BAB II DASAR TEORI - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/51210/30/BAB II.pdfberhubungan dengan...

25
6 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Kenyon W (1979) mengatakan Las titik (Resistance Spot Welding) adalah suatu bentuk pengelasan tahanan dimana suatu las dihasilkan pada suatu titik pada benda kerja diantara elektroda-elektroda pembawa arus, las akan mempunyai luas yang kira-kira yang sama dengan ujung elektroda, atau sekecil ujung elektroda dari ukuran yang berbeda-beda. Gaya yang dikenakan terhadap titik biasanya melalui elektroda, secara kontinu di seluruh poros(tidak ada busur api yang dibentuk). Salim dan Triyono (2012) melakukan penelitian tentang kekuatan tarik dan geser pengelasan resistance Spot Welding (RSW) antara baja karbon rendah dengan Aluminium menggunakan alat bantu filler berupa serbuk paduan baja dan alumunium. Tebal plat baja SS 400 1 mm dan tebal plat Aluminium jenis A1 6061 TI 2 mm dengan variasi Voltage output 2,02 Volt dan 2,30 dengan parameter waktu pengelasan 5 detik. Dengan waktu yang sama semakin tinggi load voltage akan menghasilkan lasan yang lebih kuat. Disebabkan tingkat peleburan kedua benda semakin baik, maka tingkat penyatuan dari kedua material yang dilas dengan media filler perpaduan antara kedua jenis logam disambung semakin sempurna. Lisa Agustriyana (2011) melakukan penelitian las titik pada material baja fase ganda (Ferrite-Martensite) dengan mengunakan pengujian kekuatan tarik dan mikrostruktur dengan parameter arus 0,9kA, 1,6kA, 1,85kA dengan waktu pengelasan 0,25detik, 0,5detik, 0,75detik, 1detik. Dari hasil penelitian ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dengan semakin besar kuat arus dan waktu pengelasan pada proses Spot Welding pada baja fasa ganda

Transcript of BAB II DASAR TEORI - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/51210/30/BAB II.pdfberhubungan dengan...

6

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Kenyon W (1979) mengatakan Las titik (Resistance Spot Welding)

adalah suatu bentuk pengelasan tahanan dimana suatu las dihasilkan pada

suatu titik pada benda kerja diantara elektroda-elektroda pembawa arus, las

akan mempunyai luas yang kira-kira yang sama dengan ujung elektroda,

atau sekecil ujung elektroda dari ukuran yang berbeda-beda. Gaya yang

dikenakan terhadap titik biasanya melalui elektroda, secara kontinu di

seluruh poros(tidak ada busur api yang dibentuk).

Salim dan Triyono (2012) melakukan penelitian tentang kekuatan tarik

dan geser pengelasan resistance Spot Welding (RSW) antara baja karbon

rendah dengan Aluminium menggunakan alat bantu filler berupa serbuk

paduan baja dan alumunium. Tebal plat baja SS 400 1 mm dan tebal plat

Aluminium jenis A1 6061 TI 2 mm dengan variasi Voltage output 2,02 Volt

dan 2,30 dengan parameter waktu pengelasan 5 detik. Dengan waktu yang

sama semakin tinggi load voltage akan menghasilkan lasan yang lebih kuat.

Disebabkan tingkat peleburan kedua benda semakin baik, maka tingkat

penyatuan dari kedua material yang dilas dengan media filler perpaduan

antara kedua jenis logam disambung semakin sempurna.

Lisa Agustriyana (2011) melakukan penelitian las titik pada material baja

fase ganda (Ferrite-Martensite) dengan mengunakan pengujian kekuatan

tarik dan mikrostruktur dengan parameter arus 0,9kA, 1,6kA, 1,85kA dengan

waktu pengelasan 0,25detik, 0,5detik, 0,75detik, 1detik. Dari hasil penelitian

ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dengan semakin besar kuat arus

dan waktu pengelasan pada proses Spot Welding pada baja fasa ganda

7

maka dihasilkan kekuatan tarik yang semakin besar dan nilai optimum di

dapat pada kuat arus 1,85 kA dengan variasi yang terbaik juga didapat pada

kuat arus ini dalam berbagai waktu pengelasan dan ditunjukkan pada luasan

daerah kekuatan tarik yang terbesar yaitu sekitar 40%.

Arghavani, M. dkk (2016) melakukan penelitian tentang pengaruh

lapisan seng pada resistence Spot Welding sambungan beda material antara

baja dan Aluminium. Sambungan material pada penelitiannya terdapat 2

jenis, yaitu sambungan antara material baja St-12 dengan Aluminium seri

5052 (PS-AL) dan sambungan antara baja galvanis dengan Aluminium seri

5052 (GS-AL). Ketebalan material baja 1 mm dan Aluminium 2 mm dengan

variasi parameter arus pengelasan yang digunakan 9; 10; 11; 12; 13; 14 kA.

Gambar 2.1 Hubungan antara arus pengelasan terhadap kekuatan

tarik dan geser (Arghavani, M. dkk, 2016)

Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa kekuatan tarik dan

geser dari sambungan material baja St-12 dan Aluminium mempunyai nilai

yang lebih tinggi daripada sambungan baja galvanis dan Aluminium. Hal ini

berhubungan dengan rendahnya kontak hambatan sambungan baja

galvanis/Al-5052 dan konsumsi panas dengan mencairnya lapisan seng

pada baja galvanis. Variasi arus pengelasan juga berpengaruh terhadap

kekuatan sambungan las. Semakin besar arus yang diberikan maka semakin

besar pula kekuatan yang dihasilkan sambungan las. Hal ini disebabkan

8

karena diameter nugget yang semakin besar seiring besarnya masukan

panas yang diterima. Walaupun plat baja tidak meleleh selama pengelasan,

namun plat Al-5052 meleleh dan membentuk weld nugget.

Penelitian tentang sambungan las pada beda material pernah dilakukan

oleh Deni,D. (2014) dengan menggunakan bahan baja tahan karat (

Austenitic Stailess Steel) dan baja karbon rendah ( Low Carbon Steel ).

Dengan menggunakan variasi arus 5000A, 6000A, 7000A, dan variasi waktu

pengelasan 0,4detik, 0,5detik, 0,6detik. Dengan menggunakan dua

pengujian yaitu pengujian tarik geser dan pengujian kekerasan Vickres

microhardness. Dari pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa pada

pengujian geser didapat hasil yang optimal pada variasi arus 7000A dan

waktu 0,6detik dengan kekuatan sambungan las sebesar 5,323kN. Dan pada

pengujian Vickres microhardness kekerasan yang paling optimal terdapat

pada daerah logam las (nugget) yaitu sebesar 354,2 HV0.2 pada variasi arus

7000A dan waktu 0,6detik.

2.2 DASAR TEORI

2.2.1 Las Resistan Listrik ( Resistance Welding )

Las Resistensi Listrik (Resistance Welding) adalah metode

pengelasan yang paling sering digunakan untuk penyambungan

plat (sheet metal). Dimana material logam yang akan disambung di

tekan satu sama lain pada saat yang bersamaan arus listrik yang

besar dialirkan oleh kedua elektroda melewati kedua permukaan

material yang berhimpit sehingga timbul panas dan mencair karena

adanya tahanan/resistensi pada permukaaan tersebut. Tekanan

9

diberikan untuk memberikan kontak pada kedua permukaan,

setelah arus dialirkan dan temperatur yang tinggi telah tercapai

maka logam mencair kemudian arus listrik dihentikan sedangkan

tekanan tetap diberikan pada kedua permukaan untuk

menggabungkan dua buah logam.

Untuk menghindari panas berlebih pada elektroda terdapat

sistem pendingin dalam elektroda yaitu air di alirkan ke dalam

elektroda sehingga saat terjadi proses pengelasan panas yang

dihasilkan tidak akan melelehkan elektroda. Bahan yang digunakan

untuk elektroda harus memiliki sifat konduktor listrik yang baik artinya

memiliki tahanan dalam yang rendah dan kuat, seperti tembaga dan

paduannya.

Ada dua jenis sambungan dalam Las Resistensi Listrik yaitu

sambungan tumpang (Lap Joint) untuk pengelasan plat (sheet

metal) dan sambungan tumpul (Butt Joint) untuk pengelasan batang

Gambar 2. 2. Las Resistensi Listrik (Resistance Welding) (Miller, 2012)

10

atau pipa. Sambungan tumpang (Lap Joint) masih dibagi menjadi

dua metode yaitu las titik (Spot Welding) dan las garis (seam

welding) dan las timbul (projection welding).

(a) (b) (c)

Pada pengelasan jenis sambungan Butt Joint terjadi dua

fase proses yaitu flashing phase dan upseting phase. Dua

komponen yang akan disambung (dilas) dicekam oleh dua buah

elektroda, salah satu elektroda dapat bebas bergerak/bergeser.

Tegangan rendah dan Arus yang tinggi dialirkan melalui kedua

komponen yang akan disambung. Panas yang tinggi akibat

besarnya arus yang mengalir mengakibatkan ujung komponen

yang berhimpit (ujung kontak) akan meleleh dan menyatu

Pada pengelasan resistensi listrik terdapat tiga faktor yang

mempengaruhi besarnya energi panas/kalor untuk mencairkan

Gambar 2. 3. Jenis sambungan tumpang : (a) spot welding (b) seam welding (c) projection welding (Ruukki, 2007)

Gambar 2. 4. Skema pengelasan Flash Butt Joint (Ruukki, 2007)

11

logam. Ketiga faktor tersebut dapat ditinjau dari rumus total heat

input yang dihasilkan yaitu : (Amstead, B.H, 1995)

H = I2.R.t

Dimana :

H : Total Heat Input (joule)

I : Arus listrik (Ampere)

t : Waktu pengelasan (detik)

a. Current Welding (Arus Listrik Pengelasan)

Untuk mengatur besarnya arus yang akan digunakan pada

mesin pengelasan Resistance Welding biasanya terdapat kontrol

arus step-down, besarnya arus diatur oleh banyaknya gulungan coil

primer dan sekunder dengan mengubah besarnya tegangan

keluaran.

Besarnya Arus yang digunakan pada pengelasan Spot

Welding antara 4-20 kA. Besarnya Arus yang digunakan tergantung

pada jenis material yang akan dilas dan ketebalan plat. (Ruukki,

2007)

b. Resistance (Tahanan Listrik)

Tahanan listrik yang terdapat pada sirkuit sistem pengelasan

Resistance Welding adalah jumlah keseluruhan dari :

1. Resistensi material dari elektroda

12

2. Resistensi interface (elektroda-sheet metal)

3. Resistensi interface (sheet metal-sheet metal)

4. Resistensi material dari benda kerja

Tahanan listrik/Resistensi dari material benda kerja

ditentukan berdasarkan jenis dari materialnya. Dari grafik di atas

dapat dilihat bahwa resistensi paling besar adalah resistensi

interface antara sheet metal-sheet metal kemudian secara

berurutan resistensi interface antara elektroda-sheet metal

kemudian resistensi material benda kerja. Untuk resistensi material

elektroda sangat kecil hal ini karena material elektroda yang

digunakan dipilih dari material yang memiliki sifat konduktivitas

listrik yang baik seperti Tembaga dan paduannya. (ISF, Welding

and joining institute, 2005).

c. Welding Time (Waktu Pengelasan)

Gambar 2. 5. Resistensi pada Resistance Welding (ISF, Welding and joining institute, 2002)

13

Variabel yang dapat diatur (adjustable variable) untuk

mendapatkan energi panas yang masuk (Heat Input) pada

pengelasan Resistensi Listrik adalah kuat arus yang digunakan

(Current Welding) dan waktu pengelasan (Welding Time). Waktu

pengelasan biasanya sangat singkat. Waktu pengelasan dalam

satuan cycle dimana untuk listrik dengan frekuensi 50 Hz, 1 detik =

50 cycle maka untuk 1 cycle = 0.02 detik. Waktu pengelasan dalam

pengelasan Resistensi Listrik terdiri dari 3 waktu yaitu : (Ruukki,

2007)

1. Set-Up Time (Pre-welding Squeeze Time)

2. Welding Time (Current Time)

3. Holding Time

Gambar 2. 6. Welding process and welding time (ISF, Welding and joining institute, 2005)

14

Set-Up Time (Pre-welding Squeeze Time) berfungsi untuk

menekan benda kerja dan menyetel tahanan interface (setting-up

reproducible resistance) sebelum pengelasan. Akan tetapi set-up

time tidak memberikan efek terhadap propertis teknis (technical

properties) dari hasil pengelasan, meski demikian harus diberikan

cukup lama agar elektroda memberikan gaya penekanan yang

cukup sebelum Arus listrik dialirkan (Ruukki, 2007).

Welding Time (Current Time) atau waktu pengelasan

adalah waktu dimana arus listrik dialirkan saat proses pengelasan.

Welding time sangat singkat antara 4-50 cycle (0.1-1 detik).

Pengaturan welding time tergantung dari mesin las resistensi listrik

yang digunakan. Pada mesin las sudah tersedia panel pengaturan

welding time yang ingin dikehendaki, besarnya welding time

dipengaruhi oleh tebal plat yang dilas dan berhubungan dengan

kuat arus, artinya sangat memungkinkan jika arus yang diberikan

besar maka welding time lebih singkat, jika arus yang diberikan

kecil maka welding time bisa lebih lama, (Ruukki, 2007).

Saat menggunakan welding time yang terlalu lama maka

benda kerja dan elektroda akan menghantarkan panas keluar dari

permukaan material yang terhubung (conecting surface) dan

semakin banyak panas yang terbuang (Heat Loss) sehingga nugget

terlalu kecil, untuk material dengan konduktivitas listrik yang tinggi

seperti tembaga dan Aluminium menggunakan welding time yang

lebih singkat dari pada baja dan paduannya. Penggunaan welding

15

time yang lama akan lebih menguntungkan pada pengelasan

material yang cenderung keras dan getas karena dengan welding

time yang lama maka waktu pendinginan juga akan lama. (Ruukki,

2007).

Holding time adalah waktu dimana setelah nugget

terbentuk dan arus berhenti dialirkan gaya penekanan tetap

diberikan untuk mencegah terbentuknya pori-pori dalam nugget.

Holding time diberikan cukup lama saat proses pendinginan (logam

cair mengeras kembali) agar mencapai kekuatan yang cukup pada

daerah yang dilas. Oleh karena itu semakin tebal plat yang akan

dilas maka semakin lama hold time yang diberikan. Secara umum

lama hold time dalam pengelasan Spot Welding adalah 10-50

cycles. Waktu hold time yang pendek (10-20 cycles) biasanya

diberikan pada pengelasan material yang cenderung getas untuk

mencegah efek pendinginan dari elektroda pada daerah las,

(Ruukki, 2007).

2.2.2 Baja Tahan Karat (Stainless Steel)

Karat adalah salah satu cacat pada penggunaan baja, yang

pencegahannya biasa dilakukan dengan pelapisan dan

penegcatan. Baja Tahan Karat adalah baja paduan tinggi yang

tahan terhadap korosi, suhu tinggi dan suhu rendah. Disamping itu

Baja Tahan Karat mempunyai ketangguhan dan sifat mampu

16

potong yang cukup baik. Karena sifatnya, maka baja ini banyak

digunakan dalam reaktor atom, turbin, mesin jet, pesawat terbang,

alat rumah tangga dan lain-lainnya.

Baja tahan karat adalah baja paduan tinggi. Berdasarkan

unsur paduan dasar baja tahan karat dibedakan menjadi : besi-

krom, besi-krom-karbon, dan besi-krom-nikel. Untuk mengontrol

struktur mikro dan sifat-sifat yang dimiliki, beberapa unsur paduan

dimasukkan pada sistem unsur paduan dasar tersebut dimana

unsur paduanya terdiri dari mangan, silikon, molybdenum, niobium,

titanium, dan nitrogen (Lippold.J.C 1993)

Salah satu cara yang digunakan untuk menggambarkan

pengaruh dari variasi unsur dalam struktur dasar pada baja tahan

karat khrom-nikel adalah diagram Scaeffler. Diagram ini

merencanakan batas komposisi temperatur ruang dari austenit,

ferit, dan martensit berdasarkan hubungan dari khrom dan nikel.

Karena semua baja tahan karat akan mengalami penggetasan dan

peretakan, maka harus dijaga agar logam las selalu terletak pada

daerah aman.

Gambar 2.7 Diagram Schaffler

17

Berdasarkan fasanya, baja tahan karat dapat diklasifikasikan

menjadi baja tahan karat martensit, baja tahan karat ferit, baja

tahan karat austenit, baja tahan karat berfasa ganda (duplex), dan

baja tahan karat dengan pengerasan presipitasi.

Kalpakjian, S. dkk (2009) menguraikan jenis baja tahan karat

sebagai berikut:

1. Baja tahan karat austenit

Baja jenis ini secara umum mengandung khrom, nikel,

dan mangan yang terdapat dalam besi. Mereka

mempunyai sifat tidak bermagnet dan mempunyai

ketahanan terhadap korosi yang sangat bagus, akan

tetapi rentan terhadap retak akibat tegangan korosi. Baja

austenit dikeraskan dengan cara pendinginan. Baja ini

merupakan baja paling liat diantara semua jenis baja

tahan karat yang lain dan dapat dibentuk dengan mudah.

Baja jenis ini digunakan secara luas dalam berbagai

kegunaan seperti : peralatan dapur, perabot, konstruksi

las, peralatan transportasi yang ringan, tungku

pembakaran dan bagian dari alat penukar panas.

2. Baja tahan karat ferit

Baja ini memiliki kandungan khrom yang tinggi yaitu lebih

dari 27%. Mereka bersifat magnetic dan memiliki

ketahanan korosi yang baik, akan tetapi memiliki tingkat

keliatan bahan yang lebih rendah dibandingkan dengan

18

baja tahan karat austenit. Baja tahan karat ferit

dikeraskan dengan cara pengerjaan dingin dan tidak

dapat diperlaku panaskan. Secara umum digunakan

untuk sesuatu yang bersifat tidak struktural seperti:

peralatan dapur dan hiasan otomotif.

3. Baja tahan karat martensit

Kebanyakan baja tahan karat martensit tidak

mengandung nikel dan dapat dikeraskan dengan cara

perlakuan panas. Kandungan khrom sekitar 15%. Baja ini

bersifat magnetic dan memiliki kekuatan yang tinggi,

keras, ketahanan lelah yang baik, keliatan bahan yang

baik, dan memiliki ketahanan terhadap korosi yang

sedang. Baja tahan karat martensit biasanya digunakan

untuk alat pemotong seperti: pisau, gunting, alat-alat

bedah, instrumen, katup dan pegas.

4. Baja tahan karat duplex (berfasa ganda)

Baja ini merupakan campuran dari austenit dan ferit.

Mereka mempunyai kekuatan yang baik, memiliki

ketahanan korosi yang tinggi (dalam banyak kondisi

lingkungan), dan ketahanan terhadap retak tegangan

korosi yang lebih baik daripada baja tahan karat austenit.

Penggunaan baja tipe ini yaitu pada komponen alat

penukar panas.

5. Baja tahan karat pengerasan presipitasi

19

Baja ini mengandung khrom dan nikel, bersama dengan

tembaga, Aluminium, titanium, atau molybdenum. Mereka

memiliki ketahanan korosi dan keliatan bahan yang baik,

serta memiliki kekuatan yang tinggi pada temperatur

tinggi. Penggunaan yang paling utama baja ini yaitu pada

industri pesawat terbang dan komponen struktural

pesawat ruang angkasa.

Penelitian ini menggunakan bahan baja tahan karat seri 430

yang termasuk kedalam jenis baja tahan karat ferit. Sifat mampu las

baja tahan karat ferit adalah sangat sukar mengeras, tetapi butirnya

mudah menjadi kasar yang menyebabkan ketangguhan dan

keuletannya menurun. Penggetasan biasanya terjadi pada

pendinginan lambat dari 600ºC ke 400ºC. Karena sifatnya ini maka

pada pengelasan baja ini harus dilakukan pemanasan mula antara

70ºC sampai 100ºC untuk menghindari retak dingin dan

pendinginan dari 600ºC ke 400ºC harus terjadi dengan cepat untuk

menghindari penggetasan seperti diterangkan diatas

(Wiryosumarto, H. dkk, 2000).

2.2.3 Aluminium

Aluminium dan paduan Aluminium termasuk logam ringan

yang mempunyai kekuatan tinggi, tahan terhadap karat dan

merupakan konduktor listrik yang cukup baik. Logam ini dipakai

20

secara luas dalam bidang kimia, listrik, bangunan, transportasi dan

alat-alat penyimpanan.

Wiryosumarto, H. dkk (2000) dalam hal pengelasan, paduan

Aluminium mempunyai sifat yang kurang baik bila dibandingkan

dengan baja. Sifat-sifat yang kurang baik atau merugikan tersebut

adalah:

1. Karena panas jenis dan daya hantar panasnya tinggi

maka sukar sekali untuk memanaskan dan mencairkan

sebagian kecil saja.

2. Paduan Aluminium mudah teroksidasi dan membentuk

oksida Aluminium yang mempunyai titik cair yang

tinggi. Karena sifat ini maka peleburan antara logam

dasar dan logam las menjadi terhalang.

3. Karena mempunyai koefisien muai yang besar, maka

mudah sekali terjadi deformasi sehingga paduan-paduan

yang mempunyai sifat getas panas akan cenderung

membentuk retak-panas.

4. Karena perbedaan yang tinggi antara kelarutan hidrogen

dalam logam cair dan logam padat, maka dalam proses

pembekuan yang terlalu cepat akan terbentuk rongga

halus bekas kantong-kantong oksigen.

5. Paduan Aluminium mempunyai berat jenis rendah,

karena itu banyak zat-zat lain yang terbentuk selama

pengelasan akan tenggelam. Keadaan ini memudahkan

21

terkandungnya zat-zat yang tidak dikehendaki ke

dalamnya.

6. Karena titik cair dan viskositasnya rendah, maka daerah

yang kena pemanasan mudah cair dan jatuh menetes.

Aluminium dapat diklasifikasikan sesuai dengan jenis paduan

dan serinya. Wiryosumarto, H. dkk (2000) menguraikan sifat umum

dari beberapa jenis paduan Aluminium:

1. Jenis Al-murni teknik (seri 1000)

Jenis ini adalah Aluminium dengan kemurniannya antara

99,0% dan 99,9%. Aluminium dalam seri ini disamping

sifatnya yang baik dalam tahan karat, konduksi

panas,dan konduksi listrik juga memiliki sifat yang

memuaskan dalam mampu-las dan mampu-potong. Hal

yang kurang menguntungkan adalah kekuatannya

rendah.

2. Jenis paduan Al-Cu (seri 2000)

Paduan jenis ini adalah jenis yang dapat diperlaku-

panaskan. Dengan melalui pengerasan endap atau

penyepuhan sifat mekanik paduan ini dapat menyamai

sifat dari baja lunak, tetapi daya tahan korosinya rendah

bila dibanding dengan jenis paduan yang lainnya. Sifat

mampu las juga kurang baik, karena itu paduan jenis ini

biasanya digunakan pada konstruksi keling dan banyak

22

sekali digunakan dalam konstruksi pesawat terang seperti

duralumin (2017) dan super duralumin (2024).

3. Jenis paduan Al-Mn (seri 3000)

Paduan ini adalah jenis yang tidak dapat diperlaku-

panaskan sehingga penaikan kekuatannya hanya dapat

diusahakan melalui pengerjaan dingin dalam proses

pembuatannya. Bila dibandingkan dengan jenis Al-murni

paduan ini mempunyai sifat yang sama dalam hal daya

tahan korosi, mampu potong dan sifat mampu lasnya.

Dalam hal kekuatan jenis paduan ini lebih unggul

daripada jenis Al-murni.

4. Paduan jenis AL-Si (seri 4000)

Paduan Al-Si termasuk jenis yang tidak dapat diperlaku-

panaskan. Jenis ini dalam keadaan cair mempunyai sifat

mampu alir yang baik dan dalam proses pembekuannya

hampir tidak terjadi retak. Karena sifat-sifatnya, maka

paduan jenis Al-Si banyak digunakan sebagai bahan atau

logam las dalam pengelasan paduan Aluminium baik

paduan cor maupun paduan tempa.

5. Paduan jenis Al-Mg (seri 5000)

Jenis ini termasuk paduan yang tidak dapat diperlaku-

panaskan, tetapi mempunyai sifat yang baik dalam daya

tahan korosi, terutama korosi oleh air laut, dan dalam

sifat mampu-lasnya. Paduan Al-Mg banyak digunakan

23

tidak hanya dalam konstruksi umum, tetapi juga untuk

tangki-tangki penyimpanan gas alam cair dan oksigen

cair.

6. Paduan jenis Al-Mg-Si (seri 6000)

Paduan ini termasuk dalam jenis yang dapat dipelaku-

panaskan dan mempunyai sifat mampu-potong, mampu

las dan daya tahan korosi yang cukup baik.

7. Paduan jenis Al-Zn (seri 7000)

Paduan ini termasuk jenis yang dapat diperlaku-

panaskan. Biasanya kedalam paduan pokok Al-Zn

ditambahkan Mg, Cu dan Cr. Kekuatan tarik yang dapat

dicapai lebih dari 50kg/mm², sehingga paduan ini

dinamakan juga ultra duralumin. Berlawanan dengan

kekuatan tariknya, sifat mmapu las dan daya tahannya

terhadap korosi kurang menguntungkan. Dalam waktu

akhir-akhir ini paduan Al-Zn-Mg mulai banyak digunakan

dalam konstruksi las, karena jenis ini mempunyai sifat

mampu las dan daya tahan korosi yang lebih baik

daripada paduan dasar Al-Zn. Disamping itu juga

pelunakan pada daerah las dapat mengeras kembali

karena pengerasan alamiah.

Pada penelitian ini menggunakan bahan Aluminium paduan

jenis Al-Mg-Si dengan seri 6019, material ini digunakan karena

dapat dengan mudah didapatkan dipasaran. Aluminium jenis ini

24

dapat dilas dengan baik asal diikuti dengan perlakuan panas

kembali (Wiryosumarto, H. dkk, 2009).

2.2.4 Seng (Zinc)

Dalam dunia industri, zinc (Zn), yang memiliki warna putih

kebiruan, adalah logam keempat yang paling dimanfaatkan setelah

besi, Aluminium dan tembaga. Zinc memiliki dua kegunaan utama :

untuk menggalvanisasikan besi, lembaran baja dan kabel; dan

sebagai paduan dasar untuk pengecoran. Dalam menggalvanisasi,

zinc berfungsi sebagai anoda dan melindungi baja dari serangan

korosif seperti lapisan sebagaimana mestinya dari tergores atau

tertusuk.

Unsur paduan utama seng adalah Aluminium, tembaga dan

magnesium. Unsur tersebut memberikan kekuatan dan

memberikan kontrol dimensi selama pengecoran logam. Paduan

dasar seng digunakan secara extensif dalam pengecoran untuk

membuat produk produk seperti pompa bahan bakar dan tempat

pembakaran pada mobil, komponen untuk peralatan rumah tangga

(seperti mesin cuci dan peralatan dapur), dan berbagai komponen

mesin lainnya. Penggunaan lain untuk zinc pada paduan

superplastis, yang memiliki karakteristik sifat mampu bentuk yang

baik berdasarkan kemampuan mereka pada deformasi yang besar

tanpa kegagalan atau patah. Lembaran grain sangat halus 78% Zn-

22%Al adalah contoh umum dari paduan seng superplastis yang

25

dapat dibentuk oleh metode yang digunakan untuk membentuk

plastik atau logam (Kalpakjian, S. dkk, 2009).

Pada penelitian ini material Zinc diharapkan mampu menjadi

media penghubung (filler) beda material antara baja tahan karat

dan Aluminium menggunakan las titik sehingga dapat menyatu

dengan baik. Sulardjaka, dkk (2003) menjelaskan dalam pemilihan

logam pengisi (filler) yang benar akan menghindari retak panas

pada hasil lasan. Sehingga dalam penggunaan sambungan las,

proses pengelasan dan pemilihan bahan dasar merupakan hal

penting yang harus diperhatikan. Jenis filler akan berpengaruh

terhadap perilaku mekanik sambungan las. Pemilihan filler pada

pengelasan didasarkan pada komposisi logam induk (base metal)

yang dilas, titik cair, pembekuan, cara pengelasan dan sifat lasan

yang didinginkan.

2.2.5 Pengujian Tegangan Geser (Shear Tension Test)

Tegangan geser terjadi jika suatu benda bekerja dengan dua

gaya yang berlawanan arah, tegak lurus sumbu batang dan tidak

segaris dengan batang yang diberikan. Tegangan ini banyak terjadi

pada kontruksi. Misalny: sambungan keling, gunting, dan

sambungan baut.

26

Gambar 2.8 contoh gaya geser

Gaya geser terdistribusi merata kurang lebih sama seperti

yang terjadi pada gaya tarik atau tekan yang terdistribusi merata.

Pada kasus ini, gaya geser yang dihitung dari Ss = P/A hendaknya

diinterpretasikan sebagai nilai rata-rata.

Pengujian geser pada hasil pengelasan titik pada umumnya

menggunakan skema pengujian dengan menggunakan standart

pengujian AWS, SAE, JIS, atau ASME. Pengujian tegangan geser

pada penelitian ini menggunakan standar ASME IX dengan

spesifikasi dimensi sebagai berikut:

Gambar 2.9 Ukuran Spesimen (Annual book of ASME IX standart )

L = Panjang Spesimen 101,6 mm

W = Lebar 25,4 mm

27

2.2.6 Pengujian Kekerasan

Menurut Surdia, T. (1999) kekerasan adalah kriteria untuk

menyatakan intensitas tahanan suatu bahan terhadap deformasi

yang disebabkan ojek lain. Ada tiga macam metode pengujian

kekerasan yaitu metode goresan, metode dinamik dan metode

indentasi (penekanan).

A. Metode Goresan

Pengujian kekerasan dengan metode gores dilakukan

dengan cara mengukur kemampuan suatu material dengan

menggoreskan material uji pada spesimen.

B. Metode Dinamik

Pengujian kekerasan dengan metode Dinamik (Kekerasan

Pantul) dilakukan dengan cara menghitung energi impak

yang dihasilkan oleh indentor yang dijatuhkan pada

permukaan spesimen. Alat yang digunakan adalah Shore

Scleroscope. Indentor dijatuhkan pada permukaan material,

kemudian pantulan yang amat tinggi yang terjadi. Perbedaan

ketinggian saat dijatuhkan dan pantulannya menunjukkan

besarnya energi yang diserap material. Pada metode

dinamik indentor berupa bola.

C. Metode Indentasi (Penekanan)

Pengujian kekerasan dengan metode Indentasi (penekanan)

adalah dengan cara mengukur ketahanan suatu material

terhadap gaya tekanan yang diberikan indentor dengan

28

memperhatikan besar beban yang diberikan dan besar

indentasi.

Gambar 2.10 Macam indentor uji kekerasan

(Kalkapkjian, S. dkk, 2009)

Uji kekerasan dengan metode Indentasi ini terdiri dari

beberapa cara, antara lain:

1. Uji kekerasan Brinel

Uji kekerasan ini ditemukan oleh J.A.Brinell pada tahun

1900 yang mengujinya dengan cara melakukan indentasi

pada permukaan spesimen. Indentor berupa bola baja

yang memiliki variasi beban dari 500 kg sampai 1500 kg

untuk intermediate Hardness dan 3000 kg untuk hard

metal. Pada material yang sangat keras digunakan bola

karbida untuk memperkecil distorsi indentor. Prinsip dari

pengujian kekerasan ini adalah dengan menekan

indentor selama 30 detik. Lalu diameter hasil indentasi

diukur dengan menggunakan Mikroskop Optik.

2. Uji kekerasan Meyer

29

Uji yang dilakukan oleh Meyer untuk perbaikan dari uji

sebelumnya yaitu Brinell. Meyer berpendapat bahwa

tekanan rata-rata pada permukaan indentasi harus

diperhitungkan dalam nilai kekerasan (tidak dapat diuji

pada Brinell)

3. Uji kekerasan Vickers

Uji kekerasan ini menggunakan indentor berbentuk

piramida intan dengan bentuk bujur sangkar dengan

besar sudut 136º terhadap kedua sisi yang berhadapan.

Gambar 2.11 (a) Indentasi Vickers (b) pengukuran diagonal cetakan. (The Welding Institute, 2016)

Besar sudut itu digunakan karena merupakan perkiraan

rasio terideal indentasi diemeter bola pada ujiBrinell.

Besar beban indentor bervariasi antara 1 kg sampai 120

kg sesuai dengan tingkat kekerasan material spesimen.

prinsip dari uji kekerasan Vickers adalah besar beban

dibagi dengan luas daerah indentasi.

4. Uji kekerasan Rockwell

30

Uji kekerasan rockwell memperhitungkan kedalaman

indentasi dalam keadaan beban konstan sebagai

penentu nilai kekerasan. Sebelum pengukuran,

spesimen dibebani minor sebesar 10 kg untuk

mengurangi kecenderungan ridging dan sinking akibat

beban indentor. Sesudah beban minor diberikan,

spesimen langsung dikenai beban mayor. Kedalaman

indentasi yang terkonversi dalam skala langsung dapat

diketahui hasilnya dengan membaca dial gage pada alat.

5. Uji kekerasan Microhardness

Metode ini merupakan pengembangan dari uji Vickers

namun beban yang lebih kecil. Indentor Knoop adalah

piramida intan yang membentuk indentasi berbentuk

layang-layang dengan perbandingan diagonal 7:1 yang

menyebabkan kondisi regangan pada daerah

terdeformasi. Nilai kekerasan knoop (KHN) dapat

didefinisikan besarnya beban dibagi dengan luas daerah

proyeksi indentasi tersebut.