BAB II EKSPLORASI ISU BISNIS - Perpustakaan Digital ITB · pendukung dalam penetapan marketing...
Transcript of BAB II EKSPLORASI ISU BISNIS - Perpustakaan Digital ITB · pendukung dalam penetapan marketing...
17
BAB II EKSPLORASI ISU BISNIS
2.1 Conceptual Framework
Dalam tesis ini, dasar pemikiran awal berawal dari semakin ketatnya
persaingan di bisnis ritel modern, dimana persaingannya sudah bersifat
antarformat‐ritel tradisional dan modern. Adanya persaingan yang sangat
ketat ini, telah menyebabkan terjadinya perang program marketing antar
sesama ritel modern, dimana yang paling populer yang terjadi saat ini
adalah perang harga untuk memenangkan persepsi ’image murah’ dari
konsumen.
Berbicara perihal program marketing, maka sebelum dilakukannya
penyusunan program marketing tersebut, sebuah perusahaan harus terlebih
dahulu mengetahui target market yang dituju, sementara sebelum
menentukan target market tersebut, perusahaan harus terlebih dahulu
melakukan segmentasi pasar sehingga program marketing yang dilakukan
dapat tepat sasaran.
Pola pemikiran inilah yang mendasari penulisan tesis ini, yaitu adanya
kesadaran bahwa dalam pasar yang bersaing sempurna di dalam bisnis ritel
seperti saat ini, diperlukan kejelian perusahaan untuk menetapkan
segmentasi pasarnya, sebab sangat disadari bahwa segmentasi berdasarkan
satu kriteria saja tidak lagi mencukupi. Segmentasi harus dilakukan secara
komprehensif sehingga dapat mencakup berbagai faktor yang diperlukan
untuk mengambil keputusan marketing selanjutnya guna mencapai marketing
objectives.
18
Peta pemikiran konseptual terhadap penetapan segmentasi yang
komprehensif dan simultan yang kemudian dapat digunakan sebagai faktor
pendukung dalam penetapan marketing program untuk mencapai marketing
objectives bagi unit ritel IDMR Bandung dapat dilihat pada gambar di bawah
ini:
Gambar 2.1 Skema Peta Pemikiran Konseptual
Adapun langkah‐langkah penetapan variabel‐variabel sistem segmentasi
hingga modelling sistem segmentasi dinamik, menurut Priyantono Rudito
dapat dilihat dalam Gambar 2.2.
19
Gambar 2.2 Sistem Segmentasi Dinamik Sumber : Priyantono Rudito, 2003
2.2 Analisis Situasi Bisnis Pemasaran Ritel
2.2.1 Ritel secara Umum
Menurut Hendry Ma’ruf dalam bukunya Pemasaran Ritel, pemasaran
berasal dari kata pasar yang memiliki beberapa arti, yaitu:
Pasar dalam arti tempat, yaitu tempat bertemunya para penjual dan pembeli ..., pasar dalam arti interaksi permintaan dan penawaran ..., pasar dalam arti sekelompok anggota masyarakat yang memiliki kebutuhan dan daya beli ..., pasar dalam arti untuk menunjukkan total nilai penjualan suatu barang dan jasa. Pemasaran ritel lebih banyak mengacu pada pengertian ketiga dan beberapa penggunaannya akan mengacu pada pengertian pertama dan kedua. (2006:4‐5)
Dalam bab 1 Retailing Management, Michael Levy dan Barton A. Weitz
menyatakan definisi retailing adalah sebagai berikut:
“Retailing is the set of business activities that adds value to the products and services sold to consumers for their personal or family use. Often people think of retailing only as the sale of products in stores. But retailing also involves the sale of service …” (2004:6)
20
Dari pendapat‐pendapat ini dapat disimpulkan bahwa penjualan eceran
adalah proses kegiatan bisnis yang menjual barang, baik baru maupun bekas
kepada konsumen akhir atau rumah tangga yang digunakan untuk
keperluan sendiri dan bukan bisnis. Penjualan eceran tidak hanya
menyangkut barang di toko‐toko, tetapi meliputi penjualan jasa, termasuk di
dalamnya jasa‐jasa yang menyertai penjualan barang (complementary services),
misalnya layanan pesan‐antar (delivery services), jaminan (guarantee warranty)
dan fasilitas kredit (pengunaan kartu kredit) dan atau leasing.
2.2.1.1 Tipe Bisnis Ritel
Menurut Asep Sujana dalam bukunya Manajemen Ritel Modern, tipe bisnis
ritel dapat dibagi berdasarkan:
1. Ownership (kepemilikan bisnis) a. Single Store retailer: merupakan tipe bisnis ritel yang paling banyak jumlahnya dengan ukuran toko umumnya di bawah 100 m2, mulai dari kios atau toko di pasar tradisional sampai dengan minimarket modern, dengan kepemilikan secara individual. b. Rantai toko ritel: adalah toko ritel dengan banyak (lebih dari satu) cabang dan biasanya dimiliki oleh suatu institusi bisnis bukan perorangan, melainkan dalam bentuk perseroan (company owned retail chain). Bentuknya mulai dari rantai toko minimarket sampai dengan mega hyperstore. c. Toko Waralaba (Franchise stores): adalah toko ritel yang dibangun berdasarkan kontrak kerja waralaba (bagi hasil) antara terwaralaba (franchisee) yakni pengusaha investor perseorangan (independent business person) dengan pewaralaba (franchisor) yang merupakan pemegang lisensi bendera/nama toko, sponsor, dan pengelola usaha). Bentuknya sangat beragam mulai dari fast food restaurant, bengkel, toko optikal sampai supermarket. 2. Merchandise Category (kategori barang dagangan) a. Specialty Store (toko khas) : merupakan toko ritel yang menjual satu jenis kategori barang atau suatu rentang kategori barang (merchandise category) yang relatif sempit/sedikit. Contohnya, apotik (toko obat), optic‐store, gallery/art shop (pasar seni), jewelry store (toko perhiasan), toko buku, dan sebagainya b. Grocery store (toko serba ada) : merupakan toko ritel yang menjual sebagian besar kategori barangnya adalah barang groceries (kebutuhan sehari‐hari; fresh food, perishable, dry‐food, beverages, cleanings, cosmetics serta household item). Umumnya toko ritel modern yang sudah mapan adalah berbasis sebagai grocery retailers, dimana yang mereka jual lebih dari 60% dari assortment (bauran produk) adalah merupakan kebutuhan pokok (basic needs) harian pribadi, keluarga atau rumah tangga. Contohnya: Carrefour, Makro, Hero, Lion Superindo dll c. Department Store: sebagian besar dari assortments yang dijual adalah merupakan non‐basic items (bukan kebutuhan pokok), fashionables, dan branded items (bermerek) dengan lebih dari 80% pola consignment (konsinyasi). Item‐item grocery, kalaupun
21
dijual, hanya sebagai pelengkap (complementary). Contohnya: Ramayana, Borobudur, Sogo Dept. Store, Matahari, Galeria, dan Pasaraya. b. Hyperstore: menjual barang‐barang dalam rentang kategori barang yang sangat luas. Menjual hampir semua jenis barang kebutuhan setiap lapisan konsumen, mulai dari barang grocery, household, textile, appliance, optical, dan lainnya dengan konsep one‐stop‐shopping (everything‐in‐one roof). Paling tidak dibutuhkan sedikitnya 10.000 m2 luasan sales area. 3. Luasan sales area (area penjualan) a. Small Store/Kios: sebuah toko kecil yang umumnya merupakan toko ritel tradisional, dioperasikan sebagai usaha kecil dengan sales area kurang dari 100m2. b. Minimarket: dioperasikan dengan luasan sales area antara 100 sampai dengan 1.000 m2 c. Supermarket: dioperasikan dengan luasan sales area antara 1.000 sampai dengan 5.000 m2 d. Hypermarket dioperasikan dengan luasan sales area lebih dari 5.000 m2 4. Non Store retailer (retailer tanpa toko) a. Multi Level Marketing (MLM): adalah suatu model penjualan barang secara langsung (direct selling) dengan system komisi penjualan berperingkat berdasarkan status keanggotaan dalam distribution lines (jalur atau peringkat distribusi) b. Mail & Phone Order Retailer: toko pesan antar, yakni perusahaan yang melakukan penjualan berdasarkan pesanan melalui surat dan atau telepon. Pada prinsipnya perusahaan ini mengkompensasikan overhead cost pengoperasian sebuah toko (dalam arti sebenarnya: secara fisik) dengan pengoperasian delivery services. Perusahaan ini sangat mengandalkan sifat kekhasan atau spesifikasi produk dan penerapan kebijakan above the line promotion yang gencar. c. Internet/On line Store (e‐commerce): perkembangan teknologi informasi khususnya internet, telah memungkinkan berkembangnya ‘toko ritel’ dunia maya. Adopsi teknologi internet ke dalam bentuk online retailing begitu memukau sehingga banyak yang gagal karena over estimate atau over self‐confidence, walaupun ada pula yang berhasil seperti Amazon.com dan WalMart.com. (2005:17‐21)
Dalam tesis ini, bisnis ritel dibatasi pada kegiatan penjualan barang
kebutuhan sehari‐hari yang dilakukan oleh gerai modern, dimana gerai
modern yang dimaksud mencakup hypermarket, supermarket, dan
minimarket. Dalam alur proses distribusi barang, bisnis ritel merupakan
tahap akhir proses distribusi dengan dilakukannya penjualan pada
konsumen akhir. Retailer adalah perantara antara principal atau distributor
utama dengan konsumen akhir.
22
Gambar 2.3 Fungsi Ritel dalam Distribusi Sumber : Overview of Retail Management (WPA ReSULTANT, 2002)
(Sujana, 2005:14)
2.2.1.2 Pertumbuhan dan Potensi Pasar Ritel Indonesia
Menurut Henry Ma’ruf, pertumbuhan pasar ritel dipengaruhi oleh beberapa
hal, antara lain:
1. Perkembangan demografi a. Pertambahan jumlah penduduk akan menyebabkan peningkatan kebutuhan akan barang dan jasa b. Komposisi penduduk menurut usia yang berubah, misalnya : karena harapan hidup yang meningkat, membuat ragam produk pun mengikuti, baik dalam jumlah maupun jenis 2. Pertumbuhan ekonomi secara umum dan sektor‐sektor ekonomi secara khusus Pertumbuhan ekonomi yang meningkat (misalnya dari 4.5% menjadi 6%) membuka lapangan kerja baru yang cukup besar. Sementara banyaknya karyawan baru akan menimbulkan munculnya permintaan‐permintaan baru akan barang dan jasa 3. Perkembangan bidang sosial budaya masyarakat a. Masyarakat yang semakin aktif dalam kehidupan sosial akan meningkatkan aktifitas pengadaan barang dan jasa guna memfasilitasi kegiatan mereka b. Budaya yang dipengaruhi oleh faktor tertentu (misalnya agama), akan menimbulkan permintaan barang dan jasa yang berkenaan dengan kegiatan budaya dan agama 4. Kemajuan teknologi Kemajuan teknologi dapat memberi kesempatan kepada produsen untuk menawarkan product baru yang lebih memikat dengan lebih cepat. Product baru akan menciptakan permintaan baru, sementara penurunan harga product model yang lama/kalah bersaing akan meningkatkan permintaan
23
5. Globalisasi : merupakan salah satu hal yang mendorong terciptanya atau meningkatnya permintaan barang dan jasa. Salah satu hal yang dipengaruhi oleh globalisasi adalah gaya hidup. 6. Perkembangan infrastuktur Infrastruktur yang berkembang akan mempermudah proses pemenuhan permintaan konsumen oleh retailer 7. Perubahan/perkembangan hukum dan regulasi: akan dapat menghambat ataupun mendorong tumbuhnya bisnis ritel. Contoh yang menghambat adalah adanya peraturan yang menutup daerah‐daerah tertentu untuk penetrasi bisnis ritel, sementara yang mendukung misalnya peraturan besaran subsidi pajak yang dirasa meringankan. (2006:23‐25)
Potensi pasar Indonesia sangat besar. Menurut Handaka Santosa, Ketua
Umum Aprindo, bisnis ritel menyumbang hampir 15% dari Produk
Domestik Bruto. Saat ini ini PDB Indonesia sekitar 3000‐4000 trilliun.
Sehingga omzet ritel Indonesia mencapai Rp. 500 triliun. (Kontan, 2007)
Pertumbuhan ritel modern di Indonesia dirasakan cukup tinggi, dimana
pertumbuhan terbesar berasal dari pertumbuhan hypermarket. Menurut
Cahyono, berdasarkan penelitian AC Nielsen pada Oktober 2005,
pertumbuhan pasar tradisional telah mencapai minus delapan persen,
sementara pertumbuhan hypermarket mencapai 31,4 persen (2006:1)
Pertumbuhan hypermarket ini ternyata juga memberikan pengaruh yang
cukup besar terhadap pertumbuhan supermarket (khususnya yang lokasinya
berdekatan dengan hypermarket). “Pertumbuhan gerai supermarket setiap
tahunnya hanya sekitar 10% sementara pertumbuhan hypermarket sekitar
30% setiap tahunnya” (Idris dan Ika, 2007:3)
Menurut Tutum Rahanta, Sekretaris Jenderal Aprindo (Asosiasi Pengusaha
Ritel Indonesia, surutnya bisnis supermarket di kota besar seperti Jakarta,
merupakan hal yang lumrah:
“Sebab trend bisnis ritel dunia mengarah seperti yang terjadi di negara maju, yakni hanya menyisakan hypermarket dan minimarket saja. Agar bisa bertahan, pelaku
24
bisnis supermarket mau tidak mau harus pergi ke daerah atau kota kecil. Pasalnya, hanya di daerahlah supermarket bisa tumbuh aman, tanpa ancaman hipermarket, karena bagi kota kecil supermarket masih merupakan kemewahan” (Idris dan Ika, 2007:3)
Menurut Danny Konjongian, Direktur PT. Matahari Putra Prima Tbk,
perkembangan hypermarket dan minimarket lebih bagus dari pada
supermarket karena masyarakat semakin kritis dalam berbelanja:
”Konsumen lebih memilih belanja bulanan ke hypermarket karena harganya lebih murah dan barangnya lebih lengkap ketimbang supermarket atau minimarket. Adapun untuk kebutuhan kecil, masyarakat lebih memilih belanja di minimarket yang relatif lebih dekat rumah ketimbang pergi ke supermarket” (Idris dan Ika, 2007:3)
Menurut Melanie Dharmosetio, Wakil Eksekutif Direktur PT. Lion
Superindo, pertumbuhan supermarket di Jakarta dan sekitarnya sebenarnya
masih cukup gemuk:
”Hanya, lokasinya harus berada di daerah permukiman dan perumahan kelas menengah ke atas, dalam radius lima kilometer. Setidaknya itu adalah konsep supermarket Lion Super Indo yang setiap tahunnya berhasil secara rutin menambah 10 gerai Lion superindo” (Idris dan Ika, 2007:3)
2.2.1.3 Pergeseran Kekuatan Bisnis Ritel
Pada saat ini telah terjadi pergeseran kekuatan dalam bisnis ritel, termasuk
di Indonesia. Dahulu produsen dan wholesaler mutlak berkuasa dalam
menentukan berbagai hal berkaitan dengan product, antara lain: desain
produk, variasi produk, harga eceran, brand image, iklan, space untuk rak‐rak
di toko peritel, logistic, informasi, dan pola hubungan dengan konsumen,
sementara peritel sama sekali tidak mempunyai kewenangan akan hal‐hal
tersebut.
Namun saat ini, kondisi tersebut tidak lagi terjadi. Saat ini peritel juga turut
dilibatkan untuk membicarakan hal‐hal tersebut, meskipun tingkat pelibatan
itu bervariasi menurut product, perusahaan dan wilayah. Beberapa hal yang
dapat dikatakan dikuasai oleh peritel antara lain adalah harga eceran final,
25
brand image, periklanan di store, product range, shelf space, logistik, informasi
dan customer relationship.
2.2.1.4 Persaingan Antarperusahaan dan Antarformat
Persaingan antar peritel terjadi di semua tingkat. Mulai dari tingkat
perusahaan ritel besar bersaing terhadap perusahaan ritel besar lainnya,
peritel skala menengah bersaing dengan peritel yang sekelas dengannya,
hingga pasar tingkat mikro antara sebuah warung dan warung lainnya.
Bukan itu saja, peritel dari suatu kelas tidak hanya bersaing dengan peritel
sesama kelasnya tetapi juga dengan peritel dari kelas yang berbeda,
misalnya suatu supermarket tidak cuma bersaing terhadap supermarket lain
tetapi juga terhadap hypermarket atau minimarket yang kebetulan lokasinya
tidak berjauhan.
Dalam suatu kota, yang di dalamnya terdapat pasar modern dan pasar
tradisional, dimungkinkan terjadi persaingan antara format tradisional dan
modern. Kondisi persaingan sempurna ini, tentu saja akan menyebabkan
para pemain ritel harus berupaya untuk memenuhi bahkan melampaui
kebutuhan dan keinginan dari para konsumen, sehingga kegiatan penjualan
mereka tidak terganggu oleh ketatnya persaingan.
26
Gambar 2.4 Persaingan Antarformat – Tradisional dan Modern Sumber: Pemasaran Ritel (Ma’ruf, 2006:46)
2.2.1.5 Segmentasi Bisnis Ritel
Segmentasi dalam buku Marketing Management bab 9 didefinisikan sebagai
berikut: ”An approach midway between mass marketing and individual marketing.
Each segment’s buyers are assumed to be quite similar in wants and needs, yet no
two buyers are really alike” (Kotler, 2000:257)
Dalam buku Hermawan Kartajaya on Segmentation, segmentasi didefinisikan
sebagai berikut:
”Sebuah metode bagaimana melihat pasar secara kreatif … Agar dapat kreatif melihat pasar, perlu diperhatikan beberapa peranan segmentasi: dapat memungkinkan pemasar untuk lebih fokus, … memungkinkan untuk mendapatkan insight mengenai peta kompetisi dan posisi pasar, … basis untuk memudahkan dalam mempersiapkan langkah‐langkah berikutnya seperti positioning, diferensiasi dan penguatan merk, … faktor kunci mengalahkan pesaing dengan memandang pasar dari sudut yang unik dan cara yang berbeda” (Kartajaya, 2006:17‐19)
Seperti halnya dengan bisnis yang lain, segmentasi juga menjadi faktor yang
penting bagi bisnis ritel modern. Menurut Hendri Ma’ruf dalam bukunya
Pemasaran Ritel, segmentasi pasar adalah : ”Pengelompokan konsumen
27
menurut 2 cara yaitu karakteristik konsumen dan respons atau reaksi
konsumen terhadap program pemasaran pengecer” (2006:94‐95)
Menurut Hendry Ma’ruf, segmentasi yang dilakukan para pebisnis ritel dapat berdasarkan:
1. Demografi : mengelompokkan konsumen berdasarkan faktor usia, jenis kelamin, besarnya keluarga, pendidikan, siklus kehidupan rumah tangga, suku bangsa, pekerjaan, sosial ekonomi, agama, dan suku. Contoh segmentasi kelompok usia: a. Anak‐anak (sampai dengan 12 tahun) b. Remaja (13 – 19 tahun) c. Dewasa Muda (20‐29 tahun) d. Dewasa (30‐49 tahun) e. Setengah baya (50‐60 tahun) f. Berumur (61 tahun ke atas) 2. Geografis : pengelompokan konsumen berdasarkan wilayah kota besar versus kota kecil versus pedesaan, berdasarkan wilayah regional/provinsi, berdasarkan kepadatan penduduk, berdasarkan lingkungan tinggal (ukuran rumah, ukuran perumahan, kombinasi rumah penduduk dan rumah pendatang dll) 3. Perilaku : pengelompokan konsumen berdasarkan sikap mereka terhadap peristiwa, produk baru atau berdasarkan pada cara penggunaan, loyalitas, frekuensi kunjungan dan tahu tidaknya tentang produk yang dicarinya. Contoh pengelompokan berdasarkan orientasi belanja: a. Konsumen yang mementingkan kenyamanan belanja b. Konsumen yang berbelanja sambil berekreasi c. Konsumen yang mencari barang murah d. Konsumen yang loyal pada gerai 4. Psikografis : pengelompokan konsumen berdasarkan pada motivasi, gaya hidup dan karakteristik kepribadian. 5. Benefits/manfaat: daya tahan (durability), kemudahan, ekonomis, peningkatan esteem, status karena kepemilikan 6. Volume Pemakaian: pemakai berat, pemakai sedang, pemakai sedikit. Segmentasi cara ini biasanya untuk product consumer goods. (Ma’ruf, 2006:95‐98)
Menurut Philip Kotler dalam bukunya Marketing Management, kriteria yang
digunakan dalam pengukuran segmentasi sehingga dapat dikatakan efektif
adalah sebagai berikut:
1. Measurable: the size, purchasing power, and characteristics of the segments can be measured. 2. Substantial: the segments are large and profitable enough to serve. A segment should be the largest possible homogeneous group worth going after with a tailored marketing program. 3. Accessible: the segments can be effectively reached and served. 4. Differentiable: the segments are conceptually distinguishable and respond differently to different marketing‐mix elements and programs 5. Actionable: effective programs can be formulated for attracting and serving the segments. (2000:273‐274).
28
2.2.1.6 Perilaku Konsumen
The American Marketing Association mendefinisikan perilaku konsumen
konsumen sebagai:
Perilaku konsumen merupakan interaksi dinamis antara afeksi & kognisi, perilaku, dan lingkungannya dimana manusia melakukan kegiatan pertukaran dalam hidup mereka .... (Setiadi, 2003, p.3) (American Marketing Association)
Perilaku konsumen adalah dinamis, yang berarti perilaku seseorang,
maupun group konsumen, maupun masyarakat luas selalu berubah dan
bergerak sepanjang waktu dan dipengaruhi berbagai faktor, seperti faktor‐
faktor kebudayaan, sosial, pribadi dan psikologis.
Gambar 2.5 Model of Buyer Behaviour Sumber : Kotler, 2000
2.2.2 Bisnis Ritel Minimarket IDMR Bandung
Marketing objectives dari IDMR Bandung pada tahun 2007 ini adalah :
1. Mencapai budget sales dan margin tahun 2007 (Pada tahun 2007
diharapkan sales dan margin dapat tumbuh sekitar 46% dibanding tahun)
2. Mencapai budget toko tahun 2007 (Pada tahun 2007 diharapkan jumlah
toko dapat tumbuh sekitar 22% dibandingkan dengan tahun 2006)
29
Adapun segmentasi IDMR Bandung adalah masyarakat menengah dan
menengah bawah yang dalam memenuhi kebutuhan keluarganya
memerlukan gerai yang dekat/tidak terlalu jauh.
(Dinny Fitrawati, Wawancara Pribadi, 09/03/2007).
2.3 Akar Masalah
Secara umum, pencapaian IDMR Bandung per Maret 2007 ini tidak
mencapai terhadap budget yang diberikan. Berdasarkan wawancara yang
dilakukan dengan beberapa praktisi merchandising di IDMR Bandung, faktor
kompetisi menjadi faktor utama beratnya IDMR Bandung dalam mencapai
target.
Dalam perjalanannya beberapa kali terjadi toko IDMR Bandung yang
memiliki sales per day (SPD) yang cukup baik, diikuti dengan kehadiran
kompetitor secara head to head, sehingga SPD toko tersebut turun secara
drastis karena market share‐nya terbagi dengan kompetitor.
Pada bulan Februari 2007, pihak managemen IDMR melakukan suatu
kebijakan marketing, yaitu dengan melakukan perubahan sangat mendasar
pada pricing strategy di 50 toko yang berhadapan head to head dengan Yomart
di wilayah Kotamadya dan Kabupaten Bandung. Pricing strategy yang
dilakukan adalah penurunan harga bagi 500 item pareto sampai dengan
posisi pasti lebih murah dibandingkan dengan kompetitor sewilayahnya.
Hal ini merupakan suatu langkah yang sangat berani karena akan
mengakibatkan penurunan margin yang tidak sedikit.
Berbagai program marketing sudah dilakukan di IDMR Bandung, baik
melalui program diskon, program berhadiah maupun undian. Akan tetapi
30
kondisi persaingan yang sangat ketat benar‐benar membuat management
IDMR harus lebih dalam lagi memahami strategi pemasarannya sehingga
program pemasaran tersebut betul‐betul dapat mengena pada target dan
segmen pasar yang dituju. Apalagi dalam bisnis ini, konsumen dapat dengan
mudah berpindah dari suatu ritel modern ke ritel modern lainnya. Sebab jika
diperhatikan dalam minimarket yang hadir di kota Bandung ini, semua
outlet menawarkan range product yang hampir sama dan dengan harga yang
hampir sama pula.
Beberapa perbedaan mungkin didapati dalam masalah service, misalnya
pelayanan kasir dan pramuniaga, kenyamanan toko, kemudahan parkir dan
lain‐lain. Akan tetapi seiring berjalannya waktu perbedaan tersebut seolah‐
olah tidak menyolok lagi sehingga dapat dikatakan bahwa ritel modern saat
ini sepertinya menawarkan hal yang sama/komoditi.
Menilik persaingan yang semakin tajam ini, maka IDMR Bandung dianggap
perlu untuk melakukan kaji ulang terhadap segmentasinya sehingga
diharapkan IDMR Bandung dapat lebih kreatif memandang segmen
pasarnya, dan lebih tepat dalam menetapkan targeting, positioning,
diferensiasi, penguatan merk serta menyusun program‐program marketing
selanjutnya.
Seperti yang sudah disampaikan dalam awal BAB II ini, segmentasi dengan
menggunakan 1 variabel saja dirasakan tidak lagi mencukupi. Segmentasi
harus menjadi suatu sistem yang spesifik akan tetapi tetap flexibel mengikuti
perkembangan pasar. Menurut Priyantono Rudito, sistem segmentasi seperti
ini adalah sistem Segmentasi Dinamik, yaitu:
”Sistem yang mampu menyajikan hasil segmentasi pasar secara multi kriteria atau multi metoda secara dinamik. Sistem tersebut pada saat dibutuhkan harus mampu menampilkan segmen‐segmen pasar secara geografis, demografis ... namun untuk
31
kebutuhan yang sama pula sistem tersebut harus dapat secara simultan menyajikan segmentasi dengan metoda lainnya, apakah itu secara benefit soughts, psikografis ataupun teknografis” (Tabloid Marketing, 2003)
2.3.1 Penetapan Variabel Segmentasi IDMR Bandung
Penetapan variabel segmentasi dari IDMR Bandung akan dilakukan dengan
menggunakan metode exploratory research (literatur research dan experience
survey). Setelah variabel‐variabel segmentasi tersebut terpilih, maka tahap
selanjutnya adalah:
1. Variabel segmentasi terpilih akan diukur dalam hal tingkat availability
data. Hal ini dilakukan dengan melakukan survey terhadap karyawan
IDMR unit merchandising dan marketing.
2. Variabel segmentasi terpilih akan diukur keefektifannya dengan 5 kriteria
(measurable, substantial, accessible, differentiable dan actionable) terhadap
bisnis minimarket IDMR. Hal ini dilakukan dengan melakukan survey
terhadap karyawan IDMR unit merchandising dan marketing.
Setelah diperoleh nilai terhadap tingkat availability dan keefektifan dari
masing‐masing variabel, dilakukan penetapan bobot/nilai dari variabel
tersebut dengan mencari nilai rata‐rata (mean) dari nilai tingkat availability
dan keefektifannya.
2.3.2 Data collection
Setelah diperoleh variabel segmentasi yang efektif berdasarkan hasil
pembobotan, maka dilakukan data collection bagi atribut masing‐masing
variabel segmentasi. Untuk data yang berhubungan dengan konsumen
dibatasi pada konsumen toko IDMR Padasuka Bandung, sementara yang
berhubungan dengan wilayah dan kependudukan dibatasi pada wilayah
Kotamadya Bandung.