BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS I. PERKEMBANGAN...
Transcript of BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS I. PERKEMBANGAN...
BAB II
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
I. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI INFORMASI
Peradaban dunia pada masa kini dicirikan dengan fenomena kemajuan teknologi
informasi dan globalisasi yang berlangsung hampir di semua bidang kehidupan. Apa yang
disebut dengan globalisasi pada dasarnya bermula dari awal abad ke-20, yakni pada saat
terjadi revolusi transportasi dan elektronika yang menyebarluaskan dan mempercepat
perdagangan antar bangsa, disamping pertambahan dan kecepatan lalu lintas barang dan jasa.
Menurut Didik J. Rachbini, “teknologi informasi dan media elektronika dinilai sebagai
simbol pelopor, yang akan mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam aspek sosial,
budaya, ekonomi dan keuangan. Dari sistem-sistem kecil lokal dan nasional, proses
globalisasi dalam tahun-tahun terakhir bergerak cepat, bahkan terlalu cepat menuju suatu
sistem global. Dunia akan menjadi “global village” yang menyatu, saling tahu dan terbuka,
serta saling bergantung satu sama lain.”1
Pada mulanya jaringan internet hanya dapat digunakan oleh lingkungan pendidikan
(perguruan tinggi) dan lembaga penelitian. Kemudian tahun 1995, internet baru dapat
digunakan untuk publik. Berapa tahun kemudian, tim burners-lee mengembangkan aplikasi
world wide web (www) yang memudahkan orang untuk mengakses informasi di internet.
Setelah dibukanya internet untuk keperluan publik semakin muncul aplikasi-aplikasi bisnis di
internet. Aplikasi bisnis yang berbasis teknologi internet ini mulai menunjukkan adanya
aspek financial. Misalnya internet digunakan sebagai sarana untuk memesan/reservasi tiket
(pesawat terbang, kereta api), hotel, pembayaran tagihan telepon, listrik dan sebagainya. Hal
ini mempermudah konsumen dalam menjalankan aktivitas/transaksi bisnisnya. Konsumen
1 Didik M. Arif Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber law aspek hukum teknologi informasi,
Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2005, h. 1
tidak perlu keluar untuk memperoleh layanan yang diinginkan karena dapat dilakukan di
dalam rumah, begitu pula tingkat keamanannya yang relatif lebih terjaga.2
Tidak hanya itu, aplikasi yang berbentuk sosial media sebagai sarana penghubung
komunikasi pun telah banyak diciptakan, seperti Facebook, blog, twitter, line, instagram,
Path, whatsapp, dan sebagainya. Untuk memudahkan para pemakai, teknologi informasi
yang dulunya menggunakan komputer terus berinovasi, merubah bentuk sehingga lebih
mudah dibawa kemana saja diantaranya labtop. Bahkan, dengan sistim android yang ada
sekarang ini, berbagai informasi dengan menggunakan internet bisa langsung diakses dengan
menggunakan ponsel genggam.
Perkembangan teknologi informasi saat ini telah membawa manfaat positif. Namun,
harus disadari pula bahwa hal ini pun telah memberi peluang dijadikannya sarana tindak
kejahatan baru. Kejahatan baru dengan menggunakan teknologi atau lebih dikenal dengan
cybercrime secara umum diartikan sebagai “Upaya memasuki dan atau menggunakan fasilitas
komputer atau jaringan komputer tanpa ijin dan dengan melawan hukum dengan atau tanpa
menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau
digunakan tersebut.”3 Andi Hamzah dalam bukunya Aspek-aspek Pidana di Bidang
Komputer menyatakan bahwa “kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan
sebagai pengguna komputer secara illegal”.4 Pada dasarnya cybercrime meliputi semua
tindak pidana yang berkenan dengan informasi, sistem informasi (information system) itu
sendiri, serta sistem komunikasi yang merupakan sarana untuk penyampaian/pertukaran
informasi itu kepada pihak lainnya (transmitter/originator, to recipient)”5
2 Ibid., h. 5 3 Ibid., h. 8 4 Ibid., h. 9 5 Ibid., h. 10
Adapun bentuk-bentuk kejahatan yang menggunakan teknologi informasi sebagai
sarana kejahatan antara lain :
1. Unauthorized Access to Computer System and Service, yaitu : Kejahatan yang
dilakukan dengan memasuki/menyusup kedalam satu sistem jaringan komputer
secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan
komputer yang dimasukinya.
2. Illegal Contents, yaitu : Merupakan kejahatan dengan memasukan data atau
informasi ke Internet tentang sesuatu yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap
melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.
3. Data forgery, yaitu : Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada
Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting
yang tersimpan sebagai scriptless document melalui Internet.
4. Cyber Espionage, yaitu : Merupakan kejahatan yang memanfaatkan Internet untuk
melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem
jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran.
5. Cyber Sabotage and extortion, yaitu : Kejahatan ini dilakukan dengan membuat
gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau
sistem jaringan komputer yang terhubung dengan Internet.
6. Offense Againts Intellectual Property, yaitu : Kejahatan ini ditujukan terhadap hak
atas kekayaan Intelektual yang dimiliki pihak lain di Internet. Sebagai contoh dalam
peniruan tampilan pada web page suatu situs milik orang secara illegal, penyiaran
suatu informasi di Internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain dan
sebagainya.
7. Infringements of Privacy yaitu : Kejahatan ini ditujuhkan terhadap informasi
seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini
biasanya ditujukkan terhadap keterangan seseorang pada formulir data pribadi
tersimpan secara computererized, yang apabila diketahui oleh orang lain akan daapat
merugikan korban secara materiil seperti nomor kartu kredit, nomor PIN, ATM, cacat
atau penyakit tersembunyi dan sebagainya.6
Bentuk-bentuk kejahatan diatas, terus berkembang dengan begitu cepat karena
dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya, Kesadaran hukum masyarakat, faktor
keamanan, faktor penegak hukum, faktor ketiadaan undang-undang. Ketiadaan undang-
undang dan penegak hukum menjadi faktor yang ikut berpengaruh mengandung arti bahwa
secara kontekstual atau pada saat itu (sebelum adanya UU ITE), bentuk-bentuk kejahatan
dengan menggunakan teknologi terlebih dahulu muncul mendahului aturan undang-undang
(UU ITE). Hal ini dapat dilihat dalam pernyataan pakar hukum teknologi informasi, Iman
Syahputra yang menyatakan bahwa “persoalan hukum teknologi internet yang bermunculan
belakangan ini telah mendesak pemerintah dan DPR untuk segera merampungkan
perundangannya.”7
Sekalipun perangkat hukum seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
sudah dimiliki Indonesia, namun peraturan itu masih belum cukup mampu menjerat pelaku
tindak pidana di Internet. Apalagi dalam Pasal 1 KUHP disebutkan “tidak ada perbuatan
pidana jika sebelumnya tidak dinyatakan dalam suatu ketentuan perundang-undangaan.
“Artinya, Pasal ini menegaskan kalau pelaku kejahatan Internet belum tentu dapat dikenakan
sanksi pidana.8
Selain benturan dengan Pasal 1 KUHP, kesulitan untuk menjerat pelaku tindak pidana
yang dilakukan di dunia maya berkaitan dengan masalah pembuktian. Hukum Positif
6 Ibid. 7 Ibid., h. 6 8 Ibid.
mengharuskan ada alat bukti, saksi, petunjuk, keterangan ahli serta terdakwa dalam
pembuktian. Sedangkan dalam hal kejahatan terkait dengan teknologi Informasi sulit
dilakukan pembuktiannya.9
Mengenai hal ini Soedjono Dirdosisworo menyatakan “perubahan dan penyesuaian
sosial serta perkembangan teknologi selama setengah abad sejak 1958 (UU No. 73/58)
demikian pesatnya, dan kepesatan perkembangan sosial dan teknologi serta semakin
berpengaruhnya globalisasi yang terus didorong oleh teknologi informasi dan komunikasi
sangatlah terasa bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana sudah sejak lama tidak mampu
secara sempurna mengakomodasi dan mengantisipasi kriminilitas yang meningkat, baik
kualitatif maupun kuantitatif dengan jenis, pola dan modus operandi yang tidak terdapat
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Contoh menonjol adalah Cyber Crime).”10
Lebih lanjut dikatakan, bahwa pembaharuan hukum pidana (Penal Reform) harus
dilakukan dengan pendekatan kebijakan, oleh karena pada hakikatnya pembaharuan hukum
pidana merupakan bagian dari suatu kebijakan.11
Berkenaan dengan peran Hukum Pidana terhadap perkembangan teknologi informasi,
maka perlu kiranya diperhatikan beberpa hal penting sebagai upaya penyempurnaan terhadap
ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional, yaitu:
1. Dengan semakin maraknya kejahatan-kejahatan baru yang timbul sebagai akibat dari
kemajuan teknologi informasi (cyber crime), maka dalam hal pembuktian sudah
waktunya untuk dipikirkan kemungkinan adanya penambahan alat bukti lain yang
berbasis teknologi, sepert alat bukti berupa surat elektronik (electronic mail) dan
rekaman elektronik (electronic record),
9 Ibid., h. 7 10 Ibid. 11 Ibid., h. 18
2. Salah satu ciri kejahatan di dunia maya (cyber crime) adalah memanfaatkan jaringan
telematika (telekomunikasi, media dan informatika) global. Aspek global
menimbulkan kondisi seakan-akan dunia tidak ada batasnya (borderless). Keadaan
ini mengakibatkan pelaku, korban serta tempat dilakukannya tindak pidana (locus
delicti) terjadi di negara yang berbeda-beda. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi
hal tersebut maka daya berlaku Kitab Undang-undang Hukum Pidana harus
diperluas, sehingga tidak hanya mengacu pada asas/prinsip yang selama ini dianut
dalam Pasal 2 – Pasal 9 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yaitu asas personal,
asas territorial, dan asas universal;
3. Untuk merumuskan dan menentukan perbuatan-perbuatan mana yang dapat dikenai
sanksi pidana dalam dunia yang relatif baru dan bergerak cepat, tentu bukan
merupakan pekerjaan yang mudah. Oleh karena itu, untuk menjerat pelaku tindak
pidana yang melakukan kejahatan-kejahatan di dunia maya (cyber crime), dapat
digunakan lembaga penafsiran hukum (interprestasi). Hal ini dimaksudkan untuk
menghindarkan timbulnya kekosongan hukum.12
Pada tanggal 21 April tahun 2008, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Andi
Mattalata. Dalam Penjelasan UU ITE, mengatakan : “Pemanfaatan Teknologi Informasi,
media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban
manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula
menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (border-less) dan menyebabkan
perubahan sosial, ekonomi,, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat.
Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan
12 Ibid.
kontribusi bagi peningkatan keejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus
menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.”13
Pembentuk Undang-undang menyadari bahwa teknologi informasi yang berkembang
seperti pedang bermata dua, memberikan kontribusi positif sekaligus berdampak negatif.
Maka dari itulah, Undang-undang yang lahir sebagai jawaban terhadap desakan dan tuntutan
keadaan dimana semakin merebaknya kasus kejahatan menggunakan teknologi informasi
diharapkan mampu menjerat para pelaku kejahatan yang selama ini berhasil lolos karena
terkendala dalam proses pembuktian, seperti yang dinyatakan sebagai berikut : Saat ini telah
lahir rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum
siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan
pemanfaatan teknologi informasi komunikasi. Demikian pula hukum telematika yang
merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum
infomatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of
information technology), hukum dunia maya (vitual world law), dan hukum mayantara.
Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem
komputer dan sitem komunikasi baik dilingkup lokal maupun global (internet) dengan
memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem
elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi
adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara
elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum
yang dilaksanakan melalui sitem elektronik.”14
II. UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008
13 Penjelasan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Penerbit New Merah Putih, Yogyakarta, 2009, h. 45 14 Ibid., 45
Dengan semakin merebaknya persoalan-persoalan pidana yang terjadi dengan
menggunakan teknologi informasi, UU ITE disahkan dengan tujuan yang terdapat dalam
Pasal 4, dimana salah satu tujuannya menyatakan : “Pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk: “Memberikan rasa aman, keadilan,
dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.”15 Tampak
jelas, kehadiran Undang-undang tidak lain adalah untuk memberikan sebuah kepastian
hukum, agar terciptannya rasa aman, dan bertindak adil bagi setiap pengguna maupun
penyelenggara teknologi informasi.
Pasal 3 UU ITE, disebutkan, “Pemanfaatan teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-
hatian, etikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.”16 Adapun Asas
kepastian hukum mengandung arti pemanfaatan teknologi informasi haruslah memiliki
landasan hukum serta mendapatkan pengakuan hukum di dalam dan diluar pengadilan. Asas
Manfaat mengandung arti teknologi informasi difokuskan pada meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Asas Kehati-hatian mengandung arti para pihak harus memperhatikan segala
aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian, baik untuk dirinya maupun orang lain. Asas
Etikad Baik mengandung arti perbuatan yang tidak bertujuan untuk secara sengaja dan tanpa
hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak lain tanpa sepengetahuan pihak
lain tersebut. Sedangkan Asas Kebebasan Memilih mengandung arti tidak berfokus pada
penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti perkembangan.17
Dalam UU ITE, ketentuan tentang perbuatan-perbuatan pidana diatur di BAB VII
dengan judul “perbuatan yang dilarang”, sebanyak sepuluh Pasal (Pasal 27 sampai dengan
15 Pasal 4 huruf e Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Penerbit New Merah Putih, Yogyakarta, 2009, h. 15 16 Ibid. 17 Dalam Penjelasan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Ingormasi dan
Transaksi Elektronik, Penerbit, New Merah Putih, Yogyakarta, 2009, h. 49
Pasal 37). Sebagai rezim hukum baru, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
pun mengatur ketentuan tentang hukum acara yang akan dipakai bersamaan dengan hukum
acara pidana yang bersifat umum. Sunarso (2009) mengatakan, “Penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di sidang pengadilan, terhadap tindak pidana informasi dan transaksi elektronik,
selain diberlakukan menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana yang bersifat Umum, juga diberlakukan diatur mulai Pasal 42 sampai dengan Pasal 44
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, tentang penyidikan.”18
Adapun Pasal 42 UU ITE, menyatakan “Penyidikan terhadap tindak pidana
sebagaimana dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam hukum
acara pidana dan ketentuan dalam Undang-Undang ini.”19
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat ditafsirkan bahwa kegiatan penyidikan terhadap
tindak pidana informasi dan transaksi elektronik, termasuk upaya paksa menurut hukum
Acara Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, yang bersifat khusus, sedangkan ketentuan
penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bersifat Umum.20
Lebih lanjut, dalam Pasal 43 UU ITE, diatur ketentuan sebagai berikut :
1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu di lingkungan pemerintah, yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
dibidang teknologi informasi dan transaksi elektronik diberikan wewenang khusus
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang hukum Acara Pidana
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang teknologi informasi dan
transaksi elektronik;
2) Penyidik di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap
18 Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik studi kasus Prita Mulyasari,
PT Rineka Cipta, Jakarta, 2009, h. 126 19 Ibid. 20 Ibid.
privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, intergritas data, atau keutuhan data,
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;
3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan
dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat;
4) Dalam melakukan pengeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum;
5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang;
a. Menerima laporan, atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
b. Memanggil setiap orang atau pihak lainnya untuk didengar dan/atau saksi
sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang terkain dengan
ketentuan Undang-Undang ini;
c. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
d. Melakukan pemeriksaan terhadap orang dan/atau badan usaha yang patut
diduga melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang iini;
e. Melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan
teknologi informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana
berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
f. Melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan
sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan
Undang-Undang ini;
g. Melakukan penyegelan dan penyitaan terdapat alat atau sarana kegiatanb
teknologi informasi yang diduga digunakan secara menyimpan dari ketentuan
peraturan perundang-undangan;
h. Meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak
pidana berdasarkan Undang-Undang ini; dan/atau
i. Mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana berdasarkan Undang-
Undang ini, sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku;
6) Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum,
wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua
puluh empat jam;
7) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi
dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampikan hasilnya kepada penuntut umum;
8) Dalam rangka mengungkapkan tindak pidana informasi elektronik dan transaksi
elektronik, penyidik dapat bekerja sama dengan penyidik Negara lain untuk berbagai
informasi dan alat bukti.21
Dalam Pasal 43 ayat (6), dikatakan bilamana penyidik akan melakukan penangkapan,
dan penahanan harus meminta penetapan pengadilan negeri setempat melalui penuntut umum
dalam waktu 1x24 jam. Timbul persoalan, bagaimana kalau pihak penuntut umum sendiri
yang akan melakukan penangkapan dan penahanan. Ketentuan untuk harus meminta
penetapan dari ketua pengadilan negeri setempat harus tetap dipatuhi. Ketentuan ini untuk
mencegah adanya penyalahgunaan wewenang penegak hukum (abuse of power).22
Menilik dari ketentuan menurut Undang-Undang ini, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 ayat (6), yang menentukan tentang penyidik, yang diberikan wewenang
penangkapan dan penahan menurut Undang-Undang ini. Penyidik mana yang dimaksud
dalam Pasal 43 ayat (6) tersebut? Bilamana kita lihat Pasal 43 ayat (1) dikatakan selain
21 Ibid., h.128 22 Ibid.
penyidik pejabat Polri, Pejabat PNS tertentu di lingkungan pemerintah yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang teknologi dan transaksi elektronik diberi wewenang khusus
sebagai penyidik. Berdasarkan arti ini, maka dapat ditafsirkan sebagai penyidik adalah
penyidik Polri dan Penyidik PNS. Apa yang dimaksud dengan bantuan ahli yang diperlukan
dalam penyidikan terhadap tindak pidana tersebut. Bantuan ahli yang diperlukan dalam
penyidikan terhadap dalam tindak pidana tersebut, dalam penjelasan Pasal 43 ayat (5) huruf
(h), dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ahli adalah seseorang yang memiliki keahlian
khusus di bidang teknologi informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akedemis
maupun praktis mengenai pengetahuannya tersebut.23
Mengenai alat bukti, Pasal 44 UU ITE menyatakan, “Alat bukti penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini,
adalah sebagai berikut:24
a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan; dan
b. Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3).”
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, bahwa informasi elektronik
merupakan alat bukti hukum yang sah, meliputi informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik, dan/atau hasil cetakan; Ketentuan ini, merupakan perluasan dari alat bukti yang
sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia (Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Bagaimana dengan informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik apabila menggunakan sistem elektronik dan
dianggap sah, akan diatur sesuai ketentuan dalam Undang-Undang ini. Informasi elektronik
23 Ibid. 24 Ibid.
sebagai suatu data atau sekumpulan data elektronik yang telah diolah yang memiliki arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Dokumen elektronik adalah setiap
informasi elektronik yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui komputer atau
sistem elektronik yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.25
Kecuali, bahwa ketentuan mengenai informasi dan/atau dokumen elektronik tidak
berlaku untuk surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan
surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta
notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Demikian pula, dalam hal terdapat
ketentuan lain, yang mensyaratkan suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli maka
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah, sepanjang informasi yang
tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.26
III. UNSUR-UNSUR PASAL 27 AYAT (3)
Moljiatno (2002), mengatakan bahwa “Pada hakekatnya tiap-tiap perbuatan pidana
harus terdiri atas unsur-unsur lahir oleh karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan
akibat yang ditimbulkan karenanya, adalah suatu kejadian dalam alam lahir.” Menurutnya,
yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana, antara lain :27
a. Kelakuan dan akibat (=perbuatan)
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
d. Unsur melawan hukum yang objektif.
25 Ibid. 26 Ibid., h. 130 27 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Reneka Cipta, Jakarta 2002, h. 63
e. Unsur melawan hukum yang subjektif.
Berkaitan dengan Pasal 27 Ayat (3), Sunarso (2009) mengemukakan “unsur perbuatan yang
dilarang oleh Undang-Undang, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 27 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 adalah :28
a. Setiap orang;
b. Dengan sengaja dan tanpa hak;
c. Mendistribusikan, dan/ata mentransmisikan, dan/atau dapat diaksesnya informasi
elektronik, dan/atau dokumen elektronik;
d. Memiliki muatan melanggar kesusilaan, atau muatan perjudian, atau muatan
penghinaan, dan/atau pencemaran nama baik, atau muatan pemerasan, dan/atau
pengancaman.
Adapun unsur-unsur yang dikemukakan diatas merupakan keseluruhan ayat yang
terdapat di dalam Pasal 27 UU ITE. Jika dipersempit lagi, agar sesuai dengan fokus dari
penelitian ini yaitu Pasal 27 Ayat (3) maka menurut penulis, perbedaannya hanya terletak
pada unsur keempat yaitu “memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Oleh karena itu, menurut penulis unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) adalah :
Setiap orang; Dengan sengaja dan tanpa hak; Mendistribusikan, dan/ata mentransmisikan,
dan/atau dapat diaksesnya informasi elektronik, dan/atau dokumen elektronik; Memiliki
muatan penghinaan, dan/atau pencemaran nama baik.
Pengertian setiap orang disini, selain ditafsirkan sebagai individu juga badan hukum
yang berbadan hukum sesuai ketentuan Undang-Undang. Misalnya PT, Yayasan, Koperasi,
dan sebagainya.29
28 Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik studi kasus Prita Mulyasari,
PT Rineka Cipta, Jakarta, 2009, h. 98
Pengertian dengan sengaja dan tanpa hak, dapat ditafsirkan sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan Undang-Undang dan tindakan melalaikan yang diancam hukuman.
Adapun perbuatan optimum yang dianggap mengandung sifat ketidakadilan yang
berdasarkan sifatnya, yang patut dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-
Undang adalah mendistribusikan, dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diakses
informasi elektronik, dan/atau dokumen elektronik, yang dapat menganggu sifat
ketidakadilan tersebut.30
Perbuatan di atas, dapat mengandung unsur delik penuh bilamana delik yang timbul
merupakan delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana, dengan dilakukannya suatu
perbuatan yang dilarang. Dengan demikian, delik ini termasuk delik formil atau delik dengan
perumusan formil, yakni unsur muatan melanggar kesusilaan, atau muatan perjudian, atau
muatan penghinaan, dan/atau pencemaran nama baik, atau muatan pemerasan, dan/atau
pengancaman. Yang penting bahwa secara formal informasi elektronik dan dokumen
elektronik telah mengandung muatan-muatan yang dilarang oleh Undang-Undang.31
Jika kita melihat buku II dan III KUHP maka di situ dijumpai beberapa banyak
rumusan-rumusan perbuatan serta sanksinya yang dimaksud untuk menunjukkan perbuatan-
perbuatan mana yang dilarang dan pantang dilakukan. Pada umumnya maksud tersebut dapat
dicapai dengan menentukan beberapa elemen, unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat
khas larangan tadi, sehingga dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lain yang tidak
dilarang.32
Pencurian misalnya unsur-unsur pokoknya ditentukan sebagai: mengambil barang
orang lain. tetapi tidak tiap-tiap mengambil barang orang orang lain adalah pencurian, sebab
29 Ibid. 30 Ibid. 31 Ibid. 32 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Reneka Cipta, Jakarta 2002, h. 64
ada orang yang mengambil barang orang lain untuk disimpan dan kemudian diserahkan
kepada pemiliknya.33
Untuk membedakan bahwa yang dilarang itu bukanlah tiap-tiap pengambilan barang
orang lain, maka dalam Pasal 362 KUHP di samping unsur-unsur tadi, ditambah dengan
elemen lain yaitu: dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum.34
Jadi rumusan pencurian dalam Pasal 362 KUHP tadi terdiri atas unsur-unsur:35
1. Mengambil barang orang lain dan
2. Dengan maksud untuk dimemiliki secara melawan hukum.
Begitu pula misalnya dengan penadahan (heling). Dalam Pasal 480 ayat (1),
dirumuskan dengan unsur-unsur 1, membeli, menyewa, menukar, menggadaikan, menerima
sebagai hadiah, menjual untuk mendapat untung, mengganti menerima sebagai gadai,
mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan barang 2. Yang diketahui atau sepatutnya
harus diduga berasal dari kejahatan.36
Dalam Pasal 480 ayat (2) rumusannya adalah:
1. Menarik untuk dari hasil suatu barang, dan
2. Yang diketahui atau sepatutnya harus diduga berasal dari kejahatan.
Dalam perbuatan-perbuatan pidana, selain daripada dibedakan dalam kejahatan dan
pelanggaran, biasanya dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain dalam:
1. Delik dolus dan delik culpa
33Ibid. 34 Ibid. 35 Ibid. 36 Ibid.
Bagi delik dolus diperlukan adanya kesengajaan; misalnya Pasal 338 KUHP; “dengan
sengaja menyebabkan matinya orang lain”, sedangkan pada delik culpa, orang juga sudah
dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut Pasal 359 KUHP
dapat dipidananya orang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaan. Contoh
daripada delik-delik dolus yang lain:37
- Pasal 354 : dengan sengaja melukai berat orang lain.
- Pasal 187 : dengan sengaja menimbulkan kebakaran.
- Pasal 231 : dengan sengaja mengeluarkan barang-barang yang disita
- Pasal 232 ayat (2) : dengan sengaja merusak segel dalam pensitaan.
Perumusan delik dapat dilakukan secara formal dan materiil, dapat disebut delik
formal dan material.
Berbeda dengan pembedaan dilik-delik yang akan disebut 12 di mana dalam
kenyataannya sifatnya masing-masing memang berbeda, di sini perbedaan sifatnya masing-
masing memang berbeda, di sini perbedaan tidak mengenai sifat yang sesungguhnya, tapi
hanya mengenai sifat dalam perumusannya di masing-masing pasal saja.38
Jadi dalam kenyataannya tidak ada perbedaan sifat antara delik formil dan materiil.
Perbedaan hanya dalam tulisan yaitu bisa dilihat kalau membaca perumusan masing-masing
delik. Karenanya, istilah delik formal dan material itu adalah singkatan dari : delik yang
dirumuskan secara formal atau material. Dikatakan ada perumusan formal jika yang disebut
atau yang menjadi pokok dalam formulering adalah kelakuannya. Sebab kelakuan macam
itulah yang dianggap pokok untuk dilarang. Akibat dari kelakuan itu tidak dianggap penting
untuk masuk perumusan. Misalnya dalam pasal 362 KUHP mengenai pencurian, yang
penting ialah kelakuan untuk memindahkan penguasaan barang yang dicuri. Dalam pasal itu
37 Ibid., h. 75 38 Ibid., h. 68
kelakuan dirumuskan sebagai “mengambil”. Akibat dari pengambilan tadi, misalnya dalam
pencurian sepeda, bahwa si korban lalu harus jalan kaki sehingga jatuh sakit, tidak dipandang
penting dalam formulering dalam pencurian.39
Dikatakan ada perumusan material jika yang disebut atau menjadi pokok dalam
formulering adalah akibatnya: oleh karena akibatnya itulah yang dianggap pokok untuk
dilarang.40
Bagaimana caranya mendatangkan akibat tadi tidak dianggap penting. Biasanya yang
dianggap delik material adalah misalnya penganiayaan (Pasal 351 KUHP) dan pembunuhan
(Pasal 358) karena yang dianggap pokok untuk dilarang adalah adanya akibat menderita sakit
atau matinya orang yang dianiaya atau dibunuh. Bagaimana caranya mendatangkan akibat
itu, tidak penting sama sekali.41
Perlu diajukan pula, bahwa hemat saja ada rumusan-rumusan yang formal-material.
Artinya di situ yang menjadi pokok bukan saja caranya berbuat tapi juga akibatnya.
Contohnya adalah pasal 378 KUHP yaitu penipuan.42
IV. HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Karakteristik Pidana
Karakteristik yang dimaksudkan disini adalah sesuatu yang menjadi ciri khas,
sehingga membedakan antara putusan yang satu dengan yang lain. karakteristik pertama
39 Ibid. 40 Ibid. 41 Ibid. 42 Ibid.
terkait dengan bagaimana majelis hakim membagi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal
27 Ayat (3) UU ITE.
Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl (Bantul) :
1. Setiap Orang;
2. Dengan Sengaja dan Tanpa hak Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronilk yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;”43
Dalam putusan ini, majelis hakim hanya membagi Pasal 27 Ayat (3) kedalam 2 unsur.
Unsur pertama adalah unsur subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata
lain unsur tentang siapa yang hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai
pertanggungjawaban terhadap perbuatan yang didakwakan mampu bertanggung jawab.
Sedangkan unsur yang kedua adalah unsur perbuatan yaitu apakah perbuatan dilakukan
secara sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.
Nomor 23/Pid.B/2011/PN.JTH (Jantho) :
1. Unsur Barang Siapa;
2. Dengan Sengaja dan Tanpa Hak;
3. Mendistribusikan dan/atau Mentransmisikan dan/atau Membuat dapat diaksesnya;
4. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik;
5. Yang memiliki muatan Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik;”44
43Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor
11 tahung 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl,
h. 50
Majelis hakim dalam putusan ini membagi unsur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE
menjadi 5 unsur. Unsur perbuatan dibagi menjadi 4 unsur yaitu : Unsur pertama adalah unsur
subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain unsur tentang siapa yang
hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan
yang didakwakan mampu bertanggung jawab. Sedangkan dalam unsur perbuatan yang
pertama yaitu: barang siapa dan tanpa hak; dan unsur perbuatan kedua dalam putusan ini
adalah mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya;
unsur ketiga yaitu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen elektronik; dan unsur perbuatan
terakhir di dalam Putusan ini yaitu yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik.
Putusan Nomor 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel (Jakarta Selatan) :
1. Setiap orang;
2. Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik;
3. Yang memiliki muatan penghinan dan/atau pencemaran nama baik.45
Dalam putusan ini, Majelis Hakim yang mengadili perkara membagi unsur Pasal 27
Ayat (3) menjadi 3 unsur. Unsur perbuatan hanya di bagi kedalam 2 unsur yaitu : Unsur
pertama adalah unsur subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain
unsur tentang siapa yang hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai
pertanggungjawaban terhadap perbuatan yang didakwakan mampu bertanggungjawab.
Sedangkann dalam unsur perbuatan yang pertama yaitu: Dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
44Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor
11 tahung 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Putusan Nomor 23/Pid.B/2011/PN.JTH, h.
44 45 Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor
11 tahung 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Putusan Nomor
1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel, h. 138
elektronik; dan unsur perbuatan yang kedua yaitu yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.
Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM (Sungguminasa)
1. Setiap Orang;
2. Dengan sengaja dan tanpa Hak;
3. Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik;46
Majelis hakim dalam putusan ini membagi unsur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE
menjadi 3 unsur. Unsur perbuatan dibagi menjadi 2 unsur yaitu: Unsur pertama adalah unsur
subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain unsur tentang siapa yang
hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan
yang didakwakan mampu bertanggung jawab. Sedangkan unsur perbuatan yang pertama
yaitu: Dengan sengaja dan tanpa hak dan unsur mindistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Putusan Nomor 390/Pid.B/2014/PN.Mks (Makassar)
1. Setiap orang;
2. Dengan sengaja
3. Tanpa hak;
4. Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya;
5. Muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;47
46 Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor
11 tahung 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM,
h. 54
Majelis hakim dalam putusan ini membagi unsur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE
menjadi 5 unsur. Unsur perbuatan dibagi menjadi 4 unsur yaitu: Unsur pertama adalah unsur
subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain unsur tentang siapa yang
hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan
yang didakwakan mampu bertanggung jawab. Sedangkan dalam unsur perbuatan yang
pertama yaitu: Dengan sengaja unsur perbuatan kedua yaitu: tanpa hak; unsur perbuatan
ketiga yaitu: Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya; yang unsur perbuatan keempat yaitu Muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik.
Putusan Nomor 232/Pid.B/2010/PN.Kdl (Kendal)
1. Unsur Setiap Orang;
2. Unsur Dengan Sengaja atau tanpa Hak;
3. Mendistribusikan dan/atau Mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik;
4. Unsur memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;48
Majelis hakim dalam putusan ini membagi unsur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE
menjadi 4 unsur. Unsur perbuatan dibagi menjadi 3 unsur yaitu: Unsur pertama adalah unsur
subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain unsur tentang siapa yang
hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan
yang didakwakan mampu bertanggung jawab. Sedangkan dalam unsur perbuatan yaitu:
Pertama Dengan sengaja dan tanpa hak; unsur kedua yaitu: Mendistribusikan dan/atau
Mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
47 Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor
11 tahung 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Putusan Nomor 390/Pid.B/2014/PN.Mks,
h. 24 48 Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor
11 tahung 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Putusan Nomor 232/Pid.B/2010/PN.Kdl,
h. 43
Dokumen Elektronik; dan unsur yang terakhir dalam putusan ini yaitu: unsur Memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;
Karakteristik kedua Terkait Dengan Hasil Putusan.
- Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl (Bantul)
Dalam putusan ini Menyatakan Terdakwa ERVANI EMY HANDAYANI Bin
SAIMAN tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan PERTAMA, KEDUA atau
KETIGA; dan Membebaskan Terdakwa ERVANI EMY HANDAYANI Bin SAIMAN oleh
karena itu dari semua dakwaan tersebut; dan Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan,
kedudukan dan harkat serta martabatnya.49
- Nomor 23/Pid.B/2011/PN.JTH (Jantho)
Dalam hasil putusan ini menyatakan Terdakwa A. HAMIDY ARSA Bin (Alm)
ABDURRAHMAN telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “pencemaran nama baik dengan menggunakan Media Elektronik.”; Dan menjatuhkan
pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan;
dan menetapkan lamanya penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; dan memerintahkan terdakwa tetap ditahanan.50
- Putusan Nomor 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel (Jakarta Selatan)
Dalam putusan ini Terdakwa tidak terbuti terkait Pasal 27 ayat (3) melainkan terbuti
dalam Pasal 263 KUHP. Putusan ini Menyatakan terdakwa MUHAMMAD FAJRISKA
MIRZA, SH alias BOY Bin A. GANIE MUSTAFA dengan identitasnya tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan KESATU
49 Dalam konsideran mengadili, Putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl, h. 68 50 Dalam konsideran mengadili, Putusan Nomor 23/Pid.B/2011/PN.JTH, h. 55
PRIMAIR maupun Dakwaan KEDUA baik dakwaan KEDUA PRIMAIR maupun dakwaan
KEDUA Subsidair dari Penuntut Umum; dan membebaskan Terdakwa oleh karena itu
Dakwaan KESATI PRIMAIR dan dakwaan KEDUA tersebut; dan Menyatakan terdakwa
MUHAMMAD FAJRISKA MIRZA, SH alias BOY Bin A. GANIE MUSTAFA dengan
identitas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pengaduan
Palsu kepada Penguasa, sebagaimana Dakwaan KESATU SUBSIDAIR.”; dan menjatuhkan
pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan;51
- Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM (Sungguminas)
Dalam putusan ini Menyatakan Terdakwa FADHLI RAHIM S.Sos Bin ABD.RAHIN
HANAFI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Dengan Sengaja Tanpa Hak Mentransmisikan Informasi Elektronik Yang Memiliki Muatan
Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik.”; dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh
karena itu dengan Pidana penjara selama 8 (delapan) bulan; dan menetapkan penahanan yang
telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; dan
menetapkan Terdakwa tetap dalam tahanan.52
- Putusan Nomor 390/Pid.B/2014/PN.Mks (Makassar)
Dalam putusan ini menyatakan Terdakwa MUHAMMAD ARSYAD, SH tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalahmelakukan tindak pidana baik dalam dakwaan
PERTAMA, dakwaan KEDUA maupun dalam dakwaan KETIGA; dan membebaskan
Terdakwa MUHAMMAD ARSYAD, SH. tersebut oleh karena itu dari seluruh dakwaan
Jaksa/Penuntut Umum tersebut dan memerintahkan segera mengeluarkan Terdakwa dari
51 Dalam konsideran mengadili, Putusan Nomor 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel, h. 149 52 Dalam konsideran mengadili, Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM, h. 81
tahanan dan memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabat.53
- Putusan Nomor 232/Pid.B/2010/PN.Kdl (Kendal)
Dalam putusan ini Menyatakan Terdakwa Drs. PRABOWO, MM Bin TJASAN
PROMONO SAPUTRO tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Tanpa hak telah mendistribusikan Informasi elektronik yang
memiliki muatan penghinaan”; dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut oleh
karena itu dengan Pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan denga sebesar 1.000.000,- (satu
juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan
selama 1 (satu) bulan;54
Terlepas dari setiap karakteristik pidana yang terdapat dalam setiap putusan, penulis
menyadari bahwa penekanan utama yang harus dilihat adalah bukan pada seberapa baik
pembagian unsur yang dibuat hakim, bukan juga pada persoalan dibebaskan atau dianggap
bersalahnya seorang terdakwa didepan pengadilan, melainkan lebih pada apakah sebuah
putusan yang dibuat sudah mempertimbangkan hal-hal fundamental dalam membuat putusan.
Hal fundamental yang dimaksudkan disini terkait dengan alat-alat bukti yang akan dipakai
hakim dalam membuat pertimbangan-pertimbangan yang akan penulis jabarkan sendiri dalam
analisis.
B. Analisis
Setiap Orang
Dalam Pasal 1 angka 21 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perorangan, baik
53 Dalam konsideran mengadili, Putusan Nomor 390/Pid.B/2014/PN.Mks, h. 46 54 Dalam konsideran mengadili, Putusan Nomor 232/Pid.B/2010/PN.Kdl, h. 62
Warga Negara Indonesia, Warga Negara Asing maupun Badan Hukum.55 Merujuk pada
pengertian tersebut, maka setiap orang yang dimaksudkan disini bukanlah merupakan unsur
tindak pidana. Setiap orang yang dimaksudkan bukanlah unsur perbuatan, melainkan sebuah
unsur Pasal yang merujuk kepada siapa saja orang perorangan atau suatu Badan Hukum
sebagai pendukung hak dan kewajiban yang didakwa melakukan suatu Tindak Pidana. Hak
dan kewajiban merupakan kebebasan dan keharusan yang melekat pada siapa saja orang
perorangan atau badan hukum untuk berbuat sesuatu menurut hukum. Oleh karena kebebasan
disini adalah bebas berbuat sesuatu menurut hukum, maka apabila seseorang atau badan
hukum dalam perbuatannya dianggap tidak sesuai lagi menurut hukum, menjadi keharusan
dari seseorang atau badan hukum tersebut untuk berbuat sesuatu menurut hukum (mengikuti
proses hukum). Dengan demikian, setiap orang yang dimaksud disini menitikberatkan pada
kemampuan seseorang atau badan hukum untuk bertanggung jawab terhadap perbuatan yang
didakwakan.
Dalam KUHP, ketentuan mengenai kemampuan bertanggungjawab. Dapat dilihat
pada Pasal 44, yang menyatakan : “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang
terganggu karena penyakit”. Berdasarkan pasal ini, maka persoalan yang muncul kemudian
adalah jika tidak dapat dipertanggungjawabkannya itu disebabkan karena hal lain, misalnya
jiwanya tidak normal karena masih sangat muda atau lain-lain, maka pasal ini sulit untuk
diterapkan. Moeljatno dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana” mengatakan, “bahwa
untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada:56
1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk;
yang sesuai hukum dan yang melawan hukum;
55 Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, h.13 56 Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2001, h. 165
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan
buruknya perbuatan tadi.”
Dari rumusan pasal 44 KUHP dan penyataan Moeljatno tersebut, dapat disimpulkan
bahwa unsur setiap orang adalah unsur yang tujukan pada subjek hukum sebagai pendukung
hak dan kewajiban yang mampu mempertanggung jawabkan setiap perbuatannya dihadapan
hukum. Mempertanggungjawabkan memiliki makna tidak sakit atau cacat mental sehingga
mampu membedakan antara perbuatan baik dan buruk, perbuatan melawan hukum dan sesuai
hukum serta mampu menentukan kehendaknya menurut kesadaran tentang baik dan buruknya
perbuatan.
Selain persoalan bertanggung jawab, unsur setiap orang disini dimaksudkan agar tidak
terjadi kesalahan atau kekeliruan orang (error in person) sebagai subyek atau pelaku tindak
pidana yang sedang diperiksa dalam perkara.
Pada keenam putusan yang penulis teliti, subjek hukum yang menjadi terdakwa
adalah subjek hukum yang telah memenuhi kualifikasi penyandang hak dan kewajiban.
Semua terdakwa sebagai subjek hukum yang sehat jasmani dan rohani, yang mampu
mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah didakwakan. Disamping itu, dalam
semua putusan yang diteliti, tidak terjadi kesalahan ataupun kekeliruan orang (error in
person) sebagai subjek atau pelaku tindak pidana
Dengan sengaja dan tanpa hak;
Menurut keterangan Menkominfo dan Menhukham pada persidangan di Mahkamah
Konstitusi pada 12 Februari 2009 unsur dengan sengaja diartikan “pelaku harus menghendaki
perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan mengetahui bahwa Informasi
dan/atau Dokumen elektronik tersebut memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik”. Berdasarkan keterangan tersebut,57 Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
50/PUU-VI/2008, Majelis Hakim menyatakan pertimbangannya : “Bahwa unsur dengan
sengaja dan tanpa hak merupakan satu kesatuan yang dalam tataran penerapan hukum harus
dapat dibuktikan oleh penegak hukum. Unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak” berarti
pelaku “menghendaki” dan “mengetahui” secara sadar bahwa tindakannya dilakukan tanpa
hak. Dengan kata lain, pelaku secara sadar menghendaki dan mengetahui bahwa perbuatan
“mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diaksesnya
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” adalah memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik. Adapun unsur tanpa hak merupakan unsur melawan hukum.
Pencantuman unsur tanpa hak dimaksudkan untuk mencegah orang melakukan perbuatan
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik”.58
Berdasarkan hal tersebut, perbuatan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE,
yaitu mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinan dan/atau
pencemaran nama baik, mensyaratkan adanya kesengajaan. Disisi lain, dalam UU ITE tidak
dijelaskan tentang maksud dari kesengajaan. Bahkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Indonesia, tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian
dari unsur dengan sengaja. Sangat berbeda dengan KUHP Swiss di mana dalam Pasal 18
dengan tegas ditentukan : “Barangsiapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan
menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja”. Namun, penyataan
57 http://www.suduthukum.com/2016/11/unsur-unsur-pencemaran-nama-baik-dalam.html
dikunjungi pada Tanggal 10 Agustus 2017, pukul 18:26 58 Konsideran pada Pasal 19 ICCPR bagian 3.16.2, Konstitusi Nomor 50/PUU-VII/2008, h.
105
serupa bisa saja ditemukan pada Memorie Van Toelichting (MVS) yang menyatakan, “Pidana
pada Umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan yang
dilarang dengan dikehendaki dan diketahui”.59
Bertitik tolak dari hal tesebut di atas, sesungguhnya sengaja merupakan sikap batin
yang letaknya dalam hati terdakwa yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Sengaja termasuk
unsur subyektif yang ditunjukan terhadap perbuatan, artinya pelaku mengetahui perbuatannya
yang dalam hal ini, pelaku menyadari mengucapkan kata-kata yang mengandung pelanggaran
terhadap kehormatan atau nama baik orang lain. Walaupun sengaja merupakan unsur
subjektif (sikap batin seseorang), sesungguhnya sengaja dapat dianalisa, dipelajari dan
dibuktikan dari rangkaian perbuatan yang dilakukan terdakwa, karena setiap orang
melakukan perbuatan selalu sesuai dengan niat, kehendak atau maksud hatinya, terkecuali
terdapat paksaan atau tekanan dari orang lain. Sikap batin tersebut tercermin dari sikap lahir
atau perilaku seseorang yang merupakan refleksi dari niatnya, sehingga dapatlah dikatakan
bahwa dengan sengaja adalah suatu kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan
seperti dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan atau kehendak untuk berbuat
dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan perundangan-undangan.60
Pengertian yang paling sering dipakai oleh para praktisi hukum yang menjelaskan
tentang unsur “sengaja” atau opzet dikenal dengan istilah asing “Willens En Wetens”, yang
secara gramatikal berarti dikehendaki dan di insyafi. Menghendaki dan/atau menginsyafi ,
tidak hanya berarti apa yang betul-betul dikehendaki dan atau diinsyafi oleh pelaku, tetapi
59 Konsideran menimbang pada Putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Kdl, h.50 60 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja Tanpa Hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; Putusan
Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl, h. 51
juga hal-hal yang mengarah atau berdekatan dengan kehendak atau keinsyafan itu (S. R
Sianturi, asas-asas hukum pidana Indonesia dan penerapannya, Hal : 179);61
Sejatinya, kesengajaan (opzet) sebagaimana tersebut di atas adalah willens
(menghendaki) dan wetens (mengetahui), artinya agar seseorang itu dapat disebut telah
memenuhi unsur-unsur opzet, maka terhadap unsur-unsur objektif yang berupa tindakan-
tindakan, orang itu harus willens atau menghendaki melakukan tindakan-tindakan tersebut,
sedang terhadap unsur-unsur objektif yang berupa keadaan-keadaan terdakwa cukup wetens
atau mengetahui tentang keadaan-keadaan tersebut;
Untuk membuktikan adanya suatu bentuk kesengajaan, dapatlah ditempuh dengan
cara membuktikan adanya hubungan kausal dalam batin terdakwa antara keinginan/motif
(willens) dengan tujuan atau pembuktian adanya keinsyafan atau pengertian terhadap apa
yang dilakukan beserta akibatnya (willens) dan keadaan-keadaan yang paling menyertainya;
Prof. Dr. Wirjono Projodikoro, SH, dalam bukunya tentang “Asas-Asas Hukum
Pidana di Indonesia, edisi ketiga, PT Refina Utama, Hal. 66-69”, mengatakan : “Dalam teori
ilmu hukum terdapat 2 macam teori yang dapat dipakai untuk membuktikan adanya suatu
bentuk kesengajaan dalam diri si-pelaku, yakni teori tujuan (wilsntheori) dan teori bayangan
(voorstellingtheorie). Kedua teori tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
menentukan apakah perbuatan terdakwa termasuk ke dalam bentuk kesengajaan yang dalam
doktrin ilmu hukum terbagi menjadi 3 bentuk yaitu:62
1. Kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmerk), yaitu suatu bentuk perbuatan yang
benar-benar dikehendaki oleh pelaku untuk mencapai akibat yang menjadi pokok
alasan diadakannya ancaman hukuman pidana tersebut;
61 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan sengaja dan Tanpa Hak, Putusan Nomor
324/Pid.B//2014/PN.SGM,h. 55 62 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja Tanpa Hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; Putusan
Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl, h. 52
2. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (opzet bij zekerheidbewustzinj), yaitu suatu
bentuk sengaja yang ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tersebut tidak
bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar delik, namun pelaku mengetahui
benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatannya tersebut;
3. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (opzet bij mogelijheid-bewustzijn), yaitu
seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan maksud menimbulkan suatu
akibat tertentu, tetapi orang tersebut sadar bahwa apabila ia melakukan perbuatan
tersebut mungkin perbuatan itu akan menimbulkan akibat lain yang juga dilarang dan
diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan dan terhadap akibat lain tersebut
bukan merupakan tujuan yang dikehendaki akan tetapi hanya didasari kemungkinan
terjadinya;
Adapun tentang teori tujuan dan teori bayangan, Moeljatno dalam bukunya tentang “Asas-
asas Hukum Pidana” menyebut dengan sebutan “Teori kehendak (wilstheorie) dan Teori
pengetahuan (voorstellingstehorie).”63
Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada
terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam wet. (de op verwerkelijking der wettelijke
omschrijhving gerichte wil); sedangkan menurut yang lain, kesengajaan adalah kehendak
untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan wet (de wil
tot handelen bj voorstelling van de tot de wettelijke omschrijving behoorende berstandelen).64
kedua teori ini pada umumnya memiliki kesamaan karena dalam kehendak dengan sendirinya
diliputi pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu sudah harus
mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang
belum tentu juga dikehendaki olehnya. Pompe, (Dalam Moeljatno) mengatakan bahwa
63 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Penertbit Rineka Cipta, Jakarta, 2002, h. 171 64 Ibid.
“perbedaan kedua teori ini tidak terletak pada kesengajaan untuk mengadakan kelakuan
(positif maupun negative) itu sendiri yang oleh dua-duanya disebut sebagai kehendak, tetapi
terletak dalam kesengajaan terhadap unsur-unsur lainnya (sejauh harus diliputi
kesengajaan), yaitu akibat dan keadaan yang menyertainya.”.65 lebih lanjut, Moeljatno
mengatakan :“Mengenai kesengajaan terhadap unsur-unsur ini yang satu mengatakan
tentang “pengetahuan” (mempunyai gambaran tentang apa yang ada dalam kenyataan, jadi
mengetahui, mengerti ) sedangkan yang lain mengatakan tentang “kehendak”. 66
Selanjutnya, menurut Moeljatno, “kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan,
yang berhubungan dengan motif (alasan pendorong untuk berbuat) dan tujuannya perbuatan.
Konsekuensinya ialah bahwa untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan dikehendaki oleh
terdakwa, hemat saya: 1. Harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya
untuk berbuat dan tujuannya yang hendak dicapai. 2. Antara motif, perbuatan dan tujuan
harus ada hubungan terdakwa menganiaya seseorang karena orang itu beberapa hari yang lalu
telah mengganggu tunangannya misalnya, maka disitu ada motif dan tujuan untuk
penganiayaan, sehingga dapat ditentukan bahwa penganiayaan dilakukan dengan
kesengajaan. Dia memang menghendaki perbuatan tersebut. Cara yang demikian ini tentunya
yang idiil dan seyogyanya sedapat mugkin memang harus diusahakan pembuktiannya bagi
delik yang penting-penting. Tapi cara ini tidak mudah dan memakan banyak waktu dan
tenaga. Lain hal-nya kalau kesengajaan diterima sebagai pengetahuan. Disini pembuktian
lebih singkat, Karena hanya berhubungan dengan unsur-unsurnya perbuatan yang dilakukan
saja. Tidak ada hubungan kausal antara motif dengan perbuatan. Hanya berhubungan dengan
65 Ibid.
66 Ibid.
dengan pertanyaan, apakah terdakwa mengetahui, menginsyafi, atau mengerti perbuatannya
yaitu kelakuan yang dilakukan, maupun akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya?”67
Berdasarkan hal tersebut, maka menurut penulis perbedaan antara teori kehendak dan
teori pengetahuan terletak pada bagaimana seseorang melakukan interpretasi hukum tentang
kesengajaan. Seseorang yang dimaksudkan di sini adalah yang memiliki wewenang dari
undang-undang atau dalam hal ini adalah Majelis Hakim. Perbedaan tersebut dapat
ditemukan pada bagaimana majelis hakim menafsirkan kesengajaan, apakah kesengajaan
yang diatur dalam pasal 27 ayat 3 diterima sebagai kehendak ataukah kesengajaan tersebut
diterima sebagai pengetahuan. Jika kesengajaan diterima sebagai kehendak, maka hubungan
kausal antara motif, niat dan perbuatan terdakwa menjadi pembuktian dalam pertimbangan
Majelis Hakim. Namun, jika kesengajaan hanya diterima sebagai pengetahuan, konsekuensi
hukumnya adalah Majelis Hakim cukup membuktikan dalam pertimbangannya bahwa
terdakwa mengetahui dan menginsyafi perbuatan yang dilakukan.
Adapun pengertian tentang unsur “tanpa hak” tidak dijelaskan dalam Undang-Undang
ini. Keterangan Menkominfo dan Menhukham pada persidangan di Mahkamah Konstitusi
pada 12 Februari 2009, menyatakan : “……Sementara unsur tanpa hak dalam kesempatan
yang sama juga diartikan sebagai “perumusan sifat melawan hukum yang dapat diartikan (1)
bertentangan dengan hukum, (2) bertentangan dengan hak atau tanpa kewenangan atau tanpa
hak”.68 Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa “tanpa hak” merupakan suatu
perbuatan yang dilakukan diluar hak yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan jabatan,
kewenangan, ataupun kekuasaan yang ada padanya secara melawan hukum. Sifat melawan
hukum disini terletak pada perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat
67 Ibid. 68 http://www.suduthukum.com/2016/11/unsur-unsur-pencemaran-nama-baik-dalam.html
dikunjungi pada Tanggal 10 Agustus 2017, pukul 18:26
diakses informasi elektronik tersebut yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik.
Dalam putusan 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl (bantul), bagi Majelis Hakim, kesengajaan
tidak hanya diterima sebagai pengetahuan namun juga kesengajaan diterima sebagai
kehendak. Hal ini pada dilihat pada pertimbangan-pertimbangan yang dibuat Majelis Hakim
terkait fakta-fakta hukum yang diutarakan didalam pengadilan. Adapun dalam salah satu
konsiderans, majelis hakim menyatakan :
“Menimbang, bahwa dalam teori ilmu hukum terdapat dua macam teori untuk
dapat membuktikan adanya suatu bentuk kesengajaan dalam diri si pelaku
yaitu teori tujuan (wilsntheorie) dan teori bayangan (voorstellingtheorie)
dimana kedua teori tersebut merupakan pedoman bagi Majelis Hakim….”69
Berbeda dengan hal tersebut, dalam Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM
(Sungguminasa), majelis hakim membuat pertimbangan dimana kesengajaan lebih diterima
sebagai pengetahuan daripada kehendak. Berikut adalah salah satu konsiderans, yaitu :
“Menimbang, bahwa Dr Leden Marpaung, SH dalam bukunya tindak Pidana
terhadap kehormatan memberikan penjelasan terhadap kaidah hukum
tersebut sebagai berikut: Dalam hal ini, cukup si pelaku menyadari atau
mengetahui bahwa kata-kata itu diucapkan dan mengetahui bahwa kata-kata
tersebut merupakan kata-kata “menista”. Bahwa si pelaku bukan mempunyai
niat untuk menghina atau menista, tidak merupakan bagian dari Dolus atau
Opzet. Lain halnya kalau pelaku mengucapkan kata-kata tersebut dalam
keadaan mabuk atau dalam keadaan bermimpi, karena pelaku dalam kedua
hal tersebut berbuat tanpa kesadaran yang wajar. Selain itu, perlu disadari
bahwa niat belum masuk lingkungan ilmu hukum pidana. Mempunyai niat,
belum dapat dihukum, tetapi dalam agama memang telah merupakan dosa;”70
Penilaian dengan menggunakan teori kehendak dan teori pengetahuan sebagai bahan
pertimbangan pun dapat dilihat pada Pertimbangan Majelis hakim dalam Putusan Nomor
390/Pid.B/2014/PN.Mks (Makassar). Bahkan, majelis hakim yang mengadili perkara ini
69 Dalam konsideran menimbang pada unsur Mendistribusikan dan/atau Mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnyainformasi elektronik dan/atau Dokumen elektronik, Putusan Nomor
196/Pid.Sus/2014/PN.Kdl, h.51 70 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja dan tanpa hak, Putusan Nomor
324/Pid.B/2014/PN.SGM, h. 61
terlihat fleksibel dan terkesan jeli memeriksa perkara. Fleksibel yang dimaksudkan disini
adalah pada bagaimana majelis hakim memposisikan diri untuk melihat dulu, apakah sengaja
tertuju pada perbuatan atau akibat daripada perbuatan atau hal ikhwal yang menyertai
perbuatan, yang mana kedua-duanya akan dinilai dengan teori kehendak atau teori
pengetahuan. Pernyataan tersebut dapat dilihat dalam konsiderans menimbang dibawah ini :
“Menimbang, bahwa sengaja dalam ilmu pengetahuan hukum pidana
tersusun atas anasir menghendaki atau mengetahui, bahwa seseorang yang
berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat dan harus
diketahui atas apa yang diperbuat, selain itu ada beberapa sarjana yang
membagi kesengajaan berdasarkan pada perbuatan disebut opzet materiil dan
pada akibat daripada perbuatan atau hal ikhwal yang menyertai perbuatan
disebut opzet materiil, bahwa Majelis Hakim mengikuti pandangan kedua oleh
karena dengan pembagian demikian menjadikan penafsiran sengaja menjadi
lebih objektif bukan dalam pemikiran abstrak karena dengan membagi
sengaja dalam pandangan kedua akan memudahkan penafsiran fakta pada
rumusan sengaja yang diempiriskan (diobjektifkan) disini dilihat dulu apakah
sengaja tertuju pada perbuatan atau akibat jika pada perbuatan tidak perlu
diperdalam sampai pada bentuk sengaja sebagai maksud, keharusan pasti
atau kemungkinan yang mutlak diteliti jika sengaja tertuju pada akibat dan
hal ikhwal yang menyertai pebuatan di samping perbuatan itu sendiri dengan
demikian tidak perlu susah-susah membagi sengaja dalam dua anasir
menghendaki dan mengetahui karena jika ia mengetahui dan ternyata
melakukan pasti juga ia menghendaki, namun apakah tertuju pada perbuatan
atau akibat/hal ikhwal yang menyertai perbuatan tentunya dinilai dengan
teori kehendak atau teori pengetahuan tergantung teori mana yang
dipergunakan;”71
Adapun terkesan jeli dalam memeriksa perkara seperti yang penulis katakan sebelum
mengandung arti bahwa sebelum memeriksa lebih jauh tentang kesengajaan dimaksud dalam
perkara yang ditangani, majelis hakim terlebih dahulu mempertanyakan dan
mempertimbangkan kembali alat bukti yang dipakai oleh jaksa penuntut umum dengan
memperhatikan keterangan-keterangan dari para saksi. Menurut majelis hakim, bukti yang
dipakai oleh jaksa penuntut umum tidak mampu membuktikan bahwa terdakwalah yang telah
melakukan perbuatan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dalam konsiderans menimbang,
sebagai berikut :
71 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja dan tanpa hak, Putusan Nomor
390/Pid.B/2014/PN.Mks, h. 35
“Menimbang, bahwa selama pemeriksaan perkara berlangsung,
Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat menghadirkan 2 (dua) orang saksi yang
berteman kontak BBM dengan terdakwa dengan nomor PIN 215A00AA untuk
memastikan apakah benar terdakwa yang membuat personal status dalam
BBM nya tersebut dan apakah benar bahwa itu adalah nomor PIN BBM
terdakwa;”72
“Menimbang, bahwa demikian juga Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat
membuktikan dipersidangan hasil pemeriksaan digital forensic oleh ahli ITE
untuk memastikan apakah benar kata-kata yang tertulis dalam status BBM
tersebut adalah berasal dari Smartphone Blackberry akun BBM PIN
215A00AA milik terdakwa;”73
“Menimbang, bahwa demikian juga Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat
menghadirkan dipersidangkan barang bukti Blackberry milik terdakwa
maupun Blackberry milik saksi MUH. ZULHAMDI ALAMSYAH, SH. yang
berteman kontak BBM dengan terdakwa;”74
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka Majelis
Hakim berkesimpulan bahwa Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat membuktikan
dakwaan Pertamanya;”75
Persoalan tentang bukti elektronik pun juga menjadi salah satu kejelian dari majelis
hakim yang mengadili perkara dalam Putusan Nomor 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel (Jakarta
Selatan) dalam putusan tersebut, majelis hakim menemukan bahwa persoalan dengan sengaja
dan tanpa hak tidak dapat dipertimbangkan lebih jauh lagi sebab jaksa penuntut umum tidak
dapat membuktikan kepada majelis hakim bahwa terdakwa yang telah dituntutlah yang
melakukan perbuatan tersebut. Dapat dilihat dalam konsiderans menimbang, yaitu :
“Menimbang, bahwa dari uraian saksi-saksi sebagaimana diuraikan di atas,
tidak ada saksi-saksi yang mengetahui dan melihat pemilik akun twitter
tersebut dan tidak tahu yang merilisnya;”76
“Menimbang, bahwa keterangan saksi-saksi yang menyatakan bahwa dalam
twitter tersebut adalah milik Terdakwa oleh karena tertulis @fajriska yaitu
nama Terdakwa akan tetapi tidak ada satu orang saksi pun yang mengetahui
bahwa akun twitter @fajriska adalah milik Terdakwa;”77
72 Ibid., h. 37 73 Ibid. h. 38 74 Ibid. 75 Ibid. 76 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Eketronik, Putusan Nomor 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel, h. 141 77 Ibid.
“Menimbang, bahwa menurut Majelis nama pada suatu akun twitter bisa saja
dibuat oleh orang lain dengan membuat nama orang tertentu maka dalam hal
ini Majelis sependapat dengan tim Penasihat HukumTerdakwa dalam
Pledoinya yang menyatakan bahwa tidak terbukti akun twitter @fajriska
adalah milik terdakwa sehingga tidak terbukti pula bahwa terdakwa telah
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
dapat dibuat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.”78
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas majelis
berpendapat bahwa tidak terbukti bahwa akun twitter @fajriska adalah akun
milik terdakwa sehingga unsure kedua dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ataudapat dibuat diaksesnya
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tidak terbukti pada
Terdakwa;”79
“Menimbang, bahwa oleh karena salah satu unsur dari dakwaan kesatu
primair tidak terbukti pada terdakwa maka terdakwa haruslah dibebaskan
dari dakwaan kesatu primair tersebut;”80
Dalam Putusan Nomor 232/Pid.B/2010/PN.Kdl (Kendal), Teori kehendak dan teori
pengetahuan pun dapat ditemukan sebagai sebuah pertimbangan Majelis Hakim dimana
hakim menggunakan pertimbangan tersebut melalui doktrin-doktrin hukum, salah satunya
doktrin hukum yang diambil dari bukunya Moeljatno.
“Menimbang, bahwa menyimak inti Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik mensyaratkan adanya kesengajaan dalam
perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, dimana mensyaratkan adanya suatu
sikap batin si pelaku yang mendorong atau setidaknya menyertai isi pelaku
saat melakukan tindak pidana, oleh karena itu tolak ukur untuk menilai
“sengaja” tersebut adalah dari perbuatan-perbuatan yang nampak dari si
pelaku, sehingga “sengaja” tersebut haruslah mempunyai batasan-
batasan;”81
“Menimbang, bahwa pengertian unsur “sengaja” menurut ilmu hukum yang
dikenal dengan istilah asing “Willens en Wetens” yang berarti si pelaku
mengetahui / menyadari dan menghendaki/bermaksud;”82
“Menimbang, bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik tidak memberikan pengertian mengenai
78 Ibid. 79 Ibid., h. 142 80 Ibid. 81 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja atau tanpa hak, Putusan Nomor
232/Pid.B/2010/PN.Kdl, h. 45 82 Ibid. h. 46
“kesengajaan” tetapi didalam teori dikenal tiga corak “kesengajaan”, yaitu
(Prof. Moeljatno, SH, Asas-Asas Hukum Pidana);83
Kesengajaan sebagai Maksud, yaitu adalah kehendak yang diarahkan pada
terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam wet. Bahwa perbuatan
Terdakwa tersebut memang dimaksudkan atau dikehendaki oleh Terdakwa;
Kesengajaan sebagai Kepastian Keharusan, yaitu bahwa terdakwa
mengetahui, menginsyafi atau mengerti perbuatannya maupun akibat dan
keadaan-keadaan yang menyertainya;
Kesengajaan sebagai Kemungkinan (dolus eventual is), dengan dua
syaratnya, yaitu Terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaan
yang merupakan delik dan sikapnya terhadap kemungkinan itu andaikata
sungguh timbul ialah apa boleh buat, dapat disetujui dan berani pikul
resikonya. Untuk syarat pertama dapat dibuktikan dari kecerdasar pikirannya
dapat disimpulkan antara lain dari pengalaman, pendidikannya atau lapisan
masyarakat mana Terdakwa hidup sedangkan syarat kedua dapat dibuktikan
dari ucapan-ucapan Terdakwa di sekitar perbuatan, tidak mengadakan usaha
untuk mencegah akibat yang tidak diinginkan dan sebagainya;”84
Berbeda dengan hal itu, salah satu putusan yang menurut penulis sangat sedikit
pertimbangan majelis hakim, bahkan hanya menjelaskan tentang maksud dengan sengaja dan
tanpa hak, tanpa memperdalam maksud tersebut dengan melihat doktrin-doktrin maupun
keterangan saksi terdapat dalam Putusan Nomor 23/Pid.B/2011/PN.JTH (Jantho)
pertimbangan yang sangat sedikit tersebut dapat dilihat dalam konsiderans menimbang hakim
tentang unsur dengan sengaja dan tanpa hak yang hanya terdiri dari 3 pertimbangan, sebagai
berikut :
”Menimbang bahwa yang dimaksud dengan sengaja dan tanpa hak adalah
perbuatan yang dikehendaki atau didasari dan bertentangan dengan
ketentuan Undang-undang;”85
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan
diketahui bahwa terdakwa A.HAMIDY ARSA Bin (Alm) ABDURRAHMAN
telah dengan sengaja mengirimkan SMS (short message service/layanan pesan
singkat) kepada orang lain yang isinya bermuatan pencemaran nama baik
terhadap IRWANDI YUSUF dengan tujuan agar orang lain mengetahui
tentang isi dari SMS tersebut sedangkan terdakwa tidak mempunyai hak dan
kewenangan untuk menyebarkan SMS tersebut kepada orang lain;”86
83 Ibid. 84 Ibid. 85 Konsideran menimbang pada unsur Dengann Sengaja dan tanpa hak, Putusan Nomor
23/Pid.B/2011/PN.JTH, h. 45 86 Ibid.
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian diatas dimana terdakwa telah
dengan sengaja menyebarkan SMS yang isinya bermuatan pencemaran nama
baik terhadap IRWANDI YUSUF dan terdakwa tidak berhak untuk
menyebarkan SMS tersebut maka dengan demikian unsur ini telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum;”87
Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik;
Terdapat tiga perbuatan yang diatur dalam unsur ini. Adapun tiga perbuatan tersebut
adalah perbuatan mendistribusikan, perbuatan mentransmisikan, maupun perbuatan membuat
dapat diaksesnya suatu informasi elektronik dan/atau dokemen elektronik.
Dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, tidak dijelaskan maksud
dari perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, maupun membuat dapat diaksesnya.
Sedangkan mengenai apa yang dimaksud dengan informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik. Menurut UU ITE, Pasal 1 Angka 4 dan Angka 1 berbunyi demikian:88
“Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan dan
atau didengar melalui komputer atau sistim elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna
atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
“Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk
tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
elektronik data interchange (EDI), suara elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses,
simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat
dipahami oleh orang lain yang mampu memahaminya.”
Mengingat dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak
mengatur lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan mentransmisikan,
mendistribusikan, maupun membuat dapat diaksesnya, maka pemahaman tentang hal tersebut
87 Ibid. 88 Pasal 1 angka 4 dan angka 1 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi elektronik, h. 1
dapat ditemukan dari pendapat para ahli yang memiliki keahlian dan berkonsentrasi pada hal
tersebut.
Menurut DR. Aloysius Wisnubroto, SH., M.Hum, bahwa “mendistribusikan adalah
perbuatan penyebaran secara luas informasi melalui media elektronik yang disalurkan untuk
menghina orang lain misalnya website dan lain-lain sebagainya; sedangkan mentransmisikan
adalah kegiatan mengirim, menyalurkan melalui media elektronik yang ditujukan untuk
menghina orang lain; adapun membuat dapat diakses adalah kegiatan untuk membuat agar
informasi dan/atau dokumen elektronik dapat diakses oleh orang lain;89
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh L. BUDI HANDOKO, M.Kom, yaitu :
Mendistribusikan informasi artinya menyebarkan informasi yang dimiliki baik kepada orang
perorangan, golongan atau kelompok ke banyak orang; Mentransmisikan informasi artinya
menyebarkan atau memberikan informasi dari satu orang ke orang lain; Diaksesnya informasi
elektronik dan atau dokumen elektronik artinya sama dengan yang distribusikan hanya
targetnya adalah keseluruhan orang atau banyak orang.90
Berdasarkan pendapat dari kedua ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
mendistribusikan sebagai sebuah perbuatan menyalurkan informasi dan/atau dokemen
elektronik, sedangkan mentransmisikan sebagai perbuatan mengirimkan informasi dan/atau
dokumen elektronik. Adapun membuat dapat diakses, bagi penulis sebagai perbuatan yang
menyebabkan seseorang dapat melihat informasi dan/atau dokumen elektronik.
Menurut penulis, walaupun perbuatan yang diatur dalam unsur ini bersifat alternatif
sehingga apabila satu perbuatan telah terpenuhi, perbuatan yang lainnya pun dianggap telah
terpenuhi, seperti yang terdapat dalam konsiderans Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM
89 Konsideran menimbang pada keterangan saksi ahli, Putusan Nomor
232/Pid.B/2010/PN.Kdl. h. 31 90 Konsideran menimbang pada unsur Mendistribusikan dan/atau Mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, h. 51
(Sungguminasa) “Menimbang, bahwa unsur ini bersifat alternative artinya jika salah satu
elemen dari unsur ini terbukti maka seluruh rangkaian elemen unsur dianggap telah
terpenuhi;”91 pada kenyataannya perbuatan-perbuatan tersebut harus dipertimbangkan satu
persatu. Pertimbangan tersebut terkait dengan sifat dari informasi dan/atau dokumen
elektronik, yaitu informasi dan/atau dokumen elektronik yang bersifat publik dan informasi
dan/atau dokumen elektronik yang bersifat privat.
Informasi dan/atau dokumen elektronik yang bersifat publik dapat ditemukan dalam
Dalam Putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl (Bantul) Putusan Nomor
1832/Pid.B/2102/PN.Jkt.Sel (Jakarta Selatan), dan Putusan Nomor 190/Pid.B/2014/PN.Mks
(Makassar) dan informasi dan/atau dokumen elektronik yang bersifat privat dapat ditemukan
dalam Putusan Nomor 232/Pid.B/2010/PN.Kdl (Kendal), Putusan Nomor
23/Pid.B/2011/PN.JTH (Jantho), dan Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM
(Sungguminasa). Dikatakan sebagai informasi dan/atau dokumen elektronik yang bersifat
publik karena hanya dengan memenuhi salah satu syarat yaitu menjadi pengguna, seseorang
sudah dapat mengakses informasi dan/atau dokumen elektronik tersebut. Sedangkan yang
dimaksud dengan informasi dan/atau dokumen elektronik yang bersifat privat adalah
informasi dan/atau dokumen elektronik yang membutuhkan syarat lain selain menjadi
pengguna.
Adapun contoh dari informasi dan/atau dokumen elektronik yang bersifat publik,
misalanya dalam putusan bantul yang menggunakan facebook. Hanya dengan menjadi
pengguna facebook, informasi dan/atau dokumen elektronik sudah dapat diakses. Begitu pula
dengan putusan jaksel yang menggunakan twitter. Hanya dengan menjadi pengguna twitter,
informasi dan/atau dokumen elektronik dapat diakses. Sama halnya pada putusan Makassar.
91 Dalam konsideran menimbang pada unsur Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
Muatan Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik, Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM, h. 65
Hanya sebagai pengguna televisi, informasi dan/atau dokumen elektronik dapat diakses.
Sedangkan contoh dari informasi dan/atau dokumen elektronik yang bersifat privat misalnya
putusan Kendal. Tidak semua pengguna handphone atau pengguna SMS dapat mengakses
informasi dan/atau dokumen elektronik yang telah ditransmisikan (dikirimkan), hanya
pengguna yang memiliki syarat lain yaitu Nomor tujuan SMS yang dapat mengakses
informasi dan/atau dokumen elektronik tersebut. Begitu pula dengan putusan Jantho yang
menggunakan SMS.
Keunikan dari sifat informasi dan/atau dokumen elektronik terdapat dalam putusan
Sungguminasa yang menggunakan grup line. Grup line yang diberi nama IKASALIS 99
(Ikatan Alumni Satu Lima Sembilan) ini memiliki 7 anggota, yang dibuat dengan tujuan
menjalin silahturhmi antar sesama alumni yang pernah bersekolah di SMA 159 Gowa.
Seperti yang dikemukakan oleh DR. I Dewa Putu Wijana (saksi ahli dalam Putusan Bantul),
yang mengatakan “Teks tidak bisa dipisahkan dengan konteks dan menurut ahli bisa saja teks
diartikan tanpa melihat konteksnya tapi nanti banyak salah, pasti banyak keliru”.92 Menurut
penulis, teks yang terdapat pada grup line IKASALIS pun tidak dapat dipisahkan dari
konteks. Sebelum terdakwa menuliskan teks yang dianggap memenuhi unsur pasal 27 ayat 3,
ada obrolan-obrolan lain yang dilakukan oleh unchu smile, fahmi, Nasrum dan terdakwa.
Berikut ini, fakta-fakta hukum yang dibuat oleh Majelis Hakim terkait obrolan sebelum
terdakwa menuliskan teks bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik:93
- Bahwa obrolan pada hari itu menjadi ramai karena ada anggota baru yang bergabung
yaitu Uchu Smile yang berada di sorong Papua kemudian Uchu Smile menyapa reka-
92 Konsideran menimbang pada keterangan saksi ahli, Putusan Nomor
196/Pid.Sus/2014/PN.Btl, h. 24 93 Konsideran minambang pada keterangan saksi, Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM,
h. 25-27
rekan di grup sehingga percakapan tentang membanding-bandingkan daerah pun
dimulai;
- Bahwa sebelum terdakwa menulis kata kata “saya setuju gowa tidak inovatif, money
oriented ,power legacy..aargh.. tena kabajikang..jai-jaimi investor nda jadi invest ka
nda dikasiki bagian bupatina, saing dia mami..kalo nda ada untungna buat dia nda jadi
proyekka” pada jam 14.08 maka ada pembicaraan awalnya mengenai keadaan daerah
masing-masing tempat anggota grup berdomisili;
- Bahwa pada jam 12:38 Uchu Smile menuliskan “ Kalau bantaeng dak usami dibilang,
mungkin lebih bagus jalanannya bantaeng daripada jalanan tol ka” ;
- Bahwa pada jam 12:41 fahmi menulis “inti na itu dari kepala daerah na
saja..antekamma paklek?”
- Bahwa pada jam 12:42 Wita Uchu smile menuliskan “ kalau freeport disini tidak
dianggap ji”;
- Bahwa jam 12:42 fahmi menuliskan “Nah itu baru Mantap”
- Bahwa jam 12:45 Ucu smile menulis di grup bahwa “bupati gowa banyak korupsina
dan kurang pergaulanna”;
- Bahwa pada jam 12:45 kemudian Fahmi yang menulis di bawahnya “auu betulkah itu
Paklek”
- Bahwa paklek adalah panggilan bagi terdakwa;
- Bahwa setelah jam 12:45 saksi menulis “ aii Ballassi Bosnya Paklek”
- Bahwa pada jam 12:49 uchu smile mengirimkan gambar kartun dan kemudian
dibawah gambar yang dikirim oleh Uchu smile adalah kata-kata yang ditulis terdakwa
pada pukul 14;08;
- Bahwa fahmi pernah menulis dalam grup agar percakapan yang terjadi di grup tidak
menyampaikan isi percakapan grup kepada orang lain;
- Bahwa fahmi menulis percakapan tersebut setelah terdakwa menulis kata kata “saya
setuju gowa tidak inovatif”
Fakta hukum tersebut diambil dari salah satu keterangan saksi yang bernama
Muhammad Nasrum. Nasrum adalah admin yang membuat grup line IKASALIS 99. Jika
melihat pada fakta hukum yang terjadi sebelumnya, maka teks yang dibuat terdakwalah
adalah respon dari teks-teks sebelumnya dimana ada ajakan dari fahmi yang mengatakan
“auu betulkah itu Paklek”. Bahkan, jika melihat pada teks sebelum fahmi meminta pendapat
terdakwa, terdapat sebuah teks yang yang dituliskan oleh uchu smile, dimana menurut penulis
memiliki unsur menuduhkan sesuatu perbuatan, yaitu “bupati gowa banyak korupsina dan
kurang pergaulanna”. Dalam percakapan yang terjadi, fahmi meminta agar percakapan
tersebut hanyalah diantara mereka yang berjumlah 7 anggota. Namun, informasi tersebut
ternyata menyebar dan bahkan terdengar oleh korban. Menurut penulis, penyebaran informasi
dan/atau dokumen elektronik tersebut haruslah dipertimbangkan secara khusus. Proses
mendistribusikan, mentransmisikan, maupun membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau
dokumen elektronik didalam grup line yang awalnya hanya dapat diakses oleh ketujuh
anggota, dimana tiap anggota seharusnya dilindungi oleh hak pribadi, berubah menjadi dapat
diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik tersebut oleh orang yang bukan anggota
(korban).
Adapun Pasal 26 Ayat (1) UU ITE mengatakan, Kecuali ditentukan lain oleh
Peraturan Perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik
yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang
bersangkutan.94 Data pribadi yang dimaksudkan oleh pasal ini menggandung arti sebagai hak
pribadi untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa tindakan memata-matai.
Berdasarkan pasal tersebut, maka menurut penulis percakapan yang terjadi dalam
grup line merupakan percakapan yang terjadi antar pribadi yang hak-hak pribadinya harus
dilindungi. Meskipun memang terdapat unsur-unsur yang didakwakan kepada terdakwa,
namun pertimbangan yang harus dilihat lagi adalah tulisan terdakwa sebagai respon dari
tulisan sebelumnya.
Seperti yang dikatakan oleh Fernandus Setu, SH., MH, “Bahwa yang meneruskan
berita tersebut juga termasuk pencemaran nama baik”,95 maka Pertimbanngan lain yang harus
dilihat lagi adalah penyebaran informasi yang hanya dapat diakses oleh tujuh anggota,
ternyata dapat diakses oleh korban (bukan anggota).
Memiliki muatan penghinaan, dan/atau pencemaran nama baik
Penghinaan atau dalam bahasa asing disebut dengan defamation, secara harafiah
diartikan sebagai sebuah tindakan yang merugikan nama baik dan kehormatan seseorang.
Penghinaan dapat diterjemahkan sebagai segala perbuatan yang merendahkan harga diri dan
martabat seseorang, baik yang dilakukan secara lisan maupun tertulis.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 50/PUUVI/2008, dikatakan bahwa
“penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik tidak bisa dilepas dari genusnya yaitu norma hukum pidana
yang termuat dalam Bab XVI tentang penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal
94 Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaklsi
Elektronik, h. 28 95 Konsideran menimbang pada keterangan saksi ahli, Putusan Nomor 23/Pid.B/2011/PN.JTH,
h. 22
311 KUHP. Sehingga Konstitusional Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal
310 dan Pasal 311 KUHP”96
Dalam keenam putusan yang menjadi objek penelitian ini, pertimbangan hakim terkait
unsur penghinaan dan/atau pencemaran dapat ditemukan dalam empat Putusan yaitu Putusan
Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl (Bantul), Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM
(Sungguminasa), Putusan Nomor 23/Pid.B/2011/PN.JTH (Jantho), dan Putusan Nomor
232/Pid.B/2010/PN.KDl (Kendal). Putusan yang tidak memiliki pertimmbangan terkait unsur
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik adalah Putusan Nomor
1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel (Jakarta Selatan) dan Putusan Nomor 390/Pid.B/2014/PN.Mks
(Makassar). Adapaun Putusan dengan unsur penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
dalam Putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl (Bantul), memuat konsideran sebagai berikut
:
“Menimbang, bahwa menurut pendapat ahli Dr. Muhammad Arif Setiawan,
SH.,MH penghinaan itu dengan cara menuduhkan sesuatu, suatu pernyataan
tentang keadaan suatu menurut pemahaman ahli, dan dalam kasus ini tidak
ada penuduhan sesuatu perbuatan yang dilakukan terdakwa bahwa ada latar
belakang yakni suatu bentuk keprihatinan terdakwa tentang suami yang
diberhentikan, disitulah terjadi proses komunikasi melalui media sosial,
niatnya bukan untuk menyerang kehormatan, tetapi ketidak-puasan yang
dialami suaminya;”97
“Menimbang, bahwa menurut pendapat Dr. Muhammad Arif Setiawan, SH.,
MH pencemaran nama baik adalah perbuatan yang menyerang orang lain
dengan menyertakan suatu perbuatan tertentu jika faktanya memang benar
maka itu tergantung nilai subyektifitas orang lain pelaku punya subyektifitas
sendiri yang kadang-kadang tidak ketemu antara orang yang dituju dengan
pelaku karena pelaku kadang tidak bermaksud menyerang kehormatan orang
lain terhadap status yang ditulis oleh terdakwa kalau dilihat dari Pasal 310
KUHP, kalau dibaca dari kamus besar bahasa Indonesia, tidak terbaca
96 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, Putusan Nomor
196/Pid.Sus/2014/PN.Btl, h. 58 97 Ibid.
sedikitpun si pembuat kalimat (status Facebook) telah menuduhkan sesuatu
tapi yang terlihat mengutarakan keadaan sesuatu;”98
Selain Putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Brl (Bantul), Putusan Nomor
23/Pid.B/2011/PN.JTH (Jantho) pun memiliki pertimbangan mengenai unsur penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik. Hal tersebut dapat dilihat pada konsiderans Hakim yang
menyatakan :
“Menimbang bahwa terdakwa juga mengirim SMS dengan menggunakan
kartu XL nomor 081973911256, yang isinya Rafly Haris pengusaha di Jakarta
Abdya itu ternyata seorang bajingan juga. Tuduhan yang disebarkan bahwa
Gubernur Irwandi meniduri istrinya yang canti, putih, mulus itu hanyalah
sebuah jebakan untuk meras Irwandi. Kini Rafly telah mendapatkan uang
sebesar Rp 2 Milyar;”99
“Menimbang bahwa terhadap isi SMS tersebut saksi korban Irwandy Yusuf
menyatakan bahwa isi SMS tersebut tidak benar dan isi SMS tersebut
membuat saksi korban merasa malu dan keluarga saksi juga malu karenanya
juga saksi merasa terganggu dan terancam sehingga saksi melaporkan
peristiwa tersebut ke Polisi”100
“Menimbang bahwa dengan perbuatan terdakwa mengirim SMS yang isinya
sebagaimana tersebut diatas dimana Irwandi Yusuf sebagai korban merasa
terhina dan tercemar nama baiknya maka dengan demikian unsur ini telah
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum”101
Dalam Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM (Sungguminasa), pertimbangan
hakim mengenai unsur pennghinaan dan/atau pencemaran nama baik dapat dilihat dalam
konsideran putusan sebagai berikut :
“Menimbang, bahwa unsur selanjutnya ad 3 adalah mengandung muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;”102
“Menimbang, bahwa menurut Drs. H. Adami Chazawi, SH, dalam bukunya
Hukum pidana Positif penghinaan, disebutkan dalam frasa yang memiliki
muatan penghinaan dalam rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, mengandung
98 Ibid. 99 Dalam konsideran menimbang pada unsur Yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik, Putusan Nomor 23/Pid.B/211/PN.JTH, h. 49 100 Ibid. 101 Ibid. 102 Dalam konsideran menimbang pada unsur Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM, h. 70
makna yuridis adalah semua bentuk-bentuk penghinaan dalam Bab XVI
KUHP mulai Pencemaran, Fitnah, Penghinaan Ringan, Pengaduan Fitnah,
Menimbulkan perangsangkaan palsu sampai penghinaan pada orang mati,
sedangkan dalam fraa pencemaran Nama baik maksudnya adalah
Pencemaran (bentuk standar) dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP;”103
:Menimbang, bahwa penghinaan dapat diterjemahkan sebagai segala
perbuatan yang merendahlkan harga diri dan martabat seseorang, baik yang
dilakukan secara lisan maupun tertulis. Bahwa penghinaan atau dalam
bahasa asing disebut dengan defamation, sacara harafiah diartikan sebagai
sebuah tindakan yang merugikan nama baik dan kehormatan seseorang;”104
Menurut R Soesilo (Pendapat Ahli) bahwa “Yang dimaksud dengan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang
sedangkan yang dimaksud menyerang nama baik adalah merusak penilaian yang baik dari
masyarakat kepada seseorang;”105
R. Soesilo, (1996) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Menghina” adalah
“menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang biasanya merasa “malu”.
“kehormatan” yang diserang disini hanya mengenai kehormatan tentang nama baik, bukan
kehormatan dalam lapangan seksuil “. Menurutnya, penghinaan dalam KUHP ada 6 (enam)
macam yaitu :106
1. Menista secara lisan (smaad);
2. Menista dengan surat/tertulis (smaadschhrift);
3. Memfitnah (laster);
4. Penghinaan ringan (eenvoudige belediging);
5. Mengaduh secara memfitnah (laster aanklacht);
6. Tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking);
103 Ibid. 104 Ibid., h. 71 105 Dalam konsideran pada unsur Memiliki muatan penghinaan dan/atau nama baik, Putusan
Nomor 232/Pid.B/2010/PN.Kdl, h. 55 106 Ibid.
Oleh karena kehormatan adalah suatu yang disandarkan atas harga diri atau martabat
manusia,107 maka unsur penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merupakan unsur yang
berhubungan erat dengan batin seseorang yang merasa telah dihina. Penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik dalam pasal 27 Ayat (3) haruslah berpegang pada genusnya dalam
Pasal 310 dimana mensyaratkan adanya aduan atau dikenal dengan delik aduan absolute,
yaitu hanyalah orang yang benar-benar telah dilanggar haknya yang berhak mengadu. Hal ini
penting untuk dibuktikan apakah yang mengadu benar-benar orang yang telah dilanggar
kepentingannya.
Sama dengan genusnya yang terdapat dalam Pasal 310 KUHP, Pasal 27 Ayat (3) pun
merupakan delik formil, menitikberatkan pada perbuatan, dimana apabila unsur-unsur
perbuatan yang didakwakan telah terpenuhi, dianggap oleh Majelis Hakim telah selesai.
Terlepas dari itu, perkembangan teknologi yang berakibat pada semakin kompleksnya
permasalahan hukum terkait pasal 27 ayat 3, menuntut setiap Majelis Hakim yang mengadili
perkara sebisa mungkin mampu memposisikan diri pada kasus yang diadili. Memposisikan
diri pada kasus yang diadili mengandung arti, dalam pemenuhan unsur, Majelis Hakim sebisa
mungkin tidak selalu berdasar pada unsur objektif (perbuatan), tapi juga mempertimbangkan
unsur subjektif (kesalahan). Seperti yang terdapat dalam konsiderans dalam Putusan Nomor
390/Pid.B/2014/PN.Mks (Makassar) :
“Menimbang, bahwa sengaja dalam ilmu pengetahuan hukum pidana
tersusun atas anasir menghendaki atau mengetahui, bahwa seseorang yang
berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat dan harus
diketahui atas apa yang diperbuat, selain itu ada beberapa sarjana yang
membagi kesengajaan berdasarkan pada perbuatan disebut opzet materiil dan
107 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan tertulis di Indonesia, Penerbit PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta: 2012, h. 20
pada akibat daripada perbuatan atau hal ikhwal yang menyertai perbuatan
disebut opzet materiil, bahwa Majelis Hakim mengikuti pandangan kedua oleh
karena dengan pembagian demikian menjadikan penafsiran sengaja menjadi
lebih objektif bukan dalam pemikiran abstrak karena dengan membagi
sengaja dalam pandangan kedua akan memudahkan penafsiran fakta pada
rumusan sengaja yang diempiriskan (diobjektifkan) disini dilihat dulu apakah
sengaja tertuju pada perbuatan atau akibat jika pada perbuatan tidak perlu
diperdalam sampai pada bentuk sengaja sebagai maksud, keharusan pasti
atau kemungkinan yang mutlak diteliti jika sengaja tertuju pada akibat dan
hal ikhwal yang menyertai pebuatan di samping perbuatan itu sendiri dengan
demikian tidak perlu susah-susah membagi sengaja dalam dua anasir
menghendaki dan mengetahui karena jika ia mengetahui dan ternyata
melakukan pasti juga ia menghendaki, namun apakah tertuju pada perbuatan
atau akibat/hal ikhwal yang menyertai perbuatan tentunya dinilai dengan
teori kehendak atau teori pengetahuan tergantung teori mana yang
dipergunakan;108
Cara Majelis Hakim memposisikan diri seperti yang terdapat dalam konsiderans
diatas, semoga saja bisa dijadikan contoh. Sebab, dalam kasus-kasus tertentu, majelis hakim
dituntut sedapat mungkin mampu mempertimbangkan unsur perbuatan dan unsur kesalahan.
Penulis akan menggunakan dua bentuk teori guna menjelaskan unsur perbuatan dan unsur
kesalahan. Menurut E. Utrecht (Frans Maramis), yang mengemukakan bahwa untuk adanya
suatu peristiwa pidana harus ada dua anasir (bestanddelen) yang sebelumnya dipenuhi;109
108 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja dan tanpa hak, Putusan Nomor
390/Pid.B/2014/PN.Mks, h. 35 109 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan tertulis di Indonesia, Penerbit PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta: 2012, h. 60
a. Suatu kelakuan yang melawan hukum – anasir melawan hukum;
b. Seorang pembuat yang dapat dianggap bertanggung jawab atas kelakuannya –
anasir kesalahan (Belanda: schuld in ruime) suatu kelakuan yang dapat di
hukum (strafbaar).
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan antara perbuatan dan kesalahan
adalah satu. Orang yang melakukan perbuatan, adalah orang yang telah melawan hukum,
sehingga terhadap kesalahannya itu dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. Adanya
penyatuan perbuatan dan kesalahan sebagai pertanggungjawaban pidana. hal yang sama
dikemukakan oleh D. Simons, yaitu: strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam
dengan pidana, yang bersikap melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan
yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.110
Penyatuan perbuatan dan pertanggungjawaban pidana seperti yang dikemukakan
diatas dapat ditemukan dalam Putusan Nomor 23/Pid.B/2011/PN.JTH (Jantho). Dalam
putusan tersebut, unsur perbuatan terdakwa yaitu diduga telah dengan sengaja dan tanpa hak
mentransmisikan dan/atau mendistribusikan dokumen dan/atau informasi elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik menyatu dengan unsur
kesalahan (melawan hukum). Tidak ada kausalitas terkait penyebaran tersebut. Informasi
dan/atau dokumen elektronik merupakan teks tunggal yang dikirimkan oleh terdakwa kepada
penerima pesan tanpa ada teks-teks sebelumnya sebagai percakapan diantara mereka. Dalam
hal ini, Majelis Hakim dapat mengesampingkan unsur subjektif terdakwa sebagai situasi yang
melatarbelakangi terdakwa melakukan perbuatan penghinaan. Oleh karena ketiadaan
komunikasi antara terdakwa dengan para penerima SMS, unsur kesalahan secara langsung
melekat pada terdakwa dan dapat dikenakan pertanggung jawaban.
110 Ibid.
Apa yang terjadi pada kasus dalam Putusan Nomor 23/Pid.B/2011/PN.JTH (Jantho),
sangat berbeda dengan kasus yang terjadi pada Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM
(Sungguminasa). Informasi dan/atau dokumen elektronik yang ditulis terdakwa memiliki
hubungan yang tidak bisa dilepaskan dari teks-teks sebelumnya, bahkan tidak bisa dilepaskan
dari konteks percakapan. Komunikasi yang terjadi diantara para anggota merupakan respon
dari tiap anggota untuk menilai, memberi pendapat (secara subjektif) terkait topik yang
sedang diperbincangkan. Meskipun unsur perbuatan telah terpenuhi, majelis hakim sebisa
mungkin mempertimbangkan apakah unsur kesalahan sebagai pertanggungjawaban pidana
dapat dikenakan kepada terdakwa mengingat percakapan tersebut bersifat privat, tidak dapat
diakses oleh orang lain bahkan korban (tidak bertujuan untuk diketahui umum). Majelis
Hakim yang mengadili perkara ini, dituntut sebisa mungkin mempertimbangkan unsur
perbuatan dan unsur kesalahan.
Moeljatno, mengatakan : “Perbuatan pidana hanya merujuk kepada sifatnya perbuatan
saja, yaitu sifat yang dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar. Apakah yang
melanggar itu benar-benar dipidana seperti yang sudah diancamkan, ini tergantung kepada
keadaan batinnya dan hubungan batinnya dengan perbuatannya itu, yaitu dengan
kesalahannya. Jadi, perbuatan pidana dipisahkan dengan pertanggungjawaban pidana,
dipisahkan dengan kesalahan. Lain halnya dengan strafbaar feit. Di situ dicakup pengertian
perbuatan pidana dan kesalahan.111
Berdasarkan pernyataan tersebut, tampak bahwa adanya pemisahan antara perbuatan
pidana dengan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan. Apa yang dimaksud dengan
perbuatan pidana hanyalah terdiri dari unsur perbuatan saja, yang merupakan unsur yang
bersifat objektif. Unsur kesalahan, yang merupakan unsur yang bersifat subjektif, dikeluarkan
111 Ibid., h. 61
dari pengertian perbuatan pidana tersebut. Sikap batin seorang merupakan bagian dari
pertanggungjawaban pidana yang terpisah dari pengertian perbuatan pidana.
Apa yang dikatakan Moeljatno, menurut penulis berhubungan erat dengan Asas “t iada
pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld). Asas Ini merupakan salah satu asas yang
dianut dalam hukum pidana Indonesia. Asas ini menunjukkan bahwa seseorang hanya dapat
dihukum atas perbuatannya apabila pada dirinya terdapat kesalahan. Dengan kata lain, untuk
dapat dihukumnya seseorang, maka selain ia harus telah melakukan suatu perbuatan yang
diancam pidana, juga padanya terdapat sikap batin yang salah. Hal yang berkenaan dengan
sikap batin yang salah ini, dinamakan juga pertanggungjawaban pidana.112
Pada negara-negara yang menganut sistem hukum common law, seperti Amerika
Serikat dan Inggris, asas ini dikenal dengan “actus non facit reum, nisi mens sit rea”, yang
biasanya disebut dalam bahasa Inggris an act does not make person guility unless the this
mind is guility, yang dapat diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai: perbuatan saja tidak
membuat seseorang bersalah, kecuali jika batinnya juga bersalah.113
Kesalahan (schuld) oleh D. Simons didefenisikan sebagai “keadaan psikis pelaku dan
hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, sehingga berdasarkan
keadaan psikis tersebut pelaku dapat dicela perbuatannya.”114
Pengertian yang disampaikan oleh D. Simons, dapat dibagi ke dalam beberapa unsur,
diantaranya, yaitu (1) adanya keadaan psikis tertentu dari pelaku, (2) adanya hubungan yang
sedemikian rupa antara keadaan psikis tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, dan (3)
berdasarkan keadaan psikis tersebut pelaku dapat dicela atas perbuatannya.115
112 Ibid., 113 113 Ibid. 114 Ibid. 115 Ibid.
Istilah kesalahan sering digunakan dalam arti psikologis, namun juga sering
digunankan dalam arti normatif. Kesalahan psikologis adalah kesalahan dari sudut keadaan
psikologis yang sesungguhnya dari seseorang. Bagaimana keadaan psikologis sesungguhnya
dari seseorang atau apa yang sesungguhnya yang dipikirkannya, amat sukar untuk diketahui.
Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam peribahasa umum: dalamnya lautan bisa diselami,
dalamnya hati siapa yang tahu. Karenanya untuk penerapan hukum pidana, pada umumnya,
yang akan digunakan bukanlah kesalahan dalam arti psikologis, melainkan kesalahan dalam
arti normatif.116
Kesalahan normatif adalah kesalahan dari sudut pandang orang lain terhadap pelaku.
Kesalahan normative merupakan kesalahan dari sudut norma-norma hukum pidana, yaitu
kesalahan dalam arti kesengajaan.117
Frans Maramis (2012), mengatakan, “Pada umumnya dikemukakan bahwa kesalahan
(schuld) terdiri atas tiga unsur yaitu:118
1. Kemampuan bertanggung jawab dari pelaku
2. Sikap batin tertentu dari pelaku sehubngan dengan perbuatannya berupa
adanya kesengajaan atau kealpaan dan
3. Tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan atau menghapuskan
pertanggungjawaban pidana pada diri pelaku.
Terkait dengan kasus yang terdapat dalam Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM
(Sungguminasa), kemampuan bertanggung jawab terdakwa mengenai sehat jasmani maupun
rohani dan tidak terdapat kekeliruan orang telah terpenuhi. Bahkan, sanksi administrasi
berupa penurunan pangkat telah dipertanggungjawabkan terdakwa. Asas ultimum remedium
116 Ibid. 117 Ibid., h. 115 118 Ibid., h.116
yang diberlakukan dalam hukum pidana, seakan akan berubah menjadi asas primum
remedium. Sedangkan sikap batin terdakwa yang berhubungan dengan perbuatan belum
dipertimbangkan dengan bijaksana oleh Majelis Hakim.
Adapun, tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan atau menghapuskan
pertanggungjawaban pidana pada diri pelaku, menurut penulis berhubungan dengan sifat
melawan hukum. Sahetapy, (1995) mengatakan,119 “Ketentuan bahwa yang terbukti
memenuhi semua rumusan tertulis untuk dapat dipidana, ternyata sifat melawan hukum
formal. Dari sini timbul dugaan bahwa syarat sifat melawan hukum umum juga telah
dipenuhi (itu berarti bahwa sifat melawan hukum sebagai syarat tak tertulis untuk dapat
dipidana juga dipenuhhi), tetapi itu tidak diperlu demikian. Dapat saja terjadi perkecualian, di
mana terbukti sesuai dengan suatu norma yang memperolehkan. Jadi kalau terdapat alasan
pembenar, yang berarti bahwa yang telah terbukti tidak dapat dipidana, karena tidak adanya
sifat melawan hukum umum. Apakah rumusan delik lebih dipenuhi, jadi apakah ada sifat
melawan hukum formal, tidak begitu saja dapat disimpulkan dari bunyi rumusan delik. Ini
harus ditafsirkan, sebab untuk dapat menjawab pertanyaan apakah suatu bagian tertentu telah
dipenuhi, lebih dahulu diperlukan arti yang tepat dari bagian tersebut. Misalnya, apakah suatu
operasi medis yang menimbulkan sakit pada pasien termasuk “penganiayaan”? apakah
makian orang yang telah memukul jarinya sendiri dengan martil termasuk “mengumpat
Tuhan”? apakah suatu karya seni yang erotis “menganggu kesusilaan”? Apakah Hakim harus
menggunakan teleologis untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Ini berarti bahwa hakim
menafsirkan bagian-bagian dari rumusan delik dengan mengingat norma sosial yang berdiri
di belakang norma hukum. Atau dengan perkataan lain, dengan mengingat kepentingan
hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk UU dengan rumusan delik itu.
119 Sahetapi J.E, Hukum Pidana, 1995, h. 40
Dari pernyataan di atas, menurut penulis, ada atau tidaknya alasan yang
menghapuskan kesalahan atau menghapuskan pertanggungjawaban pidana pada diri pelaku,
harus dilihat dari ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa.
Dengan kata lain, jika terbukti terdakwa melakukan perbuatan melawan hukum, maka
kesalahan telah terpenuhi dan pertanggungjawaban pidana melekat pada diri terdakwa,
sebaliknya, jika perbuatan melawan hukum tidak terbukti, maka unsur kesalahan tidak
terpenuhi dan pertanggungjawaban pidana pun menjadi hapus. Perbuatan melawan hukum
yang terdapat dalam putusan SGM sebisa mungkin ditafsirkan lebih oleh majelis hakim.
Sebab, apakah percakapan yang terjadi dalam Grup line yang dilakukan terdakwa sebagai
respon menyatakan pendapat termasuk melanggar kepentingan korban? Mengingat korban
bukankah anggota grup line dan tidak diakses oleh public (umum). Menurut penulis,
perbuatan yang dilakukan terdakwa dapat dikatakan sebagai perbuatan yang tidak melawan
hukum. Kesalahan terdakwa menjadi hapus karena perbuatan tersebut dibarengi dengan
percakapan menyatakan pendapat yang seharusnya dijamin kerahasiaannya oleh sesama
anggota sebagaimana diatur dalam pasal 26 UU ITE tentang data pribadi, didalamnya juga
termasuk hak pribadi untuk tidak dimata-matai. Majelis Hakim sebisa mungkin
mempertimbangkan kepentingan dari tiap anggota grup line, apakah percakapan tersebut
berakibat pada dirugikannya salah satu kepentingan anggota, ataukah sebaliknya, percakapan
tersebut menguntungkan salah satu kepentingan anggota. Hal ini bertujuan agar tidak ada
kesan bahwa menggunakan peluang sebagai kepentingan yang dapat diuntungkan.
Disamping itu pula, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik merupakan delik aduan absolute, maka sepatutnya Majelis
Hakim dapat mempertimbangkan para pelaku yang terkait kasus diadili. Hal ini bertujuan
agar tidak terdapat kesan sama seperti delik aduan relatif. Hal mana diungkapkan oleh “Irsan
Gusfrianto dan Co Lawyers”, perbedaan antara delik aduan relative dan delik aduan absolute
adalah Delik aduan relative ini penuntutan dapat dipisah-pisahkan, artinya bila ada beberapa
orang melakukan kejahatan, tetapi penuntutan terhadap orang yang diingini, oleh yang berhak
mengajukan pengaduan. Sedangkan pada delik aduan absolute, bila yang satu dituntut, maka
semua pelaku dari kejahatan itu harus dituntut juga.120
C. Perbandingan Putusan
Dolus Eventualis (Putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl, Putusan
232/Pid.B/2010/PN.Kdl, Putusan Nomor 1831/Pid.B/2012/PN.Jak.Sel, Putusan Nomor
390/Pid.B/2014/PN.Mks, Putusan Nomor 323/Pid.B/2014/SGM, Putusan Nomor
23/Pid.B/2011/PN.JTH)
Ada beberapa persamaan antara putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl dengan
putusan Nomor 232/Pid.B/2012/PN.Kdl, persamaan tersebut terletak pada bagaimana Majelis
Hakim mempertimbangkan unsur kesengajaan. Hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
Dalam Putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl (Bantul), Majelis Hakim
menyatakan :
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut Majelis
berpendapat perbuatan terdakwa termasuk “kesengajaan secara keinsyafan
kemungkinan” (opzet bij mogelijkkheid-bewustzijn), yaitu terdakwa
memposting status di facebook dengan mengunakan keluh kesahnya dan
kritiknya kemungkinan akan menyinggung orang lain dan ternyata status
tersebut telah menyinggung saksi Diah Sarastuty alias Ayas namun Majelis
berpendapat perbuatan terdakwa memposting status di facebook bukan
bermuatan penghinaan, pencemaran nama baik ataupun fitnah;”121
Sedangkan dalam Putusan Nomor 232/Pid.B/2012/PN.Kdl (Kendal), Majelis Hakim
menyatakan :
120 www.irsangusfrianto.com/p/pengertian-delik-aduan-dan-delik-biasa.html dikunjungi pada
tanggal 17 Agustus 2017 pukul 01.47 121 Dalam Konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik,
Putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl, h. 59
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan
berdasarkan keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa,
keterangan saksi meringankan terdakwa, keterangan ahli meringankan
terdakwa serta barang bukti yang diajukan dalam perkara ini terdapat
persesuaian sehingga diperoleh fakta bahwa terdakwa mengirimkan pesan
singkat yang berbunyi “jangan ngaco dan ganggu orang bangsat lonte sekali
lonte ya tetap lonte lah, betapa rendah martabatmu ha..kacian deh dan lagi-
lagi diganggu bangsat lonte, dengan sikapmu yang seperti itu pasti kamu akan
SELALU DIRENDAHKAN ORANG jadinya kamu tidak akan laku gitu nasehat
saya te.. lonte” kepada nomor hand phone 081901359696 milik saksi NUR
DEWI ALFIYANA, SH Mkn Binti ADADI adalah merupakan perbuatan yang
disengaja karena sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk menghentikan
terror telepon dan SMS dari NUR DEWI ALFIYANA kepada terdakwa, dan
ternyata sejak itu pula NUR DEWI ALFIYANA tidak pernah mengganggu
kehidupan pribadi terdakwa maupun keluarga terdakwa”. Dengan demikian
maka kesengajaan yang dilakukan oleh terdakwa dapat dimasukkan kedalam
kesengajaan dengan corak kesengajaan sebagai maksud atau setidak-tidaknya
kesengajaan sebagai kemungkinan (Dolus eventualis)122
Sebagaimana dijelaskan di atas, pada kedua putusan ini Majelis Hakim
mempertimbangkan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa sebagai perbuatan yang
dikategorikan ke dalam “dolus eventualis”, yaitu : “seseorang yang melakukan suatu
perbuatan dengan maksud menimbulkan suatu akibat tertentu, tetapi orang tersebut sadar
bahwa apabila ia melakukan perbuatan tersebut mungkin perbuatan itu akan menimbulkan
akibat lain yang juga dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan dan
terhadap akibat lain tersebut bukan merupakan tujuan yang dikehendaki akan tetapi hanya
didasari kemungkinan terjadinya;”
Selain persamaan dalam mempertimbangkan unsur kesengajaan, kedua putusan diatas
juga memiliki perbedaan seperti yang dinyatakan sebagai berikut:
Dalam Putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl (Bantul), Majelis Hakim
menyatakan:
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas, maka Majelis berpendapat
unsur dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
122 Dalam Konsideran Menimbang pada unsur Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, Putusan Nomor 232/Pid.B/2010/PN.Kdl, h. 48
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik tidak terpenuhi;”123
Sedangkan dalam Putusan 232/Pid.B/2012/PN.Kdl (Kendal), Majelis Hakim
menyatakan:
“Menimbang, bahwa dengan demikian maka unsur ad. 2 ini telah
terpenuhi;”124
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam Putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl
(Bantul), Majelis Hakim hanya membagi Pasal 27 Ayat (3) kedalam 2 unsur. Menurut
Majelis Hakim, Unsur kesengajaan merupakan keseluruhan dari suatu rangkaian perbuatan
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik. Hal tersebut penulis dapati pada konsiderans mengenai fakta-fakta
hukum yang telah diuraikan oleh Majelis Hakim tentang unsur kedua. Sedangkan pada
putusan 232/Pid.B/2012/PN.Kdl (Kendal), fakta-fakta hukum mengenai unsur kesengajaan
dibahas secara terpisah dari unsur mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen elektronik dan unsur
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Perbedaan antara kedua putusan ini juga dapat ditemukan pada bagaimana Majelis
Hakim mempertimbangkan “Dolus eventualis” menjadi sebuah alasan. Pada Putusan Nomor
196/Pid.Sus/2014/PN.Btl (Bantul), Majelis hakim mempertimbangkan perbuatan yang
dilakukan sebagai “keluh kesah dan kritik dari terdakwa yang mungkin saja akan
menyinggung orang lain (korban)” sebagai alasan penghapus pidana atau dalam penelitian
123 Dalam Konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik,
Putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl, h. 59 124 Dalam konsideran menimbang pada unsur Dengan sengaja dan tanpa hak, Putusan Nomor
232/Pid.B/2010/PN.Kdl, h. 50
yang dilakukan oleh ICJR, alasan penghapus pidana ini disebut dengan “pernyataan yang
disebabkan oleh emosi karena suatu keadaan”. Berbeda dengan hal tersebut, dalam Putusan
Nomor 232/Pid.B/2012/PN.Kdl (Kendal), Majelis Hakim tidak mempertimbangkann “Dolus
eventualis” menjadi sebuah alasan. Penulis menyadari bahwa kedua putusan ini memiliki
perbedaan tentang pemenuhan unsur penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Namun,
menurut hemat penulis, untuk menyeimbangkan rasa keadilan diantara korban dan terdakwa,
majelis Hakim dapat mempertimbangkan perbuatan yang dilakukan sebagai “usaha untuk
menghentikan terror dan SMS dari korban kepada terdakwa” sebagai alasan yang
meringankan terdakwa mengingat dalam putusan tersebut, alasan yang meringankan
terdakwa hanyalah “terdakwa belum pernah dihukum”.
Selain kedua putusan diatas, kesengajaan sebagai kemungkinan (Dolus eventualis)
dapat pula ditemukan pada Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM (Sungguminasa). Hal
tersebut tertuang dalam konsideran sebagai berikut :
“Menimbang, bahwa dengan demikian maka perbuatan terdakwa menuliskan
percakapan pada jam 14:08 wita dan 14:10 wita di Grup Line Ikasalis 99
yang diikuti dengan perbuatan terdakwa lainnya yaitu menghapus percakapan
dan meminta anggota lain menghapus percakpan tersebut menunjukkan
bahwa apa yang dilakukan oleh terdakwa tersebut adalah perbuatan yang di
kehendaki atau di insyafi oleh terdakwa, tidak hanya berarti apa yang betul-
betul dikehendaki dan atau diinsyafi oleh terdakwa, tetapi juga hal-hal yang
mengarah atau berdekatan dengan kehendak atau keinsyafan itu sendiri,
sebagaimana yang diterangkan dalam doktrin diatas.”125
Adapun terhadap gradasi dari kesengajaan perbuatan terdakwa, maka Majelis
Hakim berpendapat perbuatan tersebut termasuk dalam Dolus Evantualis
(kesengajaan menimbulkan akibat yang tidak pasti namun merupakan kemungkinan),
dimana kemungkinan besar dari akibat perbuatan terdakwa adalah kata-kata yang
terdakwa tuliskan dapat mengakibatkan orang lain dalam hal ini Bupati Gowa
125 Konsideran menimbang pada unsur dengan sengaja dan tanpa hak, Putusan
Nomor324/Pid.B/2014/PN.SGM, h. 60
tersinggung dan percakapan yang terdakwa tuliskan dapat tersebar keluar dari grup,
dimana menjadi fakta yang tidak terbantahkan dalam persidangan ini bahwa benar
percakapan tersebut telah menyebar dan mengakibatkan Bupati Gowa tersinggung
sehingga mendudukkan terdakwa di kursi pesakitan;”
Menurut penulis, perbuatan terdakwa dikategorikan oleh Majelis Hakim sebagai dolus
eventualis adalah tepat. Meskipun tidak memiliki tujuan untuk menghina atau mencemarkan
nama baik, namun perbuatan yang dilakukan terdakwa kemungkinan besar dapat
mengakibatkan seseorang, dalam hal ini Bupati Gowa merasa dihina ataupun dicemarkan
nama baiknya. Berbeda dengan Putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl (Bantul) dimana
Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut menggunakan penafsiran kesengajaan
sebagai perbuatan, menurut penulis, pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor
324/Pid.B/2014/PN.SGM (Sungguminasa) didasarkan pada penafsiran kesengajaan sebagai
akibat. Hal ini tentu saja mengandung konsekuensi bahwa Majelis Hakim terkesan
mengabaikan atau tidak mempertimbangkan sebab musabab dari percakapan yang dilakukan
terdakwa bersama anggota grup yang lain. Bahkan, Majelis Hakim terkesan tidak
mempertimbangan hak pribadi terdakwa yang lahir dari Pasal 26 UU ITE. Selain itu, dalam
sanksi pidana yang dijatuhkan majelis hakim terkesan tidak mempertimbangkan sanksi yang
telah dahulu diterima terdakwa berupa sanksi administrasi. Menurut penulis, terlepas dari
perbuatan yang dilakukan terdakwa, sanksi pidana tidak harus selalu menjadi primum
remedium, melainkan sebisa mungkin sifat sanksi pidana menjadi ultimum remedium, selama
dapat menimbulkan efek jera kepada terdakwa. Oleh sebab itulah menurut penulis, majelis
hakim dituntut agar dapat mempertimbangkan persoalan-persoalan lain diluar akibat dari
perbuatan yang dilakukan terdakwa sebagai alasan meringankan pidana ataupun alasan
penghapus pidana. Alasan yang mungkin saja dapat dipakai sebagai alasan yang meringankan
pidana adalah perbuatan terdakwa tersebut merupakan percakapan yang hanya dianggap
sebagai percakapan membanding-bandingkan daerah yang diikuti dengan percakapan
bercanda, sebab apa yang ditulis terdakwa tersebut sebagai respon terdakwa terhadap
permintaan pendapat dari seorang anggota. Sedangkan alasan yang dapat dipakai sebagai
alasan penghapus pidana adalah jaminan yang diberikan oleh Pasal 26 terhadap hak pribadi
dalam hal ini, hak untuk tidak dimata-matai. Selain alasan-alasan sebelumnya, alasan lain
yang dapat dipakai untuk meringankan pidana ataupun menghapus pidana adalah sanksi
administrasi yang telah diterima terdakwa.
Pada putusan Nomor 1832/Pid.B/2012/PN.Jak.Sel (Jakarta Selatan) dan Putusan
Nomor 390/Pid.B/2014/PN.Mks (Makassar), tidak ditemukan pertimbangan hakim terkait
“Dolus eventualis”. Hal ini disebabkan oleh bukti-bukti yang dihadapkan oleh Jaksa Penuntut
Umum kehadapan Majelis Hakim dianggap tidak valid. Seperti yang terdapat dalam
konsiderans sebagai berikut :
“Menimbang, bahwa dari uraian saksi-saksi sebagaimana diuraikan di atas,
tidak ada saksi-saksi yang mengetahui dan melihat pemilik akun twitter
tersebut dan tidak tahu yang merilisnya;”126
“Menimbang, bahwa keterangan saksi-saksi yang menyatakan bahwa dalam
twitter tersebut adalah milik Terdakwa oleh karena tertulis @fajriska yaitu
nama Terdakwa akan tetapi tidak ada satu orang saksi pun yang mengetahui
bahwa akun twitter @fajriska adalah milik Terdakwa;”127
“Menimbang, bahwa menurut Majelis nama pada suatu akun twitter bisa saja
dibuat oleh orang lain dengan membuat nama orang tertentu maka dalam hal
ini Majelis sependapat dengan tim Penasihat HukumTerdakwa dalam
Pledoinya yang menyatakan bahwa tidak terbukti akun twitter @fajriska
adalah milik terdakwa sehingga tidak terbukti pula bahwa terdakwa telah
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
dapat dibuat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik.”128
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas majelis
berpendapat bahwa tidak terbukti bahwa akun twitter @fajriska adalah akun
126 Konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronok, Putusan Nomor 1832/Pid.B/2012/PN.Jak.Sel, h.141 127 Ibid. 128 Ibid.
milik terdakwa sehingga unsure kedua dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ataudapat dibuat diaksesnya
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tidak terbukti pada
Terdakwa;”129
“Menimbang, bahwa oleh karena salah satu unsur dari dakwaan kesatu
primair tidak terbukti pada terdakwa maka terdakwa haruslah dibebaskan
dari dakwaan kesatu primair tersebut;”130
Dengan ketiadaan bukti yang dapat dipakai untuk membuktikan terdakwalah yang
telah melakukan perbuatan seperti Pasal yang telah didakwakan, maka Majelis Hakim yang
mengadili perkara tersebut menganggap perkara yang diadili tidak terbukti sehingga tidak
perlu lagi mempertimbangkan unsur-unsur lain yang terdapat dalam Pasal 27 Ayat (3)
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sedangkan konsideran Putusan Nomor
390/Pid.B/2014/PN.Mks (Makassar) menyatakan :
“Menimbang, bahwa sengaja dalam ilmu pengetahuan hukum pidana
tersusun atas anasir menghendaki atau mengetahui, bahwa seseorang yang
berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat dan harus
diketahui atas apa yang diperbuat, selain itu ada beberapa sarjana yang
membagi kesengajaan berdasarkan pada perbuatan disebut opzet materiil dan
pada akibat daripada perbuatan atau hal ikhwal yang menyertai perbuatan
disebut opzet materiil, bahwa Majelis Hakim mengikuti pandangan kedua oleh
karena dengan pembagian demikian menjadikan penafsiran sengaja menjadi
leboh objektif bukan dalam pemikiran abstrak karena dengan membagi
sengaja dalam pandangan kedua akan memudahkan penafsiran fakta pada
rumusan sengaja yang diempiriskan (diobjektifkan) disini dilihat dulu apakah
sengaja tertuju pada perbuatan atau akibat jika pada perbuatan tidak perlu.”
diperdalam sampai pada bentuk sengaja sebagai maksud, keharusan pasti
atau kemungkinan yang mutlak diteliti jika sengaja tertuju pada akibat dan
hal ikhwal yang menyertai pebuatan di samping perbuatan itu sendiri dengan
demikian tidak perlu susah-susah membagi sengaja dalam dua anasir
menghendaki dan mengetahui karena jika ia mengetahui dan ternyata
melakukan pasti juga ia menghendaki, namun apakah tertuju pada perbuatan
atau akibat/hal ikhwal yang menyertai perbuatan tentunya dinilai dengan
teori kehendak atau teori pengetahuan tergantung teori mana yang
dipergunakan;”131
“Menimbang, bahwa selama pemeriksaan perkara berlangsung,
Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat menghadirkan 2 (dua) orang saksi yang
berteman kontak BBM dengan terdakwa dengan nomor PIN 215A00AA untuk
129 Ibid., h. 142 130 Ibid. 131 Konsideran menimbang pada unsur Dengan Sengaja dan tanpa hak, Putusan Nomor
390/Pid.B/2014/PM.Mks, h. 35
memastikan apakah benar terdakwa yang membuat personal status dalam
BBM nya tersebut dan apakah benar bahwa itu adalah nomor PIN BB nya
terdakwa;”132
“Menimbang, bahwa demikian juga Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat
membuktikan dipersidangan hasil pemeriksaan digital forensic oleh ahli ITE
untuk memastikan apakah benar kata-kata yang tertulis dalam status BBM
tersebut adalah berasal dari Smartphone Blackberry akun BBM PIN
215A00AA milik terdakwa;”133
“Menimbang, bahwa demikian juga Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat
menghadirkan dipersidangkan barang bukti Blackberry milik terdakwa
maupun Blackberry milik saksi MUH. ZULHAMDI ALAMSYAH, SH. yang
berteman kontak BBM dengan terdakwa;”134
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka Majelis
Hakim berkesimpulan bahwa Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat membuktikan
dakwaan Pertamanya;”135
Seperti halnya pada Putusan Nomor 1832/Pid.B/2012/PN.Jak.Sel (Jakarta Selatan),
Putusan Nomor 390/Pid.B/2014/PN.Mks (Makassar) pun tidak memiliki pertimbangan
tentang kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis). Hal ini disebabkan juga oleh
kurangnya bukti yang diberikan Jaksa Penuntut Umum ke hadapan Majelis Hakim.
Sedangkan dalam Putusan Nomor 23/Pid.B/2011/PN.JTH (Jantho) pertimbangan hakim dapat
dilihat dalam konsideran :
“Menimbang bahwa yang dimaksud dengan sengaja dan tanpa hak adalah
perbuatan yang dikehendaki atau didasari dan bertentangan dengan
ketentuan Undang-undang;”136
“Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan
diketahui bahwa terdakwa A. HAMID ARSA Bin (Alm) ABDURRAHMAN
telah dengan sengaja menigirimkan SMS (short message service/layanan
pesan singkat) kepada orang lain yang isinya bermuatan pencemaran nama
baik terhadap IRWANDI YUSUF dengan tujuan agar orang lain mengetahui
tentang isi dari SMS tersebut, sedangkan terdakwa tidak mempunyai hak dan
132 Ibid., h. 37 133 Ibid., h. 38 134 Ibid. 135 Ibid. 136 Konsideran menimbang pada unsur Dengan sengaja dan tanpa hak, Putusan Nomor
23/Pid.B/2011/PN.JTH, h. 45
kewenangan untuk menyebarkan SMS tersebut maka dengan demikian unsur
ini telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum.”137
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim yang mengadili perkara ini tidak
membagikan bentuk kesengajaan seperti pada pertimbangan-pertimbangan Majelis hakim
dalam Putusan-putusan sebelumnya. majelis hakim terkesan langsung menafsirkan perbuatan
terdakwa kedalam kesengajaan sebagai akibat dan secara langsung mengaitkan fakta hukum
yang didapatkan dalam persidangan.
Validasi Bukti Elektronik Putusan Nomor 23/Pid.B/2011/PN.JTH, Putusan Nomor
390/Pid.B/2014/PN.Mks, Putusan Nomor 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel
Dari semua putusan yang menjadi objek penelitian ini, selain Putusan Nomor
390/Pid.B/2014/PN.Mks (Makassar), Putusan Nomor 23/Pid.B/2011/PN.JTH (Janto)
merupakan salah satu putusan yang paling banyak membagi unsur Pasal 27 Ayat (3), namun
juga putusan yang paling sedikit melakukan pertimbangan terkait unsur-unsur yang telah
dibagi pada perkara yang diadili. Hal tersebut dapat dilihat pada konsiderans berikut :
“Menimbang bahwa yang dimaksud dengan sengaja dan tanpa hak adalah
perbuatan yang dikehendaki atau disadari dan bertentangan dengan
ketentuan Undang-undang;”138
“Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan
diketahui bahwa terdakwa A. HAMID ARSA Bin (Alm) ABDURRAHMAN
telah dengan sengaja menigirimkan SMS (short message service/layanan
pesan singkat) kepada orang lain yang isinya bermuatan pencemaran nama
baik terhadap IRWANDI YUSUF dengan tujuan agar orang lain mengetahui
tentang isi dari SMS tersebut, sedangkan terdakwa tidak mempunyai hand an
kewenangan untuk menyebarkan SMS tersebut maka dengan demikian unsur
ini telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum;”139
Pada unsur dengan sengaja, majelis hakim hanya membuat dua pertimbangan.
Pertimbangan pertama, terkait dengan kesengajaan dan pertimbangan kedua berisi fakta-fakta
hukum yang dipertimbangkan hakim. Bahkan, berbeda dengan putusan yang lain, bentuk-
137 Ibid. 138 Ibid. 139 Ibid.
bentuk kesengajaan (kesengajaan sebagai maksud; kesengajaan sebagai kepastian; dan
kesengajaan sebagai kemungkinan) tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim guna memilah
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa. Ironisnya, dengan alat bukti yang ada Majelis
Hakim secara langsung mengaitkan fakta-fakta hukum sebagai pertimbangan. Padahal,
menurut penulis ada kerancuan terkait dengan barang bukti yang diajukan oleh Jaksa
penuntut umum. Adapun barang bukti yang dihadapkan ke Majelis Hakim yaitu : 1 (satu) unit
Handphone Nokia E66 dengan kondisi rusak/patah Nomor IME 352943021150615 dirampas
untuk dimusnahkan; dan 1 (satu) buah buku transaksi penjualan kartu perdana dan pulsa
Toko Gardu Ponsel dikembalikan kepada saksi Abdul Halim Bin Hasbi;. Untuk lebih
jelasnya, penulis akan menbandingkan putusan ini dengan putusan Nomor
390/Pid.B/2014/PN.Mks (Makassar) dan putusan Nomor 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel
(Jakarta selatan).
Dalam konsiderans Putusan Nomor 390/Pid.B/2014/PN.Mks (Makassar), Majelis
Hakim menyatakan:
“Menimbang, bahwa dipersidangan telah diputar dan diperdengarkan barang
bukti DVD-R rekaman pembicaraan terdakwa menjadi narasumber pada
acara yang disiarkan secara langsungoleh Celebes TV tersebut, tetapi tidak
ditemukan pernyataan atau kata-kata terdakwa secara spesifik menyebutkan
secara langsung kata demi kata bahwa “kenapa harus pak Kadir sedangkan
dia adalah keluarga koruptor” dan kata-kata bahwa SUPOMO GUNTUR
adalah orang sakit-sakitan sebagaimana yang didakwakan oleh
Jaksa/Penuntut Umum dalam dakwaan Keduanya tersebut;”140
Lebih lanjut :
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim berkesimpulan bahwa keterangan saksi-
saksi tersebut di atas adalah berdasarkan dari kesimpulan sepihak saksi-saksi
sendiri yang mendengar pernyataan-pernyataan terdakwa pada saat acara
obrolan Karebosi dengan tema NONE vs SUKA yang disiarkan langsung di
140 Dalam konsideran menimbang unsur Dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama
baik seseorang, Putusan Nomor 390/Pid.B/2014/PN.Mks, h. 42
Celebes TV pada hari Senin tanggal 24 Juni 2013 pada jam 19.00 WITA di Jl.
Jend. Sudirman Menara Bosowa Lantai 15;”141
Selanjutnya :
“Menimbang, bahwa demikian juga Jaksa/Penuntut Umun tidak dapat
membuktikan siapa yang membuat dan menyebarkan barang bukti 20 (dua
puluh) lembar poster bergambar karikatur;”142
Pada ketiga konsiderans diatas, tampak jelas bahwa Majelis Hakim dengan teliti
memeriksa barang bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Valid atau tidaknya
barang bukti yang diajukan, dipertimbangkan kembali oleh Majelis Hakim. Pertimbangan
Majelis hakim terkait validasi bukti elektronik ini didasarkan pada kesaksian dari saksi ahli
Deden Imanudin Soleh. SH yang menyatakan :
“Bahwa untuk memastikan apakah seseorang adalah pemilik dari akun BBM
dengan nomor Pin. Orang yang dituduhkan, maka dapat dibuktikan dengan
melalui cara yaitu menghadirkan 2 (dua) orang atau lebih saksi yang
berteman cantact BBM dengan nomor Pin. Orang yang dituhkan guna
menerangkan bahwa seseorang tersebut adalah sebagai pemilik dari Nomor
Pin orang yang dituduhkan tersebut serta 2 (dua) orang atau lebih saksi
tersebut harus memperlihatkan fisik smartphon Black Berry miliknya yang
berteman con dengan Nomor Pin. Orang yang dituduhkan tersebut;”143
Selanjutnya :
“Bahwa bilamana tidak dapat dibuktikan akan hasil seperti 2 (dua) orang
saksi atau lebih yang berteman contact BBM dengan orang yang ditudukan
tersebut, maka harus dilakukan melalui pemeriksaan digital forensic ahli ITE
untuk memastikan siapakah pemilik akun BBM dan nomor Pin. Orang yang
dituduhkan itu dan memastikan apakah rangkaian kata-kata yang tertulis
dalam status BBM tersebut adalah berasal dari Smartphon Black Berry akun
BBM dan Nomor Pin orang yang dituduhkan itu;”144
Ketelitian dari Majelis Hakim dalam memeriksa bukti, juga dapat ditemukan pada
Putusan Nomor 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel (Jakarta Selatan). Adapun dalam Putusan Nomor
1832/Pid.B/2012/PN.Jkt,Sel (Jaksel), majelis hakim menyatakan:
141 Ibid.
142 Ibid. 143 Konsideran menimbang pada keterangan saksi ahli, Putusan Nomor
390/Pid.B/2014/PN.Mks, h. 25 144 Ibid., h. 26
“Menimbang, bahwa dari uraian saksi-saksi sebagaimana diuraikan di atas,
tidak ada saksi-saksi yang mengetahui dan melihat pemilik akun twitter
tersebut dan tidak tahu yang merilisnya;”145
Lebih lanjut :
“Menimbang, bahwa keterangan saksi-saksi yang menyatakan bahwa dalam
twitter tersebut adalah milik Terdakwa oleh karena tertulis @fajriska yaitu
nama Terdakwa akan tetapi tidak ada satu orang saksi pun yang mengetahui
bahwa akun twitter @fajriska adalah milik Terdakwa;”146
Selanjutnya :
“Menimbang, bahwa menurut Majelis nama pada suatu akun twitter bisa saja
dibuat oleh orang lain dengan membuat nama orang tertentu maka dalam hal
ini Majelis sependapat dengan tim Penasihat Hukum Terdakwa dalam
Pledoinya yang menyatakan bahwa tidak terbukti akun twitter @fajriska
adalah milik terdakwa sehingga tidak terbukti pula bahwa terdakwa telah
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
dapat dibuat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik.”147
Dan kemudian :
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas majelis
berpendapat bahwa tidak terbukti bahwa akun twitter @fajriska adalah akun
milik terdakwa sehingga unsur kedua dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ataudapat dibuat diaksesnya
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tidak terbukti pada
Terdakwa;”148
Bila dikaitkan antara konsiderans-konsiderans dari putusan Nomor
390/Pid.B/2014/PN.Mks (Makassar) dan Putusan Nomor 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel
(Jakarta Selatan) yang telah penulis paparkan diatas dengan Putusan Nomor
23/Pid.B/2011/PN.JTH (Jantho), maka didapati bahwa kerancuan yang terjadi dalam Putusan
Nomor 23/Pid.B/2011/PN.JTH (Jantho) terletak pada validasi bukti elektronik. Dengan kata
lain, valid atau tidaknya bukti yang dapat menerangkan suatu perbuatan tentang apakah benar
terdakwa lah yang menyebarkan SMS tersebut bukanlah terletak pada buku transaksi
pembelian dan Handphone miliki terdakwa, melainkan terletak pada simcard yang dimiliki
145 Konsideran menimbang pada unsur Unsur Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik, Putusan Nomor 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel, h. 141 146 Ibid. 147 Ibid. 148 Ibid., h. 142
terdakwa. Menurut penulis, buku transaksi bisa saja direkayasa kembali sedangkan
handphone hanyalah intsrumen untuk menyebarkan SMS. Majelis Hakim tidak
mempertanyakan kembali apakah benar simcard yang dimiliki terdakwa adalah simcard
dengan Nomor 081973911256 dan Nomor 08191978609. Yang telah menyebarkan SMS.
Sifat Informasi Elektronik (Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM, Putusan Nomor
196/Pid.Sus/2014/PN.Btl, Putusan Nomor 390/Pid.B/2014/PN.Mks, Putusan Nomor
1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel )
Pasal 1 angka (1) UU ITE, mendefenisikan, Informasi Elektronik adalah “salah satu
sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, elektronik data interchange (EDI), surat elektronik (electronic email),
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya;”149 dan Pasal 1 angka 4 UU ITE, mengartikan Dokumen Elektronik adalah
“setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat,
ditampilkan, dan/atau didengar melalui computer atau sistem elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf,
tanda, angka, kode akses, symbol, atau perforasi yang memiliki makna atau arti dapat
dipahami oleh orang yang mampu memahaminya;”150
Berdasarkan pengertian tersebut, maka menurut penulis tidak ada perbedaan antara
informasi dan dokumen elektronik sebab dokumen elektronik merupakan informasi
elektronik (sekumpulan data elektronik), seperti yang dikatakan Aloysius Wisnubroto, SH.,
M.Hum, bahwa “perbedaan informasi elektronik dan dokumen elektronik terletak pada
149 Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Penerbit New Merah Putih, Yogyakarta, 2009, h. 11 150 Ibid.
masalah bentuknya saja yang berbeda karena keduanya termasuk dalam dokumen elektronik
dan dokumen elektronik sebagai dunia nyata dialihkan ke dunia elektronik”.151
Dalam Putusan Nomor 390/Pid.B/2014/PN.Mks (Makassar), Putusan Nomor
1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel (Jakarta Selatan) dan Putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.Btl
(Bantul), media elektronik yang digunakan adalah Tv Celebes, Twitter, dan Facebook.
Sedangkan dalam Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/PN.SGM (Sungguminasa) media
elektronik yang digunakan adalah grup line. Perbedaan mendasar dari putusan-putusan yang
penulis coba bandingkan terletak pada sifat dari informasi dan/atau dokumen elektronik yang
ditransmisikan dan/atau didistribusikan melalui media elektronik. Pada media elektronik TV
Celebes, Twitter dan Facebook, informasi dan/atau dokumen elektronik yang ditransmisikan
dan/atau didistribusikan bersifat terbuka. Artinya, informasi dan/atau dokumen elektronik
yang ditransmisikan dan/atau didistribusikan tersebut dapat diakses oleh semua orang
(publik). Sedangkan informasi dan/atau dokumen elektronik yang ditransmisikan dan/atau
didistribusikan melalui media elektronik grup line bersifat tertutup. Artinya, informasi
dan/atau dokumen elektronik yang ditransmisikan dan/atau didistribusikan tersebut hanya
dapat diakses oleh angggota yang tergabung dalam grup line (privat).
Oleh karena bersifat tertutup (privat), maka menurut penulis, Informasi dan/atau
dokumen elektronik yang ada di grup line haruslah diartikan sebagai informasi dan/atau
dokumen elektronik yang tidak dapat diakses oleh semua orang (publik). Selain itu, informasi
dan/atau dokumen elektronik tersebut harus pula dimaknai sebagai informasi dan/atau
dokumen elektronik yang ditransmisikan oleh pengirim (terdakwa) kepada penerima (anggota
grup).
Adapun UU ITE Pasal 1 Angka (18) dan Pasal 1 Angka (19) mendefenisikan
“Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen
151 Dalam konsideran meinimbang pada keterangan saksi ahli dalam poin 21, Putusan Nomor
232/Pid.B/2010/PN.Kdl, h. 32
elektronik; dan Penerima adalah subjek hukum yang menerima informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dari pengirim.”152
Dalam grup line IKASALIS 99, hanya terdapat 7 anggota yang didalamnya tidak
terdapat korban. Mengingat korban bukanlah angggota line, maka pertanyaan yang muncul
adalah bagaimana mungkin informasi yang bersifat tertutup, yang hanya dapat diakses oleh
anggota dapat diketahui oleh orang (korban) yang bukan termasuk anggota grup line?
Menurut penulis ada sebab musabab yang seharusnya dipertimbangkan Majelis Hakim.
Dalam ilmu pidana, dikenal dengan adanya teori Conditio sine qua non. Moeljatno,
mengatakan “Teori ini dalam hukum pidana diajukan oleh Von Buri dan dinamakan teori
Conditio sine qua non (syarat-syarat tanpa mana tidak). Menurut beliau, musabab adalah tiap-
tiap syarat yang tak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat. Teori ini juga dinamakan teori
ekuivalensi, yaitu karena menurut pendiriannya, tiap-tiap syarat adalah sama nilainya
(equivalent). Juga dinamakan Bedingungstheorie, karena baginya tidak ada perbedaan antara
syarat (Bedingung) dan musabab. Orang yang mengisi pelita dengan minyak, orang yang
membuat korek api, orang yang menanam kapas untuk dibiking sumbuh pelita itu misalnya,
semuanya adalah sama nilainya dengan yang menyalakan pelita, sebab sama-sama
merupakan syarat atau musabab untuk nyalanya pelita.”153
Berdasarkan pada teori tersebut, Maka menurut penulis, korban yang merasa dihina
sebagai akibat dari menyebarnya informasi yang bersifat tertutup tersebut disebabkan oleh
adanya orang yang menyebarkan informasi dan/atau dokumen elektronik. Menurut hemat
penulis, jika dikaitkan dengan informasi dan/atau dokumen elektronik yang ada di grup line
yang sifatnya tertutup maka pengirim (terdakwa) dan penyebar (salah satu anggota grup)
memiliki sama nilainya. Dengan kata lain apabila terdakwa terbukti melakukan perbuatan
pada Pasal 27 Ayat 3, pertimbangan yang harus dilihat hakim juga adalah pada bagaimana
152 Pasal 1 angka 18 Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Penerbit New Merah Putih, Yogyakarta, 2009, h. 13 153 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2002, h. 92