BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGADILAN ...repository.uinbanten.ac.id/1982/5/BAB II TESIS.pdf25 BAB...

30
25 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA CILEGON A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama 1. Pengertian Pengadilan Agama Dalam kamus Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara peradilan. Peradilan juga dapat diartikan suatu proses pemberian keadilan di suatu lembaga. Dalam kamus Bahasa Arab disebut dengan istilah qadha yang berarti menetapkan, memutuskan, menyelesaikan, mendamaikan. Qadha menurut istilah adalah penyelesaian sengketa antara dua orang yang bersengketa, yang mana penyelesaiannya diselesaikan menurut ketetapan-ketetapan (hukum) dari Allah dan Rasul. Sedangkan pengadilan adalah badan atau organisasi yang diadakan oleh negara untuk mengurus atau mengadili perselisihan-perselisihan hukum. 1 Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia secara yuridis formal lahir berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan terakhir dirubah dengan UU No. 50 Tahun 2009. Lembaga Peradilan Agama sesungguhnya telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, bahkan jauh sebelum itu mengiringi perjalanan dakwah Islam di Nusantara, eksistensi lembaga peradilan baik teori 1 Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), 2.

Transcript of BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGADILAN ...repository.uinbanten.ac.id/1982/5/BAB II TESIS.pdf25 BAB...

  • 25

    BAB II

    GAMBARAN UMUM

    TENTANG PENGADILAN AGAMA CILEGON

    A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama

    1. Pengertian Pengadilan Agama

    Dalam kamus Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala

    sesuatu mengenai perkara peradilan. Peradilan juga dapat diartikan

    suatu proses pemberian keadilan di suatu lembaga. Dalam kamus

    Bahasa Arab disebut dengan istilah qadha yang berarti menetapkan,

    memutuskan, menyelesaikan, mendamaikan. Qadha menurut istilah

    adalah penyelesaian sengketa antara dua orang yang bersengketa, yang

    mana penyelesaiannya diselesaikan menurut ketetapan-ketetapan

    (hukum) dari Allah dan Rasul. Sedangkan pengadilan adalah badan

    atau organisasi yang diadakan oleh negara untuk mengurus atau

    mengadili perselisihan-perselisihan hukum.1

    Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan

    kehakiman di Indonesia secara yuridis formal lahir berdasarkan

    Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan UU No.

    3 Tahun 2006 dan terakhir dirubah dengan UU No. 50 Tahun 2009.

    Lembaga Peradilan Agama sesungguhnya telah ada sejak zaman

    penjajahan Belanda, bahkan jauh sebelum itu mengiringi perjalanan

    dakwah Islam di Nusantara, eksistensi lembaga peradilan baik teori

    1 Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Raja

    Grafindo Persada, 2003), 2.

  • 26

    maupun praktek kehidupan umat Islam, merupakan hal yang tidak

    dapat dipisahkan.2

    Peradilan Agama merupakan peradilan bagi orang-orang yang

    beragama Islam.3 Di dalam Undang-Undang No. 7/1989 Pasal 2

    tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa Peradilan Agama

    merupakan salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat

    pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata

    tertentu. Berdasarkan UU No. 14/1970 yang digantikan dengan UU

    No.4 Tahun 2004 tentang pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman,

    Peradilan Agama telah mendapatkan pengakuan sebagai salah satu dari

    empat lembaga Peradilan. Dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun

    1989 tersebut, Peradilan Agama akan lebih mantap dalam menjalankan

    fungsinya. Adapun mengenai kompetensi absolut Peradilan Agama

    dapat kita baca dalam ketentuan pasal 49, yang secara lengkap sebagai

    berikut:”Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,

    mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat

    pertama antara orang-orang yang beragama Islam, di bidang:4

    a. Perkawinan,

    b. Kewarisan,

    c. Wasiat,

    d. Hibah,

    e. Wakaf,

    f. Shadaqah, dan

    2(http://www.academia.edu/5053889/PENGADILAN-AGAMA-DAN-

    KEWENANGAN - BARUNYA, di akses pada tanggal 16 Oktober 2016, jam 15.00

    WIB. 3 Undang-Undang Peradilan Agama (UU RI No. 7 Tahun 1989), (Jakarta:

    PT. Sinar Grafika), 3. 4 Penjelasan UU No.3 tahun 2006 tentang Kewenangan Peradilan Agama.

    http://www.academia.edu/5053889/PENGADILAN-AGAMA-DAN-KEWENANGAN%20-%20BARUNYAhttp://www.academia.edu/5053889/PENGADILAN-AGAMA-DAN-KEWENANGAN%20-%20BARUNYA

  • 27

    g. Ekonomi syari’ah.

    Secara historis, keberadaan lembaga Peradilan yang

    melaksanakan fungsi Peradilan Agama sudah ada sejak zaman

    kerajaan-kerajaan Islam berdiri. Namun pada waktu itu kekuasaan

    sebagai Hakim (qadhi) umumnya dilakukan raja atau sultan yang

    sedang berkuasa, khusus untuk perkara-perkara yang menyangkut soal

    Agama, sultan biasanya menunjuk ulama/ pemuka agama untuk

    melakukan fungsi tersebut.5

    Dalam operasionalnya, kekuasaan kehakiman di lingkungan

    peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan

    Tinggi Agama. Pengadilan Agama adalah pengadilan tingkat pertama

    dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat

    Banding, dimana kedua pengadilan tersebut berpuncak pada

    Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Secara

    administratif, peradilan agama berada di bawah Kementerian Agama.

    2. Pengadilan Agama di Indonesia

    Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Pengadilan

    Agama merupakan salah satu lembaga peradilan Negara di samping

    peradilan militer, peradilan tata usaha Negara, dan peradilan umum.

    Keempat lembaga peradilan tersebut merupakan lembaga kekuasaan

    kehakiman di Indonesia, yang bertugas menerima, mengadili,

    memeriksa, dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.

    Adapun dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1979

    tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang

    Nomor 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam dengan Inpres

    5 Abdul Ghofur A, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No.3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan, dan Kewenangan), (Yogjakarta; UII press, 2007). 45.

  • 28

    Nomor 1 Tahun 1991, diharapkan mulai babak baru dalam sejarah

    perkembangan Peradilan Agama di Indonesia.6

    a. Peradilan Agama di Masa kerajaan Islam

    Dengan masuknya agama Islam ke Indonesia, mampu merubah

    tata hukum yang ada. Hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum

    hindu, yang berwujud dalam hukum perdata, tetapi juga memasukkan

    pengaruhnya ke dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya.

    Meskipun Hukum asli masih menunjukkan keberadaannya, namun

    hukum Islam telah mampu merembes dikalangan penganutnya,

    terutama dalam hukum keluarga.7

    Dalam pemerintahan kerajaan Islam sebagai ciri tata

    pemerintahan nusantara pada periode berikutnya. Peradilan agama

    memperoleh tempat yang lebih nyata sebagai penasihat raja di bidang

    keagamaan. Dengan di keluarkannya Stbl. 1882 Nomor 152 oleh

    kolonial Belanda, yang kemudian ditambah dan diubah dengan Stbl.

    1937 No. 116 dan 160 dan Stbl 1937 No. 638 dan 639 Peradilan Agama

    diakui sebagai Peradilan Negara, meskipun dibiarkan pertumbuhannya

    tanpa adanya pembinaan sama sekali.

    b. Peradilan Agama di Masa Penjajahan

    Kedatangan Belanda ke Indonesia yang tujuan awalnya adalah

    hanya berdagang, ternyata juga berimplikasi pada peradilan agama

    yang telah ada pada saat tersebut. Pada masa pemerintahan kolonial

    belanda tepatnya tahun 1882 keluar ordonantie stbl. 1882-152 tentang

    Peradilan Agama di pulau Jawa-Madura. Pemerintahan kolonial

    6 Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan (Suatu

    Kajian dalam Sistem Peradilan Islam), (Jakarta: Kencana, 2010), 206. 7 Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,

    2000), 113.

  • 29

    Belanda dengan Stbl. 1882-152 mengistilahkan lembaga Peradilan

    Agama dengan istilah priesterrad, artinya Peradilan Pendeta. Hal ini

    dikarenakan mereka mengasumsikan bahwa para ulama yang

    menjalankan kekuasaan Kehakiman di bidang Hukum Perdata saja

    dengan pendeta yang selama ini telah dikenal.

    Kekuasaan Peradilan Agama pada saat tersebut terkadang

    berbenturan dengan Peradilan Negeri, hal ini karena sengaja dibuat

    oleh pemerintah Belanda. Karena sejak awal pemerintahan jajahan

    khawatir atas keberadaan hukum Islam. Selain hukum Islam berbeda

    dengan agama yang dianut mereka, juga merupakan hukum yang

    terbesar dianut oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu,

    memberikan hak hidup hukum Islam sama artinya dengan memberikan

    peluang hidup terhadap hukum bangsa Indonesia.8

    Segala sesuatu yang terkait dengan Peradilan Agama pada saat

    tersebut didukung dan dipengaruhi oleh teori yang berkembang pada

    saat tersebut, yaitu teori reception in complexu yang dikemukakan oleh

    Van Den Berg dan teori receptie yang dikemukakan Snouck Hurgronje

    dan Vollenhaven. Berdasarkan pada teori reception in comlexu, maka

    Peradilan Agama pada awal berdirinya berwenang untuk menerima,

    memeriksa, serta memutus seluruh sengketa keperdataan yang dialami

    oleh umat Islam. Sedangkan setelah lahirnya teori receptie,

    menyebabkan kewenangan Peradilan Agama berkurang (dipreteli).

    Dimana Peradilan Agama tidak berwenang menerima, memeriksa, dan

    memutuskan sengketa dibidang kewarisan bagi umat Islam. Sehingga

    8 Raihan A Rasjid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja

    Grafindo, 2003), 2.

  • 30

    kewenangan Peradilan Agama hanya terbatas dalam hal nikah, rujuk

    dan talak.

    Berlakunya Stbl. 1937-116 telah mengurangi kompetensi

    Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dalam bidang perselisihan

    masalah wakaf dan waris harus diserahkan kepada Pengadilan Negeri.

    Dengan adanya pemindahan kewenangan tersebut, membuat

    kemarahan umat Islam, dan dianggap penolakan terhadap kenyataan

    yang ada dan telah berlangsung lama.

    Menurut Bushtanul Arifin, terjadinya konflik hukum tersebut

    diawali dengan rencana pemerintah Belanda untuk memberlakukan

    hukum sipil secara sepenuhnya bagi masyarakat Indonesia.

    Sebagaimana dibidang hukum pidana yang telah berhasil mereka

    lakukan. Adanya hal tersebut mengundang perlawanan terhadap

    kebijakan pemerintah yang dipelopori oleh C. Van Vollenhoven dan

    Snouck Hurgronje.9 (keduanya pakar hukum adat yang berpandangan

    bahwa, apabila hukum belanda dipaksakan untuk dilakukan bagi

    penduduk pribumi, maka yang akan mengambil keuntungan adalah

    hukum Islam). Dengan alasan bahwa hukum barat hidup dan

    berkembang dengan hukum kristen. Dengan demikian, justru mereka

    lebih menghendaki bahwa hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi

    yang tepat adalah hukum adat. Hukum adat dinilai sesuai dengan

    kebijakan hukum kolonial Belanda serta dianggap tidak membahayakan

    eksistensi pemerintahan Belanda.

    9 Bushtanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar, Sejarah,

    Hambatan, dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 36.

  • 31

    c. Masa Kemerdekaan

    Teori Receptie ternyata masih ada di zaman kemerdekaan,

    termasuk di dalamnya mempengaruhi para pembuat peraturan

    perundang-undangan (legislator) pada saat tersebut. Meskipun teori

    tersebut telah mendapatkan bantahan dari teori Huzairin yang

    menyatakan bahwa berlakunya hukum Islam tidak berdasarkan pada

    hukum Adat, akan tetapi sesuai dengan perundang-undangan atau yang

    disebut positifisasi hukum Islam. Namun pada kenyataannya seakan-

    akan hukum Islam yang berlaku di masyarakat baru berlaku jika hukum

    adat telah menerimanya.

    Pada tahun 1946, dibentuklah sebuah kementerian Agama.

    Departemen Agama dimungkinkan konsolidasi atas seluruh

    administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah badan yang bersifat

    nasional. Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1946

    menunjukkan secara jelas maksud untuk mempersatukan administrasi

    nikah, talak, dan rujuk di seluruh Indonesia dibawah pengawasan

    Departemen Agama.

    Undang-Undang No.22 Tahun 1946, awalnya hanya berlaku

    bagi Jawa dan Madura. Namun kemudian pada tahun 1954, pihak

    Departemen Agama berhasil mendapatkan persetujuan dari pihak

    parlemen untuk memberlakukan UU No. 22 Tahun 1946 di seluruh

    daerah luar Jawa dan Madura.

    Pada masa kemerdekaan, Pengadilan Agama atau Mahkamah

    Islam Tinggi yang telah ada tetap berlaku berdasarkan aturan peralihan.

    Selain tiga bulan berdirinya Departemen Agama yang dibentuk melalui

    keputusan pemerintah nomor 1/SD, pemerintah mengeluarkan

    penetapan No.5/SD tanggal 25 Maret 1946 yang memindahkan semua

  • 32

    urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dari Departemen Kehakiman

    kepada Departemen Agama. Sejak itulah Peradilan Agama menjadi

    bagian terpenting bagi Departemen Agama.10

    Sementara pada sisi lain, para ahli hukum nasional selalu

    menggunakan setiap kesempatan untuk menghapuskan pengadilan

    agama Islam. Setelah Peradilan Agama diserahkan kepada Departemen

    Agama, maka para pejabat nasionalis yang berada dalam departemen

    kehakiman masih membuat undang-undang sebagai usaha untuk

    menghapuskan Peradilan Agama Islam dari eksistensinya, namun gagal

    pula.11

    Pada tahun 1957, berlaku Peraturan Pemerintah No.45

    Lembaran Negara 1957 No.99 tentang Peradilan Agama/Mahkamah

    Syari’ah di luar Jawa dan Madura. Kewenangan Peradilan Agama

    diluar Jawa dan Madura meliputi perkara-perkara Nikah, Thalak,

    Rujuk, Fasakh, Nafaqah, Maskawin, tempat kediaman, Mut’ah,

    Hadhanah, Perkara Waris, Wakaf, Hibah, Shadaqah, dan Baitul Mal.

    d. Masa Orde Baru

    Pada masa orde baru lembaga Peradilan dapat dikatakan

    mengalami perkembangan yang cukup signifikan, yaitu dengan

    diundangkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang sekarang

    telah digantikan dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang pokok-pokok

    Kekuasaan Kehakiman. Yang mana Kekuasaan Kehakiman

    dilaksanakan oleh empat lembaga Peradilan, yaitu Peradilan Umum,

    10

    Mubarok, dalam Abd. Ghofur Gufron, Memahami Lembaga Peradilan

    Agama, Yogjakarta: Makalah pada Acara Pemahaman UU Pengadilan Agama

    Departemen Hukum dan HAM RI, Tanggal 7 September 2006. 11

    Daniel S. Lev, dalam Abd. Ghofur Gufron, Peradilan Agama Islam di

    Indonesia, Suatu Study Tentang Landasan Politik Lembaga Lembaga Hukum,

    (Jakarta: PT. Intermasa, 1986), 86.

  • 33

    Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara,

    yang semuanya berada di bawah naungan Mahkamah Agung.

    Peradilan Agama sebagai salah satu lingkungan peradilan yang

    berada di Mahkamah Agung, secara yuridis juga diatur dengan

    Undang-Undang tersendiri, yaitu Undang-Undang No.7 Tahun 1989

    tentang Peradilan Agama (sekarang diamandemen dengan UU No. 3

    Tahun 2006).

    e. Masa Reformasi ( 1998- sekarang)

    Pada Masa Orde Baru, awalnya menunjukkan progres yang luar

    biasa, dimana dengan melihat UU No. 19 Tahun 1946 yang dirasa tidak

    sesuai dengan prinsip Kekuasaan Kehakiman yang merdeka perlu

    segera diganti, sehingga lahirlah UU No.14 Tahun 1970 tentang pokok-

    pokok Kekuasaan Kehakiman.

    Di lihat secara hukum, khususnya berkaitan dengan peraturan

    perundang-undangan tampak bahwa kekuasaan Kehakiman telah diakui

    sebagai kekuasaan yang merdeka, dalam rangka penegakan hukum di

    negara kesatuan Republik Indonesia. sehingga secara yuridis tidak

    boleh ada intervensi dari kekuasaan lain. Bahkan perkembangan yang

    luar biasa dialami oleh Peradilan Agama, yaitu berkaitan dengan tidak

    diperlukannya lagi fiet eksekusi (exekutoir verklering) dari Peradilan

    Umum untuk melaksanakan putusan yang dihasilkan.12

    Sejarah juga yang membuktikan, bahwa ternyata dalam

    prakteknya muncul kesenjangan antara das sollen dengan das sein (law

    in book and law in action gap), sehingga yudikatif masih banyak

    mendapatkan intervensi dari kekuasaan lain dalam menjalankan tugas

    dan kewenangannya. Hal tersebut diperparah dengan merebaknya

    12

    Abdul Ghofur Anshari, Hukum Acara Peradilan Agama, 27.

  • 34

    praktek mafia hukum, yang juga dilakukan oleh aparat penegak hukum

    itu tersendiri.

    Praktek-praktek yang demikian tersebut, yang menyebabkan

    terjadinya kehancuran sendi-sendi hukum di negara ini. Dalam rangka

    menyikapi hal tersebut, maka pada tahun 1999 diundangkanlah

    Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok Kekuasaan

    Kehakiman yang kemudian diganti dan disesuaikan dengan UU No. 4

    Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

    Berdasarkan pada fakta-fakta diatas, nampak bahwa sejarah

    lembaga Peradilan di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman

    Belanda. Terkait dengan Peradilan Agama mengalami pasang surut,

    terutama menyangkut kewenangannya untuk menerima, memeriksa,

    mengadili, dan memutuskan sengketa-sengketa yang dialami umat

    Islam. Hal tersebut disebabkan oleh munculnya berbagai kebijakan

    yang didasarkan pada teori-teori yang berkaitan dengan berlakunya

    hukum Islam terhadap kehidupan masyarakat muslim.

    3. Kewenangan Pengadilan Agama

    Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk

    menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

    yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan

    yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

    lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan

    lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah

    Konstitusi. Berarti pengadilan agama adalah salah satu lingkungan

    peradilan di bawah Mahkamah Agung. Undang-Undang Peradilan

    Agama yang menjadi hukum positif saat ini di Indonesia adalah

  • 35

    Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-

    Undang No.3 Tahun 2006 dan perubahan ke dua dengan Undang-

    Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

    Tingginya dinamisasi dalam undang-undang peradilan agama

    berkaitan dengan penyesuaian regulasi undang-undang Kekuasaan

    Kehakiman. Undang-Undang Kekuasaan kehakiman telah beberapa

    kali mengalami penyempurnaan dan penggantian dari Undang Undang

    No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan

    kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35

    Tahun 1999 dan diganti dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004

    tentang Kekuasaan Kehakiman, dan terakhir saat ini yang menjadi

    hukum positif adalah Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang

    Kekuasaan Kehakiman.

    Berkaitan dengan Undang-Undang Peradilan Agama, perubahan

    utama merupakan perluasan ditemukan dalam Pasal 2 UU No. 3 Tahun

    2006 yang menyatakan; “Peradilan agama adalah salah satu pelaku

    kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama

    Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-

    undang ini”. Ketentuan Pasal 2 menjadi lebih luas bila dibandingkan

    dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 yang hanya membatasi

    mengenai perkara perdata tertentu.13

    Berarti berdasarkan Pasal 2 UU

    No. 3 Tahun 2006 kewenangan peradilan agama tidak lagi hanya

    sebatas perkara perdata saja namun kemungkinan dapat saja

    berkembang seperti perkara pidana umum berkaitan dengan perkara

    13

    Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989; “Peradilan Agama merupakan salah satu

    pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama

    Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini.

  • 36

    tertentu yang telah ditetapkan dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006.

    Tugas pokok pengadilan, yang menyelenggarakan kekuasaan

    kehakiman adalah untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta

    menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.14

    Dalam hal mengadili setiap pengadilan mempunyai

    kewenangan tertentu atau kompetensi absolut (attributie van

    rechtsmacht). Sifat kewenangan masing-masing lingkungan peradilan

    bersifat absolut. Apa yang telah ditentukan menjadi kekuasaan

    (yurisdiksi) suatu lingkungan peradilan, menjadi kewenangan “mutlak”

    baginya untuk memeriksa dan memutus perkara. Kewenangan mutlak

    ini disebut kompetensi absolut atau yurisdiksi absolut.15

    Sebaliknya

    setiap perkara yang tidak termasuk bidang kewenangannya secara

    absolut tidak berwenang pula untuk mengadilinya. Kompetensi absolut

    antara masing-masing lingkungan peradilan, di umpamakan sebagai rel

    yang menertibkan jalur batas kewenangan (yurisdiksi) mengadili.16

    Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989;

    Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

    menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang

    yang beragama Islam di bidang:

    a. Perkawinan;

    b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan

    hukum Islam;

    c. Wakaf dan shadaqah.

    14

    Sudikno Mertokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, (Yogyakarta:

    Penerbit Liberty 2002), 75. 15

    M. Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata, tentang Gugatan,

    Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan”, (Jakarta: Sinar

    Grafika, 2008),102. 16

    M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata…,136.

  • 37

    Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dengan Undang-

    Undang No. 3 Tahun 2006 antara lain berupa memberikan perluasan

    kewenangan Pengadilan Agama. Pasal 49 menyatakan; “Pengadilan

    Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan

    menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

    beragama Islam di bidang:

    a. perkawinan;

    b. waris;

    c. wasiat;

    d. hibah;

    e. wakaf ;

    f. zakat;

    g. infaq;

    h. shadaqah;

    i. ekonomi syariah.17

    Membandingkan Pasal 49 dalam kedua undang-undang

    peradilan agama tersebut nampak bahwa penyelesaian sengketa

    ekonomi syariah sebagai penambahan kewenangan Pengadilan Agama.

    Dengan adanya muatan ekonomi syariah dalam pasal 49 UU No. 3

    Tahun 2006 maka penyelesaian sengketa ekonomi syariah merupakan

    kompetensi pengadilan agama dan pengadilan lain tidak lagi

    berwenang memeriksa dan memutus sengketa ekonomi syariah.

    Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA)

    menyatakan; yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang

    beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang

    17

    Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-

    Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

  • 38

    dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum

    Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama.

    Menurut penjelasan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang

    Peradilan Agama, bidang ekonomi syariah antara lain meliputi:

    a. Bank syariah;

    b. Lembaga keuangan mikro syariah;

    c. Asuransi syariah;

    d. Reasuransi syariah;

    e. Reksa dana syariah;

    f. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah

    syariah;

    g. Sekuritas syariah;

    h. Pembiayaan syariah;

    i. Pegadaian syariah;

    j. Dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan Bisnis syariah.

    Dari keseluruhan kegiatan ekonomi syariah, perbankan syariah

    sudah mendapatkan payung hukum yang relatif lengkap dibandingkan

    dengan kegiatan ekonomi syariah lainnya. Perbankan syariah diatur

    dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

    Penjelasan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Perbankan Syariah

    menyatakan Penyelesaian sengketa syariah haruslah sesuai dengan

    prinsip-prinsip syariah. Kewenangan Pengadilan Agama sebagai

    penyelesaian sengketa ekonomi syariah selain telah ditetapkan oleh

    Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama, juga diakui oleh Pasal 55

    ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

    Penyelesaian sengketa ekonomi syariah harus sesuai dengan prinsip-

  • 39

    prinsip syariah, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 55 UU perbankan

    syariah.18

    Sebelum adanya Undang-Undang No. 3 tahun 2006

    penyelesaian sengketa ekonomi syariah secara litigasi merupakan

    kewenangan dari lingkungan peradilan umum. Berdasarkan bahasan di

    atas terlihat adanya pengalihan kewenangan penyelesaian sengketa

    ekonomi syariah secara yuridis formal ke Pengadilan Agama. Dengan

    perluasan kompetensi tersebut, Pengadilan Agama tidak hanya

    menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,

    wakaf, dan shadaqah, tetapi juga berwenang menangani permohonan

    pengangkatan anak, sengketa zakat, infaq, serta sengketa hakmilik dan

    keperdataan lainnya antara sesama muslim, serta ekonomi syariah.

    Ketentuan pasal 2 dan Pasal 49 ayat(1) UU No. 3 Tahun 2006 tersebut

    mengandung tiga makna sekaligus.

    1) Pertama Peradilan Agama tidak lagi semata-mata hanya

    mengadili perkara-perkara perdata saja, tetapi memungkinkan

    untuk memeriksa perkara pidana sejauh diatur dalam peraturan

    perundang-undangan.

    2) Kedua, kompetensi sebagaimana disebut dalam Pasal 49 ayat

    (1) lebih luas dengan dimasukkan ekonomi syariah sebagai

    salah satu kompetensinya.

    3) Ketiga; Pasal 49 ayat (1) ini juga sekaligus menghapus hak opsi

    (pilihan hukum) dalam sengketa waris. Artinya, sengketa waris

    18

    Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;

    “Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh

    bertentangan dengan prinsip syariah”.

  • 40

    yang terjadi di antara orang-orang yang beragama Islam harus

    diselesaikan di Pengadilan Agama.

    Pasal 50 Undang-Undang Peradilan Agama juga memberikan

    kewenangan pada Pengadilan Agama untuk sekaligus memutuskan

    sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek

    sengketa yang berhubungan dengan ketentuan Pasal 49, bilamana

    subjek sengketa antara orang-orang yang beragama Islam. Sebaliknya

    apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan

    lain tersebut bukan yang menjadi subjek yang bersengketa di

    Pengadilan Agama, sengketa di Pengadilan Agama ditunda untuk

    menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan

    Peradilan Umum.

    Kewenangan Pengadilan Agama sudah mengalami perluasan,

    semula hanya sekedar sengketa dalam lapangan hukum keluarga,

    sekarang telah meluas kepada ekonomi syariah termasuk memutus

    sengketa milik sepanjang sengketa antara orang-orang yang beragama

    Islam yang selama ini bukan sebagai kewenangan dari Pengadilan

    Agama, namun menjadi kewenangan dari Pengadilan Negeri.

    Pasal 49 UUPA, menegaskan secara eksplisit bahwa sengketa

    ekonomi syariah telah menjadi kompetensi absolut peradilan agama,

    sehingga peradilan lain di luar peradilan agama tidak lagi mempunyai

    kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa ekonomi syariah.

    4. Ruang Lingkup dan Kewenangan Pengadilan Agama di Bidang

    Ekonomi Syariah

    Dari ketentuan pasal 49 UU 3/2006 sebagaimana di paparkan di

    atas, dapat dipahami bahwa kewenangan Pengadilan Agama di bidang

    perbankan syariah baru sebatas pengertian bahwa bank syariah adalah

  • 41

    salah satu bagian dari ekonomi syariah yang menjadi kewenangan

    absolut Pengadilan Agama. Sedangkan mengenai ruang lingkup

    batasan dan jangkauan kewenangan mengadili lingkungan Pengadilan

    Agama di bidang perbankan syariah tersebut, tidak ditegaskan secara

    eksplisit dalam UU 3/2006 tersebut.

    Sebagai bagian dari sistem perbankan nasional, keberadaan

    bank syariah di Indonesia dalam menjalankan fungsinya tentu saja tidak

    terlepas dari aturan-aturan hukum perbankan yang berlaku secara

    nasional yang mencakup tiga bidang : hukum perdata, hukum pidana,

    dan hukum tata Negara.19

    Ada empat paling tidak yang dapat dikemukakan sebagai batas

    ruang lingkup dan jangkauan Pengadilan Agama di bidang perbankan

    syariah. Keempat hal tersebut yaitu :20

    a. Kewenangan Meliputi Semua Perkara di Bidang Perdata.

    Inilah hal pertama yang merupakan batas ruang lingkup dan

    jangkauan kewenangan mengadili lingkungan peradilan agama di

    bidang ekonomi syari’ah, bahwa kewenangan mengadili lingkungan

    peradilan agama di bidang ekonomi syari’ah adalah meliputi semua

    perkara ekonomi syari’ah di bidang perdata.

    Pernyataan di atas menegaskan bawah ruang lingkup

    kewenangan absolut lingkungan peradilan agama di bidang ekonomi

    syari’ah hanya meliputi perkara-perkara atau sengketa di bidang

    perdata saja. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 49 UU No. 3 Tahun

    2006 yang menyatakan bahwa ”pengadilan agama bertugas dan

    19

    Purwoto Gandasubroto, Renungan Hukum, (Jakarta: Ikatan Hakim

    Indonesia (IKAHI), 1998), 366. 20

    Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan

    Agama dan Mahkamah Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), 113.

  • 42

    berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat

    pertama antara orang-orang yang beragama Islam ...” dan juga dari

    penjelasan pasal tersebut yang antara lain menyatakan bahwa

    ”penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang ekonomi

    syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya”.

    Dari redaksi pasal tersebut dapat dipahami bahwa perkara atau

    sengketa yang menjadi kewenangan absolute lingkungan peradilan

    agama adalah perkara atau sengketa di bidang hukum perdata (privat

    law) saja. Dengan demikian, dari ketiga bidang hukum yang mengatur

    aktivitas operasional ekonomi syari’ah (yakni bidang hukum perdata,

    bidang hukum pidana dan bidang hukum tata negara), hanya perkara

    atau sengketa di bidang hukum perdata (privat law) saja yang termasuk

    dalam ruang lingkup kewenangan absolut lingkungan peradilan agama

    untuk mengadilinya. Sedangkan perkara atau sengketa di bidang hukum

    pidana dan bidang hukum Tata Usaha Negara (TUN) tidak termasuk

    dalam jangkauan kewenangan absolut lingkungan peradilan agama.

    Sehingga peradilan agama secara absolut tidak berwenang memeriksa

    dan mengadili perkara-perkara ekonomi syari’ah di bidang pidana

    maupun bidang tata usaha negara.

    Sengketa atau perkara ekonomi syari’ah di bidang pidana tetap

    menjadi kewenangan absolut lingkungan peradilan umum. Sedangkan

    perkara di bidang tata usaha neagra tetap menjadi kewenangan absolut

    lingkungan peradilan Tata Usaha Negara (TUN).21

    21

    Hudiata, Edi, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah: Pasca Putusan

    MK No. 93/PUU-X/2012 : Litigasi dan No Litigasi, (Yogyakarta : UII Press, 2015),

    84.

  • 43

    Selanjutnya untuk mengetahui sampai di mana jangkauan

    kewenangan lingkungan peradilan agama dalam mengadili sengketa di

    bidang perdata tersebut, dapat dianalisis dengan pendekatan asas

    personalitas keislaman. Asas personalitas keislaman merupakan asas

    yang menyangkut keseluruhan pribadi seseorang yang beragama Islam.

    Asas ini merupakan asas perberlakuan hukum Islam terhadap orang

    (person) yang beragama Islam.

    Seperti diketahui asas personalitas keislaman merupakan salah

    satu asas sentral yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2006 yang

    merupakan pedoman umum dalam menentukan kewenangan

    lingkungan peradilan agama. Asas personalitas keislaman merupakan

    asas pemberlakukan hukum Islam terhadap orang (person) yang

    beragama Islam. Asas ini menggariskan bahwa ” terhadap orang Islam

    berlaku hukum Islam, dan jika terjadi sengketa diselesaikan menurut

    hukum Islam oleh Hakim (pengadilan) Islam”.22

    Dari apa yang digariskan dalam asas personalitas keislaman

    tersebut dapat ditegaskan bahwa setiap orang Islam baik secara

    subjektif mauapun secara objektif berlaku (tunduk pada) hukum Islam.

    Secara subjek, artinya menurut hukum setiap orang Islam sebagai

    subyek hukum tunduk kepada hukum Islam, sehingga segala

    tindakannya harus dianggap dilakukan menurut hukum Islam, dan jika

    tidak dilakukan menurut hukum Islam, maka hal itu dianggap sebagai

    suatu pelanggaran. Sedangkan secara objektif, artinya segala sesuatu

    yang menyangkut aspek hukum orang Islam sebagai objek hukum

    22 A. Mukti Arto, Garis Batas Kekuasaan Pengadilan Agama dan

    Pengadilan Negeri Penerapan Asas Personalitas Keislaman Sebagai Dasar

    Penentuaan Kekuasaan Pengadilan Agama, (Jakarta : Varia Peradilan, 2006), 21.

  • 44

    harus diukur dan dinilai berdasarkan hukum Islam, sehingga hukum

    Islam secara imperatif (otomatis) diberlakukan terhadap dirinya, dan

    karena itu jika terjadi sengketa harus diselesaikan menurut hukum

    Islam oleh hakim (pengadilan) Islam.

    Termasuk dalam pengertian asas personalitas keislaman ini

    semua badan hukum Islam yang ada dalam sistem hukum di Indonesia,

    dalam hal ini ermasuk semua badan hukum Islam dimaksud baik

    mengenai status hukumnya maupun mengenai perbuatan dan peristiwa

    hukum yang menimpanya, juga mengenai hubungannya dengan orang

    atau badan hukum lain serta hal milik badan hukum tersebut, sepanjang

    berkaitan prinsip-prinsip syari’ah, harus berlaku (tunduk pada) hukum

    Islam dan manakala terjadi pelanggaran atau sengketa harus

    diselesaikan berdasarkan hukum Islam oleh hakim (pengadilan) Islam.

    Bertitik tolak dari asas personalitas keislaman yang diuraikan di

    atas, dapat ditegaskan bahwa semua perkara atau sengketa ekonomi

    syari’ah di bidang perdata adalah merupakan kewenangan absolut

    lingkungan peradilan agama untuk mengadilinya, kecuali yang secara

    tegas ditentukan lain oleh undang-undang.

    Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa jangkauan absolut

    lingkungan peradilan agama di bidang ekonomi syari’ah tersebut

    adalah meliputi semua perkara atau sengketa ekonomi syari’ah di

    bidang perdata.

    b. Kewenangan Meliputi Sengketa Antara Bank Syariah dengan

    Pihak Non-Islam.

    Sebagaimana diketahui oleh banyak pihak bahwa yang

    bertransaksi menjadi mitra usaha atau nasabah bank syariah ternyata

  • 45

    tidak hanya terbatas pihak-pihak (person/badan hukum) yang beragama

    Islam saja, melainkan juga yang Non islam.

    Berkaitan dengan kewenangan absolut lingkungan Peradilan

    Agama, salah satu asas penting yang baru diberlakukan dalam UU

    3/2006 adalah asas penundukan diri terhadap hukum Islam. Asas ini

    sebagaimana tertuang dalam penjelasan pasal 49 UU 3/2006 yang

    menyatakan : “Yang dimaksud dengan antara orang-orang yang

    beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan

    sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam

    mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama sesuai

    ketentuan pasal ini”.

    Dengan demikian kewenangan Pengadilan Agama di semua

    bidang yang disebutkan dalam pasal 49 UU 3/2006 beserta

    penjelasannya tidak hanya terbatas pada sengketa yang terjadi antara

    orang-orang yang beragama islam saja, melainkan juga meliputi

    sengketa yang terjadi antara orang Islam dengan yang Non islam,

    bahkan termasuk juga sengketa yang terjadi antara sesama Non islam

    sekalipun, sepanjang mereka menundukkan diri terhadap hukum Islam

    dalam hal yang menjadi kewenangan lingkungan peradilan agama

    tersebut.

    c. Tidak Menjangkau Klausula Arbitrase

    Adapun hal ketiga yang merupakan batas ruang lingkup

    kewenangan mengadili lingkungan peradilan agama di bidang ekonomi

    syari’ah adalah bahwa kewenangan lingkungan peradilan agama di

    bidang ekonomi syari’ah tidak menjangkau sengketa perjanjian yang

    didalamnya terdapat klausula arbitrase.

  • 46

    Batasan ruang lingkup kewenangan mengadili Pengadilan

    Agama di bidang perbankan syariah tidak menjangkau sengketa

    perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase.

    Pranata arbitrase merupakan pranata penyelesaian sengketa di

    luar badan peradilan Negara yang diberi kewenangan oleh undang-

    undang untuk menyelesaikan perkara atau sengketa yang terjadi antara

    anggota masyarakat atas dasar perjanjian atau kesepakatan yang telah

    mereka buat sebelumnya dalam suatu perjanjian arbitrase.

    Seperti diketahui arbitrase merupakan suatu badan swasta, di

    luar Badan Peradilan Negara yang diberi kewenangan oleh undang-

    undang untuk menyelesaikan perkaraatau sengketa yang terjadi di

    antara anggota masyarakat atas dasar perjanjian atau kesepakatan yang

    telah mereka buat sebelumnya dalam suatu perjanjian arbitrase

    (klausula arbitrase).

    Sudah menjadi suatu kelaziman dalam lalu lintas kegiatan

    bisnis, termasuk dalam hal ini kegiatan usaha yang dilakukan oleh

    ekonomi syari’ah dengan pihak mitra usaha atau nasabahnya, selalu

    didasarkan pada suatu perjanjian atau akad (agreement) tertulis yang

    mereka buat dan mereka sepakati sebelumnya. Untuk mengantisipasi

    jika terjadi suatu perselisihan atau sengketa (disputes) diantara kedua

    belah pihak mengenai perjanjian atau akad tersebut, lazimnya dalam

    setiap perjanjian yang dibuat selalu disertai dengan suatu klausul yang

    berupa persetujuan atau kesepakatan dari kedua belah pihak mengenai

    cara penyelesaian perselisihan yang mungkin timbul dari perjanjian

    tersebut. Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa apabila terjadi

    perselisihan atau sengketa (disputes) diantara mereka mengenai

    perjanjian tersebut akan diselesaikan dengan cara melalui suatu badan

  • 47

    arbitrase. Dengan demikian, atas dasar klausul tersebut mereka sepakat

    untuk tidak membawa perselisihan atau sengketa yang terjadi dari

    perjanjian tersebut ke suatu badan peradilan negara. Klausul semacam

    inilah yang dinamakan dengan klausula arbitrase (arbitration clause),

    atau sering juga disebut dengan perjanjian arbitrase.23

    Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa berdasarkan aturan

    hukum yang berlaku kewenangan absolut seluruh badan-badan

    peradilan negara, termasuk dalam hal ini lingkungan peradilan agama

    tidak dapat menjangkau sengketa atau perkara yang timbul dari

    perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase. Dengan

    demikian, terhadap perkara atau sengketa ekonomi syari’ah yang

    didalamnya terdapat klausula arbitrase, lingkungan peradilan agama

    tidak berwenang memeriksa dan mengadilinya karena kewenangan

    absolut lingkungan peradilan agama tidak menjangkau perkara atau

    sengketa ekonomi syari’ah yang timbul dari perjanjian yang terdapat

    klausula arbitrase. Atas dasar itu terhadap sengketa atau perkara

    ekonomi syari’ah yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase, namun

    tetap diajukan ke pengadilan agama dalam hal ini adalah dengan

    menjatuhkan putusan negatif berupa pernyataan hukum yang

    menyatakan bahwa pengadilan agama secara absolut tidak berwenang

    memeriksa dan mengadili perkara tersebut.

    d. Kewenangan Meliputi Putusan Arbitrase Syariah di Bidang

    Perbankan Syariah.

    Selanjutnya hal keempat yang merupakan batas ruang lingkup

    dan jangkauan kewenangan lingkungan peradilan agama di bidang

    23

    M. Yahya Harahap, Arbitrase, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), 61-62.

  • 48

    ekonomi syari’ah bahwa kewenangan peradilan agama di bidang

    tersebut meliputi putusan arbitrase syari’ah di bidang ekonomi syari’ah.

    Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa apabila perkara

    ekonomi syari’ah yang diajukan ke pengadilan agama ternyata

    merupakan sengketa perjanjian yang didalamnya terdapat klausula

    arbitrase, maka pengadilan agama secara absolut tidak berwenang

    memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Kewenangan untuk

    menyelesaikan perkara semacam itu sepenuhnya termasuk yurisdiksi

    absolut badan arbitrase yang telah ditentukan atau dipilih oleh para

    pihak sebelumnya dalam perjanjian (akad).

    Namun tidak demikian halnya dengan putusan abitrase tersebut,

    khususnya dalam hal ini putusan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional

    (BASYARNAS) di bidang ekonomi syari’ah. Terhadap putusan

    arbitrase syari’ah tersebut jika para pihak ternyata tidak mau

    melaksanakannya secara sukarela, maka sesuai dengan ketentuan

    undang-undang, pengadilan agama yang berwenang untuk

    memerintahkan pelaksanaan putusan tersebut. Karena badan arbitrase

    itu sendiri tidak punya kewenangan untuk menjalankan atau

    mengeksekusi putusannya sendiri.

    Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kewenangan

    Pengadilan Agama dalam bidang perbankan syariah juga meliputi

    putusan arbitrase syariah di bidang perbankan syariah. Kewenangan

    meliputi putusan arbitrase syariah ini tidak sepenuhnya dapat

    dilaksanakan karena ketentuan aturan yang mengaturnya masih perlu

    dilakukan harmonisasi. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 59 ayat

    (1) UU 48/2009 yang menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan

    arbitrase dalam ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah”.

  • 49

    Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut, maka eksekusi atas

    putusan arbitrase syariah menjadi kewenangan pengadilan dalam

    lingkungan peradilan umum. Padahal idealnya, agar suatu peraturan

    perundang-undangan dapat bekerja harmonis, maka kewenangan

    tersebut hendaknya juga menjadi kewenangan pengadilan agama

    bersamaan dengan kewenangan di bidang perbankan syariah.24

    B. Pengadilan Agama Cilegon

    1. Sejarah Pengadilan Agama Cilegon

    Pengadilan Agama Cilegon merupakan Pengadilan Agama

    termuda di wilayah PTA Banten yang dibentuk berdasarkan Surat

    Keputusan Presiden Nomor 62 tahun 2002 tentang Pembentukan

    Pengadilan Agama Cilegon dan Pengadilan Agama lainnya. Keputusan

    Presiden ini ditindaklanjuti dengan keluarnya Keputusan Menteri

    Agama Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2003 tanggal 17 Januari

    2003 tentang Pembentukan Sekretariat Pengadilan Agama Cilegon.

    Berdirinya Pengadilan Agama Cilegon tidak lain merupakan

    konsekuensi dari pemekaran Kabupaten Serang sehingga kemudian

    terbentuk Kota Cilegon berdasarkan Undang-undang Nomor 15 tahun

    1999. Sebelum berdirinya Pengadilan Agama Cilegon, warga

    masyarakat beragama Islam yang berdomisili di Cilegon mengajukan

    perkara mereka ke Pengadilan Agama Serang.

    Berdasarkan Surat Ketua Pengadilan Tinggi Agama Bandung

    Nomor PTA.i/K/05.00/248/2003 tentang peresmian Pengadilan Agama

    Cilegon, Pengadilan Agama Cilegon diresmikan pada hari Rabu

    tanggal 26 Maret 2003 Masehi bertepatan dengan tanggal 22 Muharram

    24

    M. Yahya Harahap, Arbitrase, 85-86.

  • 50

    1424 Hijriyah oleh Bapak Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat

    Islam dan Penyelenggaraan Haji (BPIH), lalu dilanjutkan dengan

    pelantikan Ketua Pengadilan Agama Cilegon oleh Ketua Pengadilan

    Tinggi Agama Bandung. Setelah itu diadakan acara penyerahan secara

    simbolis wilayah hukum Pengadilan Agama Cilegon oleh Ketua

    Pengadilan Agama Serang kepada Ketua Pengadilan Agama Cilegon.

    Pengadilan Agama Cilegon pertama sekali berkantor di rumah warga

    yang terletak di Jl. Raya Anyer Km. 6 Samang raya Citangkil Cilegon.

    Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004

    yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun

    1985 tentang Mahkamah Agung, maka Pengadilan Agama Cilegon

    yang secara struktural sebelumnya berada di bawah Departemen

    Agama, selanjutnya sepenuhnya berada di bawah Mahkamah Agung

    bersama tiga lembaga peradilan lainnya (Peradilan Umum, Peradilan

    Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara).

    Sejak berdirinya, Pengadilan Agama Cilegon telah dipimpin

    oleh Drs. B. Madjudin, Drs. A. Buchaeti (alm.), Drs. H. E. Mudjaidi

    Amin, S.H., M.H. (plt.), Drs. H. E. Sudja?i Sayid, M.Hum. (alm.), Drs.

    Tata Sutayuga, S.H. (plt.), Drs. Waljon Siahaan, S.H., M.H.,Drs.

    Muslim, S.H., M.A. (plt). dan saat ini dipimpin oleh Drs. Faizal Kamil,

    S.H., M.H.

    Pada tanggal 20 November 2006 Pengadilan Agama Cilegon

    memiliki fasilitasi gedung sendiri yang diresmikan oleh Ketua

    Mahkamah Agung RI. Gedung baru ini berdiri di atas tanah seluas

    2000 M2 dan memiliki luas gedung 300 M2 yang terdiri dari 2 lantai.

    Sebagai Pengadilan Agama termuda di lingkungan Pengadilan

    Tinggi Agama Banten Pengadilan Agama Cilegon mengukuhkan

  • 51

    dirinya sebagai salah satu garda depan pelayan keadilan bagi

    masyarakat. Dengan komitmen memberikan pelayanan prima sebagai

    lembaga hukum yang mandiri, profesional, dan penuh dedikasi,

    Pengadilan Agama Cilegon terus berusaha meningkatkan kualitas

    institusi hingga mencapai titik ideal. Prinsip peradilan sederhana, cepat

    dan biaya ringan merupakan dasar proses peradilan yang selalu menjadi

    komitmen Pengadilan Agama Cilegon dalam melayani para pencari

    keadilan. Sebagai pengadilan yang memerima perkara pada tingkat

    pertama, Pengadilan Agama Cilegon saat ini menangani perkara

    dengan jumlah rata-rata sekitar 80 - 90 setiap bulannya, dengan jumlah

    hakim 8 orang, 11 panitera, dan 10 jurusita pengganti.

    Kondisi masyarakat kota Cilegon yang dinamis, menjadi

    tantangan tersendiri bagi Pengadilan Agama Cilegon untuk terus

    meningkatkan kualitas pelayanan demi memberikan yang terbaik bagi

    masyarakat. Cilegon adalah kota industri yang menjadi lokasi bagi

    banyak perusahaan besar dan kecil termasuk salah satu BUMN

    terkemuka nasional, PT Krakatau Steel. Dengan realitas ini, Cilegon

    memiliki masyarakat yang heterogen dari segi suku, agama, ras,

    pekerjaan, dan bahkan kebangsaan. Tidak sedikit warga negara asing

    tinggal di kota ini dan ikut menjadi fenomena permasalahan hukum

    yang dihadapi Pengadilan Agama Cilegon. Di samping itu, keberadaan

    masyarakat asli Cilegon yang bersuku Jawa-Banten juga menjadi

    tantangan khas penegakan hukum yang menuntut kearifan para

    penegak hukum untuk menggali nilai-nilai serta memenuhi rasa

    keadilan masyarakat.25

    25

    http://www.pa-cilegon.go.id/profile. Di Akses pada Tanggal 19 Oktober

    2016, jam 20.00 WIB.

    http://www.pa-cilegon.go.id/profile

  • 52

    2. Wewenang Pengadilan Agama Cilegon.

    Pengadilan Agama Cilegon melaksanakan tugasnya sesuai

    dengan ketentuan pasal 2 jo. Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun

    2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

    tentang peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan

    menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama

    Islam di bidang:26

    a. Perkawinan

    b. Waris

    c. Wasiat

    d. Hibah

    e. Wakaf

    f. Zakat

    g. Infaq

    h. Shadakah

    i. Ekonomi Syariah

    Adapun wilayah hukum Pengadilan Agama Cilegon ada 8

    Kecamatan:

    a. Kota cilegon

    b. Cibeber

    c. Citangkil

    d. Jombang

    e. Purwakarta

    f. Grogol

    g. Ciwandan

    26

    http://pa-cilegon.go.id/fungsi-tugas-dan-wewenang. Di Akses pada

    Tanggal 21 Oktober 2016, jam 22.30 WIB.

    http://pa-cilegon.go.id/fungsi-tugas-dan-wewenang

  • 53

    KETUA

    Drs. Taufik, SH

    WAKIL KETUA

    Drs. Hendi Rustandi, SH

    PANITERA

    H. Dede Supriadi, SH, MH

    PANMUD. GUGATAN

    Drs. Adi Faqih

    STAF PM.

    GUGATAN

    PANMUD. PERMOHONAN

    Dra. Tuti Alawiyah

    STAF PM.

    PERMOHONAN

    Wafihah, SH

    PANMUD. HUKUM

    Ida Zahrotul Hidayah, SH

    STAF PM. HUKUM

    Jahlan, BA

    Anjar Wisnugroho, SH

    SEKRETARIS

    Dian Puspita Rini, SE, MSi

    KASUBBAG

    KEPEGAWAIAN DAN ORTALA

    Citra Lesmana, SH

    STAF KEPEGAWAIN DAN ORTALA

    KASUBBAG

    UMUM DAN

    KEUANGAN

    STAF UMUM DAN KEUANGAN

    RISKI FAJAR

    Untung Setyo Utomo

    KASUBBAG PERENCANAAN,

    TI

    DAN PELAPORAN

    STAF PERENCANAAN,

    TI DAN PELAPORAN

    h. Pulo Merak.

    Adapun Struktur organisasi Pengadilan Agama Cilegon, dapat

    dilihat pada bagan dibawah ini:27

    27

    http://pa-cilegon.go.id/struktur-organisasi. Di akses pada Tanggal 21

    Oktober 2016, jam 22.20 WIB.

    http://pa-cilegon.go.id/struktur-organisasi

  • 54

    HAKIM:

    1. Away Awaluddin, S.Ag, M. Hum

    2. Syakoramilah, S. HI, MH

    3. Rosyid MumtaZ, S.HI

    4. Dian Siti Kusumawardani, S.Ag, MH

    5. Hj. Yayuk Afiyanah, MA

    6. M. Nur, S.Ag

    7. Muhammad Iqbal, S.HI.MA

    8. Hidayah, S.HI

    9. H. Syofa’u Qolbi Jabir, Lc, MA

    10. Alvi Syafiatin, S.Ag

    PANITERA PENGGANTI

    1. Drs. Supiyan, SH

    2. Sunarya

    3. Ramadhona Daulay, S.Ag, SH

    4. Yulinah Tusriati, SH

    5. Faj Amiky, SH

    6. Andini Puspita Lestari, SH. MH

    JURUSITA

    1. Risky Fajar

    2. Untung Setyo Utomo

    JURUSITA PENGGANTI

    1. Wadihah, S.HI

    2. Hikmatulloh, S.HI

    3. Jahlan, BA