BAB II Ata -...

25
17 BAB II TINJAUAN UMUM ETIKA ISLAM DAN ETIKA PERGAULAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN DALAM ISLAM A. Etika Islam Teori etika adalah gambaran rasional mengenai hakikat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan dilarang. Oleh karena itu penelitian etika selalu menempatkan tekanan khusus terhadap definisi konsep- konsep etika, justifikasi atau penilaian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan dan keputusan yang baik dan yang buruk. Untuk lengkapnya sistem etika harus berkaitan secara memadai dengan aspek-aspek penelitian moral ini dengan cara yang bermakna dan koheren. Al-Qur’an yang melibatkan seluruh kehidupan moral, keagamaan dan sosial muslim, tidak berisi teori-teori etika dalam arti yang baku sekali pun, Al-Qur’an membentuk keseluruhan ethos Islam. Jadi, cara mengeluarkan ethos ini menjadi sangat penting dalam studi etika Islam. Ada tiga hal yang menjanjikan arah di mana penelitian kini dapat membuahkan hasil yang kesemuanya itu kembali kepada teks Al-Qur’an itu sendiri, yaitu tafsir, fiqih, dan kalam. Para sufi dan filosofis yang sering menggali otoritas Al-Qur’an untuk mendukung pernyataan teoritis dan etika mereka tidak dapat dikatakan telah membangun pandangan Islam yang menyeluruh mengenai alam dan manusia, karena bentuk pemikiran mereka sebelumnya, terutama Yunani. Sehingga teori-teori etika mereka ditandai dengan kompleksitas yang tinggi, yang menyusunnya sebagian dari teori umum yang berakar dari Al-Qur’an dan hadits. Pemikiran etika membutuhkan sistematisasi dan shophistifikasi intelektual yang maju. Sebelum munculnya teologi dan filsafat aktivitas

Transcript of BAB II Ata -...

17

BAB II

TINJAUAN UMUM ETIKA ISLAM DAN ETIKA PERGAULAN

LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN DALAM ISLAM

A. Etika Islam

Teori etika adalah gambaran rasional mengenai hakikat dan dasar

perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan

klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan

dilarang. Oleh karena itu penelitian etika selalu menempatkan tekanan khusus

terhadap definisi konsep- konsep etika, justifikasi atau penilaian terhadap

keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan dan keputusan yang

baik dan yang buruk. Untuk lengkapnya sistem etika harus berkaitan secara

memadai dengan aspek-aspek penelitian moral ini dengan cara yang bermakna

dan koheren.

Al-Qur’an yang melibatkan seluruh kehidupan moral, keagamaan dan

sosial muslim, tidak berisi teori-teori etika dalam arti yang baku sekali pun,

Al-Qur’an membentuk keseluruhan ethos Islam. Jadi, cara mengeluarkan

ethos ini menjadi sangat penting dalam studi etika Islam. Ada tiga hal yang

menjanjikan arah di mana penelitian kini dapat membuahkan hasil yang

kesemuanya itu kembali kepada teks Al-Qur’an itu sendiri, yaitu tafsir, fiqih,

dan kalam. Para sufi dan filosofis yang sering menggali otoritas Al-Qur’an

untuk mendukung pernyataan teoritis dan etika mereka tidak dapat dikatakan

telah membangun pandangan Islam yang menyeluruh mengenai alam dan

manusia, karena bentuk pemikiran mereka sebelumnya, terutama Yunani.

Sehingga teori-teori etika mereka ditandai dengan kompleksitas yang tinggi,

yang menyusunnya sebagian dari teori umum yang berakar dari Al-Qur’an dan

hadits.

Pemikiran etika membutuhkan sistematisasi dan shophistifikasi

intelektual yang maju. Sebelum munculnya teologi dan filsafat aktivitas

18

semacam itu benar terputus. Para komentator Al-Qur’an, ahli hadits dan ahli

hukum telah berusaha dalam menganalisa dan interpretasinya melibatkan

aktivitas intelektual yang sungguh-sungguh dalam arti luar. Akan tetapi

aktivitas tersebut berhubungan erat dengan sumber asli kebenaran yaitu Al-

Qur’an dan hadits dan kurang menggunakan akal sebagai karakter aktivitas

dialektika dan rasional murni, dengan kesan koherensi dan komprehensifnya.

Yang muncul dalam proses ini adalah serangkaian pandangan atau refleksi

moral dan bukan teori etika dalam arti baku. Untuk memperluas usaha yang

telah dilakukan oleh para komentator, para ahli hadits dan ahli hukum

menerangkan atau menjustifikasikan ethos moral Al-Qur’an dan hadits. Usaha

mereka dalam lapangan etika dapat dikatakan untuk menyusun subtansi apa

yang kita sebut moralitas skriptual1 (teks moral).

Kemudian dalam rangka menjabarkannya maka muncullah para

pemikir dan filosof Islam yang mengetengahkan teori-teori akhlak atau etika,

yang mengadakan pembahasan dengan pendekatan falsafat maupun langsung

dengan Al-Qur'an dan hadits.

Ihwanus Shafa adalah suatu kelompok yang bergerak dalam lapangan

pemikiran yang anggotanya khusus kaum laki-laki, dalam lapangan etika

kelompok ini mendasarkan pada prinsip rohaniyah dan zuhud. Manusia

dipandang baik apabila melakukan perbuatannya sejalan dengan karakter yang

hakiki. Al-Farabi berpendapat akal mampu menetapkan suatu perbuatan

apakah baik atau buruk, akal sebagai limpahan dari alam ulwa, dan ma’rifat

sebagai pokok keutamaan, mengapa tidak meletakan akal pada kaidah-kaidah

akhlak. Menurut Ibnu Sina dalam rangka memeperbaiki akhlak dirinya, maka

seseorang harus melakukan dua cara, yaitu mengenal akhlaknya sendiri dan

bercermin kepada akhlak orang lain. Ibnu Bajjah, menurutnya perbuatan

manusia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tindakan hewani dan manusiawi

serta tindakan yang timbul dari pemikiran yang lurus dan kemauan yang

1 Majid Fakhry, Etika Dalam Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 1

19

bersih dan tinggi.2 Ibnu Miskawaih berpendapat akhlak yang tercela bisa

berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan (Tarbiyah Al-

Akhlak) dan latihan-latihan.3

1. Pengertian Etika Islam

Penyepadanan istilah moral atau sopan santun, norma serta etiket

dengan etika secara umum sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.4

padahal bila dicermati cakupan makna yang terdapat pada moral atau

sopan santun memiliki perbedaan arti yang sangat mendasar dengan

cakupan makna yang terdapat pada etika.

Secara bahasa etika merupakan kata turunan dari ethokos (Yunani)

yang berasal dari ethos yang berarti “penggunaan, karakter, kebiasan,

kecenderungan.”5 Kata etika identik dengan moral yang berasal dari

bahasa latin mos yang bentuk jamaknya mores yang berarti adat atau cara

hidup. Dengan demikian etika dan moral sama artinya, tetapi dalam

pemakaian sehari-hari ada perbedaanya. Moral atau moralitas dipakai

untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk sistem

pengkajian nilai-nilai yang ada. Moral lebih cenderung terhadap hal-hal

yang bersifat praktis, sedangkan etika lebih cenderung terhadap teoritis.6

Dalam bahasa Arab etika Islam sama artinya dengan Akhlak jamak

dari Khuluqun ( خلق) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau

tabiat.7 Dengan demikian dari beberapa arti di atas dapat dikemukakan

bahwa etika menurut bahasa mempunyai beberapa makna yang

komprehensip antara teori dan praktek, yaitu kesusilaan, adat tingkah laku

dan ungkapan perasaan batin. Secara umum etika adalah sepadan dengan

moral yang keduanya merupakan filsafat tentang adat kebiasan, yang

2 Muhammad Nasuha, Etika Filsafat Dalam Perspektif Islam, jurnal teologia, Fakultas

Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 1995, Hlm. 10-13 3 Sirajuddin Zan, Filsafat Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 135 4 Achmad Charis Zubair, Kuliah Etika, Rajawali Press, Jakarta, 1987, hlm. 13 5 Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Rosda Karya, Bandung, 1996, hlm. 105 6 Achmad Charis Zubair, Op.Cit., hlm. 13 7 Hamzah Ya’qub, Etika Islam, CV. Diponegoro, Bandung, 1985, hlm. 11

20

merupakan cara perilaku manusia. Maka secara umum etika atau moral

adalah filsafat, ilmu atau disiplin tentang cara-cara perilaku manusia atau

keterus-terusan tindakan manusia. Maka singkatnya bahwa pokok

persoalan etika ialah segala perbuatan yang timbul dari orang-orang yang

melakukan dengan ikhtiar dan sengaja apa yang diperbuat. Inilah yang

dapat kita beri hukum “baik atau buruk”, demikian juga segala perbuatan

yang timbul tidak dengan kehendak , tetapi dapat diikhtiarkan sewaktu

sadar.8

Adapun secara terminologi para ahli memberikan pemahaman

bahwa etika dipandang sebagai ilmu filsafat, diantaranya adalah :

a. Ki Hajar Dewantara berpendapat etika adalah ilmu yang mempelajari

tentang segala bentuk kebaikan dan keburukan di dalam manusia

semuanya, teristimewa yang mengenai gerak gerik pikiran dan rasa

yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai

tujuan yang dapat merupakan perbuatan.9

b. Muslim Nurdin dkk. Etika lebih merupakan kesepakatan masyarakat

pada suatu waktu dan di tempat tertentu. Bila suatu masyarakat

bercorak religius, maka etika yang dikembangkan pada masyarakat

akan bercorak religius. Akan tetapi bila suatu masyarakat bercorak

sekuler, maka etika yang dikembangkan bercorak jiwa sekuler.10

c. Ahmad Amin, etika ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan

buruk, merenungkan yang seharusnya dilakukan oleh manusia pada

manusia lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia

pada perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa

yang harus diperbuat.11

d. Ahmad Charis Zubair, etika adalah ilmu pengetahuan yang

membicarakan tentang masalah baik dan buruknya perilaku manusia

dalam kehidupan bersama, dan juga dapat dikatakan ilmu pengetahuan

8 Ahmad Amin, Etika, Bulan Bintang, Jakarta, 1995, hlm. 5 9 Achmad Charis Zubair, Op. Cit., hlm. 15 10 Muslim Nurdin, dkk.,Moral dan Kognisi Islam, CV Alfabeta, Bandung, 1995, hlm.209 11 Ahmad Amin, Op. Cit., hlm. 3

21

yang bersifat normative, evatuatif, yang hanya memberikan nilai baik

dan buruk terhadap perilaku manusia.12

e. H. Hamzah Ya’qub, Etika ialah ilmu yang menyelidiki makna yang

baik dan makna yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan

manusia sejauh yang dapat diketahui akal pikiran.13

Etika secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis

definisi, yaitu aspek historis, deskriptif, dan sifat dasar etika.

1. Aspek historis, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus

membicarakan mengenai nilai baik dan buruk perilaku manusia.

2. Deskriptif, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang

membicarakan perilaku baik dan buruk manusia dalam kehidupan

masyarakat. Definisi demikian tidak melihat kenyataan bahwa ada

keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat

karena bersifat Sosiologi.

3. Sifat dasar, etika sebagai yang normatif dan bercorak kefilsafatan,

etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang normatif, evaluatif

yang memberikan hanya nilai-nilai baik dan buruknya terhadap

perilaku manusia. Dalam hal ini perlu menunjukan adanya fakta yang

cukup memberikan informasi menganjurkan dan mereflesikan.14

Namun ada yang memahami antara etika dan akhlak berbeda, jika

etika hanya berhubungan dengan sopan santun antara sesama manusia

serta tingkah laku lahiriah, maka akhlak lebih luas cakupannya, yakni

mencakup hal-hal yang tidak bersifat lahiriah tetapi termasuk sikap batin

dan pikiran manusia. Oleh sebab itu, akhlak atau etika Islam mencakup

etika terhadap Allah, etika terhadap Rasul, etika terhadap Manusia dan

etika terhadap alam lingkungan sekitar.15

12 Achmad Charis Zubair, Op. Cit., hlm. 17 13 Hamzah Ya’qub. Op. Cit.,hlm. 13 14 Ahmad Charis Zubair, Op. Cit., hlm. 17 15 Zuly Qodir, Etika Islam : Suatu Pengantar (Sejarah, Teologi Dan Etika Agama-

Agama), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 270-276

22

Adapun Pengertian etika Islam atau akhlak adalah:

a. Hamzah Ya’qub

Etika Islam adalah ilmu yang menjelaskan (menetapkan) bahwa yang

menjadi sumber moral, ukuran baik dan buruknya perbuatan

didasarkan pada ajaran Allah SWT ( Al-Qur’an dan ajaran Rasulnya)16

b. M. Amin Syukur

Ilmu akhlak yaitu suatu ilmu yang menerangkan pengertian baik dan

buruk, menjelaskan yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam

hubungannya dengan sesama manusia, menjelaskan tujuan yang

seharusnya dituju dan menunjukkan jalan untuk melakukan sesuatu

yang seharusnya diperbuat.17

c. Ibnu Maskawaih

Akhlak menurut Ibnu Maskawaih, ialah suatu sikap mental atau

keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan

pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua

unsur, yakni watak naluriah dan unsur lewat kebiasaan dan latihan.18

Dari pengertian-pengertian di atas, meskipun redaksi berbeda dapat

diambil kesimpulan bahwa etika atau dalam Islam yang kita sebut dengan

akhlak adalah kebiasan keadaan gerak jiwa yang mempengaruhi perbuatan

lahir dengan adanya tekanan-tekanan dari luar. Sehingga timbul adanya

kemungkinan-kemungkinan yang merupakan akibat dari sebab adanya

perbuatan itu terjadi.

Perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai manisfestasi

dari akhlaknya, apabila perbuatan itu dilakukan berulang kali sehingga

menjadi kebiasan serta perbuatan itu dilakukan dengan sadar karena

dorongan emosi-emosi jiwanya, bukan karena adanya tekanan yang datang

dari luar dirinya, seperti adanya paksaan atau bujukan.

16 Hamzah Ya’qub., hlm. 14 17 M. Amin Syukur, Pengatar Studi Islam, Bima Sejati, Semarang, 2000, hlm. 117 18 Sirajuddin Zan, Op. Cit., hlm. 135

23

Dengan arti demikian maka pemahaman bahwa etika dan akhlak

memiliki persamaan, di mana didalamnya berkaitan dengan perbuatan baik

dan buruk manusia.

Perbedaan dan persamaan antara akhlak dengan etika:

1. Persamaan

a. Obyek, yaitu perbuatan dan tingkah laku manusia

b. Pembahasan, yaitu penilaiannya adalah baik dan buruk

2. Perbedaan

Perbedaan akhlak dengan etika adalah terletak pada tolak ukurnya.

jika akhlak, perbuatan dan tingkah laku manusia dalam menentukan

baik dan buruk diukur dengan agama yakni berdasarkan ajaran Allah

dan Rasulnya. Sedangkan etika dibatasi pada sopan santun antar

sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku

lahiriah.19

Dengan demikian etika dan akhlak begitu kecil untuk mendapatkan

pembenaran sebagai penilaian-penilaian yang universal yang dinamis

terhadap subyek maupun obyek etika karena adanya tekanan-tekanan itu.

Adapun tekanan yang dimaksudkan, yaitu: pertama lingkungan, bertitik

tolak dari ajaran Aristoteles bahwa manusia adalah zoon politikon

(makhluk sosial), makhluk hidup membentuk masyarakat.20 Makna paling

dalam pada ajaran tersebut merupakan penemuan nilai-nilai hakikat

manusia. Secara kodrat manusia sejak lahir memiliki pembawaan untuk

hidup bermasyarakat di lingkungan di makna manusia tinggal atau.

Menurut sifat kodratnya manusia adalah individu dan masyarakat,

mustahil sekali jika seorang manusia mampu hidup seorang diri, sebab

secara kodrati saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, untuk dapat

memenuhi sebagian besar kebutuhan hidupnya. Di sisi lain juga manusia

terbentur dengan realita-realita yang nyata secara kasat mata. Intinya

19 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 259-261 20 Harun Hadiwiyono, Sari Filsafat Barat I, Kanisius, Yogyakarta, 1994, hlm. 53

24

bahwa lingkungan sangat mempengaruhi bagaimana manusia bertingkah

laku.

Kedua, keadaan obyek etika, obyek etika adalah tindakan manusia

itu sendiri yang berkedudukan sebagai obyek forma, Sedangkan manusia

itu sendiri adalah obyek materinya etika, Keadaan yang dimaksud adalah

keadaan jiwa ketika manusia itu berperilaku, tanpa mengkesampingkan

faktor-faktor yang mempengaruhi suasana jiwa itu sendiri yang akan

menghasilkan penilaian tersendiri terhadap etika, sehat atau tidak

sehatnya, indah atau tidak indahnya bahkan baik atau buruknya suatu

tindakan.

Ketiga, tujuan pelaku etika yang sekaligus merupakan obyek etika.

Dalam diri manusia terdapat hati serta akal yang keduanya merupakan

karunia Allah sebagai Sang Pencipta. Sedangkan secara perorangan

manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan hawa nafsu akan

keinginan-keinginan untuk mendapatkan suatu tujuan yang dimaksud.

Kecenderungan-kecenderungan tersebut yang akan menimbulkan problem

tersendiri dalam permasalahan etika terjadi di seluruh lapisan masyarakat.

Keempat, pemahaman terhadap konsep etika. Konsep etika yang

ditawarkan oleh Islam adalah etika yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan

hadits, lain halnya dengan etika yang sekuler yang cenderung dan memang

didasarkan untuk pemenuhan kenikmatan semata (hedonisme).

Pemikiran lebih rinci tentang etika sebagai salah satu cabang ilmu

filsafat di satu sisi, dan akhlak (etika Islam) di sisi lain adalah jelas

memiliki aspek kesamaan dan aspek perbedaan. Etika dalam berbagai

aliran filsafat seperti: hedonisme, utilitarisme, vitalisme, sosialisme,

religionisme, dan humanisme. Adapun konsep-konsep yang ditawarkan

oleh aliran-aliran tersebut, yaitu:

1. Hedonisme

Aliran ini amat tua, sebetulnya terdapat dimana-mana sebagai aliran

filsafat yang terumuskan terutama terkenal di Yunani. Disebut

demikian aliran ini karena yang dianggap ukuran tindakan baik ialah

25

hedone: kenikmatan dan kepuasan rasa. Bahkan ada ahli psikologi

yang berpendapat semua tindakan itu berdasarkan atas cenderung yang

tak tersadari, ialah cenderung untuk mencapai kepuasan semata, yang

disebut libido seksualitas, atau cenderung untuk mencapai kepuasan

dalam memiliki kepuasan. Bagi penganut hedonisme rasa puas dan

bahagia disamakan. Adapun bahagia itu menenangkan manusia, ada

kepuasan yang merupakan kebahagiaan dan menenangkan tetapi ada

juga kepuasan rasa belaka yang kemudian menimbulkan kehausan dan

kegelisahan.21 Kelemahan paham ini, ialah menganggap manusia

seolah-olah menjadikan binatang sebagai idaman hatinya, karena

binatang mempunyai tabiat mengejar kenikmatan dan kelezatan sesaat.

2. Utilitarisme

Yang baik yang berguna, Demikianlah ukuran baik bagi penganut

aliran utilitarisme (utilis: berguna). Kalau ukuran ini berlaku bagi

perorangan disebut indiviual, dan jika berlaku bagi masyarakat, disebut

sosial.22 Ciri pengenal kesusilaan ialah manfaat suatu perbuatan dan

yang khas dari aliran ini, bahwa akibat-akibat baik itu tidak hanya

dilihat dari kepentingan si pelaku sendiri, tetapi juga semua orang yang

terkena tindakan tersebut.

Sekalipun demikian aliran ini mempunyai kelemahan. Kelemahan

yang mendasar dari aliran ini ialah tidak dapat menjamin keadilan dan

hak-hak manusia, terutama hak asasinya.23

3. Vitalisme

Istilah ini sebetulnya tidak terlalu baik, sebab agak membingungkan.

Oleh karena di sana sini terpakai juga, untuk menunjuk aliran yang

mengatakan bahwa yang baik ialah yang mencerminkan kekuatan

dalam hidup manusia.24 Aliran ini mengajarkan bahwa perilaku yang

baik ialah perilaku yang menambah daya hidup. Sedangkan perilaku

21 Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 44 22 Ibid., hlm. 45 23 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta, 1989, hlm. 126 24 Poedjawiyatna, Op. Cit., hlm. 46

26

yang buruk ialah yang mengurangi bahkan merusak daya hidup. Etika

semacam ini mengandalkan manusia dapat menempatkan diri di luar

arus kehidupan serta dapat mempengaruhinya, baik secara positif

maupun negatif.

Kelemahan aliran ini, selain terlalu mengagungkan kehidupan dan

mendewakan para penguasa juga secara metodologis telah membantah

dirinya sendiri.

4. Religionisme

Ialah aliran yang berpendapat, bahwa baiklah yang sesuai kehendak

Tuhan itu. Maka tugas teologilah yang menentukan, manakah yang

menjadi kehendak Tuhan. Keberatan terhadap aliran ini ialah

ketidakumuman dari ukuran itu. Kita tahu ada terdapat berbagai

macam-macam agama. Agama itu mengutarakan pedoman hidup yang

menurut agama masing-masing merupakan kehendak Tuhan. Pedoman

itu tidak sama malahan di sana sini nampak pertentangan.25

5. Humanisme

Menurut aliran ini, yang baik ialah yang sesuai dengan kodrat manusia,

yaitu kemanusiaannya. Dalam tindakan kongkrit tentulah manusia

kongkrit pula yang menjadi ukuran, sehingga pikiran, rasa, situasi

seluruh akan ikut menentukan baik dan buruknya tindakan kongkrit

itu. Penentuan dari baik buruk tindakan yang kongkrit adalah kata hati

yang bertindak.26

Jadi humanisme menelaah apa yang dilakukan manusia secara kodrati,

artinya berdasar keadaan dalam diri manusia sendiri. Dengan demikian

paham semacam ini mempunyai kelemahan. Kelemahan yang nyata

ialah karena etika ini hanya menyandarkan kepada panggilan tabiat

manusia itu sendiri, Sedangkan kenyataannya bahwa ketentuan-

ketentuan kesusilaan sering bahkan lazimnya bertentangan dengan

kecenderungan-kecenderungan kodrati.

25 Ibid., Hlm. 47-48 26 Ibid., Hlm. 48-49

27

Oleh sebab itu etika berupaya melakukan penyelidikan dan

penilaian terhadap perbuatan baik dan buruk manusia maka di sini harus

dipahami bahwa pembuatan atau tabiat manusia sangat beragam.

Keragaman ini dapat ditinjau dari segi nilai kelakuannya apakah baik atau

buruk serta tujuan obyeknya tanpa mengkesampingkan pokok-pokok etika

serta hukum kausalitas yang merupakan bagian dari kodrat kehidupan

manusia.

2. Pokok-pokok Etika Islam

Berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan hadits maka etika atau akhlak

merupakan bukti pengangkatan Nabi Muhammad SAW, di mana Nabi

Muhammad SAW mempunyai akhlak yang terpuji, terpilih. Sebagaimana

Al-Qur’an menyatakan:

)4: القلم (وإنك لعلى خلق عظيم

Artinya :”Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti

yang agung”. (Q.S. Al-Qalam : 4).27

Mengingat etika Islam merupakan etika yang berdasarkan pada Al-

Qur’an dan hadits, maka di sana pula seseorang akan dinilai baik dan

buruk perbuatannya, apakah sesuai atau tidak dengan dua sumber tersebut.

Kaitannya dengan etika Islam adalah etika yang didasarkan pada pokok-

pokok agama Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadits atau sunnah Nabi,

kebiasan sahabat, serta ijma ulama.

Sistem etika Islam berbeda dengan sistem etika sekuler dan dari

ajaran moral yang diyakini oleh agama-agama lain. Sepanjang rentang

Sejarah peradaban, model-model sekuler mengasumsikan ajaran moral

yang bersifat sementara dan berubah karena didasarkan pada nilai-nilai

yang diyakini para pencetusnya, sebaliknya ajaran Islam yang melekat

dalam sistem etika Islam menekankan hubungan antara manusia dengan

27 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahan Al-Qur'an,

Departemen Agama R.I., Jakarta, 1980, hlm. 960

28

Sang Penciptanya. Karena Allah SWT Maha Sempurna dan Maha

Mengetahui, maka kaum muslim memiliki ajaran moral yang tidak terikat

waktu dan tidak dipengaruhi oleh perilaku manusia. Ajaran etika Islam

dapat diterapkan sampai kapan pun karena sang pencipta berada lebih

dekat dari urat leher manusia dan memiliki pengetahuan yang sempurna

dan abadi.28 Secara umum, Islam mendukung semua prinsip dalam

pendekatan keadilan distributive terhadap etika, namun dalam proporsi

yang seimbang. Islam tidak mendukung prinsip keadilan buta.29

Berdasarkan pembahasan di atas, sejumlah parameter kunci sistem

etika Islam telah terungkap, dan dapat dirangkum sebagai berikut:

1. Berbagai tindakan ataupun keputusan disebut etis bergantung pada niat

individu yang melakukannya. Allah Maha Kuasa dan mengetahui

apapun niat kita sepenuhnya dan secara sempurna.

2. Niat baik yang diikuti tindakan yang baik akan dihitung sebagai

ibadah. Niat yang halal tidak dapat mengubah tindakan yang haram

menjadi halal.

3. Islam memberikan kebebasan kepada individu untuk percaya dan

bertindak berdasarkan apapun keinginannya, namun tidak dalam hal

tanggung jawab dan keadilan.

4. Percaya kepada Allah SWT memberi individu kebebasan sepenuhnya

dari hal apapun atau siapapun kecuali Allah.

5. Keputusan yang mengutungkan kelompok mayoritas ataupun minoritas

tidak secara langsung berarti bersifat etis dalam dirinya. Etika

bukanlah permainan mengenai jumlah.

6. Islam menggunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai

sistem tertutup, dan berorientasi diri sendiri. Egoisme tidak mendapat

tempat dalam ajaran Islam.

7. Keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan secara bersama-sama

antara Al-Qur’an dan alam semesta.

28 Muhammad, dkk., Visi Al-Qur’an Tentang Etika dan Bisnis, Salemba Diniyah, Jakarta, 2002, hlm. 43-44

29 Ibid., hlm. 52

29

8. Tidak seperti sistem etika yang diyakini banyak agama lain, Islam

mendorong umat manusia untuk melaksanakan tazkiyah melalui

partisipasi aktif dalam kehidupan ini. Dengan berperilaku secara etis di

tengah godaan ujian dunia, kaum muslim harus mampu membuktikan

ketaatannya kepada Allah.30

Untuk mengembangkan lebih jauh hendaknya kita memperhatikan

Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber ajaran etika Islam atau akhlak, maka

kita dapat mengatakan bahwa teori moralitas Islam sangat menyeluruh dan

terperinci, mencakup segala hal yang telah kita lihat, alami sehari-hari.

Karena Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia yang meliputi segala segi

hidup dan kehidupan manusia tidak hanya mengajarkan kebaikan-

kebaikan dari pada akhlak Islam akan tetapi juga-janji dan sanksi dari

Allah. Dan konsep mengenai baik dan buruk dijelaskan dalam firman

Allah:

خير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم ولتكن منكم أمة يدعون إلى ال

)104: ال عمران (المفلحون

Artinya :”Hendaklah ada diantara kamu segolongan yang menyeru

kepada kebaikan (al-khair) menyerukan kepada ma’ruf (yang

baik) dan melarang dari perbuatan munkar dan itulah orang-

orang yang bahagia” (Q.S. Ali-Imran: 104).31

من إن ذلك كابا أصلى مع براصكر ونن المع هانوف ورعبالم رأملاة وأقم الص ينا بي

)17: لقمان (عزم الأمور

Artinya :”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)

mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan

yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa

30 Ibid., hlm. 56-57 31 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op. Cit., hlm. 93

30

kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang

diwajibkan”.(Q.S. Luqman :17)32

Sedangkan hadits merupakan aktualisasi dari pencitraan suasana

hati Nabi yang berdasarkan Al-Qur’an dan merupakan kehidupan seorang

individu yang terasing, tetapi ia adalah seorang yang mempunyai berbagai

hubungan dan tanggung jawab sosial. Sebagaimana Sabdanya:

حق المسلم على المسلم ست قيل ما هن يا : م قال.عن ابي هريرة ان رسول اهللا ص

اذا لقيته فسلم عليه واذادعاك فأجبه واذا استنصحك فانصح له : رسول اهللا؟ قال

طساذاعوهبعفات اتاذامو هدفع رضاذامو همتاهللا فس مدرواه مسلم. (فح (

Artinya :”Dari Abu Hurairah r.a katanya: ” Kewajiban orang muslim

terhadap orang muslim lain enam perkara. Orang beratnya

kepada beliau; apakah itu ya Rasulallah? Jawab Rasulallah

SAW.: “ Jika berjumpa dengannya diberi salam, jika diundang

mendatanginya, jika dimintanya nasihat diberikan, jika bersin

dan ia menyebut nama Allah, dido’akan dengan beroleh rahmat,

jika ia sakit ditengok dan jika ia meninggal diantarkan”. (H.R.

Muslim)33

Selain itu juga Allah mengaruniakan kita akal sebagai pokok dasar

lain etika Islam. Sebagai makna pendapat al Maturidi yang berpendapat ”

akal mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat yang

buruk terdapat yang buruk, dengan demikian akal juga tahu bahwa berbuat

baik adalah baik dan berbuat buruk adalah buruk. Dan pengetahuan inilah

yang memastikan adanya perintah dan larangan”.34

Jika kita memahami Al-Qur’an dengan baik dan benar, maka kita

dapat mengetahui bahwa pada dasarnya Islam bertujuan untuk

membangun kehidupan manusia berdasarkan nilai-nilai kebajikan dan

32 Ibid., hlm. 655 33 H.A. Rajak dan H. Rais Lathief, Terjemahan Hadits Shahih Muslim, Cet. 1, Jilid III,

Pustaka al-Husna, Jakarta, 1980, hlm. 162 34 Harun Nasution , Teologi Islam, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 89

31

membersihkan dari berbagai kejahatan. Konsekuensi logis dari

pemahaman Islam secara utuh adalah bahwa syariat Islam yang bersumber

dari Al-Qur’an dan hadits mengatur kehidupan manusia secara individu

dan kolektif. Al-Qur’an sendiri sebagai dasar etika Islam bagi kehidupan

manusia, terutama dalam hal kemasyarakatan harus ditegakkan atas tiga

dasar yaitu negara dan masyarakat harus ditegakkan atas dasar keadilan,

musyawarah, dan persaudaraan atau persamaan.35 Dengan demikian

sasaran pokok dari pada etika Islam atau akhlak menurut Muh. Zain Yusuf

mempunyai ciri-ciri yang khusus yang membedakan dengan akhlak yang

diciptakan manusia yaitu: kebajikan yang mutlak, kebaikan yang

menyeluruh, kemantapan, kewajiban yang dipatuhi dan pengawasan yang

menyeluruh.36 Untuk membentuk pribadi yang takwa, yang menjadikan

amal baik sebagai sesuatu yang wajib dan menghindari perbuatan yang

buruk dan tercela.

B. Etika Pergaulan Laki-Laki Dengan Perempuan Dalam Islam

Manusia diciptakan Allah SWT berpasang-pasangan, ada laki-laki

dan perempuan, masing-masing pihak saling membutuhkan dan saling

tertarik satu sama lain. Allah juga menjelaskan bahwa perempuan atau

pasangan laki-laki itu diciptakan dari unsur laki-laki itu sendiri agar mereka

bisa meneruskan tugas Allah sebagai khalifah di bumi. Hal dijelaskan Allah

SWT dalam firman-Nya:

منهما ياأيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث

النساء (رجالا كثريا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا

:1(

Artinya :” Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan mu yang telah

menciptakan kamu dari seseorang diri dan dari padanya Allah

35 M. Amin Rais, Cakrawala Islam, Mizan, Bandung, 1983, hlm. 50 36 Ali Saefudin, Etika Islam Sebagai Modal Kebahagiaan, Jurnal Teologia, Op. Cit., hlm.

22-23

32

menciptakan istrimu, dan dari keduanya itu Allah

mengembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak.

Bertakwalah kepada Allah dengan (menggunakan) nama-Nya

kamu saling meminta satu sama lain, dan (periharalah)

hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan

mengawal kamu”. (Q.S. An-Nisa : 1).37

كممفوا إن أكرارعائل لتقبا ووبعش اكملنعجثى وأنذكر و من اكملقنا خإن اسا النها أيي

بريخ ليمع إن الله قاكمالله أت د13: احلجرات (عن(

Artinya :”Wahai manusia, aku ciptakan kamu dari jenis laki-laki dan wanita

dan aku jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar

kamu saling kenal mengenal, sesugguhnya yang paling mulia di

antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa”.(Q.S.

Al-Hujurat :13).38

Dalam pandangan Islam, manusia merupakan makhluk yang

diciptakan oleh Allah dalam sebaik-baiknya bentuk dan merupakan hamba-

Nya yang paling mulia jika ia taat kepada-Nya di muka bumi ini. Manusia

berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya karena manusia dianugrahi oleh

Allah suatu bentuk tubuh yang bagus dan indah, dan dilengkapi pula dengan

akal budi yang dapat dipakai untuk melakukan penalaran sehingga bisa

menghasilkan kebudayaan dan peradaban. Sebagai hamba Allah, tugas dan

misi manusia dalam hidupnya adalah tunduk (berislam) dan patuh kepada

Allah, Sang Penciptanya.39 Bagi manusia, keunikan struktur fisik dan

keajaiban rahasia psikis merupakan keunggulan tersendiri, dengan keunikan

dan kewajiban itu manusia dapat mempererat hubungan dengan Allah dan

sesama makhluk.40 Allah SWT. Menyerukan kepada segenap umat manusia

37 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op. Cit., hlm. 114 38 Ibid., hlm. 847 39 Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Jakarta

,2002, hlm. 256 40 Saudi Berlian, Pengelolaan Tradisinal Gender,Telah Keislaman, Cet.1, Milennium

Publisher, Jakarta, 2000, hlm. 59

33

berbagai macam taklif. Manusia telah dijadikan-Nya sebagai sasaran khithab

(seruan) dan taklif.41

Dari sudut pandang Islam, perbedaan antara laki-laki dan perempuan

tidak hanya bersifat biologis atau psikologis, tetapi berakar pada sifat dasar

illahiyah itu sendiri. Pembedaan laki-laki dan perempuan adalah bagian

penting dari misteri penciptaan Tuhan. Setiap jenis kelamin sepenuhnya

manusia yang dilengkapi dengan jiwa illahiyah, dan kedua seks (jenis

kelamin) ini sama dalam hal tanggung jawab keagamaan mereka dan

keduanya sejajar di hadapan Tuhan. Namun, masing-masing pihak

melengkapi yang lain dan keduanya bersama-sama, seperti simbol yin-yang

dalam budaya Timur jauh, membentuk sebuah lingkaran, yang

menyimbolkan kesempurnaan, totalitas, dan kelengkapan. Oleh karena

itulah laki-laki dan perempuan keduanya saling berlomba dan juga saling

tertarik satu sama lain. Alkemia perkawinan serta perpaduan seksual

memiliki kekuatan untuk mengubah dan melengkapi dan untuk kebutuhan

menyeluruh melalui cinta yang melampaui kedua pihak, tetapi melingkupi

mereka, cinta yang berakar pada Tuhan.42

Ajaran Islam menekankan bahwa walaupun laki-laki dan perempuan

sejajar dihadapan Tuhan dan hukum, mereka harus saling melengkapi satu

sama lain dalam kehidupan sosial dan keluarga. Persamaan di depan Tuhan

dan hukum tidak merusak realitas saling melengkapi. Firman Allah:

)36: يس (سبحان الذي خلق الأزواج كلها

Artinya :”Maha Suci Allah yang telah menciptakan berpasang-pasangan

semua” . (Q.S. Yasin: 36).43

Allah menciptakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan,

dengan suatu fitrah yang khas, yang berbeda dengan hewan. perempuan

adalah seorang manusia, sebagai mana halnya laki-laki. Masing-masing

41 Taqiyuddin An Nabhani, Sistem Pergaulan dalam Islam, Terj., M. Nashir, Pustaka Thariqul ‘Izzah, Bogor, 2001, hlm.10

42 Seyyed Hossein Nasr, Pesan-Pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan, Terj., Nurasiah Fakih Sutan Harahap, Mizan, Bandung, 2003, hlm. 226-227

43 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op. Cit., hlm. 710

34

tidak dapat dibedakan dari aspek kemanusiaannya. Yang satu tidak melebihi

yang lain dalam hal ini. Allah telah menciptakan pada masing-masing pihak

sebuah potensi dinamis (thaqah hayawiyyah). Potensi tersebut berupa

dorongan kebutuhan jasmani (hayat ‘udhawiyyah) seperti lapar, rasa dahaga,

atau buang hajat; serta berbagai potensi naluriah/instingtif (ghara’iz, bentuk

jamak dari gharizah) seperti naluri mempertahankan kehidupan, naluri

seksual untuk melestarikan keturunan, dan naluri beragama (religiousitas).

Ternyata, dorongan kebutuhan jasmani maupun naluri-naluri ini ada pada

masing-masing jenis kelamin. Allah juga menjadikan pada diri keduanya

kekuatan berpikir. Akal yang ada pada seorang laki-laki ternyata ada pula

pada perempuan, karena Allah memang menciptakan akal untuk seluruh

manusia.44

Ayat-ayat Al-Qur’an sangat memperhatikan manusia, maksudnya

pada penciptaan dan tujuan dari penciptaan laki-laki dan perempuan. Ayat-

ayat tersebut menjelaskan bahwa pada dasarnya, naluri seksual diciptakan

agar manusia menjalani kehidupan secara berpasang-pasangan sebagai

suami istri dan sekaligus melanjutkan keturunan (kehidupan suami istri

saja). Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan keterangan demikian

dengan berbagai cara dan makna yang beragam agar pandangan manusia

sejalan dengan tujuan dari diciptakan manusia sebagaimana penilaian Islam

terhadap laki-laki dan perempuan.

1. Perspektif Islam Tentang Pergaulan

Pergaulan antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya

dibolehkan sampai pada batas-batas yang wajar yang tidak membuka

peluang untuk terjadinya perbuatan dosa (zina). Apalagi pergaulan dan

hubungan itu dalam rangka untuk mencari dan mengenal lebih baik dan

dalam calon pasangan hidupnya. Sebab kalau salah pilih akan menyesal

berkepanjangan.

44 Taqiyuddin An Nabhani, Op. Cit., hlm. 11

35

Fakta telah menunjukkan bahwa dalam kehidupan umum,

pertemuan laki-laki dan perempuan adalah suatu hal yang pasti terjadi

dan masing-masing harus bekerja sama. Sebab kerjasama merupakan

kebutuhan yang amat diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Akan

tetapi, sebuah kerja sama di atas tidak mungkin tercipta kecuali dengan

suatu sistem yang mengatur hubungan yang bersifat seksual antara kedua

lawan jenis itu dan mengatur hubungan laki-laki dan perempuan secara

umum.

Sistem interaksi atau pergaulan laki-laki perempuan dalam Islam

menempatkan bahwa naluri seksual pada manusia adalah semata-mata

untuk melestarikan keturunan umat manusia. Satu-satunya yang dapat

menjamin ketentraman hidup dan mampu mengatur hubungan antara

laki-laki dan perempuan dengan pengaturan yang selaras dengan

karakter kemanusiaan hanyalah sistem yang diatur oleh Islam. Sistem

interaksi dalam Islamlah yang menjadikan aspek rohani sebagai landasan

dan hukum-hukum syariat sebagai tolak ukur yang didalamnya terdapat

hukum-hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai akhlak yang luhur.

Sistem interaksi Islam memandang manusia, baik laki maupun

perempuan, sebagai seorang manusia yang memiliki naluri, perasaan

kecenderungan, dan akal sehat. Sistem ini memperbolehkan manusia

bersenang menikmati hidup secara optimal, tetapi dengan tetap

memelihara komunitas dan masyarakat manusia. Sistem ini pun

mendorong kukuhnya manusia dalam menempuh perjalanan untuk

memperoleh ketentraman hidupnya.45

Dengan demikian, Islam telah menjadikan kerjasama antara laki-

laki dan perempuan dalam berbagai segi kehidupan serta interaksi antara

sesama manusia sebagai perkara yang pasti di dalam seluruh aspek

muamalat. Sebab mereka semuanya adalah hamba Allah, dan semuanya

saling menjamin untuk mencapai kebaikan serta menjalankan ketakwaan

dan pengabdian kepada-Nya. Atas dasar inilah sistem interaksi atau tata

45 Taqiyuddin An Nabhani, Op. Cit., hlm. 23

36

pergaulan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam harus dipelajari

secara menyeluruh dan mendalam. Dengan itu persoalan interaksi antara

laki-laki dan perempuan terdapat implikasi hubungan yang dapat

dipahami dengan pemecahan yang rasional dan sesuai dengan segala

sesuatu yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadits, tanpa perlu

memperhatikan apakah hal tersebut bertentangan dengan adat istiadat

maupun tradisi.

2. Ciri-ciri Pergaulan Islami

Sejauh telaah terbatas penulis pada buku-buku yang berbicara

tentang aspek pergaulan, Sistem Pergaulan dalam Islam, Syekh

Taqiyuddin An Nabhani merupakan satu-satunya buku yang mampu

menghadirkan paradigma baru dalam memandang problem pergaulan,

solusi hubungan antara laki-laki dan perempuan maupun peran keduanya

dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat, serta negara. Buku

mengkomparasikan pandangan-pandangan Islam dan dunia Barat dalam

melihat aspek filosofis hubungan laki-laki dan perempuan yang

diketengahkan oleh dua peradaban tersebut. Tetapi sebagaimana yang

tercantum pada judul sub bab, penulis akan menitikberatkan kepada

pandangan Islam terhadap ciri-ciri pergaulan dalam Islam.

Adapun ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:

1. Konteks Islam interaksi (pergaulan) laki-laki dan perempuan

dipenuhi dengan pandangan kesucian, kemulian, dan kehormatan

diri; di samping itu dapat mewujudkan ketenangan hidup dan

kelestarian keturunan manusia.46

2. Interaksi atau pergaulan laki-laki dan perempuan dalam Islam

menetapkan bahwa naluri seksual pada manusia adalah semata-

mata untuk melestarikan keturunan umat manusia.47 (Melalui

lembaga pernikahan).

46 Taqiyuddin An Nabhani, Op. Cit., hlm. 19 47 Ibid., hlm. 23

37

3. Interaksi atau pergaulan laki-laki dan perempuan dijadikan sebagai

sasaran seruan dan pembebanan (taqlif),48 maka semuanya harus

saling menjamin untuk mencapai kebaikan serta menjalankan

ketakwaan dan pengabdian kepada Allah.49

4. Aspek rohani sebagai landasan dan hukum-hukum syariat sebagai

tolak ukur yang di dalamnya terdapat hukum-hukum yang mampu

menciptakan nilai-nilai akhlak yang luhur.50

3. Batasan-batasan Pergaulan Islami

Zaman sekarang, pertemanan setiap individu dalam pergaulan

lebih bebas dan tidak mau diintervensi atau dipaksa oleh siapapun.

Untuk itu dalam menghadapi semua ini, hendaklah pergaulan itu didasari

oleh sikap saling hormat menghormati antara laki-laki dan perempuan.

Dengan senantiasa berpedoman pada batas yang telah ditetapkan oleh

agama, diantaranya:

1. Menjaga Pandangan Mata Mata adalah satu karunia Allah yang amat cepat dan jauh

jangkauannya. Memelihara mata cukuplah dengan menundukan

sebahagian pandangan mata bila berhadapan dengan laki-laki atau

perempuan yang bukan muhrim. Jangan lah membidikan mata kita

kepada mereka, dan janganlah memandangnya berulang-ulang agar

kita dapat mengendalikan pandangan dan memelihara faraj, karena

pada keduanya ada hubungan anatomis (kematangan fungsi tubuh),

fisiologis (baligh), serta psikologis (insting kecenderungan kepada

lawan jenis) yang dapat memancing mata sebagai panca indra yang

sangat peka.51 Hal ini diatur oleh Allah dan Rasulnya :

48 Ibid., hlm. 10 49 Ibid., hlm. 24 50 Ibid., hlm. 23 51 Abdurahman Al Mukaffi, Pacaran Dalam Kaca Mata Islam, Media Dakwah, Jakarta,

2000, hlm. 69

38

بريخ إن الله مكى لهأز ذلك مهوجفظوا فرحيو ارهمصأب وا منضغي مننيؤقل للم

عنصا يلا 30ون ﴿بمو نهوجفر فظنحيو ارهنصأب من نضضغات يمنؤقل للمو ﴾

)31-30: النور (يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها

Artinya :”Katakanlah kepada orang-orang beriman laki-laki (mukmin)

agar mereka menundukan sebahagian dari pandangan

mata (terhadap wanita),dan memelihara akan kemaluan

mereka (menutupnya). Yang demikian itu lebih suci bagi

mereka, sesungguhnya Allah amat mengetahui akan apa

yang meraka kerjakan. Dan katakanlah kepada wanita

yang beriman hendaklah mereka menahan pandanganya,

dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka

menampakan perhiasanya, kecuali yang bisa nampak dari

padanya”.(Q S. An-Nur :30-31).52

عن نظرالفجاءة فأمرني ان . م.سألت رسول اهللا ص: عن جريرابن عبداهللا قال

ريصب رفرواه مسلم. (اص(

Artinya :” Dari Jarir bin Abdullah r.a. Katanya: Saya telah beratnya

kepada Rasulallah SAW. tentang melihat wanita tanpa

sengaja/mendadak; maka saya diperintahkan beliau agar

menjauhkan pandangan mataku”.(H.R. Muslim).53

2. Menjauhi Pergaulan Bebas54

Menjauhi pergaulan bebas yang akibatnya sudah pasti dapat

menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam kehidupan kota

besar dan dampak dari globalisasi informasi, anak muda banyak

yang bergaul bebas dengan lawan jenisnya meniru budaya barat yang

52 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op. Cit., hlm. 548 53 H.A. Rajak dan H. Rais Lathief, Op. Cit., hlm. 160 54 Abdurrahman al Mukaffi, Op. Cit., hlm. 79

39

serba permissive (serba boleh) sehingga pergaulan bebas. Karena

bebasnya kadangkala mereka melanggar norma dan etika agama,

sehingga terjadi pergaulan bebas atau free sex yang akhirnya

terjadilah kehamilan dini yang tidak dikehendaki. Firman Allah :

)32: االسراء (ولا تقربوا الزنا إنه كان فاحشة وساء سبيلا

Artinya :”Dan janganlah engkau dekati zina, sesungguhnya zina itu

adalah perbuatan yang rendah dan seburuk-buruknya

perbuatan”.(Q.S. Al-Isra: 32).55

Meskipun demikian, Islam sangat berhati-hati menjaga

masalah ini. Oleh karena itulah, Islam melarang segala sesuatu yang

dapat mendorong terjadinya hubungan yang bersifat seksual yang

tidak disyariatkan. Islam melarang siapa pun, baik perempuan

maupun laki-laki, keluar dari sistem Islam yang khas dalam

mengatur hubungan lawan jenis. Larangan dalam persoalan ini

demikian tegas. Atas dasar itu, Islam menetapkan sifat iffah

(menjaga kehormatan) sebagai suatu kewajiban.56

Selain dari itu, Syekh Taqiyuddin An Nabhani berkesimpulan

bahwa Islam telah menetapkan setiap metode, cara, maupun sarana

yang dapat menjaga kemuliaan dan akhlak terpuji sebagai sesuatu

yang juga wajib dilaksanakan. Islam telah menetapkan hukum-

hukum tertentu yang berkenaan dengan hal ini. Hukum-hukum

diantaranya sebagai berikut:

1. Islam telah memerintahkan kepada manusia, baik laki-laki

maupun perempuan, untuk menundukan pandangan.

2. Islam memerintahkan kepada kaum perempuan untuk

mengenakan pakaian yang secara sempurna, yakni pakaian yang

menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak

tangannya.

55 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op. Cit., hlm. 429 56 Taqiyuddin An Nabhani, Op.Cit., hlm. 26

40

3. Islam melarang seorang perempuan melakukan safar (perjalanan)

dari suatu tempat ke tempat lainnya selama sehari semalam,

kecuali jika disertai dengan mahramnya.

4. Islam melarang laki-laki dan perempuan untuk berkhalwat

(berdua-duaan), kecuali disertai oleh mahramnya.

5. Islam melarang perempuan untuk keluar dari rumahnya kecuali

seizin suaminya.

6. Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus hendaknya

jama’ah (komunitas) kaum perempuan terpisah dari jama’ah

(komunitas) kaum laki-laki; begitu juga di dalam masjid, di

sekolah, dan lain sebagainya.

7. Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara laki-laki

dan perempuan hendaknya bersifat umum dalam urusan

muamalat; bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling

mengunjungi antara perempuan dengan laki-laki yang bukan

mahramnya atau jalan-jalan bersama.57

Dengan hukum-hukum ini, Islam dapat menjaga interaksi laki-

laki dan perempuan sehingga tidak menjadi interaksi yang mengarah

pada hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat seksual.

Artinya, interaksi mereka tetap dalam koridor kerja sama semata dalam

menggapai berbagai kemaslahatan dan dalam melakukan semacam

aktivitas. Dengan hukum-hukum inilah, Islam mampu memecahkan

hubungan-hubungan yang muncul dari adanya sejumlah kepentingan

individual, baik laki-laki maupun perempuan, ketika masing-masing

saling bertemu dan berinteraksi. Islam pun mampu memberikan solusi

terhadap hubungan-hubungan yang mungkin mengemuka sebagai

implikasi dari adanya interaksi antara laki-laki dan perempuan, seperti:

masalah kewajiban memberi nafkah, status perwalian anak, pernikahan

dan lain-lain. Caranya adalah dengan membatasi interaksi yang terjadi

sesuai dengan maksud diadakannya hubungan tersebut serta dengan

57 Ibid., hlm., 26-29

41

menjauhkan laki-laki dan perempuan dari interaksi yang mengarah pada

hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat seksual.58

Dengan demikian, jelaslah bahwa betapa pandangan Islam dalam

konteks interaksi laki-laki dan perempuan dipenuhi dengan pandangan

kesucian, kemuliaan dan kehormatan diri, di samping merupakan

pandangan yang dapat mewujudkan ketenangan hidup dan kelestarian

keturunan manusia.

58 Ibid., hlm. 30