaris sampai sekarang, sehingga bisa saja dikatakan bahwa ketiga sikap tersebut
menjadi sesuatu yang benar, sepanjang konsisten dengan sikap tersebut. Namun
terkait dengan cara yang ketiga, penulis tidak sependapat dengan hal tersebut
karena bertentangan dengan tesis penulis. Cara ketiga yang dilakukan dalam dunia
praktek merupakan kesalahan dari sisi teori hukumnya serta peraturan perundang-
undangan yang lain. Apabila hal tersebut dilakukan maka akan menyebabkan
problem-problem yang telah diangkat penulis dalam isu hukum sebelumnya,
sehingga akan berimplikasi terhadap keabsahan dan pertanggungjawabannya. Atas
dasar tersebut penulis tidak sependapat terhadap cara yang ketiga.
Tiga cara diatas merupakan akibat terjadinya penafsiran secara pribadi. Hal
tersebut dikarenakan diaturnya secara umum terhadap subjek hukum dalam
mendirikan sebuah Perseroan Terbatas (PT) sesuai dengan pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) yang dimana tidak
mengkhususkan siapa yang boleh dan siapa yang tidak. Selain teori perjanjian,
kemudian perlunya dilakukan perjanjian perkawinan berupa pemisahan harta
kekayaan untuk melihat kedudukan mereka atas masing-masing harta untuk
disetorkan dalam bentuk modal dan tercatat dalam bentuk saham. Mengapa perlu
diperhatikan hal tersebut, karena akan berpengaruh terhadap syarat sahnya
pendirian, permodalan, serta akibat yuridis nantinya berupa pertanggungjawaban.
Tesis penulis yang mengatakan bahwa suami isteri dapat mendirikan
Perseroan Terbatas (PT) dengan syarat diperlukannya perjanjian perkawinan
52
berkaitan pemisahan harta adalah untuk menjawab keabsahan dari sisi perjanjian.
Tujuan dilakukannya perjanjian perkawinan tadi ialah untuk dapat benar-benar
memisahkan suami isteri sebagai dua subjek hukum serta memperjelas kedudukan
harta kekayaan mereka untuk disetorkan menjadi modal Perseroan Terbatas (PT).
Dengan pemisahan tersebut menjadikannya masing-masing pihak menyetorkan
modalnya tanpa adanya ikatan persatuan harta kekayaan. Dengan dibuatnya
perjanjian perkawinan berupa pemisahan harta, selain memperjelas kedudukan
mereka sebagai dua subjek hukum juga memperjelas dari aspek permodalan. Ketika
pada tahap pendirian tersebut diperlukan minimal dua orang sebagai pendiri, secara
otomatis bertujuan sebagai klasifikasi saham sehingga menentukan kepemilikan
saham bagi para pemiliknya. Bila melihat lebih kebelakang, bahwa pendirian
Perseroan Terbatas (PT) yang mensyaratkan minimal oleh dua orang adalah sebagai
syarat terbentuknya badan usaha berbadan hukum berupa Perseroan Terbatas (PT)
sehingga tahap awal pendiriannya dianggap sah selain itu juga berpengaruh
terhadap permodalan. Dengan sahnya Perseroan Terbatas (PT) maka tahap
selanjutnya akan langsung diadakannya RUPS pertama, sehingga perlu lebih dari
satu orang untuk dapat menjalankan RUPS.
Dengan berangkat dari perjanjian sebagai syarat mendirikan Perseroan
Terbatas (PT), maka syarat subjektif dan objektif sebagai dasar membuat perjanjian
menjadi terpenuhi. Dari hal tersebut maka ketentuan mengenai teorinya dan
peraturan perundang-undangan baik dalam teori pendirian Perseroan Terbatas (PT),
perkawinan, serta perjanjian tidak ada hal yang menyalahkan suami isteri
mendirikan sebuah Perseroan Terbatas (PT). Hal tersebut menjadikan banyaknya
penafsiran bebas sehingga memunculkan sebuah permasalahan yang kemudian
53
menjadi isu hukum yang diangkat terkait hal itu. Berangkat dari permasalahan
tersebut kemudian memunculkan tesis bahwa dapat didirikannya suatu Perseroan
Terbatas (PT) oleh suami isteri dengan syarat bahwa telah dibuatnya perjanjian
perkawinan tentang pemisahan harta sehingga bila syarat tersebut tidak dilakukan
maka suami isteri tidak dapat mendirikan Perseroan Terbatas (PT).
D. Implikasi Yuridis Pendirian Perseroan Terbatas (PT) oleh Suami Isteri
a. Harta Kekayaan
Implikasi dengan dibuatnya perjanjian perkawinan menyebabkan perjanjian
yang dibuat untuk mendirikan sebuah Perseroan Terbatas (PT) oleh suami isteri
bisa dianggap sah. Unsur subjektif dalam Pasal 1320 BW telah terpenuhi mulai dari
adanya kata sepakat antara dua subjek hukum yang dimana mereka bertindak atas
kepentingan masing-masing tanpa perlu ijin atau persetujuan salah satu pihak serta
terpenuhinya asas-asas mengenai perjanjian seperti asas konsesualisme, kebebasan
berkontrak, Pacta Sun Servanda, dan itikad baik. selain melihat dari aspek
perjanjian pendirian Perseroan Terbatas (PT) oleh suami isteri juga berimplikasi
terhadap harta kekayaan. Hal tersebut berpengaruh dikarenakan unsur dalam
hukum perkawinan juga terdapat di dalam bahasan ini.
Implikasi terhadap harta kekayaan suami isteri terkait dengan pendirian
Perseroan Terbatas (PT) karena adanya persatuan harta kekayaan. Dengan adanya
persatuan tersebut menjadikan kepemilikan harta tersebut adalah bersama dan
bersumber dari satu orang saja. Sehingga kepentingan di dalamnya juga dianggap
satu kepentingan. Dengan begitu diperlukan adanya perjanjian perkawinan berupa
pemisahan harta kekayaan. Syarat dibuatnya perjanjian perkawinan berupa
54
pemisahan harta kekayaan sebagai cara salah satu untuk dapat melihat keabsahan
pendirian Perseroan Terbatas (PT) oleh suami isteri. Bila tidak adanya pemisahan
harta kekayaan maka hal tersebut tidak bisa dilakukan karena masih perlunya
persetujuan antara salah satu pihak dalam menggunakan harta mereka. Hal ini
kemudian bertolak belakang dengan prinsip subjek hukum yang memiliki
penguasaan penuh atas dirinya dan miliknya sebagaimana dijelaskan bahwa subjek
hukum adalah yang memiliki hak dan kewajiban serta berkehendak hukum. Maka
jelas bila suami atau isteri masih meminta persetujuan atas penggunaan harta
mereka, kehendak yang diinginkan bukan atas kewenangannya.
Dengan adanya persatuan harta kekayaan mereka, dalam mendirikan
Perseroan Terbatas (PT) akan menjadi suatu permasalahan. Harta yang dimiliki
selama perkawinan seperti yang dijelaskan di dalam Pasal 35 ayat (1) menjadikan
penguasaannya milik bersama. Hal tersebut kemudian akan berimplikasi terhadap
satu kepentingan dimana kepemilikan harta tersebut dan sumber harta tersebut
berasal dari satu orang. Sehingga prinsip dua subjek hukum disini dalam syarat
pendirian Perseroan Terbatas (PT) menjadi tidak terpenuhi. Ketika tidak ada
pemisahan maka unsur modal yang akan digunakan dalam penyetoran hanya
menjadikan satu modal saja. Hal lain dampak dari persatuan harta tersebut ialah
terbatasnya kewenangan melakukan perbuatan hukum dalam penggunaan harta
kekayaan mereka seperti terbatasnya dalam membuat perjanjian yang dimana
dilarangnya membuat perjanjian antara suami isteri karena barang atau objek
perjanjian tersebut adalah milik bersama.
55
b. Permodalan
Ketentuan mengenai modal di dalam NA RUU Perseroan Terbatas (PT)
tidak diatur secara khusus. Ketentuan modal merupakan turunan dari pendirian
Perseroan Terbatas (PT) yang selanjutnya perlu dilakukannya modal disetor.
Dengan modal disetor tersebut yang terbagi atas saham dan siapa saja pemiliknya
akan dicantumkan ke dalam akta pendirian yang memuat anggaran dasar serta
keterangan lain mengenai pendirian Perseroan Terbatas (PT). Ketika Perseroan
Terbatas (PT) terbentuk tentu tahap selanjutnya adalah penyetoran modal. Modal
yang disetorkan tersebut sebagai modal awal dari berdirinya Perseroan Terbatas
(PT). Terkait dengan penyetoran modal tentu berkaitan dengan syarat minimal
pendirian Perseroan Terbatas (PT) yaitu dua orang sebagai pendiri, hal ini saling
berkaitan. Dengan begitu apabila pendiri merupakan suami isteri yang kemudian
dijelaskan sebelumnya terdapat implikasi adanya persatuan harta kekayaan mereka,
maka perjanjian perkawinan pemisahan harta tadi merupakan langkah untuk
menghindari permasalahan di dalam permodalan.
Dengan dibuatnya perjanjian perkawinan berupa pemisahan harta kekayaan
akan berdampak pada modal yang disetor oleh suami isteri. Selain dengan
terpisahnya harta mereka dengan modal masing-masing miliknya, hal tersebut
untuk menghindari adanya maksud kepentingan pribadi sehingga akan merugikan
Perseroan Terbatas (PT). Hal demikian diatur di dalam Pasal 3 ayat (2) huruf (b)
Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) yang berbunyi
:
56
“Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk
kepentingan pribadi”
Bunyi ayat tersebut merupakan hal-hal lain yang dapat membuat
pertanggunjawaban menjadi tak terbatas. Dengan bunyi ayat tersebut menjadikan
penulis semakin yakin terhadap tesis yang diambil bahwa poin penting dalam suami
isteri mendirikan Perseroan Terbatas (PT) adalah dengan dilakukannya perjanjian
perkawinan berupa pemisahan harta kekayaan. Permodalan berkaitan dengan dua
orang sebagai syarat pendirian Perseroan Terbatas (PT). Apabila tidak terpenuhinya
dua orang dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT) modal yang disetorkan hanya
satu modal, sehingga pemilik saham tersebut hanya satu orang saja. Bila itu suami
isteri dengan tidak dilakukannya perjanjian perkawinan berupa pemisahan harta
kekayaan maka, tetap saja modal yang disetorkan adalah milik bersama, sehingga
klasifikasi saham nantinya dalam RUPS tidak terlihat jelas. Perlu diperhatikan
bahwa mendirikan Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan sebuah perjanjian sehingga
masing-masing bertindak atas dirinya sampai ke harta mereka. Dengan begitu
perjanjian perkawinan berupa pemisahan harta kekayaan merupakan peran penting
apabila suami isteri tetap ingin mendirikan Perseroan Terbatas (PT).
c. Pemegang Saham Tunggal
Ketentuan mengenai saham tunggal merupakan pembahasan dari, syarat
pendiri, dan turunan atas permodalan, serta pertanggungjawaban pendiri. Sebutan
saham tunggal dikarenakan adanya pemegang saham tunggal yang merupakan
implikasi dari tidak terpenuhinya syarat pendirian Perseroan Terbatas (PT) yaitu
dua orang sebagai pendiri. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa, ketentuan di dalam
57
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(PT) menginginkan bahwa pendirian Perseroan Terbatas (PT) adalah dua orang
sehingga dua orang tersebut yaitu subjek hukum bertindak atas masing-masing dan
kepentingan mereka sendiri.
Dengan suami isteri sebagai pendiri Perseroan Terbatas (PT) yang tidak
dibuatkannya perjanjian perkawinan akan menimbulkan implikasi demikian. Selain
implikasi terhadap pendirian, harta kekayaan, permodalan juga berimplikasi
terhadap saham nantinya. Hal tersebut menyebabkan suami isteri tergolong dalam
pemegang saham tunggal. Hal tersebut berangkat dari sisi perkawinan yang dimana
harta dan kepentingan suami isteri dianggap menjadi satu orang sehingga tidak akan
memenuhi terhadap syarat pendirian Perseroan Terbatas (PT). Masing-masing
pihak sebagai pendiri harus memiliki kehendak dan penguasaan harta miliknya
secara utuh sehingga tahap permodalan dalam penyetoran nanti dapat dikategorikan
dua modal sebagai syarat minimal. Dengan begitu sayarat perjanjian perkawinan
berupa pemisahan harta diperlukan di dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT)
oleh suami isteri karena untuk menghindari adanya pemegang saham tunggal.
Ketika tidak dilakukan pemisahan harta maka, modal yang disetorkan merupakan
satu modal yang dimana bersumber dari satu sumber saja. Selain itu modal yang
disetorkan juga milik bersama sehingga tidak adanya kejelasan di dalam pengusaan
harta mereka. Implikasi mengenai adanya pemegang saham tunggal merupakan hal
yang akan terjadi bila suami isteri yang mendirikan Perseroan Terbatas (PT) tidak
membuat perjanjian perkawinan pemisahan harta sehingga menjadikan mereka satu
subjek hukum dalam hal persatuan harta dan kepentingannya.
58
d. Pertanggungjawaban
Implikasi selanjutnya mengenai pendirian Perseroan Terbatas (PT) oleh
suami isteri adalah dampak pada pertanggungjawabannya. Hal tersebut merupakan
turunan dari pendirian, permodalan, dan harta kekayaan. Ketika suami isteri yang
mendirikan Perseroan Terbatas (PT) memiliki persatuan harta kekayaan, maka
seperti yang dijelaskan tadi bahwa mereka masuk dalam kategori satu subjek
hukum. Pertanggungjawaban dalam badan usaha berbadan hukum merupakan
pertanggungjawaban terbatas ( limited liability). Dengan demikian pendiri
sekaligus pemegang saham bertanggung jawab sebatas modal yang disetorkannya.
Hal tersebut memiliki pengecualian atau dapat dikatakan hapus apabila syarat
pendirian yang diatur di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (PT) tidak terpenuhi yaitu minimal dua orang sebagai
pendirian Perseroan Terbatas (PT). Sanksi yang kemudian diberikan dijelaskan di
dalam ayat (6) bahwa bila dalam jangka waktu yang ditentukan syarat minimal tidak
terpenuhi maka pertanggungjawaban Perseroan Terbatas (PT) tersebut ditanggung
secara pribadi dan dapat dimohon bubarkan ke Pengadilan. Ditanggung secara
pribadi menjadikan penafsirannya bahwa hanya ada satu pendiri sekaligus
pemegang saham dalam Perseroan Terbatas (PT) tersebut.
Ketika suami isteri tidak melakukan pemisahan harta, seperti yang
dijelaskan tadi bahwa mereka tergolong sebagai pemegang saham tunggal, akan
berdampak pada pertanggungjawaban mereka. Tidak adanya kejelasan mengenai
subjek hukum tersebut menjadikan syarat pendirian mereka bisa dikatakan tidak
sah. Hal tersebut dapat dilihat dari aspek pendirian, permodalan, harta kekayaan,
dan kepentingan mereka. Ketika masih terdapatnya persatuan harta kekayaan maka
59
kepentingan tergolong menjadi satu, modal yang kemudian disetorkan juga
bersumber dari satu sehingga tidak memenuhi syarat mendirikan Perseroan
Terbatas (PT). Konsep pertanggungjawaban terbatas ( limited liability) merupakan
gambaran dari persekutuan modal di dalam badan usaha berbadan hukum, sehingga
modal yang diinginkan bersumber lebih dari satu pemegang saham. Dengan tidak
adanya kejelasan atas harta kekayaan suami isteri sebagai pendiri nantinya,
dikhawatirkan akan memunculkan itikad buruk yaitu berjalannya Perseroan
Terbatas (PT) untuk kepentingan pribadi seperti yang dijelaskan di dalam Pasal 3
Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) sehingga
pertanggungjawaban terbatas (limited liability) menjadi tidak terpenuhi.
Atas dasar tersebut implikasi-implikasi yang dijelaskan diatas adalah hal-hal
yang akan terjadi bila suami isteri mendirikan Perseroan Terbatas (PT) tanpa
adanya pemisahan harta kekayaan di dalam perjanjian perkawinan. Tesis penulis
yang menjelaskan bahwa suami isteri dapat mendirikan Perseroan Terbatas (PT)
dengan syarat terlebih dahulu membuat perjanjian perkawinan berupa pemisahan
harta kekayaan bertujuan menghindari permasalahan-permasalahan demikian.
Akibat yuridis dari perjanjian perkawinan tersebut berdampak sangat besar mulai
dari :
- Memperjelas suami isteri sebagai dua subjek hukum yang terpisah masing-
masing dan memiliki kehendak serta penguasaan hak atas harta mereka
sehingga tidak perlu dilakukannya persetujuan bila salah satu melakukan
perbuatan hukum.
- Lalu untuk menjawab mengenai keabsahan mereka berdua dalam
membuat sebuah perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas (PT) bahwa
60
unsur dasar dalam membuat perjanjian telah terpenuhi sehingga tidak
bertentangan dengan perundang-undangan, ketertiban umum, kesusilaan,
dan kepatutan.
- Kemudian dari sisi harta kekayaan, ketika suami istri sebagai pendiri
Perseroan Terbatas (PT) dan nantinya akan menjadi pemegang saham akan
berpengaruh terhadap modal/ saham yang akan disetorkan kepada
Perseroan Terbatas, sehingga harta yang disetorkan sebagai saham adalah
harta atas penguasaan masing-masing dan menjadikan jelas bahwa adanya
pemisahan kepentingan serta harta kekayaan.
- Lalu dari aspek pertanggungjawaban nantinya menjadi jelas bahwa suami
isteri bukan termasuk sebagai pemegang saham tunggal karena adanya
perjanjian perkawinan berupa pemisahan harta sehingga prinsip tanggung
jawab terbatas ( limited liability) dapat terpenuhi.
Dengan demikian, tidak adanya ikatan yang mempengaruhi salah satu pihak
untuk kepentingan pribadi, hal ini dikarenakan besarnya potensi bahwa bila suami
isteri mendirikan sebuah Perseroan Terbatas (PT) semata-mata hanya kepentingan
pribadi mereka sehingga memungkinkan akan adanya itikad buruk dan dominasi
suara yang menyebabkan kerugian terhadap pihak ketiga dalam pengambilan
kebijakan. Hal tersebut dapat berpotensi pada perjanjian yang dibuat, permodalan,
dan pertanggungjawaban mereka nantinya bila Perseroan Terbatas (PT) mengalami
suatu kerugian sehingga prinsip tanggung jawab terbatas menjadi hapus.