bab II gambaran pengetahuan remaja putri ttg kekerasan dalam pacaran
-
Upload
rere-tri-nurshinta -
Category
Documents
-
view
341 -
download
9
description
Transcript of bab II gambaran pengetahuan remaja putri ttg kekerasan dalam pacaran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Pengetahuan
2.1.1.1 Pengertian
Menurut Sarwono (2004), tingkat pengetahuan itu lebih bersifat
pengenalan terhadap sesuatu benda atau hal secara obyektif. Tingkat
pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior).
Menurut Gazalba dalam Bakhtiar (2006), pengetahuan adalah apa
yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah
hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan itu
adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan
merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.
2.1.1.2 Tingkatan Pengetahuan di Dalam Domain Kognitif
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai
enam tingkatan:
1). Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini
adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari
seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh
sebab itutahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
Sedangkan kata kerja yang mengukur tentang seseorang tahu tentang apa
yang dipelajari adalah: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,
menyatakan dan sebagainya.
2). Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah
paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajarinya.
3). Aplikasi (Application)
Aplikasi artinya sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi
di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hokum-hokum, rumus,
metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi lainnya.
Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam penghitungan hasil
penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus, pemecahan
masalah (problem solving) dalam pemecahan masalah kesehatan dari
kasus yang diberikan.
3). Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen – komponen, tetapi masih di dalam
suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama
lain. Kemampuan analisis ini dilihat dari penggunaan kata kerja, dapat
menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan
sebagainya.
4). Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru. Atau kemampuan untuk menyusun formulasi yang baru dari
formulasi-formulasi yang ada. Misalnya: dapat menyusun,
merencanakan, meringkas, menyesuaikan terhadap suatu teori atau
rumusan-rumusan yang telah ada.
5). Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek berdasarkan
criteria yang ditentukan. Penilaian- penilaian berdasarkan kriteria yang
ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria – kriteria yang telah ada.
2.1.1.3 Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Tingkat pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh :
1). Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian
dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah serta berlangsung seumur
hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi
pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima
informasi.
Menurut Notoatmojo, pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses
pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran
pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Menurut Wiet Hari, dalam
Notoatmojo menyebutkan bahwa tingkat pendidikan turut pula
menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami
pengetahuan yang mereka peroleh pada umumnya, semakin tinggi
pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya. Menurut
Azhar, pengetahuan akan menimbulkan sikap positif maupun negatif
terhadap suatu objek sikap.
2). Pengalaman
Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan
memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional serta
pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan
kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari
keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah
nyata dalam bidang keperawatan.
Pengalaman merupakan guru yang terbaik, pepatah tersebut bisa
diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau
pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh suatu
kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun dapan
dijadikan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini
dilakukan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh
dalam memecahkan persoalan yang dihadapi masa lalu.
3). Usia
Semakin tua semakin bijak, semakin banyak informasi yang
dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah
pengetahuannya. Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada
orang yang sudah tua karena mengalami kemunduran fisik dan mental
(Hanna, 2009).
Menurut Singgih D. Gunarso, makin tua umur seseorang maka
proses-proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi
pada umur tertentu bertambahnya proses perkembangan ini tidak secepat
ketika berusia belasan tahun. Selain itu Abu Ahmadi juga
mengemukakan bahwa memori atau daya ingat seseorang itu salah
satunya dipengaruhi oleh umur. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa
dengan bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pada
bertambahnya pengetahuan yang diperoleh. Tetapi pada umur-umur
tertentu atau menjelang usia lanjut kemampuan penerimaan atau daya
ingat suatu pengetahuan akan berkurang.
4). Informasi
Orang yang memiliki sumber informasi yang lebih banyak akan
memiliki pengetahuan yang lebih luas pula. Salah satu sumber informasi
yang berperan penting bagi pengetahuan adalah media massa.
Pengetahuan masyarakat khususnya tentang kesehatan bias didapat dari
beberapa sumber antara lain media cetak, tulis, elektronik, pendidikan
sekolah, penyuluhan (Oktarina, 2009).
Menurut Wiet Hari dalam Notoatmojo, informasi akan
mememberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang. Meskipun
seseorang mempunyai pendidikan yang rendah tetapi ia mendapatkan
informasi yang baik dari berbagai media misalnya televise, radio atau
surat kabar. Maka pengetahuannya akan dapat lebih baik.
5). Lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu factor yang mempengaruhi
pengetahuan seseorang. Lingkungan memberikan pengaruh sosial bagi
seseorang di mana dapat mempelajari hal-hal yang buruk tergantung
pada sifat kelompoknya. Dalam lingkungan seseorang akan
memeperoleh pengalaman yang berpengaruh pada caara berfikir
seseorang.
Dalam hal ini faktor keturunan dan bagaimana orang tua mendidik
sejak kecil mendasari pengetahuan yang dimiliki oleh remaja dalam
berfikir selama jenjang hidupnya.
6). Sosial Ekonomi
Tingkat sosial ekonomi yang rendah menyebabkan keterbatasan
biaya untuk menempuh pendidikan, sehingga pengetahuannya pun
rendah (Notoatmodjo, 2007).
7). Intelegensi
Intelegensi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk belajar dan
berfikir abstrak guna menyesuaikan diri secara mental dan situasi yang
baru. Intelegensi merupakan salah satu factor yang mempengaruhi hasil
dari proses belajar. Intelegensi bagi seseorang merupakan salah satu
modal untuk berfikir dan mengelola informasi secara terarah sehingga
mampu menguasai lingkungan. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa perbedaan intelegensi seseorang akan berpengaruh terhadap
tingkat pengetahuan.
2.1.1.4 Pengukuran Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara
atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari
subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin
kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat – tingkat
tersebut. (Notoatmodjo, 2007)
2.1.2 Kesehatan Reproduksi
2.1.2.1 Pengertian
Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan fisik, mental dan
sosial secara utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan
dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi.
(Departemen Kesehatan RI dan WHO, 2000). Kesehatan reproduksi
adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak
semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang
berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya
(Widyastuti, 2009).
2.1.2.2 Tujuan Kesehatan Reproduksi
1). Tujuan Umum
Meningkatkan kemandirian dalam mengatur fungsi dan proses
reproduksinya, termasuk kehidupan seksualitasnya sehingga hak-hak
reproduksi dapat terpenuhi.
2). Tujuan Khusus
a. Meningkatkan kemandirian wanita dalam memutuskan peran dan
fungsi reproduksinya.
b. Meningkatkan hak dan tanggung jawab sosial wanita dalam
menentukan kapan hamil, jumlah dan jarak antara kelahiran.
c. Meningkatkan peran dan tanggung jawab sosial laki-laki terhadap
akibat dari perilakuu seksnya.
d. Dukungan yang menunjang wanita untuk membuat keputusan yang
berkaitan dengan proses reproduksinya.
2.1.2.3 Sasaran Kesehatan Reproduksi
1. Remaja (Pubertas)
a. Memberikan penjelasan masalah kesehatan reproduksi yang
diawali dengan pemberian pendidikan seks.
b. Membantu remaja dalam menghadapi menarche secara fisik,
psikis, sosial dan hygiene sanitasinya.
2. Wanita
a. Wanita Usia Subur (WUS)
- Penurunan 33% angka prevalensi anemia pada wanita (usia 15-
49 tahun).
- Peningkatan jumlah wanita yang bebas dari kecacatan/gangguan
sepanjang hidupnya sebesar 15% diseluruh lapisan masyarakat.
b. Pasangan Usia Subur (PUS)
- Terpenuhinya kebutuhan nutrisi dengan baik
- Terpenuhinya kebutuhan ber-KB
- Penurunan angka kematian ibu hingga 50%
- Penurunan proporsi BBLR menjadi < 10%
- Pemberantasan tetanus neonatorum
- Semua individu dan pasangan mendapatkan akses informasi dan
pelayanan pencegahan kehamilan yang terlalu dini, terlalu dekat
jaraknya, terlalu tua, dan telalu banyak.
3. Lansia
a. Proporsi yang memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk
pemeriksaan dan pengobatan penyakit menular seksual minimal 70%
b. Pemberian makanan yang banyak mengandung zat kalsium untuk
mencegah osteoporosis
c. Memberi persiapan secara benar dan pemikiran yang positif dalam
menyongsong masa menopause. (Romauli, 2011).
2.1.2.4 Pengertian Kesehatan Reproduksi Remaja
Kesehatan reproduksi remaja didefinisikan sebagai keadaan
sejahtera fisik dan psikis seorang remaja, termasuk keadaan terbebas dari
kehamilan yang tak dikehendaki, aborsi yang tidak aman, penyakit
menular seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS, serta semua bentuk
kekerasan dan pemaksaan seksual (FCI, 2000).
Menurut Notoadmodjo (2007), terdapat enam faktor yang
mempengaruhi status kesehatan reproduksi remaja. Faktor-faktor
tersebut adalah faktor sosial ekonomi dan demografi, budaya dan
lingkungan, psikologis, biologis, teknologi dan institusi pendidikan.
Faktor yang pertama adalah faktor sosial-ekonomi dan
demografi. Faktor ini berhubungan dengan kemiskinan, tingkat
pendidikan yang rendah dan ketidaktahuan mengenai perkembangan
seksual dan proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil.
Faktor yang kedua adalah factor budaya dan lingkungan, antara lain
adalah praktik tradisional yang berdampak buruk terhadap kesehatan
reproduksi, keyakinan banyak anak banyak rezeki, dan informasi yang
membingungkan anak dan remaja mengenai fungsi dan proses
reproduksi. Faktor yang ketiga adalah faktor psikologis. Keretakan orang
tua akan memberikan dampak pada kehidupan remaja, depresi yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharganya
wanita dimata pria yang membeli kebebasan dengan materi. Faktor yang
keempat adalah faktor biologis, antara lain cacat sejak lahir, cacat pada
saluran reproduksi. Faktor yang kelima adalah faktor teknologi. Semakin
majunya teknologi dan membaiknya sarana komunikasi mengakibatkan
membanjirnya arus informasi dari luar yang sulit sekali diseleksi. Faktor
yang keenam adalah faktor institusi pendidikan langsung, yaitu orang tua
dan guru sekolah kurang siap untuk memberikan informasi yang benar
dan tepat waktu. Berbagai kendala diantaranya adalah ketidaktahuan dan
anggapan di sebagian besar masyarakat bahwa pendidikan seks adalah
tabu (Sugiharta, 2004).
2.1.3 Remaja
2.1.3.1 Pengertian
Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal
dari bahasa Latin adolescere yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk
mencapai kematangan (Ali, 2009). Remaja adalah anak usia 10-24 tahun
yang merupakan usia antara masa kanak-kanak dan masa dewasa dan
sebagai titik awal proses reproduksi, sehingga perlu dipersiapkan sejak
dini (Romauli, 2009). Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai
oleh adanya perubahan fisik, emosi dan psikis.
Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun.
Menurut Depkes RI adalah antara 10 sampai 19 tahun dan belum kawin.
Menurut BKKBN adalah 10 sampai 19 tahun (Widyastuti, 2009). Masa
remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa
dewasa, yang dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual yaitu
antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu menjelang
masa dewasa muda. Pada tahun 1974, WHO memberikan definisi
tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut
dikemukakan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis dan sosio ekonomi.
Berdasarkan kematangan psikoseksual dan seksual, remaja akan
melewati tahapan remaja awal ( 11-13 tahun ), remaja pertengahan ( 14-
16 tahun ), dan remaja lanjut ( 17-20 tahun ). Pada tahap remaja lanjut
ini, remaja sudah mengalami perkembangan seperti orang dewasa.
Mereka mempunyai perilaku seksual yang sudah jelas dan mereka mulai
mengembangkannya dalam bentuk pacaran. (Soetjiningsih, 2004).
Remaja adalah suatu masa ketika:
1) Individu yang berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan
tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan
seksual
2) Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi
dari kanak-kanak menjadi dewasa
3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh
kepada keadaan yang relatif mandiri (Sarwono, 2006).
2.1.3.2 Perubahan Fisik pada Remaja
Menurut Sarwono (2006), urutan perubahan-perubahan fisik sebagai
berikut :
1) Pertumbuhan tulang-tulang (badan menjadi tinggi, anggota-anggota
badan menjadi panjang). Pinggul pun menjadi berkembang, membesar
dan membulat. Hal ini sebagai akibat membesarnya tulang pinggul dan
berkembangnya lemak di bawah kulit (Widyastuti, 2009).
2) Pertumbuhan payudara, seiring pinggul membesar, maka payudara
juga membesar dan puting susu menonjol. Hal ini terjadi secara
harmonis sesuai pula dengan berkembang dan makin besarnya kelenjar
susu sehingga payudara menjadi lebih besar dan lebih bulat (Widyastuti,
2009).
3) Tumbuh bulu yang halus dan lurus berwarna gelap di kemaluan.
Rambut kemaluan yang tumbuh ini terjadi setelah pinggul dan payudara
mulai berkembang (Widyastuti, 2009).
4) Mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimal setiap
tahunnya.
5) Bulu kemaluan menjadi keriting
6) Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai
pelepasan (deskuamasi) endometrium (Wiknjosastro, 2006).
7) Tumbuh bulu-bulu ketiak
2.1.3.3 Perubahan Psikologi pada Remaja
Tertarik pada lawan jenis, cemas, mudah sedih, lebih perasa,
menarik diri, pemalu dan pemarah (Romauli, 2009). Sensitif atau peka
misalnya mudah menangis, cemas, frustasi dan sebaliknya bisa tertawa
tanpa alasan yang jelas. Utamanya sering terjadi pada remaja puteri,
lebih lebih sebelum menstruasi (Widyastuti, 2009).
2.1.4 Pacaran
Berpacaran merupakan wujud dari interaksi sosial yang begitu
kuat sebagai akibat dari pergaulannya dengan teman sebaya maupun
masyarakat luas. Adanya interaksi sosial tersebut dapat memunculkan
informasi global yang dapat mengancam terwujudnya remaja yang sehat
dan berkualitas (PKBI, 1999).
Pacaran dapat diartikan sebagai hubungan antara dua individu
yang membuat kesepakatan bersama yang terdiri dari komitmen,
intimacy, dan passion, hubungan pacaran merupakan dasar dari
perjalanan menuju jenjang pernikahan (Stenberg,2003). Tujuan dari
pacaran itu sendiri adalah untuk menemukan dan mencari pasangan yang
benar-benar tepat untuk dirinya dan kelak akan menjadi pasangan
hidupnya (Dusek,2001).
Satu hal yang sangat penting dari kehidupan emosional para remaja
adalah kemampuannya untuk memberikan kasih sayagnya pada orang
lain, di samping kemampuannya untuk menerima kasih sayang tersebut
dari orang lain. Hal yang dramatis terjadi apabila mereka jatuh cinta
terhadap lawan jenisnya dan mereka yakin bahwa itu adalah “cinta
sejati”. (Hamalik, 2005)
Sebagian besar remaja dipastikan akan mengalami fase dimana
mereka akan membina hubungan cinta dengan lawan jenisnya. Beberapa
orang bahkan akan mengalami hubungan pacaran lebih dari satu kali.
Berkencan bagi remaja ialah suatu konteks di mana harapan-
harapan peran yang berkaitan dengan gender meningkat. Laki-laki
merasakan untuk tampil secara “maskulin” dan perempuan merasakan
tekanan untuk tampil secara “feminin”. Kaum laki-laki mengikuti suatu
skenario berkencan yang proaktif, kaum perempuan mengikuti suatu
skenario reaktif. Skenario proaktif laki-laki mencakup; memprakarsai
kencan (meminta dan merencanakannya), mengendalikan bidang umum
(mengendarai dan membuka pintu), dan memprakarsai interaksi seksual
(melakukan kontak fisik, merayu, dan mencium). Skenario reaktif
perempuan berfokus pada bidang pribadi (memperhatikan penampilan,
menikmati kencan), berpartisipasi dalam struktur kencan yang diberikan
oleh kaum laki-laki (dijemput, dibukakan pintu) dan menanggapi
gerakan seksual kaum laki-laki. Perbedaan-perbedaan gender ini member
kaum laki-laki kekuasaan yang lebih besar pada suatu relasi. (Santrock,
2002).
2.1.5 Kekerasan Dalam Pacaran
2.1.5.1 Pengertian
Menurut Iyus Yosep ( 2009 ) perilaku kekerasan atau agresi
adalah sikap atau perilaku kasar atau kata-kata yang menggambarkan
perilaku amuk, permusuhan dan potensi untuk merusak secara fisik.
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik
terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan ( Nita Fitria, 2009 ).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secra fisik maupun psikologis.
(Sujono Riyadi dan Teguh Purwanto, 2009).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa perilaku kekerasan adalah suatu tindakan kekerasan atau kata-
kata kasar yang menggambarkan perilaku amuk, permusuhan dan
potensi untuk merusak secara fisik maupun psikologis yang dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Kekerasan
dalam pacaran adalah segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur
pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik maupun psikologis
yang terjadi dalam hubungan percintaan (Dianawati, 2010). Kekerasan
dalam pacaran (KDP) merupakan salah satu kekerasan yang terjadi saat
salah satu pihak merasa tersinggung, tersakiti, ataupun terpaksa
melakukan sesuatu ketika berada dalam hubungan berpacaran.
Kekerasan ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kekerasan dalam
rumah tangga, yang membedakan hanya karena belum terikat dalam
status perkawinan. (Fakih, 2004).
2.1.5.2 Bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran
1). Kekerasan fisik, berupa tindakan seperti pemukulan, penyiksaan dan
lain sebagainya yang menimbulkan deraan fisik bagi perempuan yang
menjadi korban, contohnya memukul, menampar, mencekik,
menendang, dan sebagainya.
2). Kekerasan psikologis, yaitu suatu tindakan penyiksaan secara
verbalseperti menghina, berteriak, menyumpah, mengancam,
melecehkan, berkata kasar dan kotor yang mengakibatkan menurunnya
rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk
bertindak dan tidak berdaya.
3). Kekerasan seksual, tindakan agresi seksual seperti melakukan
tindakan yang mengarah ke ajakan atau desakan seksual seperti
menyentuh, mencium, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan
korban dan lain sebagainya.
4). Kekerasan finansial, seperti mengambil barang korban, memaksa
pemenuhan kebutuhan finansial dan sebagainya.
5.1.3.3 Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Perempuan
Sistem patriarki yang kemudian mendasari pola-pola hubungan
gender dalam masyarakat mengontrol bidang-bidang kehidupan
perempuan. Nilai-nilai dan norma yang mendefinisikan perempuan lebih
rendah dari laki-laki, menyebabkan laki-laki mempunyai kontrol
terhadap perempuan dapat ditemukan di setiap lingkungan pergaulan
yaitu dalam keluarga, pergaulan sosial, agama, hukum, pendidikan,
pekerjaan dan lain-lain. Sehingga perempuan sering tidak dapat
menyebutkan posisi yang tidak menguntungkan dari dirinya terhadap
laki-laki, karena sudah menjadi ideology dalam hidupnya (Sulaeman,
2011).
Salah satu hal yang menjadi isu dalam perspektif jender yakni
mengenai kekerasan. Kekerasan adalah penyerangan ( invasi ) terhadap
fisik maupun integritas mental psikologis laki-laki dan perempuan yang
disebabkan oleh anggapan jender atau acap kali disebut dengan gender
related violence, kekerasan terjadi baik dalam ranah publik
(pemerkosaan dan pelecehan seksual ) maupun dalam kehidupan pribadi
seperti hubungan pacaran. Sebagian besar hubungan cinta remaja
rmemiliki titik lemah di dalam masalah keseimbangan, kesetaraan dalam
berpendapat, bersikap dan berbuat. Ketika dominasi terjadi tanpa ada
perlawanan, cepat atau lambat akan muncul kondisi yang disebut dating
violence, kekerasan dan pelanggaran etika fisik maupun psikis dalam
hubungan pacaran. (Sony Set, 2009).
2.2 Kerangka Pemikiran
Banyak orang yang peduli tentang kekerasan yang terjadi di dalam
rumah tangga namun masih sedikit sekali yang peduli pada kekerasan yang
terjadi pada remaja terutama kekerasan yang terjadi dalam hubungan
pacaran, hal ini didasarkan pada anggapan masyarakat bahwa dalam
berpacaran tidaklah mungkin terjadi kekerasan karena pada masa ini hanya
diwarnai oleh hal-hal yang indah dimana setiap hari hanya merasakan kata-
kata manis dan tingkah laku yang dilakukan oleh sang pacar. Hal tersebut
dapat dipahami sebagai salah satu bentuk ketidaktahuan akibat kurangnya
informasi.
Kekerasan dalam berpacaran menurut Harry Kurniawan adalah
segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur pemaksaan, tekanan,
perusakan dan pelecehan fisik maupun psikologis yang terjadi dalam
hubungan pacaran (Idham, 2007). Sasaran kekerasan fisik misalnya
pemukulan terhadap tubuh, belaian atau jamahan terhadap tubuh yang tidak
dikehendaki dan memaksa atau merayu untuk berhubungan seksual
sedangkan kekerasan psikologis berkaitan dengan kebohongan, ancaman,
tekanan dan cacian baik lewat perkataan maupun perbuatan yang berakibat
pada minimalisasi kemampuan mental dan otak.
Kekerasan dalam berpacaran tidak hanya dialami oleh perempuan
saja tetapi juga dialami oleh laki-laki namun dalam sepengetahuan
masyarakat perempuan lebih banyak menjadi korban kekerasan
dibandingkan dengan laki-laki, hal ini didasarkan karena adanya
ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang umumnya
dianut oleh masyarakat luas.
Penguasaan tersebut pun terjadi dalam hubungan pacaran dimana
seseorang yang sudah mempunyai pacar biasanya akan menganggap bahwa
pacarnya tersebut hanya miliknya sehingga tidak ada seorang pun yang bisa
mendekatinya, perasaan memiliki yang berlebihan tersebut kerap kali
menimbulkan kekerasan. Hal ini senada dengan pendapat Fromm (2005)
yang mengemukakan bahwa cinta yang ada selama ini selalu berbalut erat
dengan kuasa dan pengaturan yang mengaburkan definisi dari cinta itu
sendiri, cinta bukan lagi sebuah pengorbanan tetapi tuntutan yang apabila
tidak dipenuhi maka akan berujung pada kekerasan.
Pada masyarakat sekarang cinta didasarkan pada modus memiliki
atau menjadi. Seseorang yang mencintai atas dasar ingin memiliki pada
mulanya akan mati-matian menutupi segala keburukan dan kekurangan
yang ada dalam dirinya, namun setelah sang pujaan hati dimiliki sedikit
demi sedikit hal-hal yang negatif yang ada dalam dirinya akan terungkap.
Di sisi lain, cinta dengan modus memiliki hanya akan memunculkan
kesewenang-wenangan, kekuasaan, pemaksaan dan kediktatoran.