BAB II BUKIT

31
BAB I PE NDAHULUAN Mola hidatidosa adalah suatu neoplasma jinak villi khorialis, yang ditandai dengan proliferasi trofoblas yang berlebihan, baik sinsitio dan sitotrofoblas, edema atau degenerasi hidrofik dari stroma jaringan ikat vili sehingga terjadi distensi dan pembentukan gelembung dan villa avaskuler, pembuluh darah yang hilang ini menyebabkan kematian dini embrio. Frekuensi mola hidatidosa pada kehamilan yang terjadi pada awal atau akhir usia subur relative lebih tinggi. Tingginya angka insiden ini berhubungan dengan status sosioekonomi, nutrisi yang kurang protein dan asam folat. Studi lain menyebutkan bahwa hipotesis dari nutrisi berhubungan dengan insidensi mola hidatidosa tidak dapat dibuktikan dari data yang ada. Seperti yang terjadi di Alaska, bahwa insiden mola hidatidosa tinggi pada populasi yang mengkonsumsi daging dan ikan. Resiko yang dapat terjadi pada pasien mola hidatidosa adalah morbiditas dan mortalitas akibat perdarahan uterus, koagulopati, perforasi uterus, emboli trofoblas atau infeksi. Juga resiko kehilangan fungsi reproduksi jika harus dilakukan histerektomi. Tumor trofoblas gestasional adalah sekelompok penyakit yang bersifat ganas dan berkaitan dengan vili korialis, terutama sel trofoblasnya, yang berasal dari suatu kehamilan, baik mola maupun 1

Transcript of BAB II BUKIT

Page 1: BAB II BUKIT

BAB I

PE NDAHULUAN

Mola hidatidosa adalah suatu neoplasma jinak villi khorialis, yang ditandai dengan

proliferasi trofoblas yang berlebihan, baik sinsitio dan sitotrofoblas, edema atau degenerasi

hidrofik dari stroma jaringan ikat vili sehingga terjadi distensi dan pembentukan gelembung dan

villa avaskuler, pembuluh darah yang hilang ini menyebabkan kematian dini embrio.

Frekuensi mola hidatidosa pada kehamilan yang terjadi pada awal atau akhir usia subur

relative lebih tinggi. Tingginya angka insiden ini berhubungan dengan status sosioekonomi,

nutrisi yang kurang protein dan asam folat. Studi lain menyebutkan bahwa hipotesis dari nutrisi

berhubungan dengan insidensi mola hidatidosa tidak dapat dibuktikan dari data yang ada. Seperti

yang terjadi di Alaska, bahwa insiden mola hidatidosa tinggi pada populasi yang mengkonsumsi

daging dan ikan.

Resiko yang dapat terjadi pada pasien mola hidatidosa adalah morbiditas dan mortalitas

akibat perdarahan uterus, koagulopati, perforasi uterus, emboli trofoblas atau infeksi. Juga resiko

kehilangan fungsi reproduksi jika harus dilakukan histerektomi.

Tumor trofoblas gestasional adalah sekelompok penyakit yang bersifat ganas dan

berkaitan dengan vili korialis, terutama sel trofoblasnya, yang berasal dari suatu kehamilan, baik

mola maupun nonmola. 15-20% penderita mola hidatidosa komplit akan mengalami transformasi

keganasan.

Kegagalan dalam mengobati pasien dengan penyakit tropoblas gestasional (PTG)

berhubungan dengan temuan diagnosis choriocarsinoma yang semakin banyak, tidak adanya

terapi awal pada resiko tinggi, dan ketidakmampuan penggunaan protokol kemoterapi untuk

mengontrol penyakit ini. Bagaimanapun juga, dengan penatalaksanaan awal yang akurat, PTG

betul-betul dapat disembuhkan.

BAB II

PENYAKIT TROFOBLASTIK GESTASIONAL

Secara mendasar, penyakit trofoblastik gestasional dapat dibagi menjadi mola hidatidosa

dan tumor trofoblastik gestasional.

1

Page 2: BAB II BUKIT

2.1. MOLA HIDATIDOSA

Mola hidatidosa adalah suatu neoplasma jinak villi khorialis, yang ditandai dengan:

1. Proliferasi trofoblas yang berlebihan, baik sinsitio dan sitotrofoblas

2. Edema atau degenerasi hidrofik dari stroma jaringan ikat vili sehingga terjadi

distensi dan pembentukan gelembung.

3. Villa avaskuler, pembuluh darah yang hilang ini menyebabkan kematian dini

embrio.

Klasifikasi

Berdasarkan ada tidaknya janin atau unsur embrionik, mola diklasifikasikan menjadi mola

sempurna (complete) dan parsial.

Pada mola hidatidosa sempurna, vili korionik berubah menjadi suatu massa vesikel-vesikel

jernih. Ukuran vesikel bervariasi dari sulit dilihat sampai yang berdiameter beberapa sentimeter

dan sering berkelompok-kelompok menggantung pada tangkai kecil. Temuan histologik ditandai

dengan:

Degenerasi hidropik dan pembengkakan stroma vilus

Tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak

Proliferasi epitel trofoblas dengan derajat bervariasi

Tidak adanya janin dan amnion.

Pada pemeriksaan sitogenik terhadap kehamilan mola sempurna menemukan komposisi

kromosom yang umumnya (85 persen atau lebih) adalah 46, XX, dengan kromosom seluruhnya

berasal dari ayah. Fenomena ini disebut androgenesis. Sebagian besar (85%) mola sempurna

adalah diploid, sedangkan mola parsial (86%) adalah triploid. Risiko tumor trofoblastik yang

berkembang dari mola sempurna adalah sekitar 20%.

Apabila perubahan hidatidosa bersifat fokal dan kurang berkembang, dan mungkin tampak

sebagian jaringan janin, biasanya paling tidak kantung amnion, keadaan ini diklasifikasikan

sebagai mola hidatidosa parsial. Terjadi pembengkakan hidatidosa yang berlangsung lambat

pada sebagian vili yang biasanya avaskular, sementara vili-vili berpembuluh lainnnya dengan

sirkulasi janin-plasenta yang masih berfungsi tidak terkena. Janin pada mola hidatidosa parsial

2

Page 3: BAB II BUKIT

biasanya memiliki tanda-tanda triploidi yang mencakup malformasi congenital multiple dan

hambatan pertumbuhan serta tidak viabel.

Gestasi kembar dengan mola sempurna serta janin dan plasenta normal kadang- kadang

salah didiagnosis sebagai mola parsial diploid. Sebaiknya keduanya diupayakan dibedakan,

karena kehamilan kembar yang terdiri dari satu janin normal dan satu mola sempurna memiliki

kemungkinan 50% untuk menyebabkan penyakit trofoblastik persisten. Risiko koriokarsinoma

yang berasal dari mola parsial sangat rendah.

Epidemiologi

Insiden di AS muncul 1 dalam 2000 kehamilan sedangkan di Asia Tenggara, Amerika

Utara dan Eropa tidak berbeda jauh yaitu antara 0,2-1,96 kasus per 1000 kehamilan. Frekuensi

mola hidatidosa pada kehamilan yang terjadi pada awal atau akhir usia subur relative lebih

tinggi. Efek paling berat dijumpai pada wanita berusia lebih dari 45 tahun, dengan frekuensi lesi

relative lebih dari 10 kali lipat dibandingkan pada usia 20 sampai 40 tahun. Banyak dijumpai

kasus mola hidatidosa yang terbukti pada wanita berusia 50 tahun atau lebih.

Tingginya angka insiden ini berhubungan dengan status sosioekonomi, nutrisi yang

kurang protein dan asam folat. Studi lain menyebutkan bahwa hipotesis dari nutrisi berhubungan

dengan insidensi mola hidatidosa tidak dapat dibuktikan dari data yang ada. Seperti yang terjadi

di Alaska, bahwa insiden mola hidatidosa tinggi pada populasi yang mengkonsumsi daging dan

ikan.

Resiko yang dapat terjadi pada pasien mola hidatidosa adalah morbiditas dan mortalitas

akibat perdarahan uterus, koagulopati, perforasi uterus, emboli trofoblas atau infeksi. Juga resiko

kehilangan fungsi reproduksi jika harus dilakukan histerektomi.

Menurut DR. Dr. Andrijono, SpOG(K) dari Fak Kedokteran UI, perkembangan jaringan

mola salah satunya disebabkan oleh defisiensi vitamin A.

 

3

Page 4: BAB II BUKIT

Gambaran klinis

Gambaran klinis sebagian besar kehamilan mola telah banyak berubah dalam 20 tahun

terakhir karena penggunaan ultrasonografi transvaginal dan hCG serum kuantitatif menyebabkan

diagnosis ditegakkan lebih dini. Gejala-gejala mencolok lebih besar kemungkinannya terjadi

pada mola sempurna.

Perdarahan uterus hamper bersifat universal, dan dapat bervariasi dari bercak sampai

perdarahan berat. Perdarahan mungkin terjadi sesaat sebelum abortus atau, lebih sering, terjadi

secara intermiten selama beberapa minggu bahkan bulan. Anemia defisiensi besi sering dijumpai

dan kadang-kadang terdapat eritropoiesis megaloblastik, mungkin akibat kurangya asupan gizi

karena mual dan muntah disertai meningkatkan kebutuhan folat trofoblas yang cepat

berproliferasi.

Uterus sering membesar lebih cepat daripada biasanya. Ini adalah kelainan yang tersering

dijumpai, dan pada sekitar separuh kasus, ukuran uterus jelas melebih yang diharapkan

berdasarkan usia gestasi. Uterus mungkin sulit diidentifikasi secara pasti dengan palpasi,

terutama pada wanita nullipara, karena konsistensinya yang lunak di bawah dinding abdomen

yang kencang.

Walaupun uterus cukup membesar sehingga jauh diatas simfisis, bunyi jantung janin

biasanya tidak terdeteksi. Walaupun jarang, mungkin terdapat plasenta kembar dengan

4

Page 5: BAB II BUKIT

perkembangan kehamilan mola sempurna pada salah satunya, sementara plasenta lain dan

janinnya tampak normal.

Makin besar uterus, makin besar jumlah sel trofoblas, maka akan makin tinggi kadar β-

hCG-nya, yang pada gilirannya akan menyebabkan hiperstimulasi ovarium, sehingga terjadilah

kista lutein bilateral.

Yang sangat penting adalah kemungkinan terjadinya preeklampsia pada kehamilan mola,

yang menetap samapi trimester kedua. Sementara, hipertensi dalam kehamilan jarang dijumpai

sebelum usia gestasi 24 minggu. Pasien dapat mengalami mual dan muntah yang cukup berat.

Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola sering meningkat, tetapi

jarang menyebabkan gejala klinis hipertiroidisme. Tiroksin bebas dalam serum meningkat akibat

efek gonadotropin korionik atau varian-variannya yang mirip tirotropin.

Saat evakuasi, trofoblas, dengan atau tanpa stroma vilus, lolos dari uterus melalui aliran

vena dalam jumlah bervariasi. Volumenya dapat sedemikian sehingga menimbulkan gejala dan

tanda embolisme paru akut dan bahkan berakibat fatal.

Diagnosis

Dasar diagnosis dari mola hidatidosa adalah dari anamnesis didapatkan amenore,

perdarahan pervaginam terus menerus atau intermiten yang tejadi mulai usia gestasi 12 minggu

dan cenderung coklat dariapda merah, uterus lebih besar dari umur kehamilan, hiperemesis

gravidarum atau tampak gelembung mola.

Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya bagian-bagian janin dan bunyi jantung

janin walaupun uterus telah membesar setinggi pusat atau lebih. Disamping pemeriksaan

terhadap status generalis dan status ginekologis juga harus dicari tanda-tanda penyulit seperti

preeclampsia-eklamsia yang timbul sebelum usai gestasi 24 minggu, tirotoksikosis dan emboli

paru-paru.

Pada pemeriksaan laboratorium, kadar gonadotropin korionik serum lebih tinggi daripada

yang diperkirakan untuk usia gestasinya. Pada pemeriksaan penunjang rontgen foto abdomen

tidak ditemukan rangka janin, pemeriksaan USG tampak gambaran badai salju (snow flake

pattern), tes sonde acosta sison (+).

5

Page 6: BAB II BUKIT

Diagnosa pasti dengan melihat gelembung mola keluar dari introitus vagina disertai

perdarahan, tapi bila kita menunggu sampai melihat gelembung mola keluar biasanya sudah

terlambat dan keadaan umum pasien sudah menurun.

Penatalaksanaan

Pengelolaan terdiri dari 4 tahap yaitu perbaikan keadaan umum, evakuasi jaringan mola,

pemberian profilaksis sitostatik dan follow up/ perawatan tindak lanjut pasca tindakan mola.

Pasien biasanya berada dalam kondisi anemis karena mengalami perdarahan sedikit-sedikit dan

lama atau sudah mengalami perdarahan banyak. Transfusikan darah, beri antibiotik, kontrol vital

sign, perdarahan pervaginam. Jika ada penyulit seperti preeclampsia diobati sesuai dengan terapi

preeclampsia, tirotoksikosis diobati sesuai dengan anjuran interne.

Evakuasi terdiri dari 2 cara, yaitu kuret vakum dan histerektomi totalis. Kuret vakum

merupakan terapi pilihan untuk mola hidatidosa.Untuk mola besar, dipersiapkan darah yang

sesuai dan apabila diperlukan dipasang system intravena untuk menyalurkan infus secara cepat.

Zat-zat dilator serviks digunakan apabila serviks panjang, sangat padat dan tertutup. Dilatasi

lebih lanjut dapat dilakukan dengan aman dalam anestesi umum. Setelah sebagian mola

dikeluarkn melalui aspirasi dan pasien diberi oksitosin, serta miometrium telah berkontraksi,

biasanya dilakukan kuretase dengan kuret tajam besar. Evakuasi dengan vakum kuret merupakan

pilihan dan pada pasien yang memang meminta untuk dilakukan sterilisasi maka histerektomi

dapat dilakukan.Histerektomi total dilakukan dengan jaringan mola intoto atau beberapa hari

pasca kuretase. Histerektomi total dilakukan untuk golongan resiko tinggi dimana umur lebih

dari 35 tahun dengan jumlah anak cukup, sebagai tindakan profilaksis terhadap keganasan di

uterus.

Profilaksis dilakukan dengan 2 cara yaitu histerektomi totalis jika fungsi reproduksi

sudah tidak diharapkan lagi, usia dan paritas sudah mencukupi dan kemoterapi jika pasien

menolak atau tidak bisa dilakukan histerektomi dan pada wanita muda dengan histopatologi yang

mencurigakan. Obat sitostatika yang diberikan: Methothrexate, Actinomicin D, Adriamicin,

Vinkristin, dll.

Follow up bertujuan menentukan secara dini adanya transformasi keganasan. Dimana

dilakukan pemeriksaan kadar β-hCG. Lamanya adalah satu tahun dengan jadwal 3 bulan pertama

setiap 2 minggu, 3 bulan kedua setiap 1 bulan dan 6 bulan terakhir setiap 2 bulan. Dengan syarat

6

Page 7: BAB II BUKIT

selama follow up tidak boleh hamil dan kontrasepsinya adalah kondom atau bila haid sudah

teratur dapat digunakan pil.

Bagaimanapun juga, prosedur follow up yang membutuhkan pemeriksaan berkala dalam

masa 1 atau 2 tahun mungkin tidak menjadi masalah pada negara-negara yang telah maju tetapi

sulit dilakukan pada negara-negara berkembang.

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi masalah pengobatan pasien baik

secara langsung atau tidak langsung yang disebut sebagai faktor-faktor konstektual. Faktor

konstektual adalah aspek sosial, ekonomi dan keuangan, keluarga, hukum dan lain-lain, serta

pengaruh lingkungan institusional tempat pasien itu dirawat. Sebagai lebih rinci, faktor-faktor

eksternal terhadap pasien itu adalah :

peran keluarga, teman dekat, majikan dan sebagainya

biaya pengobatan

alokasi dan distribusi sumber daya kesehatan oleh pemerintah

peran dan perkembangan asuransi kesehatan/ JPKM

perkembangan teknologi medis

tingkat kesejahteraan masyarakat

PrognosisPrognostik mola (gold Stein Mola)

No. 1 2 3 4

1. Jenis mola Partial klasik rekuren -

2. Besar uterus <1 bulan >1 bulan >2 bulan >3 bulan

3. Kadar hCG <50000 50000-100000 103-104 >104

4. Umur pasien 20-40 tahun < 20 tahun >40 tahun >50 tahun

5. Adanya penyerta - 1/lebih - -

Skor < 4 jinak

Skor > 4 cenderung ganas

Pengalaman menunjukkan bahwa penderita mola hidatidosa dengan uterus di atas 20

minggu, kadar β-hCG di atas 105 mIU/ml dan disertai kista lutein bilateral, lebih besar

kemungkinannya untuk mendapat keganasan.

7

Page 8: BAB II BUKIT

Kematian pada mola hidatidosa disebabkan karena perdarahan, infeksi, eklampsia, payah

jantung atau tirotoksikosis. Di negara maju, kematian mola hampir tidak ada lagi, tetapi dinegara

berkembang masih cukup tinggi yaitu berkisar 2.2% dan 5.7%.4 Hampir 20% mola hidatidosa

komplit akan berlanjut menjadi neoplasia trofoblas kehamilan. Terjadinya proses keganasan bisa

berlangsung antara 7 hari sampai 3 bulan pasca mola, tetapi yang paling banyak dalam 6 bulan

pertama. Pada Mola hidatidosa parsial jarang terjadi.

Menurut Prof. Dr. Soetoto, SpOG(K) dari FK Undip (alm) pencegahan perkembangan

mola hidatidosa menjadi keganasan trofoblas dapat dilakukan dengan pemberiansuntikan

imunisasi BCG. Sedangkan menurut DR. Dr. Andrijono, SpOG(K) dari FKUI, dapat dengan

diberikan Vitamin A dosis tinggi.

8

Page 9: BAB II BUKIT

 

2.2 Tumor Trofoblastik Gestasional

Istilah ini mengacu pada entitas patologis berupa mola invasif, koriokarsinoma dan tumor

trofoblas di plasenta. Kelainan ini mungkin muncul setelah kehamilan mola atau kehamilan

normal atau timbul setelah abortus, termasuk kehamilan ektopik.

Klasifikasi Tumor Trofoblastik Gestasional

1. Non metastatik

2. Metastatik

a. Risiko rendah ---- tidak ada faktor risiko

b. Risiko tinggi---- salah satu faktor risiko

Kadar hCG praterapi > 40.000 mIu/ml

Durasi > 4 bulan

Metastasis otak atau hati

Riwayat kegagalan kemoterapi

Kehamilan aterm sebelumnya

9

Page 10: BAB II BUKIT

Etiologi

Tumor trofoblastik gestasional hampir selalu berkembang pada atau setelah suatu bentuk

kehamilan. Walaupun sangat jarang, koriokarsinoma juga dapat timbul dari teratoma. Sekitar

separuh kasus terjadi setelah mola hidatidosa, 25 % setelah abortus, dan 25 % setelah kehamilan

yang tampak normal. Dari 48 kasus fatal di Brewer Trophoblastic Disease Centre, hanya 14 ( 30

persen ) yang timbul setelah mola hidatidosa ( Lurain dkk, 1982). Sisanya terjadi pada kehamilan

aterm, abortus, atau kehamilan ektopik. Tanos dkk (1994) melaporkan seorang wanita yang

mengalami kekambuhan penyakit trofoblastik gestasional setelah dua kali upaya fertilisasi in

vitro.

Keganasan jarang dijumpai pada plasenta dari kehamilan yang tampak normal. Pada

sebuah kasus yang dilaporkan oleh Brewer dan Mazur ( 1981 ), pada kehamilan 18 minggu

tampak trofoblas ganas luas, dan terdeteksi adanya koriokarsinoma primer di plasenta. Satu

kasus dengan trofoblas ganas yang bermetastasis ke janin juga pernah dilaporkan ( Kruseman

dkk, 1977). Penulis-penulis lain melaporkan koriokarsinoma intraplasenta disertai janin hidup

( Aonahata dkk, 1998; Jacques dkk, 1998). Lele dkk, (1999) menyajikan kasus lain dan

melakukan ulasan terhadap literatur tersebut.

Patologi

Pada sebagian besar kasus tumor trofoblastik gestasional, diagnosis terutama ditegakkan

berdasarkan menetapnya gonadotropin korionik dalam serum. Penatalaksaan klinis tidak lagi

ditentukan oleh temuan histologis. Bahkan, pada sebagian besar kasus, tidak ada jaringan yang

dikirim ke bagian patologi. Pada kasus-kasus yang jaringannya dikirim, yang paling sering

dijumpai adalah koriokarsinoma atau mola invasif.

2.2.1 Mola invasif

Definisi

Mola invasif adalah keganasan pasaca mola hidatidosa (MH) yang ditandai dengan vili

korialis atau gelembung mola yang terletak diantara otot-otot miometrium. Jenis TTG ini sudah

lama dikenal dengan istilah koriokarsinoma destruens atau mola destruens (Ewing ), sedangkan

Tjokronegoro S menggunakan istilah koriokarsinoma villosum. Tetapi sekarang lebih dikenal

10

Page 11: BAB II BUKIT

dengan invasif mole atau mola invasive (MI), karena dianggap bahwa secara patologi anatomi,

tidak ada perbedaan antara MHK dengan MI. Yang berbeda adalah daya penetrasinya. Pada

Mola Invasif , vili korialis dan sel trofoblasnya dapat menembus miometrium maupun

parametrium.

Epidemologi

Data RSHS yang dikumpulkan selama 4 tahun antara 1995-1999, menunjukkan bahwa

selama periode tersebut ditemukan 164 kasus TTG yang dapat dianalisis ( data rekaman medis

lengkap), terdiri dari 41 kasus koriokarsinoma, 11 mola invasive, 1 PSTT, dan sisanya Persistent

Trophoblastic Disease.

Patogenesis dan Progresifitas

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pada saat wanita itu mendapat mola hidatidosa,

sebagian dari vili koriaalis sudah ada di miometrium. Ini terbukti kalau kita melakukan

histerektomi pada MHK, hasil PA nya sering berupa MI, bukan MHK ( Panlilio,

Martaadisubrata). Tampaknya saat jaringan mola itu dievakuasi, yang keluar adalah yang dari

kavum uteri saja, sedangkan yang di miometrium tetap ada.

Bagaimana nasib vili korialis yang ada di mometrium?ada dua kemungkinan, yang

pertama, akan diresorbsi oleh badan sehingga hilang sama sekali dan penderita sehat kembali.

Kedua, oleh suatu sebab yang belum diketahui, vili tersebut berkembang lagi menjadi gelembung

mola. Pada keadaan ini bila dilakukan USG, akan tampak gambaran khas vesikuler diantara otot-

otot miometrium.

Bila jumlah gelembung makin banyak, ruang miometrium tidak bisa menampungnya lagi

sehingga akhirnya terjadilah perforasi. Kemungkinan arah perforasi ada tiga. Yang paling sering

arahnya ke perimetrium, sehingga menyebabkan perdarahan intraabdominal. Kalau letaknya

lebih bawah, perforasi dapat juga terjadi ke arah parametrium. Terakhir, perforasi juga bisa

menuju ke arah kavum uteri sehingga kavum uteri terisi lagi oleh jaringan mola dan uterus

kembali membesar. Dalam keadaan demikian sering disangka bahwa wanita itu mengalami

MHK baru dalam waktu yang relatif pendek. Kalau terjadi perforasi, dan penanganannya bersifat

konservatif, seperti kontrol perdarahan kemudian diikuti dengan histerografi saja, kemungkinan

penyembuhannya akan disertai dengan kelemahan otot miometrium pada daerah perforasi

11

Page 12: BAB II BUKIT

tersebut. Hal ini mungkin akan membahayakan bila wanita tersebut kemudian hamil, yaitu

terjadinya ruptur uteri pada kehamilan.

Dengan penjelasan diatas, serta sesuai dengan informasi pustaka, maka disepakati MI

didahului oleh MH, jarang bermetastasis, responsif terhadap kemoterapi dan berprognosis baik.

Walaupun derajat keganasannya rendah, tetapi secara klinis dapat berbahaya, bahkan dapat

berakibat fatal, terutama bila terjadi perforasi ke kavum abdominalis atau parametrium.

Diagnosis

Secara klinis sulit membuat diagnosis MI, kecuali penderita datang dalam keadaan

darurat, yaitu bila seorang wanita yang pernah mendapat MHK datang dengan keluhan akut

abdomen yang disebabkan oleh perforasi ke arah perimetrium. Biasanya penderita sangat

kesakitan, anemis, dan tidak jarang dalam keadaan syok. Dalam keadaan begini, diagnosis

memang mudah dibuat, tetapi secara prognostik sering tidak menguntungkan karena kita sering

kali melakukan histerektomi, walaupun pada wanita muda dengan paritas rendah.

Bila tidak hati-hati melakukan anamnesis, penderita MI yang masuk dalam keadaan

darurat sering disangka sebagai kehamilan ektopik terganggu.

Sebetulnya kita dapat mencurigai adanya MI, tanpa harus menunggu keadaan akut, bila

ditemukan hal-hal sebagai berikut:

1. Anamnesis

a. Dalam waktu yang tidak terlalu lama pernah mendapat MHK

b. Masih ada perdarahan tidak teratur pasca evakuasi

c. Perut terasa membesar lagi

2. Ginekologis

Uterus subinvolusi disertai perdarahan

3. Laboratoris

ß-Hcg tetap tinggi atau ada distorsi pada kurva regresi

4. USG

Tampak gambaran vesikuler di antara otot-otot miometrium.

Kadang-kadang dengan USG dapat pula ditentukan adanya ancaman perforasi

( impending perforation ) . Gambaran USG yang khas ini dapat dianggap patognomonis,

sehingga dapat dianggap diagnosis kerja.

12

Page 13: BAB II BUKIT

Diagnosis Pasti

Ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan PA, dimana ditemukan vili korialis diantara

otot-otot miometrium.

Diagnosis yang hanya berdasarkan klinis, laboratoris dan USG saja, seharusnya masuk dalam

klasifikasi Persistent Trophoblastic Disease atau Koriokarsinoma Klinis.

Terapi

1. Kemoterapi

Pengobatan MI dapat dilakukan secara konservatif saja, asal diagnosis MI dibuat

berdasarkan gambaran klinis, laboratoris, dan USG, atau berdasarkan hasil PA yang

jaringannya diambil bukan dari uterus, melainkan dari tempat metastasis, seperti vagina/

vulva.

Indikasi pemberian kemoterapi pada MI adalah sebagai berikut :

Wanita muda dengan paritas rendah, atau yang masih memerlukan fungsi reproduksi.

Tidak ada tanda-tanda ancaman perforasi

Besar uterus kurang dari 14 minggu.

2. Operasi

Ada kalanya kita tidak bisa menghindar dari kekeliruan untuk melakukan

tindakan operasi, walaupaun wanita itu masih sangat memerlukan fungsi reproduksinya,

terutama bila disertai gejala perdarahan akut akibat perforasi uterus.

Operasi juga dianjurkan bila pada USG ditemukan gambaran ancaman perforasi,

dengan uterus diatas 14 minggu, terutama bila wanita tersebut sudah tidak memrlukan

fungsi reproduksinya.

Jenis operasi yang dilakukan tergantung kepada beberapa hal. Bila wanita masih

muda, sedapat mungkin histerektomi dihindarkan. Bila terjadi perforasi ke arah

peritoneum dan kavum uteri, sehingga terjadi perdarahan intaabdominal dan uterus

membesar lagi karena terisi gelembung mola, maka evakuasi jaringan dilakukan

bersamaan dengan laparotomi, dengan mengisapnya melalui daerah perforasi. Hal ini

dimaksudkan untuk memperkecil uerus sehingga perdarahan lebih mudah dikontrol.

Selanjutnya, dilakukan histerografi dan sterilisasi. Dengan cara ini, wanita itu tidak boleh

13

Page 14: BAB II BUKIT

hamil lagi karena bahaya ruptur uteri pada saat kehamilan, disamping itu, fungsi

menstruasi masih dapat dipertahankan.

Karzmarek et al, pernah melaporkan satu kasus MI yang berhasil diobati dengan

kemoterapi saja, selanjutnya tiga tahun kemudian hamil lagi dan terjadi ruptur uterus

pada kehamilan 39 minggu, pada saat diberi infus oksitosin. Mereka menyangka bahwa

ruptur tersebut terjadi karena adanya kelemahan otot miometrium akibat MI sebelumnya.

Sebaliknya Berkowitz, Song, dan Rustin, melaporkan bahwa dari sekian ratus kasus TTG

yang diobati dengan kemoterapi saja dan kemudian hamil, tidak ada satupun yang

mengalami ruptur selama kehamilan berikutnya. Tetapi, ketiga peneliti tersebut tidak

melaporkan adanya kasus perforasi pada saat mereka diobati untuk TTG nya.

Bagaimana bila terjadi perforasi ke arah kavum uteri saja, tanpa tanda-tanda

perforasi ke tempat lain, apakah evakuasinya dapat dilakuakan dari bawah? Untuk yang

di kavum uteri memang bisa, tetapi kita tidak bisa yakin bahwa gelembung yang ada di

miometrium sudah keluar semua.keadaan semacam ini memang menyulitkan. Bila fungsi

reproduksi sudah tidak diperlukan lagi, sebaiknya dilakukan histerektomi.

Follow up

Semua kasus MI yang mendapat pengobatan kemoterapi saja, harus diawasi selama satu

tahun, untuk melihat kemnungkinan terjadinya kekambuhan. Jadwal dan cara pemantauannya

tidak berbeda dengan follow up pada MHK.

Prognosis

Sesuai dengan sifatnya yang mempunyai derajat keganasan yang rendah, prognosis MI

sangat baik, asal saj masa akutnya dapat segera ditanggulangi.Operasi darurat semacam ini dapt

dilakukan di rumah sakit daerah. Kalau memerlukan kemoterapi, baru berkonsultasi dengan

pusat, sekaligus merujuknya.

Kalau wanita MI kemudian hamil lagi,pengawasannya harus lebih hati-hati. Terutama pada

hamil tua, pemeriksaan USG harus dilakukan secara serial, untuk melihat kemungkinan adanya

”locus minorus resistensi”, yang bisa menimbulkan ruptur uteri spontan pada kehamilan.

Sebaiknya kasus semacam ini dianggap sebagai kehamilan dengan anak mahal. Jadi, jangan

14

Page 15: BAB II BUKIT

diberi uterotonika, baik sebagai augmentasi maupun akselerasi. Kalau perlu dilakukan sectio

cesarean primer.

2.2.2 Koriokarsinoma

Definisi

Koriokarsinoma merupakan salah satu jenis dari Penyakit Trofoblastik Gestasional (PTG)

dimana ia merupakan suatu tumor ganas yang berasal dari jaringan trofoblas yaitu dari sel-sel

sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas yang menginvasi miometrium, merusak jaringan di sekitarnya

termasuk pembuluh darah sehingga menyebabkan perdarahan. Koriokarsinoma bersifat agresif

dan sering ditandai dengan metastase hematogenous yang cepat terutama ke paru-paru.

Salah satu ciri khusus dari kanker ini adalah menghasilkan hormon human chorionic

gonadotropin (hCG) dalam kadar yang tinggi. Koriokarsinoma dapat menyerang semua wanita

yang pernah hamil termasuk wanita yang pernah mengalami kehamilan mola. Tidak seperti

mola hidatidosa, koriokarsinoma bisa menyerang banyak organ dalam tubuh seperti hati, limpa,

paru-paru, tulang belakang dan otak.

Epidemiologi

Di Amerika Serikat, neoplasia trofoblastik gestasional didiagnosa pada 15-20% pasien

dengan mola hidatidosa komplit dan 2 % pada pasien dengan mola hidatidosa parsial.

Koriokarsinoma terjadi pada 1 dari 40 kasus mola hidatidosa dan 1 dari 20 000- 40 000

kehamilan. Bagaimanapun, ia hanya terjadi pada 1 dari 160 000 kehamilan aterm.

Di dunia Internasional, rata-rata insiden koriokarsinoma dilaporkan sebanyak 1 dalam

500-600 kehamilan di India hingga 1 dalam 50.000 kehamilan di Mexico, Paraguay dan Swedia.

Perbedaan ini mungkin dikarenakan oleh perbedaan dalam metodologi ( misalnya

pengidentifikasian kasus dan keakuratan nilai statistik).

Insiden koriokarsinoma meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan 5-15 kali lebih

tinggi pada wanita berusia 40 tahun atau lebih berbanding wanita usia muda.

Etiologi

15

Page 16: BAB II BUKIT

Etiologi terjadinya koriokarsinoma masih belum jelas diketahui. Pada koriokarsinoma,

trofoblas normal cenderung menjadi invasif dan erosi pembuluh darah terjadi secara berlebihan.

Keganasan ini dapat terjadi setelah kehamilan normal, namun ia seringkali berhubungan dengan

kehamilan mola.

Koriokarsinoma bisa didahului oleh:

Mola hidatidosa (50% kasus)

Aborsi spontan (20% kasus)

Kehamilan ektopik (2% kasus)

Kehamilan normal (20-30% kasus)

Klasifikasi

Penyakit ini dibagi dalam dua golongan yaitu:

1. Penyakit trofoblast ganas risiko rendah

Pada penyakit ini dapat ditemukan metastasis ke paru-paru dan / atau alat genital, kadar

hCG yang tetap tinggi atau meningkat tetapi tidak melebihi 100 000 mU/ml.

Umumnya penyakit diketahui dan diobati selama kurang dari 4 bulan, setelah mola

dikeluarkan. Jika ada perdarahan yang tidak normal, perlu dilakukan kerokan dahulu.

Untuk membuat diagnosis perlu ditentukan tidak adanya metastasis di otak, hepar dan/

atau traktus digestivus

2. Penyakit trofoblast ganas risiko tinggi

Pada kasus-kasus ini terdapat tidak saja metastasis di paru-paru dan alat genital,

melainkan juga di otak, di hepar, dan / atau traktus digestivus. Diagnosis seringkali

dibuat terlambat, oleh karena hanya 30% terdapat mola hidatidosa dalam anamnesis.

Tidak jarang lebih menonjol gejala-gejala yang disebabkan oleh metastasis, misalnya

ikterus atau perdarahan dalam otak. Diagnosis dalam hal itu baru dipikirkan

apabila ditemukan kadar hCG tinggi. MRI kiranya dapat dipakai untuk mendeteksi

metastasis di otak.

Patogenesis

16

Page 17: BAB II BUKIT

Bentuk tumor trofoblas yang sangat ganas dapat dianggap sebagai suatu karsinoma dari

epitel korion, walaupun perilaku pertumbuhan dan metastasisnya mirip dengan sarkoma. Faktor-

faktor yang berperan dalam transformasi keganasan korion tidak diketahui. Pada

koriokarsinoma, kecenderungan trofoblas normal untuk tumbuh secara invasif dan menyebabkan

erosi pembuluh darah sangatlah besar. Apabila menganai endometrium, akan terjadi perdarahan,

perontokan dan infeksi permukaan. Massa jaringan yang terbenam di miometrium dapat meluas

keluar, muncul di uterus sebagai nodul-nodul gelap ireguler yang akhirnya menembus

peritoneum.

Metastasis sering berlangsung dini dan umumnya hematogen karena afinitas trofoblas

terhadap pembuluh darah. Tempat anak sebar tersering adalah paru ( lebih dari 75 persen ) dan

vagina ( sekitar 50 persen ). Pada banyak kasus, vulva, ginjal, ovarium, otak dan usus juga

mengandung anak sebar.

Gejala dan Tanda

Perdarahan per vaginam pada pasien dengan riwayat kehamilan mola, aborsi, kehamilan

ektopik atau

kehamilan normal

Batuk berdarah dan sesak nafas

Sakit kepala

Sakit tulang belakang

Perut bengkak

Hilang selera makan dan berat badan turun

Mata kuning

Anemis

Peningkatan kadar beta hCG

Pembesaran uterus yang tidak sesuai dengan masa kehamilan

Staging

17

Page 18: BAB II BUKIT

Menurut FIGO:

Stage I Terbatas pada uterus

Stage II Ekstensi keluar dari uterus tapi masih terbatas pada

struktur genitalia seperti vagina dan adneksa

Stage III Metastasis ke paru dengan atau tanpa keterlibatan

traktus genitalia

Stage IV Metastasis ke organ lain

Setiap staging (nomor romawi) diikuti dengan jumlah skor prognostik (lihat tabel)

misalnya

stage III: 5. FIGO merekomendasikan pasien digolongkan dalam kelompok resiko rendah jika

skor prognostik 0-6 dan dalam kelompok resiko tinggi jika skor 7 atau lebih. Indeks skor

prognostik yang digunakan sekarang adalah klasifikasi dari WHO yang telah dimodifikasi.

Indeks Skor Prognostik menurut WHO:

Skor 0 1 2 4

Usia < 39 > 39

Kehamilan

sebelumnya

Mola Abortus Kehamilan aterm

Interval kehamilan

sebelumnya

(bulan)

4 4 sd 6 7 sd 12 > 12

Hcg < 103 103 - < 104 104 - < 105 >/= 105

Ukuran tumor

terbesar

< 3 cm 3-5 cm > 5 cm

Tempat metastasis Limpa, ginjal Traktus GI Hepar, otak

Jumlah metastasis 1 sd 4 5 sd 8 > 8

18

Page 19: BAB II BUKIT

Kemoterapi

sebelumnya

Obat tunggal Obat kombinasi

Diagnosis

The International Federation of Gynaecology & Oncology (FIGO) menetapkan beberapa

kriteria yang dapat digunakan untuk mendiagnosis Penyakit Trofoblastik Gestasional termasuk

koriokarsinoma:

1. Menetapnya kadar beta hCG pada 4 kali penilaian dalam 3 minggu atau lebih (misalnya

hari 1,7,14 dan 21)

2. Kadar beta hCG meningkat pada selama 3 minggu berturut-turut atau lebih (misalnya hari

1, 7 dan 14)

3. Tetap terdeteksinya beta hCG sampai 6 bulan pasca evakuasi mola

4. Gambaran patologi anatomi adalah koriokarsinoma

Pemeriksaan Penunjang

1. Foto rontgen thoraks

2. Uji sonde

3. USG abdomen – tidak terlihat janin, pada mola akan kelihatan bayangan 'badai salju'

4. MRI

Penatalaksanaan

Koriokarsinoma merupakan salah satu tumor yang sensitif terhadap kemoterapi. Tingkat

kesembuhan walaupun pada koriokarsinoma yang telah bermetastasis adalah sekitar 90-95%.

Namun metastase ke hepar dan otak sering berakibat fatal.

Penatalaksanaan korikarsinoma dapat dilakukan dengan:

a) Kemoterapi

Terapi menggunakan obat tunggal seperti metotraxate atau actinomycin D

direkomendasikan pada korikarsinoma dengan resiko rendah/ belum bermetastase meluas

ke seluruh tubuh. Regimen kombinasi seperti EMACO ( etoposide, metotrexate,

19

Page 20: BAB II BUKIT

actinomycin D, cyclophosphamide & vincristine (Oncovin)) direkomendasikan untuk

yang resiko sedang hingga tinggi.

b) Histerektomi

Biasanya dilakukan pada wanita berusia 40 tahun atau lebih, atau pada wanita yang

memang mau dilakukan histerektomi. Histerektomi perlu dilakukan pada pasien dengan

infeksi berat dan perdarahan yang tidak terkontrol.

Prognosis

Kebanyakan wanita dengan koriokarsinoma yang belum menyebar dapat sembuh dan

dapat mempertahankan fungsi reproduktif.

Prognosis baik apabila:

hCG < 100 000 IU/ urin 24 jam atau < 40 000 IU/ ml serum

simptom < 4 bulan

Tidak ada metastasis ke otak atau hepar

Belum pernah mendapat kemoterapi sebelumnya

Tidak didahului dengan kehamilan aterm sebelumnya

Prognosis buruk/ penyakit tersebut lebih sulit disembuhkan apabila:

hCG > 100 000 IU/ urin 24 jam atau > 40 000 IU/ ml serum

simptom > 4 bulan

Metastasis ke otak atau hepar

Gagal dengan kemoterapi sebelumnya

Didahului dengan kehamilan aterm sebelumnya

20

Page 21: BAB II BUKIT

DAFTAR PUSTAKA

1. Djamhoer, Anwar AD, Armawan E, Sitorus MO. Protokol Pengelolaan Penyakit

Trofoblas Gestasional. FK-UNPAD. Bandung. 2001. 53-61

2. Zainu Saleh, A. Kanker Ginekologi : Klasifikasi dan Petunjuk Pelaksanaan Praktis.

Palembang : Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UNSRI/ RSMH ; 2005.

3. Lukas E, Djuanna AA. Mola hidatidosa. Dalam : Pedoman diagnosis dan terapi obstetric

dan ginekologi. EditorManoe IMSM, Rauf S, Usmany H. Ujung Pandang : Bagian

Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ; 1999. p.108-11

4. Martadisoebrata D. Penyakit Serta Kelainan Plasenta dan Selaput Janin. Dalam : Ilmu

Kebidanan. Editor Wiknjosastro H. Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Edisi ketiga, Jakarta :

Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 1994.p.339-59

5. Cunningham, et al. Disease and abnormalities of The Placenta. William Obstetrics 23 th

edition. Appleton & Lange Company. 2010.

6. Berkowitz RS, Goldstein DP. Gestational Trophoblastic Neoplasia. Practical

Gynecologic Oncology. Third edition. Edited by Berek JS, Hacker NF. Lippincott

Williams & Wilkins. Philadelpia. 2000; 615-636.

7. Sarwono Prawirohardjo. Gangguan bersangkutan dengan hasil konsepsi dalam buku ilmu

kandungan ed 2 cetakan 5. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka. 2007: 260-266

8. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Tumor trofoblastik gestasional dalam

Obstetri William edisi 21. New York. Mc graw hill. 2001: 939-941

9. Report of a WHO Scientific Group. Gestational Trophoblastic Diseases. World Health

Organization Technical Report Series 692. Geneva. 1983.

10. Winkjosastro H. Penyakit Serta Kelainan Plasenta Dan Selaput Janin. Yayasan Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 1999; 339-360.

11. O’Quin AG, Barnard DE. Gestational Trophoblastic Diseases. Current: Obstetric &

Gynecologic Diagnosis & Treatment. 8th edition. Edited by Decherney AH, Pernoll ML.

A Lange Medical Book. Appleton & Lange. USA. 1994; 967-976.

12. Beckmann CRB. Gestational Trophoblastic Diseases. Obstetrics & Gynecology. Third

edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 1998; 490-498.

21

Page 22: BAB II BUKIT

13. Suwiyoga K, Faktor Konstektual dalam Masalah Etika Klinis. Buku Ajar Obstetri dan

Ginekologi Sosial. Universitas Udayana

14. Ngan HYS, et al. Gestational Trophoblastic diseases. Staging Classification and Clinical

Practice Guidelines of Gynecologic Cancer by The FIGO Committee on Gynecologic

Oncology. Edited by Benedet JL, Pecorelli S. Elsevier. 2000; 79-86.

15. Berek, Jonathan. Berek & Novak’s Gynecology, 14th edition. Lippincott Williams &

Wilkins. 2007

16. Mochtar R. Penyakit Trofoblas. Dalam : Sinopsis Obstetri. Editor Lutan D. Jilid I. Edisi

2. Jakarta : EGC ; 1998.p.238-45.

17. Copeland LJ. Gestational Trophobiastic Neoplasia. In : Textbook of Gynecology. 2nded.

Philadelphia : WB Saunders Company : 2000.p.1409-15.

18. Aliza L. Leiser, MD, and Carol Aghajanian, MD. Evaluasi dan Manajemen Penyakit

Trofoblas GestasionaL. New York

22